Anda di halaman 1dari 6

Agen Penghambat Neuromuskuler Dan Agen Pemulihan

Selama beberapa dekade, suxamethonium (succinylcholine) telah menjadi standar


perawatan untuk RSI. Agen tersebut mudah diperoleh dan dapat diandalkan. Dalam dosis
penuh (1-2mg/kg) akan menyebabkan fasikulasi, paralisis, dan menyebabkan kondisi intubasi
yang sangat baik dalam satu waktu sirkulasi (15-45 detik).
Efek simpang diatasi dengan baik, meskipun jarang. Mialgia adalah efek samping
yang paling umum, tetapi bradikardia, henti jantung yang diinduksi hiperkalemia, anafilaksis,
dan pemicu hipertermia malignan semuanya dapat terjadi. Banyak dokter terus menggunakan
suxamethonium kecuali ada bukti kerentanan terhadap satu atau lebih dari efek samping yang
parah tersebut, misalnya: luka bakar akut, spinal cord injury, atau riwayat muscular
dystrophy.
Rocuronium adalah agen alternatif. Dalam dosis tinggi (kisaran 0,9-1,6 mg/kg)
relaksasi yang dalam diperoleh dalam 45-60 detik. Salah satu kelemahannya adalah
kurangnya fasikulasi, sehingga metode lain untuk memastikan paralisis laring yang memadai
harus digunakan. Durasi tindakan yang berkepanjangan harus diperhitungkan jika jalan nafas
cenderung sulit dan jika agen pemulihan spesifik tidak tersedia. Anafilaksis masih
memungkinkan, tetapi risiko mialgia, hiperkalemia, dan hipertermia malignan dapat
dihindari.
Manfaat rocuronium lainnya adalah adanya agen pemulihan spesifik. Sugammadex
berikatan dengan kuat pada rocuronium, membuatnya tidak dapat berikatan di neuromuscular
junction dan mengembalikan efeknya. Ini berguna untuk pemulihan elektif sebelum
ekstubasi, dan juga untuk memulihkan fungsi neuromuskuler dengan cepat jika diperlukan
karena jalan napas yang sulit. Sugammadex 16 mg/kg dapat dengan cepat mengembalikan
efek rocuronium tetapi penggunaannya terhambat oleh biaya tinggi dan stok yang terbatas.
Mungkin juga sama sekali tidak tersedia di beberapa tempat, dan mungkin adanya
ketidaktahuan terkait penggunaannya. Efek sampingnya adalah dapat berinteraksi dengan
obat kontrasepsi hormonal. Ketersediaan hanya terbatas di beberapa negara (sugammadex
hanya mencapai persetujuan FDA AS pada Desember 2015). Zat penghambat neuromuskuler
lain onsetnya terlalu lambat dalam memberikan kondisi intubasi yang cukup cepat sehingga
akan membutuhkan mask ventilation pasien yang berkepanjangan.
Tambahan Farmakologis
Pada pasien yang syok, tidak ada tambahan yang diperlukan. Namun, pada pasien
dengan sistemik yang baik, atau pasien yang berisiko mengalami hipertensi berat selama
induksi (misalnya pre-eklampsia, cedera kepala atau unprotected intracranial aneurysm),
menghilangkan respons pressor terhadap laringoskopi sering dibutuhkan.
Opioid yang biasanya digunakan: fentanyl (1-2 mcg/kg), alfentanil (10-15 mcg/kg),
atau remifentanil (0,5-1 mcg/kg) semuanya bekerja cukup cepat untuk digunakan di RSI.
Lidocaine (lignocaine) (1-1,5 mg/kg) juga efektif untuk mengurangi batuk dan
bronkospasme, baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan opioid.

Persiapan
Tugas-tugas yang perlu dialokasikan dan dilakukan meliputi:
a. Pra-oksigenasi
b. Intubasi
c. Asisten intubator (mengambil peralatan, dll.)
d. Pemberian obat
e. Cricoid pressure application (jika digunakan)
f. Stabilisasi manual in-line (jika indikasi)
Minimal dua orang diminta untuk melakukan hal tersebut. Umumnya pemimpin
intubator juga akan melakukan pra-oksigenasi dan memberikan obat-obatan, sedangkan
asisten memberikan tekanan krikoid, dan memberikan peralatan ke intubator. Orang ketiga
mungkin diperlukan untuk stabilisasi manual in-line pada leher jika dicurigai terdapat
cervical spine injury.

Teknik RSI
Pasien harus diposisikan dengan tepat untuk pra-oksigenasi dan intubasi; mungkin
memerlukan bantalan (ramping), stabilisasi manual in-line, atau posisi semi-telentang untuk
pra-oksigenasi jika fungsi pernapasan terganggu dengan berbaring terlentang.
Kanula intravena yang bagus harus ditempatkan, dan cairan pembawa harus
dijalankan secara bebas untuk memaksimalkan pengiriman obat ke sirkulasi pusat. Atau,
suntikan saline dalam jumlah besar dapat digunakan untuk mendorong obat setelah
pemberian.
Preoksigenasi, atau denitrogenasi, harus dilakukan selengkap mungkin dengan
memperhatikan klinis urgensi. Minimal, tiga menit pernapasan tidal, atau delapan napas
kapasitas vital dalam satu menit seharusnya dilakukan dengan konsentrasi oksigen inspirasi
100%. Atau, jika analisis gas tersedia, fraksi oksigen end-tidal harus mencapai setidaknya
0,8. Jika perangkat yang tersedia dapat mengukur positive end-expiratory pressure (PEEP)
atau tekanan positif saat pasien memulai napas (pressure support ventilation, BiPAP), maka
hal ini mungkin berguna untuk membantu pra-oksigenasi pada beberapa pasien.
Ketika pra-oksigenasi yang optimal telah diperoleh, obat-obatan yang dipilih harus
diberikan dan harus diamati timbulnya efek pada pasien. Jika tekanan krikoid dilakukan, hal
itu harus secara in situ dan ditingkatkan dari 10N ke 30N pada saat kesadaran hilang. Ketika
mencapai kondisi intubasi, baik dengan mengamati fasikulasi (jika suxamethonium
digunakan), menunggu periode waktu yang tepat, atau menggunakan monitor neuromuskuler,
intubasi harus dilakukan. Mengingat kecepatan dalam mengamankan jalan napas,
keberhasilan first pass sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, banyak praktisi menggunakan
bougie atau stylet, dan jika tersedia laringoskop video dapat memaksimalkan peluang
keberhasilan. Jika regurgitasi terjadi, suction harus segera dilakukan, dan bed pasien harus
ditempatkan dalam posisi head-down (Trendelenburg) untuk meminimalkan kemungkinan
aspirasi ke dalam trakea.
Setelah tabung endotrakeal ditempatkan, balon segera dipompa dan posisi yang benar
harus dikonfirmasi dengan berbagai cara. Mengamati naik dan turunnya dada, kabut tabung,
dan aliran normal udara masuk dan keluar dari tabung endotrakeal berguna, tetapi tidak
cukup sensitif atau spesifik. Gold standarnya adalah munculnya gambaran kapnografi yang
terdiri dari 4 fase selama 5 napas, meskipun hal ini bergantung pada curah jantung.
Auskultasi, bersama dengan metode penilaian klinis yang dijelaskan di atas, harus digunakan
jika kapnografi tidak tersedia. Tekanan krikoid, jika digunakan, harus dilepaskan hanya
ketika intubasi endotrakeal telah dikonfirmasi. Auskultasi dada juga membantu
menyingkirkan intubasi endobronkial (walaupun sangat tidak sensitif untuk diagnosis), dan di
lingkungan dengan sumber daya tinggi sering dilakukan radiografi dada untuk antisipasi
intubasi berkepanjangan (misalnya, di unit perawatan intensif saat intubasi pada pasien
cedera kepala). Sedasi yang sedang digunakan harus disediakan, dan jika diperlukan, long-
acting muscle relaxant dapat diberikan.

KEGAGALAN INTUBASI
Ketidakmampuan untuk mengintubasi pasien selama RSI harus menggunakan
pendekatan yang biasa digunakan untuk intubasi yang sulit dan harus dikomunikasikan
kepada tim sebelum induksi. Namun, jika indikasi misalnya pada gagal napas,
memungkinkan pasien untuk bangun dan bernapas secara spontan mungkin hal tersebut tidak
dapat dikerjakan. Jika upaya intubasi awal tidak berhasil, upaya terbaik untuk ventilasi face-
mask harus dilakukan saat menyiapkan jalan napas supraglotis, teknik laringoskopi yang
berbeda, atau operator lain. Upaya intubasi harus dibatasi, dan risiko regurgitasi dan aspirasi
harus diingat. Operasi jalan napas mungkin diperlukan (meskipun hal ini jarang terjadi) dan
peralatan tersebut harus tersedia di setiap RSI. Beberapa algoritma untuk manajemen
kegagalan intubasi telah tersedia, termasuk the Difficult Airway Society guidelines dan the
Vortex approach.

KONTROVERSI SEPUTAR CRICOID PRESSURE


Meskipun secara rutin dilakukan di banyak bagian dunia, khususnya Inggris, Amerika
Utara, dan Australia, tekanan krikoid tidak dipraktikkan di tempat lain dan menjadi
perdebatan. Di Eropa hal ini bukan suatu praktik umum, dan beberapa organisasi pra-rumah
sakit tidak menyarankan penggunaannya. Hal tersebut mungkin juga tidak digunakan di
daerah-daerah di dunia dimana adanya keterbatasan orang yang mampu membantu ahli
anestesi.
Kekhawatiran tersebut meliputi:
a. penurunan kualitas laringoskopi
b. kurangnya bukti efektivitas dalam mencegah refluks dan aspirasi
c. mengurangi tonus sfingter esofagus yang lebih rendah dan karenanya meningkatkan risiko
refluks
d. memperburuk laryngeal / cervical spine injury yang tidak terdeteksi,
e. lokasi, arah, dan tingkat kekuatan yang tidak terukur dan memungkinkan adanya berbagai
variasi yang diterapkan oleh operator,
f. ketidaknyamanan pasien, tersedak atau batuk, dan
g. meningkatnya beban kerja fisik dan kognitif untuk operator.

Tinjauan sistematis terbaru tidak menemukan data dari uji coba acak yang
memberikan ukuran hasil yang relevan secara klinis. Terlepas dari kontroversi yang sedang
berlangsung, penggunaan hal tersebut dipertimbangkan berdasarkan standar perawatan di
masing-masing tempat. Oleh karena itu, dinjurkan untuk mencari panduan dari masing-
masing tempat terkait guidelines yang tepat.
PERKEMBANGAN TERKINI
Ventilasi klasik biasanya tidak diberikan selama periode apnoeic (untuk menghindari
inflasi lambung dan peningkatan risiko regurgitasi), tetapi beberapa ahli anestesi dapat
memberikan napas tunggal, atau beberapa gentle breaths, untuk memastikan bahwa ventilasi
masker dimungkinkan dan mengurangi terjadinya hiperkapnia, asidemia, dan hipoksia.
Beberapa pedoman terbaru sekarang menganjurkan penggunaan ventilasi masker untuk
alasan ini pada pasien dengan risiko hipoksia tinggi, misalnya, pasien hamil.
Baru-baru ini oksigenasi apnoeic semakin banyak digunakan, terutama pada pasien
yang tidak sehat, untuk menyediakan lingkungan kaya oksigen di orofaring untuk
meminimalkan hipoksia selama periode apnoeik RSI. Hal ini misalnya melalui sumber
oksigen alternatif; biasanya melalui nasal prongs dengan aliran oksigen pada 10 liter per
menit atau lebih, atau menyisipkan pipa yang membawa oksigen ke dalam orofaring.
Keterbatasan dapat mencakup kesulitan dalam penggunaan masker wajah, kerusakan akibat
tekanan dari tubing yang salah tempat (mis. ruptur lambung), dan kurang efektif.

SITUASI KLINIS KHUSUS


Obstetrics
Pasien pada trimester kedua atau ketiga kehamilan memiliki risiko aspirasi yang lebih
tinggi karena perubahan anatomi dan fisiologis. Pasien-pasien ini juga lebih sulit untuk
diintubasi, dan desaturasi lebih cepat daripada wanita yang tidak hamil. Oleh karena itu, RSI
digunakan dengan perhatian yang cermat pada penentuan posisi, pra-oksigenasi, dan
ketersediaan peralatan dan jalan nafas yang sulit. Ventilasi gentle face-mask dapat digunakan.
Penggunaan opioid sebagai tambahan induksi mungkin diperlukan jika kehamilan dipersulit
oleh hipertensi atau pre-eklampsia. Seperti halnya semua kehamilan lanjut, wanita harus
diposisikan dengan miring kiri menggunakan suatu bantalan.

Pediatri
Bayi baru lahir, bayi dan anak-anak, desaturasi dengan cepat dan dapat mengalami
respon vagal pada laringoskopi. Pendekatan standar untuk RSI umumnya dilakukan, dengan
berbagai peralatan berukuran tepat, dan dosis obat dihitung dengan hati-hati. Dosis yang
diperlukan mungkin lebih tinggi daripada untuk orang dewasa pada basis per kilogram -
misalnya, anak berusia 3 tahun akan sering membutuhkan 5 mg/kg propofol, beberapa kali
lebih tinggi daripada dosis dewasa proporsional karena volume yang lebih besar dari
distribusi. Atropin sebagai tambahan sering digunakan dalam dosis 20 mcg/kg untuk
mengurangi bradikardia.

Suspected or known cervical spine injury


Pada pasien yang memiliki cervical spine injury yang tidak stabil, laringoskopi
dengan manipulasi kepala dan leher dapat berisiko memperburuk cedera. Tidak ada
konsensus mengenai cara teraman untuk mengintubasi pasien dengan kelainan tersebut, tetapi
dua pendekatan alternatif umumnya dilakukan. Salah satunya adalah melakukan laringoskopi
dengan gerakan minimal tulang belakang leher, sering dengan video laringoskop dengan
hiper-angulasi jika tersedia, sementara leher diimobilisasi oleh asisten yang melakukan
stabilisasi manual in-line. Pilihan kedua adalah teknik awake fibre-optic, hanya menggunakan
anestesi lokal.

EMERGENCE
Pada pasien yang memiliki RSI diindikasikan karena risiko aspirasi, kemunculan tetap
menjadi waktu berisiko tinggi untuk kejadian aspirasi lebih lanjut. Pertimbangan kuat harus
diberikan pada ekstubasi pasien yang terjaga dengan pemulihan penuh blokade
neuromuskuler. Posisi left lateral head-down dapat mengurangi kemungkinan aspirasi,
dengan mengurangi akses pengeluaran pada jalan napas.

Kesimpulan
a. Rapid Sequence Intubation dilakukan untuk mengamankan jalan napas pada pasien
dengan risiko aspirasi yang tinggi.
b. Persiapan peralatan, obat-obatan, tim dan pasien sangat penting; komunikasi yang
baik harus diterapkan.
c. Teknik ini dapat disesuaikan dengan spesifikasi skenario klinis.

Anda mungkin juga menyukai