Contoh Kad 1
Contoh Kad 1
KETOASIDOSIS DIABETIK
111
Oleh:
Preseptor :
Dr. Rusdi, Sp. A (K)
DR.Dr. Yusri Dianne Jurnalis, Sp. A (K)
Dr. Almirah Zatil Izzah, Sp. A
2.1.3 Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun.
Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada
anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 %
penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan
sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita
DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa,
namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor
genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan
faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim
HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin
dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.7
2.2.2 Patofisiologi
Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian
awal sebagai lanjutan dari kegagalan sel secara progresif. Keadaan tersebut dapat
berupa penurunan kadar atau penurunan efektivitas kerja insulin akibat stres
fisiologik seperti sepsis dan peningkatan kadar hormon yang kerjanya berlawanan
dengan insulin. Secara bersamaan, perubahan keseimbangan hormonal tersebut
akan meningkatkan produksi glukosa, baik dari glikogenolisis maupun
glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa menurun. Secara langsung,
keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa > 11 mmol/L atau >
200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan laju
filtrasi glomerulus, dan hiperosmolaritas.7
Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas,
oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam
asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh
semakin meningkatnya asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.
Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar, asidosis, dan gangguan
elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan hormonal dan
menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus. Akibatnya,
dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa
poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan
menurunkan nilai pCO2 dan buffer asidosis, menyebabkan keadaan berlanjut
menjadi koma. Derajat keparahan KAD lebih terkait dengan derajat asidosis yang
terjadi: ringan (pH 7,2 – 7,3), moderat (pH 7,1 – 7,2), dan berat (pH < 7,1).7
Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia
biasanya didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan.
Hiperkalemia serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke
ekstrasel karena adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi
tubular renal. Terjadinya penurunan kadar fosfat dan magnesium serum juga
akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat efek dilusi akibat osmolaritas
serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur dengan menambahkan kadar
natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL.
Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan menyebabkan
peningkatan osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang
dilakukan secara cepat dapat memperlebar gradien osmolaritas serum dan
intraserebral. Cairan bebas kemudian akan memasuki jaringan otak dan
menyebabkan edema serebri beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu,
resusitasi cairan dan koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan
monitoring ketat.3
Edema serebri paling sering terjadi pada 4–12 jam setelah terapi diberikan,
namun dapat pula terjadi sebelum terapi dilakukan, dan pada beberapa kasus dapat
terjadi kapan pun selama terapi diberikan (tidak terikat waktu). Gejala dan tanda
edema serebri cukup bervariasi dan meliputi keluhan nyeri kepala, penurunan
bertahap atau memburuknya derajat kesadaran, nadi yang melambat, dan tekanan
darah yang meningkat.2,4
Pada penelitian in vitro pada hewan coba dan manusia, terjadinya edema
serebri dipicu oleh penyebab lain (misalnya trauma dan stroke) menunjukkan
bahwa mekanisme etiopatologik edema serebri pada KAD cukup kompleks.
Sejumlah mekanisme telah dianalisis, termasuk peranan iskemia/hipoksia serebral
dan peningkatan berbagai mediator inflamasi, yang akan meningkatkan aliran
darah ke otak serta mengganggu transpor ion dan air melalui membran sel.
Adanya osmolit organik intraselular (mioinositol dan taurin) dan
ketidakseimbangan osmotik selular juga merupakan faktor yang penting. Pada
pemeriksaan imaging anak dengan KAD menggunakan ultrasonografi, CT Scan,
dan MRI, menunjukkan berbagai derajat edema serebri yang terjadi meskipun
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan.2
2.2.3 Diagnosis
Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula
darah > 11 mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mmol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glukosuria, ketonuria, dan
ketonemia.2
Beberapa pemeriksaan laboratoris dapat diindikasikan pada pasien KAD,
yaitu:1,5
1. Gula darah
Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah
selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian
terapi. Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa
turun secara progresif atau bila diberikan infus insulin.
2. Gas darah
Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah
dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis
karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan
trauma pada anak.
3. Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan
(pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10
mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).
4. Kalium
Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat,
meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat
adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium
kembali ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat
selama terapi diberikan. Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan
bersamaan dengan monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.
5. Natrium
Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia.
Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6
mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium
untuk setiap 3 mmol/L glukosa). Kadar natrium umumnya meningkat selama
terapi. Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.
6. Ureum dan Kreatinin
Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa keton,
sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat
memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.
7. Kadar keton
Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur ketoasidosis,
dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Terdapat
dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH
>7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.
8. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)
Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien
yang tidak mendapat penanganan sesuai standar.
9. Pemeriksaan darah rutin
Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak terdapat
infeksi.
10. Urinalisis
Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton per
24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan.
11. Insulin
Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana
rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya
senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil
pemeriksaan.
12. Osmolaritas serum
Osmolaritas serum umumnya meningkat
Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
1. EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium.
Perubahan karakter EKG akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem.
Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu:
a. Interval QT memanjang
b. Depresi segmen ST
c. Gelombang T mendatar atau difasik
d. Gelombang U
e. Interval PR memanjang
f. Blok SA
2.2.4 Tatalaksana
Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan
dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan terdekat.
Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan reevaluasi
berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli. Dokter anak yang
telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga
dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai
pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter
biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama,
gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan
risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus
dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. 7,8
Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD,
yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian
cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8
Penanganan pasien anak dengan KAD, antara lain:3
1. Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar,
yaitu airway, breathing, dan circulation.
2. Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by
mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi,
diberikan antibiotik.
3. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama adalah resusitasi cairan dan
pemeriksaan laboratorium adalah:
a. Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam
atau kurang
b. Glukosa: Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai
250 – 300 mg/dL selama rehidrasi.
4. Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia,
asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium
ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.
5. Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien,
mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama
periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
a. Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam
b. Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila
terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine
perlu dilakukan
c. Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil
hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T
d. Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan
dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi
inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
e. Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas
darah harus diulangi setiap 2 – 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan
elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya
stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi.
f. Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk
menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak
jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah,
penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable,
mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan
kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.
6. Cairan dan Natrium
Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan
menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa
penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi insulin
menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5 L bersamaan dengan
kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama, cairan
ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan
hemodinamik jarang terjadi pada KAD.
Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi
di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian
cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.
Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD, antara lain:6
a. Mengembalikan volume sirkulasi efektif
b. Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel
c. Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance
glukosa dan keton dari dalam darah
d. Menghindari edema serebri
7. Insulin
Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan
konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam
normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan
ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan cara yang berbeda
(subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak bukti yang menunjukkan
pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar terapi efektif.
Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam,
yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 – 200 unit/mL dalam 60 menit,
cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi
kemungkinan resistensi insulin dan yang paling penting menghambat proses
lipolisis dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan menstimulasi
peningkatan ambilan glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi
bergantung normalisasi kadar glukosa darah.2,3
Adapun pedoman pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain:5
a. Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi
b. Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan
pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus
c. Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin
setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin.
Pengaturan kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis
0,1 U/Kg/jam
d. Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa
secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 – 300 mg/dL
8. Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3–6
mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar
kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan
buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada awal kejadian
dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang terjadi berkaitan
dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan hiperkalemia terjadi akibat
penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi asidosis akan
memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum
menurun.3,8
Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD,
antara lain:3,7
a. Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium
b. Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium
asetat
c. Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang
membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui
NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat
daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi
d. Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan
intravena
e. Apabila kadar kalium serum 3,5–5,0, tambahkan 30 mEq/L
f. Apabila kadar kalium serum 5,0–5,5, tambahkan 20 mEq/L
g. Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu
dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena
h. Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG
untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG
9. Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa,
penurunan berkisar antara 0,5–2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada
data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan
semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat
akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah
berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu
penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap
oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai
beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian
prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada
terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari
keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang
dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari
hiperkloremia.2
10. Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan
memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan
menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara
spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi
jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan
ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.2
11. Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan
tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan.
Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak
kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian
tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap
keterlambatan pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena
diberikan 0,25 – 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema
serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan
setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal.
Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 – 10 mL/Kg selama 30 menit dapat
digunakan sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu
dilakukan sesuai kondisi. Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait
dengan edema serebri yang terkait dengan KAD.2,3,7
2.2.5 Pencegahan
2.2.5.1 Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak
dengan risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi
terhadap individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu
menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kesehatan oleh
dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78%
hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai
tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih
mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.2,3
2.2.5.2 Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan
dengan edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang
merujuk pada episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD
yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi
yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan
kesehatan.2
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. TNS
No. MR : 914866
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur/Tanggal Lahir : 13 tahun 2 bulan / 6 Juli 2017
Alamat : Parak Laweh Padang
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Tanggal Masuk RS : 1 September 2017
ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu kandung pasien
Keluhan utama :
Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 7 jam sebelum masuk Rumah sakit
Riwayat Persalinan
Lama hamil : 39-40 minggu
Cara lahir : spontan
Ditolong oleh : bidan
Berat badan lahir : 3.500 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Saat lahir langsung menangis kuat
Kesan : riwayat persalinan baik
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Jonedi Vivi
Umur 41 tahun 41 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Jualan IRT
Penghasilan Rp 5.000.000 -
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit Tidak ada Tidak ada
Saudara Kandung
1. Tiara (perempuan) 13 Tahun pasien
2. Erika (perempuan) 10 tahun sehat
2. Rangga (laki-laki) 7 tahun sehat
3. Sherlina (perempuan) 2 tahun sehat
4. Rilian (perempuan) 1 tahun sehat
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
Keadaan umum : berat
Kesadaran : GCS E3M6V5 somnolen
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,40C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 42 kg
BB/U : 85,7 %
TB/U : 96,5 %
BB/TB : 95,4 %
Status Gizi : Gizi kurang
Edema : Tidak ada.
Ikterus : Tidak ada.
Kulit : Teraba hangat
Anemia : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada.
Kepala : Bulat, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Reflek
cahaya +/+. Pupil isokor, diameter 3 mm kanan dan 3 mm
kiri.
Hidung : Nafas cuping hidung ada.
Telinga : Tidak ditemukan kelainan, sekret tidak ada
Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.
Gigi dan Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, karies tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O.
KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Thorak : Normochest
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada ada pada
epigastrium dan intercosta, pernafasan cepat dan dalam
(kusmaul).
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midclavikularis
sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Kanan : Linea sternalis kanan
Kiri : RIC V , 1 jari medial dari garis midclavikularis sinistra
Atas : RIC II, linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama regular, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
lambat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Genitalia : Flour Albus ada, status pubertas A2M2P2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik,
Reflek fisiologis : refleks biceps (++/++), refleks triseps (+
+/++), refleks patella (++/++), refleks achilles (++/++)
Refleks patologis : babinsky group (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin
Tanggal 03/01/2017 (nilai rujukan)
Hb (gr/dL) 15,6 12 – 15
Ht (%) 45 35 – 45
Eritrosit (juta) 5,38 4,0 - 5,4
Leukosit /mm3 35.640 4.500-13.500
Trombosit /mm3 417.000 150.000-400.000
Retikulosit (%) 0,5 0,5 – 1,5
DC
Basofil 0 0–2
Eosinofil 0 1–4
N. Batang 0 0–5
N. Segmen 67 29 – 65
Limfosit 32 29 - 65
Monosit 1 2 – 11
Darah Sewaktu (mg/dL) 542 < 200
Gambaran Darah Tepi Eritrosit : anisositosis normokrom
Leukosit : jumlah meningkat dengan netrofilia shift to the right
Trombosit : jumlah meningkat dan morfologi normal
Kesan : leukositosis, trombositosis
AGD (Analisis Gas Darah)
Tanggal 03/01/2017 Nilai Normal
pH 6,82 7,35-7,45
pCO2 (mmHg) 18 35-45
pO2 (mmHg) 31 93-100
HCO3- (mmol/L) - 24-28
Na + (mmol/L) 138 135-145
K + (mmol/L) 5,2 3,5-5
Ca ++ (mmol/L) 9,2 8,1-10,4
Kesan : Asidosis Metabolik
Ureum : 28 mg/dL
Creatinin : 0,7 mg/ dL
Kesan : dalam batas normal
Urine
Tanggal 03/12/2016 Nilai Rujukan
A. Fisis
Warna Kuning Kuning – coklat
Kekeruhan Positif Negatif
B. Mikroskopis
Eritrosit 0 – 1/ LPB ≤5
Leukosit 0 – 1 / LPB ≤1
Silinder Granuler Negatif
Epitel (+) gepeng Positif
Kristal Tidak ada Negatif
C. Kimia
Protein (++) Negatif
Glukosa (++) Negatif
Bilirubin Positif Negatif
Urobilinogen Positif Positif
Benda keton (+++) Negatif
DIAGNOSIS KERJA
Ketoasidosis diabetikum
Insulin Dependent Diabetes Mellitus
Kandidiasis oral + kandidiasi vulvovaginalis
DIAGNOSIS BANDING
Ketoasidosis diabetikum ec Susp. Diabetes Mellitus tipe 2
Suspek Diabetes Mellitus tipe 2
PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan
Oksigen 2 L/menit kanul nasal
IVFD NaCl 0,9% tts cepat (makro)
Insulin 4,2 cc/jam (0,5 cc insulin dalam 50 cc NaCl 0,9%) ( 0,1
cc/kgBB/jam
GDR tiap 1 jam
Keton urin tiap 2 jam
Resusitasi cairan
a. Derajat dehidrasi = ringan: 3% (A)
b. Defisit cairan = 3% x 42 x 1000 ml = 1260 cc (B)
c. Kebutuhan rumatan dalam 48 jam = 1260ml + 2 (1000+500+440) =
3880cc (C)
d. Kebutuhan total 48 jam = (B + C) = 51400 cc 35tpm makro
2. Tatalaksana Medikamentosa
ampisilin 4x200 mg gr iv
gentamisin 2x 100 mg iv
ketokonazol 2x 200 mg po
3. Edukasi
Patuhi pemakaian obat, terutama insulin
Rencana Pemeriksaan
FOLLOW UP
Jumat/ 01-09-17
Jam 11.00 wib
S/ Anak masih tampak gelisah, anak mulai sadar, anak masih
dipuasakan, demam tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak
ada, BAK ada warna keruh jumlah cukup
O/ Keadaan umum , Kes, TD, Nadi, Nafas, T
sakit berat sadar 110/70mmHg 104 x/i 26x/i 36,7°C
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit teraba hangat, turgor kulit kembali cepat
Thoraks normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi
Pulmo bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising
usus (+)
Ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik
Kebutuhan cairan :
5040 cc – 200cc = 100 cc/ jam
Sabtu/ 02-01-17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak sadar, masih nampak sesak nafas dan gelisah, demam
tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak ada, BAK ada warna
keruh jumlah cukup.
O/ Keadaan umum , Kes, Nadi, Nafas, T
sakit berat sadar 108x/i 20 x/i 36,9°C
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada
tidak ada
Pulmo bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising
usus (+)
Ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Ketoasidosis diabetik
Insulin dependent diabetes mellitus
kandidiasis vulvovaginalis
P/ Lanjutkan terapi
Resume Pindah
Seorang pasien anak perempuan usia 14 tahun dirawat di
HCU anak selama 3 hari dengan diagnosis :
- Ketoasidosis diabetikum
- Insulin dependent diabetes melitus
- Kandidiasis vulvovaginalis dan kandidiasis oral
Kondisi saat ini :
S/ demam tidak ada, sesak nafas tidak, kejang tidak ada.
Anak sadar penuh, telah mulai makan dan injeksi insulin
novorapid dan levemir sub kutis sejak pagi ini gula darah
masih belum stabil. Keton urin telah negatif sejak pagi ini
( lebih kurang 8 kali pemeriksaan) BAK ada jumlah cukup.
Hasil Laboratorium :
Hb : 15,6 gr/dl
Leukosit : 35.640 /mm
Ht : 45%
Hitung jenis : 0/0/0/0/67/37/1
AGD : Ph: 6,8 pCO2: 18 pO2: 101 HCO3- :- BE (E):-
GDR: 542 mg/Dl keton urin : ++( masuk)
GDR : 275-175-97-137-345-397-391
Na : 138
K : 5,2
Ca : 9,2
Ur : 48
Cr : 0,7
Keton urin : ++/+/-/-/-/-/-
Senin/4-9-17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak tidak demam, kejang dan sesak nafas tidak ada. Anak
tidak menghabiskan makan yang diberikan padanya.
Perdarahan tidak ada.anak mengeluhkan nyeri perut. Muntah
tidak ada. BAK ada jumlah cukup.
Selasa/ 05-9 17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak sadar penuh, demam, kejang dan sesak nafas tidak ada.
Intake sudah diberikan sejak 2 hari yang lalu dengan toleransi
baik. Muntah tidak ada,kadar gula darah cukup stabil,
tertinggi malam 258 mg/dl pagi ini120 mg/dl.
Insulin SC diberikan dosis 1,5 mg/kgbb/hari.
Keputihan masih ada berkurang dibandingkan sebulan lalu.
Bercak keputihan di mulut sudaj tidak ada
Konsul psikologi sudah dilakukan
BAB dan BAK tidak ada keluhan
A/ Insulin dependent DM
Kandidiasis Vulvovagunalis
BAB 4
DISKUSI
Seorang anak perempuan usia 13 tahun dibawa ke RSUP Dr. M. Djamil
Padang dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin meningkat sejak 7
jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas pada anak sudah dirasakan sejak
1 hari sebelumnya, namun semakin bertambah sejak 7 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sesak pada anak dapat disebabkan oleh banyak hal. Sesak tidak
dipengaruhi oleh suhu, cuaca dan makanan sehingga kemungkinan alergi yang
mengarah ke sesak yang disebabkan oleh asma dapat disingkirkan. Sesak
nafas juga tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan pasien tidak memerlukan
bantal yang lebih tinggi saat tidur sehingga kemungkinan sesak yang
dipengaruhi oleh kelainan jantung juga dapat disingkirkan. Sesak nafas pada
anak kemungkinan disebabkan karena kelainan metabolik karena sesak pada
pasien diikuti pola nafas cepat dan dalam (nafas Kussmaul) yang biasanya
ditemukan pada anak dengan ketoasidosis diabetik. Usaha nafas yang cepat
tersebut diikuti dengan adanya nafas cuping hidung dan retraksi epigastrium
serta intercosta yang menandakan adanya usaha nafas berlebih untuk
mendapatkan oksigen. Anak ini telah dikenal menderita DM tipe 1 sejak usia
11 dan telah mendapat novorapid dan levemir. Pasein sudah dirawat karena
DM tipe 1 dan KAD sebelumnya.
Pasien pertama kali datang pada tanggal 27 mei 2015 dengan keluhan
utama sesak nafas, dan dilakukan pemeriksaan gula darah tertinggi: 451
mg/dL, keton urin ++ dengan hasil AGD asidosis metabolik. Pasien dirawat
selama 19 hari di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dilakukan pemeriksaan
HbA1c : 17,5% dan C-peptide : < 0,1. Kolesterol total : 178, HDL: 37, LDL :
104, Trigliserida: 187. Hipotesis yang mengarah ke ketoasidosis diabetik
ditunjang dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ditemukan gejala
klasik diabetes mellitus meliputi anak sering buang air kecil dan sering
terbangun pada malam hari untuk BAK (poliuria), anak sering merasa lapar
(polifagia), dan anak sering merasa haus (polidipsi) keluhan ini sudah
dirasakan sejak usia 10 tahun. Hal ini disebabkan karena glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel akibat menurunnya jumlah insulin. Akibat
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, hal ini mengakibatkan sel hepar akan
berusaha lebih keras lagi untuk memproduksi glukosa melalui glikogenolisis
dan glukoneogenesis kemudian akan timbul hiperglikemia puasa timbul
diuresis osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah terlampaui (>
180 mg/dL). Onset gejala klasik pada pasien ini sesuai pada gambaran
diabetes mellitus tipe 1 pada anak yang biasanya bersifat akut. Selain itu, pada
pasien juga ditemukan penurunan berat badan Hal ini sesuai dengan gambaran
diabetes mellitus pada anak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
perubahan kesadaran dimana anak menjadi somnolen, disertai nafas cepat dan
dalam dengan frekuensi nafas 46 x/ menit. Pola pernafasan ini ditemukan pada
keadaan asidosis, dimana pada anak ini dicurigai menderita ketoasidosis
diabetik diabetes mellitus tipe 1. Pola pernafasan yang cepat dan dalam akan
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan parsial CO 2 dalam darah yang
nantinya dibuktikan dengan nilai analisis gas darah. Hiperpneu yang lama
dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan. Selain itu pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan mata cekung dengan turgor kulit yang
kembali lambat, hal ini menunjukkan tanda-tanda dehidrasi akibat
hiperosmolaritas darah akibat adanya glukosuria.
Hipotesis ketoasidosis diabetik pada pasien ini ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium dengan gula darah sewaktu 542 mg/dL, hal ini dapat
dipastikan bahwa pasien ini mengidap diabetes mellitus. Ditemukannya protein,
glukosa dan benda keton dalam urinalisis mendukung patofisiologi terjadinya
KAD pada pasien ini. Selain itu nilai analisis gas darah dengan pH 6,82(pH < 7,1)
dan HCO3- < 3,0 mmol/L (HCO3- < 5 mmol/L) dapat dikategorikan menjadi
ketoasidosis diabetik berat.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel,
akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiper glikemia). Pada anak sakit
walaupun tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis
sehingga tetap terjadi hiperglikemia. Benda keton yang terbentuk karena
pemecahan lemak disebabkan oleh ketiadaan insulin. Akumulasi benda keton ini
menyebabkan terjadinya asidemia, dan asidemia ini dapat menimbulkan ileus,
menurunkan kemampuan kompensasi terhadap poliuria, dan menimbulkan
diuresis osmotik menyebabkan terjadinya dehidrasi berat. Makin meningkatnya
osmolaritas karena hiperglikemia dan asidosis yang terjadi, menyebabkan
penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Oleh karena
itu pada penderita KAD ditemukan berbagai tingkatan dehidrasi, hiperosmolaritas,
dan asidosis.
Tatalaksana awal untuk KAD pada pasien ini adalah memperbaiki perfusi
jaringan dengan resusitasi cairan, menghentikan ketogenesis dengan pemberian
insulin sehingga memperbaiki asidosis dan glukosa dapat digunakan oleh jaringan
perifer untuk metabolisme dan mencegah terjadinya proteolisis dan lipolisis,
mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat optimal, berada di bawah
kadar renal threshold (180 mg/dL) namun tidak menimbulkan hipoglikemia serta
melakukan koreksi elektrolit. Pasien ini diberikan O2 2 liter/menit, cairan
resusitasi dengan NaCl 0,9% 35 tetes per menit (makro), drip insulin 4,2 cc/jam
(100,8 cc/ hari).
DAFTAR PUSTAKA