Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman sekarang ini semakin tidak menentunya cuaca atau iklim di negara
Indonesia maupun di negara-negara lain merupakan akibat dari tingkah laku dan
perbuatan manusia. Mulai dari penebangan hutan yang merajalela sampai pola
hidup yang tidak baik. Seiring dengan musim yang berjalan dengan tidak menentu
sehingga menyebabkan seseorang mudah sakit. Di era sekarang obat-obatan
banyak dijual bebas di apotik dan toko obat, sehingga banyak dari kita sering
menggunakan obat-obatan tanpa pengawasan dokter. Penggunaan obat yang tidak
sesuai dengan aturan atau petunjuk dokter sangat berbahaya bagi tubuh akibat atau
efeknya bisa langsung kelihatan dan bahkan mungkin baru beberapa tahun ke
depan.

Setiap orang tentunya pernah merasakan rasa nyeri. Mulai dari nyeri ringan
seperti sakit kepala, nyeri punggung, nyeri haid, reumatik dan lain-lain seperti
nyeri yang berat. Obat nyeri itu dinamakan obat analgesik. Analgesik yang sering
digunakan salah satunya adalah parasetamol. Selain sebagai analgesik,
parasetamol juga dapat digunakan untuk obat antipirek (demam). Parasetamol
banyak digunakan karena disamping harganya murah, parasetamol adalah anti
nyeri yang aman untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).

Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara
bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit
menjelang menstruasi, dan diindikasikan juga untuk demam. Parasetamol itu aman
terhadap lambung juga merupakan Analgesik pilihan untuk ibu hamil maupun
menyusui. Tapi bukan berarti parasetamol tidak mempunyai efek samping. Efek
samping parasetamol berdampak ke liver atau hati. Parasetamol bersifat toksik di
hati jika digunakan dalam dosis besar.

1
Parasetamol (Asetaminofen) merupakan senyawa organik yang banyak
digunakan dalam obat sakit kepala karena bersifat analgesik (menghilangkan
sakit), sengal-sengal, sakit ringan, dan demam. Parasetamol digunakan dalam
sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Untuk mengetahui lebih
jelasnya tentang parasetamol, kita akan membahas mengenai apa pengertian
parasetamol, apa saja kegunaan atau manfaat dari parasetamol serta dampak atau
efek samping parasetamol yang tidak sesuai dengan dosis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana profil obat parasetamol?

2. Bagaimana mekanisme aksi terapeutik dari parasetamol?

3. Bagaimana mekanisme efek toksik parasetamol?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui profil obat parasetamol.

2. Untuk mengetahui mekanisme anti terapeutik parasetamol.

3. Untuk mengetahui mekanisme efek toksik parasetamol.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Parasetamol

Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat


antipiretik/analgesik. Parasetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas
badan yang disebabkan oleh adanya infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping
itu, parasetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah
didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. Obat yang
mempunyai nama generik acetaminophen ini dijual di pasaran dengan ratusan
nama dagang. Beberapa diantaranya adalah Sanmol, Pamol, Fasidol, Panadol,
Itramol dan lain-lain. Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral.

Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus


hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam
sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-
aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat. Sifat analgesik
Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Dalam
golongan obat analgetik, parasetamol memiliki khasiat sama seperti aspirin atau
obat-obat Non-Steroid Antiinflamatory Drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin,
parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi
sedikit aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer. Namun, tak seperti
obat-obat NSAID.

Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam,


anti pegel linu dan anti-inflammatory. Inflammation adalah kondisi pada darah
pada saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang
bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita
terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerja, gejala
inflammation lainnya adalah iritasi kulit. Sifat antiinflamasinya sangat rendah
sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral

3
Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam
plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian.
Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami
perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.Parasetamol memiliki
aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak menyebabkan
gangguan saluran cerna maupun efek kardiorenal yang tidak menguntungkan.
Karenanya cukup aman digunakan pada semua golongan usia.

Parasetamol tergolong obat analgetik non-narkotik yaitu dalam ilmu


Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah analgetik/analgetika/analgesik
perifer. Analgetika Perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan obat analgetik non-
narkotik atau obat analgesik perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau
meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau
bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat analgetik non-narkotik
atau obat analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada
pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan obat analgetika jenis analgetik
narkotik). Efek samping obat-obat analgesik perifer: kerusakan lambung,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit. Berikut adalah
beberapa hal tentang sifat paracetamol dalam pengujian laboratorium:

1. Paracetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat.

2. Pemerian: serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.

3. Kelarutan: larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N;
mudah larut dalam etanol.

4. Baku pembanding: paracetamol BPF1; lakukan pengeringan diatas silica gel


P selama 18 jam sebelum digunakan.

5. Identifikasi:

a. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan diatas pengering


yang cocok dan didispersikan dalam kalium bromida P menunjukkan

4
maksimum hanya pada bilangan gelombang yang sama seperti pada
Paracetamol BPF1.

b. Spektrum serapan ultraviolet larutan ( 1 dalam 200.000) dalam campuran


asam klorida 0.1 N dalam metanol P ( 1 dalam 100), menunjukkan
maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama dengan
Paracetamol BPF1.

c. Memenuhi uji Identifikasi secara kromatografi Lapis Tipis <281>,


gunakan larutan 1 mg per ml dalam metanol P dan fase gerak
diklormetamus.

6. Jarak lebur: <1021> Antara 168°– 172°.

7. Air: <1031> Metode I tidak lebih dari 0.5%

8. Sisa pemijaran: <301> tidak lebih dari 0.1%

9. Klorida: <361> tidak lebih dari 0.014% ; lakukan penetapan dengan cara
sebagai berikut: kocok 1.0 g zat dengan 25 ml air, saring, tambahkan dengan
1ml asam nitrat 2N dan 1ml perak nitrat LP: larutan menunjukkan kandungan
klorida tidak lebih dari larutan 0.20ml asam klorida 0.020 N.

10. Sulfat: <361> tidak lebih dari 0.02%; lakukan penetapan sebagai berikut:
kocok 1.0g zat dengan 25ml air, saring, tambahkan 2ml asam asetat 1N dan
2ml barium klorida LP: kekeruhan yang terjadi tidak lebih dari 0.20ml asam
sulfat 0.020 N

11. Sulfida: masukkan lebih kurang 2.5g zat ke dalam gelas piala 50ml,
tambahkan 5ml etanol p dan 1ml asam klorida 3N. Basahkan sepotong kertas
timbal (II) asetat P dengan air dan letakkan pada bagian bawah arloji. Tutup
gelas piala dengan kaca arloji sedemikian hingga kertas timbal(II) asetat P
dekat dengan bagian gelas piala untuk menuang. Panaskan pada lempeng
pemanas sampai hampir mendidih: tidak terjadi warna atau bercak pada
kertas.

12. Logam berat: <371> metode III tidak lebih dari 10 bpj

5
13. Zat mudah terarangkan: <411> larutan 500mg zat dalam 5 ml asam sulfat
LP; warna larutan tidak lebih tua dari larutan padanan A seperti tertera pada
warna dan akromisitas.

14. p-aminofenol bebas: tidak lebih dari 0,005%, lakukan penetapan sebagai
berikut; masukkan 5,0 g zat ke dalam labu ukur 100 ml; larutkan dalam lebih
kurang 75 ml campuran methanol P-air (1:1). Tambahkan 5,0 ml larutan
nitroprusida basa yang terbuat dengan melarutkan 1 g natrium nitoprusida P
dan 1 g natrium karbonat anhidrat P dalam 100 ml air. Encerkan dengan
campuran methanol P-air (1:1) sampai tanda, campur dan biarkan selama 30
menit. Ukur serapan larutan ini dan larutan segar p-aminofenol P 2,5 miligram
per ml yang dibuat dengan cara sama, pada panjang gelombang serapan
maksimum lebih kurang 710 nm, menggunakan 5,0 ml larutan nitroprusida
basa yang diencerkan dengan campuran methanol P-air (1:1) hingga 100 ml
sebagai blanko. Serapan larutan uji tidak lebih besar dari serapan larutan baku.

15. p-kloroaseanilida: tidak lebih dari 0,001%; lakukan kromatografi lapis tipis
seperti tertera pada kromatografi.

B. Struktur Kimia Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan turunan senyawa sintetis dari pp-


aminofenol yang memberikan efek analgesia dan antipretika. Senyawa ini
mempunyai nama kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol, bobot
molekul 151,16 dengan rumus kimia C8H9NO2.

Gambar2.1 Struktur Molekul Parasetamol (Asetamonifen)

6
Asetaminofen (parasetamol)

N-acetyl-para-aminophenol

Berat Molekul 151.16

Rumus Empiris C8H9NO2

(Metabolisme) Hati (Hepar)

Golongan Hamil (Farmasi) B (AS)

A (Aus)

Sifat-sifat fisika parasetamol adalah:

1. Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.


2. Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1 N
0 0
3. Titik lebur : Antara 168 sampai 172
0
4. Ksp : 1.4 g/100 ml or 14 mg/mL (20 C)

C. Efek Farmakologi Parasetamol

1. Efek Terapeutik :

a. Analgesia (akibat inhibisi prostaglandin perifer).

b. Antipiretik (menurunkan demam): inhibisi prostaglandin di dalam SSP.

c. Tidak memiliki kemampuan anti-inflamasi yang signifikan.

2. Efek Samping :

a. GI : Nekrosis Hepatik (overdosis).

7
b. Derm : ruam, urtikaria.

D. Dosis Terapi Parasetamol

1. Anak-anak ≤ 12 tahun tidak boleh mendapat >5 dosis/24 jam tanpa


memberitahu dokter.

2. PO (Dewasa dan Anak-anak >12 tahun) : 325-1000 mg tiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan (tidak boleh lebih dari 4g/hari, atau 2,6 g/hari kronis).

3. PO/Rekt (Anak-anak 11-12 tahun) : 480 mg tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

4. PO/Rekt (Anak-anak 9-11 tahun) : 400 mg tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

5. PO/Rekt (Anak-anak 6-9 tahun) : 320 mg tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

6. PO/Rekt (Anak-anak 4-6 tahun ) : 240 mg tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

7. PO/Rekt (Anak-anak 2-4 tahun) : 160 mg tiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.

E. Farmakokinetik dan Toksokinetik Parasetamol dalam Tubuh

Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat
di keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai
macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi.
Selain itu, obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi
bersamaan dengan obat.Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antar obat (yang diberikan


berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga menimbulkan efek
sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar 2 atau lebih
obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME
(Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Eliminasi) sehingga dapat meningkatkan
atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah. Selanjutnya akan dibahas
lebih lanjut tentang interaksi farmakokinetik, sebagai berikut:

Interaksi Farmakokinetik

8
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
akan mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja
dan menimbulkan efek. Selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresi dari tubuh. Seluruh proses inilah yang disebut dengan proses
farmakokinetik dan berjalan serentak. Di dalam tubuh manusia obat harus
menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi
lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel,
kecuali pada endotel kapiler. Pada pemberian obat secara oral, obat harus
mengalami berbagai proses sebagai berikut, antara lain :

a. Absorbsi

Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian


menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Absorbs kebanyakan
obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena
itu absorbsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut
dalam lemak. Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan
mencapai kadar serum puncak dalam waktu 30 - 120 menit.

b. Distribusi

Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain


tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya : jantung,
hati, ginjal, dan otak.

Selanjutnya, distribusi fase dua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan
yang perfusinya tidak sebaik organ pada distribusi fase pertama misalnya :
otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
kesetimbangan setelah waktu yang lama. Parasetamol terdistribusi dengan
cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Pada ibu hamil, parasetamol dapat
menembus plasenta dan memasuki ASI. Kurang lebih 25% parasetamol dalam
darah terikat pada protein plasma.

9
c. Metabolisme

Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati.


Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat
glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil,
dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya sedikit
jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun)
yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik
NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan
segera dikeluarkan melalui ginjal.

Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450


(CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan
sulfidril. Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation
metabolit non-tosik diekskresi oleh ginjal.

d. Eliminasi

Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh terdiri dari dua proses yaitu
metabolisme (biotransfromasi) dan ekskresi. Seperti halnya biotransformasi,
ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi
bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat
fisiokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, dan tekanan uap).
Parasetamol diekskresikan melalui urin sebagai metabolitnya, yaitu
asetaminofen glukoronoid, asetaminofen sulfat, merkaptat dan bentuk yang
tidak berubah.

F. Mekanisme Aksi Terapeutik

Mekanisme kerja dari Parasetamol ini hampir mirip dengan salisilat.


Mekanisme terapi Parasetamol adalah menghambat biosintetis prostaglandin
dalam beberapa keadaan (misalnya demam), tapi tidak pada kondisi yang lain.

10
Parasetamol dijadikan pengobatan lini pertama untuk nyeri dan pireksia,
mekanismenya ialah dengan menghambat produksi prostaglandin siklooksigenase
(COX) yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Parasetamol telah
ditujukan untuk tidak mengurangi peradangan jaringan., parasetamol termasuk
dalam golongan obat anti-peradangan non steroid (non steroid anti inflamarory
drugs/NSAID).

Gambar2.2 Mekanisme kerja parasetamol

Sumber: Rahayu, Muji dan Moch. Firman Solihat. 2019. Toksikologi Klinik. Badan PPSDM
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Mekanisme kerja pada siklooksigenase ialah enzim COX-1 dan COX-2


memiliki kanal yang panjang dan kanal tersebut lebih lebar dari enzim COX-2.
OAINS (obat anti inflamasi non-steroid) nonselektif memasuki kanal pada kedua
enzim tersebut kecuali aspirin, memblok enzim-enzim tersebut dengan
mengikatnya dengan ikatan hidrogen ke jalur bawah arginin. Hal ini secara
reversible menghambat enzim tersebut dengan mencegah akses asam arakidonat.
Parasetamol bekerja paling tidak sebagian dengan mengurangi tonus peroksida
sitoplasmik, dimana saat terjadi kondisi inflamasi konsentrasi peroksida juga
tinggi.

Parasetamol menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak
efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi.
Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang
membuat parasetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat menurunkan

11
demam tanpa menyebabkan efek samping, tidak seperti analgesik-analgesik
lainnya.

G. Mekanisme Efek Toksik

Parasetamol merupakan obat analgesik non narktotik dengan cara kerja


menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP. Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Keracunan parasetamol terutama
menimbulkan nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya.

1. Farmakokinetik

Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar


serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah
melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam
sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan
berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan
gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi non toksik. Pada dosis besar
akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati. Proses metabolisme seperti
gambar dibawah ini:

12
Gambar2.3 Metabolisme Parasetamol

Sumber: Rahayu, Muji dan Moch. Firman Solihat. 2019. Toksikologi Klinik. Badan PPSDM
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Sekitar 90% parasetamol mengalami jalur fase II yaitu reaksi konjugasi


yang dikatalisis oleh UDP-glucuronosyl transferases (UGT) dan
sulfotransferase (SULT). Reaksi fase II ini mengubah parasetamol menjadi
metabolit polar yaitu glucouronidat and sulfat yang kemudian dieliminasi dari
tubuh lewat urin. Hal ini dikarenakan pada struktur parasetamol terdapat
gugus hidroksil benzen. Dalam jumlah yang sangat kecil, sekitar 2%,
parasetamol dieksresikan dalam bentuk utuh tanpa mengalami metabolisme.
Sekitar 5-9% dari parasetamol mengalami metabolisme fase I yaitu oksidasi
dihati oleh hepatic cytochrome CYP 2E1 (sebagian lagi CYP 1A2 dan 3A4).

Hasil reaksi fase I ini menghasilkan metabolit toksik yang sangat reaktif
yaitu N-acetyl-para-benzo-quinone imine (NAPQI). Senyawa NAPQI ini
dapat merusak sel-sel hati secara permanen (hepatotoksik). Bila dosis
parasetamol berada dalam rentang area terapi (1,5-2g per hari), maka
metabolit NAPQI masih sedikit dan radikal bebas yang berbentuk dapat
dinetralisir langsung oleh glutathione (GSH) sehingga tidak merusak sel-sel
hati.

2. Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu


menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya

13
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan
efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.

Parasetamol menghambat siklookigenase sehingga konversi asam


arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase
pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol
menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang.

3. Mekanisme Toksisitas

Pada dosis terapi, salah satu, metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik,


didetoksifikasi oleh glutation membentuk merkapturi yang berifat non toksik
dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit
hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan gluation untuk
mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar
dan timbulan nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa gluation.
Dengan proses yang sama parasetamol juga bersifat nefrotoksik.

H. Senyawa Toksik dan Antidot

1. Senyawa Toksik
Parasetamol dikatabolisme di hati dengan hasil metabolit berupa senyawa
N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI) yang inaktif akan tetapi masih
bersifat toksik, dimana nantinya akan diinaktifasi lebih lanjut oleh glutation.
Pada keadaan normal, hasil metabolit dalam jumlah sedikit akan diikat oleh
glutation yang kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam
merkapturat dan sistein lalu di ekskresi melalui urin. Akan tetapi apabila
parasetamol dikonsumsi secara berlebihan, glutation tubuh tidak akan cukup

14
untuk menginaktivasi racun dari NAPQI. Metabolit ini kemudian akan secara
bebas bereaksi dengan enzim-enzim penting dari hepar, sehingga hal ini akan
merusak hepatosit. Hal ini akan memacu terjadinya kerusakan hepar yang
parah bahkan kematian karena kegagalan kerja hati (Huang et al., 1993; James
et al. 2003; Nassar 2009; McGill et al., 2012).
Penggunaan parasetamol yang salah, dalam dosis tinggi dan waktu yang
lama dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, di antaranya
adalah efek hepatotoksisitas yang merusak sel-sel hati. Kerusakan hepar
terjadi karena pada dosis yang berlebihan, hasil metabolisme parasetamol
yang berupa NAPQI tidak dapat dinetralisir semuanya oleh glutathion hepar.
Senyawa NAPQI bersifat toksik dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi
rantai radikal bebas. Efek yang ditimbulkan yaitu adanya kerusakan pada
organ-organ seperti organ hepar. Salah satu indikator kerusakan hati yaitu
dengan melihat kadar SGOT-SGPT. Kadar SGOT-SGPT digunakan untuk
tujuan diagnostik.
2. Antidotum
a. N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan
paracetamol. N-asetilsistein bekerja mensubsitusi glutation,
meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan konjugasi sulfat pada
parasetamol. Mrthionin p.o, juga bisa digunakan sebagai antidotum yang
efektif, tetapi absorbs lebih lambat dibandingkan dengan N-asetilsistein.
Terapi asetilsistein paling efektif bila diberikan dlam waktu 8-10 jam
pasca penelanan paraetamol.
b. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah
tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein.
Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein
a. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama
15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4
jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan
selama 16 jam berikut.
b. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70
mg / kg BB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat

15
menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan
metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ).

Larutan N asetil sistein dapat dilarutkan dalam larutan 5 % jus atau air dan
diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada
terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.

I. Efek Toksik Dosis

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4 g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.
Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obatan yang menginduksi
enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi
metabolit meningkat. Obat ini memiliki efek toksik yang menyebabkan kerusakan
hati.

Parasetamol didistribusikan secara luas ke sebagian besar cairan tubuh dan


terdapat dalam air liur pada konsentrasi yang pararel dengan plasma. Konsentrasi
terapeutik dalam plasma, biasanya di kisaran 10-20 mg/L, konsentrasi plasma
sangat bervariasi antar subyek. Dosis mematikan minimum adalah lebih kurang 10
g. Gejala kerusakan hati tidak terjadi paling sedikit 12 jam setelah overdosis
namun mungkin tidak muncul sampai 4-6 hari kemudian. Konsentrasi plasma telah
digunakan untuk menunjukkan kemungkinan nekrosis hati; pada 4 jam, nekrosis
hati dimungkinkan pada konsentrasi parasetamol 120-300mg/L, kemungkinan
pada konsentrasi di atas 300 mg/L, dan tidak mungkin pada konsentrasi <120
mg/L. Demikian pula, pada konsentrasi 12 jam, konsentrasi di atas 120 mg/L
menunjukkan probabilitas nekrosis, konsentrasi 50-120 mg/L menunjukkan bahwa
hal itu mungkin, dan konsentrasi di bawah 50 mg/L menunjukkan bahwa hal itu
tidak mungkin terjadi.

J. Gejala Klinis Efek Toksik Parasetamol

Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak benar,


maka berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam
jumlah 10 – 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan
ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang

16
mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu.
Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya
yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena
overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.

1. Akut

Pengenalan dini overdosis acetaminophen akut sangat penting, karena


prognosisnya paling baik bila pengobatan antidotal dimulai dalam 8 jam
setelah overdosis. Tanda-tanda awal toksisitas mungkin termasuk malaise,
mual dan muntah, dengan sedikit temuan pada pemeriksaan fisik. Banyak
pasien dengan tingkat asemtaminofen yang toksik dan potensi hepatotoksisitas
yang signifikan pada awalnya asimtomatik setelah konsumsi akut (tahap I).
Tanda-tanda cedera hati, seperti sakit perut, muntah terus-menerus, icterus dan
nyeri tekan kuadran kanan atas, hanya menjadi jelas 24 sampai 48 jam setelah
konsumsi akut (tahap II).

Tabel 2.1. Tahapan Klinis Toksisitas Asemtamonifen

Tahap Waktu Setelah Penelanan Karakteristik

I 0,5 sampai 24 jam Anorexia, mual, muntah, malaise, pucat, diaphoresis

II 24 sampai 48 jam Perut kanan atas sakit dan nyeri bila ditekan,
peningkatan bilirubin, waktu protombin, INR,
transaminase hari, oliguria.

III 72 sampai 96 jam Fungsi hati puncak kelainan: anoreksia, mual,


muntah, malaise, gagal hati fulminan (FHF), INR >
6, disfungsi ginjal.

IV 4 hari sampai 2 minggu Gagal ginjal oliguria dapat berkembang, kematian


dapat terjadi pada pasien dengan FHF.

17
Cedera ginjal dapat terjadi, bahkan pada kasus dimana hepatotoksisitas ringan. Hal
ini disebabkan oleh luka lokal dengan produksi in situ NAPQI dalam enzim tubular P-
450 ginjal. Gagal
ginjal akut dapat
terjadi pada kasus
gagal hati akut akibat
cedera hati
(hepatorenal syndrome).

Gambar 2.4 Nomogram untuk memperkirakan hepatotoksisitas setelah overdosis akut


parasetamol

2. Hepatotoksisitas Terkait dengan Tertelan Kronis Asetaminofen

Pasien yang mengalami cedera hati setelah dosis asetaminofen berlebih,


seringkali untuk rasa sakit kronis, atau overdosis formulasi pediatri yang tidak
disengaja, paling sering terjadi ke bagian gawat darurat dengan manifestasi
cedera hati akut, dan bukan riwayat overdosis asetaminofen.

Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat penggunaan obat.


1. Uji Kualitatif
Sampel diambil dari urin, isi lambung dan residu dari tempat kejadian.
Caranya ialah 0,5 ml sampel + 0,5 ml HCl pekat, didihkan kemudian
dinginkan; tambahkan larutan 0-Kresol pada 0,2 ml hidrosilat, tambahkan 2

18
ml larutan amonium hidroksida dan aduk selama 5 menit, hasil positif tibul
warna biru dengan cepat. Uji ini sangat sensitif.
2. Uji Kuantitatif
Kadar dalam plasma diperiksa 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat
normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
Pemeriksaan lain yang dibutuhkan adalah pemeriksaan laboratorium seperti :
kadar elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, waktu prothrombin, dan transaminase
hati.

K. Evaluasi Efek Toksik Parasetamol

Paracetamol atau nama kimianya asetaminofen termasuk golongan OTC


(Over the counter) yaitu obat dibeli secara bebas tanpa resep dokter. Walaupun
termasuk kategori obat bebas, bukan berarti sudah aman sehingga dapat
dikonsumsi tanpa adanya aturan batasan dosis. Parasetamol termasuk kategori obat
yang paling aman jika dikonsumsi pada dosis terapi. Tetapi bila dosisnya melebihi
dosis terapi (overdosis) maka akan menyebabkan kerusakan hati yang permanen.

Efek toksik dapat berupa kematian (lethality) atau sub-lethal seperti


perubahan dalam pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, pathologi, fisologi,
biokimiawi dan tingkah laku. Efek atau dampak toksik dapat dinyatakan dalam
beberapa kriteria yang dapat dikuantifikasi seperti: jumlah organisme yang mati,
persentase telur menetas, perubahan dalam panjang dan berat, persentase
hambatan pada kerja enzim, jumlah tulang belakang (skelethal) abnormal serta
tingkat kejadian atau kemunculan tumor. Cara menanggulangi toksisitas
paracetamol

1. Charcoal aktif (karbon aktif) diberikan pada pasien dewasa yang overdosis
parasetamol. Karbon aktif dapat menurunkan absorbs (penyerapan) parasetamol
di saluran cerna. Karbon aktif diberikan segera setelah pasien baru saja
overdosis parasetamol atau sudah minum 1 jam yang lalu.
2. Diberikan N-acetycysteine (NAc) secara intravena atau oral. NAc merupakan
antidotum paracetamol, bekerja sebagai perkusor untuk glutathion. NAc efektif

19
perkusor mencegah keracunan paracetamol dalam waktu 8 jam sejak pasien
mengalami overdosis. Semakin cepat diberikan maka akan semakin baik. NAc
dapat menurunkan mortalitas overdosis parasetamol dari 5% menjadi 0,7%.
3. Yang harus di perhatikan adalah jangan menggunakan charcoal (karbon aktif)
dan asetilsistein secara bersamaan. Hal ini dapat menyebabkan asetilsistein
diserap oleh charcoal sehingga asetilsistein tidak efektif.

Penggunaan parasetamol yang aman:

1. Gunakan sesuai dengan dosis dan bentuk sediaan yang tepat. Sediaan
parasetamol drops (sanmol drops) untuk bayi (<2 tahun) ; sediaan sirup untuk
anaka-anak, sedangkan tablet untuk dewasa.
2. Jika anak mengalamai step (demam-kejang), berikan bentuk sediaan
suppositoria dari obat diazepam-parasetamol.
3. Dapat diminum sebelum atau sesudah makan.
4. Apabila efek analgetik tidak tercapai dengan parasatemol maka sebaiknya
diganti dengan obat-obat golongan NSAIDs.Jangan tingkatkan dosis
parasetamol. Dosis maksimum parasetamol yang direkomendasikan untuk
pasien dengan kondisi hati dan ginjal yang baik adalah 4 gr per hari.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat


antipiretik/analgesik. Parasetmol digunakan untuk menurunkan panas badan
yang disebabkan oleh adanya infeksi atau sebab yang lainnya serta
meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang.
Parasetamol mempunyai nama kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-
asetaminofenol dengan bobot molekul 151,16 dan rumus kimia C8H9NO2.

2. Efek farmakologi parasetamol yaitu terdapat fek terapeutik yakni analgesia,


antipiretik, dan tidak memiliki kemampuan anti-inflamasi yang signifikan.
Farmakokinetik dalam tubuh meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi.

3. Parasetamol dapat menjadi toksik karena salah satu metabolitnya yaitu


NAPQI berikatan irreversible dengan gugus -SH yang terdapat pada hepar
sehingga menimbulkan hepatoksik.

4. Penggunaan parasetamol perlu diatur secara tepat dan benar meskipun


korban tidak menampakkan gejala keracunan. Dengan pengaturan yang tepat
dan benar, kerusakan akibat keracunan yang mungkin timbul dapat
diminimalisir, bahkan sebelum gejala tersebut terdeteksi.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini semoga kita sebagai tenaga kesehatan teknologi
laboratorium medis mampu memahami dan mengetahui tentang mekanisme
toksik dari parasetamol beserta analisis laboratoriumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salsilat dan Parasetamol.
JKM: Bandung. Vol.02 No.01 (30-38).

Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman Obat Untuk Perawat Edisi 4. Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.

Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi 5. Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia: Jakarta.

Muhammad, Ismail dkk. 2013. Perbedaan Efektivitas Parasetamol Oral dengan


Tramadol Oral Sebagai Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi Transuretheral
Resection of The Prostate. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Vol.02 No. 01 (38-41).

Mycek, Marry. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika:


Jakarta.

Rafita, Ita Dwi dkk. 2015. Pengaruh Ekstrak Kayu Manis Terhadap Gambaran
Histopatologi dan Kadar SGOT-SGPT Hepar Tikus yang Diinduksi Parasetamol.
Unnes Journal of Life Science. Vol. 04 No.01 (29-37).

Rahayu, Muji dan Moch. Firman Solihat. 2019. Toksikologi Klinik. Badan PPSDM
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Tamara, Cindy dkk. 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak Curcuma Longa dengan
Tingkat Toksisitas Parasetamol pada Gaster, Hepar dan Renal Mencit Jantan
Galur Swiss. Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Vol. 01 No.02
(109-119).

Yoon, Eric dkk. 2016. Acetaminophen-Induced Hepatotoxicity: a Comprehensive


Update. Journal of Clinical and Translation Hepatology: Rutgers New Jersey
Medical School. Vol.04 (131-142).

22
23

Anda mungkin juga menyukai