Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pembahasan Teori

2.1.1 Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita

Soal cerita merupakan soal yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.

Soal cerita merupakan permasalahan yang dinyatakan dalam bentuk kalimat

bermakna dan mudah dipahami (Wijaya, 2012). Soal cerita dapat disajikan

dalam bentuk lisan maupun tulisan, soal cerita yang berbentuk tulisan berupa

sebuah kalimat yang mengilustrasikan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari

(Ashlock, 2003). Menurut Suyitno (2005) soal cerita adalah soal yang dikaitkan

dengan kehidupan sehari-hari (contextual problem).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkana bahwa soal cerita

matematika adalah soal yang disajikan dalam bentuk soal cerita yang

menggambarkan permasalahan sehari-hari. Soal cerita berguna untuk

menerapkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa sebelumnya. Kehadiran soal

cerita dalam setiap akhir pokok bahasan dalam pelajaran matematika

dimaksudkan agar siswa mengetahui manfaat/kegunaan dari pokok bahasan

yang telah dipelajarinya.

Kemampuan menyelesaikan soal cerita merupakan kemampuan soal cerita

yaitu soal-soal yang berhubungan dengan permasalahan yang ada dalam

kehidupan sehari-hari (Rhomadina, 2007). Kemampuan menyelesaikan soal

cerita sangat dibutuhkan anak dalam pembelajaran matematika disekolah karena

hal ini penting untuk dikuasai oleh anak.

6
7

Suatu soal matematika akan menjadi masalah bagi peserta didik, jika

peserta didik tersebut: 1) memiliki pengetahuan atau materi prasyarat untuk

menyelesaikan soalnya; 2) diperkirakan memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan soalnya; 3) belum mempunyai algoritma atau prosedur untuk

menyelesaikannya; 4) punya keinginan untuk menyelesaikannya (Suyitno,

2006).

Dalam menyelesaikan soal cerita terdapat langkah-langkah yang harus

dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah. Langkah-langkah dalam

menyelesaikan soal cerita matematika menurut Hudojo (2003) adalah sebagai

berikut: 1) Sedapat mungkin peserta didik membaca soal cerita; 2) Memberi

pertanyaan untuk mengetahui bahwa soal cerita sudah dimengerti oleh peserta

didik. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya: siswa untuk dapat memecahkan dan

menyelesaikan masalah dalam bentuk: (a) “Apa yang diketahui dari soal itu?”

(b) “Apa saja yang dapat diperoleh dari soal itu?” (c) “Apa yang akan dicari?”

(d) “Bagaimana cara menyelesaikan soal itu?”; 3) Rencana metode penyelesaian

dengan meminta peserta didik untuk memilih operasi dan menjelaskan mengapa

operasi itu dapat dipergunakan menyelesaikan soal yang dimaksud; 4)

Menyelesaikan soal cerita; 5) Mendiskusikan jawaban yang diperoleh dan

menginterpretasikan hasil tersebut dalam konteks soal cerita itu.

Soal cerita penting untuk diberikan kepada siswa guna melatih siswa

dalam menyelesaikan masalah. Namun sayangnya, banyak siswa yang

melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita. Kesalahan-kesalahan

dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita yaitu kesalahan memahami


8

soal, kesalahan melakukan komputasi, dan kesalahan menginterpretasikan

jawaban model matematika.

Dalam memecahkan suatu masalah matematika ada beberapa strategi yang

dapat digunakan, tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Salah satu

strategi untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam

menyelesaikan soal cerita yaitu bisa dengan menerapkan strategi pemecahan

masalah yang disusun oleh Polya (Syaputri, 2019). George Polya outlines the

following four-step process for solving problems. 1) Understanding the problem

(pemahaman masalah) Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini yaitu

memahami kalimat, mengubah masalah dengan kalimat matematika,

mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan; 2) devising a

plan (perencanaan sebuah masalah) Peserta didik mencoba mencari atau

mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan

masalah yang akan dipecahkan; 3) carrying out the plan (pelaksanaan rencana)

Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini yaitu menjalankan prosedur yang

telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian; 4)

looking back (peninjauan kembali) Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini

adalah menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan

hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah

prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang

sejenis atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya (Faroh, 2011).

Indikator yang menunjukkan kemampuan menyelesaikan soal cerita adalah

memahami masalah, menyajikan masalah kedalam bentuk matematika dan dapat

menyelesaikan masalah dengan tepat. Diungkapkan oleh Fitrianik (Faroh, 2011)


9

bahwa siswa mampu memecahkan masalah ditunjukkan oleh kemampuan: 1)

Memahami masalah. 2) Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai

bentuk. 3) Memilih metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah. 4)

Menyelesaikan masalah. 5) Menafsirkan jawaban.

Indikator keberhasilan siswa memecahkan masalah menurut Wardani

(Faroh, 2011) ditunjukkan oleh kemampuan sebagai berikut: 1) Menunjukkan

pemahaman masalah. 2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang

relevan dalam pemecahan masalah. 3) Menyajikan masalah secara matematik

dalam berbagai bentuk. 4) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah

secara tepat. 5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah. 6) Membuat dan

menafsirkan model matematika dari suatu masalah. 7) Menyelesaikan masalah

yang tidak rutin.

Berdasarkan beberapa indikator mengenai kemampuan menyelesaikan soal

diatas maka peneliti menetapkan indikator kemampuan menyelesaikan soal

cerita pada peneitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menunjukkan pemahaman

masalah; 2) menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk; 3)

memilih metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah; 4) menyelesaikan

masalah.

2.1.2 Kemampuan Penalaran Matematika

Nalar merupakan bentuk dasar dari kata penalaran yang mempunyai arti

pertimbangan tentang baik buruk, kekuatan pikir atau aktivitas yang

memungkinkan seseorang berpikir logis. Sedangkan penalaran yaitu cara


10

menggunakan nalar atau proses mental dalam dalam mengembangkan pikiran

dari beberapa fakta atau prinsip.

Kemampuan penalaran matematik (mathematical reasoning) sangat

penting dalam pemahaman matematika, mengeksplor ide, memperkirakan

solusi, dan menerapkan ekspresi matematik dalam konteks matematika yang

relevan, serta memahami bahwa matematika itu bermakna (Sumarmo dalam

Inayah, 2017). Kemampuan penalaran matematik sangat diperlukan untuk

mencapai hasil belajar matematika dengan baik. Peningkatan kemampuan

bernalar siswa selama proses pembelajaran sangat diperlukan guna mencapai

keberhasilan. Semakin tinggi tingkat penalaran yang dimiliki oleh siswa, maka

akan lebih mempercepat proses pembelajaran guna mencapai indikator-indikator

pembelajaran. Shodiq (2005) menyatakan bahwa penalaran adalah suatu

kegiatan berpikir khusus, dimana terjadi suatu penarikan kesimpulan, dimana

pernyataan disimpulkan dari beberapa premis. Matematika dan proses penalaran

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Matematika dapat dipahami

melalui proses penalaran dan proses penalaran dapat dilatih melalui belajar

matematika.

Kesimpulan yang dapat di ambil dari uraian diatas adalah kemampuan

siswa dalam pemecahan masalah, kemampuan penalaran merupakan suatu

komponen yang harus dimiliki oleh siswa. Penalaran matematis merupakan

suatu proses berpikir yang dilakukan dengan cara untuk menarik kesimpulan.

Penalaran matematis penting untuk mengetahui dan mengerjakan matematika.

Kemampuan penalaran dapat membantu siswa memecahkan masalah dalam

kehidupan sehari-hari.
11

Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran matematika bila ia mampu

menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika

dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan

pernyataan matematika. Dalam kaitan ini, pada penjelasan teknis Peraturan

Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November

2004 tentang rapor diuraikan bahwa indikator siswa yang memiliki kemampuan

dalam penalaran matematika adalah: a) Mengajukan dugaan; b) Melakukan

manipulasi matematika; c) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan

alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; d) Menarik kesimpulan dari

pernyataan; e) Memeriksa kesahihan suatu argument; f) Menemukan pola atau

sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

Dalam kemampuan penalaran tentu saja memiliki suatu indikator, Wardani

(2008) menyatakan penalaran matematika memiliki indikator-indikator yang

harus terpenuhi, antara lain: a) Mengajukan dugaan; b) Melakukan manipulasi

matematika; c)Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberi alasan terhadap

kebenaran solusi; d) Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan; e) Memeriksa

kesahihan suatu argument; f) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis

untuk membuat generalisasi. Sedangkan Jihad (Shadiq, 2005) menjelaskan

beberapa indikator dalam penalaran matematika yaitu: a) Menarik kesimpulan

logis; b) Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat,

dan hubungan; c) Memperkirakan jawaban dan proses solusi; d) Menggunakan

pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika; e) Menyusun dan

menguji konjektur; f) Merumuskan lawan contoh ( counter example); g)

Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argument; h) Menyusun


12

argument yang valid; i) Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan

menggunakan induksi matematika

Berdasarkan beberapa indikator mengenai kemampuan penalaran

matematis di atas maka peneliti menetapkan indikator kemampuan penalaran

matematis pada peneitian ini adalah sebagai berikut: 1) menyajikan pernyataan

matematika secara lisan dan tertulis; 2) Mengajukan Dugaan; 3) melakukan

manipulasi matematika; 4) Menyusun bukti, memberi alasan terhadap kebenaran

solusi; 5) menarik kesimpulan dari pernyataan.

2.1.3 Kemampuan Komunikasi

Kemampuan matematis yang diharapkan dapat dimiliki oleh setiap siswa

setelah belajar adalah kemampuan komunikasi matematis siswa. Segala perilaku

dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih.

Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan

nonverbal. Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan

respon pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda

atau simbol, baik bentuk verbal atau bentuk nonverbal, tanpa harus memastikan

terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem

simbol yang sama (Mulyana, 2005). Sedangkan Sullivan & Mousley (Ansari,

2003) menyatakan bahwa komunikasi matematis bukan hanya sekedar

menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa

dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan,

klarifikasi, bekerja sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang

telah dipelajari. Mengingat bahwa matematika yang kaya akan simbol, istilah,
13

dan gambar yang menuntut kemampuan komunikasi yang baik dalam

penyampaiannya, siswa hendaknya memiliki kemampuan komunikasi

matematis yang baik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai. Hal ini

menyebabkan kemampuan komunikasi matematis menjadi sesuatu yang penting

untuk diperhatikan oleh seorang guru dalam pembelajaran matematika.

Sumarmo menyatakan bahwa kemampuan komunikasi dalam matematika

merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai

kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: a) merefleksikan benda-benda

nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; b) membuat model situasi

atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar;

c) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; d)

mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; e) membuat

konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; f)

menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari;

g) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam

bahasa sendiri (Jaya, 2018).

Senada dengan pendapat diatas Ansari menyatakan bahwa kemampuan

komunikasi matematis siswa terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Drawing

(menggambar), yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar,dan diagram ke

dalam ide-ide matematika, atau sebaliknya; 2) mathematical expression

(ekspresi matematika) , yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan

menyatakan peristiwa sehari-hari ke dalam bahasa atau simbol matematika; 3)

written text (menulis), yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa


14

sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan bahasa lisan,

tulisan, grafik, dan aljabar (Jaya, 2018).

Kesimpulkan yang didapat dari penjabaran diatas yaitu kemampuan

komunikasi matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan

gagasan-gagasan, ide-ide, dan pemahamannya tentang konsep dan proses

matematika yang mereka pelajari. Kemampuan komunikasi tertulis yang

meliputi kemampuan menggambar (drawing), ekspresi matematika

(mathematical expression), dan menulis (written texts) dengan indikator

kemampuan komunikasi tertulis yang dikembangkan sebagai berikut: (a)

Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan

gambar, (b) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik secara tulisan, dan

(c) Menggunakan bahasa matematika dan simbol secara tepat.

Indikator yang menunjukkan kemampuan komunikasi matematika adalah

menyajikan pernyataan secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram. Diungkapkan

oleh Jihad (2008) bahwa diantara indikator-indikator kemampuan komunikasi

matematika yaitu: a) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram

kedalam ide-ide matematika; b) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika

secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; c)

Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik; d)

Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; e) Membaca

dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; f) Membuat konjektur,

menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; g) Menjelaskan

dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. Dalam

NCTM Standards (Jaya, 2018) menyebutkan bahwa indikator kemampuan


15

komunikasi matematis yang seharusnya dikuasai siswa yaitu; a)

mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren dan jelas kepada siswa

lain, guru dan lainnya; b) menggunakan bahasa matematika secara tepat dalam

berbagai ekspresi matematika; c) mengorganisasikan dan mengkonsolodasi

pemikiran matematika dan mengomunikasikan kepada siswa lain, dan d)

menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi orang lain.

Sulastri menjelaskan indikator komunikasi matematika atau komunikasi

dalam matematika untuk peserta didik setingkat SMP adalah sebagai berikut: a)

Membuat model dari suatu situasi melalui lisan, tulisan, benda-benda konkret,

gambar, grafik, dan metode-metode aljabar; b) Menyusun refleksi dan membuat

klarifikasi tentang ide-ide matematika; c) Mengembangkan pemahaman dasar

matematika termasuk aturan-aturan definisi matematika; d) Menggunakan

kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan

mengevaluasi suatu ide matematika; e) Mendiskusikan ide-ide, membuat

konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; f)

Mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematis termasuk aturan-aturannya

dalam mengembangkankan ide matematika (Faroh, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator

kemampuan komunikasi matematis siswa adalah a) Menggunakan kemampuan

membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan mengevaluasi

suatu ide matematika; b) Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan

solusi masalah menggunakan gambar dan; c) menyatakan peristiwa sehari-hari

dalam bahasa atau symbol matematika.


16

2.2 Hasil penelitian yang relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Romadhina (2007), Permasalahan dalam

penelitian ini adalah kemampuan menyelesaikan soal cerita siswa kelas IX SMP

Negeri 29 Semarang yang masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan analisis regresi

diperoleh persamaan regresi linear ganda yaitu Y^ = 0,0615 + 0,476 X1 + 0,48 X2 .

Uji persamaan regresi linear ganda dilakukan dengan uji F dan diperoleh F hitung >

Ftabel pada taraf signifikansi 5%, sehingga persamaan regresi linear ganda berarti.

Jadi persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi nilai

kemampuan menyelesaikan soal cerita apabila nilai kemampuan penalaran dan

kemampuan komunikasi matematik diketahui. Pada penentuan koefisien korelasi

ganda diperoleh R=0,8931 dan uji signifikansi dilakukan dengan uji F, ternyata

Fhitung > Ftabel pada taraf signifikansi 5%, sehingga koefisien korelasi ganda berarti.

Nilai R yang positif menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linear antara

ketiga kemampuan tersebut dan menunjukkan pula adanya pengaruh variabel

bebas X1 dan X2 terhadap variabel terikat Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh antara kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi matematik

terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan bangun

ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMP Negeri 29 Semarang melalui model

pembelajaran pemecahan masalah dan besar pengaruhnya adalah 79,76%

(R2=79,76%).

Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (2017), Hasil analisis data

menunjukkan bahwa sebagian besar dari [1] kemampuan penalaran siswa dalam

hal ini masih tergolong rendah dengan kemampuan berpikir logis dalam

menyelesakan soal, siswa kurang memahami bentuk soal yang diberikan, tidak
17

mampu menarik kesimpulan logis. Kemudian dari [2] kemampuan komunikasi

siswa masih tergolong rendah dalam menyelesaikan soal. Siswa kurang

memahami bentuk soal yang diberikan, siswa masih belum bisa menentukan

jawabannya, dan siswa kurang aktif bertanya di dalam kelas.

Pratiwi (2016), Hasil penelitian, pertama penerapan strategi pembelajaran

Problem Based Learning dapat meningkatkan penalaran matematika siswa kelas

VII I MTs Negeri Surakarta II. Kedua peningkatan penalaran matematika yaitu 1)

siswa mampu menyajikan pernyataan matematika dari kondisi awal (40,00%),

pada siklus I (50,00%), dan pada siklus II (77,50%), 2) siswa mampu menyusun

dugaan atau bukti alasan terhadap kebenaran solusi dari kondisi awal (32,50%),

pada siklus I (45,00%), dan pada siklus II (70,00%), 3) siswa mampu menarik

kesimpulan dari kondisi awal (27,50%), pada siklus I (40,00%), dan pada siklus II

(67,50%). Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa pembelajaran dengan

penerapanstrategi Problem Based Learning dapat meningkatkan penalaran

matematika.

Anda mungkin juga menyukai