Nim :18020101010038
Kelas:3 ruang 9
MATERI 1
A. Ketentuan umum
Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit
dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen,
pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,
pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan
dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.
Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di darat, air, dan/ atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya.
Hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya
bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan,
bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih
mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan.
B. Otoritas veteriner
Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang antara lain, disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan,
dan ricketsia.
Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan;
hewan dan manusia; serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya melalui
kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara,
tanah, pakan, peralatan, dan manusia; atau dengan media perantara biologis seperti virus,
bakteri, amuba, atau jamur.
Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian
ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi.
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya.
Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan
dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan
manusia.
Sistem kesehatan hewan nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan
unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas
yang berlaku secara nasional.
C. Kesrawan
Kesrawan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
hewan menurut ukuran prilaku alami hewan yang perlu di terapkan dan di tegakkan untuk
melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang
dimanfaatkan manusia.
mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya
saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat
menuju pencapaian ketahanan pangan nasional
melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia,
hewan, tumbuhan, dan lingkungan
mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat; dan
memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
MATERI 2
UU No. 18 Tahun 2009 direvisi menjadi UU No. 41 Tahun 2014 karena UU tersebut tidak
sesuai dengan PP yang ada.
Indonesia sendiri telah mengakomodir pengaturan kesejahteraan hewan atau animal welfare.
Pemerintah diharapkan ikut serta untuk membentuk suatu peraturan hukum yang menyangkut
tentang kesejahteraan hewan.
Negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia melalui penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk
mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka
menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
dipandang tidak sesuai lagi dan perlu disempurnakan untuk dijadikan landasan hukum
bagi penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan.
a. UU No. 18 Tahun 2009 dimotifasi oleh semangat untuk melakukan impor daging
dari luar negeri tanpa memperdulikan kondisi peternakan dalam negeri yang
hidupnya dari penghasilan beternak sapi perah, unggas, produsen susu.
Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) berkaitan dengan kata ”atau zona dalam suatu
negara”, Pasal 59 Ayat (4) berkaitan dengan kata ”atau kaidah internasional” dan
Pasal 68 ayat (4) berkaitan dengan kata ”dapat” bertentangan dengan UUD RI
Tahun 1945 yang diatur dalam “Preambule” ‘Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum,
Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’
b. Maksimum Sekuriti
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan pada Hewan yang antara lain, disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan,
dan rickettsia.
Pasal 2
e. pengobatan Hewan.
b. sistem informasi.
BAB II
Pasal 3
Pasal 4
d. dampak Penyakit Hewan terhadap kesehatan Hewan, manusia, dan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Penyidikan
Pasal 9
Bagian Keempat
Pasal 13
Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dilakukan
untuk meneguhkan diagnosis, mengidentifikasi agen penyakit hewan, bahan berbahaya,
residu, dan cemaran dalam rangka surveilans dan penyidikan.
Bagian Kelima
Peringatan Dini
Pasal 17
(3) Peringatan dini sebagai tindakan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui pembatasan dan pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan
media pembawa penyakit hewan lainnya yang berkaitan dengan wabah penyakit hewan
antarkabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
BAB III
PENCEGAHAN PENYAKIT HEWAN
Pasal 22
b. menyebarnya dari satu pulau ke pulau yang lain di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. menyebarnya dari Wilayah ke Wilayah lain dalam satu pulau di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan
Pasal 27
Biosecurity sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dilakukan dengan cara
pemisahan sementara Hewan baru dari Hewan lama, Hewan sakit dari Hewan sehat,
pembersihan dan desinfeksi, pembatasan lalu lintas orang, Hewan, produk Hewan, dan
media pembawa Penyakit Hewan lainnya dalam unit usaha atau Perusahaan Peternakan.
BAB IV
PENGAMANAN PENYAKIT HEWAN
Pasal 29
d. pengebalan Hewan;
e. pengawasan lalu lintas Hewan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan
lainnya di luar Wilayah kerja karantina;
Pasal 35
a. menjaga agen Penyakit Hewan yang disimpan dan diisolasi dalam suatu laboratorium
tidak mengontaminasi atau disalahgunakan;
b. melindungi Hewan, manusia, dan lingkungan hidup dari agen Penyakit Hewan;
dan/atau
Pasal 36
Penerapan biosafety dan biosecurity harus dilakukan paling sedikit pada pembibitan,
budidaya, tempat penampungan Hewan, pasar Hewan, rumah potong Hewan, alat angkut
Hewan, tempat pelayanan kesehatan Hewan, unit konservasi, dan Laboratorium
Veteriner.
Bagian Keenam
Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit
Hewan Lainnya di Luar Wilayah Kerja Karantina
Pasal 43
(1) Pengawasan lalu lintas Hewan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan
lainnya di luar wilayah kerja karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
huruf e meliputi pengawasan terhadap lalu lintas:
a. Hewan;
(2) Pengawasan lalu lintas Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
terhadap:
a. ternak;
b. Hewan peliharaan;
(3) Pengawasan lalu lintas produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan terhadap:
b. produk Hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko zoonosis secara langsung
kepada manusia; dan
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 48
Pasal 49
a. penutupan Wilayah;
b. pembatasan lalu lintas Hewan rentan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit
Hewan lainnya yang berisiko tinggi;
c. pengebalan Hewan;
h. pendepopulasian Hewan.
Bagian Kedelapan
Pasal 66
(1) Pengeradikasian Penyakit Hewan yang dimaksud dalam Pasal 49 huruf g dilakukan
dengan cara:
e. pengomposan; dan/atau
BAB VI
PENGOBATAN HEWAN
Pasal 74
Pasal 76
(1) Setiap tindakan pengobatan harus dicatat dan didokumentasikan oleh pemilik Hewan,
Peternak, Perusahaan Peternakan, dan/atau tenaga kesehatan Hewan.
BAB VII
PERSYARATAN TEKNIS KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 78
Pasal 79
(1) Persyaratan teknis kesehatan Hewan untuk pemasukan Hewan, produk Hewan
nonpangan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a meliputi:
a. Hewan, produk Hewan nonpangan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya
berasal dari negara dan unit usaha yang telah disetujui oleh Menteri;
b. memenuhi persyaratan kesehatan Hewan yang ditentukan oleh Otoritas Veteriner
Kementerian; dan
c. memiliki jaminan kesehatan Hewan, produk Hewan nonpangan, dan media pembawa
Penyakit Hewan lainnya yang dibuktikan dengan sertifikat veteriner dari Otoritas
Veteriner negara asal.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 86
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan di bidang
pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan yang telah ada dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
MATERI 4
Dengan menimbang,
Pasal 4
Penjaminan Higiene dan Sanitasi dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada
rantai produksi produk Hewan, meliputi cara yang baik :
- di tempat budidaya;
- di tempat produksi pangan asal Hewan;
- di tempat produksi produk Hewan nonpangan;
- di rumah potong Hewan;
- di tempat pengumpulan dan penjualan; dan
- dalam pengangkutan.
Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Di Tempat Budi Daya, Produksi
Pangan Asal Hewan, dan Produk Hewan Non Pangan
- pemisahan Hewan baru dari Hewan lama dan Hewan sakit dari Hewan sehat (untuk
Hewan Potong, di tempat budidaya)
- penjaminan kebersihan kandang, peralatan, dan lingkungannya;
- pencegahan bersarangnya Hewan pengganggu;
- pemberian obat Hewan di bawah Pengawasan Dokter Hewan;
- pemberian pakan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan fisiologis Hewan;
- penjaminan kesehatan dan kebersihan Hewan terutama ambing (untuk Hewan Perah,
di tempat budidaya)
- penjaminan kesehatan dan kebersihan personel
- pencegahan tercemarnya produk hewan oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik.
Pasal 8
Pemotongan Hewan potong yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah potong
Hewan yang:
g. pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan potong dipotong; dan
h. pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya biologis, kimiawi, dan
fisik.
Pasal 9
Hewan potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria paling sedikit:
“SL” untuk Hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong; dan
“TSL” untuk Hewan potong yang tidak sehat dan/atau tidak layak untuk dipotong.
Pasal 10
Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan
insisi. Hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas yang aman dan layak dikonsumsi
dinyatakan dalam bentuk:
pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan yang bertuliskan “telah diperiksa
oleh Dokter Hewan”; dan
Sedangkan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi wajib dimusnahkan di RPH.
Pasal 11
Pemotongan Hewan potong dapat dilakukan di luar rumah potong Hewan dalam hal:
- upacara keagamaan;
- upacara adat; atau
- pemotongan darurat.
Pasal 18
Cara Penjaminan Higiene dan Sanitasi yang Baik Di Tempat Pengumpulan dan
Penjualan
produk Hewan.
Cara yang baik dalam pengangkutan Hewan potong, Hewan perah, dan unggas petelur
dilakukan dengan penjaminan:
pencegahan tercemarnya produk Hewan dari bahaya biologis, kimiawi, dan fisik;
pemisahan produk Hewan yang Halal dari produk Hewan atau produk lain yang tidak
Halal;
penjaminan suhu ruang alat angkut produk Hewan yang dapat menghambat
perkembangbiakan mikroorganisme; dan
- Setiap Unit Usaha produk Hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh
Nomor Kontrol Veteriner kepada pemerintah provinsi berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.
- Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan kepada Unit Usaha yang belum
memenuhi ketentuan. Dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
- Unit Usaha belum memenuhi ketentuan, pemerintah kabupaten/kota wajib mencabut
izin usaha Unit Usaha yang bersangkutan
- Nomor Kontrol Veteriner diberikan dalam bentuk sertifikat oleh Otoritas Veteriner di
bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner di provinsi atas nama gubernur.
Pasal 26
e) Standarisasi
Produk hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah RI harus berasal dari negara dan
Unit Usaha yamg telah disetujui oleh menteri dan memiliki rekomendasi teknik dan izin
pemasukan,dengan mempertimbangkan:
4.Audit pemenuhan sistem jaminan keamanan produk hewan di unit usaha di negara
asal
Jika tidak sesuai ketentuan, maka menteri berhak mengeluarkan surat penolakkan
dan sebaliknya.
Sertifikat veteriner dpt dikeluarkan setelah mendapat izin dari lembaga pemerintahan non
kementrian di bidang pengawasan obat dan makanan.
Satwa liar
Sertifikat veteriner dapat dikeluarkan setelah mendapat izin dari menteri dari konservasi
sumber daya alam hayati.
Pengawasan unit usaha produk hewan dilakukan oleh dokter hewan berwenang yang
memiliki kompetensi sebgai pengawas kesmavet (ditunjuk oleh menteri,gubernur,atau
bupati/walikota) pada:
a. Rumah potong hewan
b.Unit usaha produk hewan selain RPH (tempat pemerahan,tempat produksi telur,tempat
produksi pangan asal hewan lainnya, tempat produksi hewan non pangan, serta tempat
pengumpulan dan penjualan).
5.Menunda menghentikan alat angkut produk hewan yang dicurigai membawa bahaya
biologis, kimiawi dan fisik.
Pengawasan terhadap pemasukan produk hewan dari luar negeri dilakukan pada:
- tempat
- peredaran.
- akan diedarkan
- dalam peredaran
Pejabat yang berwenang adalah:
Sertifikat veteriner
Sertikat halal bagi yang dipersyaratkan (institusi yang berwenang di bidang sertifikasi
halal).
a.
b. penempatan
penangkapan
dan
dan
pengandangan;
penanganan;
c.
d.
pemeliharaan
pengangkutan;
dan perawatan;
e. penggunaan
d. dan
pengangkutan; pemanfaatan;
g. pemotongan dan
pembunuhan; dan
f. perlakuan dan
pengayoman yang
wajar terhadap
Hewan; h. praktik kedokteran
perbandingan
- Pemilik hewan
- Orang yang menangani hewan sebagai bagian dari perkerjaannya
- Pemilik fasilitas pemeliharaan hewan.
PENANGANAN HEWAN AKIBAT BENCANA ALAM
Di era globalisasi perdagangan saat ini dimana berbagai produk olahan dari luar
negeri begitu mudah masuk ke indonesia, maka adanya jaminan kehalalan produk makanan,
minuman, obat-obatan, kosmetika, maupun barang gunaan lainnya menjadi sangat penting
bagi umat islam.
KETENTUAN UMUM
Pasal 4
• Pada pasal 4 UU JPH dinyatakan bahwa “Produk yang masuk, beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
• Produk yang wajib adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
BAB II
Pasal 5
2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan
Presiden.
BAB III
Pasal 17
Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a pada
dasarnya halal kecuali yang diharamkan menurut syariat.
Proses produk halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan
untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengelolaan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, alat
penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian produk tidak halal.
Ruminansia besar merupakan ternak memamah biak yang terdiri dari ternak ruminansia
besar, seperti sapi dan kerbau, serta ternak ruminansia kecil, seperti kambing dan domba (pasal 1
ayat 1).
Daging adalah bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi
oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang dan daging tanpa tulang, dapat berupa
daging segar hangat, segar dingin (chilled) atau karkas beku (frozen) (pasal 1 ayat 6).
Jeroan (edible offal) adalah isi rongga perut dan rongga dada dari ternak ruminansia yang
disembelih secara halal dan benar sehingga aman, lazim, dan layak dikonsumsi oleh manusia
dapat berupa jeroan dingin atau beku (Pasal 1 ayat 9).
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat,
utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner,
kesejahteraan hewan dan syariah agama);
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan
ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.
a. lokasi;
b. sarana pendukung;
Pada RPH dan UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang dapat
memastikan bahwa cara produksi karkas, daging, dan jeroan dapat diterapkan dengan baik dan
konsisten. Fasilitas higiene-sanitasi harus mampu menjamin bahwa proses pembersihan dan
sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkan
secara efektif.
Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk mencuci sepatu
boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas untuk mensucihamakan sepatu boot yang
dilengkapi desinfektan (foot dipping).
RPH dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi dengan air
hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan menggunakan tangan atau tidak
kontak langsung dengan telapak tangan.
Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus memiliki air
bertemperatur tidak kurang dari 82oC yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih, atau
metoda sterilisasi lain yang efektif.
Kebersihan lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek RPH dan/atau
UPD harus dipelihara secara berkala, dengan cara:
Dalam rangka menjamin karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh RPH atau UPD
(UPD) memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan pengawasan
kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan UPD oleh Dokter Hewan Berwenang atau Dokter
Hewan Penanggung Jawab Perusahaan yang disupervisi oleh Dokter Hewan Berwenang.
(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki izin mendirikan
RPH.
(2) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Bupati/Walikota.
(3) Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan izin mendirikan
RPH harus memperhatikan persyaratan teknis RPH.
(4) Izin mendirikan RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindah tangankan
kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Pasal 37
Izin Mendirikan Rumah Potong Hewan dan Izin Usaha Pemotongan Hewan
Pasal 38
Izin mendirikan RPH diberikan oleh Bupati/Walikota. Izin ini tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Pasal 39
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan dan/atau
penanganan daging harus memiliki izin usaha dari Bupati/Walikota. Izin ini tidak dapat dipindah
tangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.
Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dapat dicabut, apabila:
a) Kegiatan pemotongan dan/atau penanganan daging dilakukan di RPH atau UPD yang
tidak memiliki izin mendirikan RPH;
c) Tidak melakukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
berturut-turut setelah izin diberikan
Pasal 40
a) Jenis I : RPH dan/atau milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah
dan sebagai jasa pelayanan umum;
b) Jenis II : RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan
dengan swasta lain;
c) Jenis III : RPH dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara
pemerintah daerah dan swasta.
a) Kategori I : usaha pemotongan hewan di RPH tanpa fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas hangat;
b) Kategori II : usaha pemotongan hewan di RPH dengan fasilitas pelayuan karkas, untuk
menghasilkan karkas dingin (chilled) dan/atau beku (frozen).
Pasal 41
- Setiap RPH dan/atau UPD harus dibawah pengawasan dokter hewan yang ditunjuk
oleh Bupati/Walikota
- Setiap RPH harus mempekerjakan paling kurang satu orang dokter hewan
- Setiap RPH paling kurang memperkerjakan satu orang tenaga pemeriksa daging
(keurmaster)
- Setiap RPH wajib mempekerjakan paling kurang satu orang juru sembelih halal.
Pasal 42
Ketentuan Peralihan
RPH yang pada waktu dikeluarkannya peraturan ini belum memenuhi persyaratan
yang diatur dalam peraturan ini harus menyesuaikan dengan peraturan ini paling lama 5
tahun terhitung sejak peraturan ditetapkan.
MATERI 6
dunia kesehatan
hewan
harus adanya tindakan
pengendalian yang
relevan
keanekaragaman
Beragamnya hewan
hayati
c. Dalam dunia kesehatan hewan ataupun dunia veteriner, segala sesuatu yang berhubungan
dengan hewan dan segala penyakit-penyakitnya karena bila hewan terkena penyakit
f. Maka dari itu perlu dibentuknya undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 1992 tentang obat hewan.
Dengan mengingat ;
Kesehatan Hewan
Obat Hewan
Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan,
membebaskan gejala, atau modifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan
biologik, farmakoseutika, premix, dan sediaan obat hewan alami (Undang-undang RI
Nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan).
Mengurangi dan
Memperbaiki
menghilangkan gejala
reproduksi hewan.
penyakit hewan;
Membantu
Memacu perbaikan menenangkan,
mutu dan produksi memati-rasakan,
hasil hewan; etanasia, dan
merangsang hewan;
Menghilangkan
kelainan atau
memperelok tubuh
hewan;
D. Pengawasan
NOMOR 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017
Latar Belakang
• Perkembangan ilmu farmasi sudah semakin maju. Banyak sekali macam macam jenis
sediaan farmasi yang dikembangkan
• Masyakarakat kita semakin membutuhkan segala jenis obat dengan kerja yang sesuai di
tubuhnya. Kebutuhan obat di kalangan hewan sangatlah penting dan mutlak untuk
menunjang kesehatan mereka
• Mahasiswa juga dituntut untuk mampu membuat beberapa sediaan farmasi baik steril
maupun non steril untuk menunjang perkerjaan di masa depan kelak.
• Mahasiswa juga harus mampu bertindak dengan tanggap dalam membuat sediaan obat,
karena para mahasiswa diharapkan menjadi seorang farmasis atau apoteker yang tanggap,
cepat, dan mampu menolong para hewan yang membutuhkan obat untuk kesehatannya
b. Farmasetik;
c. Premiks; dan
d. Obat Alami.
a. Obat Keras;
c. Obat Bebas
Obat Hewan yang Dilarang Dicampurkan Dalam Pakan Sebagai Imbuhan Pakan
(Feed Additive):
Kesimpulan :
Pada Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/
PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan menjelaskan tentang klasifikasi obat
hewan, obat hewan itu sendiri, kandungan obat, pemakaian obat, izin atas usasa obat,
pelarangan penggunaan obat hewan, pencampuran obat hewan dalam pakan, zat yang
terkandung dalam obat hewan, obat hewan dengan keperluan terapi da n reproduksi,
penerapan dan penggunaan obat hewan, serta pengawasan akan obat hewan itu sendiri.
MATERI 8
Pelayanan Jasa Medik Veteriner adalah layanan jasa yang berkaitan dengan
kompetensi dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik
kedokteran hewan, sedangkan Medik Reproduksi adalah penerapan Medik Veteriner dalam
penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang reproduksi hewan.
c. Konsultasi Kesehatan Hewan dan pendidikan kepada klien atau masyarakat mengenai
kesehatan hewan dan lingkungan.
Tenaga Paramedik Vetereiner yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b terdiri atas:
Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan tuntunan syari’at
Islam.
Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk
mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian Produk.
Sistem Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat SJPH adalah suatu sistem
manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat
halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai ketentuan LPPOM
MPU Aceh.
Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap
kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal, nomor registrasi halal, dan
label halal.
SJPH berasaskan:
a) keislaman;
b) keadilan;
c) perlindungan;
d) kepastian;
e) pengayoman;
f) keterbukaan; dan
g) efektifitas dan efisiensi.
SJPH bertujuan memberikan perlindungan, ketentraman dan kepastian hukum kepada
masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan Produk Halal dan higienis demi
kesehatan jasmani dan rohani.
Penataan merupakan bagian dari pembinaan bagi Pelaku Usaha yang dilakukan
Pemerintah Aceh dalam rangka memastikan Produk Halal sesuai dengan kewenangannya.
a. asal bahan baku, proses produksi dan fasilitas produksi pada produk pengolahan
hewani dan/atau nabati, obat-obatan dan kosmetika;
b. produk mikrobial dan penggunaannya;
c. penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen,
pasca panen dan pengolahan hasil;
d. hasil tanaman pangan dan holtikultura, peredaran produk makanan dan minuman,
baik yang berkemasan maupun tidak berkemasan;
e. asal bahan-bahan baku dan prosesnya untuk membuat obat dan kosmetik.
Penataan dan pengawasan Produk Halal dilakukan oleh LPPOM MPU Aceh sebagai
badan otonom MPU Aceh yang bersifat permanen.
Bahan baku yang digunakan untuk produk meliputi bahan utama, bahan tambahan
dan/atau bahan penolong.
Auditor LPPOM MPU Aceh dalam memeriksa kelengkapan persyaratan sertifikasi halal
dapat melakukan uji laboratorium.
Sertifikat Halal berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan oleh LPPOM MPU
Aceh, kecuali terdapat perubahan proses pengolahan dan komposisi bahan.
Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaharuan
Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa berlaku.
E. Pelaku Usaha
j) Mencantumkan logo halal LPPOM MPU Aceh pada kemasan produk dengan ukuran
yang mudah terlihat.
k) Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan dalam memproduksi produk halal, dikenai
sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. tidak di berikan atau dicabut izin produksi;
d. tidak diberikan atau dicabut izin edar di aceh;
e. pencabutan sertifikat halal;
f. tidak diberikan atau dicabut izin usaha; dan/atau
g. denda administratif.
F. Ketentuan Uqubat dan Pidana
Pelaku Usaha beragama Islam yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah
memperoleh sertifikat halal dikenakan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan umum
paling banyak 60 (enam puluh) kali, atau pidana penjara paling lama 60 (enam puluh)
bulan, atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni.
Pelaku Usaha beragama bukan Islam yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah
memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sesuai dengan Undang-Undang tentang
Jaminan Produk Halal dan/atau dapat memilih untuk menundukkan diri secara sukarela
pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d dilakukan
oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan
Islam, pelaku usaha yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri
secara sukarela pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
MATERI 10
Ditetapkan di Banda Aceh pada tanggal 28 Juli 2016 oleh Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah
Menimbang :
a. bahwa ternak sapi dan kerbau di Aceh perlu dijaga keseimbangan dan kelestarian
populasinya;
b. bahwa di Aceh tingkat pemotongan sapi dan kerbau betina produktif relatif tinggi
sehingga perlu dilakukan pengendalian;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 3
c. sertifikasi
d. kesejahteraan hewan
e. pengendalian penyembelihan
f. pengendalian lalu lintas
BAB II
Pasal 4
(1) Setiap pemilik ternak sapi dan/atau kerbau wajib memiliki Kartu Ternak.
(3) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk setiap ternak
sapi atau kerbau.
(4) Setiap pemilik ternak sapi dan kerbau wajib melaporkan ternaknya kepada petugas
paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah kelahiran untuk memperoleh Kartu Ternak.
(5) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 15 (Lima
belas) hari sejak ternak sapi dan/atau kerbau dilaporkan kelahirannya.
(6) Kartu Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
BAB III
Pasal 10
(2) Penjaringan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
pemeriksaan terhadap:
a. dokumen kepemilikan ternak yang dikeluarkan oleh Keuchik atau nama lain;
b. surat keterangan kesehatan hewan dari dokter hewan yang berwenang; dan
c. performa ternak sesuai dengan surat keterangan dari Pengawas Bibit Ternak.
(4) Dalam pelaksanaan penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten /Kota mengikutsertakan:
BAB IV
SERTIFIKASI
Pasal 15
(1) Sertifikasi dan penandaan dilakukan untuk menyatakan ternak sapi dan kerbau betina
telah memenuhi standar yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penetapan jenis ternak dan klasifikasi ternak yang akan disertifikasi dilakukan setelah
diinventarisir ternak sapi dan kerbau betina produktif yang layak menjadi Bibit.
(3) Sertifikat kelayakan menjadi Bibit dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Bibit yang
terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal lembaga sertifikasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
belum terbentuk, Gubernur meminta kepada Menteri Pertanian Republik Indonesia untuk
menunjuk lembaga atau instansi yang mempunyai kompetensi.
BAB V
KESEJAHTERAAN HEWAN
Pasal 16
(1) Aspek kesejahteraan hewan harus dipatuhi dan diterapkan pada setiap usaha pengendalian
sapi dan kerbau betina produktif.
(2) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan ternak sapi dan kerbau betina produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tindakan yang berkaitan dengan:
a. penangkapan;
b. penanganan;
e. pengangkutan;
f. penyembelihan;
c. pengangkutan ternak sapi dan kerbau dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga sapi
dan kerbau bebas dari rasa takut dan stres serta bebas dari penganianyaan.
d. penggunaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau dengan sebaik-baiknya sehingga
ternak sapi dan kerbau bebas dari kekerasan dan penyalahgunaan.
BAB VI
PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN
Pasal 17
Usaha pengendalian penyembelihan ternak sapi dan kerbau betina produktif dilakukan
dengan cara:
a. sosialisasi kepada peternak, petugas RPH, orang yang menyembelih dan pelaku
usaha/pedagang/pedagang perantara (mugee) ternak;
c. mewajibkan pemeriksaan identitas status reproduksi dan kesehatan ternak sapi dan kerbau
betina yang akan disembelih.
Manajemen RPH yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai
sanksi administrasi berupa:
BAB VII
Pasal 22
(1) Ternak sapi dan/atau kerbau betina produktif dilarang dikeluarkan dari Aceh, kecuali
untuk dibudidayakan dan/atau penelitian.
(3) Rekomendasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. ketersediaan bibit ternak sapi dan kerbau di Aceh dalam jumlah yang cukup;
c. provinsi tujuan menjamin bahwa bibit ternak sapi dan kerbau betina produktif dari
Aceh akan dibudidayakan dan/atau menjadi objek penelitian serta tidak akan
disalahgunakan.
(4) Pelanggaran atas larangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa: a. peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara izin usaha
penyembelihan atau penjualan hasil ternak; dan/atau c. pencabutan izin usaha penjualan
hasil ternak.
BAB VIII
Pasal 23
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
b. penetapan pedoman dan petunjuk penyembelihan sapi dan kerbau betina produktif;
dan
Pasal 26
(1) Masyarakat berperan serta dalam pengendalian ternak sapi dan kerbau betina
produktif sejak identifikasi status reproduksi, seleksi penjaringan, pembibitan dan/atau
penyembelihan secara halal.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan.