Anda di halaman 1dari 52

Nama:Baharun Rasyid

Nim :18020101010038

Kelas:3 ruang 9

MATERI 1

UU Nomor 18 Tahun 2009 :


tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

A. Ketentuan umum

 Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit
dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.

 Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,
pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan
dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.

 Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di darat, air, dan/ atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.

 Hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya
bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.

 Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan,
bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.

 Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih
mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.

 Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan.

 Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan.


 Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan, sertifikat
kompetensi, dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan
hewan.

B. Otoritas veteriner

 Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk


Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan
dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini
kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan,
mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis
operasional di lapangan.

 Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang antara lain, disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan,
dan ricketsia.

 Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan;
hewan dan manusia; serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya melalui
kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara,
tanah, pakan, peralatan, dan manusia; atau dengan media perantara biologis seperti virus,
bakteri, amuba, atau jamur.

 Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian
ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi.

 Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.

 Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan
dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan
manusia.
 Sistem kesehatan hewan nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan
unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas
yang berlaku secara nasional.

C. Kesrawan

 Kesrawan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
hewan menurut ukuran prilaku alami hewan yang perlu di terapkan dan di tegakkan untuk
melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang
dimanfaatkan manusia.

D. Asas dan tujuan

 Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui
integrasi dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan,
kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait.

 Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan


keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan
keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

E. Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan


bertujuan untuk

 mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

 mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya
saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat
menuju pencapaian ketahanan pangan nasional
 melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia,
hewan, tumbuhan, dan lingkungan

 mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat; dan

 memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
MATERI 2

UU NOMOR 41 TAHUN 2014

Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009

tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

UU No. 18 Tahun 2009 direvisi menjadi UU No. 41 Tahun 2014 karena UU tersebut tidak
sesuai dengan PP yang ada.

Indonesia sendiri telah mengakomodir pengaturan kesejahteraan hewan atau animal welfare.

Pemerintah diharapkan ikut serta untuk membentuk suatu peraturan hukum yang menyangkut
tentang kesejahteraan hewan.

Pertimbangan terbentuknya UU no 41 tahun 2014 :

 Negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia melalui penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk
mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka
menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan


maksimal terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan, dan produk hewan,
pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal
bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran
kesejahteraan hewan, perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat.

 bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
dipandang tidak sesuai lagi dan perlu disempurnakan untuk dijadikan landasan hukum
bagi penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan.

 bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan


huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
KONTROVERSI-KONTROVERSI

- Kontroversi UU No. 18 Tahun 2009

a. UU No. 18 Tahun 2009 dimotifasi oleh semangat untuk melakukan impor daging
dari luar negeri tanpa memperdulikan kondisi peternakan dalam negeri yang
hidupnya dari penghasilan beternak sapi perah, unggas, produsen susu.

b. Terdapat pasal-pasal dari UU No. 18 Tahun 2009 yang melanggar konstitusi


yaitu:

Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) berkaitan dengan kata ”atau zona dalam suatu
negara”, Pasal 59 Ayat (4) berkaitan dengan kata ”atau kaidah internasional” dan
Pasal 68 ayat (4) berkaitan dengan kata ”dapat” bertentangan dengan UUD RI
Tahun 1945 yang diatur dalam “Preambule” ‘Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum,
Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’

- Kontroversi UU No. 41 Tahun 2014

a. Impor Sapi Siap Potong

b. Maksimum Sekuriti

c. Waktu Penggemukan Sapi

d. Judicial Review ulang

Kesimpulan : Disadari bahwa undang-undang sebelum ini belum mencangkup


aspek kesehatan dalam arti luas. Untuk meningkatkan taraf hidup hewan, dan atau ternak
wajib diberi landasan hukum yang kuat. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 telah
mencakup semua hewan baik yang diternakan maupun hewan yang hidup liar, serta hal-
hal yang diperbolehkan dilakukan kepada hewan untuk tujuan melestarikan
keanekaragaman hayati. Kemudian tak lepas dari kesehatan hewan itu sendiri mencakup
pengendalian dan penanggulangan penyakit, obat hewan, hingga alat dan mesin
kesehatan hewan.
MATERI 3

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 47 TAHUN 2014
TENTANG PENGENDALIAN DAN
PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan pada Hewan yang antara lain, disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan,
dan rickettsia.

Pasal 2

(1) Pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan meliputi kegiatan:

a. pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan;

b. pencegahan penyakit hewan;

c. pengamanan penyakit hewan;

d. pemberantasan penyakit hewan; dan

e. pengobatan Hewan.

(2) Kegiatan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) disertai dengan:

a. persyaratan teknis kesehatan hewan; dan

b. sistem informasi.
BAB II

PENGAMATAN DAN PENGIDENTIFIKASIAN PENYAKIT HEWAN

Pasal 3

Pengamatan dan pengidentifikasian Penyakit Hewan dilakukan melalui kegiatan


surveilans, penyidikan, pemeriksaan dan pengujian, peringatan dini, serta pelaporan.

Pasal 4

(1) Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan melalui pengumpulan


data mengenai:

a. agen Penyakit Hewan, vektor, reservoir Penyakit Hewan;

b. induk semang, berupa identitas Hewan dan data klinis;

c. faktor lingkungan yang mendukung munculnya Penyakit Hewan; dan

d. dampak Penyakit Hewan terhadap kesehatan Hewan, manusia, dan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga

Penyidikan

Pasal 9

Perusahaan Peternakan, Peternak, orang perseorangan yang memelihara Hewan, dan


pengelola konservasi satwa wajib memberikan kesempatan kepada Otoritas Veteriner
kabupaten/kota, Otoritas Veteriner provinsi, Otoritas Veteriner Kementerian, dan/atau
Dokter Hewan Berwenang pada kementerian untuk melakukan penyidikan Penyakit
Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Bagian Keempat

Pemeriksaan dan Pengujian

Pasal 13
Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dilakukan
untuk meneguhkan diagnosis, mengidentifikasi agen penyakit hewan, bahan berbahaya,
residu, dan cemaran dalam rangka surveilans dan penyidikan.

Bagian Kelima

Peringatan Dini

Pasal 17

(3) Peringatan dini sebagai tindakan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui pembatasan dan pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan
media pembawa penyakit hewan lainnya yang berkaitan dengan wabah penyakit hewan
antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

BAB III
PENCEGAHAN PENYAKIT HEWAN

Pasal 22

(1) Pencegahan Penyakit Hewan meliputi pencegahan:

a. masuk ke dan keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. menyebarnya dari satu pulau ke pulau yang lain di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;

c. menyebarnya dari Wilayah ke Wilayah lain dalam satu pulau di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. muncul, berjangkit, dan menyebarnya di satu Wilayah di wilayah Negara Kesatuan


Republik Indonesia.

Pasal 27

Biosecurity sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dilakukan dengan cara
pemisahan sementara Hewan baru dari Hewan lama, Hewan sakit dari Hewan sehat,
pembersihan dan desinfeksi, pembatasan lalu lintas orang, Hewan, produk Hewan, dan
media pembawa Penyakit Hewan lainnya dalam unit usaha atau Perusahaan Peternakan.
BAB IV
PENGAMANAN PENYAKIT HEWAN

Pasal 29

(1) Pengamanan Penyakit Hewan dilaksanakan melalui kegiatan:

a. penetapan Penyakit Hewan Menular Strategis;

b. penetapan kawasan pengamanan Penyakit Hewan Menular Strategis;

c. penerapan prosedur biosafety dan biosecurity;

d. pengebalan Hewan;

e. pengawasan lalu lintas Hewan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan
lainnya di luar Wilayah kerja karantina;

f. kesiagaan darurat veteriner; dan

g. penerapan kewaspadaan dini.

Pasal 35

Penerapan prosedur biosafety dan biosecurity dilakukan untuk:

a. menjaga agen Penyakit Hewan yang disimpan dan diisolasi dalam suatu laboratorium
tidak mengontaminasi atau disalahgunakan;

b. melindungi Hewan, manusia, dan lingkungan hidup dari agen Penyakit Hewan;
dan/atau

c. memutus rantai masuknya agen Penyakit Hewan ke induk semang.

Pasal 36

Penerapan biosafety dan biosecurity harus dilakukan paling sedikit pada pembibitan,
budidaya, tempat penampungan Hewan, pasar Hewan, rumah potong Hewan, alat angkut
Hewan, tempat pelayanan kesehatan Hewan, unit konservasi, dan Laboratorium
Veteriner.
Bagian Keenam

Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit
Hewan Lainnya di Luar Wilayah Kerja Karantina

Pasal 43

(1) Pengawasan lalu lintas Hewan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan
lainnya di luar wilayah kerja karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf e meliputi pengawasan terhadap lalu lintas:

a. Hewan;

b. produk Hewan; dan

c. media pembawa Penyakit Hewan lainnya.

(2) Pengawasan lalu lintas Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
terhadap:

a. ternak;

b. Hewan peliharaan;

c. Satwa Liar; dan

d. Hewan yang hidup di air.

(3) Pengawasan lalu lintas produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan terhadap:

a. produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan dan


lingkungan hidup;

b. produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko zoonosis secara langsung
kepada manusia; dan

c. produk pangan asal Hewan.


BAB V
PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 48

(1) Pemberantasan Penyakit Hewan dilakukan untuk membebaskan wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia dari kasus dan/atau agen Penyakit Hewan menular.

Pasal 49

Pemberantasan Penyakit Hewan menular yang dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan


dengan cara:

a. penutupan Wilayah;

b. pembatasan lalu lintas Hewan rentan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit
Hewan lainnya yang berisiko tinggi;

c. pengebalan Hewan;

d. pengisolasian Hewan sakit atau terduga sakit;

e. penanganan Hewan sakit;

f. pemusnahan bangkai Hewan;

g. pengeradikasian Penyakit Hewan; dan

h. pendepopulasian Hewan.

Bagian Kedelapan

Pengeradikasian Penyakit Hewan

Pasal 66

(1) Pengeradikasian Penyakit Hewan yang dimaksud dalam Pasal 49 huruf g dilakukan
dengan cara:

a. desinfeksi pada Hewan dan lingkungan hidupnya;

b. penggunaan bahan kimia selain desinfektan;


c. pembakaran;

d. penggunaan musuh alami vektor;

e. pengomposan; dan/atau

f. aplikasi teknologi lainnya

BAB VI
PENGOBATAN HEWAN

Pasal 74

(1) Pengobatan Hewan merupakan tindakan medik pada Hewan.

Pasal 76

(1) Setiap tindakan pengobatan harus dicatat dan didokumentasikan oleh pemilik Hewan,
Peternak, Perusahaan Peternakan, dan/atau tenaga kesehatan Hewan.

BAB VII
PERSYARATAN TEKNIS KESEHATAN HEWAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 78

Persyaratan teknis kesehatan Hewan terdiri atas:

a. persyaratan teknis kesehatan Hewan untuk pemasukan Hewan, produk Hewan


nonpangan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 79

(1) Persyaratan teknis kesehatan Hewan untuk pemasukan Hewan, produk Hewan
nonpangan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a meliputi:

a. Hewan, produk Hewan nonpangan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya
berasal dari negara dan unit usaha yang telah disetujui oleh Menteri;
b. memenuhi persyaratan kesehatan Hewan yang ditentukan oleh Otoritas Veteriner
Kementerian; dan

c. memiliki jaminan kesehatan Hewan, produk Hewan nonpangan, dan media pembawa
Penyakit Hewan lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat veteriner dari Otoritas
Veteriner negara asal.

BAB VIII
SISTEM INFORMASI

Pasal 86

(1) Sistem informasi pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan diselenggarakan


oleh Kementerian, kementerian, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 90

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan di bidang
pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan yang telah ada dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
MATERI 4

Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang

Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

 Ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 2012

 Diundangkan pada tanggal 30 Oktober 2012

 Berlaku mulai tanggal 30 Oktober 2012

 Sebanyak 6 BAB, 112 Pasal ;

Ketentuan umum 1 BAB, 2 Pasal

Kesmavet 1 BAB, 80 Pasal

Kesrawan 1 BAB, 17 Pasal

Penanganan Hewan Akibat Bencana Alam, 1 BAB, 8 Pasal

Ketentuan Peralihan dan Penutup 2 BAB, 5 Pasal.

Latar belakang dibentuknya PP Nomor 95 Tahun 2012 :

Dengan menimbang,

- Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 65


- Untuk memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
- Perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan.
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembahasan dalam PP Nomor 95 Tahun 2012 :


KesMaVet : Segala urusan yang berhubungan dengan Hewan dan produk hewan
yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
KesRaWan : Segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
Hewan menurut ukuran perilaku alami Hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan
untuk melindungi Hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap
Hewan yang dimanfaatkan manusia.

Ruang Lingkup Bidang Kesmavet dan Kesrawan

Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi:


a. penjaminan Higiene dan Sanitasi;
b. penjaminan produk Hewan; dan
c. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.

Kesejahteraan Hewan meliputi : Penerapannya terhadap setiap jenis hewan yang


kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia baik hewan bertulang belakang dan hewan
yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.

Kesehatan Masyarakat Veteriner

a. Penjaminan Higiene dan Sanitasi;

b. Penjaminan produk Hewan, yang terdiri dari

- Produk pangan asal Hewan;


- Produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko Zoonosis secara
langsung kepada manusia; dan
- Produk Hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke Hewan dan
lingkungan (diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri)

c. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.

Pasal 4

Penjaminan Higiene dan Sanitasi

Penjaminan Higiene dan Sanitasi dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada
rantai produksi produk Hewan, meliputi cara yang baik :

- di tempat budidaya;
- di tempat produksi pangan asal Hewan;
- di tempat produksi produk Hewan nonpangan;
- di rumah potong Hewan;
- di tempat pengumpulan dan penjualan; dan
- dalam pengangkutan.
Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Di Tempat Budi Daya, Produksi
Pangan Asal Hewan, dan Produk Hewan Non Pangan
- pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan sehat (untuk
Hewan Potong, di tempat budidaya)
- penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
- pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
- pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan;
- pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan;
- penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan terutama ambing (untuk Hewan Perah,
di tempat budidaya)
- penjaminan kesehatan dan kebersihan personel
- pencegahan tercemarnya produk hewan oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik.

Pasal 8

Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Di RPH

Pemotongan Hewan potong yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah potong
Hewan yang:

- memenuhi persyaratan teknis yang diatur oleh Menteri; dan


- menerapkan cara yang baik, yakni :

a. pemeriksaan kesehatan Hewan potong sebelum dipotong;

b. penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;

c. penjaminan kecukupan air bersih;

d. penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;

e. pengurangan penderitaan Hewan potong ketika dipotong;

f. penjaminan penyembelihan yang Halal bagi yang dipersyaratkan dan bersih;

g. pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong dipotong; dan

h. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya biologis, kimiawi, dan
fisik.

Pasal 9

Hewan potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria paling sedikit:

 tidak memperlihatkan gejala penyakit Hewan menular dan/atau Zoonosis;

 bukan ruminansia besar betina, anakan, dan betina produktif;


 tidak dalam keadaan bunting; dan

 bukan Hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya diberi tanda:

 “SL” untuk Hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong; dan

 “TSL” untuk Hewan potong yang tidak sehat dan/atau tidak layak untuk dipotong.

Pasal 10

Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan
insisi. Hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas yang aman dan layak dikonsumsi
dinyatakan dalam bentuk:

 pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang bertuliskan “telah diperiksa
oleh Dokter Hewan”; dan

 surat keterangan kesehatan daging.

Sedangkan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi wajib dimusnahkan di RPH.

Pasal 11

Pemotongan Hewan potong dapat dilakukan di luar rumah potong Hewan dalam hal:

- upacara keagamaan;
- upacara adat; atau
- pemotongan darurat.

Pasal 18

Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Di Tempat Pengumpulan dan
Penjualan

- penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya;


- pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
- penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
- pencegahan tercemarnya produk Hewan oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik
yang berasal dari petugas, alat, dan proses produksi;
- pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk lain yang tidak
Halal;
- penjaminan suhu ruang tempat pengumpulan dan penjualan produk Hewan yang
dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme; dan
- pemisahan produk Hewan dari Hewan dan komoditas selain produk Hewan.

Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Dalam Pengangkutan

Cara yang baik dalam pengangkutan dilakukan untuk:

 Hewan potong, Hewan perah, unggas petelur; dan

 produk Hewan.

Cara yang baik dalam pengangkutan Hewan potong, Hewan perah, dan unggas petelur
dilakukan dengan penjaminan:

 kebersihan alat angkut;

 kesehatan dan kebersihan Hewan; dan

 kesehatan dan kebersihan personel.

Cara yang baik dalam pengangkutan produk Hewan dilakukan dengan:

 penjaminan kebersihan alat angkut;

 penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;

 pencegahan tercemarnya produk Hewan dari bahaya biologis, kimiawi, dan fisik;

 pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk lain yang tidak
Halal;

 penjaminan suhu ruang alat angkut produk Hewan yang dapat menghambat
perkembangbiakan mikroorganisme; dan

 pemisahan produk hewan dari hewan dalam pengangkutannya.


Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner

- Setiap Unit Usaha produk Hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh
Nomor Kontrol Veteriner kepada pemerintah provinsi berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.
- Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan kepada Unit Usaha yang belum
memenuhi ketentuan. Dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
- Unit Usaha belum memenuhi ketentuan, pemerintah kabupaten/kota wajib mencabut
izin usaha Unit Usaha yang bersangkutan
- Nomor Kontrol Veteriner diberikan dalam bentuk sertifikat oleh Otoritas Veteriner di
bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner di provinsi atas nama gubernur.

Pasal 26

Penjaminan produk hewan dilakukan melalui:

a) Pengaturan Peredaran Produk Hewan

b) Pengawasan Unit Usaha produk hewan

c) Pengawasan produk hewan

d) Pemeriksaan dan pengujian produk hewan

e) Standarisasi

f) Sertifikasi Produk Hewan

g) Registrasi Produk Hewan

Pengaturan Peredaran Produk Hewan

Peredaran produk Hewan meliputi peredaran

- Hasil produksi dalam negeri


- Yang dimasukkan ke dalam wilayah RI
- Yang dikeluarkan dari wilayah RI

Produk hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah RI harus berasal dari negara dan
Unit Usaha yamg telah disetujui oleh menteri dan memiliki rekomendasi teknik dan izin
pemasukan,dengan mempertimbangkan:

- Status penyakit hewan menular di negara asal


- Hasil analisa risiko Pemasukan produk hewan dari luar negeri, dilakukan oleh
Otoritas Veteriner Kementrian dengan cara:

1.Pemeriksaan dokumen sistem penyelenggaraan kesehatan hewan dan jaminan


keamanan produk hewan di negara asal

2.Pemeriksaan dokumen sistem jaminan keamanan produk hewan di unit usaha di


negara asal

3.Verifikasi sistem penyelenggaraan kesehatan hewan dan jaminan keamanan produk


hewan di negara asal

4.Audit pemenuhan sistem jaminan keamanan produk hewan di unit usaha di negara
asal

5.Penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterima

Jika tidak sesuai ketentuan, maka menteri berhak mengeluarkan surat penolakkan
dan sebaliknya.

o Pengeluaran produk hewan ke luar wilayah RI harus:

a) Disertai sertifikat Veteriner

b) Memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara tujuan

Pangan olahan asal hewan

Sertifikat veteriner dpt dikeluarkan setelah mendapat izin dari lembaga pemerintahan non
kementrian di bidang pengawasan obat dan makanan.

Satwa liar

Sertifikat veteriner dapat dikeluarkan setelah mendapat izin dari menteri dari konservasi
sumber daya alam hayati.

Pengawasan Unit Usaha Produk Hewan

Pengawasan unit usaha produk hewan dilakukan oleh dokter hewan berwenang yang
memiliki kompetensi sebgai pengawas kesmavet (ditunjuk oleh menteri,gubernur,atau
bupati/walikota) pada:
a. Rumah potong hewan

b.Unit usaha produk hewan selain RPH (tempat pemerahan,tempat produksi telur,tempat
produksi pangan asal hewan lainnya, tempat produksi hewan non pangan, serta tempat
pengumpulan dan penjualan).

 Pengawas tersebut berwenang:

1.Memasuki setiap unit usaha produk hewan

2.Menunda/menghentikan proses produksi

3.Memeriksa produksi hewan yang dicurigai membawa atau mengandung bahaya


biologis,kimiawi, dan/atau fisik

4.Memeriksa dokumen/catatan terkait dengan proses produksi

5.Menunda menghentikan alat angkut produk hewan yang dicurigai membawa bahaya
biologis, kimiawi dan fisik.

Pengawasan Unit UsahaProduk Hewan

Pengawasan produk hewan dilakukan terhadap produk hewan yang:

a. Diproduksi di dalam negeri

b. Dimasukkan dari luar negeri

Pengawasan terhadap pemasukan produk hewan dari luar negeri dilakukan pada:

- negara dan unit usaha asal

- tempat

- peredaran.

Pemeriksaan dan Pengujian Produk Hewan

Pemeriksaan dan pengujian dilakukan terhadap produk hewan yang:

- akan diedarkan
- dalam peredaran
Pejabat yang berwenang adalah:

Bupati/walikota,gubernur dan menteri akan melakukan pembinaan dan pemngembangan


kompetensi untuk meningkatkan kapasitas laboratorium berdasarkan ketentuan undang-undang,
yang dibebankan kepada APBD.

Standarisasi dan Sertifikasi Produk Hewan

Sertifikasi Produk Hewan meliputi

 Sertifikat veteriner

 Sertikat halal bagi yang dipersyaratkan (institusi yang berwenang di bidang sertifikasi
halal).

Dengan mengajukan permohonan yang harus disertai dengan:

 Nomor kontrol hewan

 Sertifikat hasil pemeriksaan dan pengujian

 Surat keterangan kesehatan daging.

Registrasi Produk Hewan

- Berupa pangan segar asal hewan yang dikemas untuk diedarkan


- Dilakukan oleh menteri dalam bentuk pemberian nomor registrasi,yang wajib
dicantumkan pada label dan kemasan produk.

Prinsip Kesejahteraan Hewan sebagaimana yang dimaksud dalam

PP Nomor 95 Tahun 2012

Kebebasan Hewan yang meliputi bebas:

1. dari rasa lapar dan haus;

2. dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;


3. dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan;

4. dari rasa takut dan tertekan; dan

5. untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Prinsip Kebebasan Hewan dalam PP Nomor 95 Tahun 2012

a.
b. penempatan
penangkapan
dan
dan
pengandangan;
penanganan;

c.
d.
pemeliharaan
pengangkutan;
dan perawatan;

e. penggunaan
d. dan
pengangkutan; pemanfaatan;
g. pemotongan dan
pembunuhan; dan

f. perlakuan dan
pengayoman yang
wajar terhadap
Hewan; h. praktik kedokteran
perbandingan

Penerapan Prinsip Kebebasan Hewan Wajib Dilakukan oleh:

- Pemilik hewan
- Orang yang menangani hewan sebagai bagian dari perkerjaannya
- Pemilik fasilitas pemeliharaan hewan.
PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM

Penanganan Hewan dalam hal terjadi bencana alam :


1. Evakuasi Hewan;
2. Penanganan Hewan mati;
3. Penampungan sementara;
4. Pemotongan dan pembunuhan Hewan; dan/atau
5. Pengendalian Hewan sumber penyakit dan vektor.

Tempat Penampungan Sementara yang dimaksud dalam UU Nomor 95 Tahun 2012 :


1. Di lokasi yang aman;
2. Tersedia fasilitas air bersih, pakan, dan obat-obatan;
3. Tersedia tempat penampungan untuk Hewan sehat yang terpisah dari Hewan sakit
atau cidera; dan
4. Mudah diakses oleh tenaga relawan dan tenaga kesehatan Hewan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Di era globalisasi perdagangan saat ini dimana berbagai produk olahan dari luar
negeri begitu mudah masuk ke indonesia, maka adanya jaminan kehalalan produk makanan,
minuman, obat-obatan, kosmetika, maupun barang gunaan lainnya menjadi sangat penting
bagi umat islam.

Adanya kepastian hukum


dan JPH beredar (penting
dalam perlindungan
konsumen)
Urgensi
UU JPH Menjadi nilaii tambah bagi pelaku
usaha untuk memproduksi dan
mendistribusikan produk-produk
halal.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 4

• Pada pasal 4 UU JPH dinyatakan bahwa “Produk yang masuk, beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.

• Produk yang wajib adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

BAB II

PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL

Pasal 5

1) Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.

2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.

5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan
Presiden.
BAB III

Bahan dan Proses Produk Halal

Pasal 17

Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada
dasarnya halal kecuali yang diharamkan menurut syariat.

Proses produk halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan
untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengelolaan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.

Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, alat
penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian produk tidak halal.

Kontroversi UU Nomor 33 Tahun 2014

1. Sulitnya sertifikasi bagi industri kecil menengah

2. Sulitnya sertifikasi bagi produk farmasi.


MATERI 5

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13/Permentan/OT.140/1/2010 TENTANG
PERSYARATAN RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA DAN
UNIT PENANGANAN DAGING (MEAT CUTTING PLANT)

Ruminansia besar merupakan ternak memamah biak yang terdiri dari ternak ruminansia
besar, seperti sapi dan kerbau, serta ternak ruminansia kecil, seperti kambing dan domba (pasal 1
ayat 1).

Daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi
oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang dan daging tanpa tulang, dapat berupa
daging segar hangat, segar dingin (chilled) atau karkas beku (frozen) (pasal 1 ayat 6).

Jeroan (edible offal) adalah isi rongga perut dan rongga dada dari ternak ruminansia yang
disembelih secara halal dan benar sehingga aman, lazim, dan layak dikonsumsi oleh manusia
dapat berupa jeroan dingin atau beku (Pasal 1 ayat 9).

RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat,
utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:

a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner,
kesejahteraan hewan dan syariah agama);

b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan


karkas, dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke
manusia;

c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan
ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan administrative dan


persyaratan teknis :

a. lokasi;

b. sarana pendukung;

c. konstruksi dasar dan disain bangunan;


d. peralatan.

Pada RPH dan UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang dapat
memastikan bahwa cara produksi karkas, daging, dan jeroan dapat diterapkan dengan baik dan
konsisten. Fasilitas higiene-sanitasi harus mampu menjamin bahwa proses pembersihan dan
sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkan
secara efektif.

Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk mencuci sepatu
boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas untuk mensucihamakan sepatu boot yang
dilengkapi desinfektan (foot dipping).

RPH dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi dengan air
hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan menggunakan tangan atau tidak
kontak langsung dengan telapak tangan.

Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus memiliki air
bertemperatur tidak kurang dari 82oC yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih, atau
metoda sterilisasi lain yang efektif.

Kebersihan lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek RPH dan/atau
UPD harus dipelihara secara berkala, dengan cara:

a. menjaga kebersihan lingkungan dari sampah, kotoran dan sisa pakan;

b. memelihara rumput atau pepohonan sehingga tetap terawat;

c. menyediakan fasilitas tempat pembuangan sampah sementara di tempat tempat tertentu.

Dalam rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh RPH atau UPD
(UPD) memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan pengawasan
kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan UPD oleh Dokter Hewan Berwenang atau Dokter
Hewan Penanggung Jawab Perusahaan yang disupervisi oleh Dokter Hewan Berwenang.

Kegiatan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) meliputi:

a. penerapan kesehatan hewan di RPH;

b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih (ante-mortem inspection);

c. pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);

d. pemeriksaan kesehatan jeroan dan/atau karkas (post- mortem inspection);


e. pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi.

Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan

(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki izin mendirikan
RPH.

(2) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati/Walikota.

(3) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan izin mendirikan
RPH harus memperhatikan persyaratan teknis RPH.

(4) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindah tangankan
kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.

Pasal 37

Pengawasan Masyarakat Veteriner

Kegiatan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner meliputi :

a) Penerapan kesehatan hewan di RPH;

b) Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih (ante-mortem inspection) dilakukan di


kandang penampungan sementara atau peristirahatan hewan,

c) Pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);

d) Pemeriksaan kesehatan jeroan dan/atau karkas (post- mortem inspection) dilakukan


segera setelah penyelesaian penyembelihan, dan pemeriksaan dilakukan terhadap kepala,
karkas dan/atau jeroan.

e) Pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi dilakukan


terhadap pemeliharaan sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, proses
produksi dan higiene personal.

Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan dan Izin Usaha Pemotongan Hewan

Pasal 38

Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan

Izin mendirikan RPH diberikan oleh Bupati/Walikota. Izin ini tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Pasal 39

Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging

Setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan dan/atau
penanganan daging harus memiliki izin usaha dari Bupati/Walikota. Izin ini tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.

Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dapat dicabut, apabila:

a) Kegiatan pemotongan dan/atau penanganan daging dilakukan di RPH atau UPD yang
tidak memiliki izin mendirikan RPH;

b) Melanggar persyaratan teknis

c) Tidak melakukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
berturut-turut setelah izin diberikan

d) Tidak memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner).

Pasal 40

Berdasarkan pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dan/atau


penanganan daging dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:

a) Jenis I : RPH dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah
dan sebagai jasa pelayanan umum;

b) Jenis II : RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan
dengan swasta lain;

c) Jenis III : RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara
pemerintah daerah dan swasta.

Berdasarkan kelengkapan fasilitas proses pelayuan (aging) karkas, usaha pemotongan


hewan dibedakan menjadi 2 (dua) kategori:

a) Kategori I : usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas hangat;

b) Kategori II : usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas dingin (chilled) dan/atau beku (frozen).
Pasal 41

Sumber Daya Manusia

- Setiap RPH dan/atau UPD harus dibawah pengawasan dokter hewan yang ditunjuk
oleh Bupati/Walikota
- Setiap RPH harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan
- Setiap RPH paling kurang memperkerjakan satu orang tenaga pemeriksa daging
(keurmaster)
- Setiap RPH wajib mempekerjakan paling kurang satu orang juru sembelih halal.

Pasal 42

Ketentuan Peralihan

RPH yang pada waktu dikeluarkannya peraturan ini belum memenuhi persyaratan
yang diatur dalam peraturan ini harus menyesuaikan dengan peraturan ini paling lama 5
tahun terhitung sejak peraturan ditetapkan.
MATERI 6

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 78 Tahun 1992 Tentang Obat Hewan

- Ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1992


- Diundangkan pada tanggal 24 Desember 1992
- Berlaku mulai tanggal 24 Desember 1992
- Sebanyak 8 BAB, 23 Pasal mengatur pembuatan, penyediaan, peredaran, pendaftaran,
pengujian mutu, perizinan dan pengawasan obat hewan

Latar Belakang dibentuknya PP No.78 Tahun 1992

dunia kesehatan
hewan
harus adanya tindakan
pengendalian yang
relevan

Peraturan Pemerintah Identifikasi risiko


Nomor 78 Tahun 1992
tentang obat hewan

keanekaragaman
Beragamnya hewan
hayati

a. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati

b. Banyaknya hewan yang ada di Indonesia sangat beragam

c. Dalam dunia kesehatan hewan ataupun dunia veteriner, segala sesuatu yang berhubungan
dengan hewan dan segala penyakit-penyakitnya karena bila hewan terkena penyakit

d. Identifikasi potensi risiko memungkinkan hewan terkena penyakit, maka dibutuhkan


pengobatan agar hewan dapat sehat kembali, serta tidak membahayakan atau menularkan
penyakitnya pada hewan lain atau manusia.
e. Harus adanya tindakan pengendalian

f. Maka dari itu perlu dibentuknya undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 1992 tentang obat hewan.

Dengan mengingat ;

- Untuk lebih meningkatkan kesehatan dan produksi peternakan diperlukan tersedianya


obat hewan yang memadai baik dari segi jumlah maupun mutu dalam pembuatan,
penyediaan, dan peredaran.
- bahwa dengan kemajuan teknologi dibidang obat hewan, dewasa ini banyak ditemukan
jenis obat hewan yang baru yang peraturannya belum tertampung dalam peraturan
pemerintah Nomor 17 tahun 1973 Tentang Pembuatan, Peredaran, Persediaan, Pemakaian
Vaksin, Sera, dan Bahan-bahan diagnostik untuk hewan
- bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan
mengenai obat hewan dengan Peraturan Pemerintah.

Kesehatan Hewan

Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perlindungan


sumber daya hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan serta penjaminan keamanan
produk hewan, kesejahteraan hewan, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung
kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal hewan (Undang-undang RI Nomor
41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan).

Obat Hewan

Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan,
membebaskan gejala, atau modifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan
biologik, farmakoseutika, premix, dan sediaan obat hewan alami (Undang-undang RI
Nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan).

Tujuan Pemakaiannya Obat Hewan

Obat hewan menurut (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun


1992 Tentang Obat Hewan) tujuan pemakaiannya digunakan untuk:
Menetapkan
diagnosa, mencegah,
menyembuhkan dan
memberantas
penyakit hewan;

Mengurangi dan
Memperbaiki
menghilangkan gejala
reproduksi hewan.
penyakit hewan;

Membantu
Memacu perbaikan menenangkan,
mutu dan produksi memati-rasakan,
hasil hewan; etanasia, dan
merangsang hewan;

Menghilangkan
kelainan atau
memperelok tubuh
hewan;

PROSES PEMBUATAN OBAT HEWAN SAMPAI PENGAWASANNYA

A. Pembuatan, Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan


- Pembuatan obat hewan meliputi proses kegiatan mengolah bahan baku, bahan setengah
jadi, dan/atau bahan jadi menjadi obat hewan yang siap dipakai
- Memenuhi persyaratan
- Obat hewan yang berada dalam persediaan dan/atau peredaran harus dikemas dalam
wadah dan/atau bungkus tertentu.

B. Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan


- Obat hewan yang telah terdaftar dapat diuji kembali mutunya setiap waktu
- Pengujian mutu dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Menteri
- Biaya yang diperlukan untuk pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan dibebankan
kepada pemilik obat hewan yang besamya ditetapkan oleh Menteri.
C. Perizinan
- Pembuatan dan atau penyediaan dan atau peredaran obat hewan oleh Badan usaha atau
perorangan dilakukan berdasarkan izin usaha yang diberikan Menteri
- Badan usaha atau perorangan pemegang izin usaha pembuatan dan/atau penyediaan
dan/atau peredaran obat hewan dapat mengadakan perluasan usahanya.

Perluasan usaha penyediaan dan/atau peyedaran obat hewan berupa:


- Menambah jenis obat hewan yang disediakan dan/atau diedarkan; dan/atau
- Menambah daerah penyediaan dan/atau peredaran obat hewan; dan/atau
- Membuka cabang usaha penyediaan dan/atau peredaran obat hewan di tempat lain.

D. Pengawasan

Menteri melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyediaan, peredaran dan


pemakaian obat hewan. Melaksanakan pengawasan obat hewan pejabat pengawas obat
hewan berwenang untuk:
- Melakukan pemeriksaan terhadap dipenuhinya ketentuan perizinan usaha pembuatan,
penyediaan dan peredaran obat hewan.
- Melakukan pemeriksaan terhadap cara pembuatan obat hewan yang baik;
- Melakukan pemeriksaan terhadap obat hewan, sarana dan tempat penyimpanannya dalam
penyediaan dan peredaran, termasuk alat serta cara pengangkutannya;
- Melakukan pemeriksaan terhadap pemakaian obat hewan;
- Mengambil contoh bahan baku dan obat hewan guna pengujian khasiat dan
keamanannya.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan penyimpangan, Menteri atau pejabat


pengawas obat hewan dapat memerintahkan untuk:
- Menghentikan sementara kegiatan pembuatan obat hewan;
- Melarang peredaran obat hewan;
- Menarik obat hewan dari peredaran;
- Menghentikan pemakaian obat hewan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Pengaturan Mengenai Peredaran Obat


Peredaran Obat Hewan
Dalam peredaran obat hewan, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 78 tahun 1992 tentang Obat Hewan mewajibkan bagi
semua obat hewan yang beredar sebelum digunakan di lapangan baik itu digunakan oleh
para peternak maupun perorangan, produksi luar maupun dalam negeri, harus telah diuji
terlebih dahulu mutu kualitasnya agar dapat memberi jaminan keamanan bagi para
pengguna obat hewan tersebut.
Dalam prakteknya, masyarakat sering tertipu dalam pemakaian obat hewan ilegal
yang tidak diketahui kandungannya, dimana obat hewan ilegal tersebut kemungkinan
mengandung sejumlah zat berbahaya bagi organ tubuh tertentu bahkan lebih banyak obat
hewan ilegal itu merupakan barang selundupan yang sering tidak disertai cara
pemakaiannya karena tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Selain merugikan masyarakat pengguna yang kerap kurang mengerti bahaya
penggunaan obat hewan ilegal, karena tidak ada jaminan Pemerintah dalam hal keamanan
serta potensi obat hewan tersebut. Selain itu dengan adanya obat hewan ilegal, negara
juga dirugikan karena mengurangi pendapatan negara untuk tarif pengujian maupun pajak
bea masuk.

Obat Hewan Ilegal


Sejak tahun 2004 hingga kini, setiap tahunnya, kurang lebih 400-an sertifikat
lulus uji obat hewan diterbitkan oleh Laboratorium Penguji Mutu Obat Hewan yang
pastinya obat hewan tersebut mendapatkan nomor registerasi, akan tetapi masih banyak
obat hewan yang belum terdaftar yang dapat dikatagorikan obat hewan ilegal.
Obat hewan ilegal adalah obat hewan yang tidak terdaftar (tidak memiliki nomor
registrasi) ataupun sudah terdaftar dan memiliki nomor registrasi tetapi masa berlakunya
telah habis. Sementara itu pemantauan obat hewan untuk menjamin kualitasnya telah
dilakukan oleh laboratorium penguji mutu yang berwenang dan dinas terkait baik baik
ditingkat Propinsi maupun Kabupaten, walaupun belum berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
MATERI 7

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017

TENTANG KLASIFIKASI OBAT HEWAN

Latar Belakang

• Perkembangan ilmu farmasi sudah semakin maju. Banyak sekali macam macam jenis
sediaan farmasi yang dikembangkan

• Masyakarakat kita semakin membutuhkan segala jenis obat dengan kerja yang sesuai di
tubuhnya. Kebutuhan obat di kalangan hewan sangatlah penting dan mutlak untuk
menunjang kesehatan mereka

• Mahasiswa juga dituntut untuk mampu membuat beberapa sediaan farmasi baik steril
maupun non steril untuk menunjang perkerjaan di masa depan kelak.

• Mahasiswa juga harus mampu bertindak dengan tanggap dalam membuat sediaan obat,
karena para mahasiswa diharapkan menjadi seorang farmasis atau apoteker yang tanggap,
cepat, dan mampu menolong para hewan yang membutuhkan obat untuk kesehatannya

Pertimbangan dibentuknya PP tentang Klasifikasi Obat Hewan

• bahwa Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang


Klasifikasi Obat Hewan, dalam pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang obat hewan

• pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan


Pasal 22 ayat (5), Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pertanian tentang Klasifikasi Obat Hewan.

Klasifikasi obat hewan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik


Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan

Obat Hewan berdasarkan jenis sediaan dapat digolongkan menjadi:


a. Biologik;

b. Farmasetik;

c. Premiks; dan

d. Obat Alami.

Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berdasarkan tingkat bahaya


dalam pemakaian dan akibatnya, diklasifikasikan menjadi:

a. Obat Keras;

b. Obat Bebas Terbatas; dan

c. Obat Bebas

Daftar Obat-obat Hewan yang dilarang menurut Peraturan Menteri Pertanian


Republik Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi
Obat Hewan

Obat Hewan yang Dilarang Dicampurkan Dalam Pakan Sebagai Imbuhan Pakan
(Feed Additive):

1. Argentum Proteinat (Colloidal Silver)


2. Asam Lisergik Dietilamida (LSD)
3. Dimetridazol
4. Dipiron
5. Fenilbutazon
6. Zat Warna: Gentian Violet Rhodamin, Metil Yellow, Metil Red, Malachite Green,
Auramin, Metil Violet, Ponceu 3R

7. Golongan beta 1-adrenergic agonist

8. Golongan beta 2-adrenergic agonist


9. Golongan Pestisida kecuali Cyromazine
10. Ipronidazol
11. Karbadoks
12. Roksarson
13. Karbon Tetraklorida
14. Thalidomide
Obat Hewan yang Dilarang Pemakaiannya Secara Oral, Parenteral dan Topikal:
1. Amphetamine
2. Dihydrostreptomycin (DHS)
3. Kloramfenikol
4. Nitrofuran
5. Fenilbutazone
6. Golongan beta 1-adrenergic agonist
7. Golongan beta 2-adrenergic agonist
8. Karbadoks
9. Karbon Tetraklorida
10. Olaquindoks
11. Roksarson
12. Thalidomide
13. Antibiotik yang dicampurkan dengan vitamin, mineral, asam amino dan obat hewan
alami
14. Obat hewan alami yang dicampur obat hewan sintetik.

Kesimpulan :
Pada Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/
PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan menjelaskan tentang klasifikasi obat
hewan, obat hewan itu sendiri, kandungan obat, pemakaian obat, izin atas usasa obat,
pelarangan penggunaan obat hewan, pencampuran obat hewan dalam pakan, zat yang
terkandung dalam obat hewan, obat hewan dengan keperluan terapi da n reproduksi,
penerapan dan penggunaan obat hewan, serta pengawasan akan obat hewan itu sendiri.
MATERI 8

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 3 TAHUN 2019 TENTANG


PELAYANAN JASA MEDIK VETERINER

Pada dasarnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 tahun 2019 merupakan


penjabaran dan upaya untuk mengatur pelaksanaan Pasal 75 PP nomor 3 tahun 2017
tentang Otoritas Veteriner.

Pelayanan Jasa Medik Veteriner adalah layanan jasa yang berkaitan dengan
kompetensi dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik
kedokteran hewan, sedangkan Medik Reproduksi adalah penerapan Medik Veteriner dalam
penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang reproduksi hewan.

Jenis Pelayanan Jasa Medik Veteriner meliputi:

a. Pemberian diagnosis dan prognosis Penyakit Hewan;

b. Tindakan transaksi terapetik; dan

c. Konsultasi Kesehatan Hewan dan pendidikan kepada klien atau masyarakat mengenai
kesehatan hewan dan lingkungan.

Tenaga kesehatan Hewan terdiri atas:

a. Tenaga Medik Veteriner;

b. Tenaga Paramedik Veteriner; dan

c. Sarjana Kedokteran Hewan.

Tenaga Paramedik Vetereiner yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b terdiri atas:

a. Tenaga Paramedik Veteriner kesehatan hewan;

b. Tenaga Paramedik Veteriner inseminasi buatan;

c. Tenaga Paramedik Veteriner pemeriksaan kebuntingan; dan

d. Tenaga Paramedik Veteriner asisten teknik reproduksi


MATERI 9

Qanun Sistem Jaminan Halal


No.8 Tahun 2016

A. Dalam qanun ini yang dimaksud dengan

 Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan tuntunan syari’at
Islam.

 Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk
mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian Produk.

 Sistem Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat SJPH adalah suatu sistem
manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat
halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai ketentuan LPPOM
MPU Aceh.

 Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap
kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal, nomor registrasi halal, dan
label halal.

 SJPH berasaskan:

a) keislaman;
b) keadilan;
c) perlindungan;
d) kepastian;
e) pengayoman;
f) keterbukaan; dan
g) efektifitas dan efisiensi.
 SJPH bertujuan memberikan perlindungan, ketentraman dan kepastian hukum kepada
masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan Produk Halal dan higienis demi
kesehatan jasmani dan rohani.

B. Penataan dan Pengawasan Produk Halal

 Penataan merupakan bagian dari pembinaan bagi Pelaku Usaha yang dilakukan
Pemerintah Aceh dalam rangka memastikan Produk Halal sesuai dengan kewenangannya.

 Pengawasan terhadap Produk Halal meliputi:

a. asal bahan baku, proses produksi dan fasilitas produksi pada produk pengolahan
hewani dan/atau nabati, obat-obatan dan kosmetika;
b. produk mikrobial dan penggunaannya;
c. penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen,
pasca panen dan pengolahan hasil;
d. hasil tanaman pangan dan holtikultura, peredaran produk makanan dan minuman,
baik yang berkemasan maupun tidak berkemasan;
e. asal bahan-bahan baku dan prosesnya untuk membuat obat dan kosmetik.

 Penataan dan pengawasan Produk Halal dilakukan oleh LPPOM MPU Aceh sebagai
badan otonom MPU Aceh yang bersifat permanen.

C. Bahan Baku dan Proses Produk Halal

 Bahan baku yang digunakan untuk produk meliputi bahan utama, bahan tambahan
dan/atau bahan penolong.

 Bahan baku yang tidak halal, meliputi:

a. bahan baku hewani yang diharamkan;


b. bahan baku nabati yang diharamkan; dan
c. bahan baku kimiawi yang diharamkan.
D. Tata Cara Sertifikasi Halal
 Permohonan sertifikasi halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada LPPOM
MPU Aceh.

 Persyaratan permohonan sertifikasi halal ditetapkan oleh LPPOM MPU Aceh.

 Auditor LPPOM MPU Aceh dalam memeriksa kelengkapan persyaratan sertifikasi halal
dapat melakukan uji laboratorium.

 Hasil pemeriksaan dan uji laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29


diserahkan kepada MPU Aceh untuk diterbitkan sertifikat halal.

 Sertifikat Halal berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan oleh LPPOM MPU
Aceh, kecuali terdapat perubahan proses pengolahan dan komposisi bahan.

 Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaharuan
Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa berlaku.

E. Pelaku Usaha

 Pelaku Usaha berkewajiban:

a) Mengajukan permohonan sertifikasi halal terhadap produk yang belum bersertifikat


halal.

b) Mengangkat penyelia/pengawas produk

c) Halal pada perusahaannya;

d) Memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur;

e) Menjaga proses kehalalan produk;

f) Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir;

g) Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada LPPOM MPU Aceh;

h) Memberikan kesempatan pelatihan kepada penyelia/pengawas halal secara berkala;


i) Memajang Sertifikat Halal LPPOM MPU Aceh pada tempat usahanya yang mudah
dibaca oleh konsumen; dan

j) Mencantumkan logo halal LPPOM MPU Aceh pada kemasan produk dengan ukuran
yang mudah terlihat.

k) Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan dalam memproduksi produk halal, dikenai
sanksi administratif berupa:

a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. tidak di berikan atau dicabut izin produksi;
d. tidak diberikan atau dicabut izin edar di aceh;
e. pencabutan sertifikat halal;
f. tidak diberikan atau dicabut izin usaha; dan/atau
g. denda administratif.
F. Ketentuan Uqubat dan Pidana

 Pelaku Usaha beragama Islam yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah
memperoleh sertifikat halal dikenakan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan umum
paling banyak 60 (enam puluh) kali, atau pidana penjara paling lama 60 (enam puluh)
bulan, atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni.

 Pelaku Usaha beragama bukan Islam yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah
memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sesuai dengan Undang-Undang tentang
Jaminan Produk Halal dan/atau dapat memilih untuk menundukkan diri secara sukarela
pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d dilakukan
oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan
Islam, pelaku usaha yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri
secara sukarela pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
MATERI 10

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

 Mempunyai 14 Bab dan 32 Pasal

 Ditetapkan di Banda Aceh pada tanggal 28 Juli 2016 oleh Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah

 Diundangkan di Provinsi Aceh mulai tanggal 29 Juli 2016.

Menimbang :

a. bahwa ternak sapi dan kerbau di Aceh perlu dijaga keseimbangan dan kelestarian
populasinya;

b. bahwa di Aceh tingkat pemotongan sapi dan kerbau betina produktif relatif tinggi
sehingga perlu dilakukan pengendalian;

c. bahwa berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, Provinsi berkewenangan melakukan pengelolaan wilayah sumber
bibit ternak dan rumpun/galur ternak yang wilayahnya lebih dari 1 (satu) Daerah
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 3

Ruang lingkup yang diatur dalam Qanun ini meliputi:

a. identifikasi dan penetapan status reproduksi

b. penyeleksian, penjaringan dan pembibitan

c. sertifikasi

d. kesejahteraan hewan

e. pengendalian penyembelihan
f. pengendalian lalu lintas

g. pembinaan dan pengawasan

h. koordinasi dan kerjasama

i. peran serta masyarakat

j. pembiayaan dan subsidi.

BAB II

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN STATUS REPRODUKSI

Pasal 4

(1) Setiap pemilik ternak sapi dan/atau kerbau wajib memiliki Kartu Ternak.

(2) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat;

a. identitas kepemilikan ternak; b. identitas ternak; dan c. mutasi ternak.

(3) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk setiap ternak
sapi atau kerbau.

(4) Setiap pemilik ternak sapi dan kerbau wajib melaporkan ternaknya kepada petugas
paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah kelahiran untuk memperoleh Kartu Ternak.

(5) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 15 (Lima
belas) hari sejak ternak sapi dan/atau kerbau dilaporkan kelahirannya.

(6) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.

BAB III

PENYELEKSIAN, PENJARINGAN DAN PEMBIBITAN

Pasal 10

(1) Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan


sebagai berikut:

a. ternak asli dan/atau ternak lokal;


b. sehat dan bebas dari penyakit hewan menular dan/atau tidak menular yang dinyatakan
dengan surat keterangan dokter hewan; dan

c. performa memenuhi kriteria bibit.

(2) Penjaringan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
pemeriksaan terhadap:

a. dokumen kepemilikan ternak yang dikeluarkan oleh Keuchik atau nama lain;

b. surat keterangan kesehatan hewan dari dokter hewan yang berwenang; dan

c. performa ternak sesuai dengan surat keterangan dari Pengawas Bibit Ternak.

(4) Dalam pelaksanaan penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten /Kota mengikutsertakan:

a. Kelompok budidaya ternak;

b. Pemerintah Gampong atau nama lain;

c. Pedagang dan/atau Pedagang Perantara (Mugee);

d. Petugas Pasar Hewan;

e. Pengelola/penanggung jawab RPH;

f. Petugas Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan);

g. Pengawas Pembibitan Ternak (Wasbitnak).

BAB IV

SERTIFIKASI

Pasal 15

(1) Sertifikasi dan penandaan dilakukan untuk menyatakan ternak sapi dan kerbau betina
telah memenuhi standar yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penetapan jenis ternak dan klasifikasi ternak yang akan disertifikasi dilakukan setelah
diinventarisir ternak sapi dan kerbau betina produktif yang layak menjadi Bibit.

(3) Sertifikat kelayakan menjadi Bibit dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Bibit yang
terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal lembaga sertifikasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum terbentuk, Gubernur meminta kepada Menteri Pertanian Republik Indonesia untuk
menunjuk lembaga atau instansi yang mempunyai kompetensi.

BAB V

KESEJAHTERAAN HEWAN

Pasal 16

(1) Aspek kesejahteraan hewan harus dipatuhi dan diterapkan pada setiap usaha pengendalian
sapi dan kerbau betina produktif.

(2) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan ternak sapi dan kerbau betina produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tindakan yang berkaitan dengan:

a. penangkapan;

b. penanganan;

c. penempatan dan pengandangan;

d. pemeliharaan dan perawatan;

e. pengangkutan;

f. penyembelihan;

g. perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap ternak.

Ketentuan mengenai kesejahteraan ternak sapi dan kerbau sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dilakukan secara patut yang meliputi:

a. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaikbaiknya sehingga


memungkinkan ternak sapi dan kerbau dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
b. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman ternak sapi dan kerbau
dilakukan sebaik-baiknya sehingga ternak sapi dan kerbau tidak kekurangan air dan
pakan, bebas dari rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan serta rasa takut dan stres.

c. pengangkutan ternak sapi dan kerbau dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga sapi
dan kerbau bebas dari rasa takut dan stres serta bebas dari penganianyaan.

d. penggunaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau dengan sebaik-baiknya sehingga
ternak sapi dan kerbau bebas dari kekerasan dan penyalahgunaan.

BAB VI

PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN

Pasal 17

Usaha pengendalian penyembelihan ternak sapi dan kerbau betina produktif dilakukan
dengan cara:

a. sosialisasi kepada peternak, petugas RPH, orang yang menyembelih dan pelaku
usaha/pedagang/pedagang perantara (mugee) ternak;

b. komunikasi, informasi dan pendidikan; dan

c. mewajibkan pemeriksaan identitas status reproduksi dan kesehatan ternak sapi dan kerbau
betina yang akan disembelih.

Manajemen RPH yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai
sanksi administrasi berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. penghentian sementara izin usaha penyembelihan.

c. pencabutan izin usaha penyembelihan.

BAB VII

PENGENDALIAN LALU LINTAS

Pasal 22
(1) Ternak sapi dan/atau kerbau betina produktif dilarang dikeluarkan dari Aceh, kecuali
untuk dibudidayakan dan/atau penelitian.

(2) Pengecualian untuk dibudidayakan dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Provinsi.

(3) Rekomendasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :

a. ketersediaan bibit ternak sapi dan kerbau di Aceh dalam jumlah yang cukup;

b. provinsi tujuan memiliki lokasi untuk pembibitan/budidaya ternak dan/atau untuk


kegiatan penelitian; dan/atau

c. provinsi tujuan menjamin bahwa bibit ternak sapi dan kerbau betina produktif dari
Aceh akan dibudidayakan dan/atau menjadi objek penelitian serta tidak akan
disalahgunakan.

(4) Pelanggaran atas larangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa: a. peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara izin usaha
penyembelihan atau penjualan hasil ternak; dan/atau c. pencabutan izin usaha penjualan
hasil ternak.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 23

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pengendalian penyembelihan sapi dan kerbau betina produktif;

b. penetapan pedoman dan petunjuk penyembelihan sapi dan kerbau betina produktif;
dan

c. pelaporan oleh lembaga/organisasi yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan.


BAB X

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 26

(1) Masyarakat berperan serta dalam pengendalian ternak sapi dan kerbau betina
produktif sejak identifikasi status reproduksi, seleksi penjaringan, pembibitan dan/atau
penyembelihan secara halal.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan.

Anda mungkin juga menyukai