Buku Prosiding Ilmu Bedah 2023
Buku Prosiding Ilmu Bedah 2023
Prosiding Book
2023
Vol 1, 2023
May 28th 2023
2
P-ISSN : XXXX – XXXX
Daftar Isi
Halaman Judul.................................................................................................. 2
Daftar Isi ...........................................................................................................3
Dewan Redaksi .................................................................................................4
Kata Pembuka ..................................................................................................5
Kata Pengantar ..................................................................................................6
Susunan Panitia .................................................................................................8
Susunan Acara .................................................................................................10
Isi ..................................................................................................................... 11
Update in Burn Injury .....................................................................................13
Update in Epidural Hematoma .......................................................................14
Diabetic Foot Ulcer ........................................................................................15
Update in Oncology Emergency Management................................................21
Emergency Surgical Management of Colorectal Cancer ...............................32
Update in Pediatric Surgical Emergencies .....................................................39
Management of Thoracic Emergencies ...........................................................44
Update in Surgical Trauma Management .......................................................48
Penutup............................................................................................................56
3
Prosiding Book Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Dewan Redaksi
Ketua Editor
dr. I Made Darmajaya, Sp.B, Sp.BA, Subsp. D.A.(K), MARS
Peninjau
Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD(K)
Ketua Acara
dr. A. A Gde Agung Anom Arie Wiradana, Sp.B
Anggota
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS, Subsp. N-Ped
Dr. dr. I Gusti Putu Hendra Sanjaya, Sp.B.P.R.E, Subsp.L.B.L(K)
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
dr. I Gusti Agung Bagus Krisna Wibawa, Sp.B, Subsp. BVE(K)
dr. Ketut Wiargitha, Sp.B(K)Trauma
dr. Kadek Deddy Ariyanta, Sp.B, Sp.BA, Subsp. DA(K)
dr. I Komang Adhi Parama Harta, Sp.BTKV, Subsp.JD(K)
Kata Pembuka
Aspek teori dan praktik keilmuan bedah telah berkembang secara signifikan
seiring dengan perkembangan jaman. Berbagai penelitian dan teknologi telah
dikembangkan demi mencapai penanganan dan outcome pasien yang lebih baik.
Prognosis pasien dengan kasus-kasus bedah akut baik trauma dan non
trauma sangat dipengaruhi oleh waktu dari penanganan. Pemilihan pemeriksaan
penunjang, penegakan diagnosis, serta penentuan terapi yang cepat dan tepat akan
memperbaiki outcome pasien. Seorang tenaga medis terutama dokter bedah perlu
memahami dan mengantisipasi pitfall mungkin dapat terjadi pada kasus bedah akut.
Untuk tetap mengikuti perkembangan, maka diadakanlah Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah sebagai ajang bagi para dokter umum
maupun dokter bedah untuk memperbaharui keilmuannya. Pertemuan PKB Bedah
2023 kali ini akan menyuguhkan materi yang menarik dan terbaru tentang kegawat
daruratan di bidang bedah.
Hormat kami,
Panitia Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan 2023
SUSUNAN PANITIA
Sie Kesekretariatan :
dr. I Gede Budhi Setiawan, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Koordinator: dr. I Made Kasmadi Gunawan
Anggota:
dr. Ida Bagus Putra Ambara
dr. Felicia Adelia Shannen
dr. Pande Ayu Kirana Dewi
dr. Eka Pranatalenta
Sie Perlengkapan :
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Koordinator: dr. Tri Widianto
Anggota:
dr. A. A. Kade Ari Sanjaya
dr. Made Bagus Ari Pandita
dr. I Putu Ramanda Suadnyana
dr. Oliev Gohantanadha Tambunan
dr. Reynold Yusmar Paulus Benu
Sie Ilmiah&Acara :
dr. Hendry Irawan, M.Biomed, Sp.B, Subsp. Onk(K)
Koordinator: dr. Ovamelia Julio
Anggota:
dr. I Dewa Ketut Gede Herry Oka
dr. Stacia Novia Marta
dr. Francis Noor Yanong Celeste
dr. Ni Putu Ruspata Bhyantari
dr. Stephen Utama Candinegara
dr. I Putu Ardinata
dr. Krenni Sepa
dr. Reinaldo Cendana
dr. I Nyoman Marsel Rama Rama Grandita Bhaktiyasa
dr. I Gede Ryan Arditayasa
9
Anggota:
dr. I Gede Arya Eka Wibawa
dr. I Made Surya Wijaya
dr. Aditya Permana Adriyanto
dr. I Made Maha Prasetya
dr. Petrus Prasetyo Boleng
dr. Sanjaya Soebagio
10
SUSUNAN ACARA
SIMPOSIUM PKB ILMU BEDAH
28 MEI 2023
12
UPDATE IN BURN INJURY
Luka bakar merupakan suatu kondisi trauma yang dapat memicu respon lokal
dan sistemik sekaligus. Luka bakar memiliki dampak langsung berupa kondisi nyeri,
hipovolemia, serta hipermetabolik. Selain itu luka bakar juga memiliki efek pasca
cedera berupa sindrom distress pernapasan akut yang dapat mengancam nyawa pasien
bila tidak ditangani dengan tepat. Kriteria perujukan ke unit luka bakar
sangatlah penting untuk diketahui untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.
Penanganan awal luka bakar bertujuan untuk menghentikan proses pembakaran
dan mencegah cedera lebih jauh dengan stop, drop, cover dilanjutkan dengan
mendinginkan luka dengan air mengalir, diikuti dengan menyelimuti pasien untuk
mencegah hipotermia.
Pada saat meghadapi suatu kasus dengan luka bakar, kecakapan dalam
melakukan primary dan secondary survey serta melakukan tatalaksana kondisi yang
ditemui sangatlah penting dalam menentukan keselamatan pasien. Identifikasi terhadap
faktor risiko terjadinya trauma inhalasi akan membantu meningkatkan kewaspadaan
terhadap ancaman pada saluran napas yang dapat berakibat fatal.
Penilaian luas luka bakar yang tepat dan akurat akan membantu memberikan
topangan cairan yang presisi bagi pasien. Penilaian luas luka dapat dilakukan dengan
teknik rules of nine, permukaan telapak tangan pasien, atau dengan pediatric rules of
nine. Penilaian kedalaman luka bakar yang tepat juga sangat penting dalam
menentukan tindakan awal dan lanjutan yang akan diberikan kepada pasien.
Kunci utama dalam penanganan luka bakar adalah penilaian kegawatdaruratan,
resusitasi tepat dan akurat, serta perujukan yang sesuai ke Unit Luka Bakar. Dalam
13
pelaksanaan protokol ini diperlukan suatu kerja tim yang efektif mulai dari prehospital,
Unit Gawat Darurat, hingga pasien dirawat pada Unit Luka Bakar.
14
UPDATE IN EPIDURAL HEMATOMA
Epidural hematoma (EDH) adalah akumulasi clot darah antara tulang calvarial
dan duramater dengan ukuran kecil atau cukup besar sehingga menjadi ruang yang
terdapat hematom dan dapat mengancam jiwa.
Patofisiologi EDH yang dimulai dari benturan langsung pada kepala akan
menyebabkan pergerakan relatif antara tulang dan duramater sehingga duramater
menjauh dari tulang membentuk ruang kosong pada epidural. Jika ada perdarahan yang
berasal dari arteri meningeal media atau percabangannya, perdarahan pada diploic vein
akan menumpuk sehingga mengisi ruang. Volume EDH tergantung pada seberapa lebar
ruang kosong epidural yang terjadi.
EDH bukan karena pecahnya arteri meningeal tengah dan percabangannya saja,
asal EDH adalah pembentukan ruang kosong pada epidural yang di hubungkan dengan
cedera kepala.
Pembedahan harus dilakukan sesegera mungkin, dan teknik pembedahan
tergantung pada ketersediaan sumber daya, poin kuncinya adalah jangan menunda.
Konsep operasi, Operasi mayor (operasi esensial atau operasi yang mengancam
jiwa) bertujuan untuk mengevakuasi hematoma dan operasi minor (operasi non
esensial) bertujuan untuk menahan perdarahan dan menutup ruang epidural kosong
dengan cara apapun.
15
DIABETIC FOOT ULCER
Diabetic Foot Ulcer (DFU) atau ulkus kaki diabetik (UKD) adalah salah satu
komplikasi kronis yang sering dijumpai pada kejadian Diabetes Melitus (DM). Faktor
risiko terjadi ulkus kaki diabetik pada penderita penyakit DM adalah jenis kelamin laki-
laki sebesar 56,3%, usia ≥45 tahun, merokok, hipertensi, lama terkena DM, neuropati,
adanya penyakit arteri perifer (PAD), trauma ataupun deformitas pada kaki, dan
riwayat ulkus kaki diabetik sebelumnya.
Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh triad klasik dari neuropati, iskemia, dan
infeksi. Neuropati perifer menyebabkan gangguan pada saraf sensorik, motorik, dan
otonomik. Penderita dengan gangguan saraf sensorik berisiko 7 kali menderita UKD
karena penderita kurang peka terhadap nyeri, ulkus, dan infeksi. Dengan adanya
gangguan aliran arteri menyebabkan gangguan perfusi sehingga proses penyembuhan
UKD yang lama dan meningkatkan infeksi karena kekurangan oksigenasi perifer dan
kesulitan antibiotik ke lokasi infeksi. Pada infeksi, dapat ditemukannya kuman
penyebab infeksi pada UKD seperti aerobic gram positif (Staphylococcus aureus,
Streptococci) pada infeksi UKD ringan dan Aerobic gram positif, basil gram negatif
(Eschericia coli, Klebseila sp, Proteus sp.), Anaerob (Bacteroides sp.,
Peptostreptococcus) pada infeksi UKD yang dalam dan mengancam yang bersifat
polimikrobal.
Terdapat beberapa klasifikasi pada UKD yang bertujuan untuk memudahkan
rencana tatalaksana. Seperti sistem klasifikasi Wagner-Meggitt berdasarkan kedalaman
luka dan perluasan jaringan nekrosis, klasifikasi University of Texas berdasarkan
16
kedalaman ulkus dan adanya infeksi atau iskemia, dan klasifikasi PEDIS (Perfusion,
Extent, Depth, Infection, dan Sensation), serta sistem klasifikasi Diabetic Foot
Infection (DFI).
Diagnosis dari ulkus kaki diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan berdasarkan
faktor resiko pada ulkus kaki diabetik, dimulai dari identitas, usia dan jenis kelamin,
lamanya onset diabetes melitus, riwayat merokok, hipertensi, neuropati, trauma pada
kaki, adanya penyakit arteri perifer, kejadian ulkus kaki diabetik sebelumnya, dan
kepatuhan pasien dalam perawatan dan perlindungan kaki. Pemeriksaan fisik pada
pasien dimulai dari tanda-tanda fisik, pemeriksaan fisik menyeluruh dan sistematis
terutama pada ekstremitas bawah. Pemeriksaannya berupa pemeriksaan vaskuler
berupa palpasi pulsasi arteri femoral, poplitea, dorsalis pedis, dan tibialis posterior.
Bunyi bising (bruit) pada arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut pada
kaki, sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis iskemia, kedua kaki pucat pada saat kaki
diangkat setinggi jantung selama 1-2 menit. Pemeriksaan lain berupa pulse oksimetri,
pemeriksaan ankle brachial index (ABI) atau toe brachial index. Nilai ABI kurang dari
0,9 menandakan adanya obtruksi vaskuler dan skor yang kurang dari 0,4 menandakan
adanya nekrosis jaringan serta merupakan resiko yang siginifikan terjadinya amputasi
dan pemeriksaan menggunakan Doppler. Pemeriksaan vaskular ini juga disertai dengan
pemeriksaan neurologik, dermatologik, dan muskuloskeletal.
Pemeriksaan penunjang pada ulkus kaki diabetik berupa pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui kondisi klinis penderita DM dengan ulkus kaki
diabetik berupa pemeriksaan kadar gula darah puasa, gula darah acak, HbA1c, darah
lengkap, laju endap darah, kimia darah, C-reactive protein, fosfatase alkaline, kultur
darah dan luka, dan urinalisis sebagai monitoring status metabolik penderita.
Pemeriksaan kultur mikrobakterium pada sisi luka dilakukan untuk menentukan agen
kuman penyebab apabila terdapat infeksi. Pemeriksaan foto polos radiologi adalah
pemeriksaan imaging yang paling sering dipilih pada ulkus kaki diabetik karena
biayanya lebih murah dan mudah dikerjakan. Pemeriksaan ini dapat memberi informasi
17
adanya perubahan artropati, osteomielitis dan adanya pembentukan gas pada jaringan
lunak. Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah CT scan dan MRI yang
lebih sensitif dan spesifik dalam menilai perubahan pada jaringan lunak.
Prinsip tatalaksana yang diberlakukan mencakup pengendalian faktor
metabolik, infeksi, maupun vaskuler. Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus
diabetes adalah penutupan luka. Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar
ditentukan oleh derajat keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Kendali
metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah,
lipid, albumin, hemoglobin, dan sebagainya. Kendali vaskular, perbaikan asupan
vaskuler (dengan operasi atau angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus
iskemik. Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan
pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuh anorganisme pada
hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi). Kendali luka,
pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur dengan konsep TIME yaitu
Tissue control, Moisture balance, Epithelial edge advancement. Dasar dari perawatan
ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol infeksi.
Pembedahan pada ulkus kaki diabetik dapat berupah debridement, pembedahan
revisional, pembedahan vaskuler, dan skin graft. Serta, tatalaksana yang tidak kalah
penting adalah penyuluhan dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri, menjaga kebersihan kaki, memakai pelembab agar kulit tidak kering,
memakai alat pelindung kaki saat berjalan dan memeriksa keadaan kaki setiap hari agar
tidak menambah luka baru.
Pencegahan dilakukan melalui pemberian edukasi agar komplikasi-komplikasi
lain dari DM dapat dicegah dan agar pasien dapat memahami pentingnya keteraturan
mengonsumsi obat dan pengontrolan gula darah.
Prognosis pada penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil
penyembuhan ulkus cenderung baik namun dapat terjadi kekambuhan atau
pengulangan terjadinya ulkus kaki diabetik dan meningkatkan kejadian amputasi
ektremitas bawah serta penurunan kualitas hidup pasien
18
UPDATE IN ONKOLOGI EMERGENSI
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah
FK UNUD / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah
PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan di bidang onkologi masih perlu mendapatkan perhatikan.
Penanganan utama dari kegawatdarurtan onkologi bersifat life-treathening.
EPIDEMIOLOGI
Data Globacan menyebutkan terdapat 396.914 kasus kanker baru yang terdiagnosis
pada tahun 2020. Kasus kanker yang terbanyak dilaporkan pada laki-laki adalah kanker
paru, sedangkan pada wanita adalah kanker payudara.
ETIOLOGI
Penyebab dari kegawatdaruratan onkologi dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan
sistem organ yang terlibat, meliputi:
a. Single system : perdarahan, metastasis otak, obstruksi saluran nafas atas, sindrom
vena kava superior, kompresi spinal cord
b. Sistemik : febrile neutropenia, hiperkalsemia, sindrom hiperviskositas, Checkpoint
Inhibitor Releated Toxicity, SIADH, sindrom tumor lisis
19
Mekanisme
• Pelepasan parathyroid hormon related protein
• Sekresi hormon paratiroid ektopik
• Metastase Osteolitik
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala yang ditemukan pada pasien kanker dengan
hiperkalsemia dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala ringan dan gejala berat.
- Gejala ringan : mual, anoreksia/muntah, konstipasi, haus berlebih dan poliuria
- Gejala berat : dehidrasi berat, drowsiness, confusion dan koma, abnormalitas
neurologi dan aritmia jantung
20
Pada pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis jika di temukan Diagnosis
ditegakkan bila kadar Ca >2,6 mmol/l, Hiperkalsemia ringan < 3,0 mmol/l
asimptomatik dan tidak memerlukan terapi.
Penatalaksanaan
• Rehidrasi dengan NaCl 0.9%
• Infus Bisphosphonate (first line)
• Kortikosteroid dapat digunakan pada myeloma, limfoma, dan beberapa kanker
payudara
• Beberapa gejala (confusion) mengalami resolusi lebih lambat setelah kadar
kalsium telah Kembali normal
2. Pendarahan/Hemorrhage
Pendarahan yang signifikan pada pasien kanker biasanya diawali oleh episode
pendarahan minor yang dapat berhenti sendiri. Pendarahan berat dan signifikan secara
klinis dijumpai pada 6-10% pasien kanker stadium lanjut.
Etiologi :
- Tumour related:
21
• Kanker kepala leher : malignant neck ulceration erosi arteri mayor
• Kanker paru : haemoptysis
• Gastrointestinal : hematemesis, melena
• Urologi : hematuria, retensi clot
- Clotting failure:
• Kegagalan sumsum tulang
• Fenomena tromboemboli
• Komplikasi dari antikoagulan
- Treatment related:
• Kerusakan mukosa akibat OAINS dan steroid
• Trombositopenia yang diinduksi kemoterapi
Penatalaksanaan :
- ABC (airway, breathing, circulation)
- Pendarahan lokal:
pressure dressing
adrenalin 1:1000 soaked dressing
- Radioterapi
- Radiologi intervensi dengan teknik trombo-emboli
- Asam traneksamat 1 gram, 3x/hari
- Asam traneksamat cair sebagai agen topikal pada lesi dengan pendarahan persiten
- Mukosa gaster sucralfate dan PPI
22
Tabel 3. Etiologi Obstruksi Vena Kava Superior
Diagnosis :
Gejala yang dapat ditemukan :
- Bengkak pada leher dan lengan atas
- Dilatasi pada pembuluh darah di dada
- Batuk, sesak, orthopnea dapat di temukan pada saat anamnesis
- Beberapa gejala yang dapat di awasi stridor, edema pada laring, dan nyeri
kepala dan dapat di indikasikan menjadi edema serebral
Penegakan diagnosis pada pasien dengan obstruksi vena cava superior dilakuakn
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
- CT Scan dengan kontras pada thorax
- MRI dapat di kerjakan pada pasien yang intoleran terhadap kontras
- Venography
Penatalaksanaan :
• Immediate relief of symptoms!
• Inisiasi steroid dosis tinggi: Deksametason 10mg IV dilanjutkan 4-8mg IV/PO
• Rujuk ke pusat onkologi
Radioterapi
Stenting Superior Vena Cava dengan/atau tanpa trombolisis
23
Gambar 2. Alur penanganan obstruksi vena kava superior
24
Diagnosis:
Tanda dan gejala meliputi:
• Sakit tulang belakang atau leher yang berhubungan dengan kelemahan kaki
• Tanda bahaya: kelemahan motorik, kehilangan kendali untuk berkemih atau
defekasi, dan menurunnya sensasi peri-anal.
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan MRI, namun CT scan, x-ray, ataupun
myelografi juga dapat dilakukan jika terdapat kontraindikasi ataupun tidak tersedianya
MRI
Penatalaksanaan:
Pemberian kortikosteroid harus segera dilakukan jika terdapat kecurigaan ataupun telah
terdiagnosis SCC.
• Deksametason dapat menurunkan edema medula spinalis dan nyeri tulang belakang
dengan cepat, serta meningkatkan fungsi neurologis.
• Dosis : 10 mg IV diikuti dengan 4-8 mg/dosis, setiap 6 jam per IV ataupun PO.
25
“Emergency Surgical Management of Colorectal Cancer
Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD(K)
Divisi Bedah Digestive Departemen Ilmu Bedah FK UNUD / RSUP Prof. Dr.
I.G.N.G. Ngoerah
26
complete mesocolic excision (CME), dan central vascular ligation (CVL) sesuai
prinsip onkologi. Ada beberapa teknik reseksi tumor pada kanker kolorektal, antara lain
hemikolektomi dextra, extended hemikolektomi dextra, transversektomi,
hemikolektomi sinistra, sigmoidectomi, anterior reseksi (AR), low anterior reseksi
(LAR), ultra low anterior reseksi (ULAR), abdomino perineal resection (APR)/Miles.
Pada pasien dengan kondisi sepsis, penanganan sesuai dengan manajemen
sepsis, yaitu mencapai keadaan hemodinamik yang stabil, source control (obstruksi
atau peritonitis) dan pemberian antibiotika empiris. Untuk keadaan ileus obstruksi
akibat tumor colorectal, dapat dilakukan diversi (Illeostomy atau colostomy)
tergantung lokasi obstruksi.
27
UPDATE IN PEDIATRIC SURGICAL EMERGENCIES
dr. Kadek Deddy Ariyanta, Sp.B, Sp.BA, Subsp.D.A(K)
Kondisi gawat darurat bedah pediatrik merupakan sebuah gangguan bedah yang terjadi
pada kelompok usia pediatrik yang membutuhkan perawatan bedah darurat yang tepat
sebagai tatalaksana untuk menyelamatkan nyawa dan menghindari / meminimalkan
morbiditas. Terdapat beberapa kasus bedah pediatrik yang memerlukan tindakan
pembedahan segera seperti, intususepsi, apendisitis akut, hernia inguinal inkarserata,
gastroskisis dan omfalokel, atresia intestinal, malformasi anorektal, atresia esofagus,
serta eventrasio dan hernia diafragmatika. Kondisi kegawatdaruratan bedah pada
pediatrik ini memerlukan perawatan suportif dan perioperatif yang tepat dan berbeda
dengan kondisi pada pasien dewasa.
A. Intususepsi
Intususepsi merupakan sebuah kondisi masuknya bagian proksimal usus ke bagian
distal, sehingga menimbulkan gejala obstruksi hingga strangulasi usus dan
merupakan gawat darurat abdomen pada bedah anak. Instususepsi paling sering
terjadi pada usia 4 hingga 9 bulan. Terdapat trias tanda dan gejala pada intususepsi,
yaitu nyeri abdomen, perdarahan (red currant jelly stools), dan terabanya massa
abdomen. Pemeriksaan penunjang radiologis yang dapat dilakukan adalah foto
polos abdomen, dimana akan ditemukan gambaran obstruksi usus (distensi, air
fluid level, coiled spring, ataupun hearing bone), ultrasonografi (target sign atau
doughnut sign dan menentukan pathological lead point (PLP)), dan kontras enema
(cupping sign / meniscus sign) yang bisa disertai dengan reduksi hidrostatik.
Tatalaksana pada intususepsi dibagi menjadi non-operatif dan operatif. Tatalaksana
non-operatif berupa reduksi pneumatik ataupun reduksi hidrostatik. Namun, jika
28
tindakan ini tidak berhasil maka dilakukan tindakan operatif berupa laparotomi
eksplorasi yang diikuti dengan tindakan reduksi manual ataupun reseksi
anastomosis dan stoma, serta tindakan reduksi manual menggunakan laparoskopi.
B. Malformasi Anorektal
Malformasi anorektal (MAR) / atresia ani merupakan sebuah kondisi tidak
terbentuknya anus pada anak. Atresia ani dapat terjadi akibat kegagalan penurunan
septum anorektal pada fase embriologis. Keadaan ini ditandai dengan tidak
terdapatnya anus yang dapat disertai dengan atau tanpa fistula. Pemeriksaan
radiologis yang dapat dilakukan adalah foto abdomen dengan cara cross table
lateral film untuk menentukan tipe dari malformasi anorektal yang terjadi untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana pada kondisi ini bisa ditangani
dengan atau tanpa kolostomi sementara dengan tatalaksana definitif berupa postero
sagital anorektoplasti (PSARP). Berikut diagram tatalaksana malformasi anorektal
pada perempuan dan laki-laki.
29
Gambar 2. Algoritma Malformasi Anorektal pada Perempuan
C. Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan kondisi yang diakibatkan oleh peradangan pada apendiks
yang sering kali disebabkan oleh adanya obstruksi pada lumen apendiks. Kondisi ini
ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan dan nyeri periumbilikal yang akan
bermigrasi ke kuadran kanan bawah. Pada pemeriksaan darah akan ditemukan adanya
leukositosis serta peningkatan CRP dan prokalsitonin. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis berupa USG (penebalan dinding, berisi
cairan periapendik-perisekal, dan diameter >6 mm), CT scan, dan MRI. Tatalaksana
dapat dilakukan secara non-operatif, dimana tatalaksana non-operatif apendisitis pada
anak ketika pandemi COVID-19 mengalami peningkatan. Berdasarkan studi kohort
multisenter diberbagai negara dari 6014 pasien, 291 (4,8%) pasien diterapi secara non-
operatif namun memiliki resiko kegagalan dan memerlukan tindakan operasi pada 40
(13,8%) pasien. Tatalaksana operatif dapat dilakukan berupa tindakan apendektomi
secara terbuka ataupun laparoskopi.
D. Hernia Inguinal Inkarserata
30
Hernia inguinal inkarserata merupakan sebuah kondisi keluarnya organ
abdomen seperti usus akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis dan diikuti
dengan gangguan pasase/obstruksi sehingga dapat menimbulkan gejala seperti
obstipasi, distensi, dan muntah. Pasien akan datang dengan keluhan nyeri dan massa
pada inguinal yang tidak dapat tereduksi. Penanganan awal yang dapat dilakukan
adalah memposisikan pasien dalam posisi trendelenburg, melakukan reduksi manual
dengan sedasi, dan resusitasi cairan. Setelah dilakukan reduksi, disarankan untuk
menunggu selama 24-48 jam untuk menurunkan edema yang terjadi sebelum
dilakukannya operasi. Tatalaksana operatif yang dapat dilakukan adalah herniotomi
secara terbuka ataupun laparoskopi.
E. Omfalokel dan Gastroskisis
Defek dinding abdomen pada omfalokel dan gastroskisis disebabkan oleh
gangguan dalam migrasi sentral dari lateral fold dalam proses embriologi. Penanganan
awal pada gastroskisis adalah melakukan resusitasi cairan dan membungkus bayi
dengan plastik untuk mencegah hipotermia setelah kelahiran. Tatalaksana definitif pada
gastroskisis adalah penutupan primer dengan jahitan atau tanpa jahitan (dengan
penutupan menggunakan umbilical cord) ataupun dengan penutupan bertahap.
F. Atresia Intestinal
Atresia intestinal dapat terjadi pada berbagai lokasi seperti ileum (43,2%), jejunum
(31%), duodenum (20,9%), dan kolon (4,72%). Tanda dan gejala klasik dari atresia
31
intestinal adalah muntah bilier. Pemeriksaan penunjang radiologi yang dapat dilakukan
adalah babygram. Atresia duodenum ditandai dengan muntah (dengan atau tanpa
muntah kehijauan) tanpa distensi abdomen dan ditemukan tanda double buble sign
pada radiologis. Atresia jejunum dan ileum ditandai dengan muntah kehijauan dan
distensi abdomen, serta ditemukan multiple air fluid level dan distensi usus.
Penanganan awal yang dilakukan adalah resusitasi cairan yang disertai dengan koreksi
gangguan elektrolit dan dekompresi gaster. Setelah optimalisasi kondisi dapat diikuti
dengan duodeno-duodenostomi.
G. Atresia Esofagus
Atresia esofagus merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan pembentukan
esofagus pada proses embriologi yang dapat disertai atau tanpa fistula. Kondisi ini
terjadi pada setiap 2500-3000 kelahiran hidup. Tanda dan gejala yang terjadi berupa
hipersalivasi dan kegagalan dalam memasukkan selang nasogastrik (NGT) ke dalam
lambung. Babygram dilakukan untuk memastikan posisi dari (NGT). Atresia esofagus
sering disertai dengan malformasi lain seperti pada jantung (13-34%), vertebra (6-
21%), ekstremitas (5-19%), anorektal (10-16%), ginjal (5-14%). Penanganan awal
yang dapat dilakukan adalah pemasangan NGT berukuran 10 Fr pada esofagus bagian
atas dan diikuti dengan suction kontiniu. Tatalaksana definitif pada kasus ini adalah
anastomosis esofagus dan tutup fistula trakeoesofageal melalui torakotomi atau
torakoskopi.
H. Hernia Diafragmatika
Hernia diafragmatika terjadi akibat adanya defek pada diafragma sehingga
terjadi protrusi organ abdomen ke dalam rongga toraks. Kondisi ini ditandai dengan
distres pernafasan (takipnea, retraksi dinding dada, dan sianosis) dan bising usus yang
terauskultasi pada rongga toraks. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto
toraks, dimana akan didapatkan loop usus ataupun gaster yang masuk ke dalam tongga
toraks. Penanganan awal yang dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi bayi dengan
distres kardiopulmoner diikuti dengan repair hernia diafragma yang dapat dilakukan
secara transtorakal ataupun transabdominal.
32
I. Eventrasio Diafragma
Eventrasio diafragma merupakan sebuah kondisi dimana terjadi elevasi
abnormal dari diafragma yang disebabkan oleh kelainan kongenital pada anak. Tanda
dan gejala yang dapat terjadi adalah sesak nafas, infeksi saluran nafas berulang, mengi,
intoleransi dalam pemberian makan yang disebabkan oleh diskordinasi antara
menghisap dan bernafas. Pemeriksaan penunjang foto toraks akan menunjukkan hasil
elevasi hemidiafragma dari bagian yang terkena, serta dapat dilakukan pemeriksaan
usg dan fluroskopi. Tatalaksana operatif yang dapat dilakukan adalah plikasi
diafragma.
33
MANAGEMENT OF THORACIC EMERGENCIES
34
Tanda : dyspneu, hilangnya bunyi nafas, sianosis, asimetri thoraks, mediastinal
shift kontralateral, peningkatan JVP
Ro Thoraks (hanya bila pasien stabil) : Pneumothorax, mediastinal shift
Tatalaksana : dekompresi dengan large bore needle pada ICS V anterior
axillary line, WSD.
c. Perdarahan masif intra thorak (hemothorax massive)
Akumulasi perdarahan pada rongga thorak akibat trauma tumpul ataupun
trauma tembus pada dada. Sumber perdarahan umumnya berasal dari a.
interkostalis atau a. mammaria interna.
Tanda : dyspneu, penampakan syok, hilangnya bunyi nafas, perkusi pekak,
hipotensi
Ro Thoraks : opasifikasi hemithorak atau efusi pleura
Indikasi operasi open thorakotomi cito:
- Initial bleeding > 750cc, pada pemasangan WSD < 4 jam sejak onset trauma
- Produksi WSD ≥ 200cc dalam 3 jam berturut-turut
Indikasi pencabutan WSD :
- Produksi < 50cc / hari selama 3 hari berturut – turut
- Pengembangan paru maksimal, Undulasi negative / minimal
- Fungsi WSD terhambat (karena clot, sumbatan dsb)
d. Cardiac tamponade
Tanda : dyspneu, trias Beck (hipotensi, distensi vena leher, suara jantung
menjauh)
Ro thoraks : pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat
e. Ruptur aorta
Tanda : tidak spesifik, syok
Ro Thoraks : pelebaran mediastinum, penyempitan trakea, efusi pleura
f. Ruptur tracheobronchiale
Pada trauma tumpul, rupture terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat
peningkatan tekanan yang hebat dan mendadak dari saluran trakeobronkial.
35
Lokasi tersering akibat trauma tumpul pada iga 1 s.d 3 dengan letak ruptur pada
karina dan percabangan bronkus
Tanda : dyspneu, batuk darah
Ro thoraks : tidak spesifik, dapat pneumothoraks, hilangnya air bronchogram
g. Ruptur diafragma
Ruptur diafragma umumnya terjadi di puncak kubah diafragma (sentral)
ataupun dapat kita curigai bila terdapat luka tusuk pada bawah dari ICS 4
anterior, ICS 6 lateral, ICS 8 posterior.
Tanda : distress nafas yang progresif, bising usus pada kavum thoracal jika
terdapat konten intestinal
Ro thoraks : gastric air bubble di thoraks, fraktur iga terbawah, mediastinal
shift
Tatalaksana : thorakotomi eksplorasi
h. Flail chest
Tanda : Gerakan paradoksal dinding dada, dyspneu, syok, sianosis
Ro Thorak : fraktur iga multiple, kontusio paru, pneumothorak, efusi pleura
Indikasi operasi :
- Bersamaan dengan indikasi prosedur torakotomi lainnya (hematothorak
massif dsb)
- Gagal weaning ventilator , nyeri hebat
- Mencegah prolonged ICU / hospital stay
Tatalaksana : clipping costae untuk stabilisasi area “flail”
i. Perforasi esofagus
Tanda : nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal
Ro thorak : udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal space, pelebaran
mediastinum, efusi pleura, pneumothorak
Diagnostik esofagografi
Tatalaksana : thorakotomi eksplorasi
36
UPDATE IN SURGICAL TRAUMA MANAGEMENT
37
tekanan darah.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
• Radiologi: Foto cervical lateral, thoraks AP, dan pelvis AP.
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage).
Evaluasi
Setelah penanganan awal, dilakukan evaluasi ulang mulai primary survey sampai
didapatkan kondisi pasien yang stabil. Setelah kondisi stabil, barulah dilakukan
secondary survey. Bila kondisi pasien belum stabil, maka perlu dilakukan damaged
surgical resuscitation
Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki (head to toe
examination) yang dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pada
pasien dengan trauma yang mengancam nyawa, secondary survey dikerjakan setelah
damaged surgical resuscitation. Anamnesis pada secondary survey meliputi riwayat
Mode of Injury (MOI) dan AMPLE.
38