Anda di halaman 1dari 10

PAPER

MANAGERIAL ECONOMICS

(Tugas Mata Kuliah Managerial Economics, Dosen Pengajar Eny Sulistyaningrum, S.E.,
M.A., Ph.D.,)

Disusun oleh:

Maureen Gracia Priskila (17REG71063)

Restu Wahyuni (17REG

MAGISTER MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2017
A. PENGANTAR

Perkembangan bisnis fashion di Indonesia sudah mulai berkembang pesat. Seiring


dengan kemajuan teknologi pelaku bisnis fashion dapat dengan mudah mengakses untuk
mendapatkan ide-ide dan inovasi terbaru. Hal ini membuka peluang bagi para pelaku
usaha untuk mendapatkan profit. Salah satunya adalah produk tas.

Usaha berjualan tas sudah bisa dimulai meski tidak menggunakan modal yang
besar. Pernyataan tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya usaha kecil menengah
yang  dimulai dengan modal dibawah 10 juta rupiah (dapet darimana mba? Tulis
namanya disini yak karena itu data 😊). Hal ini tentu menjadi bukti bahwa modal kecil
bisa memberikan kesuksesan pada pelakunya. Fenomena tersebut juga memotivasi
masyarakat untuk meningkatkan perekonomian mereka, dengan mencoba berbagai
peluang usaha kecil menengah yang prospeknya cukup menguntungkan.

Di Indonesia sendiri perkembangan bisnis tas semakin pesat, baik brand lokal
maupun brand import sekali pun (yang ini juga). Tas pun memiliki model yang beraneka
ragam, kebutuhannya pun berbeda-beda, tergantung dengan aktivitas yang akan
dilakukan. Setiap bulannya ada saja model-model tas baru muncul, dan memungkinkan
para industri tas berlomba-lomba untuk membuat dan menjual berbagai model baru
dengan harga yang bervariasi.  Semakin bagus bahan semakin mahal pula harganya.

Diferensiasi produk yang dikarenakan banyaknya jumlah perusahaan di suatu


industri merupakan salah satu ciri dari pasar persaingan sempurna. Di Indonesia
khususnya di kota Jogjakarta dapat dilihat begitu banyaknya merek tas yang ada baik
merek lokal mapun merek luar. Banyaknya perusahaan menyebabkan keputusan
perusahaan tentang harga dan output tidak perlu harus memperhitungkan reaksi
perusahaan lain, karena setiap perusahaan menghadapi kurva permintaannya masing-
masing (yang ini juga).

Berdasarkan fenomena tersebut peneliti memilih Wellflair sebagai objek


observasi mengenai pasar persaingan monopolistik yang merupakan salah satu brand
lokal Jogjakarta yang menjual produk berupa tas.
B. LANDASAN TEORI

1. STRUKTUR PASAR

Struktur pasar menurut Pracoyo dan Pracoyo (2006) adalah keadaan pasar yang
memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap
prilaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk
dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi dan penguasaan pangsa pasar. Ada
beberapa dasar pembedaan yang mempengaruhi keputusan-keputusan (perilaku) antara
penjual dan pembeli dalam suatu struktur pasar, yakni sebagai berikut:

a. Jumlah/banyaknya perusahaan yang ada didalam pasar/industry.

b. Jenis barang yang diperjual-belikan, apakah termasuk barang homogen atau


heterogen.
c. Mudah tidaknya perusahaan baru masuk ke dalam pasar.

d. Kemampuan masing-masing pihak baik penjual dan pembeli dalam


mempengaruhi pasar.

e. Informasi serta pengetahuan penjual maupun pembeli terhadap pasar yang


dihadapi.

2. PASAR PERSAINGAN MONOPOLISTIK

Pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition) menurut Mankiw,


Quah, dan Wilson (2014) adalah struktur pasar dimana banyak perusahaan menjual
produk yang serupa tetapi tidak sama. Kompetisi monopolistic menggambarkan sebuah
sifat pasar yang sama dengan sifat-sifat sebagai berikut:

a. Banyak penjual: terdapat banyak perusahaan yang bersaing untuk mendapatkan


kelompok konsumen yang sama.
b. Diferensiasi produk: setiap perusahaan menghasilkan produk yang setidaknya
sedikit berbeda dari produk perusahaan lainnya.
c. Bebas masuk: perusahaan dapat memasuki (atau keluar dari) pasar dengan tanpa
halangan.
3. IMPLIKASI DIFERENSIASI PRODUK

Diferensiasi produk yang melekat pada kompetisi monopolistik menurut Mankiw,


Quah, dan Wilson (2014) mengarah pada penggunaan iklan dan nama merek. Para
kritikus periklanan dan nama merek berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
menggunakannya untuk memanfaatkan ketidakrasional konsumen dan mengurangi
kompetisi. Para pendukung periklanan dan nama merek berpendapat bahwa perusahaan-
perusahaan menggunakannya untuk memberi informasi kepada konsumen dan bersaing
lebih ketat dalam hal harga dan kualitas produk. Kekuasaan mempengaruhi harga oleh
persaingan monopolistik bersumber dari sifat barang yang dihasilkannya, yaitu yang
bersifat berbeda corak atau differentiated product. Dalam mempengaruhi harga,
pengaruhnya rata-rata relatif kecil jika dibandingkan dengan perusahaan oligopoli dan
monopoli (Sukirno, 2002).

Menurut Baye dan Prince (2017) karena ada banyak produk dalam industri
persaingan monopolistik, satu-satunya alasan perusahaan memiliki kendali atas harga
mereka adalah konsumen melihat produk yang berbeda. Perusahaan dalam industry
persaingan monopolistic menggunakan dua strategi untuk membujuk konsumen bahwa
produk mereka lebih baik daripada yang ditawarkan oleh pesaing, yaitu:

a. Kampanye iklan. Kampanye ini melibatkan iklan komparatif yaitu suatu bentuk
iklan di mana suatu perusahaan mencoba untuk meningkatkan permintaan merek
dengan membedakan produknya dari merek pesaing. Nilai tambah yang
ditambahkan pada merek produk ini dikenal sebagai brand equity yaitu nilai
tambah yang ditambahkan ke produk karena mereknya.
b. Memperkenalkan produk baru kepasar untuk lebih membedakan produk mereka
dari perusahaan lain. Perusahaan persaingan monopolistik juga dapat mencoba
untuk membuat dan mengiklankan produk baru untuk mengisi kebutuhan khusus
atau segmen tertentu di pasar, strategi ini disebut niche marketing. Melalui green
marketing yaitu suatu bentuk niche marketing yang mana perusahaan
menargetkan produk terhadap konsumen yang peduli dengan isu-isu lingkungan,
seperti merek deterjen tertentu yang dapat diurai secara biologis.
Sayangnya kesuksesan strategi diferensiasi dan branding terkadang membuat
manajer rabun yang kurang menyadari adanya brand myopic yaitu manajer atau
perusahaan yang mengandalkan kejayaan merek masa lalu, bukan berfokus pada trend
industry yang muncul atau perubahan preferensi konsumen. Pada dasarnya, sebuah
perusahaan brand myopic bersandar pada kemenangan masa lalu dan dengan demikian,
merindukan kesempatan untuk meningkatkan atau melindungi mereknya.

4. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN


Kelebihan pasar persaingan monopolistic:

a. Banyak produsen di pasar memberikan keuntungan bagi konsumen untuk dapat


memilih product yang terbaik baginya
b. Kebebasan keluar masuk bagi produsen, mendorong produsen untuk selalu
melakukan inovasi dalam menghasilkan productnya
c. Diferensiasi product mendorong konsumen untuk selective dalam menentukan
product yang akan di belinya, dan dapat membuat konsumen loyal terhadap
product yang di pilih
d. Pasar ini relatif mudah di jumpai oleh konsumen, karena sebagian besar
kebutuhan sehari hari tersedia dalam pasar monopolistic

Kekurangan pasar persaingan monopolistic:

a. Pasar monopolistik memiliki tingkat persaingan yang tinggi, baik dari segi harga,
kualitas maupun pelayanan. Sehingga produsen yang tidak memiliki modal dan
pengalaman yang cukup akan cepat keluar dari pasar.
b. Dibutuhkan modal yang cukup besaruntuk masuk ke dalam pasar monopolistik,
karena pemain pasar di dalamnya memiliki skala ekonomis yang cukup tinggi
c. Pasar ini mendorong produsen untuk selalu berinovasi, sehingga akan
meningkatkan biaya produksi yang akan berimbas pada harga product yang harus
di bayar oleh konsumen
C. ANALISIS KASUS

Wellflair adalah salah satu brand di kota Jogjakarta yang menjual produk berupa
aneka ragam tas. Wellflair sendiri terdiri dari dua kata yakni well dari bahasa inggris yang
diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna bagus atau baik sedangkan flair diambil
dari bahasa Sansekerta yang berarti semangat. Wellflair sendiri berarti semangat yang
diharapkan oleh pemilik agar pelanggan semangat untuk menjalani hari-harinya. Wellflair ini
merupakan salah satu contoh dari pasar persaingan monopolistik.

Pasar yang disebut persaingan monopolistik adalah jika terdapat banyak penjual dan
banyak pembeli, setiap penjual melakukan diferensiasi terhadap produk karena yang dijual
kurang lebih sama, serta tidak adanya hambatan untuk masuk atau keluar pasar.

Wellflair adalah salah satu dari sekian banyak penjual tas yang ada di Indonesia
khususnya di Jogjakarta. Lokasi Wellflair terletak di daerah Demangan Baru dimana terdapat
banyak sekali penjual yang menawarkan produk yang serupa dalam hal ini produk berupa tas.
Karena daerah tersebut terdapat banyak penjual yang menawarkan produk yang kurang lebih
sama maka hal ini mendorong penjual untuk melakukan diferensiasi produk untuk menarik
pembeli. Apabila penjual kurang mampu menarik pelanggan untuk membeli produknya maka
dapat berdampak pada turunnya pendapatan dan mengakibatkan penjual keluar dari pasar
karena tidak mampu menghadapi pesaing. Namun di sisi lain, penjual juga dapat dengan
mudah masuk ke dalam pasar dengan modal yang disesuaikan dengan skala perusahaan
tersebut dan tentunya bermodalkan ide-ide kreatif dalam diferensiasi produk agar mampu
menghadapi para pesaing.

Awal kisah Wellflair bermula dari banyaknya PHK oleh brand terkenal di daerah
wonosari yang menyebabkan kurang lebih 300 pegawai di PHK karena perusahaan lebih
memilih menggunakan mesin untuk melakukan efisiensi biaya. Maka para founder Wellflair
ingin membantu pegawai yang di PHK agar mereka kembali memiliki pekerjaan yang sesuai
dengan bidang mereka yakni keterampilan menjahit tas. Para founder memulai usaha dengan
menjual jasa pembuatan tas.

Setelah melihat potensi dari banyaknya partai besar dan brand-brand yang
menggunakan jasanya, mereka memulai untuk mendirikan brand sendiri yakni Wellflair pada
tahun 2015. Wellflair melihat bahwa kualitas tas yang dijual di distro tidak sebaik yang dijual
brand luar yang terkenal. Selain itu, berdasarkan observasi salah satu founder menemukan
bahwa tas yang dijual di distro memiliki desain yang menurut founder tidak tepat guna,
sebagai contoh ukuran yang terlalu besar sehingga tidak nyaman digunakan.

Dalam mendirikan brand ini para founder memulai dengan melakukan riset kecil-
kecilan. Melalui riset ini diperoleh informasi mengenai trend belanja konsumen, data
pendapatan konsumen yang menjadi sasaran, informasi untuk menetapkan harga dan lain
sebagainya. Berdasarkan hasil riset ini mereka pun mencoba untuk menawarkan kepada
konsumen berbagai macam model tas untuk menetapkan “identitas” dari Wellflair salah
satunya desain etnic series atau desain tradisional. Selain itu, mereka melakukan strategi
niche marketing, sebagai contoh pouchitive yaitu jenis tas yang diperuntukkan bagi
pelanggan yang memiliki tablet. Hal ini dilakukan untuk menekankan pembeda produk
buatan mereka terhadap brand-brand lain.

Untuk menarik pelanggan, Wellflair mencoba memberikan diskon sesuai tanggal lahir
dari konsumen. Selain itu, founder berencana untuk menamakan produk tas yang dijual
dengan bahasa Sansekerta yang memiliki makna tersendiri. Founder memiliki harapan untuk
menjual cerita melalui makna tersebut kepada pelanggan.

Terhadap pesaing, Wellflair berusaha untuk mendaftarkan brand miliknya untuk


untuk dipatenkan dan saat ini masih dalam proses untuk memiliki hak paten. Meskipun
demikian, dalam perjalanannya salah satu founder mengaku bahwa orang lain menjiplak
produk miliknya. Wellflair tidak dapat melakukan apa-apa karena mereka belum memiliki
hak tersebut untuk mengklaim produknya dari pesaing yang mencoba meniru. Jika hal ini
masih terjadi di kemudian hari, founder akan menegur brand yang meniru produk miliknya.
Apabila mereka menghiraukan teguran tersebut maka mereka akan menempuh jalur hukum.
Namun, regulasi hak paten di Indonesia memakan waktu yang lama kurang lebih 2 tahun
untuk memiliki sertifikat hak paten yang berlaku selama 10 tahun. Maka, wellflair belum
memiliki kekuatan hukum untuk mengklaim brand mereka.
D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis kasus dapat disimpulkan bahwa Wellflair merupakan


contoh pasar persaingan monopolistik. Hal ini dapat terlihat dari karakteristik pasar
persaingan monopolistik yang diterapkan oleh Wellflair yakni:

1. Kebebasan untuk keluar dan masuk

Untuk memulai suatu usaha dalam pasar persaingan monopolistik


diperlukan modal yang disesuaikan dengan skala usaha itu sendiri serta
peluang untuk memulainya. Dalam kasus Wellflair, para founder melihat
adanya peluang untuk tetap memanfaatkan talenta yang tersia-siakan karena
adanya PHK. Untuk memulai usaha tersebut mereka mengumpulkan modal
yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk merintis usaha mereka pada saat
itu.

2. Terdapat banyak penjual dan pembeli

Melalui analisis dapat diperoleh informasi bahwa Wellflair terletak di


daerah Demangan Baru dimana terdapat banyak penjual lain yang juga
menjual produk berupa tas. Hal ini memberikan kesempatan kepada pembeli
untuk mencari sesuai dengan yang diperlukan. Maka untuk menarik pembeli,
Wellflair mencoba memberikan diskon sesuai dengan tanggal lahir. Di masa
yang akan datang, Wellflair ingin mencoba untuk menjual cerita kepada
pembeli mengenai produk yang akan dibeli dengan harapan menciptakan
emosi terhadap pembeli sehingga mereka tergugah untuk membeli produk
tersebut. Akan tetapi terdapat juga pesaing yang mencoba untuk meniru
produk mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut maka founder
mendaftarkan brand Wellflair untuk dipatenkan.

3. Difrensiasi produk

Dapat diketahui bahwa terdapat banyak penjual yang menawarkan


produk yang kurang lebih sama terhadap pembeli. Untuk itu Wellflair
mencoba untuk menawarkan berbagai macam model tas kepada pembeli yang
nantinya akan ditetapkan sebagai “identitas” Wellflair. Selain itu, Wellflair
melakukan niche marketing yakni memproduksi tas yang menurut founder
tepat guna bagi pembeli.
DAFTAR PUSTAKA

Baye, Michael R., dan Jeffrey T Prince., 2017, Managerial Economics and Business Strategy.
New York: McGraw-Hill Education.

Blog Devi. “Makalah Pasar Persaingan Monopolistik”.


http://devidevristyana.blogspot.co.id/2014/11/makalah-pasar-persaingan-monopolistik.html.

Kompasiana.com. “Perkembangan Tas di Indonesia”.


https://www.kompasiana.com/hanifahanan/perkembangan-tas-di-
indonesia_552a4ea96ea834ef0b552d0c.

Mankiw, Gregory, Euston Quah, Peter Wilson, 2014, Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta:
Salemba.

Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tri Kunawangsih Pracoyo, Antyo Pracoyo, “Aspek Dasar Ekonomi Mikro” (Jakarta, 2006, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.) hlm. 188.

Anda mungkin juga menyukai