Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH RETRADASI MENTAL, AUTIS DAN ADHD (Attention Deficit

Hyperactivity Disorder) PADA ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak 2

Disusun Oleh:
Kelompok 1

1. Duwi Iryani (A11701409)


2. Abdulah (A11701511)
3. Aenalia Ikrima Fatikhah (A11701512)
4. Aji Utomo (A11701514)
5. Alfian Dwi Saputro (A11701515)
6. Andi Rahmawan (A11701516)
7. Andika Krisna M (A11701517)

Kelas : 3A/Keperawatan

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat Alloh SWT.
yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah “Retardasi Mental, Autis dan ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder ) Pada Anak”.

Adapun makalah tentang “Retardasi Mental, Autis dan ADHD


(Attention Deficit Hyperactivity Disorder ) Pada Anak” ini telah penulis
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis
dapat menyelesaikannya tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan sampai


terselesaikannya makalah Retardasi Mental, Autis dan ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder ) Pada Anak ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan dan
perbaikan untuk masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Gombong, 18 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. . 5


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………... 8
1.3 Tujuan…………………………………………………………………..... 8
BAB II ISI

2.1 Retradasi Mental........................................................................................... 9

2.1.1 Definisi Retradasi Mental................................................................... 9

2.1.2 Klasifikasi Retradasi Mental..................... ...................................... 10

2.1.3 Etiologi Retradasi Mental................................................................. 11

2.1.4 Karakteristik Retradasi Mental......................................................... 13

2.1.5 Pathway Retradasi Mental................................................................ 15

2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Retradasi Mental................................ 16

2.1.7 Penatalkasanaan Retradasi Mental................................................... 17

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Retradasi Mental....................................... 18

2.2 Autis .......................................................................................................... 20

2.2.1 Definisi Autis................................................................................... 20

2.2.2 Klasifikasi Autis..................... ........................................................ 21

2.2.3 Etiologi Autis.................................................................................. 23

2.2.4 Manifestasi Klinis Autis.................................................................. 24

2.2.5 Pathway Autis.................................................................................. 27

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Autis.......................................................... 28

2.3 ADHD............................................................................................................. 28

iii
2.3.1 Definisi ADHD............................................................................... 28

2.3.2 Etiologi ADHD..................... ......................................................... 29

2.3.3 Manifestasi Klinis ADHD................................................................ 32

2.3.4 Pathway ADHD................................................................................ 32

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ADHD....................................................... 33

2.3.6 Asuhan Keperawatan ADHD........................................................... 33

BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan…………………………………………………………….. 50

3. 2 Saran………………………………………………………………….. 51

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 52

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumbuh kembang anak terjadi secara kompleks dan sistematis. Anak akan
mengalami dua proses, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
merupakan proses bertambahnya jumlah dan ukuran sel di seluruh bagian tubuh
yang secara kuantitatif dapat diukur. Sedangkan perkembangan merupakan proses
peningkatan kemampuan adaptasi dan kompetensi seseorang dari yang sederhana
ke yang lebih kompleks.
Seluruh tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak harus dilalui
dengan sempurna, baik selama di kandungan maupun yang telah lahir. Tidak
semua anak mampu melalui semua tahapan secara optimal. Beberapa anak
mengalami kegagalan atau gangguan tumbuh kembang. Kemenkes dalam Rivaldi
(2017) mengemukakan bahwa gangguan tumbuh kembang yang sering ditemui
yaitu gangguan bicara dan bahasa, cerebral palsy, sindrom down, perawakan
pendek, autis, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif.
Kondisi anak dengan retardasi mental, terkadang disertai pula dengan
adanya gangguan perkembangan lainnya. Diungkapkan oleh Narayan (2010)
dalam manual WHO, beberapa kondisi yang turut menyertai retardasi mental
anak, diantaranya adalah epilepsi, hiperaktivitas, cerebral palsy, autisme,
kerusakan sensori, serta kondisi fisik lain hydrocephalus, microcephaly, dan down
syndrome.
Berdasarkan pandangan klinis, retardasi mental dibagi menjadi 4 yaitu,
retardasi mental ringan (IQ 50-69), Retardasi mental sedang (IQ 35- 49),
sedangkan retardasi mental berat (IQ 20-34), dan retardasi mental sangat berat (IQ
< 20 ). Setiap tingkat retardasi mental memiliki karakteristik masing-masing.
Anak dengan retardasi mental mental ringan dapat dididik dan dilatih untuk
melakukan pekerjaan rumah dan perawatan diri. Anak dengan retardasi mental
sedang hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri. Anak dengan
retardasi mental berat dan sangat berat hanya mampu untuk dilatih belajar
berbicara (Kemenkes, 2011).
Perkembangan kemampuan mental yang kurang sempurna mengakibatkan
beberapa keterlambatan perkembangan salah satunya gerakan (motorik).
Kerterlambatan koordinasi otot jari, tangan lengan dan mulut merupakan masalah
pada retardasi mental ringan yang sering dijumpai. Konsep tersebut diperkuat oleh
pendapat Berg, jika anak dengan retardasi mental ringan seringkali menunjukkan
disfungsi pergerakan (Zakarya, 2013).
Keterlambatan perkembangan motorik tentu akan mempengaruhi segala
kegiatan yang menyangkut kebutuhan dasar anak dengan retardasi mental. Selain
itu, gangguan fungsi motorik dan kognitif juga mempengaruhi terhadap
kemampuan dalam melakukan beberapa aktivitas perawatan diri. Keterampilan
perawatan diri meliputi makan, menggunakan toilet, memakai dan melepas baju,
personal hygiene, dan keterampilan berhias (Ramawati dalam Ariani, 2016).
Menurut Setiafitri (2014), autis merupakan kelainan perilaku penderita
hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal.
Gangguan perilakunya dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran
kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa dan pengulangan tingkah
laku.
Dikalangan masyarakat masih ada pemahaman bahwa anak-anak autis bisa
menular penyakitnya, sehingga beberapa orang tua justru menyembunyikan
anaknya yang menderita autis. Upendra (2013) menyebutkan bahwa orang tua
yang memiliki anak autis lebih tinggi untuk mengatasi perilaku menjauhkan dan
melarikan diri, seperti perilaku yang ditujukan untuk penarikan dari situasi stres.
Pengasuhan anak autis menimbulkan sejumlah tantangan. Hartley, Seltzer, Head,
& Abbeduto (2012) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa orang tua
dengan anak autis mengalami stres. Orang tua yang memiliki anak autis perlu
memahami bagaimana penanganan dan pengasuhan untuk perkembangan anak
autis.

2
ADHD merupakan kependekan dari attention deficit hyperactivity
disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hyperactivity = hiperaktif,
dan Disorder = gangguan). Atau dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti
gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sebelumnya, pernah ada istilah
ADD, kependekan dari attention deficit disorder yang berarti gangguan pemusatan
perhatian. Pada saat ditambahkan 'hiperactivity/hiperaktif’ penulisan istilahnya
menjadi beragam. Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis
ADD/H. Tetapi, sebenarnya dari tiga jenis istilah ini memberikan gambaran
tentang suatu kondisi medis yang disahkan secara internasional mencakup
disfungsi otak, di mana individu mengalami kesulitan dalam mengendalikan
impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang perhatian atau
rentang perhatian mudah teralihkan.
Jadi Anak ADHD merupakan anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian yang seringkali ditemui pada anak. Anak dengan gangguan ADHD tidak
bisa berkomunikasi lebih lama dari lima menit. Kondisi ini juga disebut sebagai
gangguan Hiperkinetik. Gangguan Hiperkinetik adalah gangguan pada anak yang
timbul pada masa perkembangan dini (sebelum berusia tujuh tahun) dengan ciri
utama tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan impulsif. Ciri perilaku
ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dengan kata
lain, ia tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan perhatiannya
terhadap suara yang berada disekitarnya. Gangguan ADHD ini tentunya
menggangu bahkan menghambat proses kegiatan belajar mengajar, sehingga guru
sulit untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah direncanakan.
Para ahli percaya bahwa setidaknya tiga dari seratus anak usia 4-14 tahun
menderita ADHD. Orang dewasa juga terpengaruh oleh ADHD, tetapi kerusakan
yang ditimbulkan terhadap kehidupan anak sering kali jauh lebih besar karena
efeknya terhadap keluarga, teman sekelas dan guru. ADHD dapat menyebabkan
anak-anak tidak punya teman, sering membuat kekacauan di rumah dan sekolah
dan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengatahui tentang retradasi mental
2. Mengetahui tentang autis
3. Mengetahui tentang ADHD

1.3 Tujuan
1. Dapat Mengatahui tentang retradasi mental
2. Dapat Mengetahui tentang autis
3. Dapat Mengetahui tentang ADHD

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 RETARDASI MENTAL

2.1.1 Definis Retardasi Mental

Retardasi Mental adalah keadaan dengan intelegensi yang kurang


(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan,
tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental
disebut juga oligofrenia (oligo=kurang atau sedikit dan fren=jiwa) atau
tuna mental (Muhith, 2015).

Retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi


dan merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah
yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan
beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap
normal (Soetjiningsih, 2006 dalam Eko Prabowo, 2014).

Retardasi mental adalah keadaan yang penting secara klinis


maupun sosial. Kelainan ditandai oleh keterbatasan kemampuan yang
diakibatkan oleh gangguan yang bermakna dalam intelegensia terukur dan
perilaku penyesuaian diri (adaptif). Retardasi mental juga mencakup status
sosial, hal ini dapat lebih menyebabkan kecacatan dari pada cacat khusus
itu sendiri. Karena batas-batas antara normalitas dan retardasi mental
seringkali sulit digambarkan, identifikasi pediatric, evaluasi, dan
perawatan anak dengan kesulitan kognitif serta keluarganya memerlukan
tingkat kecanggihan teknis maupun sensitivitas interpersonal yang besar
(Behman, 2008)

Menurut Schwart dalam Arfandi (2012) retardasi mental


merupakan suatu kondisi dimana anak mengalami hambatan pada

5
perkembangan mental, tingkat intelegensi, bahasa, sosial, dan motorik.
Retardasi mental memiliki keterbatasan pada fungsi intelektual dan
kemampuan adaptasi. Keterbatasan kemampuan adaptasi meliputi
komunikasi, keterampilan sosial, akademik, kesehatan, keamanan, dan
merawat diri.

Menurut Apriyanto dalam Utami (2016) tunagrahita merupakan


kata lain dari retardasi mental (mental retardation). Tuna berarti merugi,
grahita berarti pikiran. Retardasi mental (mental retardation atau mentally
retarded) berarti keterbelakangan mental.

2.1.2 Klasifikasi Retardasi Mental

Menurut (Muhith, 2015), berdasarkan tingkat Intelligence Quotient


(IQ) karakteristik retardasi mental dibedakan menjadi:

a. Retardasi mental ringan (IQ = 50 – 70, sekitar 85% dari orang yang
terkena retardasi mental)

b. Retardasi mental sedang (IQ = 35-55, sekitar 10% orang yang terkena
retardasi mental)

c. Retardasi mental berat (IQ = 20-40, sebanyak 4% dari orang yang


terkena retardasi mental)

d. Retardasi mental berat sekali (IQ = 20-25, sekitar 1 sampai 2 % dari


orang yang terkena retardasi mental).

Klasifikasi anak retardasi mental menurut Somantri dalam Ferial


(2011) adalah sebagai berikut :

a. Retardasi mental ringan

Retardasi mental ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok


ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut skala
Weschler (WISC) memiliki IQ 69- 55. Mereka masih dapat belajar
membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan

6
pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan
dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

b. Retardasi mental sedang

Anak retardasi mental sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini


memiliki IQ 51-36 pada skala binet dan 54-40 menurut skala wescher
(WISC). Anak retardasi mental sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung
walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis
namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain.

c. Retardasi mental berat

Kelompok anak retardasi mental berat sering disebut idiot.


Retardasi mental berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut skala
binet dan antara 39-25 menurut skala weschler (WISC).

2.1.3 Etiologi Retardasi Mental


Penyebab retardasi mental adalah faktor keturunan (genetik) atau
tak jelas sebabnya, keduanya disebut retardasi mental primer. Sedangkan
faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang berpengaruh terhadap
otak bayi dalm kandungan atau anak-anak. Penyebab retardasi mental lain
adalah akibat infeksi dan intoksikasi,rudapaksa atau sebab fisik lain,
gangguan metabolism pertumbuhan atau gizi, penyakit otak yang nyata
(postnatal), penyakit atau pengaruh pranatal yang tidak jelas, kelainan
kromosom, prematuritas, gangguan jiwa yang berat, deprivasi psikososial
(Muhith, 2015).
Menurut Yusuf (2015) gejala anak retardasi mental, antara lain
sebagai berikut :

7
a. Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam
mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu
cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus-menerus.

b. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.

c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak RM berat.

d. Cacretraat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan


retardasi mental berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada
yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri, atau bangun tanpa
bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat
sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.

e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak


retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti
berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu
memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.

f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak retardasi mental
ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang
mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal
itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.

g. Tingkah laku kurang wajar yang terus-menerus. Banyak anak retardasi


mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka
seperti ritual, misalnya memutar-mutar jari di depan wajahnya dan
melakukan halhal yang membahayakan diri sendiri, misalnya
menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dan lain-lain

8
2.1.4 Karakteristik Retardasi Mental
Anak retardasi mental memiliki karakteristik yang berbeda dari
anak normal lainnya. Mengacu pada fungsi intelektual yang secara jelas
berada di bawah rata-rata atau normal, sehingga menyebabkan
perkembangan kecerdasan dimiliki banyak hambatan, untuk itu diperlukan
layanan khusus guna membantu mengoptimalkan kemampuan dan
potensinya, hal ini terutama yang berkaitan dengan perawatan diri.
Sehingga pada kehidupannya kelak dapat mandiri dan tidak selalu
tergantung pada orang lain (Apriyanto, 2012).

Menurut Delphie dalam Yusuf (2015) karakteristik retardasi


mental adalah sebagai berikut:

a. Pada umumnya, anak dengan gangguan perkembangan mempunyai


pola perkembangan perilaku yang tidak sesuai dengan kemampuan
potensialnya.

b. Anak dengan gangguan perkembangan mempunyai kelainan


perilaku maladaptif, yang berkaitan dengan sifat agresif secara
verbal atau fisik, perilaku yang suka menyakiti diri sendiri,
perilaku suka menghindarkan diri dari orang lain, suka menyendiri,
suka mengucapkan kata atau kalimat yang tidak masuk akal atau
sulit dimengerti maknanya, rasa takut yang tidak menentu sebab
akibatnya, selalu ketakutan, serta sikap suka bermusuhan.

c. Pribadi anak dengan gangguan perkembangan mempunyai


kecenderungan yang sangat tinggi untuk melakukan tindakan yang
salah.

d. Masalah yang berkaitan dengan kesehatan khusus seperti


terhambatnya perkembangan gerak, tingkat pertumbuhan yang
tidak normal, kecacatan sensori, khususnya pada persepsi
penglihatan dan pendengaran sering tampak pada anak dengan
gangguan perkembangan.

9
e. Sebagian dari anak dengan gangguan perkembangan mempunyai
kelainan penyerta serebral palsi, kelainan saraf otot yang
disebabkan oleh kerusakan bagian tertentu pada otak saat
dilahirkan ataupun saat awal kehidupan. Mereka yang tergolong
memiliki serebral palsi mempunyai hambatan pada intelektual,
masalah berkaitan dengan gerak dan postur tubuh, pernapasan
mudah kedinginan, buta warna, kesulitan berbicara disebabkan
adanya kekejangan otot-otot mulut (artikulasi), serta kesulitan
sewaktu mengunyah dan menelan makanan yang keras seperti
permen karet, popcorn, sering kejang otot (seizure).

f. Secara keseluruhan, anak dengan gangguan perkembangan


(retardasi mental) mempunyai kelemahan pada segi berikut.

1. Keterampilan gerak.

2. Fisik yang kurang sehat.

3. Kurangnya perasaan percaya terhadap situasi dan keadaan


sekelilingnya.

4. Keterampilan kasar dan halus motor yang kurang.

g. Dalam aspek keterampilan sosial, anak dengan gangguan


perkembangan umumnya tidak mempunyai kemampuan sosial,
antara lain suka menghindar dari keramaian, ketergantungan hidup
pada keluarga, kurangnya kemampuan mengatasi marah, rasa takut
yang berlebihan, kelainan peran seksual, kurang mampu berkaitan
dengan kegiatan yang melibatkan kemampuan intelektual, dan
mempunyai pola perilaku seksual secara khusus.

h. Anak dengan gangguan perkembangan mempunyai keterlambatan


pada berbagai tingkat dalam pemahaman dan penggunaan bahasa,
serta masalah bahasa dapat memengaruhi perkembangan
kemandirian dan dapat menetap hingga pada usia dewasa.

10
i. Pada beberapa anak dengan gangguan perkembangan mempunyai
keadaan lain yang menyertai, seperti autisme, serebral palsi,
gangguan perkembangan lain (nutrisi, sakit dan penyakit,
kecelakaan dan luka), epilepsi, dan disabilitas fisik dalam berbagai
porsi.

2.1.5 Pathway Retardasi Mental

11
2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Retardasi Mental
Menurut Lumbantobing,S.M., (2001) dalam (Muhith, 2015)
menyatakan bahwa pencegahan dan pengobatan retardasi mental yaitu:
a. Pencegahan primer
Dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada
masyarakat, perbaikan keadaan-sosio ekonomi, konseling genetik
dan tindakan kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang
baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40 tahun
dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak).
b. Pencegahan sekunder
Meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak,
perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup
terlalu cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi, pada mikrosefali
yang konginetal, operasi tidak menolong).
c. Pencegahan tersier
Merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus
sebaiknya di sekolah luar biasa. Dapat diberi neuroleptika kepada
yang gelisah, hiperaktif atau dektrukstif.
d. Konseling
Kepada orang tua dilakukan secara fleksibel dan
pragmantis dengan tujuan anatara lain membantu mereka dalam
mengatasi frustasi oleh karena mempunyai anak dengan retardasi
mental. orang tua sering menghendaki anak diberi obat, oleh
karena itu dapat diberi penerangan bahwa sampai sekarang belum
ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat
yang dapat membantu pertukaran zat (metabolisme) sel-sel otak.
e. Latihan dan pendidikan
1. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya
kapasitas yang ada.
2. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial.

12
3. Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat
mencari nafkah kelak.
f. Latihan diberikan secara kronologis
1. Latihan rumah : pelajaran-pelajaran mengenai makan
sendiri, berpakaian sendiri, kebersihan badan.
2. Latihan sekolah : yang penting dalam hal ini ialah
perkembangan sosial. 3) Latihan teknis : diberikan sesuai
dengan minat, jenis kelamin, dan kedudukan sosial.
3. Latihan moral : dari kecil anak harus diberitahukan apa
yang baik dan apa yang tidak baik. Agar anak mengerti,
maka tiaptiap pelanggaran disiplin perlu disertai dengan
hukuman dan tiap perbuatan yang baik perlu disertai hadiah

2.1.7 Penatalaksanaan Retardasi Mental


Secara umum perawatan yang dapat diberikan pada anak retardasi
mental adalah pendidikan, edukasi, dan latihan. Perawatan tersebut dapat
diberikan oleh perawat, dokter keluarga, guru, psikiater,
psikolog,neurolog, terapis wicara, terapis okupasi. Kesinambungan
pelayanan perawatan yang diberikan oleh semua pemberi terapi sangat
menentukan keberhasilan progam terapi Dalam Lumbantobing (2006)
dalam Setyowati (2017).
Pada anak retardasi mental ringan, dapat diajarkan dan dilatih
mengenai kecakapan atau keterampilan dasar dan perawatan diri
sehinggan anak dapat mandiri dalam kehidupan kedepannya. Semua
latihan yang diberikan pada retardasi mental akan dicapai dengan hasil
yang lebih baik melalui pengaturan suasana dengan ketat dibandingkan
dengan susana yang fleksibel atau bebas.
Berikut beberapa tindakan menurut Lumbantobing (2006) dalam
Setyowati NW (2017) yang dapat digunakan untuk menangani anak
retardasi mental:
a. Konseling

13
Pemberian konseling ditujukan kepada orang tua dengan cara yang
fleksibel dan pragmatis. Konseling ini bertujuan untuk membantu orang
tua dalam mengatasi stressor karena memiliki anak dengan retadasi
mental. Beberapa orang tua mencari pengobatan agar anak mereka
menjadi pandai, sedangkan faktanya selama ini masih belum ada obat
dengan fungsi mencerdaskan anak, hanya ada obat dengan fungsi
membantu pertukaran zat-zat metabolisme sel otak. Selain itu, penjelasan
mengenai penyebab, cara perawatan, dan upaya dalam melatih
kemampuan perawata diri berpakaian pada anak retardasi mental.
b. Latihan dan Pendidikan
Membantu anak dalam penggunaan dan pengembangan kapasitas
atau kemampuan yang dimilikinya, memperbaiki sifat atau perilaku yang
salah ataupun perilaku anti sosial, serta mengembangkan dan
mengajarkan keahlian (skill) kepada anak retardasi mental agar dapat
digunakan untuk mencari nafkah hidupnya dikemudian hari.
c. Latihan yang Diberikan Secara Terus Menerus
Latihan dapat dilakukan di rumah dan disekolah yang meliputi
kemandirian dalam makan, berpakaian, dan kebersihan diri, latihan
mengenai sosialisasi dan perkembangan sosial, latihan teknis atau
keterampilan yang diberikan sesuai dengan bakat, minat, jenis kelamin,
dan kedudukan sosial, serta latihan moral meliputi pendidikan mengenai
baik dan buruk. Kegiatan perawatan diri terutama berpakaian merupakan
kegiatan yang memerlukan latihan secara terus menerus dan konsisten,
karena pada anak retardasi mental ringan sistem motorik dan kognitif
terganggu jadi pemahaman dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya
mereka memerlukan waktu yang lama dan memerlukan pendampingan
dari ibu.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Retardasi Mental
Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada
anak yang menderita retardasi mental, yaitu:
1. Kromosom kariotipe

14
2. EEG (Elektro Ensefalogram)
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
4. Titer virus untuk infeksi congenital
5. Serum asam urat
6. Laktat dan piruvat
7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang
8. Serum seng (Zn)
9. Logam berat dalam darah
10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin
11. Serum asam amino atau asam organic
12. Plasma ammonia
13. Urin mukopolisakarida

2.2 AUTIS

2.2.1 Definisi Autis


Kata Autisme, diambil dari kata Yunani “autos” = “aku”,
dalam pengertian non ilmiah mudah menimbulkan interpretasi
yaitu bahwa semua anak yang bersikap sangat mengarah kepada
dirinya sendiri karena sebab apapun, disebut autistik. Menurut
Kanner seperti dikutip Noer Rohmah menjelaskan autisme
merupakan suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak
pada tahun-tahun penghidupan pertama. Dugaan akan sebab-
sebabnya ada bermacam-macam.
Autis adalah sindroma (kumpulan gejala) di mana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autis seperti hidup
dalam dunianya sendiri. Autis tidak termasuk golongan penyakit,
tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan
perkembangan. Anak autis tidak mampu bersosialisasi, mengalami
kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-ulang serta
tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya. Dengan kata lain, pada

15
anak autis terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan
(gangguan pervatif). Autisme adalah suatu keadaan dimana
seorang anak berbuat semaunya sendiri, baik cara berfikir
maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih
muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autis bisa menimpa
siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial, Ekonomi,
maupun pendidikan seseorang.
Meskipun terlihat tidak wajar dan tidak bisa diterima di
khalayak umum, terkadang anak autis memiliki kemampuan
spesifik melebihi anak-anak seusianya. Sebagian besar penderita
autisme, yakni sekitar 75% termasuk alam kategori keterlambatan
mental. Tetapi sejumlah 10% dari mereka malah digolongkan
sebagai orang jenius. Orang-orang semacam ini memiliki
kemampuan luar biasa dalam berhitung, musik, atau seni.
Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis
yang sangat komplek dalam kehidupan yang meliputi gangguan
pada aspek interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, dan perilaku
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek
motoriknya. Gejala autis muncul pada usia sebelum 3 tahun
(Yuwono, 2012).
Autis adalah suatu bentuk ketidakmampuan dan gangguan
perilaku yang membuat penyandang lebih suka menyendiri.
Disamping itu autis juga merupakan suatu gangguan
perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi
(spektrum). Biasanya, gangguan ini meliputi cara berkomunikasi,
berinteraksi sosial dan kemampuan berimajinasi (Mulyati, 2010).
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan
pemahaman pervasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental
(Peeters, 2012). Autis merupakan gangguan pada perkembangan
interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku-perilaku
berulang yang tidak mempunyai tujuan. Autis bisa muncul

16
mengikuti retardasi mental namun bisa juga tidak. Selain itu autis
itu sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan kecerdasan walaupun
sering ditemukan kemampuan verbal lebih rendah daripada yang
lain (Suryaningrum, Ingarianti, & Anwar, 2016).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
autis merupakan gangguan pada perkembangan, baik itu
komunikasi, interaksi sosial maupun emosi yang ditandai dengan
munculnya perilaku yang berulang.

2.2.2 Klasifikasi Autis


Memasuki era globalisasi, ketika komunikasi antar manusia
di seluruh belahan bumi sudah demikian mudahnya, masih ada saja
sekelompok manusia yang tersisih. Tersisih karena mereka tidak
mampu mengadakan komunikasi dengan orang yang paling dekat
sekali pun. Mereka sulit mengekspresikan perasaan dan keinginan.
Mereka juga hidup terkurung dalam dunianya sendiri yang sepi,
menunggu uluran tangan orang lain untuk menariknya keluar ke
dunia yang lebih bebas.
Anak autistik sangat berbeda dengan anak lain dalam hal
berbahasa dan berkomunikasi karena mereka memiliki kesulitan
memroses dan memahami bahasa. Sebagian dari mereka mungkin
mampu memroses bahasa dan memahami artinya, tetapi hanya
dapat menginterpretasi bahasa secara harfiah. Berikut ini
karakteristik umum dan gangguan spectrum autisme:
1) Komunikasi
a) Perkembangan bicaranya terlambat atau sama sekali
tidak berkembang.
b) Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak
atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam
kemampuan bicara.
c) Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau

17
memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
Bahasa tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotip.
d) Tidak bisa memberikan respons secara spontan.

2) Interaksi sosial
a) Tidak bisa menjalin ikatan sosial.
b) Menghindari kontak mata.
c) Seringkali menolak untuk dipeluk.
d) Keterampilan bermain terbatas.
e) Tidak mampu memahami pemikiran orang lain
f) Tidak mampu memahami perasaan orang lain.
g) Kesulitan menoleransi teman sebayanya.
3) Imajinasi Sosial
a) Tidak bisa menggunakan imajinasinya sendiri untuk
menciptakan gambaran.
b) Tidak bisa memahami lelucon
c) Kesulitan memulai sebuah permainan dengan anak
lain.
d) Tidak bisa meniru tindakan individu lain.
e) Lebih memilih untuk dibiarkan sendiri.
4) Pola bermain
a) Anak berkesulitan dalam mengatur serangkaian gerakan
tubuh saat menggunting kertas dan bersepeda.
b) Anak berkesulitan mengatur posisi tubuh dalam
kesehariannya, seperti saat mengenakan baju masih
memerlukan bantuan orang lain.
c) Berkesulitan mengatur letak tubuh dalam kelompok
benda atau orang yang ada di sekelilingnya.
d) Perasaan takut berjalan di jalan aspal.
e) Gross motor rendah seperti saat yang bersangkutan
berlari, memanjat, melompat, dan naik tangga.
f) Fine motor kurang, khususnya pada gerakan jari-

18
jemari. Koordinasi mata serta tangan yang kurang dan
sangat rendah.
5) Emosi
a) Tidak memunyai empati dan tidak mengerti
perasaan orang lain.
b) Kadang-kadang berperilaku menyakiti dirinya
sendiri.
c) Kadang melompat-lompat, mengamuk atau
menangis tanpa sebab, sehingga anak autis pun sulit
dibujuk. Ia bahkan menolak untuk digendong atau
dirayu oleh siapa pun.
2.2.3 Etiologi Autis
Penyebab dari autis ituu sendirii sebenarnya sudah ada
sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan.
Seorang ahli embrio yaitu Patricia Rodier menyebutkan bahwa
gejala autis disebabkan karena terjadinya kerusakan jaringan otak.
Peneliti lain menyebutkan karena bagian otak untuk
mengendalikan memori dan emosi menjadi lebih kecil dari anak
normal (Suteja, 2014).
Menurut Mujiyanti (2011), ada banyak tingkah laku yang
tercakup dalam anak autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul
yaitu :
1. Isolasi social
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial
kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic alones.
Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia
akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (±70%) mengalami
retardasi mental (IQ <70) disebut dengan autis tuna tetapi anak
autis infertile sedikit lebih baik. Contohnya dalam hal yang

19
berkaitan dengan sensor motoric. Anak autis dapat
meningkatkan hubungan social dengan temannya, tetapi hal itu
tidak berpengaruh terhadap retardasi mental yang dialami.
3. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang
lainnya hanya mengoceh, merengek, atau menunjukkan
ecocalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain.
Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV atau
potongan kata yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak
autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh.
4. Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-
ulang secara terus menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti
berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya.
Gerakan ini dilakukan berulangulang disebabkan karena
kerusakan fisik, misalnya ada gangguan neurologis. Anak autis
juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan
menggigit jari. Walaupun sering kesakitan akibat perbuatannya
sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini
sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik
pada bagianbagian tertentu dari sebuah objek misalnya pada
roda mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan
lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

2.2.4 Manifestasi Autis


ciri anak autis yang dapat diamati dalam lingkungan
sehari-hari adalah :
a. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan
2) Perilaku tak terarah; mondar mandir, lari-lari, manjat-
manjat, berputar-putar, lompat-lompat dan

20
sebagainya.
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Perilaku tak terarah
5) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda
yang bergerak (Yuwono, 2012).
b. Interaksi sosial
1) Tidak mau menjalin interaksi seperti :kontak mata,
ekpresi muka, posisi tubuh serta gerak gerik kurang
setuju
2) Kesulitan dalam bermain dengan orang lain
ataupun teman sebayanya.
3) Tidak empati, perilakunya hanya sebagai minat atau
kesenangan
4) Kurang bisa melakukan interaksi sosial dan
emosional 2 arah (Moore, 2010).
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non
verbal dengan bahasa tubuh
3) Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
4) Membeo (echolalia)
5) Tidak memahami pembicaraan orang lain (Nugraheni, 2008).
Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang
ditunjukkan anak autis berbeda-beda. Ciri-ciri yang muncul
pada anak autis yaitu :
a) Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal,
seperti terlambat bicara atau tidak dapat berbicara sama
sekali, mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat
dimengerti oleh orang lain. Disamping itu, dalam
berbicara tidak digunakan untuk komunikasi tapi hanya
meniru atau membeo bahkan beberapa anak sangat

21
pandai menirukan beberapa nyanyian maupun kata-kata
tanpa mengerti artinya, kadang bicara monoton seperti
robot, mimik mukanya datar, dan bila mendengar suara
yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.
b) Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak
menolak atau menghindar untuk bertatap muka, anak
mengalami ketulian, merasa tidak senang dan menolak
bila dipeluk, tidak ada usaha melakukan interaksi
dengan orang disekitarnya, jika ingin sesuatu ia akan
menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan
orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Disamping
itu, bila didekati untuk bermain justru menjauh, tidak
berbagi kesenangan dengan orang lain, kadang mereka
mendekati orang lain untuk makan atau duduk
dipangkuan sebentar kemudian berdiri tanpa
memperlihatkan mimic apapun,
c) Gangguan pada bidang perilaku dan bermain, seperti
tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton
dan melakukan gerakan yang sama berulang-ulang
sampai lama, jika sudah senang satu mainan tidak mau
mainan lain dan cara bermainnya pun aneh, terdapat
kelekatan dengan benda-benda tertentu, sering
melakukan perilaku rituslistik, dapat terlihat hiperaktif
sekali misalnya tidak dapat diam, lari ke sana kemari,
melompat-lompat, berputar-putar, dan memukul benda
berulang-ulang (Mulyati, 2010).

22
2.2.5 Pathway Autis

23
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Autis
Menurut autis center Undip, pemeriksaan laboratorium
seperti:
a. Pemeriksaan sitogenetik berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis penyakit lain seperti Fragile-X syndrome
sehingga diagnosis autis menjadi lebih tepat.
b. Pemeriksaan molekuler & kadar logam berat berguna untuk
menemukan kemungkinan faktor-faktor risiko autis. Hasil
pemeriksaan di atas nantinya bisa digunakan sebagai dasar untuk
pemberian saran-saran dalam konseling bagi orang tua anak autis.

2.3 ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder )


2.3.1 Definisi ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder )
Menurut Paternotte (2010 : 2) ADHD adalah singkatan dari
Attention Deficit Hyperactivity Disorder, atau dalam bahasa
Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH). Ini tidak berarti penyandang ADHD
mendapat perhatian yang kurang dari orangtua atau gurunya. Kita
membicarakan attention deficit (kekurangan pemusatan perhatian)
karena anak- anak ini mengalami kesulitan untuk melakukan
pemusatan perhatian terhadap tugas-tugas yang diberikan kepada
mereka. Sekalipun mempunyai motivasi yang baik, namun mereka
sangat sulit untuk mengerjakannya, dan kalaupun mengerjakannya
maka mereka menghabiskan banyak tenaga bila dibandingkan
dengan anak-anak lainnya. Menurut banyak pendapat, ADHD
sering diidentikkan dengan anak yang banyak gerak, padahal tidak
selalu demikian. Tidak semua penyandang ADHD mempunyai
perilaku yang banyak gerak dan tidak dapat diam. Lagi pula
banyak gerak dan tidak dapat diam bukanlah satu-satunya masalah
ketidakmampuannya untuk memfokuskan dan menjaga

24
perhatiannya pada satu hal adalah juga gejala ADHD (ADD adalah
bentuk ADHD yang tidak disertai dengan hiperaktivitas).
ADHD adalah istilah populer, kependekan dari attention
deficit hyperactivity disorder; (Attention = perhatian, Deficit =
berkurang, Hyperactivity = hiperaktif, dan Disorder = gangguan),
atau dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan
perhatian disertai hiperaktif. Istilah ini merupakan istilah yang
sering muncul pada dunia medis yang belakangan ini gencar pula
diperbincangkan dalam dunia pendidikan dan psikologi. Istilah ini
memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang disahkan
secara internasional mencakup disfungsi otak dimana individu
mengalami kesulitan dalam mengendalikan impuls, menghambat
perilaku, dan tidak mendukung tentang perhatian mereka. Jika hal
ini terjadi pada seorang anak dapat menyebabkan berbagai
kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan
kesulitan- kesulitan lain yang kait mengait. Jadi, jika didefinisikan
secara umum ADHD menjelaskan kondisi anak-anak yang
memperlihatkan simtom-simtom (ciri atau gejala) kurang
konsentrasi, hiperaktif dan impulsif yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka
(Baihaqi, 2008 : 2).

2.3.2 Etiologi ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder )

Penelitian terhadap penyebab ADHD masih tetap berlangsung,

laporan mengenai ADHD semakin hari juga semakin banyak. Sudah

sejak lama didiskusikan sama seperti gangguan psikiatrik lainnya

apakah ADHD sebenarnya adalah gangguan yang berasal dari

gangguan neurologis di otak, atau disebabkan oleh faktor

pengasuhan orang tua. Beberapa hal sebagai faktor penyebab ADHD

25
kini sudah semakin jelas, yaitu

a. Faktor genetik (Keturunan)

Dari penelitian faktor keturunan pada anak kembar dan

anak adopsi, tampak bahwa faktor keturunan membawa peran

sekitar 80%. Dengan kata lain bahwa sekitar 80% dari perbedaan

antara anak-anak yang mempunyai gejala ADHD di kehidupan

bermasyarakat akan ditentukan oleh faktor genetik. Anak dengan

orang tua yang menyandang ADHD mempunyai delapan kali

kemungkinan mempunyai resiko mendapatkan anak ADHD.

Namun, belum diketahui gen mana yang menyebabkan ADHD

(Paternotte&Buitelaar, 2010:17).

b. Faktor Fungsi otak

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa secara biologis ada dua

mekanisme di dalam otak yaitu pengaktifan sel-sel saraf (Eksitasi)

dan penghambat sel-sel saraf (Inhibisi). Pada reaksi eksitasi sel-sel

saraf terhadap adanya rangsangan dari luar adalah melalui panca

indra. Dengan reaksi inhibisi, sel-sel saraf akan mengatur bila

terlalu banyak eksitasi. Pada perkembangan seorang anak pada

dasarnya mengaktifkan sistem- sistem ini adalah perkembangan

terbanyak. Pada anak kecil, sistem pengereman atau sistem

hambatan belumlah cukup berkembang: setiap anak balita bereaksi

impulsif, sulit menahan diri, dan menganggap dirinya pusat dari

dunia. Umumnya sistem inhibisi akan mulai pada usia 2 tahun, dan

26
pada usia 4 tahun akan berkembang secara kuat. Tampaknya pada

anak ADHD perkembangan sistem ini lebih lambat, dan juga

dengan kapasitas yang lebih kecil. Sistem penghambat atau

pengereman di otak bekerja kurang kuat atau kurang mencukupi.

Dari penelitian juga disebutkan bahwa adanya neuro-anatomi dan

neuro-kimiawi yang berbeda antara anak yang menyandang ADHD

dan tidak (Paternotte&Buitelaar, 2010:19).

c. Faktor Lingkungan

Saat ini tidak lagi diperdebatkan apakan ADHD disebabkan

oleh lingkungan ataukah gen, namun sekarang lebih mengarah

pada bagaimana hubungan atau interaksi yang terjadi antara faktor

genetik dan lingkungan. Dengan kata lain, ADHD juga bergantung

pada kondisi gen tersebut dan efek negatiflingkungan, bila hal ini

terjadi secara bersamaan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan

penuh resiko. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan

secara luas, termasuk lingungan psikologis (relasi dengan orang

lain, berbagai kejadian dan penanganan yang telah diberikan),

lingkungan fisik (makanan, obat-obatan, menyinaran), lingkungan

biologis ( cedera otak, radang otak, komplikasi saat melahirkan)

(Paternotte&Buitelaar, 2010:18).

27
2.3.3 Manifestasi Klinis ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorder )

a. Gejala utama ADHD adalah sulit memusatkan perhatian, serta


berperilaku impulsif dan hiperaktif. Penderita tidak bisa diam
dan selalu ingin bergerak.
b. Gejala ADHD umumnya muncul pada anak-anak sebelum usia
12 tahun. Namun pada banyak kasus, gejala ADHD sudah
dapat terlihat sejak anak berusia 3 tahun. ADHD yang terjadi
pada anak-anak dapat terbawa hingga dewasa.

2.3.4 Pathway ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder )

28
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disorder )
Pemeriksaan untuk mendiagnosis ADHD meliputi
wawancara dan pemeriksaan fisik. Dokter akan melakukan
wawancara, baik dengan anak maupun dengan orang tua, guru, dan
pengasuh.
Secara umum, wawancara dan pemeriksaan ini bertujuan
untuk:
a. Mendiagnosis apakah anak menderita ADHD.
b. Mengetahui tingkat keparahan ADHD yang diderita
anak.

c. Mengetahui adanya penyakit lain yang menyebabkan


gejala yang dialami anak.

d. Mengetahui adanya gangguan mental lain pada anak.

e. Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan


pemeriksaan penunjang berupa hitung darah lengkap,
tes fungsi hati, tes fungsi tiroid, dan MRI otak.

2.3.6 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Menurut Hidayat (2005) pengkajian perkembangan anak
berdasarkan umur atau usia antara lain:
1. Neonatus (0-28 hari)
a. Apakah ketika dilahirkan neonatus menangis ?
a. Bagaimana kemampuan memutar-mutar kepala ?
b. Bagaimana kemampuan menghisap ?
c. Kapan mulai mengangkat kepala ?

29
d. Bagaimana kemampuan motorik halus anak (misalnya
kemampuan untuk mengikuti garis tengah bila kita
memberikan respons terhadap jari atau tangan) ?
e. Bagaimana kemampuan berbahasa anak (menangis,
bereaksi terhadap suara atau bel) ?
f. Bagaimana kemampuan anak dalam beradaptasi (misalnya
tersenyum dan mulai menatap muka untuk mengenali seseorang ?
2. Masa bayi /Infant (28 – 1 tahun)
1. Bayi usia 1-4 bulan.
a. Bagaimana kemampuan motorik kasar anak (misalnya
mengangkat kepala saat tengkurap, mencoba duduk sebentar
dengan ditopang, dapat duduk dengan kepala tegak, jatuh
terduduk dipangkuan ketika disokong pada posisi berdiri,
komtrol kepala sempurna, mengangkat kepala sambil berbaring
terlentang, berguling dari terlentang ke miring, posisi lengan
dan tungkai kurang fleksi danm berusaha untuk merangkan) ?
b. Bagaimanan kemampuan motorik halus anak (misalnya
memegang suatu objek, mengikuti objek dari satu sisi ke sisi
lain, mencoba memegang benda dan memaksukkan dalam
mulut, memegang benda tetapi terlepas, memperhatikan tangan
dan kaki, memegang benda dengan kedua tangan, menagan
benda di tangan walaupun hanya sebentar)?
c. Bagimana kemampuan berbahasan anak (kemampuan bersuara
dan tersenyum, dapat berbunyi huruf hidup, berceloteh, mulai
mampu mengucapkan kata ooh/ahh, tertawa dan berteriak,
mengoceh spontan atau berekasi dengan mengoceh) ?
d. Bagaimana perkembangan adaptasi sosial anak (misalnya :
mengamati tangannya, tersenyum spontan dan membalas
senyum bila diajak tersenyum, mengenal ibunya dengan
penglihatan, penciuman, pendengaran dan kontak, tersenyum
pada wajah manusia, walaupun tidur dalams ehari lebih sedikit

30
dari waktu terhaga, membentuk siklus tidur bangun, menangis
menjadi sesuatu yang berbeda, membedakan wajah-wajah yang
dikenal dan tidak dikenal, senang menatap wajah-wajah yang
dikenalnya, diam saja apabila ada orang asing) ?
2. Bayi Umur 4-8 bulan
a. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya dapat
telungkup pada alas dan sudah mulau mengangkat kepala
dengan melakukan gerakan menekan kedua tangannya dan pada
bulan keempat sudah mulai mampu memalingkan ke kanan dan
ke kiri , sudah mulai mampu duduk dengan kepala tegak, sudah
mampu membalik badan, bangkit dengan kepala tegak,
menumpu beban pada kaki dan dada terangkat dan menumpu
pada lengan, berayun ke depan dan kebelakang, berguling dari
terlentang ke tengkurap dan dapat dudu dengan bantuan selama
waktu singkat) ?
b. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya : sudah
mulai mengamati benda, mulai menggunakan ibu jari dan jari
telunjuk untuk memegang, mengeksplorasi benda yangs edang
dipegang, mengambil objek dengan tangan tertangkup, mampu
menahan kedua benda di kedua tangan secara simultan,
menggunakan bahu dan tangan sebagai satu kesatuan,
memindahkan obajek dari satu tangan ke tangan yang lain) ?
c. Bagaimana kemampuan berbahasan anak (misalnya : menirukan
bunyi atau kata-kata, menolek ke arah suara dan menoleh ke
arah sumber bunyi, tertawa, menjerit, menggunakan vokalisasi
semakin banyak, menggunakan kata yang terdiri dari dua suku
kata dan dapat membuat dua bunyi vokal yang bersamaan
seperti ba-ba)?
d. Bagaimana kemampuan beradaptasi sosial anak (misalnya
merasa terpaksa jika ada orang asing, mulai bermain dengan

31
mainan, takut akan kehadiran orang asing, mudah frustasi dan
memukul-mukul dengan lengan dan kaki jika sedang kesal)?

3. Bayi Umur 8-12 bulan


a. Bagaimana kemampuan motorik kasar anak (misalnya duduk
tanpa pegangan, berdiri dengan pegangan, bangkit terus berdiri,
berdiri 2 detik dan berdiri sendiri) ?
b. Bagaimana kemampuan motorik halus anak (misalnya mencari
dan meraih benda kecil, bila diberi kubus mampu
memindahkannya, mampu mengambilnya dan mampu
memegang dengan jari dan ibu jari, membenturkannya dan
mampy menaruh benda atau kubus ketempatnya)?
c. Bagaimana perkembangan berbahasa anak (misalnya : mulai
mengatakan papa mama yang belum spesifik, mengoceh hingga
mengatakan dengan spesifik, dapat mengucapkan 1-2 kata)?
d. Bagaimana perkembangan kemampuan adaptasi sosial anak
(misalnya kemampuan bertepuk tangan, menyatakan keinginan,
sudah mulai minum dengan cangkir, menirukan kegiatan orang
lain, main-main bola atau lainnya dengan orang) ?
1. Masa Toddler
a. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya: mampu
melanhkah dan berjalan tegak, mampu menaiki tangga dengan cara
satu tangan dipegang, mampu berlari-lari kecil, menendang bolan
dan mulai melompat)?
b. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya : mencoba
menyusun atau membuat menara pada kubus)?
c. Bagaimana kemampuan berbahasa anak (misalnya : memiliki
sepuluh perbendaharaan kata, mampu menirukan dan mengenal
serta responsif terhadap orang lain sangat tinggi, mampu

32
menunjukkan dua gambar, mampu mengkombinasikan kata-kata,
mulai mampu menunjukkan lambaian anggota badan) ?
d. Bagaimana kemampuan anak dalam beradaptasi sosial (misalnya:
membantu kegiatan di rumah, menyuapi boneka, mulai menggosok
gigi serta mencoba memakai baju) ?
2. Masa Prasekolah (Preschool)
a. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya:
kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1-5 detik,
melompat dengan satu kaki, berjalan dengan tumit ke jari kaki,
menjelajah, membuat posisi merangkan dan berjalan dengan
bantuan) ?
b. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya :
kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki, menggambar dua atau
tiga bagian, memilih garis yang lebih panjang dan menggambar
orang, melepas objek dengan jari lurus, mampu menjepit benda,
melambaikan tangan, menggunakan tangannya untuk bermain,
menempatkan objek ke dalam wadah, makan sendiri, minum dari
cangkir dengan bantuan menggunakan sendok dengan bantuan,
makan dengan jari, membuat coretan diatas kertas)?
c. Bagaimana perkembangan berbahasa anak (misalnya : mampu
menyebutkan empat gambar, menyebutkan satu hingga dua warna,
menyebutkan kegunaan benda, menghitung atau mengartikan dua
kata, mengerti empat kata depan, mengertio beberapa kata sifat dan
sebagainya, menggunakan bunyi yntum mengidentifikasi objek,
orang dan aktivitas, menirukan bebagai bunyi kata, memahami arti
larangan, berespons terhadap panggilan dan orang-orang anggota
keluarga dekat)?
d. Bagaimana perkembangan adaptasi sosial anak (misalnya : bermain
dengan permainan sederhana, menagis jika dimarahi, membuat
permintaan sederhana dengan gaya tubuh, menunjukkan

33
peningkatan kecemasan terhadap perpisahan, mengenali anggota
keluarga) ?

3. Masa school age


a. Bagaimana kemampuan kemandirian anak dilingkungan luar
rumah ?
b. Bagaimana kemampuan anak mengatasi masalah yang dialami
disekolah ?
c. Bagaimana kemampuan beradaptasi sosial anak (menyesuaikan
dengan lingkungan sekolah)?
d. Bagaimana kepercayaan diri anak saat berada di sekolah ?
e. Bagaimana rasa tanggung jawab anak dalam mengerjakan tugas di
sekolah?
f. Bagaimana kemampuan anak dalam berinteraksi sosial dengan
teman sekolah ?
g. Bagaimana ketrampilan membaca dan menulis anak ?
h. Bagaimana kemampua anak dalam belajar di sekolah ?
4. Masa adolensence
a. Bagaimana kemampuan remaja dalam mengatasi masalah yang
dialami secara mandiri ?
b. Bagaimanan kemampuan remaja dalam melakukan adaptasi
terhadap perubahan bentuk dan fungsi tubuh yang dialami ?
c. Bagaimana kematangan identitas seksual ?
d. Bagaimana remaja dapat menjalankan tugas perkembangannya
sebagai remaja ?
e. Bagaiman kemampuan remaja dalam membantu pekerjaan orang
tua di rumah (misalnya membersihkan rumah,memasak)
Menurut Videbeck (2008) pengkajian anak yang
mengalami Attention Deficyt Hiperactivity Disorder (ADHD) antara lain :
1. Pengkajian riwayat penyakit

34
a. Orang tua mungkin melaporkan bahwa anaknya rewel dan
mengalami masalah saat bayi atau perilaku hiperaktif hilang tanpa
disadari sampai anak berusia todler atau masuk sekolah atau day
care.
b. Anak mungkin mengalami kesulitan dalam semua bidang kehidupan
yang utama, seperti sekolah atau bermain dan menunjukkan
perilaku overaktif atau bahkan perilaku yang membahayakan di
rumah.
c. Berada diluar kendali dan mereka merasa tidak mungkin mampu
menghadapi perilaku anak.
d. Orang tua mungkin melaporkan berbagai usaha mereka untuk
mendisplinkan anak atau mengubah perilaku anak dans emua itu
sebagian besar tidak berhasil.
2. Penampilan umum dan perilaku motoric
a. Anak tidak dapat duduk tenang di kursi dan mengeliat serta
bergoyang-goyang saat mencoba melakukannya.
b. Anak mungkin lari mengelilingi ruangan dari satu benda ke benda
lain dengan sedikit tujuan atau tanpa tujuan yang jelas.
c. Kemampuan anak untuk berbicara terganggu, tetapi ia tidak dapat
melakukan suatu percakapan, ia menyela, menjawab pertanyaan
sebelum pertanyaan berakhir dan gagal memberikan perhatian pada
apa yang telah dikatakan.
d. Percakapan anak melompat-lompat secara tiba-tiba dari satu topik
ke topik yang lain. Anak dapat tampak imatur atau terlambat tahap
perkembangannya
3. Mood dan Afek
a. Mood anak mungkin labil, bahkan sampai marah-marah atau temper
tantrum.
b. Ansietas, frustasi dan agitasi adalah hal biasa.
c. Anak tampak terdorng untuk terus bergerak atau berbicara dan
tampak memiliki sedikit kontrol terhadap perilaku tersebut.

35
d. Usaha untuk memfokuskan perhatian anak dapat menimbulkan
perlawanan dan kemarahan

4. Proses dan isi piker


Secara umum tidak ada gangguan pada area ini meskipun sulit
untuk mengkaji anak berdasarkan tingkat aktivitas anak dan usia atau
tahap perkembangan
5. Sensorium dan proses intelektual
a. Anak waspada dan terorientasi, dan tidak ada perubahan sensori
atau persepsi seperti halusinasi.
b. Kemampuan anak untuk memberikan perhatian atau berkonsentrasi
tergangguan secara nyata.
c. Rentang perhatian anak adalah 2 atau 3 detik pada ADHD yang
berat 2 atau 3 menit pada bentuk gangguan yang lebih ringan.
d. Mungkin sulit untik mengkaji memori anak, ia sering kali
menjawab, saya tidak tahu, karena ia tidak dapat memberi perhatian
pada pertanyaan atau tidak dapat berhenti memikirkan sesuati.
e. Anak yang mengalami ADHD sangat mudah terdistraksi dan jarang
yang mampu menyelesaikan tugas
6. Penilaian dan daya tilik diri
a. Anak yang mengalami ADHD biasanya menunjukkan penilaian
yang buruk dan sering kali tidak berpikir sebelum bertindak
b. Mereka mungkin gagal merasakan bahaya dan melakukan tindakan
impulsif, seperti berlari ke jalan atau melompat dari tempat yang
tinggi.
c. Meskipun sulit untuk mengkaji penilaian dan daya tilik pada anak
kecil.
d. Anak yang mengalami ADHD menunjukkan kurang mampu menilai
jika dibandingkan dengan anak seusianya.

36
e. Sebagian besar anak kecil yang mengalami ADHD tidak menyadari
sama sekali bahwa perilaku mereka berbeda dari perilaku orang
lain.
f. Anak yang lebih besar mungkin mengatakan, "tidak ada yang
menyukaiku di sekolah", tetapi mereka tidak dapat menghubungkan
kurang teman dengan perilaku mereka sendiri.
7. Konsep diri
a. Hal ini mungkin sulit dikaji pada anak yang masih kecil, tetapis
ecara umum harga diri anak yang mengalami ADHD adalah rendah.
b. Karena mereka tidak berhasil di sekolah, tidak dapat mempunyai
banyak teman, dan mengalami masalah dalam mengerjakan tugas di
rumah, mereka biasanya merasa terkucil sana merasa diri mereka
buruk.
c. Reaksi negatif orang lain yangmuncul karena perilaku mereka
sendiri sebagai orang yang buruk dan bodoh
8. Peran dan hubungan
a. Anak biasanya tidak berhasil disekolah, baik secara akademik
maupun sosial.
b. Anak sering kali mengganggu dan mengacau di rumah, yang
menyebabkan perselisihan dengan saudara kandung dan orang tua.
c. Orang tua sering menyakini bahwa anaknya sengaja dan keras
kepala dan berperilaku buruk dengan maksud tertentu sampai anak
yang didiagnosis dan diterapi.
d. Secara umum tindakan untuk mendisiplinkan anak memiliki
keberhasilan yang terbatas pada beberapa kasus, anak menjadi tidak
terkontrol secara fisik, bahkan memukul orang tua atau merusak
barang-barang miliki keluarga.
e. Orang tua merasa letih yang kronis baik secara mental maupun
secara fisik.

37
f. Guru serungkali merasa frustasi yang sama seperti orang tua dan
pengasuh atau babysister mungkin menolak untuk mengasuh anak
yang mengalami ADHD yang meningkatkan penolakan anak.

9. Pertimbangan fisiologis dan perawatan diri


Anak yang mengalami ADHD mungkin kurus jika mereka tidak
meluangkan waktu untuk makan secara tepat atau mereka tidak dapat
duduk selama makan. Masalah penenangan untuk tidur dan kesulitan
tidur juga merupakan masalah yang terjadi. Jika anak melakukan
perilaku ceroboh atau berisiko, mungkin juga ada riwayat cedera fisik.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan proses pikir.
2. Resiko cedera berhubungan dengan impulsivitas, ketidakmampuan
mendeteksi bahaya.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif
4. Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang
disfungsi /koping idividu tidak efektif.
5. Ketidakefektifankoping  individu berhubungan dengankelainan fungsi
darisystem keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta
penganiayaan dan penelantaran anak.

C. Intervensi
1. Dx 1 : kerusakan interaksi social berhubungan dengan perubahan proses
pikir.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan interaksi
sosial berjalan baik.
Kriteria Hasil:
1. Interaksi dengan teman.
2. Interaksi dengan tetangga
3. Interaksi dengan keluarga

38
4. Ikut serta dalam aktivitas luang
5. Ikut serta dalam aktivitas sukarela
Intervensi:
1. Anjurkan klien dalam membangun hubungan teman, keluarga.
R/ membangun hubungan dengan teman dan keluarga dapat
memberikan stimulus pada anak untuk berinteraksi.
2. Anjurkan beraktivitas sosial dan komunitas
R/ aktivitas sosial dan komunitas dapat membentuk perilaku anak
yang positif. 
3. Anjurkan penggunaan komunikasi verbal
R/ penggunaan komunikasi verbal mengajarkan anak untuk
berkomunikasi dengan baik.
4. Berikan tanggapan positif ketika klien bergaul dengan yang lain
R/ tanggapan positif pada anak dapat menimbulkan rasa percaya
diri anak dalam bergaul dengan orang lain. 
5. Anjurkan merencanakan kelompok kecil untuk aktivitas tertentu
R/ kelompok kecil dapat memberikan stimulus pada anak dalam
berinteraksi dengan baik.

2. Dx 2 : Resiko cedera berhubungan dengan impulsivitas,


ketidakmampuan mendeteksi bahaya.
Tujuan : Anak tidak akan melukai diri sendiri atau orang lain dan dapat
mendeteksi bahaya.
Kriteria Hasil :
1. Kecemasan dipertahankan pada tingkat di mana pasien merasa
tidak perlu melakukan agresi.
2. Anak mencari staf untuk mendiskusikan perasaan-perasaan yang
sebenarnya.
3. Anak mengetahui, mengungkapkan dan menerima kemungkinan
konsekuensi dari perilaku maladaptif diri sendiri.
Intervensi:

39
1. Amati perilaku anak secara sering. Lakukan hal ini melalui
aktivitas sehari-hari dan interaksi untuk menghindari timbulnya
rasa waspada dan kecurigaan
R/ Anak-anak pada risiko tinggi untuk melakukan pelanggaran
memerlukan pengamatan yang seksama untuk mencegah tindakan
yang membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain
2. Amati terhadap perilaku-perilaku yang mengarah pada tindakan
bunuh diri
R/ Peryataan-pernyataan verbal seperti "Saya akan bunuh diri, "
atau "Tak lama ibu saya tidak perlu lagi menyusahkan diri karena
saxa" atau perilaku-perilaku non verbal seperti memnbagi-bagikan
barang-barang yang disenangi, alam perasaan berubah.
Kebanyakan anak yang mencoba untuk bunuh diri telah
menyampaikan maksudnya, baik secara verbal atau nonverbal.
3. Dapatkan kontrak verbal ataupun tertulis dari anak yang
menyatakan persetujuannya untuk tidak mencelakaka diri sendiri
dan menyetujui untuk mencari staf pada keadaan dimana pemikiran
kearah tersebut timbul
R/ Diskusi tentang perasaan-perasaan untuk bunuh diri dengan
seseorang yang dipercaya memberikan suatu derajat perasaan lega
pada anak. Suatu perjanjian membuat permasalahan menjadi
terbuka dan menempatkan beberapa tanggung jawab bagi
keselamatan dengan anak. Suatu sikap menerima anak sebagai
seseorang yang patut diperhatikan telah disampaikan.
4. Bantu anak mengenali kapan kemarahan terjadi dan untuk
menerima perasaan-perasaan tersebut sebagai miliknya sendiri.
Apakah anak telah menyimpan suatu : buku catatan kemarahan"
dimana catatan yang dialami dalam 24 jam disimpan.
R/ Informasi mengenai sumber tambahan dari merahan, respon
perilaku dan persepsia nak terhadap situasi juga harus dicatat.

40
Diskusikan asupan data dengan anak, anjurkan juga respons-
respons perilaku alternatif yang diidentifikasi sebagai maladaptif.
5. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan
anak
R/ Keselamatan fisik anak adalah prioritas dari keperawatan.
6. Berikan obat-obatan penenang sesuai dengan pesanaan dokter atau
dapatkan pesanaan jika diperlukan. Pantau kefektifan obat-obatan
dan efek –sfek samping yang merugikan
R/ Obat-obatan antiansietas (misalnya diazepam, klordiazepoksida,
alprazolam) memberikan perasaan terbebas dari efek-efek
imobilisasi dari ansietas dan memudahkan kerjasama anak dengan
terapi.
3. Dx 3 : Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif
Tujuan : Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6
sampai 7 jamn setiap malam.
Kriteria Hasil:
1. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada
waktu tidur
2. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat
3. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama
6 sampai 7 jam tanpa terbangun
Intervensi :
1. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu
tidur
R/ Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat diberikan
2. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan
dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu
R/ Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu pola tidur
anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya
3. Duduk dengan anak sampai dia tertidur
R/ kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman

41
4. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kafein
dihilangkan dari diet anak
R/ Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu tidur
5. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya : gosok
punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu
hangat dan mandi air hangat)
R/ Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa
tidur
6. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari
jadwal ini
R/ Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada suatu siklus
rutin dari istirahat dan aktivitas
7. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada
malam hari dan dalam keadaan ketakutan
R/ Kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman
4. Dx 4: Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang
disfungsi /koping idividu tidak efektif.
Tujuan :Anak memperlihatkan perasaan-perasaan nilai diri yang
meningkat saat pulang, ditandai dengan
Kriteria Hasil:
1. Mampu mengungkapkan persepsi yang positif tentang diri
2. Anak berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas baru tanpa
memperlihatkan rasa takut yang ektrim terhadap kegagalan.
Intervensi:
1. Pastikan bahwa sasaran-sasaran yang akan dicapat adalah realistis
R/ Hal ini penting bagi pasien untuk mencapai sesuatu, maka
rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukse
adalah mungkin dan kesuksesan ini dapat meningkatkan harga diri
anak
2. Sampai kan perhartian tanpa syarat bagi pasien

42
R/  Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadap anak sebagai
makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri
3. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada satu ke satu basis
dan pada aktivitas-aktivitas kelompok
R/ Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa
bahwa dia berharga bagi waktu anda
4. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari
diri anak
R/ Aspek positif yang dimiliki anak dapat mengembangkan
rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang dilihatnya
sebagai hal yang negatif.
5. Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu
mekanisme sikap defensive
R/ Memberikan bantuan yang positif bagi identifikasi amsalah dan
pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif.
Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan
meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima
oleh pasien.
6. Memberikan dorongan dan dukungan kepada pasien dalam
menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti
aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru dan
berikan pengakuan tentang kerja keras yang berhasil dengan
penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan
R/ Pengakuan dan pengyatan positif meningkatkan harga
diri                       
7. Beri umpan balik positif kepada klien jika melakukan perilaku
yang mendekati pencapaian tugas
R/ Pendekatan ini yang disebut shaping adalah prosedur perilaku
ketika pendekatan yang beturut-turut akan perilaku yang
diinginkan, dikuatkan secara positid. Hal ini memungkinkan untuk

43
memberikan penghargaan kepada klien saat ia menunjukkan
harapan yang sebenarnya secara bertahap.

5. Dx 5: Ketidakefektifan koping  individu berhubungan dengankelainan


fungsi dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta
penganiayaan dan penelantaran anak.
Tujuan : Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping
yang sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial.
Kriteri Hasil:
1. Anak mampu penundaan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa
terpaksa untuk menipulasi orang lain.
2. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat
diterima secara sosial.
3. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping
alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya
hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai
respons terhadap rasa frustasi.
Intervensi:
1. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis.
R/ Penting untuk anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana
untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukses adalah
mungkin. Sukses meningkatkan harga.
2. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak.
R/ Komunikasi dari pada penerimaan Anda terhadapnya sebagai
makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga.
3. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada satu ke satu basis
dan pada aktivitas-aktivitas kelompok.
R/ Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa
bahwa ia berharga untuk waktu anda.

44
4. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positis dari
dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah
karakteristik yang melihatnya sebagai negatif.
R/ Identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu
mengembangkan aspek positif sehingga memiliki koping individu
yang efektif.
5. Bantu anak mengurangi penyangkalan sebagai suatu mekanisme
bersikap membela.
R/ Penguatan ypositif membantu meningkatkan harga diri dan
meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima
oleh anak.
6. Beri pengakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan
positif untuk usaha-usaha yang dilakukan.

R/ Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri

45
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Retardasi Mental adalah keadaan dengan intelegensi yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi
gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga
oligofrenia (oligo=kurang atau sedikit dan fren=jiwa) atau tuna mental.
Kata Autisme, diambil dari kata Yunani “autos” = “aku”, dalam pengertian
non ilmiah mudah menimbulkan interpretasi yaitu bahwa semua anak yang
bersikap sangat mengarah kepada dirinya sendiri karena sebab apapun, disebut
autistik. Menurut Kanner seperti dikutip Noer Rohmah menjelaskan autisme
merupakan suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak pada tahun-tahun
penghidupan pertama. Dugaan akan sebab-sebabnya ada bermacam-macam.Autis
adalah sindroma (kumpulan gejala) di mana terjadi penyimpangan perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak
autis seperti hidup dalam dunianya sendiri.
Autis tidak termasuk golongan penyakit, tetapi suatu kumpulan gejala
kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Anak autis tidak mampu
bersosialisasi, mengalami kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-
ulang serta tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya. Dengan kata lain, pada
anak autis terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervatif).
Autisme adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri,
baik cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia
masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autis bisa menimpa siapa saja,
tanpa membedakan warna kulit, status sosial, Ekonomi, maupun pendidikan
seseorang.

46
ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder,
atau dalam bahasa Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH). Ini tidak berarti penyandang ADHD mendapat perhatian
yang kurang dari orangtua atau gurunya. Kita membicarakan attention deficit
(kekurangan pemusatan perhatian) karena anak- anak ini mengalami kesulitan
untuk melakukan pemusatan perhatian terhadap tugas-tugas yang diberikan
kepada mereka. Sekalipun mempunyai motivasi yang baik, namun mereka sangat
sulit untuk mengerjakannya, dan kalaupun mengerjakannya maka mereka
menghabiskan banyak tenaga bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Menurut banyak pendapat, ADHD sering diidentikkan dengan anak yang banyak
gerak, padahal tidak selalu demikian. Tidak semua penyandang ADHD
mempunyai perilaku yang banyak gerak dan tidak dapat diam. Lagi pula banyak
gerak dan tidak dapat diam bukanlah satu-satunya masalah ketidakmampuannya
untuk memfokuskan dan menjaga perhatiannya pada satu hal adalah juga gejala
ADHD (ADD adalah bentuk ADHD yang tidak disertai dengan hiperaktivitas).

3.2 Saran

Diharapkan setelah membaca makalah ini pembaca dapat mengerti terkait


dengan retinoblastoma dan dapat menambah wawasan tentang penanganan
retinoblastoma berdasarkan isi makalah ini demi mewujudkan makalah yang lebih
baik diharapkan pembaca memberikan kritik dan saran tentang pembahasan isi
makalah ini agar dapat menyempurnakan isi makalah yang sudah di buat oleh
penulis.

47
DAFTAR ISI

Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, (Yogyakarta: Kata Hati, 2010),
hlm. 57.

Ardi, 20013. Askep Anak dengan ADHD. Dalam  http://blogger-


ardi30.blogspot.com /2013/04/askep-anak-dengan-attention-deficyt.html

Bandi Delphie, Pendidikan Anak Autis, (Yogyakarta: Intan Sejati Klaten,


2009), hlm. 93-94.

Hasdianah HR, Autis pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan


Pengobatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), hlm. 71.

Heri, 2012. Asuhan Keperawatan Anak dengan Hiperaktif. From:


http://mydocumentku.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-anak-
dengan_8226.html diakses tanggal 18 Mei 2020

Hermawati, D. Utari, A. dkk. 2014. Penerapan Pemeriksaan Dan Terapi


Komprehensif Terhadap Anak Autis. Majalah Info Issn : 0852 – 1816 Edisi
Xvi, Nomor 3. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro; Semarang.

Kaplan, M.D., Halord I, Sadock, M.D., Benjamin J., Grebb, M.D., Jack A. 2010.
Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Terjemahan Dr. Widjaja Kusuma. Tangerang:
Binarupa Aksara.

Leni Susanti, Kisah-kisah Motivasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus Autis,


(Jogjakarta; Javalitera, 2014), hlm. 12.

Logaritma, Nia. 2012. Laporan Pendahuluan dan Askep Anak Hiperaktif.


http://www.academia.edu/6559812/Laporan_Pendahuluan_dan_Askep_Anak
_Hiperaktif . Diakses tanggal 18 Mei 2020

48
Meliastari. 2012. Mengurangi Hiperaktifitas Pada Anak Attention
Deficit/Hiperactivity Disorder (Adhd) Melalui Permainan Tradisional
Teropa Tempurung (Single Subject Research Kelas Iii Di Slb Negeri Lima
Kaum). http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=24428&val=1496. Diakses 18 Mei 2020

Mirza Maulana, Anak Autis, Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental
Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat, (Jogjakarta: Ar-Rruz Media
Group. 2010), hlm. 14.

Nattaya Lakshita, Panduan Simpel Mendidik Anak Autis,


(Jogjakarta: Javalitera, 2013), hlm. 37.

Noer Rohmah, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 115.

Nurhayati, Hanik Endang. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.


Jakarta :Salemba Medika

Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika

Santya, Kadek. 2012. “Askep Anak Hiperaktif” dalam


http://kadeksantya.blogspot.com/2012/05/contoh-askep-anak-
hiperaktif.html

Sharma, A. & Couture, J. (2013). A Review of the Pathophysiology, Etiology, and


Treatment of Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Annals of Pharmacotherapy, 48(2), pp. 209–225. 

Siswati, Novita. 2010. Pengaruh Social Stories Terhadap Keterampilan Sosial


Anak Dengan Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (Adhd) Studi
Eksperimental Desain Kasus Tunggal Di Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/2955/2641.
Diakses 18 Mei 2020
Tomac, et al. (2017). Etiology and the Genetic Basis of Intellectual Disability in
the Pediatric Population 1. See Med J, 1(1), pp. 144-153.

49

Anda mungkin juga menyukai