RESPON FREKUENSI
9.1. Pendahuluan
Dalam bab 6, telah dibahas karakteritik suatu sistem dalam lingkup waktu dengan
masukan-masukan berupa Fungsi Step, Fungsi Ramp, Fungsi Impulsa, dan sebagainya, tanpa
memperhitungkan masalah frekuensi masukan. Pada bab ini, akan dipelajari mengenai
tanggapan/respon frekuensi. Tanggapan Frekuensi suatu sistem adalah tanggapan keadaan
tunak (steady state) sistem terhadap sinyal masukan sinusoidal. Pada metode tanggapan
frekuensi, frekuensi sinyal masukan akan divariasikan dalam jangkauan tertentu. Tanggapan
yang dihasilkan akibat perubahan frekuensi ini dipelajari.
Metode Tanggapan Frekuensi dan Metode Penempatan Akar adalah dua cara yang
berbeda dalam aplikasi prinsip dasar analisis yang sama. Salah satu kelebihan dari metode
Tanggapan Frekuensi adalah Fungsi Transfer Sistem dapat ditentukan secara eksperimen
dengan mengukur respon frekuensi. Namun, perancangan suatu sistem dalam domain
frekuensi menuntut perancang untuk lebih memperhatikan bandwidth sistem dan efek noise
serta gangguan pada respon sistem.
Im [G( j )]
- G( j ) tan 1
Re [G( j )]
Dalam Analisa Tanggapan Frekuensi, Fungsi Alih biasanya dituliskan dalam bentuk
fungsi dari j, dinamakan Fungsi Alih Sinusoidal, sehingga Fungsi Alih Sinusoidal dari
sistem pada Gambar 9.1 dapat dituliskan sebagai :
C ( j )
G ( j ) .................................... persamaan 9.2.
R( j )
Ada beberapa cara yang biasa digunakan untuk merepresentasikan karakteristik dari
suatu sistem terhadap masukan sinusoidal dengan frekuensi yang divariasikan. Bab ini akan
membahas Diagram Bode, Nyquist (Polar) Plot, dan Log Magnitude versus Phase Plot.
Gambar logaritma magnitude dari Gain K berupa garis lurus dengan slope tertentu,
pada gambar 9.2.a. Sudut Gain K terhadap frekuensi bernilai nol, seperti gambar 9.2.b.
20
10
Log magnitude (dB)
–10
–20
– 30
– 40
0.01 0.1 1 10
Frekuensi
Gambar 9.2.a. Log Magnitude Vs Frekensi
180o K<0
Sudut ( o)
90o
0o K>0
0.01 0.1 1 10
Frekuensi
Jadi, gambar log magnitude merupakan garis lurus dengan penurunan (slope turun)
sebesar –20 dB/decade dan mempunyai sudut konstan -90o. Diagram Bode untuk faktor
pengali (j)–1, ditunjukkan gambar 9.3.
Log magnitude (dB)
Sudut ( o)
Frekuensi
Frekuensi
Identik dengan faktor pengali (j)–1 adalah log magnitude untuk faktor pengali (j)+1.
Log magnitude dari (j)+1 dalam dB adalah : 20 log |j| = 20 log (dB).
Jadi, kurva besaran-log dari faktor pengali (j)+1 merupakan garis lurus dengan
kenaikan kemiringan (slope naik) 20 dB/dekade dan mempunyai sudut phasa konstan dan
sama dengan 90o. Gambar 9.4 menunjukkan kurva respon frekuensi Diagram Bode untuk
faktor pengali (j)+1.
Log magnitude (dB)
Sudut ( o)
Frekuensi
Frekuensi
Gambar 9.4. Diagram Bode untuk Faktor Pengali (j)+1
Perbedaan respon frekuensi dari faktor (j)-1 dan (j)+1 terletak pada kemiringan
kurva besaran-log dan sudut-fase. Kedua besaran-log tersebut menjadi sama dengan 0 dB
pada = 1.
Untuk frekuensi rendah dimana nilai jauh lebih kecil dari 1/T ( 0), besaran log
Untuk mendapatkan pendekatan kurva pada frekuensi tinggi, perlu dicari beberapa
titik untuk menggambarkan garis asimptot kurva tersebut :
Pada = 1/T, besaran-log = 0 dB. Pada = 10/T, besaran-log = –20 dB. Jadi harga –
20 log T dB mengecil sebesar 20 dB untuk setiap dekade dari . Untuk > 1/T, kurva
besaran-log menjadi suatu garis lurus dengan kemiringan –20 dB/dekade atau –6 dB/oktaf.
Respon frekuensi Diagram Bode untuk faktor (1 + jT)–1 atau 1/(1+jT) dapat
didekati dengan dua buah garis lurus asimptot yaitu :
⁻ satu garis lurus pada 0 dB untuk daerah frekuensi 0 < < 1/T
⁻ garis asimptot dengan penurunan (slope turun) sebesar –20 dB/dekade atau –6 dB/oktaf
untuk rentang frekuensi 1/T < < . Pada frekuensi tinggi, dimana nilai jauh lebih
besar dari 1/T, kurva log magnitude berhimpit dengan garis ini (Exact Curve berhimpit
dengan Corner Frequency pada gambar 9.5).
Garis asimptot dari kurva log magnitude saling berpotongan dengan garis asimptot
dari kurva sudut pada frekuensi = 1/T. Frekuensi pada perpotongan dua asimptot disebut
Frekuensi Sudut atau Frekuensi Patah (Corner Frequency atau Break Frequency). Kurva log
magnitude dan kurva sudut (1 + jT)–1 ditunjukkan gambar 9.5.
Untuk Faktor Pengali 1/(1+jT), frekuensi = 1/T merupakan Frekuensi Patah
karena pada = 1/T, kedua asimptot mempunyai harga yang sama. Frekuensi Patah
membagi kurva respon frekuensi menjadi dua, yaitu kurva frekuensi rendah dan kurva
frekuensi tinggi.
Sudut phasa eksak dari faktor pengali (1 + jT)–1 adalah : = –tan–1 T.
Pada frekuensi nol, nilai sudut phasa adalah 00 : = 0 –tan–1 T = –tan–1 0 = 0o.
Pada Frekuensi Patah, sudut phasa adalah : tan 1 tan 1 1 45 atau
T
T
= 1/T (pada frekuensi sudut) –tan–1 T = –tan–1 (1) = –45o.
Log magnitude (dB)
Sudut ( o)
Frekuensi
Gambar 9.5. Diagram Bode untuk Faktor Pengali (1 + jT)–1
Di titik tak terhingga, sudut phasa menjadi –900. Karena sudut phasa dinyatakan oleh
fungsi tangen balik, maka sudut phasa simetrik miring terhadap titik kaku (infleksi) di = –
450 atau = –tan–1 T = –tan–1 = –90o
Error kurva besaran yang ditimbulkan oleh penggunaan asimptot-asimptot dapat
– 10
1 1 10
10T T T
Frekuensi
90o
Sudut ( o)
45o
0o
1 1 10
10T T T
Frekuensi
2 2
2 2
20 log 1 j 2
1
20 log
2 2 2
n n
1 2 j j
n n
Untuk frekuensi rendah dimana jauh lebih kecil dari n ( < n), log magnitude
dapat didekati oleh nilai : –20 log 1 = 0 dB.
Berarti untuk frekuensi-frekuensi rendah, garis asimptotnya merupakan garis mendatar pada
nilai 0 dB.
Untuk frekuensi tinggi, dimana jauh lebih besar dari n ( > n), log magnitude
2
dapat didekati oleh persamaan : 20 log 2 40 log dB.
n n
Persamaan untuk asimptot frekuensi tinggi merupakan garis lurus dengan kemiringan –40
10
dB/dekade karena 40 log 40 log .
n n
Asimptot frekuensi tinggi memotong asimptot frekuensi rendah = n, karena pada
frekuensi ini 40 log 40 log1 0 dB.
n
Frekuensi ini merupakan Frekuensi Patah Faktor Kuadratik.
Untuk mendapatkan pendekatan kurva pada frekuensi tinggi, perlu dicari beberapa
titik untuk menggambarkan garis asimptot kurva tersebut :
/n = 1 – 40 log /n = – 40 log 1 = – 40 . 0 = 0 dB
/n = 10 – 40 log /n = – 40 log 10 = – 40 . 1 = –40 dB
Dari dua titik tersebut, bisa digambarkan asimptot dari kurva log magnitude pada
frekuensi tinggi, yaitu berupa garis lurus dengan penurunan (slope turun) sebesar –40
dB/decade.
Kedua garis asimptot tersebut tidak dipengaruhi oleh besarnya nilai . Dekat dengan
frekuensi sudut, yakni pada = n, terjadi puncak resonansi. Rasio peredaman ()
merupakan magnitude dari puncak resonansi ini. Untuk nilai yang semakin kecil, puncak
resonansi yang terjadi akan semakin besar, seperti gambar 9.7.
Sudut dari faktor pengali [1 + 2( j/n) + (j/n)2] –1 diberikan oleh :
2
1 n
2
tan 1 2
1 2 j 2 j
1
n
n n
Misal :
/n = 0 = –tan-1 (0/1) = 0o
/n = 1 = –tan-1 (2/0) = –90o
/n = = –tan-1 (/–) = –180o
Variasi nilai menyebabkan adanya perubahan bentuk kurva sudut. Kurva besaran-
log dan sudut phasa faktor kuadratik, ditunjukkan gambar 9.7.a dan 9.7.b atau gambar 9.7.c.
20
= 0.5 = 0.1
= 0.2
10
= 0.3
Log magnitude (dB)
–10
= 0.7
–20
Asimptot
= 1.0
–30
– 40
0 1 10
/n
Gambar 9.7.a. Log magnitude untuk Faktor Pengali [1 + 2( j/n) + (j/n)2] –1
= 0.1
0o
= 0.2
Sudut (o)
= 0.5 = 0.3
o
– 90
= 0.7
= 1.0
– 180o
0 1 10
/n
Gambar 9.7.b. Sudut Phasa untuk Faktor Pengali [1 + 2( j/n) + (j/n)2] –1
Log magnitude (dB)
Sudut (o)
/n
0 0 Parallel to 0 axis
1 -20 =K
2 -40 = K1/2
3 -60 = K1/3
. . .
. . .
. . .
N -20N = K1/N
Frekuensi resonansi dan puncak resonansi dapat dihitung dengan cara berikut :
1 1
Magnitude dari G(j) adalah : G ( j )
2
2 2
2 g ( )
1 2 2 2
n n
Nilai ini mempunyai nilai puncak pada frekuensi tertentu. Nilai puncaknya disebut
dengan Puncak Resonansi, sedangkan frekuensinya disebut Frekuensi Resonansi. Nilai
puncak akan terjadi bila nilai g() minimum.
Persamaan g() dapat dituliskan kembali menjadi :
2
2 n2 (1 2 2 )
g ( ) 4 (1 )
2 2
n 2
Nilai g() minimum bila : 2 n2 (1 2 2 )
n2 1 2 2 = r (frekuensi resonansi)
Nilai frekuensi resonansi ini, hanya akan terjadi bila bernilai 0 0.707 , karena
di luar dari nilai itu, akan menghasilkan nilai akar yang imajiner dan itu tidak mungkin terjadi
pada nilai frekuensi.
Nilai puncak didapatkan bila :
1
M r G( j ) max G( j r ) , 0 0.707
2 1 2
Dari persamaan ini, dapat dibuktikan bahwa untuk nilai yang lebih kecil akan
menghasilkan nilai puncak (puncak resonansi) yang lebih besar.
Sudut yang terjadi pada frekuensi resonansi diberikan oleh :
1 2 2
G( j tan 1
90 sin 1
1 2
Metode penggambarannya untuk faktor pengali [1 + 2( j/n) + (j/n)2] +1, identik
dengan faktor pengali [1 + 2( j/n) + (j/ n)2] –1
. Hasil penggambarannya hanya
merupakan pembalikan dari Diagram Bode pada Gambar 9.7.
200( s 20)
Contoh :Gambarkan Log-Magnitude Diagram Bode untuk Fungsi Alih G(s) !
s(2s 1)s 40
Jawab :
1. Ubah Fungsi Alih dalam domain s, dengan menggantikan s = j.
Penyederhanaan Fungsi Alih :
200 20 s s j
1 100 1 100( 1)
200( s 20) 40 20 20 20
G( s) atau G ( j )
s(2s 1)s 40 s s s s j j
s( 1) 1 s( 1) 1 ( j )( 1)( 1)
0,5 40 0,5 40 0,5 40
2. Susun kembali persamaan Fungsi Alih Sinusoidal menjadi perkalian dari faktor-faktor
pengali.
Dari persamaan G(j) diperoleh Faktor Pengali berupa :
⁻ Gain K = 100 20 log |K| (dB) = 20 log |100| (dB) = 20 . 2 = 40 dB
Magnitudenya berupa :
K = 100
Log-Magnitude (dB)
40
20
0
0,01 0,1 1 10
Frekuensi
⁻ Orde Pertama : Zero (j = 20) maka 20 log = 20 log 20 = 20 log (2 . 10)
Jadi : 20 log 2 + 20 log 10 = 20 . 0,3 + 20 . 1 = 6 + 20 = 26 (dB)
= 1/T 20 log T = 20 . 0 = 0 dB
= 10/T 20 log T = 20 . 1 = 20 dB
= 100/T 20 log T = 20 . 2 = 40 dB
40
Log-Magnitude (dB)
30
20
10
0 1 10 100
T T T
Frekuensi
⁻ Integral dan Turunan : Pole (j = 0) maka - 20 log = - 20 log 0 = -20 . 1 = - (dB)
o = 0.01 –20 log (1/100) = –20 . (-2) = 40 dB 1
T
40
Log-Magnitude (dB)
Slope -20 dB
20
0
-20
-40
0,01 0,1 1 10 100
Frekuensi
Latihan : Gambarkan Log-Magnitude dan sudut Phasa Diagram Bode untuk Fungsi Alih
1
1. G( s)
2s 100
5.104
2. G ( s)
s 2 505s 2500
10( j 3)
3. G( j )
( j )( j 2) ( j ) 2 j 2
Im[G(j)]
=
Re[G(j)] Re
[G(j)
]
Gambar 9.9. Hubungan Magnitude dan Sudut dalam Koordinat Polar
Fungsi alih sinusoidal suatu sistem diberikan oleh persamaan :
K (1 jTa )(1 jTb )
G ( j )
( j ) (1 jT1 )(1 jT2 )
b0 ( j ) m b1 ( j ) m 1
a 0 ( j ) n a1 ( j ) n 1
Bila n > m, maka penggambaran Nyquist plot dapat dilakukan dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Untuk = 0 (sistem tipe 0), Nyquist plot akan mulai bergerak ( = 0) dari suatu titik
tertentu pada sumbu real positif dan membentuk sudut tegak lurus terhadap sumbu real
seperti pada Gambar 9.10.(a). Pada = , Nyquist plot akan berakhir di titik origin (titik
nol) dan masuk sejajar dengan salah satu sumbu koordinat polar seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 9.11.
2. Untuk = 1 (sistem tipe 1), Nyquist plot akan mulai bergerak ( = 0) dari suatu titik tak
terhingga dan membentuk sudut – 90o terhadap sumbu real positif. Pada frekuensi rendah,
kurva yang terbentuk akan mengikuti suatu garis asimptot yang paralel dengan sumbu
imajiner negatif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.10.(b). Pada = , Nyquist plot
akan berakhir di titik origin (titik nol) dan masuk sejajar dengan salah satu sumbu
koordinat polar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.11.
3. Untuk = 2 (sistem tipe 2), Nyquist plot akan mulai bergerak ( = 0) dari suatu titik tak
terhingga dan membentuk sudut –180o terhadap sumbu real positif. Pada frekuensi
rendah, kurva yang terbentuk akan mengikuti suatu garis asimptot yang paralel dengan
sumbu real negatif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.10.(c). Pada = , Nyquist plot
akan berakhir di titik origin (titik nol) dan masuk sejajar dengan salah satu sumbu
koordinat polar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.11.
Im Im
=
= =0
0 0
Re Re
0
a. Sistem Tipe 0
b. Sistem Tipe 1
Im
=
0 0
Re
c. Sistem Tipe 2
Gambar 9.10. Nyquist Plot
Im
n–m=3
n–m=2
Re
n–m=1