Etiologi Penyakit Periodontal
Etiologi Penyakit Periodontal
Etiologi atau factor penyebab dari penyakit periodontal dibagi menjadi dua yaitu factor
local dan sistemik. Factor local meliputi plak dan faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya akumulasi plak, sedangkan factor sistemik meliputi kondisi kesehatan yang
ikut mempengaruhi timbulnya kelainan atau penyakit didaerah jaringan periodontal.
Gambar 1
1
Patogenitas dari Plak gigi biofilm disebabkan didalam biofilm terdapat
komponen bakteri yang dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotic dan
bahan kemoterapeutik lainnya dan menurunkan kemampuan fagositosis dari sel
inflamasi host.
2
Pemberian warna digunakan untuk menandai hubungan antara komplek
bakteri dengan infeksi periodontal. Komplek biru, kuning, hijau dan ungu
memnandakan koloni awal yang merupakan flora sub gingiva. Sedangkan
kompleks orange dan merah menunjukkan koloni akhir yang berhubungan
dengan mature subginggival plaque. Komplek bakteri tertentu berhubungan
dengan kesehatan dan penyakit. 12,13 Sebagai contoh pada bakteri di kompleks
berwarna merah berhubungan dengan indicator klinis dari periodontal disease
seperti poket periodontal dan clinical attachment loss (CAL).
Gambar 2
3
dapat menghilagkan bofilm plak tersebut. Antiseptic seperti pada obat kumur,
dapat membantu mengontrol pembentukan biofilm tetapi formulanya harus
dapat melakukan penetrasi ke dalam matriks plak dan memudahkan akses
mengenai bakteri pathogen.
Saluran (channel) antara koloni yang satu dengan koloni yang lain digunakan
untuk proses sirkulasi dari nutrisi dan pemakaian produk serta pembuangan sisa
metabolisme.16-17 Juga terjadi proses interaksi metabolisme antar bakteri yang
berbeda yaitu adanya saling keterkatan produk metabolisms substrak sehingga
terbentuk rangkaian pemakaian energi yang efektif, contoh proses interaksi
metabolism dapat dilihat pada gambar 3. 1
Gambar 3
Bakteri didalam biofilm berkomunikasi satu sama lain dengan proses yang
disebut quorum sensing. Sistem komunikasi ini memungkinkan bakteri
memonitor keberadaan masing-masing dan untuk memodulasi ekspresi gen
dalam respon terhadap jumlah bakteri diarea di dalam biofilm.10
4
gigi. Pelikel ini membuat permukaan gigi mudah dilekati oleh koloni spesifik
bakteri. Kelejar saliva menghasilkan beberapa protein dan peptide yang
kemudian berkontribusi terhadap pembentukan biofilm. Sebagai contoh,
mucin saliva seperti MUC5B dan MUC7 berkontribusi dalam pembentukan
acquired pellicle 18-19 . Pembentukan Acquired pellicle terjadi beberapa menit
setelah pembersihan gigi, kemudian kurang dari satu jam, mikroorganisme
melekat pada pelikel, khususnya bakteri gram positif coccus sebagai
mikroorganisme pertama yang membentuk koloni. Kemudian bakteri
memasuki tahap persiapan memasuki lag phase dimana bakteri melakukan
pergantian ekspresi gen dikarena perubahan pola hidup dari bebas sebagai
planktonic menjadi hidup menetap dan berkoloni.
2. Rapid Growth
Selama fase percepatan pertumbuhan bakteri yang melekat mensekresi
sejumlah besar ekstraseluler water-insoluble polisakarida untuk membentuk
matriks biofilm. Pertumbuhan mikrokoloni bersama dengan matriks terjadi.
Selama waktu berjalan, terjadi penambahan jumlah varietas bakteri yang
melekat pada koloni awal yang proses ini disebut dengan coaggregation dan
kompleksitas bakteri dari biofilm bertambah. Proses ini menggunakan
interaksi selektif molekul yang membentuk struktur stratifikasi didalam
biofilm. Coaggregation dan subsequent divisi sel juga menambah ketebalan
dari biofilm tersebutdapat dilihat pada gambar 4.20-22
Gambar 4
3. Steady State/Detachment
Selama Fase steady state ini, bakteri yang terletak di bagian dasar biofilm
memperlambat pertumbuhannya dan menjadi statis. Bakteri yang berada
5
didalam biofilm menunjukan tanda kematian dintunjukkan dengan sel bakteri
yang mengalami disrupted dan other cells devoid of sitoplasma. Bakteri yang
dekat permukaan remain intact. Selama fase ini, ditemukan adanya Kristal
didalam matriks antar bakteri yang menunjukkan proses awal mineralisasi
kalkulus.23 Selama fase ini terjadi pelepasan dan perjalanan bakteri untuk
melakukan perlekatan kembali dipermukaan lainnya kemudian membentuk
koloni biofilm yang baru.
6
Gambar 5
Interleukin-1 beta(IL-1β), prostaglandin, tumor necrosis factor (TNF-α)
dan matrix metalloproteinase adalah mediator yang membawa
neutrophil menuju area infeksi secara kemotaksis dan menyebabkan
peningkatan permeabiitas dari pembuluh kapiler gingiva, kemudian
diikuti migrasi protein plasma dari pembuluh darah menuju ke
jaringan
Selama proses inflamasi gingiva berlangsung, mediator lainnya
dihasilkan berikut sel-sel inflamasi lainnya seperti neutrophil, T cell,
monosit ke area infeksi
Sitokin proinflamatory dihasilkan oleh jaringan sebagai respon
terhadap proses inflamasi yang kronis dan protein ini yang kemudian
meningkatkan respon inflamasi local dan menyebabkan inisiasi dan
progesif dari inflamasi sistemik dan penyakit
Akibat dari inflamasi kronis adalah rusaknya jaringan kolagen pada gingiva
dan akumulasi produk inflamasi yang menyebabkan munculnya tanda klinis
gingivitis. Pada beberapa individu, prses inflamasi juga berakibat pada rusaknya
jaringan kolagen pada ligament periodontal dan resorbsi tulang alveolar. Pada
tahap ini gingivitis telah berkembang menjadi periodontitis. Sehingga mengontrol
plak biofilm pada gigi sangat penting untuk mencegah dan mengembalikan
kondisi gingivitis ke keadaan sehat serta mencegah dan untuk manajemen
perawtan periodontitis.
7
C. Kalkulus dan Faktor predisposisi Lokal 1
1. Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri yang termineralisasi yang terbentuk pada
permukaan gigi secara alami dan pada protesa. Kalkulus dibagi menjadi: Kalkulus
Supragingiva dan Kalkulus Subgingiva.
Kalkulus Supragingival berlokasi di margin gingiva dan terlihat dari kavitas
mulut. Berwarna: putih atau putih kekuningan. Keras seperti konsistensi tanah liat
(claylike). Mudah terlepas dari permukaan gigi. Setelah dihilangkan, cepat ada lagi,
terutama di daerah lingual atau insisif mandibular. Warna dapat dipengaruhi kontak
rokok dan warna makanan. Lokasi pada satu gigi atau beberapa gigi, atau
keseluruhan mulut. Sedangkan Kalkulus Subgingiva berlokasi di bawah puncak
margin gingiva, tidak terlihat pada pemeriksaan klinis rutin. Keras dan padat, warna
coklat gelap atau hijau kehitaman dan melekat erat pada permukaan gigi. Lokasi dan
luasnya kalkulus subgingival dapat dievaluasi oleh persepsi taktil dengan instrumen
dental seperti expoler misalnya WHO 621 probe untuk mendeteksi dan menskor
kalkulus subgingival.
Ketika jaringan gingiva resesi, kalkulus subgingiva menjadi terlihat dan karena
itu direklasifikasi mjd supragingiva. Kalkulus supragingiva dapat terdiri dari kalkulus
supragingiva dan yang sebelumnya kalkulus sub gingival. Penurunan inflamasi gingiva
dan pengurangan kedalaman probing dapat diamati setelah menghilangkan plak
subgingiva dan kalkulus.
Prevalensi Kalkulus
Anerud, dkk. Selama 15 tahun, meneliti Status periodontal buruh teh Sri
Lanka dibandingkan Kelompok akademisi Norwegia. Pembentukan kalkulus
supragingiva diamati sejak gigi erupsi hasilnya pada Buruh teh Sri Lanka, daerah
pertama yang menunjukkan deposit kalkulus adalah aspek facial molar maxila dan
permukaan lingual insisif mandibula. Deposisi kalkulus supragingiva berlanjut terus,
mencapai nilai kalkulus maksimal di usia 25-30 tahun. Sebagian besar gigi tertutup
kalkulus, permukaan facial memiliki kalkulus kurang dari permukaan lingual atau
palatal. Akumulasi kalkulus simetris. Kalkulus subgingiva muncul pertama kali secara
mandiri atau pada daerah proksimal di mana kalkulus subgingiva sudah ada. Pada
Kelompok Akademisi Norwegia dimana kelompok ini menerima instruksi Oral
Higiene dan akses perawatan gigi preventif terjadi pengurangan tanda akumulasi
kalkulus dibandingkan kelompok Sri Lanka.
8
Komposisi Kalkulus
Terdiri dari bahan Inorganic Content sebanyak 70-90% dan sisanya bahan
organik. Bahan Inorganik terdiri dari 76% calcium phosphate Ca 3(PO4)2, 3% calcium
carbonate CaCO3, magnesium phoshate Mg3(PO4)2. Komponen penting inorganik
berupa calcium, phosphorus, carbondioxide, magnesium dan sedikit sodium, zinc,
strontium, bromine, copper, manganese, tungsten, gold, aluminium, silicon, iron,
fluorine. Dua pertiga komponen inorganic merupakan struktur kristalin berupa
Hydroxyapatite, Octacalcium phosphate, Brushite (pada kalkulus mandibular
anterior) dan Magnesium whitlockite (pada kalkulus di posterior). Bahan Organik
terdiri dari campuran protein-polisakarida kompleks, sel-sel epitel desquamated,
leukosit, dan berbagai jenis mikroorganisme. Pada Kalkulus subgingiva komposisi
kalsium fosfat meningkat dan sodium meningkat bersamaan dengan kedalaman
poket. Sedangkan pada Kalkulus supragingiva komposisi didominasi oleh protein
pada saliva.
Pembentukan Kalkulus
Kalkulus merupakan plak gigi yang termineralisasi. Plak lunak mengeras oleh
pengendapan garam mineral, dimulai antara hari ke-1 sampai dengan hari ke-14
pembentukan plak. Kalsifikasi terjadi dalam waktu 4-8 jam. Plak terkalsifikasi
menjadi 50% mineral selama 2 hari dan 60-90% mineral di 12 hari. Semua plak tidak
selalu mengalami kalsifikasi. Plak awal mengandung sejumlah kecil bahan anorganik,
yang meningkat jika plak berkembang mnjadi kalkulus. Plak yang tidak berkembang
menjadi kalkulus mencapai kandungan mineral maksimal dalam 2 hari.
Sumber mineralisasi kalkulus berasal dari Saliva untuk kalkulus supragingiva
dan transudat serum yang disebut cairan sulkus gingiva untuk kalkulus subgingival.
Konsentrasi kalsium pada plak adalah 2-20 kali dibanding pada saliva. Plak awal
pembentuk kalkulus berat mengandung lebih banyak kalsium, 3x lebih banyak fosfor,
kalium kurang (dibanding pembentuk non kalkulus), sehingga dapat disimpulkan
peranan fosfor penting dalam mineralisasi plak. Kalsifikasi mengikat ion kalsium ke
kompleks karbohidrat-protein dari matriks organik dan pengendapan garam kristal
kalsium fosfat. Dimulai pada bagian yang berdekatan dengan permukaan gigi disertai
perubahan kandungan bakteri dan kualitas pewarnaan dari plak, jumlah bakteri
filamen meningkat dan berubah dari basophilic ke eosinophilic.
Klasifikasi kalkulus berdasarkan pembentuk kalkulus: Heavy calculus formers,
Moderate calculus formers, Slight calculus formers, Noncalculus formers. Inisiasi
kalsifikasi dan tingkat akumulasi kalkulus bervariasi antar individu, antar gigi pada
gigi yang sama, dan pada waktu yang beda pada orang yang sama. Waktu yang
9
diperlukan untuk mencapai tingkat maksimal pembentukkan calculus antara 10
minggu sampai dengan 6 bulan.
2. Faktor Iatrogenik
Faktor Iatrogenik yaitu faktor yang disebabkan oleh prosedur dental yang
inadequate yang berkontribusi terhadap kesehatan dan penurunan (resesi) jaringan
periodontal. Prosedur dental meliputi pembuatan restorasi atau pemakaian denture
pada gigi. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk memelihara kesehatan jaringan
periodontal pada saat pembuatan atau pemasangan restorasi gigi dan removable
partial denture antara lain :
• Lokasi ginggival margin restorasi
• Space diantara margin restorasi dan unprepared tooth
• Kontur restorasi
• Oklusi
• Bahan Material restorasi
• Prosedur restorasi dan
• Desain removable partial denture
10
Margin Restorasi
11
Restorasi yang celah interproximalnya Embrasure tidak Tepat bisa menyebabkan
Akumulasi Plak sehigga menyebabkan Papillary inflammation.
Pada Kontur Area oklusal (marginal ridge serta grooves) maupun cervico oklusal
(diameter mesio distal) yang benar akan membuat makanan yang dikunyah
meluncur menjauhi daerah interproksimal dan mencegah terjadinya food impaction.
Food impaction adalah makanan yang terjepit di daerah periodontium karna adanya
tekanan oklusal pegunyahan. Plunger Cusp yang menyebabkan tekanan sehingga
makanan dapat terkumpul didaerah interproximal embrasures disebut.
Kontak proximal dapat mempengaruhi impaksi makanan, kontak antar gigi yg
terbuka akan memudahkan terjepitnya makanan saat pengunyahan.
Gambar 6
Bahan Material
12
Bahan yang sering menimbulkan iritasi pada jaringan periodontal adalah self-
curing acrylics. Semua bahan restorasi mempunyai kemampuan untuk menyebabkan
penumpukan plak. Tekstur permukaan dari restorasi mempengaruhi perlekatan plak,
karenanya permukaannya harus dipulas dan mudah untuk dibersihkan. Pada area
dibawah bagian pontik dr fixed bridges seharusnya dibuat tidak menyentuh mukosa .
Sehingga akses oral hygiene lebih mudah dan tidak terhalang oleh kontak pontik dg
jaringan. Karena mungkin kontak Pontik dapat menyebabkan akumulasi plak yg
menginisiasi gingival inflammation dan pembentukan pseudopockets.
Penggunakan rubber dam clamps, matrix bands, dan bur yg tidak hati-hati
dapat menyebabkan laserasi atau perlukaan pd ginggiva menyebabkan mechanical
trauma dan inflammation. Meski akan mengalami penyembuhan namun tetap ada
rasa tidak nyaman pada pasien. Gingival Retraction yang terlalu kuat menekan ke
dalam sulcus (membentuk subgingival margins pada gigi untuk prosedur
pencetakkan) dapat menyebabkan mechanically injure dari jaringan periodontium.
Selanjutnya memungkinkan terbentuknya impacted debris sehingga merangsang
reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing.
Maloklusi
Letak gigi yang Irregular seperti pada maloklusi membuat plaque control menjadi
Lebih sulit. Selain itu maloklusi yang mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal
antara lain maloklusi karena kebiasaan tongue thrusting, traumatic Occlussion, dan
anterior open bite.
• Tongue thrusting menyebabkan tekanan lateral yang kuat pada gigi anterior yang
menyebabkan pergerakan dan tilting gigi anterior. Tongue thrusting adalah faktor penting yg
berkontribusi pada tjdnya tooth migration dan anterior open bite (gambar 7)
• Frekuensi kejadian timbulnya Marginal and papillary gingivitis pada maxillary anterior
sextant dalam kasus yg melibatkan anterior open bite dengan mouth breathing.
13
• Restorasi yang tidak nyaman didaerah oklusal dapat menyebabkan occlusal disharmonies
(occlusal discrepancies) injury pada jaringan pendukung periodontium. Penampakan
histologik pada periodontium dengan traumatic occlusion: Pelebaran subcrestal ligamen
periodontal space, penurunan jumlah collagen pada serat oblique and horizontals,
peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi leukosit, and peningkatan jumlah sel of osteoclasts
pada dinding alveolar bone. Namun proses ini berbeda dan terpisah dg proses inflamasi
akibat invasi bakteri yg terjadi didasar sulcus.
Gambar 7
1. Plaque retention,
2. Karena secara langsung dapat Melukai gingiva sebagai akibat dari overextended
bands,
3. Memberikam excessive forces, unfavorable forces, atau keduanya pada gigi dan
jaringan struktur pendukung.
14
Orthodontic treatment seringkali dimulai sesegra setalah gigi permanent erupsi ,
disaat junctional epithelium masih melekat pada permukaan enamel. Orthodontic bands
seharusnya tidak diletakkan menekan antara level of attachment karena itu akan
menghambat perlekatan gingiva pada gigi dan nantinya menyebabkan apical proliferation
dari junctional epithelium dan meningkatkan insidens gingival recession. Nilai rata-rata
alveolar bone loss per patient dari remaja yg melakukan 2 tahun perawatan
orthodontic(observasi selama jangka waktu 5 tahun ) berkisar antara 0.1 - 0.5 mm.
Sedangkan derajat bone loss pada org dewasa mungkin lbh tinggi dibandingkan dg remaja
khususnya jika kondisi periodontal tidak dirawat sebelum memulai orthodontic therapy.
Sehingga orthodontic treatment seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan
uncontrolled periodontal disease.
Prevalensi dari severe root resorption, dengan resorption lbh dr sepertiga panjang
akar, selama orthodontic therapy pada remaja menunjukkan sebesar 3%. Insidenss dari
moderate hingga severe root resorption untuk gigi incissive pd orang dewasa antara usia 20
- 45 thn dilaporkan sebesar 2% pretreatment dan 24.5% posttreatment. Faktor resiko yang
berhubungan dg root resorption selama orthodontic treatment meliputi: duration of
treatment, magnitude of the force applied, direction of the tooth movement, dan continuous
versus intermittent application of forces.
Sangat penting untuk mencegah excessive force dan atau terlalu cepat melakukan
pergerakan gigi dalam orthodontic treatment. Penggunaan elastik untuk menutup diastema
dapat menyebabkan severe attachment loss dg kemungkinan tooth loss saat elastik
menggerakan sepanjang daerah apikal akar. Penghilangan serat fibers dg surgical
dikombinasikan dg perawtaan retensi dapat mengurangi insidens relapse setelah
orthodontic treatment.
Banyak studi klinis telah melaporkan bahwa pencabutan gigi M3 impaksi sering
menyebabkan defek vertikal pada distal M2. Efek iatrogenik ini tidak berhubungan dengan
desain flapnya, namun kejadiannya dikatakan lebih sering terjadi pada gigi molar tiga yang
diekstraksi pada individu yang lebih tua dari 25 tahun. Faktor lain yang menyebabkan
adanya defek tersebut adalah karena adanya plak, BOP/bleeding on probing, dan resorpsi
akar pada area kontak antara M2 dan M3. Termasuk juga, adanya pelebaran folikel
15
patologis pada inklinasi/kemiringan M3 dan posisinya diantara M3 dan M2 (gambar 1). Hal-
hal demikian, akan memicu pembentukkan kalkulus, dimana terdapat tempat-tempat yang
memadai untuk menumpuknya plak dan memungkinkan sulitnya pembersihannya. Oleh
karenanya, dokter gigi sebaiknya mewaspadai jaringan periodontal pasien dengan paska
pencabutan gigi impaksi molar 3, sehingga potensi pembentukan kalkulus menjadi dapat
dicegah (usaha preventif).
Gambar 1
Gambaran radiografi panoramik yang memperlihatkan adanya pelebaran folikel diantara M3 dan M2
Potensi konsekuensi yang merugikan dari pencabutan gigi impaksi molar 3 adalah
terjadinya paresthesia permanen (mati rasa bibir, lidah, dan pipi), dimana terjadi pada
frekuensi sekitar 1:100.000 M3 yang dicabut di United States.
Pasien seringkali tidak menyadari kebiasaan buruk dirinya yang merugikan dan
memungkinkan inisiasi dan perkembangan penyakit periodontal. Luka gingiva iatrogenik
dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti: bahan-bahan kimia, fisik, dan berbagai sumber-
sumber panas. Umumnya luka seperti dapat sembuh sendiri jika kebaisaan buruknya dapat
dikendalikan atau dihilangkan. Injuri seperti ini bersifat akut.
Sumber bahan kimia yang menyebabkan iritasi diantaranya adalah aplikasi topikal
obat-obaan seperti aspirin atau kokain, reaksi alergi terhadap pasta gigi, obat kumur dan
permen karet, serta kebiasaan mengunyah tembakau. Bentuk trauma mekanik tersebut
dapat berasal dari penyalahgunaan sikat gigi, tusuk gigi diantara sela-sela gigi, penerapan
tekanan kuku terhadap gingiva (gambar 2), luka bakar, dan lain-lain.
16
Gambar 2
Resesi gingiva pada bagian atas gigi caninus oleh karena trauma pada pasien yang memiliki kebiasaan
menggigit-gigit kuku
Penting sekali untuk mengetahui kebiasaan buruk oral pasien dapat memicu
terjadinya iritasi pada jaringan periodontal, menginisiasi dan dapat pula mengembangkan
terjadinya penyakit periodontal, guna tindakan preventif sehingga tidak memicu terjadinya
penyakit periodontal
Penggunaan piercing perhiasan di bibir atau lidah telah menjadi hal yang umum
dilakukan baru-baru ini di kalangan remaja dan dewasa muda (gambar 3). Survei Whittle &
Lamden selama 12 bulan, mengatakan bahwa sebanyak 62 dokter gigi menemukan bahwa
97% pasien mereka mengenakan perhiasan tindik di bibir dan lidah.
Gambar 3
17
Insidensi resesi lingual dengan pembentukan poket dan bukti radiografi adanya
kehilangan tulang (gambar 4a dan 4b) pada pasien yang mengenakan lingual "barbells"
selama 2 tahun atau lebih, memperlihatkan bahwa 50% dari subyek usianya rata-rata 22
tahun, yang merupakan usia yang masih relatif muda.
Gambar 4
(a) resesi lingual dengan pembentukan poket (b) radiografi adanya kehilangan tulang
Kegiatan menyikat gigi seyogyanya adalah usaha untuk menghilangkan plak yang
terbentuk secara fisiologis, namun penggunaannya yang kurang tepat akan mengakibatkan
trauma yang akan merusak atau menyebabkan injuri pada permukaan jaringan periodontal.
Abrasi gingiva disertai perubahan dalam struktur gigi, mungkin diakibatkan dari menyikat
gigi secara agresif, baik secara horizontal atau rotary/memutar. Efek merusak yang
berlebihan dari menyikat gigi dengan sangat kuat/forcefull berhubungan pada penggunaan
pasta gigi yang sangat abrasif.
Perubahan gingiva disebabkan oleh trauma menyikat gigi dapat bersifat akut
ataupun kronis. Perubahan akut bervariasi dalam penampilan dan durasi dari permukaan
epitel, misalnya terlihat denurasi jaringan ikat yang mendasari terbentuknya ulkus gingiva
yang painful/menyakitkan (gambar 5).
18
Gambar 5
Hilangnya perlekatan permukaan gingiva dan terlihat adanya ulcer yang painfull pada jaringan yang terpapar
Pada trauma menyikat gigi yang akut, terlihat adanya eritema yang difus & denurasi
attachment gingiva di seluruh mulut dimungkinkan hasil yang paling mencolok dari tindakan
menyikat gigi yang terlalu bersemangat/terlalu kencang. Tanda-tanda abrasi gingiva akut
sering terlihat pada pasien yang pertama kali menggunakan sikat gigi baru. Lesi
puncture/tusuk dapat dihasilkan ketika tekanan berat diaplikasikan oleh bentuk bulu yang
sejajar tegak lurus ke permukaan gingiva. Bulu sikat gigi yang masuk ke dalam gingiva juga
dapat menyebabkan abses gingiva akut.
Sedangkan trauma menyikat gigi yang kronis akan memperlihatkan adanya resesi
gingiva dengan rusaknya permukaan akar, kehilangan perlekatan interproksimal akibat
bakteri periodontitis, serta kehilangan perlekatan bukal dan lingual yang disebabkan oleh
karena abrasi sikat gigi. Penggunaan yang tidak benar dari benang gigi juga dapat
menyebabkan laserasi dari papilla interdental.
Inflamasi gingiva akut mungkin disebabkan oleh iritasi kimia yang dihasilkan baik dari
sensitivitas atau cedera jaringan spesifik. Keadaan ini terutama di negara-negara inflamasi-
19
alergi, perubahan gingiva dapat berkisar dari eritema sederhana sampai pembentukan
vesikel yang painful dan ulserasi. Reaksi berat namun tidak berbahaya untuk penggunaan
obat kumur, pasta gigi, atau bahan gigi tiruan sering dijelaskan kaitannya dengan iritasi
kimia ini. Inflamasi akut dengan ulserasi dapat dihasilkan oleh efek injuri non-spesifik dari
bahan kimia pada jaringan gingiva. Penggunaan obat kumur yang sering, aplikasi topikal
obat-obatan korosif seperti aspirin atau kokain, dan kontak tidak disengaja dengan obat-
obatan seperti fenol atau silver nitrat merupakan contoh yang umum dari penggunaan
bahan kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada gingiva (chemical burn).
Gambar 6
Chemical burn pada jaringan gingiva dan resesi oleh karena obat aspirin
Secara histologis, luka bakar yang disebabkan oleh bahan kimia aspirin menunjukkan
vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat
(gambar 7).
20
Gambar 7
Vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat
Smokeless Tobacco
Terdapat 2 bentuk utama dari Smokeless tobacco, yaitu Snuff dan Chewing tobacco.
Snuff merupakan bentuk potongan halus tembakau yang tersedia dalam kemasan kecil /
dalam sachet, sedangkan chewing tobacco merupakan bentuk potongan yang lebih kasar
dan tersedia dalam bentuk loose leaves, solid block, atau plug. Chewing tobacco/mengunyah
tembakau biasanya ditempatkan di ruang depan bukal mandibula selama beberapa jam, dan
selama itu air liur menjadi encer.
21
Gambar 8
(a) Oral leukoplakia pada vestibulum (b) Leukoplakia, resesi dan kehilangan perlekatan gingiva
Gambar 9
Gambaran histologis oral leukoplakia pada pengguna smokeless tobacco (A) Pola chevronlike dari
hiperkeratosis daerah yang mengalami inflamasi (B) hiperplasia di lapisan basal sel
Terapi Radiasi
Terapi radiasi memiliki efek sitotoksik, baik pada sel normal dan sel ganas.
Pengobatan radiasi membuat endarteritis obliteratif yang menghasilkan iskemia jaringan
lunak dan fibrosis tulang menjadi hypovascular dan hypoxic. Efek merugikan dari terapi
radiasi kepala dan leher termasuk dermatitis dan mukositis dari daerah yang diradiasi, serta
fibrosis otot dan adanya trismus. Mukositis ini biasanya berkembang 5 - 7 hari setelah
22
terapi radiasi dimulai. Beratnya kondisi mukositis ini dapat dikurangi dengan meminta
pasien untuk menghindari sumber iritasi sekunder, seperti: merokok, alkohol, dan makanan
pedas.
Produksi air liur mengalami gangguan secara permanen ketika kelenjar ludah yang
terletak di dalam portal menerima radiasi sebesar ≥6000 cGy. Keadaan xerostomia ini
menyebabkan akumulasi plak yang lebih besar dan mengurangi kapasitas buffer dari air liur.
Penjagaan kebersihan mulut yang efektif, oral profilaksis oleh tenaga profesional, aplikasi
fluoride, dan pemeriksaan gigi secara rutin sangat penting untuk mengontrol penyakit karies
dan penyakit periodontal.
Kehilangan perlekatan periodontal dan kehilangan gigi terjadi lebih besar pada
pasien kanker yang diobati dengan radiasi unilateral berdosis tinggi dibandingkan dengan
sisi lainnya yang tidak terpancar radiasi. Pasien yang didiagnosis kanker mulut dan
membutuhkan
terapi radiasi, idealnya harus dinilai kebutuhan perawatan gigi dan mulutnya sebelum
memulai perawatan radiasi. Mukositis, xerostomia, restorasi yang menjadi rusak, lesi
periapikal, karies koronal dan akar, dan status penyakit periodontal mungkin sekali terjadi
pada penderita kanker yang mendapat perawatan radiasi. Pengobatan dan pencegahan
trismus, infeksi jamur/fungi di rongga mulut, infeksi odontogenik, osteoradionekrosis,
karies/decay, dan penyakit periodontal sangat penting untuk meminimalkan morbiditas oral
untuk pasien ini.
Infeksi gigi dan jaringan periondontal sangat berpotensi dan berisiko menjadi
parah/severe pada pasien dengan radiasi kepala dan leher, sehingga untuk meminimalisir
risiko tersebut dapat dilakukan evaluasi status kesehatan oral, penyediaan dental care, dan
pemberian jarak waktu untuk perbaikan jaringan sebelum dimulai lagi terapi radioterapinya.
D. Faktor Sistemik
Salah satu faktor yang mempengaruhi epidemiologi penyakit periodontal yaitu faktor
sistemik, diantaranya adalah Diabetes mellitus (DM), Gangguan Kardiovaskular, Kehamilan
(BBLR) dan Kebiasaan Merokok.
1. DIABETES MELLITUS (DM)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh
kekurangan insulin yang bersifat absolut dan relatif karena pengeluaran insulin yang
rendah dari pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2003, sekitar 194 juta orang menderita diabetes
mellitus di seluruh dunia, yaitu mencapai 5,1% dari populasi dunia. Jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat hingga 333 juta/6,3% dari populasi dunia tahun
2025 (International Diabetes Federation, 2003).
Salah satu komplikasi diabetes mellitus yang cukup serius di bidang
kedokteran gigi adalah oral diabetik, yang meliputi mulut kering, gusi mudah
23
berdarah (gingivitis), kalkulus, resorbsi tulang alveolaris, periodontitis dan lain
sebagainya. Dari sekian banyak komplikasi yang terjadi, periodontitis merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes mellitus dengan
tingkat prevalensi yang tinggi hingga mencapai angka 75%. Hasil penelitian
tingkat keparahan periodontitis pada 126 penderita diabetes mellitus pada
tahun 2008 terdapat 8 orang (6,3%) yang menderita periodontitis reversibel dan
118 orang (93,7%) yang menderita periodontitis irreversibel. Menurut penelitian
Hidayati Sri, Adin Mu’afiro, Joko Suwito (2008), penderita diabetes mellitus
mempunyai kecenderungan untuk menderita periodontitis lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.
Pada penderita diabetes mellitus, dengan meningkatnya kadar glukosa
dalam darah dan cairan gingival berarti juga merubah lingkungan mikroflora,
menginduksi perubahan bakteri secara kualitatif. Sehingga perubahan tersebut
mengarah pada penyakit periodontal yang berat, dan dapat teramati pada penderita
diabetes melitus dengan kontrol buruk. Berkaitan dengan jaringan periodontal,
hiperglikemia kronik penderita diabetes melitus akan meningkatkan aktivitas
kolagenase, dan menurunkan sintesis kolagen. Enzim kolagenase menguraikan
kolagen, sehingga ligament periodontal rusak, dan gigi menjadi goyah. Jaringan
periodontal akan menjadi kuat kembali apabila diabetes melitus diobati dengan
baik (Lingen MW, Kumar V, 2004).
Terdapat perubahan fungsi sel seperti neutrofil, monosit dan makrofag,
pada orang dengan diabetes mellitus. Proses kemotaksis dan fagositosis neutrofil
sering terganggu. Sel-sel ini merupakan garis pertama dari pertahanan tubuh, dan
penghambatan fungsi dari sel-sel tersebut dapat mencegah penghancuran
bakteri dalam poket periodontal, sehingga dapat meningkatkan kerusakan
periodontal. Makrofag dan monosit sering menunjukkan peningkatan produksi
sitokin proinflamasi dan mediator lain seperti faktor nekrosis tumor (TNF-a)
dalam menanggapi bakteri periodontal yang dapat meningkatkan kerusakan
jaringan tubuh. Peningkatan TNF-a ditemukan dalam cairan sulkus gingiva.
Kontrol glikemik merupakan hal penting dari respons ini.
Perubahan dalam proses penyembuhan luka adalah masalah umum pada
orang dengan diabetes. sel utama dalam periodonsium yaitu fibroblast tidak
mampu berfungsi pada lingkungan dengan kadar gula yang tinggi, selain itu,
kolagen yang diproduksi oleh fibroblas ini rentan terhadap kerusakan oleh enzim
matriks metalloproteinase, produksi enzim ini meningkat pada orang diabetes.
Proses penyembuhan luka pada jaringan periodontal berubah pada orang dengan
hiperglikemia yang berkelanjutan, yang mengakibatkan meningkatnya bone loss dan
kehilangan perlekatan jaringan periodontal. Salah satu karakteristik utama dari
komplikasi diabetes adalah perubahan pada integritas mikrovaskuler. Orang
dengan diabetes, terutama pada kontrol glikemik yang buruk terdapat
peningkatan AGEs dalam jaringan, termasuk periodontium. AGEs adalah link
24
utama diantara berbagai komplikasi diabetes, karena AGEs mendorong perubahan
dalam sel dan komponen matriks ekstraseluler. Perubahan ini, termasuk
perubahan pertumbuhan abnormal dari fungsi sel endotel dan proliferasi
pembuluh darah kapiler, juga terjadi dalam periodonsium dari beberapa orang
dengan diabetes. Akumulasi AGEs pada pasien dengan diabetes juga
meningkatkan intensitas respon immunoinflammatory untuk patogen periodontal,
karena sel-sel inflamasi seperti monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk
AGEs. Interaksi antara AGEs dan reseptor pada sel-sel inflamasi dalam peningkatan
produksi proinflamatory sitokin seperti IL-1 dan TNF-a yang meningkat pada cairan
sulkus gingival yang dapat dilihat pada subyek dengan diabetes dibandingkan
dengan mereka yang tidak diabetes dan mungkin memberikan kontribusi
terhadap peningkatan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal yang
ditemukan dalam berbagai penelitian pada populasi orang dengan diabetes.
Secara umum, hampir 85 % prevalensi DM adalah DM tipe 2. Pada DM tipe 2,
penderita tidak mengalami kerusakan pada sel-sel penghasil insulin, hanya saja
sel- sel tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. DM tipe 2
memiliki perhatian yang sangat signifikan pada kesehatan masyarakat. Penyakit
periodontal telah diketahui secara tradisional semata-mata sebagai konsekuensi
dari penyakit diabetes. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes
meningkatkan resiko alveolar bone loss dan attachment loss pada jaringan
periodontal tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penderita non diabetes
(Mealey B. L., Rethman M. P., 2003).
Periodontitis dapat menyebabkan inflamasi yang berlebihan dalam adiposit
dengan meningkatnya TNF-α, IL-6, IL-1 memasuki sirkulasi sistem. TNF-α adalah
sitokin utama yang bertanggung jawab untuk resistensi insulin yang mengalami
induksi pada level reseptor. IL-6 penting dalam menstimulasi produksi TNF-α, karena
itu peningkatan produksi IL-6 pada penderita diabetes mellitus tipe 2 akan
menghasilkan level IL-6 dan TNF-α sirkulasi yang tinggi pula. Peningkatan level
sitokin ini juga menyebabkan peningkatan produksi C-reaktif protein yang
berdampak pula pada resistensi insulin yang merupakan proses patologis pada
DM tipe 2. Peningkatan TNF-α, IL-6, dan CRP juga dapat dikatakan sebagai
petanda adanya inflamasi jaringan periodontal pada DM tipe 2. Periodontitis
merupakan faktor berkembangnya DM Tipe 2, demikian juga sebaliknya. Pasien
DM Tipe 2 lebih sering menderita periodontitis dan lebih parah dibanding pasien
non-diabetes (Engebretson, 2007 & Struch F, 2008). Menurut Central Disease
Control (2007) di Amerika usia diatas 20 – 60 tahun 23,5 juta (23,10%) penderita,
dan usia diatas 60 tahun sebanyak 12,2 juta (10,70%) penderita. Penderita DM
Tipe 2 lebih sering dan lebih parah jika menderita periodontitis dibanding
dengan orang sehat (Struch F, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nandya (2009) menunjukan bahwa
rata-rata indeks GPI pada penderita diabetes mellitus lebih tinggi dibandingkan
25
indeks GPI pada penderita non-diabetes. Hasil rata-rata GPI juga menunjukan
bahwa dari 30 sampel dengan diabetes mellitus memiliki rata-rata GPI sebesar
3,11683 sedangkan pada penderita non-diabetes memiliki rata-rata sebesar
2,37433. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa penderita diabetes mellitus memiliki
tingkat kerusakan jaringan periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan
penderita non diabetes. Hal ini disebabkan oleh karena diabetes dapat
meningkatkan risiko kerusakan pada jaringan periodontal yang berlanjut dari
waktu ke waktu. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pada pasien
DM tipe 2 terjadi peningkatan risiko empat kali lipat kehilangan tulang alveolar yang
progresif pada orang dewasa dibandingkan dengan pada orang dewasa yang
tidak memiliki diabetes (Mealey B. L. 2006). Seperti gingivitis, risiko
perkembangan periodontitis lebih besar pada pasien dengan diabetes yang
memiliki kontrol glikemik yang rendah dibandingkan dengan pasien diabetes
yang terkendali dengan baik. Kontrol glikemik yang rendah pada pasien dengan
diabetes juga telah dikaitkan dengan peningkatan resiko progresif dari
kehilangan perlekatan jaringan periodontal dan tulang alveolar.
2. GANGGUAN KARDOVASKULER
Penyakit kardiovaskuler dan periodontal merupakan suatu keadaan
inflamasi yang umum pada manusia. Penyakit periodontal merupakan penyakit
inflamasi yang disebabkan oleh bakteri. Inflamasi periodontal dapat berkembang
menjadi penyakit yang destruktif yang menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal. Proses inflamasi dapat melibatkan pembuluh darah secara langsung
atau tidak langsung melalui penyesuaian hemostatik dan pemicu respon inflamasi
sistemik. Penyakit kardiovaskuler penyebab utama kematian di negara Amerika,
Eropa dan Asia. Faktor risiko kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, diabetes
mellitus termasuk periodontitis banyak dijelaskan pada berbagai kasus. Periodontitis
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung
koroner, dengan pengertian bahwa periodontitis menimbulkan risiko lebih besar
pada individu untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
Mikroorganisme subgingival pada keadaan periodontitis didominasi oleh
bakteri gram negatif, seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia,
Bacteroidesforsytus, Actinobacillus actynomycetemcomuans. Bakteri dan produk-
produknya seperti lipopolisakarida (LPS) dapat masuk ke jaringan periodontal dan
sirkulasi darah melalui epitel sulkus, akan menyebabkan perubahan respon
inflamasi dan perubahan sistemik yang menginduksi respon vaskular. Respon
tubuh ini yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme hubungan antara infeksi
periodontal dengan berbagai kelainan sistemik, khususnya dengan penyakit
jantung koroner. Selama periodontitis, mikroorganisme plak mungkin menembus
pembuluh darah kemudian menginfeksi endotel dari vaskular dan menyokong
26
terjadinya aterosklerosis (penebalan lapisan pembuluh darah arteri dibawah
lapisan intima yang terdiri dari otot polos, kolagen dan serat elastik). Munculnya
infeksi seperti penyakit periodontal dinyatakan mengekalkan terjadinya inflamasi
dalam aterosklerosis. Adanya inflamasi kronik (penyakit periodontal) menjadi dasar
mekanisme terjadinya aterosklerosis dan menjadi salah satu faktor resiko penyakit
jantung koroner. Penyakit periodontal berpotensi menyebabkan bakteriemi, bakteri
dan produknya menyebabkan perubahan respon inflamasi sistemik dan perubahan
hemostatik. Keadaan bakteriemi ini mempengaruhi koagulasi darah, sel endotel
pembuluh darah, fungsi platelet yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
jantung koroner.
Aktifitas rutin sehari-hari seperti pengunyahan dan prosedur oral
hygiene dapat menyebabkan bakteriemi dari mikroorganisme mulut. Penyakit
periodontal menjadi penyebab meningkatnya terjadinya bakteriemi termasuk
keberadaan bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri dominan pada
periodontitis. Kira-kira 8% semua kasus endokarditis berhubungan dengan
penyakit periodontal dan penyakit gigi. Jaringan periodontal yang mengalami
periodontitis bertindak sebagai reservoir endotoksin (LPS) dari bakteri Gram
negatif. Endotoksin dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik selama fungsi
pengunyahan, menimbulkan dampak negatif pada jantung. Pada seseorang
periodontitis ditemukan konsentrasi endotoksin yang lebih besar dibandingkan
dengan yang tanpa periodontitis.
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara kondisi
rongga mulut (periodontitis) dan penyakit jantung koroner dengan menggunakan
bermacam-macam metode penelitian termasuk case-control, cross-sectional dan
longitudinal. Hampir semua penelitian tersebut memperkirakan bahwa penyakit
periodontal dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Montebugnoli L (2005) mengemukakan bahwa kesehatan rongga mulut
yang buruk dan terutama penyakit periodontal menambah risiko terjadinya
penyakit jantung koroner, dengan adanya bukti-bukti bahwa penyakit gigi
merupakan faktor risiko dari penyakit jantung koroner seperti jumlah serum lipid,
faktor inflamasi dan faktor-faktor hemostatik yang tinggi. DeStefano et al (2002)
melaporkan bahwa orang penderita periodontitis atau yang edentulous mempunyai
risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan dengan
orang tanpa periodontitis. Studi populasi lain memperlihatkan bahwa orang dengan
periodontitis parah mempunyai risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk menderita
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa penyakit periodontal.
Kelompok yang sama juga melaporkan bahwa risiko penyakit jantung koroner
meningkat dengan kehilangan tulang alveolar yang lebih banyak. Odds ratio
untuk serangan jantung meningkat dengan peningkatan jumlah tempat yang
mengalami attachment loss 3 mm atau lebih (Arbes et al 1999).
27
Dalam sebuah penelitian pada hewan, bakteri gram negatif dan
lipopolisakarida menyebabkan infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam dinding arteri,
proliferasi otot polos arteri dan koagulasi intravaskular. Perubahan ini identik dengan
kejadian yang dapat diamati pada atheromatosis. Penyakit periodontal
menyebabkan infeksi sistemik kronis, keadaan bakteriemi mengawali respon
tubuh dengan mempengaruhi koagulasi, endotel dan integritas dinding
pembuluh darah, fungsi platelet, ini menyebabkan perubahan atherogenic dan
terjadinya thromboemboli (gambar 1).
Gambar 1
Pengaruh infeksi periodontal pada aterosklerosis. Bakteri dan produknya
merusak endotel, monosit masuk ke dinding pembuluh darah, sitokin meningkatkan
terjadinya lesi aterosklerosis.
3. KEHAMILAN (BBLR)
Kelahiran bayi berat badan lahir rendah (BBLR) prematur saat ini masih
merupakan masalah pada bidang reproduksi di negara maju maupun negara
berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), bayi BBLR prematur
adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram dan lahir sebelum 37 minggu
usia kehamilan. Kelahiran bayi BBLR kurang bulan merupakan penyumbang besar
pada kematian perinatal. Kejadian bayi BBLR prematur di Indonesia tahun 2003
sebesar 90 per 1000 kelahiran. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kelahiran bayi BBLR prematur antara lain infeksi ibu, malnutrisi, riwayat kelahiran
prematur, ruptur membran prematur, terkena bahan-bahan toksik (obat, rokok,
alkohol), stres maternal, status sosio-ekonomi rendah, perawatan prenatal
28
kurang, hipertensi, diabetes, infeksi traktus genitourinaria, sepsis neonatal,
kehamilan multipel, serta beberapa faktor lainnya yang belum diketahui. Faktor
risiko ibu meliputi: usia, tinggi badan, berat badan, status sosial ekonomi, etnis,
merokok, status gizi, dan stress. Selain itu, interval kelahiran, komplikasi
sebelumnya, perawatan dan penanganan sebelum dan setelah kelahiran, hipertensi
ibu, infeksi umum, infeksi lokal dari genital dan sistem kemih, dan serviks tidak
kompeten juga mungkin berpengaruh. Namun, proporsi yang signifikan dari BBLR
adalah etiologi tidak diketahui.
Faktor utama di antara semua ini adalah oleh karena infeksi, yang perannya
kini banyak menjadi perhatian. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau
gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan
produknya yang merupakan antigen dan faktor virulen (lipopoli-sakarida=LPS)
mengadakan interaksi dengan epitel saku gusi, dengan mekanisme invasi,
eksotoksin, endotoksin dan enzim. Tubuh mengadakan respons imunologis dengan
aktivasi sel B, sel T dan polimorfonuklear-leukosit (PMN). Sel epitel yang
teraktivasi akan melepaskan mediator inflamasi IL-1, IL-8, prostaglandin E2 (PGE2),
matriksmetaloproteinase (MMP) dan tumor necrotic factor (TNF), yang
merupakan respons paling awal terhadap stimuli bakteri dan menyebabkan
gangguan metabolisme jaringan ikat dan tulang yang tampak sebagai tanda klinis
awal radang jaringan periodontal dan merupakan awal terjadinya penyakit
periodontal.
Proses inflamasi dapat menjalar ke jaringan di bawahnya, terjadi
peningkatan permeabilitas vaskular dan pembebasan agen aktivasi leukosit spesifik.
Hal ini menyebabkan peningkatan kerusakan komponen plasma dalam cairan saku
gusi dan terjadi ekstravasasi leukosit. Adanya LPS atau IL-1 dan TNF, sel endotel
mikro-sirkulasi teraktivasi, pembuluh mengalami inflamasi, vasodilatasi dan aliran
darah menjadi lambat. Hubungan sel endotel terbuka dan cairan kaya protein
keluar, tertimbun pada matriks ekstraselular. Peningkatan leukosit, monosit dan
aktivasi makrofag menghasilkan mediator respons imun dan respons radang
jaringan penyangga gigi, serta substansi kemotaktik, dan selanjutnya proses radang
ini akan menyebar secara sistemik ke seluruh tubuh. Pada ibu hamil, proses
penyebaran infeksi secara sistemik dengan peningkatan mediator proinflamasi pada
sirkulasi secara imunologik dapat melewati barier plasenta, menyebabkan
meningkatnya kadar IL-1β, TNF-α, IL-6, PGE2 dalam cairan amnion, dapat
menyebabkan bayi lahir prematur dengan diawali dilatasi serviks, ruptur membran
dan kontraksi uterus, dan pada penelitian juga didapatkan peningkatan kadar IL-1β,
TNF-α, IL-6, PGE dalam cairan amnion pada pasien dengan bayi BBLR lahir
prematur.
Peneliti lain telah melihat efek dari subklinis infeksi saluran kemih pada
kehamilan. Satu studi menunjukkan peningkatan 40% dalam tingkat persalinan
prematur pada ibu dengan bakteri pada serviks di awal masa kehamilan. Sebuah
29
studi yang dilakukan oleh Offenbacher dkk (1998) mengatakan bahwa penyakit
periodontal ibu dapat menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan risiko berat badan
lahir rendah pada bayi prematur. Penelitian ini menyimpulkan penyakit periodontal
merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik untuk terjadinya berat badan
lahir rendah pada bayi prematur. Selain itu, telah diamati model hewan dengan
periodontitis Gram-negatif yang terkait mikroorganisme dapat mempengaruhi hasil
kehamilan. Pada penelitian Dwi (2006) dihasilkan gingivitis pada ibu hamil
mempunyai risiko 8,75 kali mengalami kelahiran bayi BBLR prematur (POR =8,75 95%
CI= 2,56–29,94) dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami gingivitis.
PENYAKIT PERIODONTAL
Infeksi Periodontal dan Respon Host
Penyakit periodontal secara garis besar dibagi menjadi gingivitis dan
periodontitis. Dimana keduanya merupakan manifestasi dari adanya infeksi bakteri
pathogen yang berkolonisasi pada biofilm gigi. Munculnya penyakit ini merupakan
kolaborasi dari adanya infeksi bakteri dan respon pertahanan host di mediasi oleh
faktor lingkungan seperti merokok dan oral hygiene. Ginggivitis adalah proses
inflamasi dari ginggiva pada junctional epithelium, yang bersifat reversible, artinya
30
perlekatan yang rusak oleh bakteri dapat kembali ke keadaan awal. Tahapan proses
terjadinya gingivitis dimulai dari tahap initial, early gingivitis, dan established
gingivitis dan diikuti dengan pembentukan kolonisasi bakteri membentuk plak yang
kompleks atau matang.
Periodontitis adalah keradangan pada gingival, diikuti dengan adanya clinical
attachment loss (CAL) dari ligament periodontal, dan kehilangan dukungan tulang
alveolar (bone loss). Periodontitis merupakan infeksi gingivitis yang semakin meluas.
Mediator inflamasi berperan penting terhadap progress periodontitis.
Perkembangan keparahan periodontitis ini ditentukan oleh respon pertahanan alami
dan buatan tubuh terhadap infeksi. Penyakit periodontal bukan hanya disebabkan
oleh bakteri patogen namun juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Faktor
penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor local dan
faktos sistemik. Faktor local merupakan penyebab yang berasal dari dalam rongga
mulut dan lingkungan disekitar gigi seperti Bakteri dan plak, kalkulus, food
impaction, kebiasaan bernafas dengan mulut, dan lain-lain. Sedangkan faktor
sistemik yaitu penyebab yang berasal dari gangguan metabolism tubuh dan
kesehatan secara umum seperti faktor genetik, ketidak seimbangan hormon,
defiiensi nutrisi dan diabetes mellitus. Adapun klasifikasi dari gingivitis dan
periodontitis dapat dilihat pada tabel 1.
31
Ginggivitis
Gingivitis merupakan proses peradangan didalam jaringan periodonsium
yang terbatas pada gingiva, yang disebabkan oleh mikroorganisme yaang
membentuk suatu koloni serta membentuk plak gigi yang melekat pada tepi gingival.
Gingivitis adalah peradangan gingiva. Pada kondisi ini tidak terjadi kehilangan
perlekatan. Pada pemeriksaan klinis terdapat gambaran kemerahan di margin
gingiva, pembengkakan dengan tingkat yang bervariasi, perdarahan saat probing
dengan tekanan ringan dan perubahan bentuk gingiva. Peradangan gingiva tidak
disertai rasa sakit. Peradangan gingiva disebabkan oleh faktor plak maupun non-
plak. Namun peradangan gingiva tidak selalu disebabkan oleh akumulasi plak pada
permukaan gigi, dan peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh plak sering
memperlihatkan gambaran klinis yang khas. Keadaan ini dapat disebabkan beberapa
penyebab, seperti infeksi bakteri spesifik, infeksi virus atau jamur yang tidak
berhubungan dengan peradangan gingiva yang berhubungan dengan plak dan
peradangan gingiva karena faktor genetik.
32
Peradangan gingiva yang berasal dari faktor genetik terlihat pada Hereditary
gingival fibromatosis, dan beberapa kelainan mukokutaneus yang bermanifestasi
sebagai peradangan gingiva. Contoh lesi adalah lichen planus, pemphigoid,
pemphigus vulgaris dan erythema multiforme.
Alergi dan trauma merupakan contoh lain dari peradangan gingiva yang tidak
disebabkan oleh faktor non-plak. Peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh
faktor non-plak sangat relevan, penyebab lesi secara umum merupakan sample
penting untuk memahami variasi dari reaksi jaringan yang terdapat pada
periodontium.
Selain faktor plak dan non-plak peradangan gingiva juga disebabkan oleh
karena gangguan sistemik dengan perdarahan spontan atau setelah teriritasi.
Perdarahannya eksesif dan sulit dikontrol. Adapula karena penggunaan obat
tertentu, alergi, terapi radiasi, siklus menstruasi, dan genetik.
Keparahan peradangan gingiva akan terus berlanjut akibat penumpukan plak,
apabila kebersihan rongga mulut tidak dipelihara.
Pada gingiva yang mengalami perdarahan, persentase jaringan ikat yang
terkena radang adalah lebih besar, tetapi epitelnya lebih sedikit dan lebih tipis bila
dibandingkan dengan gingiva yang tidak mengalami perdarahan. Ini berarti
terjadinya perdarahan pada gingiva adalah sejalan dengan perubahan histopatologis
yang terjadi pada jaringan ikat periodonsium.
2.1. MACAM - MACAM GINGIVITIS
2.1.1. Gingivitis marginalis kronis
Merupakan suatu peradangan gingiva pada daerah margin yang
banyak dijumpai pada anak, ditandai dengan perubahan warna, ukuran
konsistensi, dan bentuk permukaan gingiva. Penyebab peradangan yang
paling umum yaitu disebabkan oleh penimbunan bakteri plak. Perubahan
warna dan pembengkakan gingiva merupakan gambaran klinis terjadinya
gingivitis marginalis kronis.
2.1.2. Eruption gingivitis
Merupakan peradangan yang terjadi di sekitar gigi yang sedang
erupsi dan berkurang setelah gigi tumbuh sempurna dalam rongga mulut,
sering terjadi pada anak usia 6-7 tahun ketika gigi permanen mulai erupsi.
Eruption gingivitis berkaitan dengan akumulasi plak.
2.1.3. Gingivitis pada gigi karies dan loose teeth (eksfoliasi parsial)
Pada pinggiran margin yang tererosi akan terdapat akumulasi plak,
sehingga dapat terjadi edema sampai dengan abses.
2.1.4. Gingivitis pada maloklusi dan malposisi
Peradangan disertai dengan perubahan warna gingiva menjadi
merah kebiruan, pembesaran gingiva, ulserasi, dan bentuk poket dalam yang
menyebabkan terjadinya pus, meningkat pada anak-anak yang memiliki
33
overjet dan overbite yang besar, kebiasaan bernafas melalui mulut, open
bite, edge to edge, dan protrusif.
2.1.5. Gingivitis pada mucogingival problems
Mucogingival problems merupakan salah satu kerusakan atau
penyimpangan morfologi, keadaan, dan kuantitas dari gingiva di sekitar gigi
antara margin gingiva dan mucogingival junction yang ditandai oleh mukosa
alveolar yang tampak tipis dan mudah pecah, susunan jaringan ikatnya yang
lepas serta banyaknya serat elastis.
2.1.6. Gingivitis karena resesi gusi lokalisata
Terjadi karena trauma sikat gigi, alat ortodontik, frenulum labialis
yang tinggi, dan kebersihan mulut yang buruk.
2.1.7. Gingivitis karena alergi
Mc Donald dan Avery, 2004 menyatakan bahwa adanya peradangan
pada gingiva yang bersifat sementara terutama berhubungan dengan
perubahan cuaca.
2.1.8. Gingivitis Artefacta
Peradangan karena perilaku yang sengaja melakukan cedera fisik dan
menyakiti diri sendiri. Salah satu penyakit periodontal yang disebabkan oleh
adanya cedera fisik pada jaringan gingiva disebut sebagai gingivitis artefakta
yang memiliki varian mayor dan minor.
Gingivitis artefakta minor merupakan bentuk yang kurang parah dan
dipicu oleh iritasi karena kebiasaan menyikat gigi yang terlalu berlebihan.
Kondisi ini juga dapat terjadi akibat menusuk gingiva dengan menggunakan
jari kuku atau benda asing lainnya.
Gingivitis artefakta mayor merupakan bentuk yang lebih parah,
karena melibatkan jaringan periodontal. Perilaku ini berhubungan dengan
gangguan emosional. Peradangan gingiva oleh karena perilaku mencederai
diri sendiri terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan
prevalensinya lebih banyak terjadi pada perempuan.
2.2. PENYEBAB LAIN GINGIVITIS
Selain disebabkan karena mikroorganisme didalam plak, serta faktor local,
gingivitis juga dapat disebabkan oleh hal-hal dibawah ini :
Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor hormon
Perubahan hormon seksual berlangsung semasa pubertas dan kehamilan,
keadaan ini dapat menimbulkan perubahan jaringan gingiva yang merubah respons
terhadap produk-produk plak.
Pada masa pubertas insidensi peradangan gingiva mencapai puncaknya dan
perubahan ini tetap terjadi walaupun kontrol plak tetap tidak berubah.
Plak dapat menyebabkan peradangan yang hebat pada masa pubertas yang
diikuti dengan pembengkakan gingiva dan perdarahan. Bila masa pubertas sudah
34
lewat, peradangan cenderung reda dengan sendirinya tetapi tidak dapat hilang
kecuali bila dilakukan pengkontrolan plak yang adekuat.
Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor nutrisi
Peradangan gingiva karena malnutrisi ditandai dengan gingiva tampak bengkak,
berwarna merah terang karena defisiensi vitamin C. Kekurangan vitamin C
mempengaruhi fungsi imun sehingga menurunkan kemampuan inang melindungi diri
dari produk-produk seluler tubuh berupa radikal oksigen.
Gingivitis yang disebabkan oleh faktor non-plak
Penyakit Gingiva yang Berasal dari Bakteri Spesifik
Peradangan gingiva dapat terjadi ketika faktor patogen yang berhubungan
dengan non-plak melebihi peranan dari respon daya tahan host. Lesi dapat
disebabkan oleh bakteri dan mungkin tidak disertai oleh lesi ditempat lain pada
tubuh. Contoh umum dari lesi tersebut yang berkaitan dengan infeksi melalui
Neisseria gonorrhea, Treponema pallidum, Sttreptococci, Mycobacterium chelonae
atau organisme lain. Manifestasi dari lesi gingiva nampak ulserasi berwarna merah
terang yang edematous dan sangat sakit, asimptomatik atau mucous patches, atau
gingivitis atypical non ulserasi, peradangan gingiva yang parah. Biopsy dilakukan
melalui pemeriksaan mikrobiologi untuk menunjukkan riwayat lesi.
35
derajat keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang. Warna menjadi pucat
ketika keratinisasi mengalami reduksi.
Peradangan kronis menyebabkan warna merah atau merah kebiruan akibat
proliferasi dan keratinisasi. Vena akan memberikan kontribusi menjadi warna
kebiruan. Perubahan warna gingiva akan memberikan kontribusi pada proses
peradangan. Perubahan terjadi pada papilla interdental dan margin gingiva, dan
menyebar pada attached gingiva.
Gingivitis Akut
37
menyebabkan resesi gingiva. Lesi karena termal dapat berasal dari makanan
dan minuman yang panas. Pada kasus akut, epitelium yang nekrotik, erosi
atau ulserasi, dan eritema merupakan gambaran umum. Sedangkan pada
kasus kronis, terjadi dalam bentuk resesi gingiva. 4
2.4.6. Perubahan Kontur gingiva
Perubahan pada kontur gingiva berhubungan dengan pembesaran
gingiva, tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi pada kondisi yang lain.
Ketika resesi ke apikal, celah menjadi lebih lebar, dan meluas ke
permukaan akar. Ketika lesi mencapai mucogingival junction, mukosa rongga
mulut mengalami peradangan karena kesulitan untuk mempertahankan
kontrol plak yang adekuat pada daerah ini. Istilah McCall festoon telah
digunakan untuk menggambarkan penebalan pada gingiva yang diamati pada
gigi kaninus ketika resesi telah mencapai mucogingival junction.
38
menjadi gelap. Lesi ini dapat disebut sebagai peradangan gingiva moderat
hingga berat. Aktivitas kolagenolitik sangat meningkat karena kolagenase
banyak terdapat di jaringan gingiva yang diproduksi oleh sejumlah bakteri
oral maupun neutrofil.
2.5.4. Lesi lanjut atau lesi advanced
Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar menunjukkan karakteristik tahap
keempat yang disebut sebagai lesi advanced atau fase kerusakan periodontal.
Secara mikroskopis, terdapat fibrosis pada gingiva dan kerusakan jaringan
akibat peradangan dan imunopatologis. Secara umum pada tahap advanced,
sel plasma berlanjut pada jaringan konektif, dan neutrofil pada epitel
junctional dan gingiva. Dan pada tahap ini gingivitis akan berlanjut pada pada
individu yang rentan.
39
Enzim
Enzim kolagenase menguraikan fibril dan serabut kolagen, elemen utama
pembentuk gingiva dan ligamen periodonsium. Leukosit memproduksi kolagenase
dan terdapat dalam jumlah besar pada peradangan gingiva tahap awal.
Mekanisme imunopatologi
Penelitian membuktikan bahwa sejumlah antigen plak menginduksi
peradangan dengan merangsang respons imunologik pada binatang percobaan. Baik
respons imun humoral maupun selular dapat ditemukan pada penderita
periodontitis.
Aksi gabungan
Terdapat lebih dari satu mekanisme yang terlibat dalam inisiasi dan
perkembangan penyakit periodontal. Sebagai contoh, bahwa enzim dan substansi
sitotoksik bakteri menimbulkan efek langsung terhadap jaringan sulkular dan
subsulkular dengan cara mencetuskan respons imunopatologi secara tidak langsung.
2.8. PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GINGIVITIS
Merokok
Plak gigi sebagai pemicu terjadinya gingivitis merupakan kondisi yang terjadi
pada anak- anak dan orang dewasa. Menurut penelitian muller dkk tahun 2002
setelah diamati selama enam bulan pada kelompok perokok ditemukan lebih banyak
plak supragingiva dibandingkan yang bukan perokok. Sedangkan menurut penelitian
dari calsina dkk tahun 2002 resesi gingiva yang lebih parah terjadi pada kelompok
perokok dibandingkan kelompok yang berhenti merokok dan bukan perokok, bahkan
pada perokok berat terdapat peningkatan terjadinya resesi gingiva sebanyak 2,3%.
Resesi pada perokok disebabkan karena adanya vasokonstriksi dan berkurangnya
respon peradangan yang disebabkan oleh nikotin dari rokok yang masuk ke dalam
aliran darah. Hal ini juga menyebabkan pada kelompok perokok ditemukan
perdarahan pada saat probing dibandingkan kelompok yang bukan perokok atau
yang berhenti merokok.
Waktu penyikatan gigi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prijantojo tahun 1996 menyatakan
bahwa indeks rata – rata kalkulus dari kelompok yang menyikat gigi 3x sehari tampak
lebih baik dibandingkan kelompok yang menyikat gigi 2x sehari. Namun, indeks
perdarahan gingiva rata – rata pada kelompok yang menyikat gigi 3x sehari lebih
besar dibanding dengan indeks perdarahan rata – rata dari kelompok yang menyikat
gigi 2x sehari pada semua permukaan dari gigi. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang positif antara akumulasi plak dan peradangan gingiva.
Jenis sikat gigi yang digunakan
Sikat gigi merupakan salah satu fisioterapi oral yang digunakan untuk
membersihkan gigi dan mulut. Dapat ditemukan beberapa macam jenis sikat gigi,
baik manual maupun elektrik dengan berbagai ukuran dan bentuk. Bulu sikat terbuat
dari berbagai macam bahan, tekstur, panjang, dan kepadatan. Walaupun banyak
40
jenis sikat gigi tetapi harus diperhatikan keefektifan sikat gigi untuk membersihkan
gigi dan mulut seperti kenyamanan bagi setiap individu meliputi ukuran, tekstur, dan
bulu sikat, mudah digunakan, mudah dibersihkan dan cepat kering sehingga tidak
lembab, awet dan tidak mahal, bulu sikat lembut tetapi cukup kuat dan tangkainya
ringan, dan ujung bulu sikat membulat.
Frekuensi penyikatan gigi
Frekuensi pembersihan gigi banyak dihubungkan dengan efektifitas
terjadinya pembentukan plak dan kesehatan gingiva. Pembentukan plak lebih
banyak terjadi pada kelompok yang jarang melakukan pembersihan gigi daripada
kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi. Demikian juga pembentukan
kalkulus lebih rendah pada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi.
Teknik menyikat gigi
Teknik menyikat gigi adalah cara yang paling umum dianjurkan untuk
membersihkan deposit lunak pada permukaan gigi dan dan gingiva dan merupakan
tindakan preventif dalam keberhasilan dan kesehatan rongga mulut yang optimal.
Oleh karena itu, teknik menyikat gigi harus dilaksanakan secara aktif dan teratur. 12
Kebanyakan teknik menyikat gigi telah ditetapkan sebagai metode yang
efisien dan efektif untuk membersihkan gigi. Teknik menggosok menjadi metode
paling mudah dan paling sering dalam menyikat gigi. Pasien dengan penyakit
periodontal diajarkan untuk menggunakan teknik penyikatan sirkular dengan
menggunakan gerakan vibrasi untuk meningkatkan akses pada daerah gingiva.
Metode yang dianjurkan adalah Teknik Bass karena teknik ini menekankan
penempatan bulu sikat secara sulkular. Ujung bulu sikat pada margin gingiva untuk
mencapai plak supragingiva dengan menggunakan gerakan yang terkontrol untuk
mencegah trauma.
41
konvulsan, dan siklosporin. Pada individu yang mengkonsumsi fenitoin,
pertumbuhan gingiva secara berlebih dapat dihilangkan dengan kebersihan rongga
mulut individu secara tepat. Pertumbuhan gingiva berlebih terkadang tidak dapat
mengembalikan jaringan periodonsium kembali menjadi normal. Pertumbuhan
gingiva yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kemampuan pasien
untuk membersihkan gigi secara adekuat, dan menyebabkan terjadinya masalah
estetik dan fungsional.
Pada pasien dengan pertumbuhan gingiva berlebihan, pembedahan untuk
rekonturisasi dapat dilakukan untuk mempertahankan lingkungan pada rongga
mulut. Penanganan post-operatif setelah reseksi jaringan penting untuk dilakukan.
Rekurensi terjadi pada kebanyakan pasien dengan pertumbuhan gingiva
berlebihan akibat obat. Pada pasien tersebut, konsultasi dengan dokter umum dapat
disarankan untuk menentukan apakah memungkinkan untuk menggunakan terapi
obat alternatif yang tidak menyebabkan pertumbuhan gingiva secara berlebihan. Jika
tidak, pembedahan atau non-bedah dibutuhkan.
42
2. Inflamasi ringan; sedikit perubahan warna, sedikit edema. Tidak ada perdarahan
waktu penyondean.
3. Inflamasi sedang; kemerahan, edema, dan mengkilat. Perdarahan pada waktu
penyondean.
4. Inflamasi parah; kemerahan yang nyata dan edema, ulserasi. Kecenderungan
perdarahan spontan.
Penilaian total skor untuk Gingival Indeks sebagai berikut :
1. Gingivitis ringan = 0,1 – 1,0
2. Gingivitis moderat = 1,1 – 2,0
3. Gingivitis parah = 2,1 -3,0
Prevalensi Periodontitis
Terdapat kesulitan dalam mendefinisikan moderate dan severe periodontitis.
Adanya perbedaan definisi juga menyebabkan perbedaan prevalensi dari
periodontitis, karena setiap pemeriksa memiliki pemahaman yang berbeda dalam
menentukan apakah suatu kondisi telah termasuk dalam kategori periodontitis yang
moderate atau severe. Umumnya perbedaan ini ditetentukan melalui penghitungan
CAL.
44
Insidens Peridontitis
Studi longitudinal dari onset (lama nya waktu ) periodontitis dan progresnya
dalam komunitas bersifat mahal dan sulit, hanya sedikit penelitian saja yang dapat
menggambarkan permasalahan ini. Salah satu penelitian, menngunakan pasien usia
65-80 tahun, yang telah dilakukan pemeriksaan periodontal selama 5 tahun. Kondisi
periodontal pada grup ini tidak baik. Saat Insiden penyakit (Pertambhan CAL lebih
dari 3mm) diperiksa pada 18 bulan pertama dan 18 bulan berikutnya secara terpisah,
ternyata CAL selama periode pertama berhubungan positif dengan CAL pada periode
kedua pada level individu bukan pada level daerah gigi. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan CAL pada periode pertama tidak menjadikan daerah atau lokasi sebagai
resiko untuk kemunculan CAL pada periode selanjutnya. Misalnya pada pemeriksaan
mesiobukal, ditemukan pertambahan kedalaman poket dibandingkan resesi gingival,
sedangkan lokasi bukal lebih mudah terjadi resesi gingival secara insidens.
45
FAKTOR DEMOGRAFI PERIODONTITIS
Gender, Ras atau Etnis
Survey dari kondisi kesehatan periodontal biasanya menunjukkan bahwa laki-
laki mempunyai kesehatan periodontal yg lebih rendah daripada wanita . hal ini telah
lama diteliti dan masih menjadi kasus di survey nasional di Amerika. Hal ini
diperkirakan karena wanita mempunyai oral hygiene yang lebih baik dibandingkan
laki-laki, yang akan mempengaruhi perbedaan pada adanya gingivitis. Pada wanita
ditemukan sub gingival kalkulus yang lebih rendah yang sepertinya berkontribusi
pada kesehatan periodontal yang lebih baik dihitung dari CAL dan kedalaman poket.
Masih angat sedikit data yang menunjukkan hubungan periodontitis dengan ras.
Studi epidemiologi tedahulu ada perbedaan antar Negara namun tidak secara
konsisten berhubungan dengan rasa tau etnik dengan orang-orang dari umur yang
sama dan status OH yang dibandingkan.
46
Umur
Periodontitis bukanlah penyakit yang disebabkan oleh umur. Besarnya
prevalensi dan keparahan dari CAL pada orang-orang usia lanjut pada survey cross
sectional bukan karena semakin tinggi usia maka lebih rentan melainkan disebabkan
dari akumulasi progress keparahan lesi selama perjalanan waktu. Penderita yang
mengalami
Status Sosioekonomi
Gingivitis dan Oral Hygiene yang buruk berhubungan dengan status
sosioekonomi (SES) namun, berbeda dengan periodontitis hubungan langsungnya
47
dengan SES lemah. Ginggivitis dan SES berhubungan dikarenakan, SES
mempengaruhi edukasi, kunjungan ke dokter gigi dan perawatan oral hygiene yang
lebih baik.
48
Genetik
Penelitian pada tahun 1997, menemukan bahwa genotip spesifik dari
interleukin-1 (IL-1) kluster gen berhubungan dengan severe periodontitis. Sitokin IL-1
merupakan kunci regulasi dari host respon terhadap infeksi bakteri, meskipun IL-1
bukan hanya satu-satunya faktor genetic yang berpengaruh. Meskipun masih
banyak keraguan mengenai hubugan antara genetik dengan periodontitis, namun
hubungan keduanya asih terus dipelajari.
49
Penilaian evaluasi dental.
(1)Probe khusus digunakan untuk menilai kedalaman sulkus gigi.
(2)Gigi-gigi yang diperiksa untuk kalkulus supragingival atau subgingival.
(3)Setiap perdarahan setelah probing ringan dicatat
Evaluasi.
Temuaan yang buruk disetiap masing-masing sextant di kode menurut table dibawah.
Kode yang paling tinggi untuk oral secara keseluruhan digunakan untuk merekomendasi
perawatan.
Temuan Kode
Dalamnya poket patologis >= 6 mm 4
Dalamnya poket patologis 4-5 mm 3
Ksupragingival or subgingival calculus 2
gingival bleeding after gentle probing 1
no signs of periodontal disease 0
Treatment recommendation
• maximum score 0: no need for additional treatment
• maximum score 1: need to improve personal oral hygiene
• maximum score 2: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in
personal oral hygiene
• maximum score 3: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in
personal oral hygiene
• maximum score 4: need for more complex treatment to remove infected tissue
Metoda:
• Setiap 4 insisive rahang bawah di nilai pada 4 permukaan ( labial, lingual dan 2
permukaan proximal atau mesial dan distal).
• Setiap permukaan yang terdapat kalkulus mendapat nilai skor= 1
calculus surface index = JUMLAH nilai skor pada 16 permukaan gigi yang diperiksa.
Interpretation
• Skor minimum : 0
• Skor maximum : 16
50
3. Oral Hygiene Index.
The Oral Hygiene Index adalah indeks untuk mengklasifikasikan oral hygiene status
pasien. Ini dapat digunakan untuk monitoring terus menerus setelah dilakukan
corrective interventions pada program kesehatan masyarakat
Segmen Gigi
• Posterior kanan atas: distal to the right cuspid pada Rahang Atas
• anterior atas : mesial to the right and left first bicuspids on the maxillary arch
• posterior kiri atas: distal to the left cuspid on the maxillary arch
• posterior kanan bawah: distal to the right cuspid on the mandibular arch
• anterior bawah : mesial to the right and left first bicuspids on the mandibular arch
• posterior kiri bawah: distal to the left cuspid on the mandibular arch
Permukaan dari setiap segmen:
• buccal (outer)
• lingual (inner)
51
Grading Debris Points
no debris or stain present 0
soft debris covering not more than one third of the 1
tooth surface, AND/OR the presence of extrinsic
stain without other debris regardless of surface
area covered
soft debris covering more than one third, but not 2
more than two thirds, of the exposed tooth surface
soft debris covering more than two thirds of the 3
exposed tooth surface
debris index= (Jumlah (points along buccal surface for all segments present) + Jumlah(points
along lingual surface of all segments present)) / (number of segments present)
Grading Calculus Points
no calculus present 0
supragingival calculus covering not more than one 1
third of the exposed tooth surface
supragingival calculus covering more than one 2
third but not more than two thirds of the exposed
tooth surface, AND/OR the presence of individual
flecks of subgingival calculus around the cervical
portion of the tooth
supragingival calculus covering more than two 3
thirds of the exposed tooth surface AND/OR a
continuous heavy band of subgingival calculus
around the cervical portion of the tooth
Debris Index = (Skor bukal) + (Skor lingual) .
(Total number of examined buccal and lingual surfaces).
DAFTAR PUSTAKA
52
1. Carranza FA, Jr : Glickman's Clinical Periodontology, 12 th Edition, W. B. Saunders Company,
Philadelphia, London. 2012.
2. Costerton JW, Stewart PS, Greenberg EP. Bacterial biofilms: a common cause of persistent infections.
Science. 1999;284: 1318-1322.
3. van Houte J. Role of micro-organisms in caries etiology. J Dent Res. 1994;73: 672-681.
4. Stenudd C, Nordlund A, Ryberg M, et al.. The association of bacterial adhesion with dental caries.. J
Dent Res. 2001;80: 2005-2010.
5. Socransky SS, Haffajee AD, Cugini MA, et al.. Microbial complexes in subgingival plaque. J Clin
Periodontol. 1998;25: 134-144.
6. Haffajee AD, Socransky SS. Microbial etiological agents of destructive periodontal diseases. Periodontol
2000. 1995;5: 78-11.
7. Palmer R. M., Hasan A. A clinical guide to periodontology : Pathology of Periodontal disease. British
Dental Journal volume 216 no. 8 apr 25 2014 216: 457–461.
8. Loesche WJ. Chemotherapy of dental plaque infections.. Oral Sci Rev. 1976;9: 65-107.
9. Theilade E. The non-specific theory in microbial etiology of inflammatory periodontal disease. J Clin
Periodontol. 1986;13:905-911.
10. Thomas JG, Nakaishi LA. Managing the complexity of a dynamic biofilm. J Am Dent Assoc..
2006;137(11 suppl): 10S-13S.
11. Loesche WJ. DNA probe and enzyme analysis in periodontal diagnostics. J Periodontol. 1992;63: 1102-
1109.
12. Socransky SS, Haffajee AD. Periodontal microbial etiology. Periodontol 2000. 2005;38: 135-187.
13. Socransky SS, Haffajee AD. Dental biofilms: difficult therapeutic targets. Periodontol 2000. 2002;28: 12-
34.
14. Brown MR, Gilbert P. Sensitivity of biofilms to antimicrobial agents. J Appl Bacteriol. 1993;74(suppl):
87S-97S.
15. Gilbert P, Das J, Foley I. Biofilm susceptibility to antimicrobials. Adv Dent Res. 1997;11: 160-167.
16. Costerton JW, Lewandowski Z, DeBeer D, et al.. Biofilms, the customized microniche. J Bacteriol.
1994;176: 2137-2142.
17. Wood SR, Kirkham J, Marsh PD, et al.. Architecture of intact natural human plaque biofilms studied by
confocal laser scanning microscopy.. J Dent Res. 2000;79: 21-27.
18. Levine MJ, Reddy MS, Tabak LA, et al.. Structural aspects of salivary glycoproteins. J Dent Res.
1987;66: 436-441.
19. Tabak LA, Levine MJ, Mandel ID, Ellison SA. Role of salivary mucins in the protection of the oral cavity.
J Oral Pathol. 1982;11: 1-17.
20. Costerton JW, Cheng KJ, Geesey GG, et al.. Bacterial biofilms in nature and disease. Annu Rev
Microbiol.. 1987;41: 435-464.
21. 20. Gibbons RJ. Microbial ecology: adherent interactions which may affect microbial ecology in the
mouth. J Dent Res. 1984;63: 378-385.
22. 21. Whittaker CJ, Klier CM, Kolenbrander PE. Mechanisms of adhesion by oral bacteria. Annu Rev
Microbiol. 1996;50: 513-552.
23. Wirthlin MR, Armitage GC. Dental plaque and calculus: microbial biofilms and periodontal diseases. . In:
Rose LF, Mealey BL,Genco RJ, Cohen W. , editors. Periodontics: Medicine, Surgery and Implants. St.
Louis, MO: Elsevier Mosby; 2004.
24. Socransky SS, Haffajee AD, Ximenez-Fyvie LA, et al.. Ecological considerations in the treatment of
Actinobacillus actinomycetemcomitans and Porphyromonas gingivalis periodontal infections.
Periodontol 2000. 1999;20: 341-362.
25. Kojima T, Yasui S, Ishikawa I. Distribution of Porphyromonas gingivalis in adult periodontitis patients.. J
Periodontol. 1993;64:1231-1237
26. Gurenlian JR. Inflammation: the relationship between oral health and systemic disease.. Access.
2006;20(4)suppl: 1-9.
27. Engebretson, S., Chertog, R., Nichols, A., Hey-Hadavi, J., Celenti, R. & Grbic, J. The severity of
periodontal disease is associated with the development of glucose intolerance in non-diabetics:
the Hisayama study. Journal of Clinical Periodontology 2007; 3: 18–24.
28. Hidayati Sri, Adin Mu’afiro, Joko Suwito. 2008. Analisis faktor yang berhubungan dengan tingkat
keparahan periodontitis pada penderita DM tipe 2 di poli diabetes RSU dr. Soetomo Surabaya.
Buletin penelitian RSU dr. Soetomo Vol 10 No.2.
29. International Diabetes Federation. 2003. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Available from: http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full. Accessed on: November,
25th 2011.
30. Irna C.S. 2008. Periodontitis Sebagai Suatu Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Jantung Koroner.
31. Katz J, Bhattacharyya I, Farkhondeh-Kish F, Perez FM, Caudle RM, Heft MW. Expression of the
receptor of advanced glycation end products in gingival tissues of type 2 diabetes patients with chronic
periodontal disease: a study utilizing immunohistochemistry and RTPCR. J Clin Periodontol
2005;32(1):40-4.
32. Lingen MW, Kumar V. Head and neck. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, eds. Robbins & Cotran
Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier; 2004:773.
53
33. Mealey BL., Rethman MP. 2003. Periodontal disease and diabetes mellitus. Bidirectional relationship.
Dent Today; 22: 107-13.
34. Mealey B. L. 2006. Periodontal disease and diabetes mellitus. A two-way-sheet. J Am Dent
Assoc Vol 137 No. Suppl_2,26S-31S. American dental association.
35. Mealey BL, Perry RK. Periodontal medicine: Impact of periodontal infection on systemic health. In:
Carranza’s clinical periodontology 10th ed. Philadelphia: W.B Saunder Company. 2006: 312-29.
36. Struch, F., Dau, M., Schwahn, C., Biffar, R., Kocher, T. & Meisel, P., Interleukin-1 gene
polymorphism, diabetes, and periodontitis: results from the Study of Health in Pomerania (SHIP).
Journal of Periodontology, 2008, 79, 501–507.
37. Varma BRR, Nayak RP. Current concepts in periodontics. 1th ed. New Delhi: Chaman Enterprises.
2002
38. Lewis JM, Morgan MV, Wright FAC. The validity of the CPITN scoring and presentation method for
measuring periodontal conditions. J Clin Periodontol. 1994; 21: 1-6.
39. Greene JC, Vermillion JR. The oral hygiene index: a method for classifying oral hygiene status. J Am
Dental Assoc. 1960; 61: 172-179.
54