Anda di halaman 1dari 54

POLIO

DEFINISI
Polio (Poliomielitis) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang
menyerang seluruh tubuh (termasuk otot dan saraf) dan bisa menyebabkan
kelemahan otot yang sifatnya permanen, kelumpuhan atau kematian.

PENYEBAB
Penyebabnya adalah virus polio.

Penularan virus terjadi melalui beberapa cara:


 Secara langsung dari orang ke orang
 Melalui percikan ludah penderita
 Melalui tinja penderita.
Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembangbiak di dalam tenggorokan
dan saluran pencernaan, lalu diserap dan diserbarkan melalui sistem pembuluh
darah dan pembuluh getah bening.

Resiko terjadinya polio:


• Belum mendapatkan imunisasi polio
• Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
• Kehamilan
• Usia sangat lanjut atau sangat muda
• Luka di mulut/hidung/tenggorokan (misalnya baru menjalani pengangkatan
amandel atau pencabutan gigi)
• Stres atau kelelahan fisik yang luar biasa (karena stres emosi dan fisik
dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh).

GEJALA
Terdapat 3 pola dasar pada infeksi polio:
 Infeksi subklinis
 Non-paralitik
 Paralitik.
95% kasus merupakan infeksi subklinis.

1. Poliomielitis klinis menyerang sistem saraf pusat (otak dan korda


spinalis) serta erbagi menjadi non-paralitik serta paralitik. Infeksi klinis bisa
terjadi setelah penderita sembuh dari suatu infeksi subklinis. Infeksi subklinis
(tanpa gejala atau gejala berlangsung selama kurang dari 72 jam)
 demam ringan
 sakit kepala
 tidak enak badan
 nyeri tenggorokan
 tenggorokan tampak merah
 muntah.
2. Poliomielitis non-paralitik (gejala berlangsung selama 1-2 minggu)
 demam sedang
 sakit kepala
 kaku kuduk
 muntah
 diare
 kelelahan yang luar biasa
 rewel
 nyeri atau kaku punggung, lengan, tungkai, perut
 kejang dan nyeri otot
 nyeri leher
 nyeri leher bagian depan
 kaku kuduk
 nyeri punggung
 nyeri tungkai (otot betis)
 ruam kulit atau luka di kulit yang terasa nyeri
 kekakuan otot.

3.Poliomielitis paralitik
 demam timbul 5-7 hari sebelum gejala lainnya
 sakit kepala
 kaku kuduk dan punggung
 kelemahan otot asimetrik
 onsetnya cepat
 segera berkembang menjadi kelumpuhan
 lokasinya tergantung kepada bagian korda spinalis yang terkena
 perasaan ganjil/aneh di daerah yang terkena (seperti tertusuk jarum)
 peka terhadap sentuhan (sentuhan ringan bisa menimbulkan nyeri)
 sulit untuk memulai proses berkemih
 sembelit
 perut kembung
 gangguan menelan
 nyeri otot
 kejang otot, terutama otot betis, leher atau punggung
 ngiler
 gangguan pernafasan
 rewel atau tidak dapat mengendalikan emosi
 refleks Babinski positif.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan


terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau
beberapa otot, sering ditemukan.
Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur pernafasan terserang polio,
sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot dada.

Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang polio.


Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan otot
yang progresif, yang seringkali menyebabkan kelumpuhan.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja
untuk mencari poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan
titer antibodi.
Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan serebrospinal.
Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal
atau tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat.

PENGOBATAN
Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ini.
Jika otot-otot pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan ventilator.

Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu infeksi


berlangsung. Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan nyawa, teruatma
membantu pernafasan mungkin diperlukan pada kasus yang parah. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, diberikan antibiotik.
Untuk mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejang otot, bisa diberikan obat pereda
nyeri. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi dengan kompres hangat.

Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsi otot mungkin perlu


dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau penyangga maupun
pembedahan ortopedik.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung kepada jenis polio (subklinis, non-paralitik atau paralitik)


dan bagian tubuh yang terkena.
Jika tidak menyerang otak dan korda spinalis, kemungkinan akan terjadi
pemulihan total.
Jika menyerang otak atau korda spinalis, merupakan suatu keadaan gawat
darurat yang mungkin akan menyebabkan kelumpuhan atau kematian (biasanya
akbiat gangguan pernafasan).

PENCEGAHAN
Vaksin polio merupakan bagian dari imunisasi rutin pada masa kanak-kanak.
Terdapat 2 jenis vaksin polio:
• Vaksin Salk, merupakan vaksin virus polio yang tidak aktif
• Vaksin Sabin, merupakan vaksin virus polio hidup.

Yang memberikan kekebalan yang lebih baik (sampai lebih dari 90%) dan yang
lebih disukai adalah vaksin Sabin per-oral (melalui mulut).
Tetapi pada penderita gangguan sistem kekebalan, vaksin polio hidup bisa
menyebabkan polio. Karena itu vaksin ini tidak diberikan kepada penderita
gangguan sistem kekebalan atau orang yang berhubungan dekat dengan
penderita gangguan sistem kekebalan karean virus yang hidup dikeluarkan
melalui tinja.

Dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan hendak


mengadakan perjalanan ke daerah yang masih sering terjadi polio, sebaiknya
menjalani vaksinasi terlebih dahulu.

askep parotitis
I.     Diagnosa keperawatan

1. Defisit  volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat dan output cair  yang berlebih ( mual dan muntah).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh  berhubungan dengan penurunan
intake asupan gizi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.

J.   Intervensi Keperawatan

1. Defisit volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat dan output cair yang berlebih ( mual dan muntah ).

–        Tujuan :
Mencegah output yang berlebih dan mengoptimalkan intake cair.

Kriteria Hasil :
Mempertahankan volume cairan adekuat dengan dibuktikan oleh mukosa bibir lembab,
turgor kulit baik, pengisian kapiler berwarna merah muda, input dan output seimbang.

–        Intervensi :

Intervensi Rasional
1.  Penuhi kebutuhan individual.
Anjurkan klien untuk minum 
( Dewasa : 40-60 cc/kg/jam).
1. Berikan cairan tambahan IV
sesuai indikasi.

1. Awasi tanda-tanda vital, evaluasi


turgor kulit, pengisian kapiler
dan membran mukosa.

1. Kolaborasi pemberian cimetidine


dan ranitidine
1. Intake cairan yang
adekuat akan mengurangi
resiko dehidrasi pasien.
1.  Mengganti kehilangan cairan dan memperbaiki keseimbangan cairan dalam fase
segera.

1. Menunjukkan status dehidrasi atau kemungkinan kebutuhan untuk peningkatan


penggantian cairan.
2. Cimetidine dan ranitidine berfungsi untuk menghambat sekresi asam lambung

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh  berhubungan dengan penurunan


intake asupan gizi.

Tujuan :

Gangguan nutrisi teratasi

Kriteria Hasil :

1. Antoprometri: Berat badan, lingkar lengan atas kembali normal.


2. Albumin,hemoglobin normal.
3. Klinis : terlihat segar.
4. Porsi makan habis.

Intervensi :
Intervensi Rasional
1.  Reduksi stress dan 1.  Stress menyebabkan
farmakoterapi seperti peningkatan produksi asam
cytoprotective agent, lambung, untuk klien dengan
penghambat pompa proton, gastritis penggunaan penghambat
anatasida. pompa proton membantu untuk
mengurangi asam lambung
1. Koloborasi transfusi albumin. dengan cara menutup pompa
asam dalam sel lambung
1. Konsul dengan ahli diet untuk penghasil asam. Kemudian untuk
menentukan kalori / kebutuhan penggunaan cytoprotective agent
nutrisi . membantu untuk melindungi
jaringan  yang melapisi lambung 
1. Tambahan vitamin seperti B12. dan usus kecil. pada klien dengan
2. Batasi makanan yang gastritis antasida berfungsi untuk
menyebabkan peningkatan asam menetralisir asam lambung dan
lambung berlebih, dorong klien dapat mengurangi rasa sakit.
untuk menyatakan perasaan 2. Dengan tranfusi albumin
masalah tentang makan diet. diharapkan kadar albumin dalam
3. Berikan nutrisi melalui IV sesuai darah kembali normal sehingga
indikasi. kebutuhan nutrisi kembali
normal.
  3. Pemasukan individu dapat
dikalkulasikan dengan berbagai
perhitungan yang berbeda, perlu
bantuan dalam perencanaan diet
yang memenuhi kebutuhan
nutrisi.
4. Mencegah terjadinya anemia.
5. Keragu-raguan untuk makan
mungkin diakibatkan oleh takut
makanan yang menyebabkan
terjadinya gejala.

1. Program ini mengistirahatkan


saluran pencernaan sementara ,
dan memenuhi nutrisi sangat
penting dan dibutuhkan.

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemaha fisik

Tujuan :
Intoleransi aktifitas teratasi.

Kriteria Hasil :
Klien tidak dibantu oleh keluarga dalam beraktifitas.
Intervensi Rasional
1. Tingkatkan tirah baring atau 1.  Tirah baring dapat
duduk dan berikan obat sesuai meningkatkan stamina tubuh
dengan indikasi. pasien sehinggga pasien dapat
beraktivitas kembali.
2. Berikan lingkungan yang tenang 2.  Lingkungan yang nyaman dan
dan nyaman. tenang dapat mendukung pola
istirahat pasien.
3. Ajarkan klien metode 3. Klien dapat beraktivitas secara
penghematan energy untuk bertahap sehingga tidak terjadi
aktivitas (lebih baik duduk kelemahan.
daripada berdiri saat melakukan
aktivitas)

1. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan :
Informasi tepat dan efektif.

Kriteria Hasil :
Klien dapat menyebutkan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, perawatan, pencegahan
dan pengobatan.

Intervensi Rasional
1. Beri pendidikan kesehatan
(penyuluhan) tentang penyakit,
beri kesempatan klien atau
keluarga untuk bertanya,
beritahu tentang pentingnya
obat-obatan untuk kesembuhan
klien.

1. Evaluasi tingkat pengetahuan


pasien.
2. Memberikan pengetahuan dasar
dimana klien dapat membuat
pilihan informasi tentang kontrol
masalah kesehatan. Keterlibatan
orang lain yang telah menerima
masalah yang sama dapat
meningkatkan koping , dapat
meningkatkan terapi dan proses
penyembuhan.
Asuhan Keperawatan Parotitis

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Penyakit Mump atau penyakit gondong telah dilaporkan hamper di seluruh
belahan dunia, demikian juga di Indonesia resiko anak terkena gondok mungkin masih
tinggi. Gondok masih endemic di banyak negara seluruh dunia, sedangkan caksin MMR
digunakan hanya 57% dari negara-negara yang menjadi anggota Organisasi Kesehatan
Dunia, terutama di Negara-negara maju. Dalam Ingris dan Wales, sebuah epidemic
gondok yang dimulai pada 2005, telah dilaporkan 56.390 kasus kematian.
Penyakit gondong atau dalam dunia kedokteran dikenal sebagai parotitis atau
Mumps adalah suatu penyakit menular dimana seseorang terinfeksi oleh virus
(Paramyxovirus) yang menyerang kelenjar ludah (kelenjar parotis) di antara telinga dan
rahang sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi bagian
bawah.
Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara endemic
atau epidemic. Gangguan ini cenderung menyerang anak-anak yang berumur 2-14 tahun.
Peningkatan kasus yang besar biasanya didahului pada penularan di tempat sekolah. pada
orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar), system saraf pusat,
pancreas, prostat, payudara dan organ lainnya.
Adapun mereka yang beresiko besar untuk menderita atau tertular penyakit ini
adalah mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk
menekan hormone kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat iodium dalam tubuh.
Kematian karena penyakit gondong jarang dilaporkan. Hampir sebagian kasus yang fatal
justru terjadi pada usia di atas 19 tahun.

B.     Rumusan Masalah


1.      Apa pengertian dari Parotitis?
2.      Bagaimana epidemiologi dari Parotitis?
3.      Apa saja etiologi dari Parotitis?
4.      Bagaimana patofisiologi dari Parotitis?
5.      Apa saja tanda dan gejala dari Parotitis?
6.      Bagaimana diagnosis dari Parotitis?
7.      Apa saja pemeriksaan labolatorium untuk pasien Parotitis?
8.      Apa saja komplikasi yang terjadi pada Parotitis?
9.      Bagaimana pengobatan pada pasien Parotitis?
10.  Bagaimana pencegahan untuk penyakit Parotitis?

C.    Tujuan
Memahami dan mengerti tentang:
1.      Pengertian Parotitis
2.      Epidemiologi dari Parotitis
3.      Etiologi dari Parotitis
4.      Patofisiologi dari Parotitis
5.      Tanda dan gejala dari Parotitis
6.      Diagnosis dari Parotitis
7.      Pemeriksaan Labolatorium dari Parotitis
8.      Komplikasi yang terjadi pada Parotitis
9.      Pengobatan pada pasien Parotitis
10.  Pencegahan untuk penyakit Parotitis
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Penyakit parotitis atau gondongan adalah suatu penyakit menular dimana
seseorang terinfeksi oleh virus (Paramyxovirus) yang menyerang kelenjar ludah (kelenjar
parotis) di antara telinga dan rahang sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher
bagian atas atau pipi bagian bawah.

B.     Epidemiologi
Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara endekmik
atau epidemic. Gangguan ini cenderung menyerang anak-anak di bawah usia 15 tahun
(sekitar 85% kasus). Penyebaran virus terjadi dengan kontak langsung , percikan ludah,
bahan muntah, mungkin dengan urin. Bayi sampai umur 6-8 bulan tidak dapat terjangkit
parotitis epidemika karena dilindungi oleh antibody yang dialirkan secara transplasental
dari ibunya. Tiga insiden tertinggi pada umur 5 sampai 9 tahun, kemudian diikuti antara
umur 1 sampai 4 tahun, kemudian umur antara 10 sampai 14 tahun.

C.    Etiologi
Agen penyebab parotitis adalah anggota dari kelompok Paramyxovirus, yang juga
termasuk didalamnya virus parainfluenza, measles, dan virus Newcastle disease.
Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90-300mu. Virus telah diisolasi dari
ludah, darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi lainnya. Virus ini aktif dalam lingkungan
yang kering tapi virus ini hanya dapat bertahan selama 4 hari pada suhu kamar.
Paramyxovirus dapat hancur pada suhu <4C, oleh formalin, eter, serta pemaparan cahaya
ultraviolet selama 30 detik. Virus masuk dalam tubuh melalui hidung atau mulut. Virus
bereplikasi pada mukosa saluran napas atas kemudian menyebar ke kelenjar limfe local
dan diikuti viremia umum setelah 12-25 hari (masa inkubasi) yang berlangsung selama 3-
5 hari. Selanjutnya lokasi yang dituju virus adalah kelenjar parotis, ovarium, pancreas,
tiroid, ginjal, jantung, dan otak. Masa penyebaran virus ini adalah 2-3 minggu melalui
dari ludah, darah, urin, otak, dan jaringan terinfeksi lain. Virus dapat diisolasi dari saliva
6-7 hari sebelum masuk masa pembengkakan dan 9 hari sesudah munculnya
pembengkakan pada kelenjar ludah. Penularan terjadi 24 jam sebelum pembengkakan
kelenjar ludah dan 3 hari setelah pembengkakan menghilang.

D.    Patofisiologi
Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agen penyebab parotitis
(terinfeksisnya kelenjar parotis) antara lain akibat:
1.      Percikan ludah
2.      Kontak langsung dengan penderita
3.      Parotitis lain
4.      Muntahan
5.      Urin
Virus tersebut masuk dalam tubuh bisa melalui hidung atau mulut. Biasanya kelenjar
yang terkena adalah kelenjar parotis. Infeksi akut oleh virus paramyxovirus pada kelenjar
parotis dibuktikan dnegan adanya kenaikan titer IgM dan IgG secara bermakna dari
serum akut dan serum konvalesens. Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh
sehingga terjadi poliferasi di parotis kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam
aliran darah) dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar yang kemudian akan
menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.
Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi demam,
anoreksia, sakit kepala, dan nyeri otot. Kemudian dalam 3 hari terjadilah pembengkakan
kelenjar parotis yang mula-mula unilateral kemudian bilateral, disertai nyeri rahang
spontan dan sulit menelan. Pada manusia selama fase akut, virus paramyxovirus dapat
diisoler dari saliva, darah dan air seni.

E.     Tanda dan Gejala


Tidak semua orang yang terinfeksi oleh virus paramyxovirus mengalami keluhan,
bahkan sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Namun demikian
mereka sama dengan penderita lainnya mengalami keluhan, yaitu dapat menjadi sumber
penularan penyakit tersebut. Masa inkubasi penyakit sekitar 12-24 hari dengan rata-rata
17-18 hari. Adapun tanda dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan berkembangnya
masa inkubasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada tahap awal (1-2 hari) penderita gondong mengalami gejala: demam (suhu
badan 38.5-40 C), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan napsu makan, nyeri rahang bagian
belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai kaku rahang.
Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar parotis yang diawali dengan
pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar mengalami
pembengkakan. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3 hari kemudian
berangsung mengempis.
Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang (submandibular)
dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria dewasa, adanya terjadi pembengkakan
buah zakar (testis) karena penyebaran melalui aliran darah.

F.     Diagnosis
Diagnosis ditegakkan hanya secara klinis. Diagnosis ditegakkan bila jelas ada
gejala infeksi parotitis epidemika pada pemeriksaan fisik, termasuk keterangan adnaya
kontak dengan penderita penyakit gondong 2-3 minggu sebelumnya. Selain itu adalah
dengan tindakan pemeriksaan hasil labolatorium air kencing (urin) dan darah.

G.    Pemeriksaan Labolatorium


Mengingat penegakkan diagnosis hanya secara klinis, maka pemeriksaan
labolatorium tidak terlalu bermanfaat. Pemeriksaan labolatorium didapatkan leucopenia
dengan limfosiotsis relative, didapatkan pula kenaikan kadar amylase dengan serum yang
mencapai puncaknya setelah satu minggu dan kemudian menjadi normal kembali dalam
dua minggu.
Jika penderita tidak menampakkan pembengakan kelenjar di bawah telinga,
namun tanda dan gejala lainnya mengarah ke penyakit gondongan sehingga meragukan
diagnose. Dokter akan memberikan anjuran pemeriksaan lebih lanjut seperti serum darah.
Sekurang-kurang ada 3 uji serum (serologic) untuk membuktikan spesifik mumps
antibodies: complement fixation antibodies (CF), hemagglutination inhibitor antibodies
(HI), virus neutralizing antibodies (NT).

H.    Komplikasi
Di bawah ini komplikasi yang dapat terjadi akibat penanganan atau pengobatan
yang kurang efektif sebagai berikut: (Neslon, 2000)
1.      Meningoensepalitis
Penderita mula-mula menunjukkan gejala nyeri kepala ringan, yang kemudian disusul
oelh muntah-muntah, gelisah, dan suhu tubuh yang tinggi. Komplikasi ini merupakan
komplikasi yang sering pada anak-anak.
2.      Ketulian
Tuli saraf dapat terjadi unilateral, jarang bilateral walaupun insidennya rendah (1:15.000),
parotis adalah penyebab tuli saraf unilateral, kehilangan pendengaran mungkin sementara
atau permanen.
3.      Orkitis
Peradangan pada salah satu atau kedua testis. Setelah sembuh, testis yang terkena
mungkin akan menciut. Jarang terjadi kerusakan testis yang permanen. Sehingga
kemandulan dapat terjadi pada masa setelah puber dengan gejala demam tinggi
mendadak, mual, menggigil, nyeri perut bagian bawah, gejala sistemik dan sakit pada
testis.
Testis paling sering terinfeksi dengan atau tanpa epidedimitis. Bila testis terkena infeksi
maka terdapat perdarahan kecil. Orkitis biasanya menyertai parotitis dalam 8 hari setelah
masa sakit. Keadaan ini dapat berlangsung dalam 3-14 hari. Testis yang terkena menjadi
nyeri dan bengkak dan kulit sekitarnya bengkak dan merah. Rata-rata lamanya 4 hari.
Sekitar 30-4-% testis yang terkena menjadi atrofi.
4.      Ensefalitis atau Meningitis
Peradangan otak atau selaput otak. Gejalanya berupa sakit kepala, kaku kuduk,
mengantuk, koma atau kejang. 5-10% penderita mengalami meningitis dan kebanyakan
akan sembuh total. 1 diantara 400-6.000 penderita yang mengalami ensefalitis cenderung
mengalami kerusakan otak atau sarad yang permanen, seperti ketulian atau kelumpuhan
otot wajah.
5.      Pankreatitis
Peradangan pancreas bisa terjadi pada akhir minggu pertama. Penderita merasakan mual
dan muntah disertai nyeri perut. Gejala ini akan menghilang dalam waktu 1 minggu dan
penderita akan sembuh total. Nyeri perut sering ringan sampai sedang muncul tiba-tiba
pada parotitis. Biasanya gejala nyeri epigastric disertai pusing, mual. Muntah, demam
tinggi, menggigil, lesu, merupakan tanda adanya pankreatitis akibat infeksi virus.
6.      Tiroiditis
Walaupun tidak biasa, pembengkakan tiroid yang nyeri dan difus dapat terjadi pada umur
sekitar 1 minggu sesudah mulai parotitis dengan perkembangan selanjutnya antibody
antitiroid pada penderita.

7.      Artritis
Jarang ditemukan pada anak-anak. Atralgia yang disertai dengan pembengkakan dan
kemerahan sendi biasanya penyembuhan sempurna. Manifestasi lain yang jarang tapi
menarik pada parotitis adalah poliarteritis yang sering kali berpindah-pindah. Gejala
sendi mulai 1-2 minggu setelah berkurangnya parotitis. Biasanya yang terkena adalah
sendi besar khususnya paha dan lutut. Penyakit ini berakhir 1-12 minggu dan sembuh
sempurna.

I.       Pengobatan
Pengobatan ditujukan untuk mengurangi keluhan (simptomatis) dan istirahat
selama penderita panas dan kelenjar (parotis) membengkak. Dapat digunakan obat Pereda
panas dan nyeri (antipiretik dan analgesic) misalnya paracetamol dan sejenisnya, aspirin
tidak boleh diberikan kepada anak-anak karena memiliki resiko terjadinya sindroma Reye
(bisa karena pengaruh aspirin pada anak-anak).
Pada penderita yang mengalami pembengkakan testis, sebaiknya penderita
menjalani istirahat tirah baring di tempat tidur. Rasa nyeri dapat dikurangi dengan
melalukan kompres es pada area testis yang membengkak tersebut.
Penderita yang mengalami serangan virus pada organ pancreas (pankreatitis),
dimana menimbulkan gejala mual dan muntah sebaiknya diberikan cairan melalui infus.
Pemberian kortikosteroid selama 2-4 hari dan 20 ml convalescent gammaglobulin
diperkirakan dapat mencegah terjadinya orkitis. Terhadap virus itu sendiri tidak dapat
dipengaruhi oleh anti mikroba, sehingga pengobatannya hanya berorientasi untuk
menghilangkan gejala sampai penderita kembali baik dengan sendirinya.
Penyakit gondongan sebenarnya tergolong dalam “self limiting disease” (penyakit
yang sembuh sendiri tanpa diobati). Penderita penyakit gondongan sebaiknya
menghindarkan makanan atau minuman yang sifatnya asam supaya nyeri tidak bertambah
parah, diberikan diet makanan cair dan lunak.
Pemberian imunomdulator belum terdapat laporan penelitian yang menunjukkan
efektifitasnya.

J.      Pencegahan
Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara imunisasi pasif
dan imunisasi aktif.
1.      Pasif
Gamma globulin parotitis tidak efektif dalam mencegah parotitis atau mengurangi
komplikasi.
2.      Aktif
Dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis epidemika yang hidup
tapi telah diubah sifatnya, diberikan subkutan pada anak berumur 15 bulan. Vaksin ini
tidak menyebabkan panas atau reaksi lain dan tidak menyebabkan ekskresi virus dan
tidak menular.
Menyebabkan imunitas yang lama dan dapat diberikan bersama vaksin campak dan
rubella. Pemberian vaksinasi dengan virus ini, sangat efektif dalam menimbulkan
peningkatan bermakna dalam antibody terhadap parmyxovirus pada individu yang
seronegative sebelum vaksinasi dan telah memberikan proteksi 15 sampai 95%. Proteksi
yang baik sekurang-kurangnya selama 12 tahun dan tidak mengganggu vaksin terhadap
morbilli, rubella, dan poliomyelitis atau vaksinasi variola yang diberikan serentak.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
1.      Keluhan utama: pasien umumnya pada pasien penderita parotitis, pasien mengeluhkan
demam, nyeri di bawah telinga, bengkak, sulit menelan.
2.      Riwayat penyakit sekarang: pasien biasanya pasien mengeluhkan mengalami demam dan
merasakan nyeri pada belakang telinga dan pipi, dan timbul bengkak dan kemerahan.
Adanya rasa nyeri dan bengkak menyebar ke daerah pipi.
3.      Riwayat penyakit dahulu: tanyakan apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan
gejala yang sama, tanyakan punya riwayat penyakit menular, dan riwayat alergi, tanyakan
apakah pasien pernah diimunisasi MMR (Mumps, Morbilli, Rubella)
4.      Pemeriksaan Fisik: ukur TTV, dan kesadaran.

B.     Diagnose
Diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien parotitis adalah:
1.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
mencerna nutrient adekuat akibat penyakit kronis
2.      Nyeri berhubungan dengan infeksi virus
3.      Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan manifestasi klinis akibat parotitis
dan pengaruh lingkungan
4.      Resiko komplikasi berhubungan dengan pembengkakan kelenjar parotis

C.    Intervensi Keperawatan


Contoh intervensi yang dapat dilakukan seorang perawat saat menemui pasien
dengan diagnose parotitis:
Diagnosa Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1.      Nutrisi kurang Menunjukkan Berikan makan Makanan yang
dari kebutuhan peningkatan lembut sedikit demi keras tidak
tubuh yang berat badan sedikit dan makanan mampu
berhubungan mencapai keil tambahan yang dikunyah oleh
dengan rentang yang tepat. Menghindari pasien parotitis.
ketidakmampua diharapkan, makanan asam. Makanan asam
n untuk dengan kriteria menambah rasa
mencerna hasil: berat tidak nyaman
nutrient adekuat badan kembali pada pasien
akibat penyakit ke rentang parotitis.
kronis normal

Berikan diet cair atau Bila masukan


makanan kalori gagal
selang/hiperalimentasi untuk
bila diperlukan memenuhi
kebutuhan
metabolic.
Dukungan
nutrisi dapat
digunakan
untuk
mencegah
malnutrisi.
Berikan minum yang Membasahi
sedikit-sedikit tetapi selaput lender
sering mulut yang
kurang basah
karena jarang
digunakan.
2.      Gangguan rasa Pasien dapat Istirahat selama Pada periode
aman dan merasakan periode deman demam,
nyaman kembali rasa metabolism
berhubungan aman dan tubuh tinggi
dengan nyaman dengan sehingga
manifestasi proses istirahat dapat
klinis akibat penyembuhan, mengurangi
parotitis dan dengan kriteria metabolism
pengaruh hasil: pasien tubuh dan
lingkungan ikut serta dan mempercepat
bekerja sama kesembuhan
dalam proses klien.
pengembalian
rasa aman dan
nyaman
Kompres dingin pada Karena terjadi
daerah bengkak infeksi, suhu di
sekitar lokasi
pembengkakan
mengalami
peningkatan.
Dengan
kompres dingin
diharapkan
suhu dapat
turun dan
mengurangi
pembengkakan
3.      Resiko Menghilangkan Pantau jantung Mencegah
komplikasi factor resiko dengan pemasangan resiko terjadi
berhubungan komplikasi EKG komplikasi otot
dengan dengan kriteria jantung
pembengkakan hasil: tidak
kelenjar parotis terjadi
komplikasi
penyakit lain
  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penanganan pada pasien parotitis hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang
perawat seperti pemberian diet lunak dan cairan cukup sesuai kondisi pasien.
Menganjurkan pasien selalu beristirahat yang cukup selama proses penyembuhan.
Perawat juga harus memperhatikan terhadap pemberian obat-obatan yang mengandung
aspirin karena pemberian aspirin pada anak-anak dapat menimbulkan syndrome Reye
pada anak.

B.     Saran
Perawat harus lebih memperhatikan factor-faktor apa saja yang bisa menimbulkan
komplikasi penyakit lain. Karena banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh peradangan
kelenjar saliva ini sehingga perawat harus sedini mungkin penanganan diawali dengn
berbagai tes labolatorium, disusul pada pemberian antibiotic, pencegahan penyakit
parotitis akan lebih bisa di cegah sedini mungkin dengan pemberian vaksinasi gondongan
yang merupakan bagian dari imunisasi rutin pada masa anak-anak.
Diposting oleh Asih Septianingsih di 1:42 PM

Asuhan Keperawatan Pada Anak


Dengan Poliomyelitis
Posted by: widiarti on: 5 Mei 2010

 Di: Keperawatan
 1 Comment

A. Pengertian
Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus dengan predileksi
pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak, dan
akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi kelumpuhan serta autropi
otot.

Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah
dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralysis).

B. Gambaran Klinis

Poliomielitis terbagi menjadi empat bagian yaitu :


1. Poliomielitis Asimtomatis: Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala
karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.
2. Poliomielitis Abortif: Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejala berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Poliomielitis Non Paralitik: Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif,
hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk ke
dalam fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin
disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
4. Poliomielitis Paralitik: Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut pada bayi
ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya
antara lain :

a. Bentuk spinal: Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, thorak dan terbanyak ekstremitas.
b. Bentuk bulbar: Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal: Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk
bulbar.
d. Kadang ensepalitik: Dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan
kadang kejang.

C. Etiologi

Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus virus, dibagi 3 yaitu:


1. Brunhilde
2. Lansing
3. Leon; Dapat hidup berbulan-bulan didalam air, mati dengan pengeringan /oksidan.
Masa inkubasi : 7-10-35 hari
Klasifikasi virus
Golongan : Golongan IV ((+)ssRNA)
Familia : Picornaviridae
Genus : Enterovirus
Spesies : Poliovirus

D. Penularan

Cara penularannya dapat melalui :


1. Inhalasi
2. Makanan dan minuman
3. Bermacam serangga seperti lipas, lalat, dan lain-lain.
Penularan melalui oral berkembambang biak diusus→verimia virus+DC faecese
beberapa minggu.

E. Pencegahan

Cara pencegahan dapat dilalui melalui :


1. Imunisasi
2. Jangan masuk daerah endemis
3. Jangan melakukan tindakan endemis

F. Patofisiologi

Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu. Tidak semua neuron
yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi
penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang
biasanya terkena poliomyelitis ialah :
1. Medula spinalis terutama kornu anterior.
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio
retikularis yang mengandung pusat vital.
3. Sereblum terutama inti-inti virmis.
4. Otak tengah “midbrain” terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra.
5. Talamus dan hipotalamus.
6. Palidum.
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik.

G. Komplikasi

1. Hiperkalsuria
2. Melena
3. Pelebaran lambung akut
4. Hipertensi ringan
5. Pneumonia
6. Ulkus dekubitus dan emboli paru
7. Psikosis
H. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Lab :

a. Pemeriksaan darah
b. Cairan serebrospinal
c. Isolasi virus volio

2. Pemeriksaan radiology

I. Penatalaksanaan Medis

1. Poliomielitis aboratif

a. Diberikan analgetk dan sedative


b. Diet adekuat
c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya dicegah aktifitas yang
berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neurskeletal secara teliti.

2. Poliomielitis non paralitik

a. Sama seperti aborif


b. Selain diberi analgetika dan sedative dapat dikombinasikan dengan kompres hangat
selama 15 – 30 menit,setiap 2 – 4 jam.

3. Poliomielitis paralitik

a. Perawatan dirumah sakit


b. Istirahat total
c. Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
d. Fisioterafi
e. Akupuntur
f. Interferon

Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.


Poliomielitis abortif diatasi dengan istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan
aktifitas dapat dimulai lagi.
Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak paling sedikit 2
minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernapasan.
Fase akut :
a. Analgetik untuk rasa nyeri otot.
b. Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya dipasang footboard (papan penahan pada
telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai.
c. Pada poliomielitis tipe bulbar kadang-kadang reflek menelan terganggu sehingga dapat
timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam hal ini kepala anak harus ditekan lebih rendah
dan dimiringkan kesalah satu sisi.
Sesudah fase akut :
a. Kontraktur atropi dan attoni otot dikurangi dengan fisioterafy. Tindakan ini dilakukan
setelah 2 hari demam hilang.

J. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan

Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas

2. Pemeriksaan Fisik

a. Nyeri kepala
b. Paralisis
c. Refleks tendon berkurang
d. Kaku kuduk
e. Brudzinky

K. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah.
2. Hipertermi b/d proses infeksi.
3. Resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan nafas b/d paralysis otot.
4. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf.
5. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis.
6. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

L. Intervensi

1 Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah.

intervensi:

1. Kaji pola makan anak.

2. Berikan makanan secara adekuat.

3. Berikan nutrisi kalori, protein, vitamin dan mineral.


4. Timbang berat badan.
5. Berikan makanan kesukaan anak.

6. Berikan makanan tapi sering.

rasional:
1. Mengetahui intake dan output anak.
2. Untuk mencakupi masukan sehingga output dan intake seimbang.
3. Mencukupi kebutuhan nutrisi dengan seimbang.
4. Mengetahui perkembangan anak.
5. Menambah masukan dan merangsang anak untuk makan lebih banyak.
6. Mempermudah proses pencernaan.

2 Hipertermi b/d proses infeksi.

intervensi:

1. Pantau suhu tubuh.

2. Jangan pernah menggunakan usapan alcohol saat mandi/kompres.


3. Hindari mengigil.
4. Kompres mandi hangat durasi 20-30 menit.

rasional:

1. Untuk mencegah kedinginan tubuh yang berlebih.


2. Dapat menyebabkan efek neurotoksi.

3. Mengurangi penguapan tubuh.


4. Dapat membantu mengurangi demam.

3 Resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan nafas b/d paralysis otot.

intervensi:

1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman.


2. Auskultasi bunyi nafas.
3. Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi duduk tinggi atau semi fowler.
4. Berikan tambahan oksigen.

rasional:

1. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi dapat mencegah komplikasi.


2. Mengetahui adanya bunyi tambahan.
3. Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru.

4. Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru.

4 Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf.

intervensi:
1. Lakukan strategi non farmakologis untuk membantu anak mengatasi nyeri.

2. Libatkan orang tua dalam memilih strategi.


3. Ajarkan anak untuk menggunakan strategi non farmakologis khusus sebelum nyeri.
4. Minta orang tua membantu anak dengan menggunakan srtategi selama nyeri.
5. Berikan analgesic sesuai indikasi.

rasional:

1. Teknik-teknik seperti relaksasi, pernafasan berirama, dan distraksi dapat membuat


nyeri dan dapat lebih di toleransi.
2. Karena orang tua adalah yang lebih mengetahui anak.
3. Pendekatan ini tampak paling efektif pada nyeri ringan.

4. Latihan ini mungkin diperlukan untuk membantu anak berfokus pada tindakan yang
diperlukan.
5. Mengurangi nyeri.

5 Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis.

intervensi:

1. Tentukan aktivitas atau keadaan fisik anak.

2. Catat dan terima keadaan kelemahan (kelelahan yang ada).


3. Indetifikasi factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk aktif seperti
pemasukan makanan yang tidak adekuat.
4. Evaluasi kemampuan untuk melakukan mobilisasi secara aman.

rasional:

1. Memberikan informasi untuk mengembangkan rencana perawatan bagi program


rehabilitasi.
2. Kelelahan yang dialami dapat mengindikasikan keadaan anak.
3. Memberikan kesempatan untuk memecahkan masalah untuk mempertahankan atau
meningkatkan mobilitas.
4. Latihan berjalan dapat meningkatkan keamanan dan efektifan anak untuk berjalan.

6 Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

intervensi:

1. Kaji tingkat realita bahaya bagi anak dan keluarga tingkat ansietas (mis.renda, sedang,
parah).
2. Nyatakan retalita dan situasi seperti apa yang dilihat keluarga tanpa menayakan apa
yang dipercaya.
3. Sediakan informasi yang akurat sesuai kebutuhan jika diminta oleh keluarga.

4. Hindari harapan –harapan kosong mis ; pertanyaan seperti “ semua akan berjalan
lancar”.

rasional:

1. Respon keluarga bervariasi tergantung pada pola kultural yang dipelajari.

2. Pasien mungkin perlu menolak realita sampai siap menghadapinya.

3. Informasi yang menimbulkan ansietas dapat diberikan dalam jumlah yang dapat
dibatasi setelah periode yang diperpanjang.
4. Harapan–harapan palsu akan diintervesikan sebagai kurangnya pemahaman atau
kejujuran.

M. Tumbuh Kembang Anak Usia 0 -5 Tahun

Penyimpangan tumbuh kembang anak harus dideteksi sejak dini, terutama sebelum anak
berumur 3 tahun, agar dapat segera di intervensi. Apabila deteksi terlambat, yang
menyebabkan penanganan terlambat sehingga penyimpangan akan sulit untuk diperbaiki.
Terdapat beberapa tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan antara lain:
1. Masa dalam kandungan (prenatal), masa Neonatal (0 – 28 hari), masa Bayi (>6 bulan)
terjadi stanger anxiety (cemas).
• Menangis keras
• Pergerakan tubuh yang banyak
• Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
2. Masa todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan. Disini respon perilaku anak dengan
tahapnya.
• Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.
• Putus asa menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat bermain,
sedih, apatis.
• Pengingkaran / denial.
• Mulai menerima perpisahan.
• Membina hubungan secara dangkal.
• Anak mulai menyukai lingkungannya.
3. Masa prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman, sehingga menimbulkan reaksi
agresif.
• Menolak makan
• Sering bertanya
• Menangis perlahan
• Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
4. Masa sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksakan;
• Meninggalkan lingkungan yang dicintai.
• Meninggalkan keluarga.
• Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan.
5. Masa remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Reaksi yang muncul:
• Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
• Tidak kooperatif dengan petugas
• Bertanya-tanya
• Menarik diri
• Menolak kehadiran orang lain
Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi.
Perasaan yang muncul dalam hospitalisasi:
• Takut
• Cemas
• Perasaan sedih
• Frustasi
Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi
• Marah
• Cemburu
• Benci
• Rasa bersalah
Reaksi lingkungan sosial terhadap hospitalisasi
• Acuh tak acuh
• Terkesan menghindar
Intevensi perawatan dalam mengatasi dampak hospitalisasi.
Fokus intervensi keperawatan adalah:
• Menimalkan stressor
• Memaksimalkan manfaat hospitalisasi
• Memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga
• Mempersiapkan anak sebelum masuk rumah sakit
Upaya meminimalkan stressor atau penyebab stress. Dapat dilakukan dengan cara:
• Mencegah atau mengurangi dampak perpisahan
• Mencegah perasaan kehilangan control
• Mengurangi / menimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri
Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan:
• Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
• Modifikasi ruang perawatan
• Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, surat menyurat, bertemu teman
sekolah
Mencegah perasaan kehilangan control:
• Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif
• Bila anak diisolasi lakukan modifikasi lingkungan
• Buat jadwal untuk prosedur terapi, latihan, bermain
Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri
• Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri
• Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak
• Menghadirkan orang tua bila mungkin
• Tunjukkan sikap empati
• Pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang dilakukan
melalui cerita dan gambar
• Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan psikologis anak menerima informasi ini
dengan terbuka
Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak:
• Membantu perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang tua untuk belajar
• Memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak-
Meningkatkan kemampuan kontrol diri
• Memberi kesempatan untuk sosialisasi
• Memberi support kepada anggota
Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit:
• Kenalkan perawat dan dokter yang merawatnya
• Kenalkan pada pasien yang lain
• Berikan identitas pada anak
• Jelaskan aturan rumah sakit
• Laksanakan pengkajian
• Lakukan pemeriksaan fisik
Dampak hospitalisasi:
Dampak hospitalisasi yang dialami bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan
tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga
terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.
ASKEP KUSTA

ASUHAN
KEPERAWATAN
KUSTA
OLEH :
1.      Jonri simarmata

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKES KEMENKES SORONG

D III KEPERAWATAN MANOKWARI

2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada
kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini
dari internet. Kami telah berusaha semampu kami untuk mengumpulkan
berbagai macam bahan tentang Askep Kusta.
           Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari
sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami
mohon bantuan dari para pembaca,
            Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam
penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami
mengucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Penulis

BAB 1

A.    KONSEP DASAR MEDIK

1.     DEFINISI

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang


saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.Lepra : Morbus hansen,
HamseniasisReaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih
aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang
telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan
penderita.

2.     ETIOLOGI

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron,
lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak
dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi
sistemik pada binatang Armadillo.

3.     GEJALA DAN TANDA

Gejala kusta antara lain :


a.       Bercak putih (hipopigemtasi) yang mati rasa biasanya daerah bercak
putih tidak ada keringat dan bulu.

b.      Adanya penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi (hanya
dapat diidentifikasi oleh tenaga yang sudah ahli atau terlatih).

c.       Gangguan fungsi saraf meliputi mati rasa/kurang rasa, pareses dan
paralisis, kulit kering, retak dan edema (bengkak).

Ada beberapa tanda yang bisa didapatkan pada penderita kusta :


1. Tanda pada kulit bercak kulit yang merah, kulit yang mengkilap.
Bercak tidak
gatal, lesi kulit yang tidak berkeringat atau berambut.
2. Tanda pada saraf rasa kesemutan , tertusuk-tusuk atau nyeri, gangguan
gerak pada anggota badan atau wajah
3. Cacat/deformitas
4. Ulkus yang tidak kun juang sembuh.

4.     PENGOBATAN

Metode Pengobatan yang digunakan saat ini berupa MDT. Namun


saat ini, dulu maupun akan datang yang perlu kita perhatikan adalah cara
penyampaian diagnosa penyakit ini. Karena dimasyarakat masih tertanam
dalam pikiran bahwa penyakit kusta adalah penyakit turunan, mereka akan
menyangkal bahwa dikeluarga ada penderita kusta sehingga keluarga
yang malu akan mengucilkan penderita tersebut dari orang banyak,
demikian juga bila ketahui masyarkat menderita penyakit ini. Penderita
akan tidak diijinkan untuk bergaul lagi dengan mereka karena takut
terjangkit.

5.     PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang,


kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.M. Leprae ( Parasis Obligat
Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn,
histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan


kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak
bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak
segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitar.

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit


kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut
penyakit imonologik.
6.     FAKTOR RESIKO

1.      Merasa ketakutan


2.      Cacat
3.      Menarik Diri
4.      Hanya mempersoalkan diri sendiri
5.      Reaksi emosional tinggi
6.      Perubahan persepsi terhadap lingkungan
7.      Berkurangnya minat.

7.     KLASIFIKASI
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita
menjadi :
1.      TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering
dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang
besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung
dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2.      BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3.      Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada
tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit
dan uji lepromin ( - ).
4.      BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin
( - ).
5.      LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1.      Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2.      Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

8.                 GAMBARAN KLINIK


Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1.                  Tipe Tuberkoloid ( TT )
         Mengenai kulit dan saraf.
o    Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
o    Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
o    Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2.                  Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
         Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
         Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
         Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
         Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3.                  Tipe Mid Borderline ( BB )
         Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
         Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
o    Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
         Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
o    Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4.                  Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5.               Tipe Lepromatosa ( LL )
         Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
         Distribusi lesi khas :
o    Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o    Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
         Stadium lanjutan :
o    Penebalan kulit progresif

o    Cuping telinga menebal


o    Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.
         Lebih lanjut

o    Deformitas hidung

o    Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis


o    Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
o    Penyakit progresif, makula dan popul baru.
o    Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
         Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi
dan pengecilan tangan dan kaki.

6.               Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
         Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
         Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
         Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
         Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain


         Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
         Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
         Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
         Lidah : ulkus, nodus
         Larings : suara parau
         Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
         Kelenjar limfe : limfadenitis
         Rambut : alopesia, madarosis
         Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

9.     PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain
manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan
monyet pemakan kepiting.
Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda
pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak
antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap
insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per
1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
[14]

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit
dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan
adnaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat
dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.
Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel
deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan
adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.
Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut
Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa
sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret
hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang
dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan
kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang
berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan
bakteri di lubang pernapasan.
Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute
yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan
adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.
Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

10.         PENATALAKSANAAN MEDIK


1. TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
· DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
· Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg /hari diminum di rumah
· DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
· Umur dibawah 10 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
· Umur 11-14 tahun
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6
dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. PERAWATAN UMUM
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b) Perawatan tangan yang mati rasa


§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh
§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
§ Keadaan basah diolesi minyak
§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
§ Penderita memeriksa kaki tiap hari
§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
§ Masih basah diolesi minyak
§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
§ Jari-jari bengkok diurut lurus
§ Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
§ Luka dibalut agar bersih
§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
1) Kulit halus dan berminyak
2) Tidak ada kulit tebal dan keras
3) Luka dibungkus dan bersih
4) Jari-jari bengkak menjadi kaku
B.                ASUHAN KEPERAWATAN

1.     PENGKAJIAN
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena
pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-
kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
komplikasi pada organ tubuh
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai
penyakit morbus hansen akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.
f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain
dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena
adanya gangguan saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea
mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti
pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

Sistem persarafan:
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.
Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang
pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik
adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi.
Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat
bercak.

2.     DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
DAFTAR PUSTAKA

1.      Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
2.      Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang
Kusta. Propinsi Jawa Tangah
3.      Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
Revisi. EGC : Jakarta.
4.      Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan
ke-XII, Depkes Jakarta
5.      Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.
6.      Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi
Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta, 1995
7.      Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya
8.      Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

ASUHAN KEPERERAWATAN LEPTOSPIROSIS


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Pengertian
Leptospirosis adalah suatu penyakit yang ditularkan dari hewan kepada manusia melalui kulit, seperti
selaput lender oral, nasal dan konjungtiva yang disebabkan oleh mikroorganisme leptospira tanpa memandang
bentuk spesifik serotipenya. (Kariman Soedin, 1998)
Leptospirosis adalah infeksi menyeluruh manusia dan binatang yang disebabkan oleh spiroheta genus
leptospira. (Hasan, Rusepno, 2002)
Leptospira bias terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau, dll. maupun binatang liar
seperti tikus, musang, tupau dan sebagainya. Bila terinfeksi, binatang mengeksresi spiroketa ke dalam urine
delama masa yang lama. Leptospira yang bertahan hidup di luar hospes binatang tergantung kelembabab suhu
dan pH tanah.

B.     Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira yang terdiri dari 2 kelompok atau kompleks yang pathogen
L. Interrogans dan yang non pathogen / saprofit L. Difleexa. Saat ini ditemukan 240 serotipe yang tergabung
dalam 23 serogrup, sub group yang dapat menginfeksi manusia, diantaranya : L. Icterohaemorrhagiae, L.
Javanica, L. Celledoni, L. Canicola, L. Ballum, L. Phyrogenes, L. Cynopetri, L. Automnalis, L. Australis, L.
Pamona, L. Grippothyphosa, L. Hebdomadis, L. Tarassovi, L. Panama, L. Andamana, L. Shermani, L. Ranarum,
L. Bufonis, L. Copenhageni, dll.
 
C.    Patofisiologi
 terlampir
D.    Manifestasi Klinik
Leptospirosis merupakan penyakit bifasik yang khas. Selama terjadi leptospiremi atau fase awal, leptospira
terdapat di dalam darah dan cairan serebrospinal. Awitan penyakit ini khas mendadak gejala awal berupa sakit
kepala di bagian frontal, bitemporal atau oksipital, nyeri otot berat, otot pada paha dan daerah lumbal paling
sering terlibat dan seringkali disertai rasa sakit hebat pada perabaan. Mialgia dapat disertai oleh hipertesia kulit
yang sangat menonjol (kausagia). Menggigil disertai oleh kenaikan suhu tubuh yang juga jelas terjadi, suhu
tubuh meningkat 98,9 % (102 oF) atau lebih. Kompleks gejala tertentu seperti hepatitis, nefitis, pneumonia
atifikal, influenza atau gastroenteritis. Pemriksaan selama ini menunjukkan braalkarai dan TD normal, mual,
muntah dan anoreksia, malaise, dehidrasi ringan sampai sedang, penurunan kesadaran, splenomegali,
hepatomegali, kulit bisa dijumpai ruam berbentuk macular, makulo populor atau utikaria (seperti biduran), diare,
batuk atau nyeri dada. Tanda fisik yang paling khas adalah penutupan konjungtiva, fotofobia tetapi jarang di
dapati secret serosa atau purulent.
Fase kedua / fase imun berkaitan dengan munculnya 19 M dalam sirkulasi, demam berkurang (suhu < 38,9
o
C) dan meningitis aseptic

E.     Pemeriksaan Penunjang


1.      Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin biasanya dijumpai leukosirosis dengan jumlah 70.000 sel / mikroliter.
Namun demikian, tanpa memandang jumlah total leukosit, seringkali dijumpai neutrofilla (neutrofil lebih dari 70
%) selama tahap awal. Dapat juga dijumpai trombosito penia yang cukup menyebabkan perdarahan (kurang dari
30.000 trombosit / ul) kelainan hematologik lainnya adalah LED meningkat lebih dari sepruh normal (N : < 50
mm / jam) dan anemia.

2.      Pemeriksaan Urine


Dihasilkan albuminuria jika terjadi komplikasi pada ginjal BUN, ureum dan kreatinin akan meningkat. BUN< 36
mmol/l (100 mg/l).
Adanya komplikasi di hati ditandai dengan peningkatan transaminasi dan bilirubin serum dapat mencapai 110 M
mo/l (65 mg/l)

F.     Penatalaksanaan
1.      Pengobatan
Obat-obatan microbial yang dapat dipakai cukup banyak meliputi : pennisilin, streptomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin, maupun ciprofloksasin. Dalam 4-6 jam setelah pemberian pennisilin – G, terlihat
reaksi tipe jerisch, herx heimmer yang menunjukkan adanya aktifitas anti leptospira. Obat pertma pilihan adalah
pennisilin 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari.

2.      Keperawatan
Anjurkan klien tirah baring, anjurkan minum banyak, bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan ajarkan untuk melakukan personal hygiene dan lingkungan.

3.      Pencegahan
Kelompok pekerja dengan insiden leptospirosis tinggi adalah pekerja pertanian, orang-orang yang
hidup dan bekerja pada lingkungan yang banyak tikus, individu yang terlibat pada peternakan hewan atau dokter
hewan, petugas survei di hutan belantara, tentara dan pekerja laboratorium harus diberi pakaian khusus yang
dapat melindungi dari kontak dengan bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang liar. Penyediaan
air minum penduduk harus bersih dan terjaga dengan baik.

G.    Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada leptospirosis adalah :
a.       Gagal ginjal
b.      Meokarditis
c.       Meningitis aseptic
d.      Hepatitis
e.       Perdarahan masif
f.       Iridosiklitis juga dapat terjadi
g.      Gastroenteritis
h.      Pneumonia
i.        Syok 

ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
Adapun yang terkaji pada anak dengan leptopirosis adalah data dasar, meliputi :
  Data biografi
  Riwayat kesehatan dahulu
  Riwayat kesehatan keluarga
  Riwayat kesehatan sekarang, meliputi keluhan utama yaitu sakit kepala, nyeri otot berat, mual, muntah, dehidrasi,
mialgia, kausalgia demam.

Data dasar pengkajian pasien :


1.      Aktifitas istirahat
Kelemahan, malaise, kelelahan
2.      Makanan dan cairan
Mual, muntah, dehisrasi, anoreksia, penurunan BB
3.      Nyeri dan Kenyamanan
Sakit kepala, nyeri otot berat, mialgia, kausalgia.
4.      Eliminasi
Diare
5.      Sirkulasi
Bradikardi, TD normal, ikterik pada sklera
6.      Pemriksaan fisik
  Inspeksi
-          Faring merah bercak-bercak
-          Ruang macular, makulopapulor, urtikaria
  Palpasi
-          Splenomegali
-          hepatomegali
  Perkusi
Pada hepar area batas bawah berbunyi pekak.
  Auskultasi
Peningkatan bising usu
7.      Tes Diagnostik
  Periksaan Laboratorium
-          Pemeriksaan darah
Didapatkan hasil leukositosis dengan jumlah 70.000 /ul, dijumpai neutrofilla (neutrofil > 70%) selama tahap
awal. Trombositopenia yang cukup menyebabkan perdarahan dari separuh normal dan anemia.
-          Pemeriksaan umum
Albuminuria, bun #, ureum #, kreatinin #
-          Komplikasi dimulai dengan peninggian triminase dab bilirubim.

B.     Diagnosa Keperawatan


1.      Kekurangan volume cairan b.d hipertensi / output berlebih
2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi tidak adekuat (mual, muntah dan anoreksia)
3.      Gangguan rasa nyaman nyeri b.d nyeri otot berat, sakit kepala dibagian frontal, bitemporal atau oksipital.
4.      Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan
5.      Resti penyebaran infeksi b.d pertahanan primer tidak adekuat.
6.      Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi

C.    Rencana Keperawatan


1.      Dx. 1 kekurangan volume cairan b.d demam tinggi, diare
Tujuan : kebutuhan cairan anak kembali adekuat
KH : - Demam berkurang / hilang
-          Mukosa bibir lembab
-          Suhu badan 36 – 37 oC
-          Turgor kulit elastis
-          IO seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh
-          Mata tidak cekung
Intervensi :
1)      Monitor TTV tiap 4 jam
R/ perubahan TD dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan kasar kehila-
ngan darah hipotensi postural menunjukkan pernurunan volume sirkulasi.
2)      Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urine
menurun
R/ indilkator ketidakadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3)      Monitor intake dan output
R/ perubahan pada karakteristik gaster / morilitas usus dan mual sangat
mempengaruhi masukan dan kebutuhan cairan, peningkatan resiko dehidrasi
4)      Berikan minuman / cairan yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh.
R/ menurunkan iritasi gaster / muntah untuk meminimalkan kehilangan
cairan.
5)      Monitor nilai laboratorium, elektrolit darah, BJ urine, serum albumin
R/ memberikan informasi tentang hidrasi fungsi organ, berbagai gangguan
dengan konsekuensi tertentu pada fungsi sistemik, mungkin sebagai akibat dari perpindahan cairan hipovolemia,
hipoksemia, toksin dalam sirkulasi dengan produk jaringan nekrotik.
6)      Monitor pemberian cairan melalui intrevena setiap jam
R/ menggantikan kehilangan cairan dan memperbaiki keseimbangan cair-
an dalam fase segera pasca operasi dan /atau pasien mampu untuk memenuhi cairan per oral

2.      Dx. 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat.
KH : - BB normal / bertambah
-          Nafsu makan kembali normal / meningkat
-          Mual (-), muntah (-)
-          Konjungtiva emis
Intervensi :
1)      Ijinkan anak untuk makan makanan yang dapar ditoleransi anak, rencana untuk memperbaiki kualitas gizi pada
saat selera makan anak meningkat.
R/ selera makan biasanya buruk dan masukan n utrisi penting mungkin
menurun, tawarkan makanan kesukaan dapat meningkatkan pemasukan oral
2)      Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkat-kan kualitas intake nutrisi.
R/ meningkatkan masukan nutrisi yang adekuat
3)      Anjrkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan porsi kecil tapi sering
R/ tindakan ini dapat meningkatkan masukan nutrisi meskipun nafsu
makan mungkin lambat untuk kembali.
4)      Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan selagi hangat
R/ meningkarkan nafsu makan klien
5)      Pertahankan kebersihan mulut klien
R/ meningkatkan nafsu makan klien/anak
6)      Timbang BB klien
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan dan
evaluasi ketidakadekuatan rencana nutrisi.
7)      Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit kepada anak ataupun orang tua.
R/ intake nutrisi yang adekuat mempercepat proses penyembuhan.

3.      Dx. 3 Gangguan rasa nyaman nyeri b.d nyeri otot berat, sakit kepala dibagian frontal, bitemporal atau oksipital.
Tujuan : Anak dapat menunjukkan dalam pengontrolan nyeri sesuai
tingkat kesanggupan.
KH : - Nyeri hilang / terkontrol, skala nyeri : 0-3
-          TTV dalam batas normal
N : 80 – 140 x/mnt
S : 36,1 – 37,5 oC
-          Klien tampak rileks
Intervensi :
1)      Kaji skala nyeri anak (0-10)
R/ berguna dalam pengawasan keefektifan obat dan kemajuan penyembu-
han.
2)      Dorong anak untuk menemukan posisi yang nyaman : semi fowler
R/ tindakan alternatif mengontrol nyeri dan mengurangi sakit kepala di
bagian frontal, bitemporal atau oksipital, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut
3)      Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam
R/ memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan koping.
4)      Gunkanan pelembab yang agak hangat pada nyeri otot paha dan daerah lumbal jika tidak ada demam.
R/ meningkatkan relaksasi otot dan menurunkan rasa sakit kepala / rasa
tidak nyaman.
5)      Ukur TTV (suhu dan nadi)
R/ peningkatan suhu dan nadi mengidentifikasi adanya nyeri yang ber-
tambah.
6)      Lakukan massage / pijatan lembut pada daerah nyeri
R/ meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping anak
dengan memfokuskankembali perhatian anak.
7)      Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
R/ mengurangi / menghilangkan nyeri yang berat.

4.      Dx. 4 intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O 2 dan kebutuhan tubuh.
Tujuan : kebutuhan aktivitas klien kembali normal dan klien dapat
istirahat dengan optimal.
KH : - Anak bermain dan istirahat dengan cepat dan mengguna-
kan aktivitasnya sesuai perkembangan dan kesanggupan.
-          Anak dapat bertoleransi terhadap aktivitas
-          Anak dapat istirahat cukup
-          Anak tetap tenang, aman dan santai / rileks
-          TD anak dalam batas normal
Intervensi :
1)      Kaji tingkat aktivitas anak
R/ menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahlan pilihan
intervensi.
2)      Kaji anak terhadap aktivitasnya sehari-hari
R/ menetapkan kemampuan / kebutuhan sehari - hari dan memudahkan
pilihan intervensi.
3)      Tingkatkan tirah baring / duduk
R/ menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan aktivitas dan
posisi duduk yang tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
4)      Monitor TTV (TD, N, RR) selama dan sesudah aktivitas
R/ manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk mem-
bawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
5)      Berikan bantuan dalam aktivitas / ambulasi dan dekatkan barang-barang / alat-alat yang dipergunakan
R/ membantu meringankan beban anak dan menghemat energi guna ber-
aktivitas.
6)      Ubah posisi anak dengan perlahan dan pantau terhadap sakit kepala.
R/ hipotensi postural atau hipoksia serebral dapat menyebabkan pusing /
sakit kepala, berdenyut dan peningkatan resiko cedera.

5.      Dx. 5 Reti Penyebaran infeksi b.d pertahanan primer tidak adekuat.
Tujuan : penyebaran infeksi tidak terjadi
KH : - Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor,
kalor dan fungsiolaesa)
-          TTV dalam batas normal (S: 36 37 oC)
Intervensi :
1)      Berikan tindakan isolasi sebagai tindakan pencegahan
R/ isolasi mungkin diperlukan sampai organismenya diketahui/dosis anti-
biotik yang cocok yang diberikan untuk menurunkan resiko penyebaran pada orang lain
2)      Pertahankan tehnik aseptik dan tehnik cuci tangan yang tepat baik pasien, pengunjung maupun staf. Pantau dan
batasi pengunjung / staf sesuai kebutuhan.
R/ menurunkan resiko pasien terkena infeksi sekunder, mengontrol penye-
baran sumber infeksi, mencegah pemajanan pada individu terinfeksi.
3)      Pantau suhu secara teratur, catat munculnya tanda-tandaklinis dan proses infeksi

R/ timbulnya tanda klinis yang terus-menerus merupakan indikasi per-


kembangan patogen secara hematogen / sepsis.
4)      Catat karakteristik urine, seperti warna, kejernihan dan bau
R/ urine statis, dehidrasi dan kelemahan umum meningkatkan resiko ter-
hadap infeksi kandung kemih / ginjal.
5)      Hindari pemakaian barang / alat-alat yang telah digunakan oleh anak
R/ mencegah resiko penularan infeksi pada anggota keluarga lainnya
6)      Kolaborasi pemberian therapi antibiotik IV sesuai indikasi.
R/ obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan sensitivitas individu
dan mengurangi penyebaran infeksi.

6.      Dx. 6 Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi


Tujuan : pengetahuan keluarga /orangtua bertambah (tentang penyakit)
setelah dilakukan intervensi
KH : - Keluarga dapat menjelaskan kembali tentang pengertian,
penyebab, tanda dan gejala dan pencegahan dari penyakit leptopirosis.
Intervensi :
1)      Berikan informasi dalam bentuk-bentuk dan segmen yang singkat dan sederhana tentang pengertian, penyebab,
tanda dan gejala dan pencegahan dari penyakit leptopirosis.
R/ dengan adanya informasi yang diberikan maka akan menambah penge-
tahuan keluarga dan mau mengikuti program medik.
2)      Ajarkan keluarga dalam mengukur suhu
R/ antisipasi kenaikan suhu anak selama dalam pengawasan orang tua.
3)      Berikan informasi pentingnya peningkatan kesehatan umum dan keejahteraan istirahat dan aktivitas seimbang,
nutrisi adekuat dan intake cairan sesuai dengan toleransi.
R/ meningkatkan pertahanan alamiah atau imunitas
4)      Anjurkan keluarga untuk selalu memberikan pengawasan pada anak dalam beraktivitas misal bermain.
R/ pencegahan dini terjangkitnya penyakit leptospirosis

D.    Implementasi
Lakukan tindakan sesuai rencana dan prioritas yang ditetapkan

E.     Evaluasi
1.      Volume cairan anak kembali adekuat
2.      Nutrisi anak kembali adekuat
3.      Nyeri hilang / terkontrol
4.      Aktivitas anak kembali adekuat
5.      Resti penyebaran infeksi tidak terjadi
6.      Pengetahuan keluarga bertambah
 

Diposting oleh Bintang Baskoro di 02.12


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Reaksi: 

1 komentar:
1.

masterseo id14 November 2017 01.57


Bagaimana mengobati kencing nanah tanpa obat?

Mengobati kencing nanah tanpa obat mungkin sangat kecil kemungkinan yang bisa dilakukan dengan cara ini.
Karena jika anda menderita penyakit maka anda harus melakukan pemeriksaan dan pengobatan dengan dokter yang
tentunya akan diberikan obat yang sesuai dengan penyebabnya.
Apa yang anda rasakan jika anda terkena atau terinfeksi penyakit menular seksual ini?

1. Stress, Malu, Takut di Kucilkan


2. Putus asa
3. Malu untuk melakukan pemeriksaan dengan dokter

"Jika anda merasakan gejala atau tanda2 kencing nanah, jangan merasa malu untuk melakukan pemeriksaan. segera
lakukan pengobatan secepat mungkin untuk membantu anda agar terhindar dari infeksi penyakit lain yang dapat di
timbulkan dari penyakit kencing nanah."
Silahkan konsultasikan keluhan yang anda rasakan pada kami. Klinik apollo merupakan salah satu klinik sepesialis
kulit dan klamin terbaik di jakata. Ditunjang tekhnologi modern serta dokter yang sudah berpengalaman
dibidangnya, kami dapat membantu memberikan solusi untuk keluhan penyakit kelamin yang anda rasakan.

Anda mungkin juga menyukai