Anda di halaman 1dari 23

PERAN TASAWUF DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA

DI ERA MODERN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir


Mata Kuliah Etika Islam
Dosen Pengampu Dr. Hj. Arihah, M. Ag.

Oleh :
Dandang Muhamad Jasmanto
NIM : 1903018018

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN WALISONGO SEMARANG
2020
PERAN TASAWUF DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA
DI ERA MODERN

Dandang Muhamad Jasmanto


NIM. 1903018019

Magister Pendidikan Agama Islam


Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Abstrak

Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi
problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha
Pencipta. Akan tetapi, tasawuf selama ini dipersepsikan sebagai laku batin yang
melepaskan diri dari keduniaan. Akan tetapi, belakangan terdapat suatu paham
tasawuf yang tidak menjadikan pengamalnya menarik diri dari lingkungan dan
justru mengharuskan pengamalnya untuk turun ke masyarakat dan ikut
berkontribusi dalam pemecahan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Dengan
pembersihan jiwa yang mencakup seluruh aspek batiniah ini maka ajaran Tasawuf
tidak tersekat dengan waktu yang ditentukan yaitu tidak terdikotomikan bahwa
Tasawuf hanya berada dan berlaku pada zaman Nabi dan para penerusnya akan
tetapi melihat kebutuhan dan tantangan zaman sekarang yang semakin kompleks
dengan tantangan kapitalisme global yang meradang. Serta Tasawuf yang selalu
menjadi bagian dari kehidupan manusia, jika di ibaratkan Tasawuf bagaikan air
yang mengalir di sendi-sendi kehidupan maka dari itu tidak pernah berhenti
mengalir.1 Di berbagai aspek kehidupanpun tidak bisa terelakkan mulai dari aspek
teknologi, social, budaya, ekonomi dan banyak lainnya membuat masyarakat
modern ini menjadi masyarakat yang mekanistik, dalam artian hidup seakan-akan
terukur dengan system yang telah ditentukan suatu perusahaan atau instansi
tertentu mengakibatkan ada suatu aspek kehidupan yang terlupakan, padahal
dalam kehidupan ini ada hal yang dapat menjadikan hidup lebih bermakna.

Kata kunci : Tasawuf, Problematika Era Modern

1
Muhammad Taqi Ja‟fari, Tasawuf Positif (Sebuah Pengantar), (Jakarta: Nur Al-Huda,
2005), hlm. 13.

1
A. Pendahuluan

Dunia modern memancarkan nilai-nilai positif dan negatif, hal ini


menjadi dilema dan tantangan yang penuh kompetitif. Kompetisi itu perlu
memacu pengembangan diri dan kelompok dalam kehidupan masyarakat.
semakin maju suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat
kompetisinya. Sebaliknya masyarakat yang kurang maju, maka tingkat
kompetisinya juga rendah.
Sudah tidak dapat diingkari bahwa masyarakat modern yang ditandai
dengan kompetisi tinggi itu penuh dengan dilema dan tantangan yang menjadi
sunnatullah. Menghadapi dilema kehidupan tersebut memerlukan arus
pemikiran yang mengarah kepada pencapaian titik kebahagiaan melalui
kehidupan spiritual. Kehidupan spiritual selalu ditandai dengan meditasi yang
merupakan kegiatan sehari-hari yang sangat menonjol dikalangan mereka
yang menempuh jalan spiritual seperti sufi. Tasawuf sebagai inti ajaran Islam
muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang
pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang
menyelesaikan masalahnya. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya
serta segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani
penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin
terbentang lebar di era modern ini. 2
Telah banyak manusia modern yang mengalami krisis spiritual. Itu
akibat pengaruh sekularisasi yang telah lama menimpa jiwa-jiwa mereka
melalui paham-pahamnya seperti naturalisme, materialisme, positifisme dsb.
setelah kemajuan saintek yang dibawanya memutuskan untuk mengambil
pandangan sekuler sebagai dasar pilosofisnya. 3 Pandangan yang hanya
mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan
manusia modern dari aspek spiritualitas sehingga mereka terisolir dari dunia
lain non-fsikis sebagaimana keyakinan para sufi.

2
Ahmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian, (Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah, 2002), hal.
93.
3
Mulyadi Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 264.

2
Imam Al Ghazali berpendapat bahwa dinamika kehidupan dalam
sejarah bertumpu pada unsur dan proses kejadian manusia yang dijadikan dari
dua unsur yaitu ruh dan jasad tubuh. Dimensi ruh karena langsung bersumber
dari Tuhan yang terbebas dari hukum natural mekanis, sedangkan jasad tubuh
sebaliknya. Jasad tubuh tumbuh melalui proses natural hingga dikenai dan
terikat proses mekanistis tersebut ketika kedewasaan tumbuh memerlukan
4
waktu historis dalam hitungan tahun. Karena itu, kebahagiaan hidup
seseorang bisa dicapai ketika mekanisme jasad tubuh diabdikan sepenuhnya
pada mekanisme ruhnya.
Ketika kita sebagai orang modern yang hanya membatasi diri kita pada
dunia fisik saja, maka menurut pendapat sufistik kita tidak akan dapat
mengorientasikan diri kita dengan benar dan hanya akan berputar-putar tanpa
arah di dunia yang senantiasa berubah dan akan musnah ini. Akibat seriusnya
dari kondisi seperti ini adalah adanya perasaan terasing atau istilahnya
“terlienasi” baik dari diri sendiri, alam sekitar, dan Tuhan.5
Sulit nampaknya mereka untuk mengenal siapa diri mereka yang
sejati. Ketika manusia hanya mementingkan aspek dari dirinya dengan
mengesampingkan aspek spiritual, maka kegoncangan dan ketidakstabilan
jiwanya tidak sulit dibayangkan. Ketika manusia modern hanya
membersihkan kotoran-kotoran jiwa mereka, maka tidak sulit untuk
menjawab mengapa orang-orang modern banyak mengalami goncangan dan
penyakit jiwa. Stres dan hipertensi pun telah menjadi penyakit umum yang
diderita oleh manusia modern.
Orang kaya harta dan kuasa seringkali hidupnya kosong dan hampa
karena kehilangan kekayaan ruhaniah dan spiritual. Mereka sulit tidur, mahal
senyum, dan stress, serta setiap banyak pilihan kecuali mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri. Karena itu, Islam memandang manusia bisa tumbuh lebih
mulia daripada malaikat dan bisa lebih hina daripada binatang atau syetan
dimana syaratnya manusia bisa bebas dari sekedar kebutuhan makan dan
minum, nafsu syahwat, dan kecintaan terhadap kekuasaan. Kemuliaan

4
Abdul Munir Mulkan, Sufi Pinggiran Menembus Batas-Batas, (Yogyakarta: IMPULSE,
2007), hal. 52.
5
Mulyadi Kertanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,...hal. 264.

3
manusia bukanlah karena menjauhi kehidupan duniawi melainkan manakala
bisa menggunakan kepintaran, kekayaan dan kekuasaan untuk kemanfaatan
bagi yang lainya. Oleh karena itu, segala yang menghadang di tengah
masyarakat modern harus ditantang dengan nilai-nilai spiritual yang
dihidupkembangkan dalam mistisme Islam yaitu tasawuf yang relevan.

B. Kondisi Sosial Keagamaan Umat Islam di Era Modern


Modernisasi dan Globalisasi merupakan dua hal yang sangat
signifikan imbasnya bagi kehidupan modern saat ini. Modernisasi diartikan
sebagai proses gerakan perubahan individu dari cara hidup yang bersifat
tradisional atau yang bersifat lama menuju cara hidup yang baru atau yang
maju dan bersifat kompleks dan pada arah kemajuan. Adanya proses
modernisasi ini melahirkan modernisasi ekonomi, modernisasi sosial.
Modernisasi ekonomi penekannya adalah pada perkembangan akan
kemajuan ekonomi, kemajuan ekonomi ini ditandai oleh tingginya tingkat
konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi, intensitas modal yang
semakin besar dan organisasi birokrasi yang rasional. Kemudian modernisasi
sosial, modernisasi sosial ini menekankan pada perubahan dalam kehidupan
masyarakat, pola-pola kelembagaan dan peranan status dalam struktur sosial
masyarakatnya. Selain itu juga modernisasi sosial ini perhatiannya pada
perubahan sosial terencana, sekularisme, perubahan sikap dan tingkah laku,
pengeluaran dalam pendidikan umum, adanya revolusi pengetahuan,
hubungan sosial kemudian diferensiasi struktural fungsional. Sedangkan
globalisasi adalah penyebaran perkembangan kehidupan ke seluruh kawasan
yang ditandai dengan adanya hubungan antar bangsa ataupun antar negara
yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Kehidupan masyarakat seperti yang
kita lihat dari realita yang ada nyatanya kehidupan masyarakat selalu
mengalami perubahan. Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang

4
muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai
ideologi baru sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir.6

Agama dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manuisa yang paling


sublim, sebagai sejumlah moralitas, sumber tatanan masyarakat dan
perdamaian batin individu, sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat
manusia beradab. Sebaliknya agama dituduh sebagai penghambat kemajuan
manusia, dan mempertinggi fanatisme dan tidak toleran, pengacau, dan
tahayul. Agama dalam kehidupan manusia pada hakikatnya tidak terdapat
perbedaan, dalam memenuhi kehidupan bathinnya, yakni kebutuhan akan
persepsi dan rasa kesucian manusia yang digerakkan oleh jiwa keagamaan,
dikenal dengan istilah psikologi agama. Robert H.Thouless menulis tentang
esensi psikologi agama bahwa seandainya ia tidak memberikan sumbangan
langsung terhadap semangat keagamaan, sebenarnya ia memberikan
sumbangan terhadap toleransi agama.7

Masyarakat umum maupun Muslim dibedakan menjadi 3 tipe:

1. Masyarakat yang Terbelakang dan Sakralis

Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang, tingkat


perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja atau
pembidangan kelas-kelas sosial mereka relatif masih kecil. Setiap anggota
ini bersama-sama menganut agama yang sama. Agama memasukkan
pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak
dan dalam keadaan lembaga lain selain keluarga. Agama jelas menjadi
fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara
keseluruhan. Masyarakat-masyarakat yang mewakili tipe ini dijelaskan
Elizabeth, bahwa tingkat perkembangan teknik mereka masih rendah dan
pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial relatif masih kecil.
Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spelisasi

6
M.Insya Musya Nurhaidah, “Dampak Pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan Bangsa
Indonesia”, Jurnal Pesona Dasar. Vol. 3 No. 3, April 2015, hal 1- 14.
7
Robert H.Tahouless, Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Press, Cet. I, 1992),
hal. 2.

5
pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat
sederhana serta laju pertumbuhan sosial masih lambat. 8

Pada tipe ini pembagian tugas belum ada, dimana seorang kepala
desa merangkap sebagai tokoh agama, pemuka masyarakat, tokoh adat,
penentu dalam pertanian dan juga seorang dukun, dan tambah jumlah
mereka masih sedikit. Tetapi rasa kekeluarga mereka sangat kental,
mereka sering bertemu dan berbicang-bicang apabila mereka mendapat
kesulitan masyarakat. Selanjutnya, pengembangan tradisi-tradisi hanya
melalui berita dari mulut ke mulut anggota masyarakat, ini disebabkan
rendahnya tingkat tulis baca mereka. Bagi indiividu agama menjadi
landasan dalam proses sosialisasi. Hal ini ditandai dengan dengan
dilaksanakannya upacara-upacara keagamaan. Misalnya pada peristiwa
kehamilan, kelahiran, pada waktu seseorang memasuki usia remaja,
peristiwa kematian. Pada tipe ini agama dan nilai-nilai yang sakral
memiliki peranan yang dominan dan menentukan dalam kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai agama seringkali menimbulkan dan meningkatkan
sikap konservatisme dalam menghalangi perubahan-perubahan kehidupan
sosial masyarakat, seolah-olah agama turut menghambat kemajuan.

2. Masyarakat Pra-Industri Berimbang

Masyarakat ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih


luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya serta ditandai dengan
tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Pembagian kerja yang
luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, serta adanya kemampuan
tulis baca sampai tingkat tertentu. Agama tentu saja memberikan arti dan
ikatan kepada sistem nilai dalam tipa masyarakat ini. Akan tetapi pada
saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit
banyaknya masih dapat dibedakan. Nilai-nilai keagamaannya dalam
masyarakat tipa kedua menempatkan fokus utamanya pada
pengintegrasian tingkahlaku perorangan dan pembentukan citra

8
Elizabeth K,Nottingam, Religion And Society, ter, Adbul Muis Naharong, (Jakarta : CV.
Rajawali, Cet. I, 1985), hal. 51.

6
pribadinya. Masyarakat tipe ini lebih dikenal dengan istilah masyarakat
dunia ketiga, yaitu suatu masa yang berada di antara tipe masyarakat
terkebelakang dan nilai-nilai sakral dengan tipe masyarakat industri yang
sekuler. Adapun ciri-ciri masyarakat ini: jumlah anggota masyarakatnya
tidak begitu besar, dan terisolir, perubahan lebih cepat, daerahnya lebih
luas serta tingkat perkembangan teknologi dan pengetahuan lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tipe pertama. Selanjutnya pembagian kerja
telah mulai kelihatan, timbulnya stratifikasi sosial dalam masyarakat,
adanya kemampuan tulis baca dikalangan masyarakat sampai tingkat
tertentu. Masalah pertanian dan industri tangan adalah sarana utama untuk
menopang ekonomi pedesaan dengan beberapa kota sebagai pusat
perdagangan di kota. Kemudian kembaga-lembaga pemerintahan dan
kehidupan ekonomi berkembang pesat yang mengarah kepada spesislisasi
dalam keahliannya masing-masing. anggota, memberikan ciri-ciri khas
kepada tipe ini, meskipun ia merupakan organisasi formal yang terpisah
dan berbeda serta memiliki tenaga yang proposional sendiri. Agama
memberikan arti dan ikatan pada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini.
Akan tetapi masih pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan
sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. 9

Dalam masyarakat ini agama mempunyai fungsi ganda, disatu sisi


berfungsi sebagai pemersatu dan di sisi lain, agama itu sebagai pemecah
belah, hal ini disebabkan: Pertama, dalam masyarakat pra industri dan
masyarakat yang sedang berkembang, dimana perangkat organisasi
keagamaan dan struktur kekuatan politik bias menimbulkan bentrok
politik keagamaan dalam masyarakat. Benturan-benturan itu bisa
dianggap sebagai usaha mempersatukan, karena benturan itu telah
berfungsi menyatukan bersama masing-masing masyarakat. Kedua,
timbulnya benturanbenturan yang meruncing antara kepentingan
organisasi keagamaan dan organisasi politik, hal ini disebabkan
masingmasing organisasi mempunyai cakupan wilayah masing-masing,

9
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme,
dan Modern, (Bandung: CV.Pustaka Setia, Cet. I, 2010), hal. 126.

7
struktur dan sikap dasar sendiri. Sedangkan setiap organisasi menuntut
kesetiaan anggotanya. Kedua, bentuk organisasi memiliki bentuk
operasinya yang sama, sehingga menimbulkan benturan antara kedua
organisasi tersebut. Seperti yang terjadi pada waktu pemilihan Presidien
dan wakil Presiden, pemilihan Gubernur/Wakilnya dan Pemilihan
Bupati/wakilnya serta Pemilihan Wali Kota/Wakilnya. Ketiga,
masyarakat tipe ini semakin majemuk, perlawanan antara kelompok
pertama dan kelompok yang datang belakangan mulai menurun.
Kelompok terakhir datang dengan tatanan politik dan ekonomi baru,
maka agama bisa tampil dengan pembaharuan yang bersifat kreatif.10

3. Masyarakat Industri-Sekuler

Masyarakat ini sangat dinamik. Teknologi semakin berpengaruh


terhadap semua aspek kehidupan. Sebagian besar penyesuaian-
penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-
penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri.
Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga
mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Dalam bentuk
ini nilai-nilai tersebut tetap memberikan sumbangan sampai batas yang
sangat sukar diukur terhadap keterpaduan masyarakat buktinya adalah
khususnya pola masa-masa penuh ketegangan, sering muncul himbauan
masyarakat untuk menerapkan warisan tradisi keagamaan yang umum ini.
Mobilitas masyarakat selain berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman, mobilitas yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya dari segi
ekonomi tetapi juga dari segi pendidikan yang akan memicu pada
perubahan status sosialnya.

Didalam masyarakat modern yang semakin kompleks, organisasi


keagamaan terpecah-pecah dan bersifat majemuk. Keanggotaannya
didasarkan pada prinsip organisasi-organisasi keagamaan tertentu,
semakin melebarnya jurang pemilisah antara nilai sekuler dan nilai sakral,

10
Elizabeth K. Nottingam, Religion And Society, ... hal. 56-57.

8
selain itu tidak ada ikatan resmi antara organisasi keagamaan dengan
organisasi pemertintah duniawi. Tetapi dalam pelaksanaannya mereka
saling bekerjasama untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Organisasi-organisasi sekuler masih meminta bantuan pemuka agama
pada acara-acara resmi kenegaraan. Begitu pula organisasi politik masih
memakai simbol-simbol keagamaan tertentu dalam mencapai tujuannya.
Namun, ciri-ciri ini mempunyai implikasi-implikasi khusus bagi agama
yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pemersatu atau sebagai pemecah
belah. Sehingga kekuatan sekulerisme sangat melemahkan nilai-nilai
agama. Mereka mengambil sikap toleransi terhadap perbedaan agama
sebagai ciri khas dari masyarakat ini. Akibat ketidak acuhan mereka
dalam menghadapi pengaruh sistem nilai sekuler yang semakin
berkembang; organisasi–organisasi keagamaan pun tidak lupa dari
pengaruh sekulerisasi. Berbagai penganut organisasi keagamaan
melaksanakan fungsi pemersatu bagi kelompoknya yang sebagian besar
anggotanya berasal dari kelas atau suku minoritas dalam masyarakat,
pada kelompok ini agama memegang tugas rangkap, yaitu: Pertama,
agama menyatukan anggotanya akibat tersingkirkan atau terlantarkan
dalam tatanan kehidupan sosial. Kedua, Agama sebagai pembatas
timbulnya memecah-belah kelompok dan mengilangkan identitas. Dalam
mensosialisasikan nilai-nilai agama, orang tua masih menyerahkah
anaknya pada kegiatan keagamaan sekolah Sabtu dan Minggu yang
diadakan gereja. Elizabeth menjelaskan bahwa dalam mendidik anak-
anak, kebanyakan orang tua di Amerika masih beranggapan bahwa nilai-
nilai keagamaan tradisional atau nilai-nilai serupa yamg telah
diperbaharui dengan versi baru merupakan landasan pembentukkan
karakter yang dapat dibenarkan.11

Agama, terlahir awalnya adalah berasal dari keyakinan terhadap


adanya yang ghaib dan mempunyai kekuatan supranatural. Kata agama,
berasal dari bahasa sansekerta ”a” yang berarti ”tidak” dan ”gama” yang

11
Elizabeth K,Nottingam, Religion And Society, ... hal. 52.

9
berarti ”kacau”. Dari dua kata tersebut diartikan bahwa agama adalah suatu
peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 12 Agama pada
era modern memandang dari perspektif Islam, modernitas dalam kehidupan
kita saat ini adalah impor dari dunia Barat yang memiliki sistem nilai logika.
Perkembangan tersendiri yang di dalamnya mungkin terdapat unsur yang
singkron saling melengkapi yang besifat universal. Dalam bentuknya yang
positif umat Islam pun mengakui ”hutang budi’ mereka kepada Barat,
terutama dalam mengikis kungkungan tradisionalisme, kemudian menerima
tatanan baru yang mendorong untuk melakukan berbagai inovasi guna
menjawab tantangan zaman di lingkungan masing-masing. Umat Islam
kehilangan jati diri dalam melihat tatanan yang serba asing kemudian
menempatkan secara proporsional baik sebagai ”kawan” maupun sebagai
”lawan”.

Bagi masyarakat Indonesia, mengidealisasikan peranan agama dan


pembentukan budaya dan kepribadian bangsa adalah wajar, karena agama
memang memiliki akar yang kokoh di dalam hampir segala subkultur yang
ada di Indonesia yang konon sejak zaman dahulu kala. Dengan kata lain,
agama bagi bangsa Indonesia telah menjadi salah satu unsur yang paling
dominan dalam sejarah peradaban sampai pada era modern ini bahkan
mungkin sampai masa yang akan datang akan tetap berpengaruh.

Menjadi tantangan bagi umat Islam, ketika menyebarkan ajaran Islam


di tengah-tengah masyarakat yang pluralitas dan di setiap langkahnya selalu
mengalami perubahan yang berpengaruh besar. Adapun kondisi masyarakat
Islam di Indonesia pada era modern ini seringkali mengalami ketegangan-
ketegangan di antara umat Islam sendiri, seperti konflik antar kelompok
Muslim, antar kelompok yang dianggap radikal dengan kelompok yang masih
menganggap dirinya pribumi atau kelompok Islam murni. Modernisasi
merupakan produk Barat yang memaksakan peradaban Barat terhadap dunia
Muslim dan untuk menyingkirkan pengaruh Islam dari berbagai aspek

12
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis,
(Jogjakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal. 28.

10
kehidupan. Modernisasi hanya akan menghasilkan sekularisasi dan
sekularisme suatu paham yang tertutup, suatu sistem idiologi tersendiri dan
lepas dari agama atau penolakan adanya kehidupanlain di luar kehidupan
duniawi ini yang akan mengakibatkan kemunduran agama baik pada tingkat
sosial (masyarakat) maupun pada tingkat individual. 13 Kemudian masyarakat
modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens dalam
pencarian makna.

Kondisi kehidupan masyarakat secara kultural juga mengalami


kemunduran, seperti yang kita lihat bagaimana masyarakat Indonesia yang
kita lihat sekarang ini kebanyakan menjadi konsumen dunia Barat, banyak
juga yang sampai saat ini melupakan kultur yang ada di negeri ini. Dari segi
etika, bahasa, gaya hidup, berpakaian, dan lain sebagainya. Dan sedikit sekali
masyarakat Indonesia khususnya Muslim Indonesia yang mengkontribusikan
pemikiranya di era modern ini. Hal ini memang sangat menghawatirkan bagi
masyarakat Indonesia. Disini kedudukan agama sering kali mengalah, yakni
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada agar tetap diterima
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Era modern ini,
masyarakat Muslim Indonesia juga terbawa-bawa oleh hidup ala Barat. Dan
sering kali tidak mempertimbangkan tentang ajaran agama. Bahkan juga
memalingkan atau mengacuhkan diri manusia dari apa yang dinamakan
dengan kehidupan kekal akhirat dan dengan semata-mata berorientasi kepada
dunia. 14

Dari masa ke masa, kehidupan masyarakat pasti akan mengalami


perubahan baik itu proses perubahannya secara cepat ataupun secara lambat,
direncanakan atau tidak. Perubahan sosial pada intinya adalah faktor
dinamika manusianya yang kreatif dan anggota masyarakatnya bersikap
terbuka, secara kreatif menciptakan kondisi perubahan terutama dalam bidang

13
Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung:Mizan,1998), hal.
218.
14
Yusuf Qardhawi, Sekuler Ekstrim, Terj. Daat Nuhani Idris (Jakarta: Pustakaal-Kautsar,
2000), hal. 2.

11
ekonomi dan politik hidup sehari-hari. Di dalam proses perubahan terkadang
diselingi konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat. Kemudian di era
modern, syarat umum modernisasi dalam kehidupan masyarakat meliputi:
cara berfifkir yang ilmiah, sistem analisa data atau fakta yang metodik,
sistem administrasi yang efisien, ada iklim yang mendukung perubahan baru,
disiplin yang tinggi pada waktu dan aturan main, inovasi dan modifikasi
dalam segala bidang.

Perubahan masyarakat Islam yang positif diantaranya:

1. Ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat semakin mendukung


perkembangan dunia Islam.

2. Dengan adanya modernisasi, umat Islam mampu mengaplikasikan ajaran


Islam dalam konsep ilmu umum.

3. Dengan adanya teknologi sebagai salah satu produk modernisasi,


masyarakat Islam bisa dengan mudah memperluas dakwahnya lewat
media dan juga memperluas jaringannya.

Perubahan masyarakat Islam yang negatif diantaranya:

1. Moralitas semakin menurun.

2. Ketergantungan terhadap teknologi.

3. Lebih mengutamakan urusan duniawi daripada ukhrowi.

4. Hubungan silaturrahni secara face to face menurun.

C. Problematika Kehidupan Umat Islam di Era Modern


Kondisi umat Islam belumlah seperti yang diharapkan sebagai sesuatu
yang benar-benar bangkit. Umat Islam dunia masih saja dalam kondisi
keterpurukan. Mekipun telah beberapa orang, kelompok dan organisasi yang
mulai bangkit dan menyerukan hal yang sama sambil menyadarkan umat
Islam dan berkarya untuk membuktikan hal itu. Hingga saat ini praktis bisa
dikatakan bahwa umat Islam memang masih sebagai sesuatu yang belum

12
berarti (secara politis) bagi dunia. Kebanggaan yang dapat ditampilkan bagi
umat Islam saat ini masih sangat sedikit sekali. Paling-paling negara Arab
yang kaya dengan minyak, itu pun karena keberuntungan takdir saja bahwa
cadangan minyak terbesar dunia ada disana. Tentang hal yang lain sangat
sulit untuk mencarinya. Di bidang ekonomi, masyarakat Muslim dunia sama
sekali tidak bisa diandalkan. Sampai sekarang sistem yang dipakai tetap saja
kapitalisme dengan segala konsekuensinya.negara-negara Muslim yang
memang sudah miskin semakin miskin saja dengan kapitalisme yang
dibanggakan Amerika. Sistem perekonomian Islam yanng menjanjikan
keadilan itu tidak muncul sama sekali. Padahal beberapa abad sistem ini
dipakai dan pernah terbukti keampuhannya. Sistem bank konvensional (riba)
masih menjadi pilihan utama masyarakat dunia. Belum lagi dengan
kemiskinan negara-negara Muslim yang menyebabkan mereka harus
berhutang pada negara-negara kapitalis. Pada gilirannya juga akan
mempersulit mereka bahkan untuk sekedar membayar bunga hutang.
Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap
sebagai sesuatu yang tidak bermoral tetapi juga sesuatu yang menghambat
aktivitas perekonomian masyarakat.15

Saat ini kondisi umat Islam terpecah belah ke dalam 50-an negara.
Kolonialisme telah berhasil melakukan hal itu dan selalu saja memunculkan
friksi antar umat Islam sendiri mengenai batas wilayah yang lebih sering
menimbulkan peperangan berkepanjangan daripada kepahaman dan
persaudaraan. Bagaimanapun umat Islam telah berhasil dikelabui oleh
berbagai gerakan pembaratan yang berakibat ada semacam trend di kalangan
umat Islam untuk meniru Barat dan merasa asing serta phobi pada Islam
sendiri. Dari segi sosial budaya umat Islam lebih menyukai meniru Barat
dalam banyak hal seperti model berpakaian, cara bergaulan, bahasa, dan
simbol-simbol budaya lainnya. Kemudian ini juga berlanjut dengan

15
Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 35. menurut Suhrawardi K. Lubis,
Riba merupakan pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang miskin yang pada
dasarnya membutuhkan pertolongan agar dapat melepaskan diri dari kesulitan hidupnya, terutama
dalam kebutuhan pokok. Lihat: Hukum Ekonomi Islam, hal. 28.

13
menganggap baik segala apa yang berasal dari Barat dan sebaliknya
menganggap yang dari Islam itu jelek dan ketinggalan zaman. Hal ini cukup
lama dirasakan sehingga keagungan Islam sendiri semakin tidak dirasakan
bahkan oleh umat Islam sendiri.

Ada banyak faktor yang menyebabkan permasalahan yang begitu


kompleks terjadi dengan umat Islam. Secara garis besar berupa faktor
eksternal dan internal. Adapun faktor-faktor eksternal yaitu:

1. Invasi Pemikiran (Ghazwul Fikri)


Adalah usaha suatu bangsa untuk menguasai pemikiran bangsa lain (kaum
yang diinvasi), lalu menjadikan mereka (kaum yang diinvasi) sebagai
pengikut setia terhadap setiap pemikiran, idealisme, way of life, metode
pendidikan, kebudayaan, bahasa, etika, serta norma-norma kehidupan
yang ditawarkan kaum penginvasi. Invasi pemikiran jelas-jelas
bermaksud merusak tatanan masyarakat Islam, mengganti norma dan
budaya Islam dengan Barat dan menjauhkan umat Islam dengan diennya
sendiri.
2. Sekulerisme
Pemisahan dengan sangat dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu non-agama memang merupakan bagian dari upaya untuk
menghilangkan peran agama dalam masyarakat dan memunculkan
keraguan akan kebenaran agama. Sekulerisme menjadi sesuatu yang
dianggap baik oleh Barat karena secara historis ia terlahir dari perlawanan
atas kejumudan pemikiran gereja di abad pertengahan.
3. Kapitalisme, Materialisme, Metode Ilmiah-Positifisme dan Modernisasi
Sebagai salah satu produk ghazwul fikri. dimana berawal dari temuan
metode ilmiah dan pengembangan iptek yang bersumberkan pada
paradigma material, kemudian berlanjut dengan kapitalisme yang
merasuki sistem pembangunan dan ekonomi umat Islam. Hal ini tidak
menyebabkan kecuali semakin terpuruknya umat Islam secara ekonomi
dan politik. Maka yang terjadi sekarang adalah imperialisme epistemologi
oleh Barat kepada umat Islam. Keterbelakangan pada banyak hal

14
menyebabkan umat Islam terpaksa mengikuti pola ini sadar atau tidak
untuk tetap bisa bertahan hidup.16
4. Ancaman Sanksi Ekonomi maupun Politik (Hubungan Luar Negari).
Mengarah kepada menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan kepada
pihak Barat, khususnya Amerika dengan PBB nya. Sehingga banyak
menghalangi tindakan ataupun sikap umat Islam menanggapi sebuah
permasalahan maupun isu. Karena apabila macam-macam saja dengan
Amerika dan cs-nya, alamat negara tidak akan tentram dalam waktu yang
lama. Secara psikologis bangsa-bangsa Muslim memang masih terjajah.

Sedangkan faktor-faktor internal yaitu

1. Runtuhnya Khilafah

Keruntuhan Daulah Islamiyah melalui pembubaran Khalifah oleh


Mustapa Kamal tanggal 3 Maret 1924, kemudian diikuti oleh pemisahan
agama dan negara dan model-model sekuler lainnya telah merusakkan
dan mencabik-cabik umat Islam. Setelah itu seolah-olah Islam benar-
benar telah hancur dan tidak akan pernah seperti itu lagi. Dan langkah ini
malangnya kemudian seolah menjadi preseden bagi umat Islam untuk
mulai meninggalkan ajarannya.

2. Perpecahan Umat Islam dan Kurang Ukhuwah

Dijadikannya negara Muslim menjadi banyak dan kecil-kecil menjadikan


umat Islam selalu dalam keadaan berpecah belah. Sehingga negara
Muslim lebih banyak disibukkan dengan perebutan batas negara dan
munculnya paham sukuisme dan nasionalisme sempit.

3. Fanatisme Madzhab

Bahkan hingga sekarang pun umat Islam masih sering terjebak dengan
pembahasan permasalah Mazhab yang notabene adalah permasalahan
furu’ (cabang).Yang lebih sering perbedaan ini menimbulkan perpecahan,

16
Abdul Shabur Marzuq, Ghazwul Fikri : Invansi Pemikiran , Terj. Abu Farah, (Jakarta:
Asya, 2006), hal. V

15
walau banyak yang mengikuti mazhab dengan taklid bukan ‘ala bashira.
Pada kajian-kajian keIslaman kemudian juga lebih membahas
permasalahan perbedaan mazhab dan seringnya mengarah pada
menjelekkan mazhab yang lain seolah syurga hanya untuk mazhabnya
sendiri.

4. Pluralisme Gerakan

Sebenarnya banyaknya gerakan Islam bisa menjadi suatu sinergi dakwah


jika saja semua elemen itu memiki visi bersama dan melakukan gerakan
dengan landasan kebersamaan, profesionalisme, dan spesifikasi gerakan.
Namun karena tidak ada misi bersama, yang terjadi saat ini adalah
masing-masing gerakan bekerja nafsi-nafsi yang kadang-kadang overleap
sehingga tidak optimal. Bahkan banyak yang bertentangan secara
diametral sehingga justru malah menghasilkan resultan yang lebih kecil
karena saling melemahkan. Dan malangnya, kadang bukannya fastabiqul
khairat malah saling menyikut, saling menyalahkan dan mengkafirkan.
Lihatlah bagaimana Salafy begitu sering menghujat Hizbut Tahrir,
Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, begitu juga sebaliknya. Atau kalau di
Indonesia bagaimana NU, Muhammadiyah, dan Persis. Boro-boro untuk
maju bersama, malah sibuk dengan mencari kesalahan orang lain.

5. Tingkat Intelektualitas

Keterpurukan ekonomi bisaanya bersamaan dengan kurangnya intelektual


di sana. Kepengarangan ilmiah dari negara-negara Muslim tidak ada yang
mencapai 0.3% dari seluruh karya ilmiah dunia. Bahkan jika digabungkan
pun jumlahnya juga tidak mencapai 0.5%. dari seluruh dunia yang
menghasilkan 352.000 karya ilmiah, negara-negara Muslim hanya 3.300,
sedangkan Israel 6.100 buah.

16
6. Salah Persepsi Terhadap Ajaran Islam

Dampak lain dari keberhasilan sekulerisasi dan keminderan dengan


identitas Islam adalah merosotnya pemahaman Muslim terhadap konsep
Islam sendiri. Kesempurnaan (syamil mutakammil) Islam tidak dikenal
lagi.Sehingga terjadi kerancuan dan kekaburan makna dan persepsi
terhadap ajaran Islam.

7. Kurangnya Komitmen Melaksanakan Ajaran Islam

Integritas kultur Islam dan kesatuan way of life Islam terpecah-pecah di


dalam diri mereka, di dalam pemikiran dan aksi mereka, di dalam rumah
dan keluarga mereka. Jauhnya umat Islam dari kehidupan Islami
menyebabkan ajaran-ajaran Islam menjadi sesatu yang aneh justru bagi
kaum Muslimin sendiri.

8. Gap Antara Kaum Terpelajar dan Kelas Bawah.

Munculnya kaum intelektual Muslim adalah sebuah kemajuan bagi aset


pengembalian peradaban. Namun sayangnya orang-orang intelektual ini
masih terlalu melangit. Hanya sibuk dengan diri dan intelektualitasnya
saja tanpa memandang kepada permasalahan konkrit yang dihadapi umat
saat ini.

D. Model Tasawuf yang Relevan dan Applicable di Era Modern


Dikritisi bahwa Tasawuf merupakan pemikiran yang bernilai
spritulialitas mulai berkembang sesuai dengan perkembangan pola pikir dan
paradigma manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang penuh
tantangan dan dilrema. Dalam perkembangan terakhir telah muncul beberapa
model tasawuf yang dianggap bisa menyesuaikan diri dengan kondisi social
masa kini. Tiga model tasawuf di antaranya yang akan dideskripsikan sebagai
berikut:

17
1. Tasawuf Modern

Tasawuf modern adalah model tasawuf yang diperkenalkan oleh Hamka.


Hamka dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Moderen. Dalam bukunya
itu, Hamka mengatakan bahwa Zuhud (membenci kemegahan dunia)
bukan merupakan ajaran Islam. Semangat Islam merupakan semangat
berjuang, berkorban dan bekerja. Islam selalu menyeru umatnya mencari
rezeki dan mengambil hal-hal yang bisa mengantar manusia mencapai
kemuliaan. Ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidup. Dengan
pengaruh zuhud menjadikan kaum Muslimin membenci dunia dan tidak
menggunakan kesempatan sebagai penganut agama lain. Akibatnya,
mereka lemah dan tidak bisa bersaing dalam kehidupan ini. Dia mau
berkorban tetapi tidak ada yang bisa dikorbankan karena harta telah
dibenci. Dia mau berzakat, tetapi tidak ada yang bisa dizakati karena
mengutuk orang yang mencari harta.

Yang dimaksud istilah tasawuf oleh Hamka, bukan merumuskan sebuah


metode tasawuf yang baru, tetapi hanya bermaksud mengembalikan
pemahaman tasawuf kepada sumber aslinya. Yaitu keluar dari budi
pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji, dengan
keterangan modern. Maka semula dari tasawuf harus ditegakkan kembali,
yaitu membersihkan jiwa, mendidik, mempertinggi budi pekerti,
menekankan segala kelobaan dan kerakusan, serta memerangi syahwat
yang melebihi keperluan individu.

2. Neo-Sufisme

Neo-Sufisme adalah sebuah model tasawuf yang diperkenalkan oleh


Fazlur Rahman da;lam bukunya yang berjudul Islam. Menurutnya, Neo-
Sufisme adalah sufisme yang diperbaharui. Kalau sufisme yang
konvensional lebih menekankan pada aspek mistis-filosofis, maka dalam
sufisme baru ini digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Kalau
dalam sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan tidak

18
melibatkan diri dalam hal kemasyarakatan, maka sufisme baru ini
mengalihkan pusat pengamatan kepada sosio-masyarakat Muslim. Oleh
karena itu karakter keseluruhan neo-sufisme adalah puritanis dan aktivis.

A. Rivay Siregar mengatakan bahwa gambaran secara singkat Neo-


Sufisme adalah upaya penegakkan kembali nilai-nilai Islam yang utuh,
yakni kehidupan yang seimbang dalam segala aspek kehidupan dan dari
segi expresi kemanusiaan. Artinya Neo-Sufisme tidak membawa ajaran
baru secara mutlak, tetapi merupakan sufisme yang diaktualisasikan
dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan kondisi kekinian.

3. Tasawuf Positif

Tasawuf positif dimaksudkan sebagai kebalikan dari persepsi negative


terhadap tasawuf selama ini. Sebenarnya selama ini pun tasawuf lebih
bersifat positif terhadap kehidupan dunia, tetapi ada persepsi yang negatif
terhadap tasawuf. Seperti menganggap tasawuf menjauhkan umat Islam
dari kehidupan duniawi. Pada hal tasawuf ini pada hakikatnya tidak
demikian.

Tasawuf positif adalah metode cinta, ia adalah metode tasawuf yang


dipopulerkan oleh IIMan (Indonesia Islamic Media Network). Sebuah
lembaga kajian tasawuf di Jakarta dibawah pimpinan Haidar Bagir. 17
Dalam mendefinisikan tasawuf positif, Haidar Bagir meringkasnya yaitu:

a. Allah sebagai perwujudan jalal dan jamal;

b. Menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah, tetapi aktif pula


dalam berbagai kegiatan duniawi;

c. Tidak mengabaikan syariah;

d. Tidak anti intelektual;

e. Tidak menolak ilmu-ilmu alam, ia menpromosikan akal dan sains;

f. Akhlak merupakan sasaran menjalani kehidupan sufistik;

17
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, ( Bogor: Kencana, 2003), hal. 1.

19
g. Insan kamil sebagai wujud multi dimensi;

Lebih lanjut, Haidar Bagir mengatakan bahwa tasawuf positif ingin


meyakinkan bahwa seorang sufi yang baik adalah orang yang
mementingkan amal saleh, yakni amal-amal untuk memperbaiki kualitas
lingkungan masyarakat.18 Seorang sufi yang benar adalah sufi yang giat
bekerja untuk kepentingan kehidupan dunianya. Jika ada kelebihan
hartanya, dialokasikan untuk kegiatan masyarakat yang “mustad’afin”

Jika dikaji lebih jauh tiga model tasawuf di atas, dapat dikatakan
bahwa pada prinsipnya, baik tasawuf modern, neo-sufisme, maupun tasawuf
positif memiliki tujuan yang sama yaitu mengembalikan ajaran tasawuf
secara proporsional sesuai dengan yang dipraktekan oleh Rasulullah SAW.
Segala bentuk penyelewengan yang telah merusak citra tasawuf berusaha
disingkirkan. Dengan begitu, tasawuf tidak ketinggalan dan tetap aktual
dalam kehidupan kontemporer.

18
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif,...hal. 1.

20
E. Kesimpulan
Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan
terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang
Maha Pencipta. Akan tetapi, tasawuf selama ini dipersepsikan sebagai laku batin
yang melepaskan diri dari keduniaan. Akan tetapi, belakangan terdapat suatu
paham tasawuf yang tidak menjadikan pengamalnya menarik diri dari lingkungan
dan justru mengharuskan pengamalnya untuk turun ke masyarakat dan ikut
berkontribusi dalam pemecahan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Dengan
pembersihan jiwa yang mencakup seluruh aspek batiniah ini maka ajaran Tasawuf
tidak tersekat dengan waktu yang ditentukan yaitu tidak terdikotomikan bahwa
Tasawuf hanya berada dan berlaku pada zaman Nabi dan para penerusnya akan
tetapi melihat kebutuhan dan tantangan zaman sekarang yang semakin kompleks
dengan tantangan kapitalisme global yang meradang. Serta Tasawuf yang selalu
menjadi bagian dari kehidupan manusia, jika di ibaratkan Tasawuf bagaikan air
yang mengalir di sendi-sendi kehidupan maka dari itu tidak pernah berhenti
mengalir.
Di berbagai aspek kehidupanpun tidak bisa terelakkan mulai dari aspek
teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan banyak lainnya membuat masyarakat
modern ini menjadi masyarakat yang mekanistik, dalam artian hidup seakan-akan
terukur dengan system yang telah ditentukan suatu perusahaan atau instansi
tertentu mengakibatkan ada suatu aspek kehidupan yang terlupakan, padahal
dalam kehidupan ini ada hal yang dapat menjadikan hidup lebih bermakna. Dalam
perkembangan terakhir telah muncul beberapa model tasawuf yang dianggap bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi social masa kini tasawuf modern, neo-sufisme,
tasawuf positif

21
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam . Studi Kritis dan Refleksi Historis.
Jogjakarta. Titian Ilahi Press. 1997.

Ja’fari, Muhammad Taqi. Tasawuf Positif Sebuah Pengantar. Jakarta. Nur Al-
Huda. 2005.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Potret Agama dalam Dinamika Konflik.


Pluralisme. dan Modern. Bandung. CV.Pustaka Setia. Cet. I. 2010.

Kertanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta. Erlangga. 2006.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung. Mizan.


1998.

Marzuq, Abdul Shabur. Ghazwul Fikri . Invansi Pemikiran . Terj. Abu Farah.
Jakarta. Asya. 2006.

Mulkan, Abdul Munir. Sufi Pinggiran Menembus Batas-Batas. Yogyakarta.


IMPULSE. 2007.

Nottingam, Elizabeth K. Religion And Society. ter. Adbul Muis Naharong. Jakarta.
CV. Rajawali. Cet. I. 1985.

Nurhaidah, M.Insya Musya. “Dampak Pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan


Bangsa Indonesia”. Jurnal Pesona Dasar. Vol. 3 No. 3. April 2015.

Qardhawi, Yusuf . Sekuler Ekstrim. Terj. Daat Nuhani Idris Jakarta. Pustakaal-
Kautsar. 2000.

Suyuti, Ahmad. Percik-Percik Kesufian. Bandung. Penerbit Pustaka Hidayah.


2002.

Tahouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta. Rajawali Press. Cet. I.


1992.

Tebba, Sudirman. Tasawuf Positif. Bogor. Kencana. 2003.

Tim Pengembangan Syariah Institut Bankir Indonesia. Konsep. Produk dan


Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta. Djambatan. 2002.

22

Anda mungkin juga menyukai