Abstrak ---------------------------------------------------------------------------------- x
Abstract ---------------------------------------------------------------------------------- xi
Summary -------------------------------------------------------------------------------- xv
Perda………………………………………………………… 384
BAB I
PENDAHULUAN
sebagai kontrol atas negara hukum. Demokrasi dapat dipahami sebagai suatu
sistem pemerintahan dalam suatu negara yang mana semua warga negara
1
Munir Fuady, 2010, Konsep...,op.cit, h.2.
2
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indoesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 197. Lihat juga Munir Fuady, 2010, Konsep Negara…, op.cit., h.34.
1
2
Pokok pikiran ini, dapat dipahami bahwa demokrasi mengandung ciri: (1)
atas, bahwa dalam suatu pengambilan keputusan oleh pemerintah harus memenuhi
minoritas.
keputusan-keputusan publik4.
3
Anonim, 2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sekretariat Jenderal
MPR RI, Jakarta, h.68.
4
Munir Fuady, 2010, Konsep Negara …, op.cit.,h.84.
3
demokrasi, Hal ini ditegaskan kembali oleh Jazim Hamidi5 yang menyatakan
merupakan pola bernegara yang diidealkan.6 Hal ini mempunyai makna bahwa
hukum yang berlaku pada suatu negara seharunya dirumuskan secara demokratis
yaitu suatu hukum yang merupakan kehendak rakyat, dalam konteks ini adalah
Perda yang baik adalah Perda yang memberi perhatian yang sama antara hukum
dan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu Perda harus dibentuk selaras dengan
nilai yang hidup dalam masyarakat. Wujud konkrit hubungan timbal balik antara
5
Jazim Hamidi, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif,
Prestasi Pustaka Publiher, Jakarta, h. 50.
6
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Konstitusi Press Khasanah
Peradaban Hukum & Konstitusi, Jakarta, h.75.
7
Moh Mahfud MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press Jakarta, h. 271.
4
difinisi konsep masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut David C. Korten juga
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
8
Moh Mahfud, 2011, Politik Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.31.
Baca juga HM. Wahyudin Husein dan H. Hutron, 2008, Hukum Politik & Kepentingan, LaksBang
Pressindo Yogyakarta, h. 34.
9
David C. Korten, 1998, “Introduction Community-Based Resource Management”
Community-Based Natural Resource Management, Reading and Resources for Researchers
Volume 2, Compiled By Sam Landon, for The Community-Based Natural Resource Management
Program Initiative, IDRC, Ottawa, Ontario, Canada, page.2.
10
Nur Rohim Yunus, 2013, “Menciptakan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia Dalam
Dimensi Hukum Progresif” dalam Dekontruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Thafa
Media Yogyakarta, h. 177.
11
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yasif Watampone,
Jakarta (anggota IKAPI), h. 69.
5
masyarakat dapat dipahami sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dalam
bahwa yang dimaksud masyarakat dalam penelitian ini adalah masyarakat hukum
kostitusional diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya di sebut UUD NRI 1945) yang menegaskan negara
masyarakat dan prinsip Negara Kesatua Republik Indonesia yang diatur dalam
12
Kesatuan masyarakat adalah menunjuk pada pengertian yang organik, yang tersusun dalam
kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai
tujuan bersama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dapat
diartikan sebagai kesatuan organisasi masyarakat yang memiliki kepemerintahan adat, sedangkan
masyarakat adat adalah isi atau warga dari kesatuan masyarakat hukum adat. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara.., Ibid dan lihat Irfan Nur Rahman et.al., 2011, “Dasar Pertimbangan
Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Proses
Pengajuan Undang-Undang di Makamah Konstitusi”, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat
Jendral dan Kepanitraan Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal.9. Selanjutnya
Hasil penelitian ini juga dimuat dalam Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 5 Tahun 2011.
6
status hukum kepada KMHA beserta hak tradisionalnya termasuk hukum adatnya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Mahfud MD14 bahwa pengakuan terhadap KMHA
penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum berdasarkan UUD NRI
Tahun 1945. Status desa pakraman adalah sebagai subjek hukum. Status ini
menempatkan desa pakraman sejajar dengan subjek hukum lainnya (baik orang
I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengandung makna, negara berkewajiban untuk
asasi. Hak asasi merupakan tujuan hukum yang terefleksi dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945. Hal ini dimaksud HAM sesuai dengan cita hukum (rechtsidee)
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Konstitusionalitas Desa Adat : Memahami Norma
Hukum Desa Adat Dalam Undang-UNdang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
Makalah disampaikan pada seminar nasional “Kedudukan Desa Adat Dalam Sistem Ketata
Negaraan RI “ dalam Rangka Menyambut Jubilium Emas Fakultas Hukum Universitas Udayana,
di Denpasar 28 Juni 2014, h. 19.
14
Moh. Mahfud MD., 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka UUD
1945 Menyongsong Globalisasi”, makalah disampaikan pada acara Seminar Awig-Awig II
“Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali Dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang
Sejahtera”, Bali, 30 September 2010, h. 4.
7
partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda merupakan hak asasi, yang
harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Pemahaman Pasal
18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memberikan arah
Matrik 1
Partsipasi Masyarakat dalam United Nations Declaration On The Rights Of
Indigenous Peoples.16
Declaration on The Rights of Indigenous Peoples Catatan
15
I Ketut Sudantra, 2013, Pengakuan Peradilan Adat Dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman, Disertasi pada Progam Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, h.3.
16
S. Karoba, 2007, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Asasi
Masyarakat Adat, The Ndugu Research & Publishing Foundation Yogyakarta-Indonesia
bekerjasama dengan Penerbit Galangpress Yogyakarta, h.24-25. Lihat juga dalam anonim, 2005,
Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Makamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, h. 117.
8
Hak-hak Masyarakat Adat memberi arah pada partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan Perda.
Matrik 2
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa setiap Kata ”bersamaan kedudukannya di dalam
warga negara mempunyai kedudukan yang hukum dan pemerintahan” merupakan
sama dalam hukum dan pemerintahan. pengakuan persamaan kedudukan masyarakat
di dalam hukum dan pemerintahan. Dengan
demikian ada dasar masyarakat untuk
berpartisipasi.
Pasal 28 C ayat (2) mengatur bahwa setiap Kata ”memperjuangkan haknya secara kolektif”
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam merupakan dasar pengakuan masyarakat untuk
memperjuangkan hak-haknya secara kolektif. ikut membangun masyarakat, bangsa dan
Negara.
Hal ini menunjukan bahwa adanya dasar yang
mengatur partisipasi masyarakat untuk
membangun masyarakat, bangsa dan Negara.
Pasal 28 D ayat (3) :setiap warga Negara Kata “kesempatan yang sama” merupakan dasar
berhak memperoleh kesempatan yang sama pengakuan hak masyarakat menggunakan
dalam pemerintahan. kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan.
partisipasi masyarakat juga diatur dalam tataran undang-undang, untuk itu dapat
Matrik 3
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam UU
17
Dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, Pasal 3 dinyatakan
bahwa… masyarakat adat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Selanjutnya lihat Pasal
23 ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan partisipasi penuh dan efektif
masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan program pembangunan yang akan
dilaksanakan di wilayah-wilayah adat dan berdampak terhadap mereka. Selanjutnya dalam
Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Ham, Pasal 3 menegaskan bahwa Masyarakat dapat
memberikan tanggapan dan/atau masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 4 menegaskan bahwa Konsultasi Publik
dilaksanakan pada setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
11
perlu ditelusuri kembali partisipasi masyarakat dalam tata hukum yang lebih
Matrik 4
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Pemerintah.
Matrik 5
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Presiden
Matrik 6
Dasar Pengaturan Partsipasi Masyarakat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Menteri jelas ada dasar pengaturan partisipasi masyarakat yang termasuk juga
masyarakat dapat dilihat dalam beberapa Perda. Sebagai contoh, diambil 3 (tiga)
sampel produk hukum daerah sebagaimana dapat dilihat dalam matrik sebagai
berikut :
Matrik 7
Dasar pengaturan partsipasi masyarakat dalam Perda
peraturan DPR RI, Peraturan DPRD Provinsi Bali dan Peraturan DPRD
Matrik 8
Dasar pengaturan partisipasi masyarakat dalam PP, Peraturan DPR RI, DPRD
Prov. Bali dan DPRD Kab/Kota
partisipasi masyarakat itu sendiri, baik itu konsep, makna dan tata cara (prosedur)
jelas terkait tata cara dan model partisipasi masyarakat (desa pakraman).
pembentukan Perda ada dalam sumber hukum formal yaitu Pasal 354 UU 23/2014
dan dalam pasal 96 UU 12/2011. Lebih lanjut dapat digali bahwa dasar
mengenai tata cara atau prosedur partisipasi masyarakat yang masih belum jelas
pengaturannya sampai sekarang. Walaupan dalam Pasal 354 ayat (5) UU 23/2014
partisipasi masyarakat sebagai pendelegasian dari pada Pasal 354 ayat (5) UU
konteks tata cara (prosedur) partisipasi masyarakat menjadi tidak jelas, sehingga
Perda. Dalam penjelasannya diatur secara jelas bahwa salah satu masyarakat yang
terlibat dalam pembentukan Perda adalah desa pakraman. Hal ini menunjukan
bahwa secara materi formal, desa pakraman mempunyai dasar yuridis untuk
12/2011 tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tatacara (prosedur)
partisipasi masyarakat. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas terkait
dijadikan bahan pertimbangan atau ditolak (tidak dimasukan dalam norma Perda).
tidak mengatur secara jelas mengenai tata cara partisipasi masyarakat. Dalam
Pasal 181 dan Pasal 182 hanya mengatur mengenai penyebarluasan Rancangan
dilakukan melalui media elektronik, media cetak dan forum tatap muka (dialog
langsung). Namun demikian ketidakjelasan juga melingkupi norma Pasal 181 dan
Pasal 182 yaitu tata cara partisipasi masyarakat yang tidak jelas. Ketidakjelasan
tersebut tampak pada posisi masukan yang diberikan masyarakat, apakah masukan
mengakibatkan posisi aspirasi masyarakat tidak lebih hanya aspirasi yang semu
Matrik 9
Data Konsultasi Publik Tahun 2012-2017
2012 Konsultasi Publik tentang Ranperda Kabupaten Dalam diskusi publik tersebut
Badung tentang Perlindungan Perempuan dan Anak desa pakraman tidak terlibat
Korban Kekerasan.
2013 Konsultasi Publik tentang Ranperda Provinsi Bali Desa pakraman tidak terlibat
tentang Perlindungan Anak dalam diskusi publik.
18
Sepaham dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan optik sosiologis melihat
bahwa dalam proses pembentukan hukum, keanggotaan pembentuk hukum diisi oleh golongan
menengah ke atas yang menyebabkan produk hukum yang dihasilkan berat sebelah. Lihat Satjipto
Rahardjo,2009, “Rangkuman Hukum dan Sang Legislator”, dalam Karolus Kopong Medan dan
Frans J. Rengka (editor), Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas Jakarta,
h.130.
17
Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan di Provinsi Bali, desa pakraman tidak
terlibat dalam konsultasi publik, namun dalam beberapa konsultasi publik yang
terlibat adalah Majelis Madya Desa pakraman (MMDP).19 Tidak dilibatkan desa
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bali (selanjutnya di sebut RTRW),
filosofisnya. Di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, pada alenia IV tersurat
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, pernyataan ini dapat
19
Dalam Bab IX Pasal 14 Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 menegaskan bahwa
Majelis desa pakraman terdiri dari: a. Majelis utama untuk propinsi berkedudukan di ibukota
propinsi; b. Majelis madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota; c. majelis desa
untuk kecamatan berkedudukan di di kota kecamatan. Mengenai Pembentukan Majelis Desa
pakraman diatur berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa pakraman. Selanjutnya Majelis Desa pakraman Bali (MDP Bali) dikatakan sebagai
wadah desa pakraman di seluruh Bali, sebagai temapat berkomunikasi, bertukar pikiran
menemukan jawaban atas permasalahan dan tantangan yang sama dengan cara yang sama pada
waktu yang bersamaan, lihat Wayan P. Windia, 2011, “Peran Strategis MDP Bali dalam
Menjawab Tantangan Bali Masa Depan”, dalam Himpunan Hasil-Hasil Pesamuhan Agung III
MDP Bali, Penerbit Majelis Utama desa pakraman (MDP) Bali, h.14.
18
yang membentuk desa pakraman. Hal ini dapat dipahami, selain perlindungan dan
negara terefleksi pada alenea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dengan
keadilan formal. Problem filosofis muncul ketika mengkaji problem yuridis dan
desa pakraman untuk berpartisipasi. Hal ini kental dipengaruhi oleh mazhab
Dalam pemahaman selanjutnya bahwa hukum hanya melihat hukum sebagai teks
formalnya (berujung pada keadilan formal semata), hal ini menjadi tidak sesuai
dengan semangat tujuan negara yaitu melindungi dan mengayomi secara totalitas.
20
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Disertasi pada Progam Doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, h.7.
21
Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta
Publishing, Yogyakarta, h.89.
19
Selain itu, problem filosofis yang melingkupi Pasal 354 UU 23/2014 dan
pakraman, maka dapat dipahami bahwa sepanjang partisipasi dalam konteks tata
cara partisipasi tidak diatur dalam undang-undang maka tata cara partisipasi itu
tidak ada dan tidak dapat diterapkan (lebih mengarah pada mematikan partisipasi
itu sendiri). Memahami Pasal 354 UU 23/2014 dan Pasal 96 UU 12/2011 dengan
jurisprudence yang memaknai bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).22 Cara pandang
22
Widodo Dwi Putro, 2009, “Mengkritisi Positivieme Hukum : Langkah Awal Memasuki
Diskursus Metodologis dalam Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati Irianto &Shidarta (editor),
Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 227. Lihat
juga Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 19.
Selanjutnya adanya hubungan timbal balik antar hukum dan masyarakat sebagai cerminan
sociological jurisprudence juga dapat dilihat dalam Widodo Dwi Putro, 2009, ”Hukum Dalam
Senjakala Ideologi”, dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (editor), Sosiologi Hukum
Dalam Perubahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 202.
20
filosofis muncul ketika desa pakraman sebagai wujud the living law tidak terlibat
hidup dalam suatu masyarakat, dengan kata lain memberikan perhatian yang sama
terhadap hukum juga sangat menentukan keadilan terkait dengan partisipasi desa
pakraman.
mana dalam pembentukan Perda yang hanya mengedepankan kajian legalistik dan
(kajian sosiolegal). Perlu dipahami bahwa kajian ilmu hukum dalam perspektif
legalistik yaitu ilmu hukum yang bebas nilai dan objektif, pemahaman yang
bebas dari pengaruh multidisipliner dan interdisipliner). 23 Oleh karena itu secara
aksiologi, kepastian hukum merupakan tujuan akhir. Di sisi lain kajian ilmu
23
Widodo Dwi Putro, 2009, “Mengkritisi …”, Ibid., h. 23.
21
dengan pelibatan kajian yang legalistik dan kajian sosiolegal dalam pembentukan
Perda perlu dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh penggunaan dari masing-
hukum dalam lapangan sosial atau dalam kehidupan masyarakat yang sangat
sistem hukum rakyat. Hal ini mendapat penegasan oleh Nurjaya26 bahwa
keberadaan hukum adat (adat law/customary law) dan juga hukum agama
24
Sulistyowati Irianto, 2009, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi
Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta h.174.
25
Sulistyowati Irianto, 2009, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global” dalam
Sulistyowati Irianto (editor), Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, h 29.
26
I Nyoman Nurjaya, 2008, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam
Masyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum” dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h.30.
22
problem politik hukum. Untuk memahami problem politik hukum, terlebih dahulu
perlu dijelaskan tentang arah politik hukum Provinsi Bali yang dapat dilihat dalam
2005-2025 yang diatur dengan Perda Nomor 6 Tahun 2009. Di dalam arah
Menengah Daerah Bali (RPJMD) menengaskan bahwa salah satu tujuan RPJMD
Hal ini menandakan bahwa salah satu point penting dalam mewujudkan
masyarakat dalam RPJPD dan RPJMD Provinsi Bali memberikan arah yang pasti
daerah. Dengan demikian dapat dipahami mendasarkan pada RPJPD dan RPJMD
serta UU23/2014 memberikan arah yang jelas terhadap politik hukum partisipasi
masyarakat.
dimaksud adalah tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan tata cara dan
alasan dalam politik hukum kedepan untuk perlunya dikonstruksi sebuah norma
baru dengan model partisipasi yang ideal terkait dengan partisipasi masyarakat
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, isu sentral yang ingin dikaji
lebih lanjut adalah landasan perlunya pengaturan partisipasi desa pakraman dalam
pembentukan sebuah Perda, baik Perda yang berdampak langsung maupun tidak
dan masyarakat mengenai partisipasi desa pakraman tersebut, serta model ideal
yang cocok untuk mengatur partisipasi desa pakraman sehingga terjamin keadilan
formal dan keadilan substansi dalam sebuah produk hukum. Berdasarkan pada isu
sentral tersebut penelitian ini menjadi relevan untuk di kaji dalam kaitannya
1.3.Tujuan Penelitian
teoritik dan problem politik hukum yang telah diuraikan dalam latar
belakang, maka tujuan umum yang hendak dicapai adalah menemukan dan
Perda.
pembentukan Perda.
secara praktis:
1.5.Orisinalitas Penelitian
sebagai berikut:
Matrik 10
Orisinalitas Penelitian
27
M.R. Khairul Muluk, 2007, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan
Daerah (Sebuah Kajian Administrasi Publik dengan Pendekatan Berpikir Sistem, Bayumedia
Publishing, Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA-UNIBRAW.
27
Pembahasan :
Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan.
Dipilihnya tema partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan perundang-
undangan ini mengingat produk perundang-undangan pada masa Orde Baru lebih
merupakan proses yang top down sehingga pada gilirannya banyak produk
perundang-undangan yang merugikan masyarakat namun tetap harus diterima
oleh bangsa Indonesia dan berakhir pada adanya reformasi 1998. Sementara itu,
pasca reformasi 1998 tuntutan proses pembentukan perundang-undangan yang
partisipatif terasa meningkat seiring dengan terjadinya dinamika proses politik
yang semakin demokratis. Proses pembentukan perundang-undangan di masa
yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan tingkat kesadaran
berdemokrasi dan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia.
Adapun dalam buku tersebut disiimpulkan bahwa, proses pembentukan UU di
28
Saifudin, 2009, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, FH UII Press, Yogyakarta.
28
era reformasi dapat dilihat dalam empat aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek
masyarakat, aspek pengaturan dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek
tersebut, secara bersama-sama telah mendorong proses pembentukan UU di era
reformasi yang melahirkan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas
yang pada gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam pembentukan UU.
Oleh karena itu, proses pembentukan UU di era reformasi telah menghasilkan
produk UU –meskipun belum sepenuhnya mendekati rasa keadilan dalam
masyarakat.
Pembahasan :
1. partisipasi masyarakat dalam pemerintahan diperlukan dalam rangka
meningkat kualitas demokrasi. Intensitas dinamika partisipasi masyarakat
terjadi pada tahap persiapan, formulasi, dan paska pembentukan Undang-
Undang Kewarganegaraan. Proses interaksi partisipasi mengikuti pola
siklus kebijakan.
2. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi masyarakat adalah aktor, media
massa, lobi, solidaritas masyarakat, dinamika masyarakat, dan keterbukaan.
Yuliandri30 Penelitian ini berjudul “Pengkajian Hukum Tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Penentuan Arah Kebijakan Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.
Adapun rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana arah kebijakan prioritas penyusunan Peraturan Perundang-
undangan?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
Peraturan Perundang-undangan?
Pembahasan:
1. Kebijakan prioritas penyusunan maupun pengembangan Peraturan Perundang-
undangan mesti mencakup penguatan stuktur hukum dalam rangka
memantapkan organisasi dan profesionalitas aparatur, perbaikan substansi
29
Hartoyo, 2010, Dinamika Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang KewargaNegaraan Republik Indonesia, Disertasi pada Program
Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
30
Yuliandri, 2014, “Pengkajian Hukum Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penentuan
Arah Kebijakan Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-undangan”, Laporan Penelitian pada
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.
29
Akmal Buku ini berjudul “Hukum Pemerintahan Daerah Pembentukan Perda APBD
Boedianto31 Partisipatif” yang merupakan disertasi yang telah dipertahankan pada Ujian
Doktor Terbuka pada Program Doktor Universitas Brawijaya Malang tanggal 25
November 2008.
Dalam disertasi ini ada permasalahan pokok yang dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah pengaturan hukum tentang pengelolaan keuangan daerah yang
mencerminkan prinsip-prinsip good financial governance?
Pembahasan :
Dalam pembahasan disertasi ini dihasilkan temuan bahwa mekanisme
pembentukan Peraturan Daerah tentang APBD belum mencerminkan partisipasi
publik dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah baik secara normatif
maupun praktis. Peraturan Daerah tentang APBD yang partisipastif memiliki
ligitimasi demokrasi yang kuat apabila mekanisme pembentukannya memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan (decicion making-process) dalam penuangan norma hukumnya dan
prosedur pembentukannya
31
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah Pembentukan Perda APBD
Partisipatif, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.
30
fokus pada partisipasi desa pakraman dalam pembentukan Perda yang tentunya
1.6.Metode Penelitian
dengan langkah-langkah penelitian dimulai dari mengkaji teks hukum dalam arti
ini secara bersama dan saling mendukung antara penelitian doktrinal dan
penelitian nondoktrinal34.
32
Suatu penelitian adalah suatu bangunan logika, yang dari awal sampai akhir harus
merupakan rangkaian yang saling menjelaskan satu sama lain. Hal ini dapat dipahami bahwa
dalam suatu penelitian harus ada suatu kesatuan alur yang bersumber dari thesis yang dibuat dari
awal sampai akhir.
33
Sulistyowati Irianto, 2009, “Praktik Penelitian Hukum Perspektif Sosiolegal” dalam
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 299.
34
Soetandyo Wignjosoebroto, 2009, “Ragam-Ragam Penelitian Hukum” dalam Metode
Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 121.
31
penelitian hukum di atas, dalam penelitian ini peneliti melakukan studi dokumen
yang selanjutnya dijelaskan makna dan implikasi pada subjek hukum (apakah
Dengan demikian posisi penelitian hukum dalam penelitian ini adalah hibrida
ilmu hukum dan ilmu sosial yang lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu tidak
untuk menganalisis, namun hasil amatan atas realitas sosial dan hasil wawancara
sosiolegal sesuai dengan metode ilmiah yang dikenal sebagai proses logico-
35
Dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu, yang bisa berupa tulisan, gambar,
atau karya monumental. Lihat Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta
Bandung, h. 82. Selanjutnya tujuan studi dokumen adalah 1) mengiventarisasi hukum positip, 2)
mengetahui konsistensi Peraturan Perundang-undangan berdasarkan hirarkhinya, 3) mengetahui
apakah suatu peraturan perundangan berbenturan dengan peraturan perundangan lain, 4)
memahami falsafah yang mendasari suatu Peraturan Perundang-undangan atau pasal-pasalnya.
Lihat Sulistyowati Irianto, 2009, Memperkenalkan … loc.cit.
32
Gambar 1
Proses dan Metode Ilmiah
TEORI
Verifikasi teori penggunaan logika
deduksi
Kebenaran Rasional
GENERALISASI HIPOTESIS
Kebenaran Empirik
tidak hanya terkungkung menjadi penelitian dogmatis namun sekaligus juga tidak
hadir untuk mendatangkan keadilan bagi semua kalangan, terutama bagi kalangan
36
Jujun S. Suriasumantri, 2007, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan Jakarta, h.125.
37
Gambar proses dan Metode ilmiah diadopsi dari materi kuliah Metode Penelitian Hukum
dari Tjok Istri Putra Astiti, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
33
untuk studi dokumen dalam penelitian ada empat pendekatan yaitu 1) pendekatan
kontekstual.
38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti
Bandung, h.101-102.
39
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Jakarta, h.92.
34
merupakan kombinasi penelitian doktriner dan penelitian empirik, jenis data yang
1.6.3.1. Data primer merupakan data lapangan diperoleh dengan cara pengamatan
1.6.3.2. Data sekunder berupa bahan kepustakaan yang diperoleh dari studi
dokumen apa saja yang digunakan serta untuk tujuan apa dilakukan studi
40
Sosiolegal sesungguhnya merupakan konsep payung yang memayungi segala pendekatan
terhadap hukum, proses hukum maupun sistem hukum. Identifikasi dalam kajian sosiolegal tidak
sebatas teks, melainkan pendalaman terhadap konteks yang mencakup proses dalam pembentukan
hukum dan implementasi hukum. Lihat Elfi Indra, 2016, “Perkembangan Studi Kebijakan Publik
Dalam Perspektif Socio-Legal” dalam Tutut Ferdiana Mahita Paksi dan Rian Achmad Perdana
(editor), Penelitian Hukum Interdisipliner:Sebuah Pengantar Menuju Sosio-Legal, Thafamedia,
Yogyakarta, h. 120. Lihat juga Candra Kusuma, 2013, Penelitian Interdisipliner tentang Hukum,
Epistema Institute Jakarta, h. 80.
35
41
Dokumen hukum dikatakan sebagai dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum,
sehingga dokumen hukum dipahami sebagai Peraturan Perundang-undangan. Lihat C.F.G.
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni
Bandung, h.151. Pemahaman dokumen hukum dalam Peter Mahmud Marzuki disebut sebagai
bahan hukum. Lihat Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian.... Sebutan lain dari dokumen
hukum yaitu sebagai data hukum, lihat Rikardo Simarmata, 2013, “Penelitian Socio-Legal dalam
Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam Pengalaman Penelitian di Delta Mahakam, Kutai Kerta
Negara, Kalimantan Timur”, Jurnal Digest Epistema Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-sosial,
Volume 3/2013, Jakarta,h. 33. Lihat juga Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2017, “Metodelogi
Penelitian Hukum Dalam Penyusunan Naskah Akademis” Makalah disampaikan pada Kegiatan
Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Di Daerah Tahun Anggaran 2017
Diselenggarakan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Bali, Denpasar, h.19.
42
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ke Tiga, Balai Pustaka Jakarta. Kamus dalam pemahaman Soerjono Soekanto termasuk
dalam bahan hukum tertier. Lihat Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 52.
43
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West Thomson business,
Printed in the United Staes of America.
36
44
Teknik snowball adalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil
sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus. Teknik snowball ini didasarkan
pada analogi bola salju, yang dimulai dengan bola salju yang kecil kemudian membesar secara
bertahap karena ada penambahan salju ketika digulingkan dalam hamparan salju. Lihat Neuman,
W. L., 2003, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Fifth Edition,
Boston: Pearson Education, page.275.
37
1.6.5.1. Teknik analisis data primer yang berupa data lapangan didahului dengan
serta pandangan sarjana atau doktrin. Pada tahapan ini terjadi dialektika
1.6.5.2. Teknik analisis data sekunder yang berupa dokumen hukum dilakukan
secara singkat dapat diuraikan bahwa data lapangan, dokumen hukum dan
ini yang selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif serta diinterpretasikan
metode interpretasi atas teks hukum atau memahami suatu naskah normatif45.
Lebih lanjut teknik dalam menafsirkan suatu teks hukum, dilakukan secara
holistik dalam bingkai keterkaitan teks dan konteks46. Hal ini dapat dipahami
memberi peluang kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat hanya
hukum dari perspektif Pemerintah Daerah dan para pengguna (masyarakat) serta
arahan untuk penulisan lebih lanjut. Secara garis besar rancangan sistematika
45
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah-Filsafat dan Metode Tafsir, Universitas
Brawijaya Press Malang, h. 97.
46
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika …, Ibid., h. 94.
39
problem tersebut maka dirumuskan 3 (tiga) rumusan masalah yaitu yang berkaitan
Pemerintah Daerah dan masyarakat terkait dengan partisipasi desa pakraman dan
kajian dalam penelitian ini. Dalam kerangka berfikir dibuat dalam bentuk gambar
tentang kajian dalam penelitian ini. Metode penelitian yang digunakan adalah
Peraturan Daerah. Dalam kerangka teoritik akan menguraikan kajian teoritik dan
Dengan demikian dapat dijelaskan apakah Pemerintah Daerah dan masyarakat itu
dalam pembentukan Perda maka dalam bab ini ditemukan dan dibentuk model