Anda di halaman 1dari 54

ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL

(Etiology Of Periodontal Disease)

Etiologi atau factor penyebab dari penyakit periodontal dibagi menjadi dua yaitu factor
local dan sistemik. Factor local meliputi plak dan faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya akumulasi plak, sedangkan factor sistemik meliputi kondisi kesehatan yang
ikut mempengaruhi timbulnya kelainan atau penyakit didaerah jaringan periodontal.

A. Faktor Lokal : Mikrobiologi jaringan Periodontal


1. Plak gigi (Dental plaque) dan Biofilm
Adanya kolonisasi bakteri didalam rongga mulut telah dimulai sejak saat
mendekati waktu kelahiran seorang bayi. Kurang dari sejam setelah kelahiran,
rongga mulut yang steril akan berisi kolonisasi oleh beberapa bakteri dalam
jumlah sedikit terutama bakteri fakultatif dan aerob, selanjutnya pada hari kedua
diikuti adanya kemunculan bakteri anaerob pada bagian edentulous bayi.
Kolonisasi bakteri-bakteri ini kemudian saling bergabung satu sama lain dalam
lapisan yang disebut dengan biofilm.1
Biofilm adalah sebuah kompleks, kumpulan dan ikatan tiga dimensi dari
bakteri. Biofilm bakteri banyak ditemukan di berbagai tempat di dalam tubuh
manusia. Biofilm bakteri sering menjadi penyebab dari infeksi yang persisten dan
dihubungkan dengan penyakit osteomyelitis, pneumonia dan prostatitis. 2 Di
dalam mulut, biofilm bakteri dapat ditemukan di permukaan gigi, piranti protesa
dan membrane mukosa. Biofilm yang terbentuk di plak supraginggiva dan
subginggiva adalah agen penyebab dari karies gigi dan penyakit periodontal
kronis seperti gingivitis dan periodontitis yang kemudian disebut plak gigi (dental
plaque) (Gambar 1).3-7

Gambar 1

1
Patogenitas dari Plak gigi biofilm disebabkan didalam biofilm terdapat
komponen bakteri yang dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotic dan
bahan kemoterapeutik lainnya dan menurunkan kemampuan fagositosis dari sel
inflamasi host.

2. Fase Pembentukan Biofilm


Terdapat 2 teori mengenai proses karakteristik plak gigi yang kemudian
menyebabkan inisiasi dan progesifitas penyakit periodontal. Loesche, 1976 8
membuat dua hipotesis yaitu hipotesis non spesifik plak dan spesifik plak.
Pada hipotesis plak non spesifik menyatakan bahwa pada keseluruhan
komunitas mikroba di dalam plak yang berakumulasi pada permukaaan gigi dan
di crevicular gingiva berkontribusi untuk perkembangan periodontal disease.
Bakteri Plak menghasilkan factor virulensi dan produk yang merusak yang
menginisiasi proses inflamasi, sebagai respon pertahanan tubuh dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Berdasarkan teori ini,
kuantitas dari plak (quantify of plaque) menjadi penentu faktor kritis dalam
perkembangan penyakit periodontal. Peningkatan jumlah plak (quantity)
berlawanan dengan hipotesis plak spesifik yang menekankan pada quality of
plaque yaitu mikroorganisme pathogen spesifik yang ditemukan di dalam plak,
yang diketahui menjadi penyebab utama yang mengiduksi perkembangan dan
keparahan penyakit. 9,10
Beberapa penelitian tentang etiologi mikroba pada berbagai jenis
periodontitis menunjang teori plak spesifik yang menunjukkan bahwa hanya
mikroorganisme tertentu didalam kompleks plak yang bersifat pathogen.
Meskipun ada ratusan spesies mikroorganisme di dalam periodontal poket,
tetapi hanya kurang dari 20 saja yang secar rutin ditemukan peningkatan
proporsinya pada penyakit periodontal. Spesief bakteri yang virulen tersebut
mengkativasi sistem imun host dan respon inflamasi yang dapat menyebabkan
keruskan alveolar bone dan jaringan periodontal. 8,10,11
Socransky dan temannya5,12 menemukan bahwa pada pembentukan awal dari
plak bakteri didominasi oleh bakteri gram positif dan jika plak tersebut tidak
dibersihkan hingga mengalami proses maturasi akan menjadi lebih kompleks dan
di didominasi oleh flora gram negatif. Penemuan ini membagi kelompok
mikrobiota sub gingiva atau kompleksnya berdasarkan hubungannya dengan
kesehatan dan keparahan penyakit (Gambar 2).

2
Pemberian warna digunakan untuk menandai hubungan antara komplek
bakteri dengan infeksi periodontal. Komplek biru, kuning, hijau dan ungu
memnandakan koloni awal yang merupakan flora sub gingiva. Sedangkan
kompleks orange dan merah menunjukkan koloni akhir yang berhubungan
dengan mature subginggival plaque. Komplek bakteri tertentu berhubungan
dengan kesehatan dan penyakit. 12,13 Sebagai contoh pada bakteri di kompleks
berwarna merah berhubungan dengan indicator klinis dari periodontal disease
seperti poket periodontal dan clinical attachment loss (CAL).

Gambar 2

Biofilm dibentuk oleh kumpulan bakteri sebagai organisasi yang dapat


memaksimalkan energi, pemakaian ruang bersama, komunikasi, dan
keberlangsungan komunitas dari mikroorganisme tersebut. Biofilm melindungi
bakteri yang hidup didalamnya dengan struktur mereka yang berupa subtansi
matriks polimerik ekstraseluler (matrix of extracellular polymeric
substances/EPS) yang terdiri dari polisakarida, protein dan asam nukleat. 1 Matrik
ektraseluler yang tipis ini melindungi dari lingkungan luar termasuk dari bahan
kemoterapeutik. Agen kemoterapeutik menjadi lebih sulit penetrasi menembus
dinding polisakarida untuk membunuh mikroorganisme. 2,13-15 Sehingga matriks
tersebut membantu melindungi bakteri di dalam biofilm dari antibiotik dan
antiseptik, meningkatkan pertahanan koloni. Matriks ini juga membantu bakteri
untuk salin terikat satu sama lain, sehingga mereka tidak terlepas akibat proses
self cleansing saliva dan cairan gingival crevicular. Pembersihan Mekanis
termasuk dengan penggunaan sikat gigi, interdental cleaning, dan prosedur
scalling oleh dokter gigi sangat perlu dilakukan secara rutin karena secara efektif

3
dapat menghilagkan bofilm plak tersebut. Antiseptic seperti pada obat kumur,
dapat membantu mengontrol pembentukan biofilm tetapi formulanya harus
dapat melakukan penetrasi ke dalam matriks plak dan memudahkan akses
mengenai bakteri pathogen.
Saluran (channel) antara koloni yang satu dengan koloni yang lain digunakan
untuk proses sirkulasi dari nutrisi dan pemakaian produk serta pembuangan sisa
metabolisme.16-17 Juga terjadi proses interaksi metabolisme antar bakteri yang
berbeda yaitu adanya saling keterkatan produk metabolisms substrak sehingga
terbentuk rangkaian pemakaian energi yang efektif, contoh proses interaksi
metabolism dapat dilihat pada gambar 3. 1

Gambar 3

Bakteri didalam biofilm berkomunikasi satu sama lain dengan proses yang
disebut quorum sensing. Sistem komunikasi ini memungkinkan bakteri
memonitor keberadaan masing-masing dan untuk memodulasi ekspresi gen
dalam respon terhadap jumlah bakteri diarea di dalam biofilm.10

3. Tahap Pembentukan Biofilm


Pertumbuhan dan perkembangan dari biofilm dibagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Initial adherence and Lag Phase
Fase pertama dari pembentukan biofilm supraginggiva adalah deposit
komponen saliva yang diketahui sebagai acquired pellicle pada permukaan

4
gigi. Pelikel ini membuat permukaan gigi mudah dilekati oleh koloni spesifik
bakteri. Kelejar saliva menghasilkan beberapa protein dan peptide yang
kemudian berkontribusi terhadap pembentukan biofilm. Sebagai contoh,
mucin saliva seperti MUC5B dan MUC7 berkontribusi dalam pembentukan
acquired pellicle 18-19 . Pembentukan Acquired pellicle terjadi beberapa menit
setelah pembersihan gigi, kemudian kurang dari satu jam, mikroorganisme
melekat pada pelikel, khususnya bakteri gram positif coccus sebagai
mikroorganisme pertama yang membentuk koloni. Kemudian bakteri
memasuki tahap persiapan memasuki lag phase dimana bakteri melakukan
pergantian ekspresi gen dikarena perubahan pola hidup dari bebas sebagai
planktonic menjadi hidup menetap dan berkoloni.
2. Rapid Growth
Selama fase percepatan pertumbuhan bakteri yang melekat mensekresi
sejumlah besar ekstraseluler water-insoluble polisakarida untuk membentuk
matriks biofilm. Pertumbuhan mikrokoloni bersama dengan matriks terjadi.
Selama waktu berjalan, terjadi penambahan jumlah varietas bakteri yang
melekat pada koloni awal yang proses ini disebut dengan coaggregation dan
kompleksitas bakteri dari biofilm bertambah. Proses ini menggunakan
interaksi selektif molekul yang membentuk struktur stratifikasi didalam
biofilm. Coaggregation dan subsequent divisi sel juga menambah ketebalan
dari biofilm tersebutdapat dilihat pada gambar 4.20-22

Gambar 4

3. Steady State/Detachment
Selama Fase steady state ini, bakteri yang terletak di bagian dasar biofilm
memperlambat pertumbuhannya dan menjadi statis. Bakteri yang berada

5
didalam biofilm menunjukan tanda kematian dintunjukkan dengan sel bakteri
yang mengalami disrupted dan other cells devoid of sitoplasma. Bakteri yang
dekat permukaan remain intact. Selama fase ini, ditemukan adanya Kristal
didalam matriks antar bakteri yang menunjukkan proses awal mineralisasi
kalkulus.23 Selama fase ini terjadi pelepasan dan perjalanan bakteri untuk
melakukan perlekatan kembali dipermukaan lainnya kemudian membentuk
koloni biofilm yang baru.

B. Patogenesis Penyakit Periodontal


1. Biofilm dan Penyakit Periodontal
Sebuah Penelitian dilakukan pada 13000 sampel plak gigi dari 185 pasien
dengan range kondisi dari sehat sampai mengalami penyakit periodontal untuk
melihat kolonisasi mikrobial.5,24 Berdasarkan penelitian tersebut menyatakan
bahwa sejumlah kompleks bakteri berhubungan erat dengan tahapan dari
inisisasi penyakit dan keparahannya. Spesies bakteri yang ada pada komplek
warna kuning, hijau, dan ungu menunjukkan membentuk koloni di daerah sulkus
sub gingiva awalnya dan dominan ditemukan pada ginggiva sehat. Sebaliknya,
komplek bakteri orange berhubungan dengan gingivitis dan gingival bleeding.
Selain itu diketahui bahwa bakteri pada kompleks orange kemungkian
berhubungan dengan microorganism pada kompleks merah termasuk
Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsynthesis dan Treponema denticola,
yaitu organisme yang banyak ditemukan pada penyakit periodontal tingkat
advance.5,25
Saat biofilm mengalami maturasi dan proliferasi, komponen yang idhasilkan
bakteri pathogen penetrasikedalam sulcular epithelium. Komponen ini kemudian
menstimulasi host cell untuk memproduksi mediator kimia/sitokin yang
berhubungan dengan proses inflamasi (gambar 5)25

6
Gambar 5
 Interleukin-1 beta(IL-1β), prostaglandin, tumor necrosis factor (TNF-α)
dan matrix metalloproteinase adalah mediator yang membawa
neutrophil menuju area infeksi secara kemotaksis dan menyebabkan
peningkatan permeabiitas dari pembuluh kapiler gingiva, kemudian
diikuti migrasi protein plasma dari pembuluh darah menuju ke
jaringan
 Selama proses inflamasi gingiva berlangsung, mediator lainnya
dihasilkan berikut sel-sel inflamasi lainnya seperti neutrophil, T cell,
monosit ke area infeksi
 Sitokin proinflamatory dihasilkan oleh jaringan sebagai respon
terhadap proses inflamasi yang kronis dan protein ini yang kemudian
meningkatkan respon inflamasi local dan menyebabkan inisiasi dan
progesif dari inflamasi sistemik dan penyakit

Akibat dari inflamasi kronis adalah rusaknya jaringan kolagen pada gingiva
dan akumulasi produk inflamasi yang menyebabkan munculnya tanda klinis
gingivitis. Pada beberapa individu, prses inflamasi juga berakibat pada rusaknya
jaringan kolagen pada ligament periodontal dan resorbsi tulang alveolar. Pada
tahap ini gingivitis telah berkembang menjadi periodontitis. Sehingga mengontrol
plak biofilm pada gigi sangat penting untuk mencegah dan mengembalikan
kondisi gingivitis ke keadaan sehat serta mencegah dan untuk manajemen
perawtan periodontitis.

7
C. Kalkulus dan Faktor predisposisi Lokal 1

1. Kalkulus

Kalkulus terdiri dari plak bakteri yang termineralisasi yang terbentuk pada
permukaan gigi secara alami dan pada protesa. Kalkulus dibagi menjadi: Kalkulus
Supragingiva dan Kalkulus Subgingiva.
Kalkulus Supragingival berlokasi di margin gingiva dan terlihat dari kavitas
mulut. Berwarna: putih atau putih kekuningan. Keras seperti konsistensi tanah liat
(claylike). Mudah terlepas dari permukaan gigi. Setelah dihilangkan, cepat ada lagi,
terutama di daerah lingual atau insisif mandibular. Warna dapat dipengaruhi kontak
rokok dan warna makanan. Lokasi pada satu gigi atau beberapa gigi, atau
keseluruhan mulut. Sedangkan Kalkulus Subgingiva berlokasi di bawah puncak
margin gingiva, tidak terlihat pada pemeriksaan klinis rutin. Keras dan padat, warna
coklat gelap atau hijau kehitaman dan melekat erat pada permukaan gigi. Lokasi dan
luasnya kalkulus subgingival dapat dievaluasi oleh persepsi taktil dengan instrumen
dental seperti expoler misalnya WHO 621 probe untuk mendeteksi dan menskor
kalkulus subgingival.
Ketika jaringan gingiva resesi, kalkulus subgingiva menjadi terlihat dan karena
itu direklasifikasi mjd supragingiva. Kalkulus supragingiva dapat terdiri dari kalkulus
supragingiva dan yang sebelumnya kalkulus sub gingival. Penurunan inflamasi gingiva
dan pengurangan kedalaman probing dapat diamati setelah menghilangkan plak
subgingiva dan kalkulus.

Prevalensi Kalkulus
Anerud, dkk. Selama 15 tahun, meneliti Status periodontal buruh teh Sri
Lanka dibandingkan Kelompok akademisi Norwegia. Pembentukan kalkulus
supragingiva diamati sejak gigi erupsi hasilnya pada Buruh teh Sri Lanka, daerah
pertama yang menunjukkan deposit kalkulus adalah aspek facial molar maxila dan
permukaan lingual insisif mandibula. Deposisi kalkulus supragingiva berlanjut terus,
mencapai nilai kalkulus maksimal di usia 25-30 tahun. Sebagian besar gigi tertutup
kalkulus, permukaan facial memiliki kalkulus kurang dari permukaan lingual atau
palatal. Akumulasi kalkulus simetris. Kalkulus subgingiva muncul pertama kali secara
mandiri atau pada daerah proksimal di mana kalkulus subgingiva sudah ada. Pada
Kelompok Akademisi Norwegia dimana kelompok ini menerima instruksi Oral
Higiene dan akses perawatan gigi preventif terjadi pengurangan tanda akumulasi
kalkulus dibandingkan kelompok Sri Lanka.

Gambaran Radiografi Kalkulus


Kalkulus Supra dan Sub gingiva dapat dilihat secara radiografi. Deposit
Kalkulus Interproksimal yang ‘Highly calcified’ mudah terdeteksi sebagai proyeksi
radiopak yang menonjol ke dalam ruang interdental. Tingkat sensitivitas untuk
mendeteksi kalkulus oleh radiografi tidak konsisten. Lokasi kalkulus tidak
menunjukkan bagian bawah saku periodontal karena plak yang paling apikal tidak
cukup kalsifikasi terlihat pada radiografi.

8
Komposisi Kalkulus
Terdiri dari bahan Inorganic Content sebanyak 70-90% dan sisanya bahan
organik. Bahan Inorganik terdiri dari 76% calcium phosphate Ca 3(PO4)2, 3% calcium
carbonate CaCO3, magnesium phoshate Mg3(PO4)2. Komponen penting inorganik
berupa calcium, phosphorus, carbondioxide, magnesium dan sedikit sodium, zinc,
strontium, bromine, copper, manganese, tungsten, gold, aluminium, silicon, iron,
fluorine. Dua pertiga komponen inorganic merupakan struktur kristalin berupa
Hydroxyapatite, Octacalcium phosphate, Brushite (pada kalkulus mandibular
anterior) dan Magnesium whitlockite (pada kalkulus di posterior). Bahan Organik
terdiri dari campuran protein-polisakarida kompleks, sel-sel epitel desquamated,
leukosit, dan berbagai jenis mikroorganisme. Pada Kalkulus subgingiva komposisi
kalsium fosfat meningkat dan sodium meningkat bersamaan dengan kedalaman
poket. Sedangkan pada Kalkulus supragingiva komposisi didominasi oleh protein
pada saliva.

Perlekatan Kalkulus pada Permukaan Gigi


Perbedaan cara kalkulus melekat pada permukaan gigi mempengaruhi relatif
mudah atau sulitnya dalam membersihkan:
1. Perlekatan melalui suatu pelikel organic
2. Penguncian mekanik menjadi permukaan irregular misalnya resorpsi lakuna dan
lesi karies
3. Adaptasi tertutup calculus undersurface
4. Penetrasi bakteri kalkulus ke sementum

Pembentukan Kalkulus
Kalkulus merupakan plak gigi yang termineralisasi. Plak lunak mengeras oleh
pengendapan garam mineral, dimulai antara hari ke-1 sampai dengan hari ke-14
pembentukan plak. Kalsifikasi terjadi dalam waktu 4-8 jam. Plak terkalsifikasi
menjadi 50% mineral selama 2 hari dan 60-90% mineral di 12 hari. Semua plak tidak
selalu mengalami kalsifikasi. Plak awal mengandung sejumlah kecil bahan anorganik,
yang meningkat jika plak berkembang mnjadi kalkulus. Plak yang tidak berkembang
menjadi kalkulus mencapai kandungan mineral maksimal dalam 2 hari.
Sumber mineralisasi kalkulus berasal dari Saliva untuk kalkulus supragingiva
dan transudat serum yang disebut cairan sulkus gingiva untuk kalkulus subgingival.
Konsentrasi kalsium pada plak adalah 2-20 kali dibanding pada saliva. Plak awal
pembentuk kalkulus berat mengandung lebih banyak kalsium, 3x lebih banyak fosfor,
kalium kurang (dibanding pembentuk non kalkulus), sehingga dapat disimpulkan
peranan fosfor penting dalam mineralisasi plak. Kalsifikasi mengikat ion kalsium ke
kompleks karbohidrat-protein dari matriks organik dan pengendapan garam kristal
kalsium fosfat. Dimulai pada bagian yang berdekatan dengan permukaan gigi disertai
perubahan kandungan bakteri dan kualitas pewarnaan dari plak, jumlah bakteri
filamen meningkat dan berubah dari basophilic ke eosinophilic.
Klasifikasi kalkulus berdasarkan pembentuk kalkulus: Heavy calculus formers,
Moderate calculus formers, Slight calculus formers, Noncalculus formers. Inisiasi
kalsifikasi dan tingkat akumulasi kalkulus bervariasi antar individu, antar gigi pada
gigi yang sama, dan pada waktu yang beda pada orang yang sama. Waktu yang

9
diperlukan untuk mencapai tingkat maksimal pembentukkan calculus antara 10
minggu sampai dengan 6 bulan.

Teori tentang Mineralisasi Kalkulus


Hasil presipitasi mineral dari kenaikan tingkat kejenuhan ion kalsium dan fosfat,
dapat terjadi dalam beberapa cara berikut:
a. Kenaikan pH saliva menyebabkan pengendapan garam kalsium fosfat dengan
menurunkan konstanta presipitasi.
b. Protein koloid dalam saliva mengikat ion kalsium dan fosfat dan mempertahankan
solusi jenuh yang bhubungan dengan garam kalsium fosfat.
c. Fosfatase dibebaskan dari plak gigi, sel epitel desquamated, atau bakteri endapan
kalsium fosfat dengan menghidrolisis fosfat organik dalam saliva liur, sehingga
meningkatkan konsentrasi ion fosfat bebas.
- Epitactic concept/ heterogenous nucleation:
a. Seeding Agen menginduksi sedikit kalsifikasi yang akan membesar dan menyatu
untuk membentuk massa kalsifikasi.
b. Seeding agen pada pembentukkan kalkulus tidak diketahui, tetapi diduga bahwa
matriks interseluler plak yang berperan aktif.
c. Kompleks karbohidrat-protein dapat memulai kalsifikasi dengan menghilangkan
kalsium dari saliva (chelation) dan mengikat karbohidrat-protein membentuk inti
menyebabkan pengendapan mineral.

Peran Mikroorganisme dalam Mineralisasi Kalkulus


Dimulai pada ekstraseluler organisme gram positif dan gram negatif, tetapi
mungkin juga intraseluler. Organisme filamen, Dipteroid, Bacterionema dan
Veillonella spesies punya kemampuan membentuk kristal apatit intraseluler.
Mineralisasi menyebar sampai matriks dan akhirnya bakteri terkalsifikasi. Bakteri
Plak berperan dalam mineralisasi kalkulus dengan membentuk fosfatase, yang
mengubah pH plak dan menyebabkan mineralisasi.

2. Faktor Iatrogenik
Faktor Iatrogenik yaitu faktor yang disebabkan oleh prosedur dental yang
inadequate yang berkontribusi terhadap kesehatan dan penurunan (resesi) jaringan
periodontal. Prosedur dental meliputi pembuatan restorasi atau pemakaian denture
pada gigi. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk memelihara kesehatan jaringan
periodontal pada saat pembuatan atau pemasangan restorasi gigi dan removable
partial denture antara lain :
• Lokasi ginggival margin restorasi
• Space diantara margin restorasi dan unprepared tooth
• Kontur restorasi
• Oklusi
• Bahan Material restorasi
• Prosedur restorasi dan
• Desain removable partial denture

10
Margin Restorasi

Overhanging pada margin dari dental restorations berpengaruh terhadap


Periodontal disease dengan cara mengubah keseimbangan ekologi gingival sulcus
menjadi area yang baik untuk pertumbuhan organisme infeksius (predominately
gram-negative anaerobic species) dan menekan pertumbuhan bakteri normal
(predominately gram-positive facultative species) juga menyulitkan pasien utk
membersihkan akumulasi plak di daerah tersebut.
Frekuensi terjadinya kasus Over hanging pada daerah margin dan proksimal
restorasi dibeberapa studi disebutkan sebesar 16.5% hingga 75%. Pada penelitian
lainnya diketahui adanya hubungan signifikan bermakna yang tinggi antara defek
marginal dengan penurunan ketinggian tulang alveolar. Dan diketahui dengan
menghilangkan bagian yang overhanging dapat membantu effective control of
plaque sehingga mengurangi gingival inflammation dan terjad sedikit peningkatan
pada tulang alveolar ditunjukkan secara radiografi.
Lokasi peletakan dari margin restorasi juga mempengaruhi status kesehatan
dari jaringan periodontal disekitarnya. Misalnya dari hasil studi menunjukkan bahwa
ada korelasi positif antara batas restorasi yang terletak di area margin sub ginggiva
dengan keberadaan inflamasi gingiva. Hal ini dikarenakan area Subgingival margins
berhubungan dengan akumulasi plak yang banyak, sehingga lebih sering terjadi
severe gingivitis, dan pocket yang dalam. Meskipun telah menggunakan restorasi
dengan kualitas yang terbaik sekalipun, jika diletakkan di sub ginggiva akan
meningkatkan akumulasi plak, gingival inflammation, dan peningkatan dari gingival
fluid flow. Namun jika batas restorasi diletakkan di gingival crest akan mengurangi
keparahan dari inflamasi.
Selain lokasi, kekasaran permukaan dari restorasi di area sub gingiva juga
menjadi faktor yang berkontribusi bagi perlekatan dan akumulasi plak yang
kemudian berakibat pada ginggival inflammation. Adapun penyebabnya di zona
subginggival ini yang terdiri dari area batas restorasi, area bahan luting, dan area
bagian gigi yang dipreparasi serta area bagian sehat gigi akan terbentuk celah (gap)
antar area tersebut sehingga membuat area gigi menjadi terbuka dan kasar lalu
mudah terjadi perlekatan dan akumulasi plak. Kekasaran juga dapat disebabkan oleh
adanya goresan (Scratches) di permukaan resin akrilik, porcelain, atau gold
restorations. Kemudian gap dan Scratches tersebut menjadi tempat kolonisasi
bakteri plak dan menganggu subgingival environment.

Kontur Restorasi atau Kontak terbuka

Restorasi dan crown yang dibuat Overkontur akan menyebabkan akumulasi


plak sehingga mempersulit Selfcleaning mechanisms dari pipi, bibir dan lidah
(Gambar 6). Selain itu, hal-hal yang mepengaruhi dari kontur :

11
 Restorasi yang celah interproximalnya Embrasure tidak Tepat bisa menyebabkan
Akumulasi Plak sehigga menyebabkan Papillary inflammation.
 Pada Kontur Area oklusal (marginal ridge serta grooves) maupun cervico oklusal
(diameter mesio distal) yang benar akan membuat makanan yang dikunyah
meluncur menjauhi daerah interproksimal dan mencegah terjadinya food impaction.
Food impaction adalah makanan yang terjepit di daerah periodontium karna adanya
tekanan oklusal pegunyahan. Plunger Cusp yang menyebabkan tekanan sehingga
makanan dapat terkumpul didaerah interproximal embrasures disebut.
 Kontak proximal dapat mempengaruhi impaksi makanan, kontak antar gigi yg
terbuka akan memudahkan terjepitnya makanan saat pengunyahan.

Gambar 6

Menurut Hirschfeld , faktor penyebab impaksi makanan , yaitu:

 Uneven occlusal wear (marginal ridge ),


 Titik kontak yg terbuka sbg akibat adanya loss of proximal support atau akibat
extrusion,
 Abnormalitas morfologi gigi akibat kongenital,
 Dan kontruksi restorasi yang tidak tepat

Open contact dan adanya food impaction dalam beberapa penelitian


berhubungan dengan depth probing poket dan loss of clinical attachment (CAL).
Selain Open contact, Excessive anterior overbite dapat Menyebabkan food
impaction dibagian permukaan lingual anterior maxilla dan permukaan fasial
Mandibula antagonisnya.

Bahan Material

12
Bahan yang sering menimbulkan iritasi pada jaringan periodontal adalah self-
curing acrylics. Semua bahan restorasi mempunyai kemampuan untuk menyebabkan
penumpukan plak. Tekstur permukaan dari restorasi mempengaruhi perlekatan plak,
karenanya permukaannya harus dipulas dan mudah untuk dibersihkan. Pada area
dibawah bagian pontik dr fixed bridges seharusnya dibuat tidak menyentuh mukosa .
Sehingga akses oral hygiene lebih mudah dan tidak terhalang oleh kontak pontik dg
jaringan. Karena mungkin kontak Pontik dapat menyebabkan akumulasi plak yg
menginisiasi gingival inflammation dan pembentukan pseudopockets.

Design of Removable Partial Dentures

Hasil Penelitian setelah insersi partial dentures terjadi Peningkatan mobilitas


dari abutment teeth, gingival inflammation, dan pembentukan periodontal pocket.
Ini dikarenakan adanya accumulation of plaque, terutama jika menutup jaringan
gingiva. Partial dentures yang dipakai terus menerus seharian dan semalaman
menginduksi pembentukan plak lebih banyak. Sangat penting untuk memberikan
instruksi oral hygiene yang benar dari pemakaian partial denture. Removable partial
dentures bukan hanya mengiduksi plak secara kuantitatif tetapi juga terjadi
perubahan kualitatif, yaitu terjadi peningkatan mikro organisme patogen spirochetal

Restorative Dentistry Procedures

Penggunakan rubber dam clamps, matrix bands, dan bur yg tidak hati-hati
dapat menyebabkan laserasi atau perlukaan pd ginggiva menyebabkan mechanical
trauma dan inflammation. Meski akan mengalami penyembuhan namun tetap ada
rasa tidak nyaman pada pasien. Gingival Retraction yang terlalu kuat menekan ke
dalam sulcus (membentuk subgingival margins pada gigi untuk prosedur
pencetakkan) dapat menyebabkan mechanically injure dari jaringan periodontium.
Selanjutnya memungkinkan terbentuknya impacted debris sehingga merangsang
reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing.

Maloklusi

Letak gigi yang Irregular seperti pada maloklusi membuat plaque control menjadi
Lebih sulit. Selain itu maloklusi yang mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal
antara lain maloklusi karena kebiasaan tongue thrusting, traumatic Occlussion, dan
anterior open bite.

• Tongue thrusting menyebabkan tekanan lateral yang kuat pada gigi anterior yang
menyebabkan pergerakan dan tilting gigi anterior. Tongue thrusting adalah faktor penting yg
berkontribusi pada tjdnya tooth migration dan anterior open bite (gambar 7)

• Frekuensi kejadian timbulnya Marginal and papillary gingivitis pada maxillary anterior
sextant dalam kasus yg melibatkan anterior open bite dengan mouth breathing.

13
• Restorasi yang tidak nyaman didaerah oklusal dapat menyebabkan occlusal disharmonies
(occlusal discrepancies) injury pada jaringan pendukung periodontium. Penampakan
histologik pada periodontium dengan traumatic occlusion: Pelebaran subcrestal ligamen
periodontal space, penurunan jumlah collagen pada serat oblique and horizontals,
peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi leukosit, and peningkatan jumlah sel of osteoclasts
pada dinding alveolar bone. Namun proses ini berbeda dan terpisah dg proses inflamasi
akibat invasi bakteri yg terjadi didasar sulcus.

Gambar 7

Periodontal Complications Associated with Orthodontic Therapy

Terapi Orthodontik dapat berpengaruh pada periodontium melalui :

1. Plaque retention,
2. Karena secara langsung dapat Melukai gingiva sebagai akibat dari overextended
bands,
3. Memberikam excessive forces, unfavorable forces, atau keduanya pada gigi dan
jaringan struktur pendukung.

Plaque Retention and Composition

Orthodontic appliances dapat menyebabkan retensi bacterial plaque dan food


debris dan akhirnya menjadi gingivitis karena adanya gangguan pada gingival ecosystem.
Terjadi Peningkatan Prevotella melaninogenica, Prevotella intermedia, dan Actinomyces
odontolyticus di gingival sulcus setelah pemasangan orthodontic bands. Data terbaru
menyebutkan, Aggregatibacter actinomycetemcomitans telah ditemukan di 85% anak-anak
yang menggunakan orthodontic appliances. Sebaliknya, hanya 15% dari subyek kontrol yang
positif ditemukan A. actinomycetemcomitans dlm mulutnya

Gingival Trauma and Alveolar Bone Height

14
Orthodontic treatment seringkali dimulai sesegra setalah gigi permanent erupsi ,
disaat junctional epithelium masih melekat pada permukaan enamel. Orthodontic bands
seharusnya tidak diletakkan menekan antara level of attachment karena itu akan
menghambat perlekatan gingiva pada gigi dan nantinya menyebabkan apical proliferation
dari junctional epithelium dan meningkatkan insidens gingival recession. Nilai rata-rata
alveolar bone loss per patient dari remaja yg melakukan 2 tahun perawatan
orthodontic(observasi selama jangka waktu 5 tahun ) berkisar antara 0.1 - 0.5 mm.
Sedangkan derajat bone loss pada org dewasa mungkin lbh tinggi dibandingkan dg remaja
khususnya jika kondisi periodontal tidak dirawat sebelum memulai orthodontic therapy.
Sehingga orthodontic treatment seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan
uncontrolled periodontal disease. 

Tissue Response to Orthodontic Forces

Pergerakan gigi akibat Orthodontic therapy memungkinkan karena jaringan


periodontal bersifat responsif terhadap pemberan tekanan eksternal external. Alveolar bone
diremodelling oleh osteoclasts yang mengiduksi tjdnya bone resorption di area yg
mengalami tekanan (pressure) dan pembentukan oleh osteoblast di areas yang mengalami
tarikan (tension). Meskipun tekanan moderate orthodontic secara umum dapat
menyebabkan bone remodeling and repair, tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya necrosis pada periodontal ligament dan adjacent alveolar bone. Tekanan
ortodontik yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko resorbsi dari bagian apikal akar.

Prevalensi dari severe root resorption, dengan resorption lbh dr sepertiga panjang
akar, selama orthodontic therapy pada remaja menunjukkan sebesar 3%. Insidenss dari
moderate hingga severe root resorption untuk gigi incissive pd orang dewasa antara usia 20
- 45 thn dilaporkan sebesar 2% pretreatment dan 24.5% posttreatment. Faktor resiko yang
berhubungan dg root resorption selama orthodontic treatment meliputi: duration of
treatment, magnitude of the force applied, direction of the tooth movement, dan continuous
versus intermittent application of forces.

Sangat penting untuk mencegah excessive force dan atau terlalu cepat melakukan
pergerakan gigi dalam orthodontic treatment. Penggunaan elastik untuk menutup diastema
dapat menyebabkan severe attachment loss dg kemungkinan tooth loss saat elastik
menggerakan sepanjang daerah apikal akar. Penghilangan serat fibers dg surgical
dikombinasikan dg perawtaan retensi dapat mengurangi insidens relapse setelah
orthodontic treatment.

Pencabutan Gigi Impaksi Molar 3

Banyak studi klinis telah melaporkan bahwa pencabutan gigi M3 impaksi sering
menyebabkan defek vertikal pada distal M2. Efek iatrogenik ini tidak berhubungan dengan
desain flapnya, namun kejadiannya dikatakan lebih sering terjadi pada gigi molar tiga yang
diekstraksi pada individu yang lebih tua dari 25 tahun. Faktor lain yang menyebabkan
adanya defek tersebut adalah karena adanya plak, BOP/bleeding on probing, dan resorpsi
akar pada area kontak antara M2 dan M3. Termasuk juga, adanya pelebaran folikel

15
patologis pada inklinasi/kemiringan M3 dan posisinya diantara M3 dan M2 (gambar 1). Hal-
hal demikian, akan memicu pembentukkan kalkulus, dimana terdapat tempat-tempat yang
memadai untuk menumpuknya plak dan memungkinkan sulitnya pembersihannya. Oleh
karenanya, dokter gigi sebaiknya mewaspadai jaringan periodontal pasien dengan paska
pencabutan gigi impaksi molar 3, sehingga potensi pembentukan kalkulus menjadi dapat
dicegah (usaha preventif).

Gambar 1

Gambaran radiografi panoramik yang memperlihatkan adanya pelebaran folikel diantara M3 dan M2

Potensi konsekuensi yang merugikan dari pencabutan gigi impaksi molar 3 adalah
terjadinya paresthesia permanen (mati rasa bibir, lidah, dan pipi), dimana terjadi pada
frekuensi sekitar 1:100.000 M3 yang dicabut di United States.

Kebiasaan Buruk yang menyebabkan Injuri

Pasien seringkali tidak menyadari kebiasaan buruk dirinya yang merugikan dan
memungkinkan inisiasi dan perkembangan penyakit periodontal. Luka gingiva iatrogenik
dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti: bahan-bahan kimia, fisik, dan berbagai sumber-
sumber panas. Umumnya luka seperti dapat sembuh sendiri jika kebaisaan buruknya dapat
dikendalikan atau dihilangkan. Injuri seperti ini bersifat akut.

Sumber bahan kimia yang menyebabkan iritasi diantaranya adalah aplikasi topikal
obat-obaan seperti aspirin atau kokain, reaksi alergi terhadap pasta gigi, obat kumur dan
permen karet, serta kebiasaan mengunyah tembakau. Bentuk trauma mekanik tersebut
dapat berasal dari penyalahgunaan sikat gigi, tusuk gigi diantara sela-sela gigi, penerapan
tekanan kuku terhadap gingiva (gambar 2), luka bakar, dan lain-lain.

16
Gambar 2

Resesi gingiva pada bagian atas gigi caninus oleh karena trauma pada pasien yang memiliki kebiasaan
menggigit-gigit kuku

Penting sekali untuk mengetahui kebiasaan buruk oral pasien dapat memicu
terjadinya iritasi pada jaringan periodontal, menginisiasi dan dapat pula mengembangkan
terjadinya penyakit periodontal, guna tindakan preventif sehingga tidak memicu terjadinya
penyakit periodontal

Trauma yang berkaitan dengan pemakaian Oral Jewelry/Perhiasan

Penggunaan piercing perhiasan di bibir atau lidah telah menjadi hal yang umum
dilakukan baru-baru ini di kalangan remaja dan dewasa muda (gambar 3). Survei Whittle &
Lamden selama 12 bulan, mengatakan bahwa sebanyak 62 dokter gigi menemukan bahwa
97% pasien mereka mengenakan perhiasan tindik di bibir dan lidah.

Gambar 3

Tindik lidah dengan perhiasan

17
Insidensi resesi lingual dengan pembentukan poket dan bukti radiografi adanya
kehilangan tulang (gambar 4a dan 4b) pada pasien yang mengenakan lingual "barbells"
selama 2 tahun atau lebih, memperlihatkan bahwa 50% dari subyek usianya rata-rata 22
tahun, yang merupakan usia yang masih relatif muda.

Gambar 4

(a) resesi lingual dengan pembentukan poket (b) radiografi adanya kehilangan tulang

Dengan mengetahui tingginya penggunaan oral jewelry terutama di usia anak-anak


ataupun remaja yang memiliki kecenderungan mencoba hal-hal baru, pasien-pasien seperti
ini harus mendapatkan pengetahuan tentang risiko penggunaannya dan kemudian mereka
dapat lebih menjaga kesehatan oral mereka dengan pembersihan khusus yang diajarkan
oleh tenaga medis/dokter gigi. Dengan demikian usaha pencegahan terhadap terjadinya
penyakit periodontal akibat penggunaan oral jewelry akan maksimal.

Trauma akibat Menyikat Gigi

Kegiatan menyikat gigi seyogyanya adalah usaha untuk menghilangkan plak yang
terbentuk secara fisiologis, namun penggunaannya yang kurang tepat akan mengakibatkan
trauma yang akan merusak atau menyebabkan injuri pada permukaan jaringan periodontal.
Abrasi gingiva disertai perubahan dalam struktur gigi, mungkin diakibatkan dari menyikat
gigi secara agresif, baik secara horizontal atau rotary/memutar. Efek merusak yang
berlebihan dari menyikat gigi dengan sangat kuat/forcefull berhubungan pada penggunaan
pasta gigi yang sangat abrasif.

Perubahan gingiva disebabkan oleh trauma menyikat gigi dapat bersifat akut
ataupun kronis. Perubahan akut bervariasi dalam penampilan dan durasi dari permukaan
epitel, misalnya terlihat denurasi jaringan ikat yang mendasari terbentuknya ulkus gingiva
yang painful/menyakitkan (gambar 5).

18
Gambar 5

Hilangnya perlekatan permukaan gingiva dan terlihat adanya ulcer yang painfull pada jaringan yang terpapar

Pada trauma menyikat gigi yang akut, terlihat adanya eritema yang difus & denurasi
attachment gingiva di seluruh mulut dimungkinkan hasil yang paling mencolok dari tindakan
menyikat gigi yang terlalu bersemangat/terlalu kencang. Tanda-tanda abrasi gingiva akut
sering terlihat pada pasien yang pertama kali menggunakan sikat gigi baru. Lesi
puncture/tusuk dapat dihasilkan ketika tekanan berat diaplikasikan oleh bentuk bulu yang
sejajar tegak lurus ke permukaan gingiva. Bulu sikat gigi yang masuk ke dalam gingiva juga
dapat menyebabkan abses gingiva akut.

Sedangkan trauma menyikat gigi yang kronis akan memperlihatkan adanya resesi
gingiva dengan rusaknya permukaan akar, kehilangan perlekatan interproksimal akibat
bakteri periodontitis, serta kehilangan perlekatan bukal dan lingual yang disebabkan oleh
karena abrasi sikat gigi. Penggunaan yang tidak benar dari benang gigi juga dapat
menyebabkan laserasi dari papilla interdental.

Tindakan preventif untuk mencegah trauma tersebut diatas, diperlukan tindakan


penyuluhan sebagai usaha promotif agar masyarakat dapat melakukan teknik sikat gigi dan
penggunaan flossing yang tepat, sehingga kebersihan mulut terjaga tanpa mengakibatkan
efek yang dapat merusak khususnya jaringan gingiva. Bukan hanya teknik menyikat gigi,
namun pemilihan bulu sikat, jenis sikat gigi, dan pemilihan pasta gigi juga selayaknya
menjadi perhatian dokter gigi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hal
ini.

Iritasi Bahan Kimia

Inflamasi gingiva akut mungkin disebabkan oleh iritasi kimia yang dihasilkan baik dari
sensitivitas atau cedera jaringan spesifik. Keadaan ini terutama di negara-negara inflamasi-

19
alergi, perubahan gingiva dapat berkisar dari eritema sederhana sampai pembentukan
vesikel yang painful dan ulserasi. Reaksi berat namun tidak berbahaya untuk penggunaan
obat kumur, pasta gigi, atau bahan gigi tiruan sering dijelaskan kaitannya dengan iritasi
kimia ini. Inflamasi akut dengan ulserasi dapat dihasilkan oleh efek injuri non-spesifik dari
bahan kimia pada jaringan gingiva. Penggunaan obat kumur yang sering, aplikasi topikal
obat-obatan korosif seperti aspirin atau kokain, dan kontak tidak disengaja dengan obat-
obatan seperti fenol atau silver nitrat merupakan contoh yang umum dari penggunaan
bahan kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada gingiva (chemical burn).

Gambar 6

Chemical burn pada jaringan gingiva dan resesi oleh karena obat aspirin

Secara histologis, luka bakar yang disebabkan oleh bahan kimia aspirin menunjukkan
vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat
(gambar 7).

20
Gambar 7

Vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat

Smokeless Tobacco

Terdapat 2 bentuk utama dari Smokeless tobacco, yaitu Snuff dan Chewing tobacco.
Snuff merupakan bentuk potongan halus tembakau yang tersedia dalam kemasan kecil /
dalam sachet, sedangkan chewing tobacco merupakan bentuk potongan yang lebih kasar
dan tersedia dalam bentuk loose leaves, solid block, atau plug. Chewing tobacco/mengunyah
tembakau biasanya ditempatkan di ruang depan bukal mandibula selama beberapa jam, dan
selama itu air liur menjadi encer.

Para pemain bisbol profesional banyak yang melakukan mengunyah tembakau/


chewing tobacco (kandungannya: nikotin), mendapatkan benefit yang dirasakan yaitu
meningkatkan kewaspadaan mental, waktu reaksi berkurang, relaksasi otot, dan
mengurangi tingkat kecemasan. Survei yang dilakukan tahun 1990 mengemukakan bahwa
dari 1109 orang pemain bisbol profesional di United States dilaporkan bahwa 39%-nya
menggunakan smokeless tobacco dan 46% dari penggunanya tersebut menunjukkan adanya
leukoplakia pada gingiva dan/atau mukosa (gambar 8a). Peningkatan kejadian resesi gingiva,
abrasi seviks akar gigi, dan karies akar juga dilaporkan disebabkan oleh karena penggunaan
smokeless tobacco (gambar 8b).

21
Gambar 8

(a) Oral leukoplakia pada vestibulum (b) Leukoplakia, resesi dan kehilangan perlekatan gingiva

Gambaran histologis dari leukoplakia oral yang berhubungan dengan smokeless


tobacco meliputi (1) pola chevronlike dari hiperkeratosis daerah yang terinflamasi dan (2)
hiperplasia di lapisan basal sel (gambar 9).

Gambar 9

Gambaran histologis oral leukoplakia pada pengguna smokeless tobacco (A) Pola chevronlike dari
hiperkeratosis daerah yang mengalami inflamasi (B) hiperplasia di lapisan basal sel

Terapi Radiasi

Terapi radiasi memiliki efek sitotoksik, baik pada sel normal dan sel ganas.
Pengobatan radiasi membuat endarteritis obliteratif yang menghasilkan iskemia jaringan
lunak dan fibrosis tulang menjadi hypovascular dan hypoxic. Efek merugikan dari terapi
radiasi kepala dan leher termasuk dermatitis dan mukositis dari daerah yang diradiasi, serta
fibrosis otot dan adanya trismus. Mukositis ini biasanya berkembang 5 - 7 hari setelah

22
terapi radiasi dimulai. Beratnya kondisi mukositis ini dapat dikurangi dengan meminta
pasien untuk menghindari sumber iritasi sekunder, seperti: merokok, alkohol, dan makanan
pedas.

Produksi air liur mengalami gangguan secara permanen ketika kelenjar ludah yang
terletak di dalam portal menerima radiasi sebesar ≥6000 cGy. Keadaan xerostomia ini
menyebabkan akumulasi plak yang lebih besar dan mengurangi kapasitas buffer dari air liur.
Penjagaan kebersihan mulut yang efektif, oral profilaksis oleh tenaga profesional, aplikasi
fluoride, dan pemeriksaan gigi secara rutin sangat penting untuk mengontrol penyakit karies
dan penyakit periodontal.

Kehilangan perlekatan periodontal dan kehilangan gigi terjadi lebih besar pada
pasien kanker yang diobati dengan radiasi unilateral berdosis tinggi dibandingkan dengan
sisi lainnya yang tidak terpancar radiasi. Pasien yang didiagnosis kanker mulut dan
membutuhkan
terapi radiasi, idealnya harus dinilai kebutuhan perawatan gigi dan mulutnya sebelum
memulai perawatan radiasi. Mukositis, xerostomia, restorasi yang menjadi rusak, lesi
periapikal, karies koronal dan akar, dan status penyakit periodontal mungkin sekali terjadi
pada penderita kanker yang mendapat perawatan radiasi. Pengobatan dan pencegahan
trismus, infeksi jamur/fungi di rongga mulut, infeksi odontogenik, osteoradionekrosis,
karies/decay, dan penyakit periodontal sangat penting untuk meminimalkan morbiditas oral
untuk pasien ini.

Infeksi gigi dan jaringan periondontal sangat berpotensi dan berisiko menjadi
parah/severe pada pasien dengan radiasi kepala dan leher, sehingga untuk meminimalisir
risiko tersebut dapat dilakukan evaluasi status kesehatan oral, penyediaan dental care, dan
pemberian jarak waktu untuk perbaikan jaringan sebelum dimulai lagi terapi radioterapinya.

D. Faktor Sistemik

Salah satu faktor yang mempengaruhi epidemiologi penyakit periodontal yaitu faktor
sistemik, diantaranya adalah Diabetes mellitus (DM), Gangguan Kardiovaskular, Kehamilan
(BBLR) dan Kebiasaan Merokok.
1. DIABETES MELLITUS (DM)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh
kekurangan insulin yang bersifat absolut dan relatif karena pengeluaran insulin yang
rendah dari pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2003, sekitar 194 juta orang menderita diabetes
mellitus di seluruh dunia, yaitu mencapai 5,1% dari populasi dunia. Jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat hingga 333 juta/6,3% dari populasi dunia tahun
2025 (International Diabetes Federation, 2003).
Salah satu komplikasi diabetes mellitus yang cukup serius di bidang
kedokteran gigi adalah oral diabetik, yang meliputi mulut kering, gusi mudah

23
berdarah (gingivitis), kalkulus, resorbsi tulang alveolaris, periodontitis dan lain
sebagainya. Dari sekian banyak komplikasi yang terjadi, periodontitis merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes mellitus dengan
tingkat prevalensi yang tinggi hingga mencapai angka 75%. Hasil penelitian
tingkat keparahan periodontitis pada 126 penderita diabetes mellitus pada
tahun 2008 terdapat 8 orang (6,3%) yang menderita periodontitis reversibel dan
118 orang (93,7%) yang menderita periodontitis irreversibel. Menurut penelitian
Hidayati Sri, Adin Mu’afiro, Joko Suwito (2008), penderita diabetes mellitus
mempunyai kecenderungan untuk menderita periodontitis lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.
Pada penderita diabetes mellitus, dengan meningkatnya kadar glukosa
dalam darah dan cairan gingival berarti juga merubah lingkungan mikroflora,
menginduksi perubahan bakteri secara kualitatif. Sehingga perubahan tersebut
mengarah pada penyakit periodontal yang berat, dan dapat teramati pada penderita
diabetes melitus dengan kontrol buruk. Berkaitan dengan jaringan periodontal,
hiperglikemia kronik penderita diabetes melitus akan meningkatkan aktivitas
kolagenase, dan menurunkan sintesis kolagen. Enzim kolagenase menguraikan
kolagen, sehingga ligament periodontal rusak, dan gigi menjadi goyah. Jaringan
periodontal akan menjadi kuat kembali apabila diabetes melitus diobati dengan
baik (Lingen MW, Kumar V, 2004).
Terdapat perubahan fungsi sel seperti neutrofil, monosit dan makrofag,
pada orang dengan diabetes mellitus. Proses kemotaksis dan fagositosis neutrofil
sering terganggu. Sel-sel ini merupakan garis pertama dari pertahanan tubuh, dan
penghambatan fungsi dari sel-sel tersebut dapat mencegah penghancuran
bakteri dalam poket periodontal, sehingga dapat meningkatkan kerusakan
periodontal. Makrofag dan monosit sering menunjukkan peningkatan produksi
sitokin proinflamasi dan mediator lain seperti faktor nekrosis tumor (TNF-a)
dalam menanggapi bakteri periodontal yang dapat meningkatkan kerusakan
jaringan tubuh. Peningkatan TNF-a ditemukan dalam cairan sulkus gingiva.
Kontrol glikemik merupakan hal penting dari respons ini.
Perubahan dalam proses penyembuhan luka adalah masalah umum pada
orang dengan diabetes. sel utama dalam periodonsium yaitu fibroblast tidak
mampu berfungsi pada lingkungan dengan kadar gula yang tinggi, selain itu,
kolagen yang diproduksi oleh fibroblas ini rentan terhadap kerusakan oleh enzim
matriks metalloproteinase, produksi enzim ini meningkat pada orang diabetes.
Proses penyembuhan luka pada jaringan periodontal berubah pada orang dengan
hiperglikemia yang berkelanjutan, yang mengakibatkan meningkatnya bone loss dan
kehilangan perlekatan jaringan periodontal. Salah satu karakteristik utama dari
komplikasi diabetes adalah perubahan pada integritas mikrovaskuler. Orang
dengan diabetes, terutama pada kontrol glikemik yang buruk terdapat
peningkatan AGEs dalam jaringan, termasuk periodontium. AGEs adalah link

24
utama diantara berbagai komplikasi diabetes, karena AGEs mendorong perubahan
dalam sel dan komponen matriks ekstraseluler. Perubahan ini, termasuk
perubahan pertumbuhan abnormal dari fungsi sel endotel dan proliferasi
pembuluh darah kapiler, juga terjadi dalam periodonsium dari beberapa orang
dengan diabetes. Akumulasi AGEs pada pasien dengan diabetes juga
meningkatkan intensitas respon immunoinflammatory untuk patogen periodontal,
karena sel-sel inflamasi seperti monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk
AGEs. Interaksi antara AGEs dan reseptor pada sel-sel inflamasi dalam peningkatan
produksi proinflamatory sitokin seperti IL-1 dan TNF-a yang meningkat pada cairan
sulkus gingival yang dapat dilihat pada subyek dengan diabetes dibandingkan
dengan mereka yang tidak diabetes dan mungkin memberikan kontribusi
terhadap peningkatan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal yang
ditemukan dalam berbagai penelitian pada populasi orang dengan diabetes.
Secara umum, hampir 85 % prevalensi DM adalah DM tipe 2. Pada DM tipe 2,
penderita tidak mengalami kerusakan pada sel-sel penghasil insulin, hanya saja
sel- sel tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. DM tipe 2
memiliki perhatian yang sangat signifikan pada kesehatan masyarakat. Penyakit
periodontal telah diketahui secara tradisional semata-mata sebagai konsekuensi
dari penyakit diabetes. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes
meningkatkan resiko alveolar bone loss dan attachment loss pada jaringan
periodontal tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penderita non diabetes
(Mealey B. L., Rethman M. P., 2003).
Periodontitis dapat menyebabkan inflamasi yang berlebihan dalam adiposit
dengan meningkatnya TNF-α, IL-6, IL-1 memasuki sirkulasi sistem. TNF-α adalah
sitokin utama yang bertanggung jawab untuk resistensi insulin yang mengalami
induksi pada level reseptor. IL-6 penting dalam menstimulasi produksi TNF-α, karena
itu peningkatan produksi IL-6 pada penderita diabetes mellitus tipe 2 akan
menghasilkan level IL-6 dan TNF-α sirkulasi yang tinggi pula. Peningkatan level
sitokin ini juga menyebabkan peningkatan produksi C-reaktif protein yang
berdampak pula pada resistensi insulin yang merupakan proses patologis pada
DM tipe 2. Peningkatan TNF-α, IL-6, dan CRP juga dapat dikatakan sebagai
petanda adanya inflamasi jaringan periodontal pada DM tipe 2. Periodontitis
merupakan faktor berkembangnya DM Tipe 2, demikian juga sebaliknya. Pasien
DM Tipe 2 lebih sering menderita periodontitis dan lebih parah dibanding pasien
non-diabetes (Engebretson, 2007 & Struch F, 2008). Menurut Central Disease
Control (2007) di Amerika usia diatas 20 – 60 tahun 23,5 juta (23,10%) penderita,
dan usia diatas 60 tahun sebanyak 12,2 juta (10,70%) penderita. Penderita DM
Tipe 2 lebih sering dan lebih parah jika menderita periodontitis dibanding
dengan orang sehat (Struch F, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nandya (2009) menunjukan bahwa
rata-rata indeks GPI pada penderita diabetes mellitus lebih tinggi dibandingkan

25
indeks GPI pada penderita non-diabetes. Hasil rata-rata GPI juga menunjukan
bahwa dari 30 sampel dengan diabetes mellitus memiliki rata-rata GPI sebesar
3,11683 sedangkan pada penderita non-diabetes memiliki rata-rata sebesar
2,37433. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa penderita diabetes mellitus memiliki
tingkat kerusakan jaringan periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan
penderita non diabetes. Hal ini disebabkan oleh karena diabetes dapat
meningkatkan risiko kerusakan pada jaringan periodontal yang berlanjut dari
waktu ke waktu. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pada pasien
DM tipe 2 terjadi peningkatan risiko empat kali lipat kehilangan tulang alveolar yang
progresif pada orang dewasa dibandingkan dengan pada orang dewasa yang
tidak memiliki diabetes (Mealey B. L. 2006). Seperti gingivitis, risiko
perkembangan periodontitis lebih besar pada pasien dengan diabetes yang
memiliki kontrol glikemik yang rendah dibandingkan dengan pasien diabetes
yang terkendali dengan baik. Kontrol glikemik yang rendah pada pasien dengan
diabetes juga telah dikaitkan dengan peningkatan resiko progresif dari
kehilangan perlekatan jaringan periodontal dan tulang alveolar.

2. GANGGUAN KARDOVASKULER
Penyakit kardiovaskuler dan periodontal merupakan suatu keadaan
inflamasi yang umum pada manusia. Penyakit periodontal merupakan penyakit
inflamasi yang disebabkan oleh bakteri. Inflamasi periodontal dapat berkembang
menjadi penyakit yang destruktif yang menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal. Proses inflamasi dapat melibatkan pembuluh darah secara langsung
atau tidak langsung melalui penyesuaian hemostatik dan pemicu respon inflamasi
sistemik. Penyakit kardiovaskuler penyebab utama kematian di negara Amerika,
Eropa dan Asia. Faktor risiko kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, diabetes
mellitus termasuk periodontitis banyak dijelaskan pada berbagai kasus. Periodontitis
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung
koroner, dengan pengertian bahwa periodontitis menimbulkan risiko lebih besar
pada individu untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
Mikroorganisme subgingival pada keadaan periodontitis didominasi oleh
bakteri gram negatif, seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia,
Bacteroidesforsytus, Actinobacillus actynomycetemcomuans. Bakteri dan produk-
produknya seperti lipopolisakarida (LPS) dapat masuk ke jaringan periodontal dan
sirkulasi darah melalui epitel sulkus, akan menyebabkan perubahan respon
inflamasi dan perubahan sistemik yang menginduksi respon vaskular. Respon
tubuh ini yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme hubungan antara infeksi
periodontal dengan berbagai kelainan sistemik, khususnya dengan penyakit
jantung koroner. Selama periodontitis, mikroorganisme plak mungkin menembus
pembuluh darah kemudian menginfeksi endotel dari vaskular dan menyokong

26
terjadinya aterosklerosis (penebalan lapisan pembuluh darah arteri dibawah
lapisan intima yang terdiri dari otot polos, kolagen dan serat elastik). Munculnya
infeksi seperti penyakit periodontal dinyatakan mengekalkan terjadinya inflamasi
dalam aterosklerosis. Adanya inflamasi kronik (penyakit periodontal) menjadi dasar
mekanisme terjadinya aterosklerosis dan menjadi salah satu faktor resiko penyakit
jantung koroner. Penyakit periodontal berpotensi menyebabkan bakteriemi, bakteri
dan produknya menyebabkan perubahan respon inflamasi sistemik dan perubahan
hemostatik. Keadaan bakteriemi ini mempengaruhi koagulasi darah, sel endotel
pembuluh darah, fungsi platelet yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
jantung koroner.
Aktifitas rutin sehari-hari seperti pengunyahan dan prosedur oral
hygiene dapat menyebabkan bakteriemi dari mikroorganisme mulut. Penyakit
periodontal menjadi penyebab meningkatnya terjadinya bakteriemi termasuk
keberadaan bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri dominan pada
periodontitis. Kira-kira 8% semua kasus endokarditis berhubungan dengan
penyakit periodontal dan penyakit gigi. Jaringan periodontal yang mengalami
periodontitis bertindak sebagai reservoir endotoksin (LPS) dari bakteri Gram
negatif. Endotoksin dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik selama fungsi
pengunyahan, menimbulkan dampak negatif pada jantung. Pada seseorang
periodontitis ditemukan konsentrasi endotoksin yang lebih besar dibandingkan
dengan yang tanpa periodontitis.
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara kondisi
rongga mulut (periodontitis) dan penyakit jantung koroner dengan menggunakan
bermacam-macam metode penelitian termasuk case-control, cross-sectional dan
longitudinal. Hampir semua penelitian tersebut memperkirakan bahwa penyakit
periodontal dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Montebugnoli L (2005) mengemukakan bahwa kesehatan rongga mulut
yang buruk dan terutama penyakit periodontal menambah risiko terjadinya
penyakit jantung koroner, dengan adanya bukti-bukti bahwa penyakit gigi
merupakan faktor risiko dari penyakit jantung koroner seperti jumlah serum lipid,
faktor inflamasi dan faktor-faktor hemostatik yang tinggi. DeStefano et al (2002)
melaporkan bahwa orang penderita periodontitis atau yang edentulous mempunyai
risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan dengan
orang tanpa periodontitis. Studi populasi lain memperlihatkan bahwa orang dengan
periodontitis parah mempunyai risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk menderita
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa penyakit periodontal.
Kelompok yang sama juga melaporkan bahwa risiko penyakit jantung koroner
meningkat dengan kehilangan tulang alveolar yang lebih banyak. Odds ratio
untuk serangan jantung meningkat dengan peningkatan jumlah tempat yang
mengalami attachment loss 3 mm atau lebih (Arbes et al 1999).

27
Dalam sebuah penelitian pada hewan, bakteri gram negatif dan
lipopolisakarida menyebabkan infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam dinding arteri,
proliferasi otot polos arteri dan koagulasi intravaskular. Perubahan ini identik dengan
kejadian yang dapat diamati pada atheromatosis. Penyakit periodontal
menyebabkan infeksi sistemik kronis, keadaan bakteriemi mengawali respon
tubuh dengan mempengaruhi koagulasi, endotel dan integritas dinding
pembuluh darah, fungsi platelet, ini menyebabkan perubahan atherogenic dan
terjadinya thromboemboli (gambar 1).

Gambar 1
Pengaruh infeksi periodontal pada aterosklerosis. Bakteri dan produknya
merusak endotel, monosit masuk ke dinding pembuluh darah, sitokin meningkatkan
terjadinya lesi aterosklerosis.

3. KEHAMILAN (BBLR)
Kelahiran bayi berat badan lahir rendah (BBLR) prematur saat ini masih
merupakan masalah pada bidang reproduksi di negara maju maupun negara
berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), bayi BBLR prematur
adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram dan lahir sebelum 37 minggu
usia kehamilan. Kelahiran bayi BBLR kurang bulan merupakan penyumbang besar
pada kematian perinatal. Kejadian bayi BBLR prematur di Indonesia tahun 2003
sebesar 90 per 1000 kelahiran. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
kelahiran bayi BBLR prematur antara lain infeksi ibu, malnutrisi, riwayat kelahiran
prematur, ruptur membran prematur, terkena bahan-bahan toksik (obat, rokok,
alkohol), stres maternal, status sosio-ekonomi rendah, perawatan prenatal

28
kurang, hipertensi, diabetes, infeksi traktus genitourinaria, sepsis neonatal,
kehamilan multipel, serta beberapa faktor lainnya yang belum diketahui. Faktor
risiko ibu meliputi: usia, tinggi badan, berat badan, status sosial ekonomi, etnis,
merokok, status gizi, dan stress. Selain itu, interval kelahiran, komplikasi
sebelumnya, perawatan dan penanganan sebelum dan setelah kelahiran, hipertensi
ibu, infeksi umum, infeksi lokal dari genital dan sistem kemih, dan serviks tidak
kompeten juga mungkin berpengaruh. Namun, proporsi yang signifikan dari BBLR
adalah etiologi tidak diketahui.
Faktor utama di antara semua ini adalah oleh karena infeksi, yang perannya
kini banyak menjadi perhatian. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau
gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan
produknya yang merupakan antigen dan faktor virulen (lipopoli-sakarida=LPS)
mengadakan interaksi dengan epitel saku gusi, dengan mekanisme invasi,
eksotoksin, endotoksin dan enzim. Tubuh mengadakan respons imunologis dengan
aktivasi sel B, sel T dan polimorfonuklear-leukosit (PMN). Sel epitel yang
teraktivasi akan melepaskan mediator inflamasi IL-1, IL-8, prostaglandin E2 (PGE2),
matriksmetaloproteinase (MMP) dan tumor necrotic factor (TNF), yang
merupakan respons paling awal terhadap stimuli bakteri dan menyebabkan
gangguan metabolisme jaringan ikat dan tulang yang tampak sebagai tanda klinis
awal radang jaringan periodontal dan merupakan awal terjadinya penyakit
periodontal.
Proses inflamasi dapat menjalar ke jaringan di bawahnya, terjadi
peningkatan permeabilitas vaskular dan pembebasan agen aktivasi leukosit spesifik.
Hal ini menyebabkan peningkatan kerusakan komponen plasma dalam cairan saku
gusi dan terjadi ekstravasasi leukosit. Adanya LPS atau IL-1 dan TNF, sel endotel
mikro-sirkulasi teraktivasi, pembuluh mengalami inflamasi, vasodilatasi dan aliran
darah menjadi lambat. Hubungan sel endotel terbuka dan cairan kaya protein
keluar, tertimbun pada matriks ekstraselular. Peningkatan leukosit, monosit dan
aktivasi makrofag menghasilkan mediator respons imun dan respons radang
jaringan penyangga gigi, serta substansi kemotaktik, dan selanjutnya proses radang
ini akan menyebar secara sistemik ke seluruh tubuh. Pada ibu hamil, proses
penyebaran infeksi secara sistemik dengan peningkatan mediator proinflamasi pada
sirkulasi secara imunologik dapat melewati barier plasenta, menyebabkan
meningkatnya kadar IL-1β, TNF-α, IL-6, PGE2 dalam cairan amnion, dapat
menyebabkan bayi lahir prematur dengan diawali dilatasi serviks, ruptur membran
dan kontraksi uterus, dan pada penelitian juga didapatkan peningkatan kadar IL-1β,
TNF-α, IL-6, PGE dalam cairan amnion pada pasien dengan bayi BBLR lahir
prematur.
Peneliti lain telah melihat efek dari subklinis infeksi saluran kemih pada
kehamilan. Satu studi menunjukkan peningkatan 40% dalam tingkat persalinan
prematur pada ibu dengan bakteri pada serviks di awal masa kehamilan. Sebuah

29
studi yang dilakukan oleh Offenbacher dkk (1998) mengatakan bahwa penyakit
periodontal ibu dapat menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan risiko berat badan
lahir rendah pada bayi prematur. Penelitian ini menyimpulkan penyakit periodontal
merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik untuk terjadinya berat badan
lahir rendah pada bayi prematur. Selain itu, telah diamati model hewan dengan
periodontitis Gram-negatif yang terkait mikroorganisme dapat mempengaruhi hasil
kehamilan. Pada penelitian Dwi (2006) dihasilkan gingivitis pada ibu hamil
mempunyai risiko 8,75 kali mengalami kelahiran bayi BBLR prematur (POR =8,75 95%
CI= 2,56–29,94) dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami gingivitis.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL

PENYAKIT PERIODONTAL
Infeksi Periodontal dan Respon Host
Penyakit periodontal secara garis besar dibagi menjadi gingivitis dan
periodontitis. Dimana keduanya merupakan manifestasi dari adanya infeksi bakteri
pathogen yang berkolonisasi pada biofilm gigi. Munculnya penyakit ini merupakan
kolaborasi dari adanya infeksi bakteri dan respon pertahanan host di mediasi oleh
faktor lingkungan seperti merokok dan oral hygiene. Ginggivitis adalah proses
inflamasi dari ginggiva pada junctional epithelium, yang bersifat reversible, artinya

30
perlekatan yang rusak oleh bakteri dapat kembali ke keadaan awal. Tahapan proses
terjadinya gingivitis dimulai dari tahap initial, early gingivitis, dan established
gingivitis dan diikuti dengan pembentukan kolonisasi bakteri membentuk plak yang
kompleks atau matang.
Periodontitis adalah keradangan pada gingival, diikuti dengan adanya clinical
attachment loss (CAL) dari ligament periodontal, dan kehilangan dukungan tulang
alveolar (bone loss). Periodontitis merupakan infeksi gingivitis yang semakin meluas.
Mediator inflamasi berperan penting terhadap progress periodontitis.
Perkembangan keparahan periodontitis ini ditentukan oleh respon pertahanan alami
dan buatan tubuh terhadap infeksi. Penyakit periodontal bukan hanya disebabkan
oleh bakteri patogen namun juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Faktor
penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor local dan
faktos sistemik. Faktor local merupakan penyebab yang berasal dari dalam rongga
mulut dan lingkungan disekitar gigi seperti Bakteri dan plak, kalkulus, food
impaction, kebiasaan bernafas dengan mulut, dan lain-lain. Sedangkan faktor
sistemik yaitu penyebab yang berasal dari gangguan metabolism tubuh dan
kesehatan secara umum seperti faktor genetik, ketidak seimbangan hormon,
defiiensi nutrisi dan diabetes mellitus. Adapun klasifikasi dari gingivitis dan
periodontitis dapat dilihat pada tabel 1.

31
Ginggivitis
Gingivitis merupakan proses peradangan didalam jaringan periodonsium
yang terbatas pada gingiva, yang disebabkan oleh mikroorganisme yaang
membentuk suatu koloni serta membentuk plak gigi yang melekat pada tepi gingival.
Gingivitis adalah peradangan gingiva. Pada kondisi ini tidak terjadi kehilangan
perlekatan. Pada pemeriksaan klinis terdapat gambaran kemerahan di margin
gingiva, pembengkakan dengan tingkat yang bervariasi, perdarahan saat probing
dengan tekanan ringan dan perubahan bentuk gingiva. Peradangan gingiva tidak
disertai rasa sakit. Peradangan gingiva disebabkan oleh faktor plak maupun non-
plak. Namun peradangan gingiva tidak selalu disebabkan oleh akumulasi plak pada
permukaan gigi, dan peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh plak sering
memperlihatkan gambaran klinis yang khas. Keadaan ini dapat disebabkan beberapa
penyebab, seperti infeksi bakteri spesifik, infeksi virus atau jamur yang tidak
berhubungan dengan peradangan gingiva yang berhubungan dengan plak dan
peradangan gingiva karena faktor genetik.

32
Peradangan gingiva yang berasal dari faktor genetik terlihat pada Hereditary
gingival fibromatosis, dan beberapa kelainan mukokutaneus yang bermanifestasi
sebagai peradangan gingiva. Contoh lesi adalah lichen planus, pemphigoid,
pemphigus vulgaris dan erythema multiforme.
Alergi dan trauma merupakan contoh lain dari peradangan gingiva yang tidak
disebabkan oleh faktor non-plak. Peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh
faktor non-plak sangat relevan, penyebab lesi secara umum merupakan sample
penting untuk memahami variasi dari reaksi jaringan yang terdapat pada
periodontium.
Selain faktor plak dan non-plak peradangan gingiva juga disebabkan oleh
karena gangguan sistemik dengan perdarahan spontan atau setelah teriritasi.
Perdarahannya eksesif dan sulit dikontrol. Adapula karena penggunaan obat
tertentu, alergi, terapi radiasi, siklus menstruasi, dan genetik.
Keparahan peradangan gingiva akan terus berlanjut akibat penumpukan plak,
apabila kebersihan rongga mulut tidak dipelihara.
Pada gingiva yang mengalami perdarahan, persentase jaringan ikat yang
terkena radang adalah lebih besar, tetapi epitelnya lebih sedikit dan lebih tipis bila
dibandingkan dengan gingiva yang tidak mengalami perdarahan. Ini berarti
terjadinya perdarahan pada gingiva adalah sejalan dengan perubahan histopatologis
yang terjadi pada jaringan ikat periodonsium.
2.1. MACAM - MACAM GINGIVITIS
2.1.1. Gingivitis marginalis kronis
Merupakan suatu peradangan gingiva pada daerah margin yang
banyak dijumpai pada anak, ditandai dengan perubahan warna, ukuran
konsistensi, dan bentuk permukaan gingiva. Penyebab peradangan yang
paling umum yaitu disebabkan oleh penimbunan bakteri plak. Perubahan
warna dan pembengkakan gingiva merupakan gambaran klinis terjadinya
gingivitis marginalis kronis.
2.1.2. Eruption gingivitis
Merupakan peradangan yang terjadi di sekitar gigi yang sedang
erupsi dan berkurang setelah gigi tumbuh sempurna dalam rongga mulut,
sering terjadi pada anak usia 6-7 tahun ketika gigi permanen mulai erupsi.
Eruption gingivitis berkaitan dengan akumulasi plak.
2.1.3. Gingivitis pada gigi karies dan loose teeth (eksfoliasi parsial)
Pada pinggiran margin yang tererosi akan terdapat akumulasi plak,
sehingga dapat terjadi edema sampai dengan abses.
2.1.4. Gingivitis pada maloklusi dan malposisi
Peradangan disertai dengan perubahan warna gingiva menjadi
merah kebiruan, pembesaran gingiva, ulserasi, dan bentuk poket dalam yang
menyebabkan terjadinya pus, meningkat pada anak-anak yang memiliki

33
overjet dan overbite yang besar, kebiasaan bernafas melalui mulut, open
bite, edge to edge, dan protrusif.
2.1.5. Gingivitis pada mucogingival problems
Mucogingival problems merupakan salah satu kerusakan atau
penyimpangan morfologi, keadaan, dan kuantitas dari gingiva di sekitar gigi
antara margin gingiva dan mucogingival junction yang ditandai oleh mukosa
alveolar yang tampak tipis dan mudah pecah, susunan jaringan ikatnya yang
lepas serta banyaknya serat elastis.
2.1.6. Gingivitis karena resesi gusi lokalisata
Terjadi karena trauma sikat gigi, alat ortodontik, frenulum labialis
yang tinggi, dan kebersihan mulut yang buruk.
2.1.7. Gingivitis karena alergi
Mc Donald dan Avery, 2004 menyatakan bahwa adanya peradangan
pada gingiva yang bersifat sementara terutama berhubungan dengan
perubahan cuaca.
2.1.8. Gingivitis Artefacta
Peradangan karena perilaku yang sengaja melakukan cedera fisik dan
menyakiti diri sendiri. Salah satu penyakit periodontal yang disebabkan oleh
adanya cedera fisik pada jaringan gingiva disebut sebagai gingivitis artefakta
yang memiliki varian mayor dan minor.
Gingivitis artefakta minor merupakan bentuk yang kurang parah dan
dipicu oleh iritasi karena kebiasaan menyikat gigi yang terlalu berlebihan.
Kondisi ini juga dapat terjadi akibat menusuk gingiva dengan menggunakan
jari kuku atau benda asing lainnya.
Gingivitis artefakta mayor merupakan bentuk yang lebih parah,
karena melibatkan jaringan periodontal. Perilaku ini berhubungan dengan
gangguan emosional. Peradangan gingiva oleh karena perilaku mencederai
diri sendiri terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan
prevalensinya lebih banyak terjadi pada perempuan.
2.2. PENYEBAB LAIN GINGIVITIS
Selain disebabkan karena mikroorganisme didalam plak, serta faktor local,
gingivitis juga dapat disebabkan oleh hal-hal dibawah ini :
 Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor hormon
Perubahan hormon seksual berlangsung semasa pubertas dan kehamilan,
keadaan ini dapat menimbulkan perubahan jaringan gingiva yang merubah respons
terhadap produk-produk plak.
Pada masa pubertas insidensi peradangan gingiva mencapai puncaknya dan
perubahan ini tetap terjadi walaupun kontrol plak tetap tidak berubah.
Plak dapat menyebabkan peradangan yang hebat pada masa pubertas yang
diikuti dengan pembengkakan gingiva dan perdarahan. Bila masa pubertas sudah

34
lewat, peradangan cenderung reda dengan sendirinya tetapi tidak dapat hilang
kecuali bila dilakukan pengkontrolan plak yang adekuat.
 Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor nutrisi
Peradangan gingiva karena malnutrisi ditandai dengan gingiva tampak bengkak,
berwarna merah terang karena defisiensi vitamin C. Kekurangan vitamin C
mempengaruhi fungsi imun sehingga menurunkan kemampuan inang melindungi diri
dari produk-produk seluler tubuh berupa radikal oksigen.
 Gingivitis yang disebabkan oleh faktor non-plak
Penyakit Gingiva yang Berasal dari Bakteri Spesifik
Peradangan gingiva dapat terjadi ketika faktor patogen yang berhubungan
dengan non-plak melebihi peranan dari respon daya tahan host. Lesi dapat
disebabkan oleh bakteri dan mungkin tidak disertai oleh lesi ditempat lain pada
tubuh. Contoh umum dari lesi tersebut yang berkaitan dengan infeksi melalui
Neisseria gonorrhea, Treponema pallidum, Sttreptococci, Mycobacterium chelonae
atau organisme lain. Manifestasi dari lesi gingiva nampak ulserasi berwarna merah
terang yang edematous dan sangat sakit, asimptomatik atau mucous patches, atau
gingivitis atypical non ulserasi, peradangan gingiva yang parah. Biopsy dilakukan
melalui pemeriksaan mikrobiologi untuk menunjukkan riwayat lesi.

2.3. GAMBARAN KLINIS GINGIVITIS


Secara umum, gambaran klinis gingivitis adalah adanya tanda klinis berikut:
kemerahan, perdarahan akibat stimulasi, perubahan kontur, adanya plak atau
kalkulus dan secara radiografi tidak ditemukan kehilangan tulang alveolar.
Pemeriksaan histologi jaringan gingiva yang mengalami peradangan menunjukkan
ulserasi epitel. Keberadaan radang memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi
epitel sebagai pelindung. Perbaikan ulserasi epitelium ini bergantung pada aktivitas
proliferative atau regenerative sel epitel.4
Gejala klinis gingivitis yang parah adalah termasuk eritema, edema, dan
pembesaran hiperplastik. Daerah anterior menunjukkan kondisi yang lebih parah
dengan adanya gigi yang berjejal ringan, dan bernapas melalui mulut. Pada saat
probing tidak terdapat kehilangan perlekatan, dan poket tidak terdapat di daerah
cementoenamel junction.4

2.4. KARAKTERISTIK GINGIVITIS


2.4.1. Perubahan Warna Gingiva
Warna gingiva ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah dan ukuran
pembuluh darah, ketebalan epitel, keratinisasi, dan pigmen di dalam epitel.
Perubahan warna merupakan tanda klinis dari penyakit pada gingiva. Warna
gingiva normal adalah merah muda coral dan dihasilkan oleh vaskularitas jaringan
dan lapisan epitel. Gingiva menjadi memerah ketika vaskularisasi meningkat atau

35
derajat keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang. Warna menjadi pucat
ketika keratinisasi mengalami reduksi.
Peradangan kronis menyebabkan warna merah atau merah kebiruan akibat
proliferasi dan keratinisasi. Vena akan memberikan kontribusi menjadi warna
kebiruan. Perubahan warna gingiva akan memberikan kontribusi pada proses
peradangan. Perubahan terjadi pada papilla interdental dan margin gingiva, dan
menyebar pada attached gingiva.

2.4.2. Perubahan Konsistensi


Baik kondisi kronis maupun akut dapat menghasilkan perubahan pada
konsistensi gingiva normal yang kaku dan tegas. Seperti yang dinyatakan
bahwa pada gingivitis kronis, perubahan destruktif atau edema dan
reparative atau fibrous terjadi secara bersamaan, dan konsistensi gingiva
ditentukan berdasarkan kondisi yang dominan.
2.4.3. Perubahan Klinis dan Histopatologis
Pada peradangan gingiva, perubahan histopatologi menyebabkan
perdarahan gingiva akibat dilatasi, pembengkakan kapiler, dan penipisan atau
ulserasi epitel. Karena kapiler membengkak dan menjadi lebih dekat ke
permukaan, menipis, epitelium kurang protektif, dan stimuli yang secara
normal tidak melukai dapat menyebabkan rupture pada kapiler dan
perdarahan gingiva.
2.4.4. Perubahan Tekstur Jaringan Gingiva
Permukaan gingiva normal seperti kulit jeruk yang biasa disebut
sebagai stippling. Stippling terbatas pada attached gingiva dan secara
dominan terdapat pada daerah subpapila, tetapi meluas sampai ke papilla
interdental. Secara biologis stippling pada gingiva tidak diketahui, beberapa
peneliti menyimpulkan bahwa kehilangan stippling merupakan tanda awal
dari terjadinya gingivitis. Pada peradangan kronis, permukaan gingiva halus
dan mengkilap atau kaku, tergantung pada perubahan eksudatif atau fibrotik.
Tekstur permukaan yang halus juga dihasilkan oleh atropi epitel pada
gingivitis, dan permukaan yang rupture terjadi pada gingivitis kronis.
Hiperkeratosis dengan tekstur kasar, dan pertumbuhan gingiva secara
berlebih akibat obat akan menghasilkan permukaan yang berbentuk nodular
pada gingiva.

2.5.3.1. Perubahan Klinis dan Histopatologis Konsistensi Gingiva

Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis


Gingivitis Kronis

1. Infiltrasi cairan dan eksudat pada


peradangan.
1. Pembengkakan lunak yang
dapat membentuk lubang 36
sewaktu ditekan. 2. Degenerasi jaringan konektif dan
epitel yang memicu peradangan dan;
2. Gingiva lunak pada saat
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis

Gingivitis Akut

1. Edema yang berasal dari peradangan akut.

1. Pembengkakan dan gingiva 2. Nekrosis dengan pembentukan membran


yang lunak. yang terdiri dari bakteri, leukosit
polimorfonuklear, dan degenerasi epitel
2. Debris berwarna keabu- fibrous.
abuan.
3. Edema interseluler dan intraseluler
3. Pembentukan vesikel. dengan degenerasi nukleus dan
sitoplasma, dan rupture dinding sel.

2.4.5. Perubahan Posisi Gingiva


Salah satu gambaran pada penyakit gingiva adalah adanya lesi pada
gingiva. Lesi traumatik seperti lesi akibat kimia, fisik atau termal merupakan
lesi yang paling umum pada rongga mulut. Lesi akibat kimia termasuk karena
aspirin, hidrogen peroksida, perak nitrat, fenol, dan bahan endodontik. Lesi
karena fisik termasuk bibir, rongga mulut, dan tindik pada lidah yang dapat

37
menyebabkan resesi gingiva. Lesi karena termal dapat berasal dari makanan
dan minuman yang panas. Pada kasus akut, epitelium yang nekrotik, erosi
atau ulserasi, dan eritema merupakan gambaran umum. Sedangkan pada
kasus kronis, terjadi dalam bentuk resesi gingiva. 4
2.4.6. Perubahan Kontur gingiva
Perubahan pada kontur gingiva berhubungan dengan pembesaran
gingiva, tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi pada kondisi yang lain.
Ketika resesi ke apikal, celah menjadi lebih lebar, dan meluas ke
permukaan akar. Ketika lesi mencapai mucogingival junction, mukosa rongga
mulut mengalami peradangan karena kesulitan untuk mempertahankan
kontrol plak yang adekuat pada daerah ini. Istilah McCall festoon telah
digunakan untuk menggambarkan penebalan pada gingiva yang diamati pada
gigi kaninus ketika resesi telah mencapai mucogingival junction.

2.5. MEKANISME TERJADINYA GINGIVITIS


Patogenesis gingivitis terdapat empat tipe lesi yang berbeda. Keempatnya
adalah lesi awal, lesi dini, lesi mapan, dan lesi lanjut. Lesi dini dan mapan dapat tetap
stabil untuk waktu yang lama. Selain itu, dapat terjadi pemulihan secara spontan
atau disebabkan oleh karena perawatan.
2.5.1. Lesi inisial atau lesi awal
Pada tahap ini plak mulai berakumulasi ketika kebersihan rongga mulut tidak
terjaga. Untuk beberapa hari pertama, plak ini terdiri dari bakteri cocci dan
batang gram positif, lalu hari berikutnya organisme filamen, dan terakhir
Spirochetes atau bakteri gram negatif. Dalam beberapa hari, gingivitis ringan
mulai terjadi pada tahap ini.
2.5.2. Lesi dini atau early lesion
Pada tahap ini sudah mulai terlihat tanda klinis eritema. Eritema terjadi
karena proliferasi kapiler dan meningkatnya pembentukan kapiler. Epitel
sulkus menipis atau terbentuk ulserasi. Pada tahap ini mulai terjadi
perdarahan pada probing. Ditemukan 70% jaringan kolagen sudah rusak
terutama di sekitar sel – sel infiltrat. Neutrofil keluar dari pembuluh darah
sebagai respons terhadap stimulus kemotaktik dari komponen plak,
menembus lamina dasar ke arah epitelium dan masuk ke sulkus. Dalam tahap
ini fibroblast jelas terlihat menunjukkan perubahan sitotoksik sehingga
kapasitas produksi kolagen menurun.
2.5.3. Lesi mapan atau established lesion
Pada tahap ini disebut sebagai gingivitis kronis karena seluruh pembuluh
darah membengkak dan padat, sedangkan pembuluh balik terganggu atau
rusak sehingga aliran darah menjadi lambat. Terlihat perubahan warna
kebiruan pada gingiva. Sel – sel darah merah keluar ke jaringan ikat, sebagian
pecah sehingga hemoglobin menyebabkan warna daerah peradangan

38
menjadi gelap. Lesi ini dapat disebut sebagai peradangan gingiva moderat
hingga berat. Aktivitas kolagenolitik sangat meningkat karena kolagenase
banyak terdapat di jaringan gingiva yang diproduksi oleh sejumlah bakteri
oral maupun neutrofil.
2.5.4. Lesi lanjut atau lesi advanced
Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar menunjukkan karakteristik tahap
keempat yang disebut sebagai lesi advanced atau fase kerusakan periodontal.
Secara mikroskopis, terdapat fibrosis pada gingiva dan kerusakan jaringan
akibat peradangan dan imunopatologis. Secara umum pada tahap advanced,
sel plasma berlanjut pada jaringan konektif, dan neutrofil pada epitel
junctional dan gingiva. Dan pada tahap ini gingivitis akan berlanjut pada pada
individu yang rentan.

2.6. BAKTERI YANG BERPERAN PADA GINGIVITIS


Mayoritas penyakit periodontal disebabkan oleh mikroorganisme yang
berada pada atau dibawah margin gingiva. 4
Pada gingiva sehat bakteri terdiri atas gram positif. Terbanyak adalah dari
Actinomyces dan Streptococcus.15
Jika keseimbangan bakteri normal terganggu, akan terjadi pergeseran
komposisi plak sehingga jumlah bakteri anaerob gram negatif meningkat. Pada
gingivitis tidak terjadi kerusakan pada perlekatan jaringan, namun secara histologis
sudah terjadi kehilangan kolagen pada jaringan ikat. Pada keadaan seperti ini bakteri
Prevotella intermedia (Pi) dan Prevotella nigrescens subgingival meningkat. Hal ini
jelas pada keadaan pregnan karena estrogen dan progesteron yang banyak dalam
jaringan ikat gingiva digunakan oleh Pi untuk tumbuh sebagai pengganti vitamin K
yang merupakan faktor penumbuh penting bagi bakteri.
2.7. MEKANISME AKSI BAKTERI PADA GINGIVITIS
 Invasi
Terjadinya gingivitis tidak selalu didahului oleh invasi bakteri. Syarat utama
adalah adanya bakteri patogen spesifik yang melekat ke permukaan gigi disekitar
gingiva. Tidak ada organisme spesifik atau kelompok organisme tertentu yang secara
positif atau khusus diidentifikasi sebagai penyebab kerusakan jaringan periodontal,
tetapi ada beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada kondisi penyakit
periodontal tertentu. Telah dibuktikan bahwa pada keadaan ini terjadi invasi bakteri
ke jaringan ikat.
 Agen sitotoksik
Endotoksin yaitu substansi lipopolisakarida yang terdapat dalam dinding sel
bakteri gram negatif, yang dapat menjadi penyebab langsung nekrosis jaringan,
selain sebagai pencetus terjadinya proses peradangan dengan memicu respons
imunologik. Pada penelitian kultur jaringan, endotoksin yang terdapat pada
mikroorganisme tertentu di dalam mulut merangsang terjadinya resorpsi tulang.

39
 Enzim
Enzim kolagenase menguraikan fibril dan serabut kolagen, elemen utama
pembentuk gingiva dan ligamen periodonsium. Leukosit memproduksi kolagenase
dan terdapat dalam jumlah besar pada peradangan gingiva tahap awal.
 Mekanisme imunopatologi
Penelitian membuktikan bahwa sejumlah antigen plak menginduksi
peradangan dengan merangsang respons imunologik pada binatang percobaan. Baik
respons imun humoral maupun selular dapat ditemukan pada penderita
periodontitis.
 Aksi gabungan
Terdapat lebih dari satu mekanisme yang terlibat dalam inisiasi dan
perkembangan penyakit periodontal. Sebagai contoh, bahwa enzim dan substansi
sitotoksik bakteri menimbulkan efek langsung terhadap jaringan sulkular dan
subsulkular dengan cara mencetuskan respons imunopatologi secara tidak langsung.
2.8. PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GINGIVITIS
 Merokok
Plak gigi sebagai pemicu terjadinya gingivitis merupakan kondisi yang terjadi
pada anak- anak dan orang dewasa. Menurut penelitian muller dkk tahun 2002
setelah diamati selama enam bulan pada kelompok perokok ditemukan lebih banyak
plak supragingiva dibandingkan yang bukan perokok. Sedangkan menurut penelitian
dari calsina dkk tahun 2002 resesi gingiva yang lebih parah terjadi pada kelompok
perokok dibandingkan kelompok yang berhenti merokok dan bukan perokok, bahkan
pada perokok berat terdapat peningkatan terjadinya resesi gingiva sebanyak 2,3%.
Resesi pada perokok disebabkan karena adanya vasokonstriksi dan berkurangnya
respon peradangan yang disebabkan oleh nikotin dari rokok yang masuk ke dalam
aliran darah. Hal ini juga menyebabkan pada kelompok perokok ditemukan
perdarahan pada saat probing dibandingkan kelompok yang bukan perokok atau
yang berhenti merokok.
 Waktu penyikatan gigi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prijantojo tahun 1996 menyatakan
bahwa indeks rata – rata kalkulus dari kelompok yang menyikat gigi 3x sehari tampak
lebih baik dibandingkan kelompok yang menyikat gigi 2x sehari. Namun, indeks
perdarahan gingiva rata – rata pada kelompok yang menyikat gigi 3x sehari lebih
besar dibanding dengan indeks perdarahan rata – rata dari kelompok yang menyikat
gigi 2x sehari pada semua permukaan dari gigi. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang positif antara akumulasi plak dan peradangan gingiva.
 Jenis sikat gigi yang digunakan
Sikat gigi merupakan salah satu fisioterapi oral yang digunakan untuk
membersihkan gigi dan mulut. Dapat ditemukan beberapa macam jenis sikat gigi,
baik manual maupun elektrik dengan berbagai ukuran dan bentuk. Bulu sikat terbuat
dari berbagai macam bahan, tekstur, panjang, dan kepadatan. Walaupun banyak

40
jenis sikat gigi tetapi harus diperhatikan keefektifan sikat gigi untuk membersihkan
gigi dan mulut seperti kenyamanan bagi setiap individu meliputi ukuran, tekstur, dan
bulu sikat, mudah digunakan, mudah dibersihkan dan cepat kering sehingga tidak
lembab, awet dan tidak mahal, bulu sikat lembut tetapi cukup kuat dan tangkainya
ringan, dan ujung bulu sikat membulat.
 Frekuensi penyikatan gigi
Frekuensi pembersihan gigi banyak dihubungkan dengan efektifitas
terjadinya pembentukan plak dan kesehatan gingiva. Pembentukan plak lebih
banyak terjadi pada kelompok yang jarang melakukan pembersihan gigi daripada
kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi. Demikian juga pembentukan
kalkulus lebih rendah pada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi.
 Teknik menyikat gigi
Teknik menyikat gigi adalah cara yang paling umum dianjurkan untuk
membersihkan deposit lunak pada permukaan gigi dan dan gingiva dan merupakan
tindakan preventif dalam keberhasilan dan kesehatan rongga mulut yang optimal.
Oleh karena itu, teknik menyikat gigi harus dilaksanakan secara aktif dan teratur. 12
Kebanyakan teknik menyikat gigi telah ditetapkan sebagai metode yang
efisien dan efektif untuk membersihkan gigi. Teknik menggosok menjadi metode
paling mudah dan paling sering dalam menyikat gigi. Pasien dengan penyakit
periodontal diajarkan untuk menggunakan teknik penyikatan sirkular dengan
menggunakan gerakan vibrasi untuk meningkatkan akses pada daerah gingiva.
Metode yang dianjurkan adalah Teknik Bass karena teknik ini menekankan
penempatan bulu sikat secara sulkular. Ujung bulu sikat pada margin gingiva untuk
mencapai plak supragingiva dengan menggunakan gerakan yang terkontrol untuk
mencegah trauma.

 Kebiasaan menusuk gigi


Kebiasaan menusuk gigi untuk membersihkan gigi dapat mengakibatkan
terjadinya keradangan gingiva. Dari peradangan inilah yang akan menyebabkan
terjadinya gingivitis.
 Obat-obatan atau medikasi
Beberapa medikasi dapat berpengaruh buruk terhadap gingiva. Sebagai
contoh, obat-obatan antikonvulsan seperti fenitoin, antihipertensi, dan obat
imunosupresan seperti siklosporin yang menyebabkan pembesaran gingiva sehingga
berakibat gingiva mudah berdarah. Dikatakan bahwa gingivitis terjadi sebagai
respons terhadap akumulasi plak yang tidak terkontrol.
2.9. AKIBAT YANG DITIMBULKAN OLEH GINGIVITIS
Peradangan gingiva kronis dapat menyebabkan pembesaran gingiva.
Pertumbuhan gingiva bertambah parah pada pasien dengan faktor genetik atau
faktor sistemik yang berhubungan dengan obat, sebagai contoh; obat anti-

41
konvulsan, dan siklosporin. Pada individu yang mengkonsumsi fenitoin,
pertumbuhan gingiva secara berlebih dapat dihilangkan dengan kebersihan rongga
mulut individu secara tepat. Pertumbuhan gingiva berlebih terkadang tidak dapat
mengembalikan jaringan periodonsium kembali menjadi normal. Pertumbuhan
gingiva yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kemampuan pasien
untuk membersihkan gigi secara adekuat, dan menyebabkan terjadinya masalah
estetik dan fungsional.
Pada pasien dengan pertumbuhan gingiva berlebihan, pembedahan untuk
rekonturisasi dapat dilakukan untuk mempertahankan lingkungan pada rongga
mulut. Penanganan post-operatif setelah reseksi jaringan penting untuk dilakukan.
Rekurensi terjadi pada kebanyakan pasien dengan pertumbuhan gingiva
berlebihan akibat obat. Pada pasien tersebut, konsultasi dengan dokter umum dapat
disarankan untuk menentukan apakah memungkinkan untuk menggunakan terapi
obat alternatif yang tidak menyebabkan pertumbuhan gingiva secara berlebihan. Jika
tidak, pembedahan atau non-bedah dibutuhkan.

2.10. INDEKS YANG DIGUNAKAN PADA GINGIVITIS


Banyak index yang dapat digunakan untuk menilai gingivitis oleh King tahun
1945, master dan Schour tahun 1949, dan Muhlemen dan Mazor tahun 1958. Yang
termasuk index yang dapat digunakan :
 Sulcus bleeding index oleh Muhlemen & Son tahun 1971
SBI merupakan perdarahan pada sulkus setelah probing seperti terjadi eritema,
pembengkakan dan edema. Hal ini umumnya menunjukkan secara terpisah antara
papilla (P) dan gingival margin (M). SBI telah digunakan pada berbagai studi tetapi
berlaku juga untuk pasien dalam praktik.
 Gingival index oleh Loe dan Silness tahun 1963
Indeks gingiva oleh Loe H dan Silness J tahun 1963 digunakan untuk memeriksa
keparahan gingivitis pada gigi indeks 16, 12, 24, 36, 32, 44. Jaringan sekitar tiap gigi
dibagi ke dalam empat unit penilaian gingiva, papilla distal-fasial, margin fasial,
papilla mesial-fasial, dan margin gingiva lingual keseluruhan. Probe poket
periodontal dapat digunakan untuk memeriksa perdarahan pada jaringan.
Gingival indeks adalah indeks kesehatan gigi. Indeks gingival diusulkan pada
tahun 1963 sebagai metode untuk menilai keparahan dan kuantitas peradangan
gingiva pada pasien. Hanya gingiva yang dapat dinilai dengan Gingival Indeks.
Menurut metode ini, bagian dari facial, mesial, distal dan lingual dinilai untuk
peradangan dan diberi skor 0 sampai 3. Untuk menilai tingkat keparahan peradangan
gingiva dapat dilakukan dengan menjalankan probe periodontal sepanjang dinding
jaringan lunak dari celah gingival.
Keparahan kondisi ini dinyatakan dalam skala 0 sampai 3 :
1. Gingiva normal; tidak ada keradangan, tidak ada perubahan warna, dan tidak
ada perdarahan.

42
2. Inflamasi ringan; sedikit perubahan warna, sedikit edema. Tidak ada perdarahan
waktu penyondean.
3. Inflamasi sedang; kemerahan, edema, dan mengkilat. Perdarahan pada waktu
penyondean.
4. Inflamasi parah; kemerahan yang nyata dan edema, ulserasi. Kecenderungan
perdarahan spontan.
Penilaian total skor untuk Gingival Indeks sebagai berikut :
1. Gingivitis ringan = 0,1 – 1,0
2. Gingivitis moderat = 1,1 – 2,0
3. Gingivitis parah = 2,1 -3,0

 Papillary Bleeding Index oleh Muhlemann tahun 1975.


PBI merupakan indikator peradangan gingiva pada pasien dan telah terbukti
berguna untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan selama terapi periodontal.
PBI juga dapat berfungsi sangat baik untuk memotivasi pasien terhadap OH yang
baik. Perdarahan pada saat probing menunjukkan bahwa probe menembus poket
dan mencapai vaskularisasi dibawah jaringan epitel.
Sebuah probe periodontal dimasukkan ke dalam sulkus gingiva di dasar papilla
pada aspek mesial, dan kemudian pindah koronal ke ujung papilla. Ini diulang pada
aspek distal dari papilla. Intensitas pendarahan dicatat (0-4 skor).

Gambar Pemeriksaan PBI

 Papillary Bleeding Score (PBS)


Penilaian ini dilakukan oleh Stim-U-dent® Loesche tahun 1979. PBS dibagi
berdasarkan Indeks Gingiva menurut Löe dan Silness tahun 1963, kriterianya adalah :
0 = Gingiva sehat, tidak terjadi perdarahan pada interproksimal.
1 =Edema, gingiva memerah, tidak terjadi perdarahan pada bagian interproksimal.
2 = Perdarahan pada daerah interproksimal.
3 = Perdarahan sepanjang margin gingiva.
43
4 = Perdarahan berkelanjutan pada bagian interproksimal.
5 = Peradangan parah, kemerahan, edema, dan cenderung terjadi perdarahan yang
spontan.

DISTRIBUSI PENYAKIT PERIODONTAL


Distribusi Geografik
Menurut Data WHO sejak 1980, mengatakan bahwa gingivitis dan deposit
kalkulus lebih tinggi prevalensinya dan lebih tinggi keparahannya pada Negara-
negara dengan low income, namun berbeda dengan prevalensi dari severe
periodontitis. Gingivitis dan deposit kalkulus dapat dikontrol dengan kebersihan oral
hygiene baik secara personal atau dengan bantuan professional dental care, jadi
dapat disimpulkan bahwa keparahan gingivitis lebh rendah pada negara-negara Maju
atau high income. Sedangkan periodontitis tidak tergantung hanya pada keberadaan
plak atau kalkulus, ia juga sejalan dengan medical compromised dari host.
Prevelensi Ginggivitis
Pada level populasi, gingivitis ditemukan pada anak-anak balita, dan lebih
tinggi prevalensi dan keparahannya pada usia remaja, kemudian cenderung
menurun pada usia setelahnya.

Prevalensi Periodontitis
Terdapat kesulitan dalam mendefinisikan moderate dan severe periodontitis.
Adanya perbedaan definisi juga menyebabkan perbedaan prevalensi dari
periodontitis, karena setiap pemeriksa memiliki pemahaman yang berbeda dalam
menentukan apakah suatu kondisi telah termasuk dalam kategori periodontitis yang
moderate atau severe. Umumnya perbedaan ini ditetentukan melalui penghitungan
CAL.

44
Insidens Peridontitis
Studi longitudinal dari onset (lama nya waktu ) periodontitis dan progresnya
dalam komunitas bersifat mahal dan sulit, hanya sedikit penelitian saja yang dapat
menggambarkan permasalahan ini. Salah satu penelitian, menngunakan pasien usia
65-80 tahun, yang telah dilakukan pemeriksaan periodontal selama 5 tahun. Kondisi
periodontal pada grup ini tidak baik. Saat Insiden penyakit (Pertambhan CAL lebih
dari 3mm) diperiksa pada 18 bulan pertama dan 18 bulan berikutnya secara terpisah,
ternyata CAL selama periode pertama berhubungan positif dengan CAL pada periode
kedua pada level individu bukan pada level daerah gigi. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan CAL pada periode pertama tidak menjadikan daerah atau lokasi sebagai
resiko untuk kemunculan CAL pada periode selanjutnya. Misalnya pada pemeriksaan
mesiobukal, ditemukan pertambahan kedalaman poket dibandingkan resesi gingival,
sedangkan lokasi bukal lebih mudah terjadi resesi gingival secara insidens.

45
FAKTOR DEMOGRAFI PERIODONTITIS
Gender, Ras atau Etnis
Survey dari kondisi kesehatan periodontal biasanya menunjukkan bahwa laki-
laki mempunyai kesehatan periodontal yg lebih rendah daripada wanita . hal ini telah
lama diteliti dan masih menjadi kasus di survey nasional di Amerika. Hal ini
diperkirakan karena wanita mempunyai oral hygiene yang lebih baik dibandingkan
laki-laki, yang akan mempengaruhi perbedaan pada adanya gingivitis. Pada wanita
ditemukan sub gingival kalkulus yang lebih rendah yang sepertinya berkontribusi
pada kesehatan periodontal yang lebih baik dihitung dari CAL dan kedalaman poket.
Masih angat sedikit data yang menunjukkan hubungan periodontitis dengan ras.
Studi epidemiologi tedahulu ada perbedaan antar Negara namun tidak secara
konsisten berhubungan dengan rasa tau etnik dengan orang-orang dari umur yang
sama dan status OH yang dibandingkan.

46
Umur
Periodontitis bukanlah penyakit yang disebabkan oleh umur. Besarnya
prevalensi dan keparahan dari CAL pada orang-orang usia lanjut pada survey cross
sectional bukan karena semakin tinggi usia maka lebih rentan melainkan disebabkan
dari akumulasi progress keparahan lesi selama perjalanan waktu. Penderita yang
mengalami

Status Sosioekonomi
Gingivitis dan Oral Hygiene yang buruk berhubungan dengan status
sosioekonomi (SES) namun, berbeda dengan periodontitis hubungan langsungnya

47
dengan SES lemah. Ginggivitis dan SES berhubungan dikarenakan, SES
mempengaruhi edukasi, kunjungan ke dokter gigi dan perawatan oral hygiene yang
lebih baik.

48
Genetik
Penelitian pada tahun 1997, menemukan bahwa genotip spesifik dari
interleukin-1 (IL-1) kluster gen berhubungan dengan severe periodontitis. Sitokin IL-1
merupakan kunci regulasi dari host respon terhadap infeksi bakteri, meskipun IL-1
bukan hanya satu-satunya faktor genetic yang berpengaruh. Meskipun masih
banyak keraguan mengenai hubugan antara genetik dengan periodontitis, namun
hubungan keduanya asih terus dipelajari.

INDEKS UNTUK MENGUKUR PERIODONTAL DISEASE dalam Komunitas

1. Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN) 


Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN) adalah perangkat
epidemiologi yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) untuk
mengevaluasi penyakit periodontal pada suatu populasi yang diperiksa. Indeks ini dapat
digunakan untuk merekomendasi beberapa jenis perawatan yang dibutuhkan dalam
mencegah penyakit periodontal.

Gigi-gigi yang diperiksa: Ada 2 metoda seleksi.


(1) sextants: 14 gigi maxilla dan 14 gigi mandibula, yang dibagi kedalam 3 segment,
masing-masing yaitu:
• FDI notation maxilla: (1) 17, 16, 15, 14; (2) 13, 12, 11, 21, 22, 23; (3) 24, 25, 26, 27
• FDI notation mandible: (4) 47, 46, 45, 44; (5) 43, 42, 41, 31, 32, 33; (6) 34, 35, 36, 37
• Molars ke tiga tidak digunakan kecuali berfungsi sebagai pengganti geraham ke-dua
(2) Menggunakan index teeth: 5 gigi di maxilla dan 5 gigi di mandibula.
• FDI notation maxilla: (1) 17, 16; (2) 11; (3) 26, 27
• FDI notation mandible: (4) 47, 46; (5) 31; (6) 36, 37

49
 
Penilaian evaluasi dental.
(1)Probe khusus digunakan untuk menilai kedalaman sulkus gigi.
(2)Gigi-gigi yang diperiksa untuk kalkulus supragingival atau subgingival.
(3)Setiap perdarahan setelah probing ringan dicatat

Evaluasi.
Temuaan yang buruk disetiap masing-masing sextant di kode menurut table dibawah.
Kode yang paling tinggi untuk oral secara keseluruhan digunakan untuk merekomendasi
perawatan.

Temuan Kode
Dalamnya poket patologis >= 6 mm 4
Dalamnya poket patologis 4-5 mm 3
Ksupragingival or subgingival calculus 2
gingival bleeding after gentle probing 1
no signs of periodontal disease 0
 
Treatment recommendation
• maximum score 0: no need for additional treatment
• maximum score 1: need to improve personal oral hygiene
• maximum score 2: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in
personal oral hygiene
• maximum score 3: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in
personal oral hygiene
• maximum score 4: need for more complex treatment to remove infected tissue

2. Calculus Surface Index.


Calculus Surface Index atau indeks permukaan kalkulus adalah indeks untuk
mengukur terbentuknya kalkulus gigi. Indeks ini dapat digunakan untuk
mengkuatifikasi akumulasi kalkulus gigi dalam menilai program jangka pendek untuk
mengevaluasi efektifitas perawatan preventif.

Metoda:
• Setiap 4 insisive rahang bawah di nilai pada 4 permukaan ( labial, lingual dan 2
permukaan proximal atau mesial dan distal).
• Setiap permukaan yang terdapat kalkulus mendapat nilai skor= 1
calculus surface index = JUMLAH nilai skor pada 16 permukaan gigi yang diperiksa. 

Interpretation
• Skor minimum : 0
• Skor maximum : 16

50
3. Oral Hygiene Index.
The Oral Hygiene Index adalah indeks untuk mengklasifikasikan oral hygiene status
pasien. Ini dapat digunakan untuk monitoring terus menerus setelah dilakukan
corrective interventions pada program kesehatan masyarakat

Segmen Gigi
• Posterior kanan atas: distal to the right cuspid pada Rahang Atas
• anterior atas : mesial to the right and left first bicuspids on the maxillary arch
• posterior kiri atas: distal to the left cuspid on the maxillary arch
• posterior kanan bawah: distal to the right cuspid on the mandibular arch
• anterior bawah : mesial to the right and left first bicuspids on the mandibular arch
• posterior kiri bawah: distal to the left cuspid on the mandibular arch
 
Permukaan dari setiap segmen:
• buccal (outer)
• lingual (inner)
 

Gambar segmen OHIS


Evaluasi pada Gigi:
• Hanya pada gigi yang full erupsi (permukaan occlusal dan incisal telah mencapai
occlusal plane) pada gigi permanen yang diberi nilai
• molar tiga yang belum sepenuhnya erupsi ditak diberi skor karenanya adanya
perbedaan lebar dan tinggi mahkota klinis
• Skor debris pada permukaan buccal dan lingual keduanya diambil dari segmen gigi
yang mempunyai area permukaan terluas yang ditutupi debris
• Skor kalkulus pada permukaan buccal dan lingual calculus keduanya diambil dari
segmen gigi yang mempunyai area permukaan terluas yang ditutupi oleh kalkulus
supragingival dan subgingival
 

51
Grading Debris Points
no debris or stain present 0
soft debris covering not more than one third of the 1
tooth surface, AND/OR the presence of extrinsic
stain without other debris regardless of surface
area covered
soft debris covering more than one third, but not 2
more than two thirds, of the exposed tooth surface
soft debris covering more than two thirds of the 3
exposed tooth surface
 
debris index= (Jumlah (points along buccal surface for all segments present) + Jumlah(points
along lingual surface of all segments present)) / (number of segments present)
 
Grading Calculus Points
no calculus present 0
supragingival calculus covering not more than one 1
third of the exposed tooth surface
supragingival calculus covering more than one 2
third but not more than two thirds of the exposed
tooth surface, AND/OR the presence of individual
flecks of subgingival calculus around the cervical
portion of the tooth
supragingival calculus covering more than two 3
thirds of the exposed tooth surface AND/OR a
continuous heavy band of subgingival calculus
around the cervical portion of the tooth
 
Debris Index = (Skor bukal) + (Skor lingual) .
(Total number of examined buccal and lingual surfaces).

Calculus Index = (Skor bukal) + (Skor lingual) .


(Total number of examined buccal and lingual surfaces).

Oral hygiene index = (debris index) + (calculus index)


 
Interpretasi
• Jumlah minimum dari nilai pada semua segment baik debris atau calculus portions
adalah 0.
• Jumlah dari nilai pada semua segment baik debris atau calculus portions adalah 36.
• karena terdiri dari 6 segments, indeks individual range nya dari 0 sampai 6.
• karena oral hygiene index adalah jumlag dari kedua indeks, maka batas nilai nya dari 0
sampai 12.
• Semakin tinggi skor, semakin buruk oral hygiene nya

DAFTAR PUSTAKA

52
1. Carranza FA, Jr : Glickman's Clinical Periodontology, 12 th Edition, W. B. Saunders Company,
Philadelphia, London. 2012.
2. Costerton JW, Stewart PS, Greenberg EP. Bacterial biofilms: a common cause of persistent infections.
Science. 1999;284: 1318-1322.
3. van Houte J. Role of micro-organisms in caries etiology. J Dent Res. 1994;73: 672-681.
4. Stenudd C, Nordlund A, Ryberg M, et al.. The association of bacterial adhesion with dental caries.. J
Dent Res. 2001;80: 2005-2010.
5. Socransky SS, Haffajee AD, Cugini MA, et al.. Microbial complexes in subgingival plaque. J Clin
Periodontol. 1998;25: 134-144.
6. Haffajee AD, Socransky SS. Microbial etiological agents of destructive periodontal diseases. Periodontol
2000. 1995;5: 78-11.
7. Palmer R. M., Hasan A. A clinical guide to periodontology : Pathology of Periodontal disease. British
Dental Journal volume 216 no. 8 apr 25 2014 216: 457–461.
8. Loesche WJ. Chemotherapy of dental plaque infections.. Oral Sci Rev. 1976;9: 65-107.
9. Theilade E. The non-specific theory in microbial etiology of inflammatory periodontal disease. J Clin
Periodontol. 1986;13:905-911.
10. Thomas JG, Nakaishi LA. Managing the complexity of a dynamic biofilm. J Am Dent Assoc..
2006;137(11 suppl): 10S-13S.
11. Loesche WJ. DNA probe and enzyme analysis in periodontal diagnostics. J Periodontol. 1992;63: 1102-
1109.
12. Socransky SS, Haffajee AD. Periodontal microbial etiology. Periodontol 2000. 2005;38: 135-187.
13. Socransky SS, Haffajee AD. Dental biofilms: difficult therapeutic targets. Periodontol 2000. 2002;28: 12-
34.
14. Brown MR, Gilbert P. Sensitivity of biofilms to antimicrobial agents. J Appl Bacteriol. 1993;74(suppl):
87S-97S.
15. Gilbert P, Das J, Foley I. Biofilm susceptibility to antimicrobials. Adv Dent Res. 1997;11: 160-167.
16. Costerton JW, Lewandowski Z, DeBeer D, et al.. Biofilms, the customized microniche. J Bacteriol.
1994;176: 2137-2142.
17. Wood SR, Kirkham J, Marsh PD, et al.. Architecture of intact natural human plaque biofilms studied by
confocal laser scanning microscopy.. J Dent Res. 2000;79: 21-27.
18. Levine MJ, Reddy MS, Tabak LA, et al.. Structural aspects of salivary glycoproteins. J Dent Res.
1987;66: 436-441.
19. Tabak LA, Levine MJ, Mandel ID, Ellison SA. Role of salivary mucins in the protection of the oral cavity.
J Oral Pathol. 1982;11: 1-17.
20. Costerton JW, Cheng KJ, Geesey GG, et al.. Bacterial biofilms in nature and disease. Annu Rev
Microbiol.. 1987;41: 435-464.
21. 20. Gibbons RJ. Microbial ecology: adherent interactions which may affect microbial ecology in the
mouth. J Dent Res. 1984;63: 378-385.
22. 21. Whittaker CJ, Klier CM, Kolenbrander PE. Mechanisms of adhesion by oral bacteria. Annu Rev
Microbiol. 1996;50: 513-552.
23. Wirthlin MR, Armitage GC. Dental plaque and calculus: microbial biofilms and periodontal diseases. . In:
Rose LF, Mealey BL,Genco RJ, Cohen W. , editors. Periodontics: Medicine, Surgery and Implants. St.
Louis, MO: Elsevier Mosby; 2004.
24. Socransky SS, Haffajee AD, Ximenez-Fyvie LA, et al.. Ecological considerations in the treatment of
Actinobacillus actinomycetemcomitans and Porphyromonas gingivalis periodontal infections.
Periodontol 2000. 1999;20: 341-362.
25. Kojima T, Yasui S, Ishikawa I. Distribution of Porphyromonas gingivalis in adult periodontitis patients.. J
Periodontol. 1993;64:1231-1237
26. Gurenlian JR. Inflammation: the relationship between oral health and systemic disease.. Access.
2006;20(4)suppl: 1-9.
27. Engebretson, S., Chertog, R., Nichols, A., Hey-Hadavi, J., Celenti, R. & Grbic, J. The severity of
periodontal disease is associated with the development of glucose intolerance in non-diabetics:
the Hisayama study. Journal of Clinical Periodontology 2007; 3: 18–24.
28. Hidayati Sri, Adin Mu’afiro, Joko Suwito. 2008. Analisis faktor yang berhubungan dengan tingkat
keparahan periodontitis pada penderita DM tipe 2 di poli diabetes RSU dr. Soetomo Surabaya.
Buletin penelitian RSU dr. Soetomo Vol 10 No.2.
29. International Diabetes Federation. 2003. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Available from: http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full. Accessed on: November,
25th 2011.
30. Irna C.S. 2008. Periodontitis Sebagai Suatu Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Jantung Koroner.
31. Katz J, Bhattacharyya I, Farkhondeh-Kish F, Perez FM, Caudle RM, Heft MW. Expression of the
receptor of advanced glycation end products in gingival tissues of type 2 diabetes patients with chronic
periodontal disease: a study utilizing immunohistochemistry and RTPCR. J Clin Periodontol
2005;32(1):40-4.
32. Lingen MW, Kumar V. Head and neck. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, eds. Robbins & Cotran
Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier; 2004:773.

53
33. Mealey BL., Rethman MP. 2003. Periodontal disease and diabetes mellitus. Bidirectional relationship.
Dent Today; 22: 107-13.
34. Mealey B. L. 2006. Periodontal disease and diabetes mellitus. A two-way-sheet. J Am Dent
Assoc Vol 137 No. Suppl_2,26S-31S. American dental association.
35. Mealey BL, Perry RK. Periodontal medicine: Impact of periodontal infection on systemic health. In:
Carranza’s clinical periodontology 10th ed. Philadelphia: W.B Saunder Company. 2006: 312-29.
36. Struch, F., Dau, M., Schwahn, C., Biffar, R., Kocher, T. & Meisel, P., Interleukin-1 gene
polymorphism, diabetes, and periodontitis: results from the Study of Health in Pomerania (SHIP).
Journal of Periodontology, 2008, 79, 501–507.
37. Varma BRR, Nayak RP. Current concepts in periodontics. 1th ed. New Delhi: Chaman Enterprises.
2002
38. Lewis JM, Morgan MV, Wright FAC. The validity of the CPITN scoring and presentation method for
measuring periodontal conditions. J Clin Periodontol. 1994; 21: 1-6.
39. Greene JC, Vermillion JR. The oral hygiene index: a method for classifying oral hygiene status. J Am
Dental Assoc. 1960; 61: 172-179.

54

Anda mungkin juga menyukai