Anda di halaman 1dari 39

P-ISSN : XXXX – XXXX

Prosiding Book

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan

Departemen Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2023

Surgical Emergency Update in New Normal Era

Vol 1, 2023
May 28th 2023

2
P-ISSN : XXXX – XXXX

Prosiding Book Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Daftar Isi

Halaman Judul.................................................................................................. 2
Daftar Isi ...........................................................................................................3
Dewan Redaksi .................................................................................................4
Kata Pembuka ..................................................................................................5
Kata Pengantar ..................................................................................................6
Susunan Panitia .................................................................................................8
Susunan Acara .................................................................................................10
Isi ..................................................................................................................... 11
Update in Burn Injury .....................................................................................13
Update in Epidural Hematoma .......................................................................14
Diabetic Foot Ulcer ........................................................................................15
Update in Oncology Emergency Management................................................21
Emergency Surgical Management of Colorectal Cancer ...............................32
Update in Pediatric Surgical Emergencies .....................................................39
Management of Thoracic Emergencies ...........................................................44
Update in Surgical Trauma Management .......................................................48
Penutup............................................................................................................56

3
Prosiding Book Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dewan Redaksi

Ketua Editor
dr. I Made Darmajaya, Sp.B, Sp.BA, Subsp. D.A.(K), MARS

Peninjau
Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD(K)

Ketua Acara
dr. A. A Gde Agung Anom Arie Wiradana, Sp.B

Anggota
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS, Subsp. N-Ped
Dr. dr. I Gusti Putu Hendra Sanjaya, Sp.B.P.R.E, Subsp.L.B.L(K)
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
dr. I Gusti Agung Bagus Krisna Wibawa, Sp.B, Subsp. BVE(K)
dr. Ketut Wiargitha, Sp.B(K)Trauma
dr. Kadek Deddy Ariyanta, Sp.B, Sp.BA, Subsp. DA(K)
dr. I Komang Adhi Parama Harta, Sp.BTKV, Subsp.JD(K)
Kata Pembuka

dr. I Made Darmajaya, Sp.B, Sp.BA, Subsp. D.A.(K),


MARS
dilahirkan di Denpasar pada tanggal 20 November 1970,
lulus pendidikan dokter umum pada tahun 1992 dan
mendapatkan gelar spesialis Bedah umum pada tahun 2005
di FK Universitas Udayana Bali.
Selanjutnya beliau melanjutkan ke jenjang konsultan dan
lulus pada tahun 2007, beliau mengembangkan minat pada Pendidikan
Subspesialisasi Bedah Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan
langsung menjadi staf bagian Bedah Anak FK Universitas Udayana – RSUP Prof
Dr.dr Ngoerah. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Departemen Ilmu Bedah
RSUP Prof Dr. I.G.N.G Ngoerah sejak tahun 2022.
Beliau aktif mengembangkan keilmuan Bedah Anak mengikuti berbagai
fellowship ataupun pendidikan berkelanjutan lainnya di berbagai pusat pendidikan
baik di dalam ataupun luar negeri
Berdasarkan pengalaman beliau, menangani kasus-kasus bedah akut baik
trauma maupun non trauma memiliki banyak tantangan, tidak hanya dalam
mendiagnosis, menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat dan efisien tetapi
juga pertimbangan terapi. Pemeriksaan yang cepat, tepat dan efisien serta
mengantisipasi pitfall yang dapat terjadi, akan sangat mempengaruhi penanganan
sehingga outcome pasien menjadi lebih baik.
Oleh karena itu beliau mengadakan pertemuan PKB Bedah 2023 untuk
menambah wawasan terhadap penanganan di bidang Ilmu Bedah.
Om Swastiastu, Assalamu'alaikum Wr. Wb, Namo Buddhaya, Shalom, Salam
Sejahtera.
Pendidikan ilmu bedah telah berkembang dengan cepat seiring dengan
perkembangan jaman baik dari aspek teoritis hingga tindak lanjut dari penanganan
yang mengacu pada karakteristik kasus dari setiap pasien. Untuk menghadapi
perkembangan ini, tenaga medis baik dokter umum maupun dokter bedah harus
terus mengembangkan diri dengan mengikuti pertemuan ilmiah dan diskusi kasus
bedah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pengambilan keputusan
dalam pembedahan. Pengetahuan bedah yang dipahami dengan baik dapat
meningkatkan penilaian klinis dan memaksimalkan perawatan pasien.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan merupakan pertemuan ilmiah tahunan
di bidang ilmu bedah yang telah lama ada. Sebelum pandemi, pertemuan ini rutin
dilaksanakan tiap tahunnya dan sempat diadakan secara daring (online) oleh karena
pandemi COVID-19. Mengingat menurunnya kasus COVID-19 dan situasi saat ini
yang telah kondusif, maka kegiatan ini kembali diadakan secara offline dan
diharapkan dapat meningkatkan keilmuan serta menyambungkan kembali tali
silaturahmi di bidang ilmu bedah.
Selain itu dengan begitu padatnya kegiatan yang dijalani selama ini, diharapkan
pendidikan kedokteran berkelanjutan dapat menjadi ajang refreshing yang sangat
dinanti-nanti untuk menyegarkan pikiran maupun sebagai sarana untuk menambah
dan mengembangkan keilmuan di bidang bedah.

Kepala Departemen Ilmu Bedah RSUP Prof Dr. I.G.N.G Ngoerah


dr. I Made Darmajaya, Sp.B, Sp.BA, Subsp. D.A.(K), MARS
Kata Pengantar

Aspek teori dan praktik keilmuan bedah telah berkembang secara signifikan
seiring dengan perkembangan jaman. Berbagai penelitian dan teknologi telah
dikembangkan demi mencapai penanganan dan outcome pasien yang lebih baik.
Prognosis pasien dengan kasus-kasus bedah akut baik trauma dan non
trauma sangat dipengaruhi oleh waktu dari penanganan. Pemilihan pemeriksaan
penunjang, penegakan diagnosis, serta penentuan terapi yang cepat dan tepat akan
memperbaiki outcome pasien. Seorang tenaga medis terutama dokter bedah perlu
memahami dan mengantisipasi pitfall mungkin dapat terjadi pada kasus bedah akut.
Untuk tetap mengikuti perkembangan, maka diadakanlah Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah sebagai ajang bagi para dokter umum
maupun dokter bedah untuk memperbaharui keilmuannya. Pertemuan PKB Bedah
2023 kali ini akan menyuguhkan materi yang menarik dan terbaru tentang kegawat
daruratan di bidang bedah.

Hormat kami,
Panitia Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan 2023
SUSUNAN PANITIA

Pengarah : Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes


Penanggung jawab : dr. I Made Darmajaya, Sp.B, Sp.BA, Subsp. DA(K),
MARS
: Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD(K)
Ketua Panitia : dr. A. A Gde Agung Anom Arie Wiradana, Sp.B
Wakil Ketua : dr. IGM Dwi Arya Paramaharta
Sekretaris :
dr. Putu Astri Novianti, M.Biomed, Sp.B
dr. Jessica Benedick
Bendahara :
Dr. dr. Made Agus Dwianthara Sueta, Sp.B, Subsp. BD(K)
dr. Febria Valentine Aritonang

Koordinator Residen : dr. I Wayan Suwarna

Sie Kesekretariatan :
dr. I Gede Budhi Setiawan, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Koordinator: dr. I Made Kasmadi Gunawan
Anggota:
dr. Ida Bagus Putra Ambara
dr. Felicia Adelia Shannen
dr. Pande Ayu Kirana Dewi
dr. Eka Pranatalenta

Sie Konsumsi dan Rohani:


dr. Ni Gst. Ayu Agung Manik Yuniawaty Wetan, Sp.B,Subsp. Onk (K)
Koordinator:
dr. I Komang Botha Wikarama
Anggota:
dr. Putu Teja Laksana Nukana
dr. Made Ayu Laksmi Ratmayanti
dr. Tomy Anditia tarigan
dr. Birgitta Stella Dewi Hamzah

Sie Perlengkapan :
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Koordinator: dr. Tri Widianto
Anggota:
dr. A. A. Kade Ari Sanjaya
dr. Made Bagus Ari Pandita
dr. I Putu Ramanda Suadnyana
dr. Oliev Gohantanadha Tambunan
dr. Reynold Yusmar Paulus Benu

Sie Ilmiah&Acara :
dr. Hendry Irawan, M.Biomed, Sp.B, Subsp. Onk(K)
Koordinator: dr. Ovamelia Julio
Anggota:
dr. I Dewa Ketut Gede Herry Oka
dr. Stacia Novia Marta
dr. Francis Noor Yanong Celeste
dr. Ni Putu Ruspata Bhyantari
dr. Stephen Utama Candinegara
dr. I Putu Ardinata
dr. Krenni Sepa
dr. Reinaldo Cendana
dr. I Nyoman Marsel Rama Rama Grandita Bhaktiyasa
dr. I Gede Ryan Arditayasa

Sie Penggalian Dana :


dr. I Putu Ari Gunawan, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Koordinator: dr. Adam Destra Kenan Sandan

9
Anggota:
dr. I Gede Arya Eka Wibawa
dr. I Made Surya Wijaya
dr. Aditya Permana Adriyanto
dr. I Made Maha Prasetya
dr. Petrus Prasetyo Boleng
dr. Sanjaya Soebagio

Sie Transportasi dan Akomodasi:


dr. Ida Bagus Budiarta, Sp.B, Subsp. BVE(K)
Koordinator: dr. Chriscahya Wibisana Candra
Anggota:
dr. I Made Purnawan
dr. I Dewa Gede Purwakatamayasa
dr. Komang Abdi Baskara Mayun
dr. Basri Nelson Manurung

Sie Produksi dan Dokumentasi:


dr. I Komang Weka, Sp.B
Koordinator: dr. Ryan Fernandi
Anggota:
dr. Andrey Gunawan
dr. I Wayan Satwika Adhikara
dr. Stephen William Soeseno
dr. Made Jayawisesa Priyambhada Putra

10
SUSUNAN ACARA
SIMPOSIUM PKB ILMU BEDAH
28 MEI 2023

Tempat : Hotel Aston Denpasar


Waktu : 28 Mei 2023
Acara : PKB 2023 : “Surgical Emergency Update in New Normal Era”

08.00 - 08.30 Registrasi Peserta


08.30 - 09.10 Pembukaan dan Kata Sambutan
Simposium Sesi I
Moderator : dr. Putu Astri Novianti, M.Biomed, Sp.B
09.10 - 09.25 Etika dan Patient Safety
09.25 - 09.45 Surgical Oncology Emergencies
Oleh dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
09.45 - 10.10 Update in Surgical Trauma Management
Oleh dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B(K) Trauma, FINACS
09.10 - 10.35 Management of Thoracic Emergencies
Oleh dr. I Komang Adhi Parama Harta, Sp. BTKV, Subsp. JD(K), FICS
10.35 - 10.55 Plenary discussion
10.55 – 11.05 Coffe break
Simposium Sesi II
Moderator : dr. Hendry Irawan, Sp.B, Subsp. Onk(K)
11.05 - 11.25 Update in Pediatric Surgical Emergencies
Oleh dr. Kadek Deddy Ariyanta, Sp. B, Sp.BA, Subsp. D.A. (K)
11.25 - 11.45 Management of Diabetic Foot Ulcer
Oleh dr. I Gusti Agung Bagus Krisna Wibawa, Sp.B, Subsp. BVE (K)
11.45 - 12.05 Update in Burn Injury
Oleh Dr. dr. I Gusti Putu Hendra Sanjaya, Sp. B, Sp. B.P.R.E., Subsp. L.B.L.
(K)
12.05 - 12.25 Plenary discussion
12.25 – 13.25 Lunch
Simposium Sesi III
Moderator : dr. A.A Gde Agung Anom Arie Wiradana, Sp.B
13.25 - 13.45 Update in Epidural Hematoma
Oleh Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp. BS, Subsp. N-Ped
11.25 - 11.45 Management of Diabetic Foot Ulcer
Oleh dr. I Gusti Agung Bagus Krisna Wibawa, Sp.B, Subsp. BVE (K)
11.45 - 14.05 Emergency Surgical Management of Colorectal Cancer
Oleh Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD (K)
14.05 - 14.25 Plenary discussion
14.25 - 14.30 Penutupan

12
UPDATE IN BURN INJURY

Dr. dr. I Gusti Putu Hendra Sanjaya, Sp.B., Sp.B.P.R.E., Subsp.L.B.L.(K)

Divisi Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Luka bakar merupakan suatu kondisi trauma yang dapat memicu respon lokal
dan sistemik sekaligus. Luka bakar memiliki dampak langsung berupa kondisi nyeri,
hipovolemia, serta hipermetabolik. Selain itu luka bakar juga memiliki efek pasca
cedera berupa sindrom distress pernapasan akut yang dapat mengancam nyawa pasien
bila tidak ditangani dengan tepat. Kriteria perujukan ke unit luka bakar
sangatlah penting untuk diketahui untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.
Penanganan awal luka bakar bertujuan untuk menghentikan proses pembakaran
dan mencegah cedera lebih jauh dengan stop, drop, cover dilanjutkan dengan
mendinginkan luka dengan air mengalir, diikuti dengan menyelimuti pasien untuk
mencegah hipotermia.
Pada saat meghadapi suatu kasus dengan luka bakar, kecakapan dalam
melakukan primary dan secondary survey serta melakukan tatalaksana kondisi yang
ditemui sangatlah penting dalam menentukan keselamatan pasien. Identifikasi terhadap
faktor risiko terjadinya trauma inhalasi akan membantu meningkatkan kewaspadaan
terhadap ancaman pada saluran napas yang dapat berakibat fatal.
Penilaian luas luka bakar yang tepat dan akurat akan membantu memberikan
topangan cairan yang presisi bagi pasien. Penilaian luas luka dapat dilakukan dengan
teknik rules of nine, permukaan telapak tangan pasien, atau dengan pediatric rules of
nine. Penilaian kedalaman luka bakar yang tepat juga sangat penting dalam
menentukan tindakan awal dan lanjutan yang akan diberikan kepada pasien.
Kunci utama dalam penanganan luka bakar adalah penilaian kegawatdaruratan,
resusitasi tepat dan akurat, serta perujukan yang sesuai ke Unit Luka Bakar. Dalam

13
pelaksanaan protokol ini diperlukan suatu kerja tim yang efektif mulai dari prehospital,
Unit Gawat Darurat, hingga pasien dirawat pada Unit Luka Bakar.

14
UPDATE IN EPIDURAL HEMATOMA

Prof. Dr. dr Sri Maliawan, Sp.BS, Subsp. N-Ped (K), FICS

Divisi Bedah Saraf


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Epidural hematoma (EDH) adalah akumulasi clot darah antara tulang calvarial
dan duramater dengan ukuran kecil atau cukup besar sehingga menjadi ruang yang
terdapat hematom dan dapat mengancam jiwa.
Patofisiologi EDH yang dimulai dari benturan langsung pada kepala akan
menyebabkan pergerakan relatif antara tulang dan duramater sehingga duramater
menjauh dari tulang membentuk ruang kosong pada epidural. Jika ada perdarahan yang
berasal dari arteri meningeal media atau percabangannya, perdarahan pada diploic vein
akan menumpuk sehingga mengisi ruang. Volume EDH tergantung pada seberapa lebar
ruang kosong epidural yang terjadi.
EDH bukan karena pecahnya arteri meningeal tengah dan percabangannya saja,
asal EDH adalah pembentukan ruang kosong pada epidural yang di hubungkan dengan
cedera kepala.
Pembedahan harus dilakukan sesegera mungkin, dan teknik pembedahan
tergantung pada ketersediaan sumber daya, poin kuncinya adalah jangan menunda.
Konsep operasi, Operasi mayor (operasi esensial atau operasi yang mengancam
jiwa) bertujuan untuk mengevakuasi hematoma dan operasi minor (operasi non
esensial) bertujuan untuk menahan perdarahan dan menutup ruang epidural kosong
dengan cara apapun.

15
DIABETIC FOOT ULCER

dr. IGAB Krisna Wibawa, Sp.B, Subsp.BVE(K)

Divisi Bedah Vaskular


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Diabetic Foot Ulcer (DFU) atau ulkus kaki diabetik (UKD) adalah salah satu
komplikasi kronis yang sering dijumpai pada kejadian Diabetes Melitus (DM). Faktor
risiko terjadi ulkus kaki diabetik pada penderita penyakit DM adalah jenis kelamin laki-
laki sebesar 56,3%, usia ≥45 tahun, merokok, hipertensi, lama terkena DM, neuropati,
adanya penyakit arteri perifer (PAD), trauma ataupun deformitas pada kaki, dan
riwayat ulkus kaki diabetik sebelumnya.
Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh triad klasik dari neuropati, iskemia, dan
infeksi. Neuropati perifer menyebabkan gangguan pada saraf sensorik, motorik, dan
otonomik. Penderita dengan gangguan saraf sensorik berisiko 7 kali menderita UKD
karena penderita kurang peka terhadap nyeri, ulkus, dan infeksi. Dengan adanya
gangguan aliran arteri menyebabkan gangguan perfusi sehingga proses penyembuhan
UKD yang lama dan meningkatkan infeksi karena kekurangan oksigenasi perifer dan
kesulitan antibiotik ke lokasi infeksi. Pada infeksi, dapat ditemukannya kuman
penyebab infeksi pada UKD seperti aerobic gram positif (Staphylococcus aureus,
Streptococci) pada infeksi UKD ringan dan Aerobic gram positif, basil gram negatif
(Eschericia coli, Klebseila sp, Proteus sp.), Anaerob (Bacteroides sp.,
Peptostreptococcus) pada infeksi UKD yang dalam dan mengancam yang bersifat
polimikrobal.
Terdapat beberapa klasifikasi pada UKD yang bertujuan untuk memudahkan
rencana tatalaksana. Seperti sistem klasifikasi Wagner-Meggitt berdasarkan kedalaman
luka dan perluasan jaringan nekrosis, klasifikasi University of Texas berdasarkan

16
kedalaman ulkus dan adanya infeksi atau iskemia, dan klasifikasi PEDIS (Perfusion,
Extent, Depth, Infection, dan Sensation), serta sistem klasifikasi Diabetic Foot
Infection (DFI).
Diagnosis dari ulkus kaki diabetik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan berdasarkan
faktor resiko pada ulkus kaki diabetik, dimulai dari identitas, usia dan jenis kelamin,
lamanya onset diabetes melitus, riwayat merokok, hipertensi, neuropati, trauma pada
kaki, adanya penyakit arteri perifer, kejadian ulkus kaki diabetik sebelumnya, dan
kepatuhan pasien dalam perawatan dan perlindungan kaki. Pemeriksaan fisik pada
pasien dimulai dari tanda-tanda fisik, pemeriksaan fisik menyeluruh dan sistematis
terutama pada ekstremitas bawah. Pemeriksaannya berupa pemeriksaan vaskuler
berupa palpasi pulsasi arteri femoral, poplitea, dorsalis pedis, dan tibialis posterior.
Bunyi bising (bruit) pada arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut pada
kaki, sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis iskemia, kedua kaki pucat pada saat kaki
diangkat setinggi jantung selama 1-2 menit. Pemeriksaan lain berupa pulse oksimetri,
pemeriksaan ankle brachial index (ABI) atau toe brachial index. Nilai ABI kurang dari
0,9 menandakan adanya obtruksi vaskuler dan skor yang kurang dari 0,4 menandakan
adanya nekrosis jaringan serta merupakan resiko yang siginifikan terjadinya amputasi
dan pemeriksaan menggunakan Doppler. Pemeriksaan vaskular ini juga disertai dengan
pemeriksaan neurologik, dermatologik, dan muskuloskeletal.
Pemeriksaan penunjang pada ulkus kaki diabetik berupa pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui kondisi klinis penderita DM dengan ulkus kaki
diabetik berupa pemeriksaan kadar gula darah puasa, gula darah acak, HbA1c, darah
lengkap, laju endap darah, kimia darah, C-reactive protein, fosfatase alkaline, kultur
darah dan luka, dan urinalisis sebagai monitoring status metabolik penderita.
Pemeriksaan kultur mikrobakterium pada sisi luka dilakukan untuk menentukan agen
kuman penyebab apabila terdapat infeksi. Pemeriksaan foto polos radiologi adalah
pemeriksaan imaging yang paling sering dipilih pada ulkus kaki diabetik karena
biayanya lebih murah dan mudah dikerjakan. Pemeriksaan ini dapat memberi informasi

17
adanya perubahan artropati, osteomielitis dan adanya pembentukan gas pada jaringan
lunak. Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah CT scan dan MRI yang
lebih sensitif dan spesifik dalam menilai perubahan pada jaringan lunak.
Prinsip tatalaksana yang diberlakukan mencakup pengendalian faktor
metabolik, infeksi, maupun vaskuler. Tujuan utama dalam penatalaksanaan ulkus
diabetes adalah penutupan luka. Penatalaksanaan ulkus diabetes secara garis besar
ditentukan oleh derajat keparahan ulkus, vaskularisasi dan adanya infeksi. Kendali
metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah,
lipid, albumin, hemoglobin, dan sebagainya. Kendali vaskular, perbaikan asupan
vaskuler (dengan operasi atau angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus
iskemik. Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan
pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuh anorganisme pada
hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi). Kendali luka,
pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur dengan konsep TIME yaitu
Tissue control, Moisture balance, Epithelial edge advancement. Dasar dari perawatan
ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol infeksi.
Pembedahan pada ulkus kaki diabetik dapat berupah debridement, pembedahan
revisional, pembedahan vaskuler, dan skin graft. Serta, tatalaksana yang tidak kalah
penting adalah penyuluhan dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri, menjaga kebersihan kaki, memakai pelembab agar kulit tidak kering,
memakai alat pelindung kaki saat berjalan dan memeriksa keadaan kaki setiap hari agar
tidak menambah luka baru.
Pencegahan dilakukan melalui pemberian edukasi agar komplikasi-komplikasi
lain dari DM dapat dicegah dan agar pasien dapat memahami pentingnya keteraturan
mengonsumsi obat dan pengontrolan gula darah.
Prognosis pada penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil
penyembuhan ulkus cenderung baik namun dapat terjadi kekambuhan atau
pengulangan terjadinya ulkus kaki diabetik dan meningkatkan kejadian amputasi
ektremitas bawah serta penurunan kualitas hidup pasien

18
UPDATE IN ONKOLOGI EMERGENSI
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B, Subsp.Onk(K)
Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah
FK UNUD / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

PENDAHULUAN
Kegawatdaruratan di bidang onkologi masih perlu mendapatkan perhatikan.
Penanganan utama dari kegawatdarurtan onkologi bersifat life-treathening.

EPIDEMIOLOGI
Data Globacan menyebutkan terdapat 396.914 kasus kanker baru yang terdiagnosis
pada tahun 2020. Kasus kanker yang terbanyak dilaporkan pada laki-laki adalah kanker
paru, sedangkan pada wanita adalah kanker payudara.

ETIOLOGI
Penyebab dari kegawatdaruratan onkologi dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan
sistem organ yang terlibat, meliputi:
a. Single system : perdarahan, metastasis otak, obstruksi saluran nafas atas, sindrom
vena kava superior, kompresi spinal cord
b. Sistemik : febrile neutropenia, hiperkalsemia, sindrom hiperviskositas, Checkpoint
Inhibitor Releated Toxicity, SIADH, sindrom tumor lisis

1. Hiperkalsemia pada keganasan


Hiperkalsemia merupakan suatu kegawatdaruratan pada keganasan yang paling sering
terjadi. Sebanyak 20-30% pasien kanker mengalami hiperkalsemia. Jenis kanker yang
sering mengalami hiperkalsemia adalah multipel myeloma dan kanker payudara.
Sebanyak 80% kasus dengan malignant hiperkalsemia dapat bertahan hidup kurang
dari 1 tahun. Terapi dapat diberikan jika gejala menimbulkan distress dan memiliki
prognosis yang baik.

19
Mekanisme
• Pelepasan parathyroid hormon related protein
• Sekresi hormon paratiroid ektopik
• Metastase Osteolitik

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala yang ditemukan pada pasien kanker dengan
hiperkalsemia dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala ringan dan gejala berat.
- Gejala ringan : mual, anoreksia/muntah, konstipasi, haus berlebih dan poliuria
- Gejala berat : dehidrasi berat, drowsiness, confusion dan koma, abnormalitas
neurologi dan aritmia jantung

20
Pada pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis jika di temukan Diagnosis
ditegakkan bila kadar Ca >2,6 mmol/l, Hiperkalsemia ringan < 3,0 mmol/l 
asimptomatik dan tidak memerlukan terapi.

Penatalaksanaan
• Rehidrasi dengan NaCl 0.9%
• Infus Bisphosphonate (first line)
• Kortikosteroid dapat digunakan pada myeloma, limfoma, dan beberapa kanker
payudara
• Beberapa gejala (confusion) mengalami resolusi lebih lambat setelah kadar
kalsium telah Kembali normal

Tabel 2. Pilihan agen dalam pengobatan hiperkalsemia

2. Pendarahan/Hemorrhage
Pendarahan yang signifikan pada pasien kanker biasanya diawali oleh episode
pendarahan minor yang dapat berhenti sendiri. Pendarahan berat dan signifikan secara
klinis dijumpai pada 6-10% pasien kanker stadium lanjut.
Etiologi :
- Tumour related:

21
• Kanker kepala leher : malignant neck ulceration  erosi arteri mayor
• Kanker paru : haemoptysis
• Gastrointestinal : hematemesis, melena
• Urologi : hematuria, retensi clot
- Clotting failure:
• Kegagalan sumsum tulang
• Fenomena tromboemboli
• Komplikasi dari antikoagulan
- Treatment related:
• Kerusakan mukosa akibat OAINS dan steroid
• Trombositopenia yang diinduksi kemoterapi

Penatalaksanaan :
- ABC (airway, breathing, circulation)
- Pendarahan lokal:
 pressure dressing
 adrenalin 1:1000 soaked dressing
- Radioterapi
- Radiologi intervensi dengan teknik trombo-emboli
- Asam traneksamat 1 gram, 3x/hari
- Asam traneksamat cair sebagai agen topikal pada lesi dengan pendarahan persiten
- Mukosa gaster  sucralfate dan PPI

3. Obstruksi Superior Vena Cava


Obstruksi vena kava superior dapat didefiniskan sebagai obstruksi parsial atau total
aliran darah dari vena kava superior ke atrium kanan. Beberapa penyebab obstruksi
adalah kompresi pembuluh darah, invasi, dan trombosis atau fibrosis. Kanker paru dan
limfoma non-Hodgkin merupakan penyebab tersering.

22
Tabel 3. Etiologi Obstruksi Vena Kava Superior

Diagnosis :
Gejala yang dapat ditemukan :
- Bengkak pada leher dan lengan atas
- Dilatasi pada pembuluh darah di dada
- Batuk, sesak, orthopnea dapat di temukan pada saat anamnesis
- Beberapa gejala yang dapat di awasi  stridor, edema pada laring, dan nyeri
kepala dan dapat di indikasikan menjadi edema serebral

Penegakan diagnosis pada pasien dengan obstruksi vena cava superior dilakuakn
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
- CT Scan dengan kontras pada thorax
- MRI dapat di kerjakan pada pasien yang intoleran terhadap kontras
- Venography

Penatalaksanaan :
• Immediate relief of symptoms!
• Inisiasi steroid dosis tinggi: Deksametason 10mg IV dilanjutkan 4-8mg IV/PO
• Rujuk ke pusat onkologi
 Radioterapi
 Stenting Superior Vena Cava dengan/atau tanpa trombolisis

23
Gambar 2. Alur penanganan obstruksi vena kava superior

4. Spinal Cord Compression


Etiologi:
• Metastasis kanker prostat, payudara, dan paru sebanyak 15-20% kasus.
• Kanker lain seperti limfoma non-Hodgkin, myeloma, renal cell carcinoma, kanker
kolorektal, dan sarkoma sebanyak 5-10% kasus.

Gambar 4. Kompresi pada Spinal Cord

24
Diagnosis:
Tanda dan gejala meliputi:
• Sakit tulang belakang atau leher yang berhubungan dengan kelemahan kaki
• Tanda bahaya: kelemahan motorik, kehilangan kendali untuk berkemih atau
defekasi, dan menurunnya sensasi peri-anal.
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan MRI, namun CT scan, x-ray, ataupun
myelografi juga dapat dilakukan jika terdapat kontraindikasi ataupun tidak tersedianya
MRI

Penatalaksanaan:
Pemberian kortikosteroid harus segera dilakukan jika terdapat kecurigaan ataupun telah
terdiagnosis SCC.
• Deksametason dapat menurunkan edema medula spinalis dan nyeri tulang belakang
dengan cepat, serta meningkatkan fungsi neurologis.
• Dosis : 10 mg IV diikuti dengan 4-8 mg/dosis, setiap 6 jam per IV ataupun PO.

Gambar 5. Alur Penatalaksanaan Kompresi Spinal Cord

25
“Emergency Surgical Management of Colorectal Cancer
Dr. dr. I Made Mulyawan, Sp.B, Subsp. BD(K)
Divisi Bedah Digestive Departemen Ilmu Bedah FK UNUD / RSUP Prof. Dr.
I.G.N.G. Ngoerah

Kanker kolorektal merupakan salah satu keganasan tersering di dunia. Penyakit


ini umumnya terjadi pada usia 50 tahun ke atas. Diperkirakan angka kejadian kanker
kolorektal akan terus bertambah hingga 2,5 juta kasus pada tahun 2035. Berdasarkan
lokasi, kanker kolorektal dibedakan menjadi kanker kolorektal sisi kanan, sisi kiri, dan
rektum. Pembagian ini akan mempengaruhi tanda dan gejala yang dialami pasien, serta
penanganannya.
Kegawat daruratan tersering pada kanker kolorektal adalah obstruksi dan
perforasi. Pada umumnya penyakit ini akan memberikan gejala kronis yang
berkembang perlahan hingga menimbulkan kegawat daruratan. Gejala yang umum
ditemukan antara lain adalah nyeri perut, distensi abdomen, konstipasi hingga tidak
bisa buang air besar, hiperperistaltik usus hingga bising usus yang menghilang.
Obstruksi yang tidak segera ditangani berpotensi menyebabkan perforasi yang akan
meningkatkan angka mortalitas. Lokasi tersering yang menimbulkan obstruksi pada
kanker kolorektal adalah kolon sigmoid. Sedangkan pada perforasi, 70% terjadi pada
tumor yang menyebabkan kontaminasi lokal, dan 30% pada proximal tumor yang
berpotensi menyebabkan peritonitis dan syok sepsis.
Penanganan emergensi kanker kolorektal bergantung pada kondisi klinis
pasien. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah dan imaging.
Penanganan awal yang dapat dilakukan antara lain dengan resusitasi cairan,
pemasangan NGT untuk dekompresi, pemberian antibiotik, pemasangan kateter urin
untuk monitoring hemodinamik.
Pembedahan kanker kolorektal ditentukan oleh lokasi tumor. Pada prinsipnya,
reseksi tumor harus dilakukan dengan cara radical end block, yaitu mengangkat tumor
beserta stasiun limphenodi yang melayani, yang saat ini berkembang pendekatan

26
complete mesocolic excision (CME), dan central vascular ligation (CVL) sesuai
prinsip onkologi. Ada beberapa teknik reseksi tumor pada kanker kolorektal, antara lain
hemikolektomi dextra, extended hemikolektomi dextra, transversektomi,
hemikolektomi sinistra, sigmoidectomi, anterior reseksi (AR), low anterior reseksi
(LAR), ultra low anterior reseksi (ULAR), abdomino perineal resection (APR)/Miles.
Pada pasien dengan kondisi sepsis, penanganan sesuai dengan manajemen
sepsis, yaitu mencapai keadaan hemodinamik yang stabil, source control (obstruksi
atau peritonitis) dan pemberian antibiotika empiris. Untuk keadaan ileus obstruksi
akibat tumor colorectal, dapat dilakukan diversi (Illeostomy atau colostomy)
tergantung lokasi obstruksi.

27
UPDATE IN PEDIATRIC SURGICAL EMERGENCIES
dr. Kadek Deddy Ariyanta, Sp.B, Sp.BA, Subsp.D.A(K)

Divisi Bedah Anak


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Kondisi gawat darurat bedah pediatrik merupakan sebuah gangguan bedah yang terjadi
pada kelompok usia pediatrik yang membutuhkan perawatan bedah darurat yang tepat
sebagai tatalaksana untuk menyelamatkan nyawa dan menghindari / meminimalkan
morbiditas. Terdapat beberapa kasus bedah pediatrik yang memerlukan tindakan
pembedahan segera seperti, intususepsi, apendisitis akut, hernia inguinal inkarserata,
gastroskisis dan omfalokel, atresia intestinal, malformasi anorektal, atresia esofagus,
serta eventrasio dan hernia diafragmatika. Kondisi kegawatdaruratan bedah pada
pediatrik ini memerlukan perawatan suportif dan perioperatif yang tepat dan berbeda
dengan kondisi pada pasien dewasa.
A. Intususepsi
Intususepsi merupakan sebuah kondisi masuknya bagian proksimal usus ke bagian
distal, sehingga menimbulkan gejala obstruksi hingga strangulasi usus dan
merupakan gawat darurat abdomen pada bedah anak. Instususepsi paling sering
terjadi pada usia 4 hingga 9 bulan. Terdapat trias tanda dan gejala pada intususepsi,
yaitu nyeri abdomen, perdarahan (red currant jelly stools), dan terabanya massa
abdomen. Pemeriksaan penunjang radiologis yang dapat dilakukan adalah foto
polos abdomen, dimana akan ditemukan gambaran obstruksi usus (distensi, air
fluid level, coiled spring, ataupun hearing bone), ultrasonografi (target sign atau
doughnut sign dan menentukan pathological lead point (PLP)), dan kontras enema
(cupping sign / meniscus sign) yang bisa disertai dengan reduksi hidrostatik.
Tatalaksana pada intususepsi dibagi menjadi non-operatif dan operatif. Tatalaksana
non-operatif berupa reduksi pneumatik ataupun reduksi hidrostatik. Namun, jika

28
tindakan ini tidak berhasil maka dilakukan tindakan operatif berupa laparotomi
eksplorasi yang diikuti dengan tindakan reduksi manual ataupun reseksi
anastomosis dan stoma, serta tindakan reduksi manual menggunakan laparoskopi.
B. Malformasi Anorektal
Malformasi anorektal (MAR) / atresia ani merupakan sebuah kondisi tidak
terbentuknya anus pada anak. Atresia ani dapat terjadi akibat kegagalan penurunan
septum anorektal pada fase embriologis. Keadaan ini ditandai dengan tidak
terdapatnya anus yang dapat disertai dengan atau tanpa fistula. Pemeriksaan
radiologis yang dapat dilakukan adalah foto abdomen dengan cara cross table
lateral film untuk menentukan tipe dari malformasi anorektal yang terjadi untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya. Tatalaksana pada kondisi ini bisa ditangani
dengan atau tanpa kolostomi sementara dengan tatalaksana definitif berupa postero
sagital anorektoplasti (PSARP). Berikut diagram tatalaksana malformasi anorektal
pada perempuan dan laki-laki.

Gambar 1. Algoritma Malformasi Anorektal pada Laki-laki

29
Gambar 2. Algoritma Malformasi Anorektal pada Perempuan

C. Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan kondisi yang diakibatkan oleh peradangan pada apendiks
yang sering kali disebabkan oleh adanya obstruksi pada lumen apendiks. Kondisi ini
ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan dan nyeri periumbilikal yang akan
bermigrasi ke kuadran kanan bawah. Pada pemeriksaan darah akan ditemukan adanya
leukositosis serta peningkatan CRP dan prokalsitonin. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis berupa USG (penebalan dinding, berisi
cairan periapendik-perisekal, dan diameter >6 mm), CT scan, dan MRI. Tatalaksana
dapat dilakukan secara non-operatif, dimana tatalaksana non-operatif apendisitis pada
anak ketika pandemi COVID-19 mengalami peningkatan. Berdasarkan studi kohort
multisenter diberbagai negara dari 6014 pasien, 291 (4,8%) pasien diterapi secara non-
operatif namun memiliki resiko kegagalan dan memerlukan tindakan operasi pada 40
(13,8%) pasien. Tatalaksana operatif dapat dilakukan berupa tindakan apendektomi
secara terbuka ataupun laparoskopi.
D. Hernia Inguinal Inkarserata

30
Hernia inguinal inkarserata merupakan sebuah kondisi keluarnya organ
abdomen seperti usus akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis dan diikuti
dengan gangguan pasase/obstruksi sehingga dapat menimbulkan gejala seperti
obstipasi, distensi, dan muntah. Pasien akan datang dengan keluhan nyeri dan massa
pada inguinal yang tidak dapat tereduksi. Penanganan awal yang dapat dilakukan
adalah memposisikan pasien dalam posisi trendelenburg, melakukan reduksi manual
dengan sedasi, dan resusitasi cairan. Setelah dilakukan reduksi, disarankan untuk
menunggu selama 24-48 jam untuk menurunkan edema yang terjadi sebelum
dilakukannya operasi. Tatalaksana operatif yang dapat dilakukan adalah herniotomi
secara terbuka ataupun laparoskopi.
E. Omfalokel dan Gastroskisis
Defek dinding abdomen pada omfalokel dan gastroskisis disebabkan oleh
gangguan dalam migrasi sentral dari lateral fold dalam proses embriologi. Penanganan
awal pada gastroskisis adalah melakukan resusitasi cairan dan membungkus bayi
dengan plastik untuk mencegah hipotermia setelah kelahiran. Tatalaksana definitif pada
gastroskisis adalah penutupan primer dengan jahitan atau tanpa jahitan (dengan
penutupan menggunakan umbilical cord) ataupun dengan penutupan bertahap.

Karakteristik Omfalokel Gastroskisis


Organ yang terherniasi Usus dan Hepar Usus
Sac + -
Anomali lain Sering (50%) Jarang (<10%)
Lokasi defek Umbilikus Kanan dari umbilikus
Metode persalinan Pervaginam/SC Pervaginam
Tatalaksana operatif Non-urgent Urgent
Faktor prognostik Anomali lain Kondisi usus
Tabel 1. Karakteristik Perbedaan Omfalokel dan Gastroskisis

F. Atresia Intestinal
Atresia intestinal dapat terjadi pada berbagai lokasi seperti ileum (43,2%), jejunum
(31%), duodenum (20,9%), dan kolon (4,72%). Tanda dan gejala klasik dari atresia

31
intestinal adalah muntah bilier. Pemeriksaan penunjang radiologi yang dapat dilakukan
adalah babygram. Atresia duodenum ditandai dengan muntah (dengan atau tanpa
muntah kehijauan) tanpa distensi abdomen dan ditemukan tanda double buble sign
pada radiologis. Atresia jejunum dan ileum ditandai dengan muntah kehijauan dan
distensi abdomen, serta ditemukan multiple air fluid level dan distensi usus.
Penanganan awal yang dilakukan adalah resusitasi cairan yang disertai dengan koreksi
gangguan elektrolit dan dekompresi gaster. Setelah optimalisasi kondisi dapat diikuti
dengan duodeno-duodenostomi.
G. Atresia Esofagus
Atresia esofagus merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan pembentukan
esofagus pada proses embriologi yang dapat disertai atau tanpa fistula. Kondisi ini
terjadi pada setiap 2500-3000 kelahiran hidup. Tanda dan gejala yang terjadi berupa
hipersalivasi dan kegagalan dalam memasukkan selang nasogastrik (NGT) ke dalam
lambung. Babygram dilakukan untuk memastikan posisi dari (NGT). Atresia esofagus
sering disertai dengan malformasi lain seperti pada jantung (13-34%), vertebra (6-
21%), ekstremitas (5-19%), anorektal (10-16%), ginjal (5-14%). Penanganan awal
yang dapat dilakukan adalah pemasangan NGT berukuran 10 Fr pada esofagus bagian
atas dan diikuti dengan suction kontiniu. Tatalaksana definitif pada kasus ini adalah
anastomosis esofagus dan tutup fistula trakeoesofageal melalui torakotomi atau
torakoskopi.
H. Hernia Diafragmatika
Hernia diafragmatika terjadi akibat adanya defek pada diafragma sehingga
terjadi protrusi organ abdomen ke dalam rongga toraks. Kondisi ini ditandai dengan
distres pernafasan (takipnea, retraksi dinding dada, dan sianosis) dan bising usus yang
terauskultasi pada rongga toraks. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto
toraks, dimana akan didapatkan loop usus ataupun gaster yang masuk ke dalam tongga
toraks. Penanganan awal yang dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi bayi dengan
distres kardiopulmoner diikuti dengan repair hernia diafragma yang dapat dilakukan
secara transtorakal ataupun transabdominal.

32
I. Eventrasio Diafragma
Eventrasio diafragma merupakan sebuah kondisi dimana terjadi elevasi
abnormal dari diafragma yang disebabkan oleh kelainan kongenital pada anak. Tanda
dan gejala yang dapat terjadi adalah sesak nafas, infeksi saluran nafas berulang, mengi,
intoleransi dalam pemberian makan yang disebabkan oleh diskordinasi antara
menghisap dan bernafas. Pemeriksaan penunjang foto toraks akan menunjukkan hasil
elevasi hemidiafragma dari bagian yang terkena, serta dapat dilakukan pemeriksaan
usg dan fluroskopi. Tatalaksana operatif yang dapat dilakukan adalah plikasi
diafragma.

33
MANAGEMENT OF THORACIC EMERGENCIES

dr. I Komang Adhi Parama Harta, Sp.BTKV, Subsp.JD(K),FICS

Divisi Bedah Thoraks dan Kardiovaskular


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Kondisi trauma thorak yang menyebabkan ancaman kematian dikategorikan


dalam deadly dozen of thoracic trauma sebagai berikut :
Immediately life threatening Potentially life threatening
 Obstruksi jalan nafas  Aortic injury
 Tension pneumothoraks  Tracheobroncheal injury
 Tamponade jantung  Contusio Myocardial
 Open pneumothorak  Ruptur Trauma Diafragmatika
 Massive hemothorak  Disrupsi esofagus
 Flail chest  Kontusio Pulmonal
Berikut ringkasan keadaan / kelainan akibat trauma thorak yang mengancam nyawa:
a. Obtruksi jalan nafas
 Tanda : dyspnoe, wheezing, batuk
 PF : Stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas
 Ro Thoraks : Non spesifik, hilangnya air bronchogram, atelectasis
 Tatalaksana : jika sumbatan dikarenakan benda asing dan dapat terlihat 
evakuasi sumbatan dengan finger swab, triple airway maneuver, suction jika
sumbatan berupa cairan. Penatalaksanaan definitf  intubasi
b. Tension pneumothorax
 Terjadi peningkatan progresif dari tekanan intrathorakal, sehingga terjadi
kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke arah
kontralateral), deviasi trakea  venous return menurun  hipotensi dan severe
ARDS

34
 Tanda : dyspneu, hilangnya bunyi nafas, sianosis, asimetri thoraks, mediastinal
shift kontralateral, peningkatan JVP
 Ro Thoraks (hanya bila pasien stabil) : Pneumothorax, mediastinal shift
 Tatalaksana : dekompresi dengan large bore needle pada ICS V anterior
axillary line, WSD.
c. Perdarahan masif intra thorak (hemothorax massive)
 Akumulasi perdarahan pada rongga thorak akibat trauma tumpul ataupun
trauma tembus pada dada. Sumber perdarahan umumnya berasal dari a.
interkostalis atau a. mammaria interna.
 Tanda : dyspneu, penampakan syok, hilangnya bunyi nafas, perkusi pekak,
hipotensi
 Ro Thoraks : opasifikasi hemithorak atau efusi pleura
 Indikasi operasi open thorakotomi cito:
- Initial bleeding > 750cc, pada pemasangan WSD < 4 jam sejak onset trauma
- Produksi WSD ≥ 200cc dalam 3 jam berturut-turut
 Indikasi pencabutan WSD :
- Produksi < 50cc / hari selama 3 hari berturut – turut
- Pengembangan paru maksimal, Undulasi negative / minimal
- Fungsi WSD terhambat (karena clot, sumbatan dsb)
d. Cardiac tamponade
 Tanda : dyspneu, trias Beck (hipotensi, distensi vena leher, suara jantung
menjauh)
 Ro thoraks : pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat
e. Ruptur aorta
 Tanda : tidak spesifik, syok
 Ro Thoraks : pelebaran mediastinum, penyempitan trakea, efusi pleura
f. Ruptur tracheobronchiale
 Pada trauma tumpul, rupture terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat
peningkatan tekanan yang hebat dan mendadak dari saluran trakeobronkial.

35
Lokasi tersering akibat trauma tumpul pada iga 1 s.d 3 dengan letak ruptur pada
karina dan percabangan bronkus
 Tanda : dyspneu, batuk darah
 Ro thoraks : tidak spesifik, dapat pneumothoraks, hilangnya air bronchogram
g. Ruptur diafragma
 Ruptur diafragma umumnya terjadi di puncak kubah diafragma (sentral)
ataupun dapat kita curigai bila terdapat luka tusuk pada bawah dari ICS 4
anterior, ICS 6 lateral, ICS 8 posterior.
 Tanda : distress nafas yang progresif, bising usus pada kavum thoracal jika
terdapat konten intestinal
 Ro thoraks : gastric air bubble di thoraks, fraktur iga terbawah, mediastinal
shift
 Tatalaksana : thorakotomi eksplorasi
h. Flail chest
 Tanda : Gerakan paradoksal dinding dada, dyspneu, syok, sianosis
 Ro Thorak : fraktur iga multiple, kontusio paru, pneumothorak, efusi pleura
 Indikasi operasi :
- Bersamaan dengan indikasi prosedur torakotomi lainnya (hematothorak
massif dsb)
- Gagal weaning ventilator , nyeri hebat
- Mencegah prolonged ICU / hospital stay
 Tatalaksana : clipping costae untuk stabilisasi area “flail”
i. Perforasi esofagus
 Tanda : nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal
 Ro thorak : udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal space, pelebaran
mediastinum, efusi pleura, pneumothorak
 Diagnostik  esofagografi
 Tatalaksana : thorakotomi eksplorasi

36
UPDATE IN SURGICAL TRAUMA MANAGEMENT

dr. Ketut Wiargitha, Sp.B(K) Trauma, FINACS

Divisi Trauma dan Bedah Akut


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah

Kegawatdaruratan di bidang bedah meliputi banyak aspek dan secara umum


dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kegawatdaruratan trauma dan
nontrauma. Secara khusus akan dibahas tentang kegawatdaruratan di area thoraks,
abdomen, dan sekilas mengenai penanganan combustio. Dokter umum merupakan
ujung tombak dalam menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Karena itu
penting untuk mengetahui apa saja yang bisa dilakukan dalam hal diagnostik dan
terapi (kompetensi level 4) serta tahu waktu yang tepat harus merujuk setelah
melakukan penanganan awal (kompetensi level 3).
Primary survey merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi secara cepat
masalah yang timbul pada kasus trauma. Kelima hal dalam primary survey
diterangkan menurut urutan prioritas namun dalam prakteknya di lapangan dikerjakan
secara simultan. Primary survey meliputi (Offner, 2017):
a. Airway with C-spine control
b. Breathing with oxygen supplementation
c. Circulation with haemorrhage control
d. Disability
e. Exposure atau kontrol lingkungan.
Setelah primary survey, maka dikerjakan adjunct to primary survey dan dikerjakan
beberapa tindakan tambahan seperti :
a. Monitor EKG.
b. Kateter urin dan lambung.
c. Monitor hasil resusitasi seperti Blood Gas Analysis (BGA), pulse oximetry, dan

37
tekanan darah.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti:
• Radiologi: Foto cervical lateral, thoraks AP, dan pelvis AP.
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL
(Diagnostic Peritoneal Lavage).
Evaluasi
Setelah penanganan awal, dilakukan evaluasi ulang mulai primary survey sampai
didapatkan kondisi pasien yang stabil. Setelah kondisi stabil, barulah dilakukan
secondary survey. Bila kondisi pasien belum stabil, maka perlu dilakukan damaged
surgical resuscitation

Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki (head to toe
examination) yang dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pada
pasien dengan trauma yang mengancam nyawa, secondary survey dikerjakan setelah
damaged surgical resuscitation. Anamnesis pada secondary survey meliputi riwayat
Mode of Injury (MOI) dan AMPLE.

Adjunct to Secondary Survey


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan pada tahapan secondary survey adalah
• Laboratorium: SE, RFT, LFT, GDA, FH, urinalisis, laktat, toksikologi.
• Radiologi: CT-Scan kepala, retrograde urethrocystogram, IVP, foto polos
abdomen (BOF, LLD, BOF erect), CT-Scan abdomen, foto polos
ekstremitas.
• USG abdomen.

38

Anda mungkin juga menyukai