Anda di halaman 1dari 44

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Model Dynamic Self Determination of Self Care

Perawat dapat memberikan pendampingan pada pasien dan keluarga dengan

memberikan dukungan, pendidikan, dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan

oleh keluarga untuk meningkatkan status kesehatannya. Keluarga didorong untuk

secara aktif mengelola kebutuhan perawatan kesehatan mereka secara mandiri

sesuai dengan kemampuannya. Tujuan dari pendampingan pada keluarga bukan

untuk membuat pasien sembuh tetapi untuk memberikan pendampingan

(keluarga/caring) dengan memberikan edukasi, dukungan, perawatan, informasi,

dan merencanakan kebutuhan kesehatan. Untuk keluar dari manajemen perawatan

diri aktif, kesehatan yang optimal akan meningkat

Kesehatan merupakan konsekuensi yang diinginkan dari pendampingan di

lingkungan rumah, tetapi hal ini tidak dapat menjamin keberhasilan apabila tidak

ada keinginan yang kuat dari dalam diri klien untuk meningkatkan derajat

kesehatannya. Karena banyak klien/ keluarga yang merasa putus asa atas kondisi

kesehatannya karena mereka merasa tidak bisa berbuat apa-apa, kondisinya tidak

lagi bisa dirubah karena keterbatasan yang dimilikinya..

Teori keperawatan yang dikembangkan oleh Robyn Rice adalah Dynamic

Self-Determination for Self-care merupakan model keperawatan dimana klien

secara dinamis menentukan nasibnya sendiri dalam perawat dirinya, artinya

motivasi terbesar dari perawatan diri pasien adalah berasal dari dalam dirinya

sendiri. Sederhananya Dynamic Self-Determination for Self-care mengacu pada


9

pilihan pasien mengenai apa yang menyeimbangkan kesehatannya. Ini berasal dari

banyak faktor motivasi pasien dan keluarga untuk perawatan diri, yang meliputi

persepsi interpersonal terhadap kepercayaan kesehatan, pengaruh sosial-budaya,

locus of control, sistem pendukung, sumber daya yang tersedia, dan proses

penyakit. Hal ini dicapai melalui berbagai strategi perawatan diri yang memenuhi

kebutuhan holistik untuk kesehatan (misalnya, segala yang diinginkan dan

diinginkan pasien). Ini adalah proses yang dinamis (satu subjek berubah) di mana

tujuannya adalah kesehatan yang optimal. Kesehatan optimal muncul dari tingkat

fungsi terbaik dan dapat dievaluasi dengan berbagai indikator, termasuk stabilitas

fisiologis, harmoni intrapersonal, resonansi, kepuasan pasien yang perawatan

kesehatannya, dan kualitas hidup untuk menyebutkan beberapa

2.1.1. Peran Perawat dalam Penerapan Model Dynamic Self Determination of

Self Care

Peran perawat disini adalah sebagai fasilitator melalui berbagai strategi,

termasuk pendidikan pasien, advokasi pasien, komunikasi spiritual-estetika, dan

manajemen kasus. Model beras penentuan nasib sendiri yang dinamis untuk

perawatan diri ditunjukkan pada Gambar 2.1.


8

Strategi self-care
 Proses penyakit  Fisiologis
 Usia,  Harmonisme
perkembangan Intrapersonal
kognitif  Partisipasi
 Kebutuhan  Kompetensi
perawatan Patient Motivational Patient indicators of
Factors for self-care CARING Optimal health manajemen
 Budaya kesehatan mandiri
 Persepsi  Tujuan yang ingin
 Otonomi dicapai
 Pengembangan
status kesehatan
Home care nurse as
facilitator

Pendidikan, Perpaduan spiritual dan estetika Patient Advocacy Case Management


kognitif, afektif, and  Seni dalam kesehatan  Caring  Mengkaji, melakukan,
psikomotor  Terapi alternative dan  Menghormati keyakinan dan nilai- menggordinasikan, mengevaluasi
komplementer nilai budaya  Menggunakan alat medis dan
 Kesadaran, kesetiaan, harapan,  Dukungan keluarga sumber daya dalam masyarakat
dan cinta  Legal/ etik  Penghubung
 Kontrol kualitas
 Kepemimpinan
10

Keluarga dipandang sebagai entitas perawatan yang holistik. Kebutuhan

perawatan kesehatan dan intervensi keperawatan) ditentukan bersama oleh

keluarga dan perawat. Persepsi keluarga tentang kebutuhan perawatan kesehatan

tercermin dalam kesinambungan pencarian dan pengetahuan kesehatan yang

optimal. Keseimbangan seperti itu tercapai ketika pikiran, tubuh, dan jiwa berjalan

dengan selaras dengan lingkungan.

2.1.2. Fase Hubungan Perawat-Keluarga dalam Dynamic Self Determination of

Self Care

Dynamic Self-Determination for Self-care memungkinkan pasien

menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan pencapaian tujuan. Hubungan

peduli antara perawat-pasien-keluarga bergerak melalui tahap-tahap

ketergantungan, saling ketergantungan, kemandirian. Tiga fase hubungan

perawatan perawat-pasien-keluarga adalah sebagai berikut:

1. Ketergantungan.

Pada fase awalnya perawat memegang peran besar dalam memfasilitasi

kebutuhan kesehatan keluarga dengan memahami dan bekerja dengan

faktor motivasi pasien / keluarga untuk kesehatan yang optimal

2. Saling ketergantungan.

Fase ini keluarga telah memiliki keterampilan, pengetahuan, dan

kepercayaan diri dan mereka mampu melakukan sebagian besar perawatan

kesehatannya, namun tetao yang diperkuat dan didukung oleh perawat

sesuai kebutuhan
11

3. Kemandirian.

Fase ini keluarga mampu melakukan kegiatan perawatan kesehatan dan

mencapai keadaan kesehatan yang optimal dengan intervensi minimal atau

tidak sama sekali oleh perawat

2.1.3. Komponen dalam Dynamic Self Determination of Self Care

1. Setiap orang memiliki pengaruh besar terhadap kesehatannya, dan

sudah menjadi sifat intrinsik kita untuk mencari (melalui faktor-faktor

motivasi).

2. Optimal mengacu pada tingkat fungsi terbaik dan multidimensi.

3. Proses perawatan medis dan pendidikan kesehatan tidak menjamin

kesehatan yang optimal karena perawatan di rumah dikelola oleh

perawat dan profesional kesehatan lainnya secara intermiten dan

kesehatan yang optimal mencerminkan pasien selama proses

kehidupan, termasuk siapa mereka dan apa yang mereka inginkan

4. Dianggap sebagai entitas holistik di seluruh rentang hidup

5. Partisipasi pasien dengan rencana perawatan dan keberhasilan

manajemen kebutuhan perawatan kesehatan di rumah hasil dari

Dynamic Self-Determination for Self-care, yang dimanifestasikan oleh

strategi perawatan diri yang mendorong kesehatan yang optimal

6. Partisipasi terjadi oleh kolaborasi perawat-pasien-keluarga dengan tim

multidisiplin dalam penetapan tujuan, pengambilan keputusan, dan

pengetahuan. Peran keluarga adalah aktif dan terutama akan

menentukan hasil kesehatan


12

7. Pasien/ keluarga berbagi tanggung jawab untuk perawatan pasien,

yang difasilitasi oleh perawat

8. Peran perawat adalah fasilitator Dynamic Self-Determination for Self-

care dan melibatkan banyak aspek kepedulian (pendidik, advokat,

manajer kasus, dan komuni spiritual-estetika)

9. Keluarga (atau keluarga) dipandang sebagai perpanjangan dari

kebutuhan pasien. Peran keluarga adalah untuk merawat pasien

10. Hubungan antara perawat-pasien-keluarga harus mencerminkan

lingkungan kerja yang saling percaya dan aman untuk semua yang

terlibat

Dynamic Self-Determination for Self-care adalah proses yang berkelanjutan,

sangat pribadi, dan kontemplatif. Ini muncul dari motivasi pasien untuk kesehatan

yang optimal dan akan melibatkan interaksi pasien-perawat-lingkungan yang

mencerminkan bentuk apresiasi pola dan kepedulian yang hanya bergerak

melampaui pemikiran tiga dimensi.

Dynamic Self-Determination for Self-care tidak dimaksudkan sebagai

jalan otomatis untuk penyelesaian masalah kesehatan klien dan keluarga, apalagi

klien atau keluarga yang tidak berpartisipasi dalam perawatan. Sebaliknya, faktor

motivasi untuk perawatan diri dapat dinilai kembali oleh perawat untuk

mengidentifikasi kurangnya informasi pasien/ keluarga, kesalahpahaman, rasa

tidak aman, atau masalah dengan rencana perawatan.

Dynamic Self-Determination for Self-care dapat berguna untuk perawat

dalam berbagai cara. Sebuah alat penelitian dapat tercermin dalam proses

wawancara ketika perawat di rumah mengajukan pertanyaan berikut


13

1. Apa yang ingin Anda pelajari atau ketahui tentang kesehatan Anda?

2. Apa hal yang menurut Anda perlu Anda rasakan yang terbaik?

3. Apakah Anda bersedia bekerja sama dengan saya untuk menjadi sehat

seperti yang Anda yakini?

Selain itu, model ini dapat dimasukkan ke dalam alat penilaian penerimaan

dalam membantu staf untuk mengatur dan mengembangkan rencana perawatan.

Misalnya, setelah penilaian awal, pertanyaan berikut dapat ditanyakan

1. Apa kebutuhan perawatan kesehatan pasien/ keluarga?

2. Jenis layanan perawatan apa yang diinginkan oleh pasien/ keluarga?

Memprioritaskan dan menerapkan intervensi keperawatan berdasarkan

kebutuhan survival yang dirasakan sendiri oleh pasien / keluarga untuk

perawatan diri

3. Apakah pasien bersedia dan mampu berpartisipasi dalam rencana

perawatan? Jika pasien tidak dapat mempelajari pendidikan kesehatan

atau mengelola perawatan diri, adakah keluarga atau anggota keluarga

yang dapat memikul sebagian dari tanggung jawab ini? Apakah

lingkungan rumah mendukung penyampaian layanan yang aman (mis.

Perumahan yang memadai, kepercayaan, sumber daya, dan masalah

lingkungan)? Jika jawabannya "tidak" mutlak untuk tiga pertanyaan

sebelumnya, pertimbangkan metode alternatif pemberian dan

pendekatan layanan kesehatan. Keluarga mungkin bukan kandidat

yang tepat untuk penerapan model ini.

Model ini dapat digunakan sebagai kerangka teori untuk mengembangkan

jalur klinis atau rencana perawatan. Model ini memberikan konsep untuk
14

pengujian dan pengembangan teori lebih lanjut dalam perawatan di rumah.

Pengakuannya akan pentingnya interaksi pasien dan perawat multidimensi

memberikan dasar bagi hal-hal yang belum kita bayangkan. Akhirnya, kekuatan

terbesar model ini adalah ia menawarkan pendekatan akal sehat untuk perawatan

di rumah dan banyak bentuk perawatan masyarakat.

Bukti yang mendukung Dynamic Self-Determination for Self-care bersifat

kualitatif dan berasal dari 16 tahun pengalaman kerja praktis dalam perawatan di

rumah. Model ini telah didukung oleh komunikasi baik lisan maupun tertulis dari

perawat di rumah dan pendidik di tingkat nasional dan internasional yang

melaporkan bahwa model ini konsisten dengan kebutuhan praktik di rumah.

Dynamic Self-Determination for Self-care menekankan tanggung jawab

bersama standar untuk kesehatan yang optimal di antara perawat, pasien, dan

keluarga. Ini diusulkan sebagai teori praktik klinis yang secara khusus ditujukan

untuk perawatan di rumah dan masyarakat. Perawatan di rumah terus berkembang

dalam restrukturisasi sosial dan ekonomi negara ini, tujuan dan implementasinya

akan terus mencerminkan kebutuhan perawatan kesehatan bangsa dan perawat

perawatan di rumah kita. Berusaha keras untuk memberikan perawatan pasien

yang berkualitas

2.2. Konsep Possitive Deviance

Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan

penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan

perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan

masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance

dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan


15

serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin

dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya

menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami

gizi kurang (Zeitlin, 1990).

Pelaku PD adalah Seseorang atau perilaku yang berbeda dari caracara

tradisional dalam melakukan sesuatu. Suatu perubahan kebiasaan yang berbeda

dari kebiasaan yang berlaku umum dan melakukan perilaku baru. Biasanya istilah

“penyimpang” dipersepsikan secara negatif, namun, “penyimpang” bisa berarti

negatif atau positif karena merupakan suatu bentuk penyimpangan dari norma.

Perilaku atau Kebiasaan Pelaku PD adalah Perilaku yang tidak biasa dan

merupakan kebiasaan yang sukses. Keluarga PD adalah Anggota-anggota

keluarga yang mempraktekkan perilaku yang tidak biasa dan menguntungkan

sehingga menghasilkan anak yang sehat dan bergizi baik. Makanan PD adalah

Makanan tertentu yang bergizi, digunakan oleh pelaku PD dalam masyarakat.

Makanan ini terjangkau dan tersedia untuk seluruh masyarakat

2.2.1. Pendekatan PD

PD didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk masalah-masalah

masyarakat sudah ada di dalam masyarakat dan hanya perlu diketemukan. Karena

perubahan perilaku berlangsung perlahan, sejumlah besar praktisi kesehatan

masyarakat setuju bahwa solusi-solusi yang diketemukan dalam suatu masyarakat

dapat lebih bertahan dibandingkan dengan solusi dari luar yang dibawa masuk ke

dalam masyarakat tersebut. Proses PD memanfaatkan kearifan lokal yang berhasil

mengobati dan mencegah kekurangan gizi dan menyebarluaskan kearifan tersebut

ke seluruh masyarakat
16

PD merupakan pendekatan yang berbasis pada “kekuatan” atau “modal”

atas dasar keyakinan bahwa di setiap masyarakat ada individu-individu tertentu

(“Pelaku PD”) yang mempunyai kebiasaan dan perilaku spesial, atau tidak umum

yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik untuk

mencegah kekurangan gizi dibandingkan tetangga-tetangga mereka yang memiliki

sumber-daya dan menghadapi resiko yang sama.

Melalui proses dinamis yang disebut penyelidikan PD (Positive Deviance

Inquiry, PDI), para staff program mengundang para anggota masyarakat untuk

menemukan kebiasaan-kebiasaan unik, yang berkontribusi terhadap status gizi

anak yang lebih baik, mendemonstrasikan perilaku atau kebiasaan tertentu yang

memungkinkan mereka dapat berhasil menyelesaikan masalah-masalah dan

mengatasi tantangan berat

2.2.2. Langkah-langkah Utama dalam Pendekatan Positive Deviance

Menurut PDRC (2012), Langkah-langkah pelaksanaan program positive

deviance yang efektif akan diuraikan secara rinci pada pembahasan berikut:

1. Menentukan apakah pendekatan positive deviance layak dilakukan pada

masyarakat yang ditargetkan

Dalam proses memutuskan apakah kegiatan ini memungkinkan dilakukan

dalam sebuah komunitas sebaiknya ada beberapa hal yang harus

diperhatikan, diantaranya prevalensi kekurangan gizi pada anak di dalam

komunitas yang akan diintervensi, karena kalau ternyata daerah tersebut

bukan menjadi daerah rawan gizi dikhawatirkan solusi ini kurang efektif.

Setelah mendapatkan angka valid dari penimbangan langsung, haru juga

dihindari kendala teknis yang seperti keakuratan timbangan yang


17

digunakan. Selanjutnya dilakukan survey tentang ketersediaan sumberdaya

makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Kondisi normal dari

ketersediaan sumberdaya makanan diukur dengan kemampuan daya beli

dan kondisi hasil pertanian yang ada serta pendapatan masyarakat. Perlu

diperhatikan juga bahwa masyarakat tidak sedang mendapatkan bantuan

makanan atau pun yang lainnya yang berhubungan dengan akses makanan

dalam jangka pendek dari pihak luar

Kondisi lain yang perlu dipantau sehubungan dengan justifikasi dalam

memilih program ini sebagai solusi kekurangan gizi adalah adanya faktor

penghambat selain yang disebutkan di atas, seperti cacingan pada anak,

angka TB yang tinggi, diare, pneumonia, dan KLB penyakit campak.

Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah meminta kesediaan dari

keluarga untuk berkomitmen mengikuti program

2. Mobilisasi masyarakat dan pemilihan orang yang akan terlibat dalam

program.

Sosialisasikan program kepada tokoh masyarakat mupun masyarakat luas

dengan menggali keinginan mereka terhadap kondisi kekurangan gizi yang

dialami anak-anak di daerah mereka. Dukungan dari masyarakat secara

luas harus didapat dengan melakukan pendekatan-pendekatan partisipatif,

sehingga target partisipasi yang diharuskan program bisa terwujud tidak

hanya dari keluarga peserta program, akan tetapi juga dari masyarakat

secara luas
18

3. Persiapkan penjajakan Positive Deviance

Seperti halnya setiap memulai sesuatu aktivitas di lapangan,

asilitator/surveyor harus mempersiapkan segala sesuatu hal yang akan

berguna untuk mencapai tujuan, begitu juga halnya dengan penjajakan

positive deviance ini. Di antara persiapannya adalah :

a. Persiapkan data sekunder; Umumnya data ini ada di posyandu atau

polindes dan puskesmas, data sekunder ini bertujuan untuk

memudahkan dalam menelusuri keluarga mana yang pantas dikunjungi

atau dijajaki,

b. Persiapkan lokasi dan keluarga yang akan dijajaki; Tentukan lokasi

dan keluarga mana yang akan dijajaki sehingga penjajakan akan lebih

terarah kepada target

c. Atur waktu pertemuan dengan keluarga; Jangan sampai terlalu

enggangu keluarga yang akan dikunjungi. Faktor ini harus

diperhatikan dengan serius, walau terlihat hanya sederhana, namun ini

merupakan kesan pertama yang ditangkap masyarakat

d. Persiapkan alat pendukung; Persiapkan alat-alat pendukung yang

antinya diperlukan, seperti alat tulis, data sekunder, timbangan dan

lainnya yang dibutuhkan,

e. Buatkan daftar pertanyaan dan pengamatan sebagai pegangan untuk

fasilitator/surveyor yang akan bertugas,

f. Bagi tenaga; Biasanya penjajakan ini dilakukan secara bersama

dengan melibatkan kader di desa secara partisipatif, maka tenaga yang


19

tersedia harus dibagi ke beberapa keluarga yang masuk ke dalam list

yang akan dikunjungi,

g. Bekali fasilitator/surveyor dengan teknik dan etika penjajakan

keluarga

4. Lakukan penjajakan Positive Deviance

Mulailah melakukan penjajakan dengan lebih akrab dengan keluarga dan

anak, masuklah ke dalam dunia mereka, jangan bawa dunia baru kepada

mereka. Usahakan semua keluarga (termasuk pengasuh) yang dijajaki

hadir dalam proses penjajakan, karena mereka merupakan sumber

informasi. Tanyakan dan amati beberapa hal yang menyangkut bahan

makanan dan cara memasak, pola pemberian makanan terhadap anak, pola

pengasuhan anak dan penerapan prilaku sehat terhadap anak dan keluarga

5. Rancang Proses Transformasi Pengalaman

Setelah menemukan penyimpangan positif, lakukan pertemuan untuk

merancang sesi transformasi pengalaman (dalam hal bahan makanan dan

cara memasak, pola pemberian makanan terhadap anak, pola pengasuhan

anak dan penerapan prilaku sehat terhadap anak dan keluarga) yang sesuai

dengan hasil penjajakan positive deviance yang telah dilakukan. Proses

transformasi pengalaman ini sering disebut juga sesi hearth. Buatlah

rancangan untuk jangka pendek dan jangka panjang secara bersama dan

gali kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan anak, keluarga

dan lingkungan mereka


20

6. Lakukan Proses Transformasi Pengalaman

Setelah membuat rancangan proses transformasi pengalaman secara

bersama dengan peserta lainnya, maka selanjutnya lakukan prosesi sesuai

dengan rancangan tersebut. Pastikan bahwa dalam proses transformasi

pengalaman juga dilakukan sesi memasak bersama dan mempraktekkan

prilaku sehat pada anak. Pertama, kumpulkan kontribusi berupa bahan

makanan lokal, peralatan masak beserta kelengkapan, dan kompor. Kedua,

terangkan tentang apa yang akan dimasak (tentu masakan lokal yang

pernah/sering dilakukan ibu yang berhasil) oleh ibu yang anaknya sehat.

Lalu uraikan komponen yang akan dimasak dan terangkan kadar gizi yang

terkandung di dalamnya. Sementara sesi ini berjalan, anak-anak perlu

diperhatikan dan diasuh oleh beberapa ibu atau kakak-kakak mereka,

sehingga tidak mengganggu proses transformasi dan memasak. Ketiga

lakukan makan bersama serta memulai dengan mencuci tangan secara

bersama (agar menjadi kebiasaan), lalu terapkan prilaku baik lainnya

sebelum makan, seperti membaca do’a dan lainnya. Keempat, setelah

makan lakukanlah diskusi seputar gizi, pengasuhan anak, kebersihan

personal dan lingkungan, sehingga mereka dapat berbagi dan mendapatkan

pengetahuan serta pengalaman baru. Kelima, sepakati menu dan topik

diskusi untuk hari berikutnya secara bersama, dan tetapkan jenis

kontribusi, sehingga pada hari selanjutnya prosesi ini bisa dilakukan tepat

waktu
21

7. Dukung prilaku baru

Dalam melakukan sesi transformasi pengalaman, baik memasak, makan

bersama, mempraktekkan kebersihan anak serta berdiskusi, hal yang

terpenting dilakukan adalah memberikan penghargaan terhadap setiap

pendapat atau tanggapan walaupun remeh. Dukunglah prilaku baru bagi

semua peserta yang melakukannya, berikan terus motivasi kepada mereka

serta yakinkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan

sangat baik untuk kesehatan anak mereka. Mendukung prilaku baru ini

tidak melulu dilakukan dalam sesi transformasi pengalaman ini, akan

tetapi juga akan lebih efektif dan mengena jika mendukung prilaku mereka

dengan mendatangi rumah mereka sambil mengamati pola dan prilaku

keluarga dalam memasak, mengasuh, memberi makan anak serta

kesehatan personal dan lingkungan mereka

8. Ciptakan kegiatan pendukung agar kegiatan tidak menjemukan

Seperti juga halnya dengan setiap kegiatan rutin, jika tidak ada suatu

kondisi yang membuat nyaman, maka semua orang akan mereasa jenuh.

Begitu juga halnya dengan kegiatan ini, peserta akan lebih cepat jenuh,

apalagi di tengah aktivitas keseharian para ibu-ibu peserta yang cukup

sibuk. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan

dalam melakukan kegiatan ini, diantaranya kegiatan membuat kerajinan

tangan yang bisa dipasarkan atau melakukan kegiatan ekonomis lainnya

9. Ulang sesi Hearth jika diperlukan

Setelah melalui seluruh tahapan kegiatan, akan ada terasa sesuatu hal yang

baru dan positif. Namun kegiatan Positive Deviance ini tidaklah seperti
22

mengkonsumsi obat, sekali membeli, meminumnya dan setelah itu

langsung sehat, akan tetapi ada suatu proses sosial yang tidak bisa

dilakukan hanya sekali jalan. Banyak anak yang status gizinya meningkat

setelah mengikuti satu sesi hearth ini. Namun, ada beberapa kasus status

gizi anak tidak mengalami peningkatan yang berarti selama satu sesi itu.

Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya ada penyakit lain

sebagai penyebab. Jika ternyata setelah mengikuti satu kali sesi hearth

dirasakan peningkatan status gizi anak belum seperti yang diharapkan,

maka dianjurkan sekali untuk mengulangi lagi mengikuti sesi hearth

berikutnya

10. Perluas program Positive Deviance & Hearth

Keberhasilan suatu program menyebabkan orang lain tertarik untuk

mengadopsi program tersebut. Penggunaan pendekatan positive deviance

dalam meningkatkan status gizi anak, secara konsep, sudah dirancang

sedemikian rupa sehingga kegiatannya menjadi sederhana dan replicable

atau bisa dilakukan dalam komunitas lain. Suatu pekerjaan yang dimulai

dengan memanfaatkan nilai lokal jauh lebih efektif daripada membawa

nilai-nilai baru yang dipaksakan

2.2.4. Perilaku dan Kebiasaan Menguntungkan oleh PD

1) Kebiasaan Pemberian Makan

Perilaku atau Kebiasaan Pelaku PD Perilaku yang tidak biasa dan

merupakan kebiasaan yang sukses. Keluarga PD. Anggota-anggota

keluarga yang mempraktekkan perilaku yang tidak biasa dan

menguntungkan sehingga menghasilkan anak yang sehat dan bergizi


23

baik. Makanan PD Makanan tertentu yang bergizi, digunakan oleh

pelaku PD dalam masyarakat. Makanan ini terjangkau dan tersedia

untuk seluruh masyarakat

Penggunaan jenis makanan tertentu yang bergizi, frekuensi pemberian

makan dan jumlah makanan

2) Kebiasaan Pengasuhan

Interaksi positif antara anak dan pengasuh utama dan pengganti

membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan positif

seperti: sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan

menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada anak, adanya pembagian

tugas agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik, dan

partisipasi aktif ayah dalam pengasuhan anak. Berbagai kebiasaan

tersebut dan kebiasaan lain dalam hal pengasuhan anak, merupakan hal

yang sangat penting bagi perkembangan anak yang normal namun

seringkali terabaikan

Cara berinteraksi antara anggota-anggota keluarga dan anak (asuhan

psiko-sosial) serta stimulasi pada anakanak usia dini

3) Kebiasaan Kebersihan

Kebersihan tubuh, makanan, dan lingkungan berperan penting dalam

memelihara kesehatan anak serta mencegah penyakit-penyakit diare dan

infeksi kecacingan. Satu kebiasaan yang bersih seperti, mencuci tangan

dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar, telah

menjadi fokus kampanye WHO untuk mengurangi timbulnya penyakit-


24

penyakit diare termasuk kebersihan tubuh, makanan, dan lingkungan

(kebersihan terkadang dimasukkan kedalam perilaku pengasuhan)

4) Kebiasan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan

Selain memberikan imunisasi lengkap kepada anak sebelum ulang

tahun yang pertama, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan

mendapatkan bantuan profesional pada waktu yang tepat sangat

berperan penting dalam menjaga kesehatan anak. Berbagai perilaku

sehat yang preventif, tatalaksana rumah tangga ketika ada yang sakit

serta penggunaan pelayanan kesehatan

2.2.5.1 Contoh Makanan dan Peilaku-perilaku pemberian Makan

1) Memperkenalkan pemberian makanan tambahan yang sesuai bagi

anak usia sekitar enam bulan

2) Frekuensi pemberian makan

3) Variasi makanan

4) Jumlah dan konsistensi (kekentalan) makanan

5) Tidak ada bias gender yang berhubungan dengan urutan makan,

jumlah dan jenis makanan

6) Melanjutkan pemberian ASI yang sering

7) Penanganan yang tepat terhadap anak yang selera makannya rendah

8) Pengawasan selama pemberian makan (pemberian makan secara

aktif)
25

2.2.6. Contoh Perilaku-perilaku pengasuhan anak

1) Membagi tugas dan merawat anak diantara para ibu balita/pengasuh

agar tersedia waktu yang cukup untuk bersama-sama dengan setiap

anak.

2) Para ibu balita/pengasuh mempraktekkan proses belajar situasional

(aktivitas-aktivitas yang interaktif dan memberikan stimulasi pada

anak sambil mengerjakan pekerjaan sehari-hari)

3) Penggunaan stimulasi tradisional (memijat)

4) Penggunaan lagu (lagu tidur)

5) Interaksi positif antara anak, ibu balita/pengasuh utama dan pengganti

serta saudara kandung yang lebih tua yang dapat membantu

perkembangan emosi dan kognitif (memberikan perhatian dan

tandatanda kasih sayang, sering melakukan interaksi verbal)

6) Interaksi positif antara anak dengan anggota-anggota keluarga lainnya

dapat membantu sosialisasi anak (mengucapkan berulang-ulang

katakata positif/pujian, berlaku sabar dan memberi contoh perilaku

yang baik)

7) Pengawasan setiap saat

8) Stimulasi dan permainan yang memadai untuk perkembangan anak

secara menyeluruh, membantu anak untuk bereksperimen dengan

lingkungan dan mengijinkan adanya upaya penemuan

9) Menggunakan mainan buatan sendiri yang sesuai dengan usia anak

Ayah menyediakan perhatian dan kasih sayang

10) Lingkungan yang aman


26

2.2.7. Contoh perilaku-perilaku kebersihan

Kebersihan makanan, tubuh dan lingkungan (mencuci muka, tangan, dan

kaki dengan air sebelum makan)

2.2.8. Contoh perilaku-perilaku sehat yang preventif

1) Imunisasi lengkap

2) Penimbangan anak secara berkala (jika tersedia)

3) Penggunaan kelambu pada daerah endemik malaria

4) Semua anggota keluarga menggunakan kakus atau fasilitas toilet

lainnya

5) Pemberantasan kecacingan secara berkala pada anak dan anggota-

anggota keluarga yang tinggal di daerah endemik

2.2.9. Contoh perilaku-perilaku perawatn anak yang sedang sakit

1) Pengobatan anak sedang sakit dan perawatan selama masa

penyembuhan dirumah secara tepat.

2) Pemberian makanan dan cairan yang sesuai ketika anak sedang sakit

dan dalam masa penyembuhan

3) Pengobatan yang tepat dirumah terhadap berbagai penyakit ringan dan

luka (pilek, batuk , demam, sakit kuping, mata merah, luka, terbakar,

gigitan serangga, memar, ruam, dll.)

4) Melanjutkan pemberian ASI serta makanan dan cairan yang sesuai

ketika anak mengalami diare; makanan ekstra diberikan kepada anak

setelah mengalami diare

5) Penggunaan LGG atau cairan lain dirumah untuk mencegah dehidrasi

selama mengalami diare


27

6) Mencari bantuan profesional untuk pengobatan penyakit dan luka

2.3. Konsep Perilaku Antecedence, Behavior, Consequences

2.3.1. Antecedence

Antecedent adalah peristiwa lingkungan yang membentuk tahap atau

pemicu perilaku (Holland & Skiner, 1961 ; Bandura,1977 ; Miller, 1980).

Adanya antecedent  dapat memicu untuk terjadinya perilaku seseorang, artinya

dengan adanya sebuah peristiwa bisa menjadikan seseorang untuk berperilaku

Perilaku seseorang bisa direncanakan untuk menghadapi sebuah peristiwa,

bisa juga sebaliknya perilaku akan muncul kalau sudah terjadi peristiwa. Sehingga

kita dapat melihat bahwa proses antecedent dapat dibagi atas 2 (dua) :

1.      Antecedent terencana

2.     Antecedent alamiah (naturally occurings antecedentts) adalah perilaku yang

timbul karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa lingkungan yang sudah terjadi

Sebagai tenaga kesehatan sebaiknya bisa lebih memperhatikan aspek ini

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tenaga kesehatan diharapkan bisa peka

dalam melihat berbagai fenomena-fenomena kejadian alam untuk bisa dijadikan

sebagai antecedent, dan setelah menjadikan peristiwa tersebut sebagi antecedent

dapat dijadikan sebagi bahan atau informasi yang bisa disebarluaskan

dimasyarakat. Sehingga masyarakat tidak perlu sampai mengalami sendiri

kejadian-kejadian yang merugikan, karena sudah didapatkan dari pengalaman

orang lain sebagai sesuatu pelajaran yang paling berharga.

2.3.2. Behaviour

1. Perilaku sasaran ada, tetapi tidak dalam frekuensi yang cukup


28

2. Perilaku sasaran ada, tetapi tidak dalam jangka waktu yang mencukupi

3. Perilaku sasaran ada, tetapi tidak dalam bentuk yang diharapkan

4. Perilaku sasaran ada, tetapi tidak dalam saat yang tepat

5. Perilaku sasaran tidak ada sama sekali

6. Ada perilaku tandingan

Perilaku tandingan adalah sesuatu yang jika dipraktekkan akan

mengganggu perilaku yang lain. Perilaku sasaran merupakan perilaku

yang kompleks

7. Praktik-praktik kesehatan yang diharapkan sering bersifat lebih kompleks

dibandingkan dengan apa yang sekilas terlihat untuk pertama kali. Dalam

situasi semacam ini, komunikator bisa membagi perilaku sasaran ke dalam

bagian-bagian yang terpisah, untuk memahami apa yang diminta oleh

mereka yang sedang mempraktekkannya serta membantu komunikator

agar lebih siap dalam mempelajari perilaku tersebut. Pemahaman akan

kompleksitas perilaku membantu komunikator agar dapat dengan tepat

memilih pesan-pesan, merencanakan strategi dan menyusun pelatihan

2.2.3. Consequences

1. Pengertian

Adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku, yang juga

menguatkan, melemahkan atau menghentikan suatu perilaku.

Consequence yang terjadi pada diri seseorang bisa menguatkan perilaku

ulang kalau orang tersebut merasa bisa mengambil manfaat dari perilaku yang

pernah dilakukan sebelumnya, kemungkinan lain yang bisa menjadikan seseorang


29

mengulang perilaku sebelumnya karena merasa senang dengan apa yang pernah

dilakukan.

Apabila perilaku sebelumnya merasa tidak menyenangkan, menakutkan,

atau bahkan membuat trauma, bisa jadi akan membuat sesorang malas untuk

berperilaku ulang, yang lebih parah lagi dia bahkan akan berhenti sama sekali

untuk tidak berperilaku yang menurut dia tidak menyenangkan, atau bisa saja

karena ada penilaian tidak bermanfaat.

Keadaan ini berlaku bagi semua perilaku awal baik yang bersifat negatip

ataupun yang bersifat positip. Artinya bisa saja seseorang diawalnya berperilaku

negatip, tetapi karena mereka merasa ada peristiwa yang tidak menyenangkan atau

bahkan merasa tidak bermanfaat membuat seseorang menjadi berhenti untuk tidak

berperilaku lagi. Atau sebaliknya sebuah perilaku awal positip karena kemudian

dia mendapatkan suatu peristiwa yang menyenangkan kemudian akan

memperkuat untuk berperilaku ulang/lanjut lagi

a. Perilaku positive-consequnce menyenangkan yang bisa menguatkan perilaku

baru.

b. Perilaku positive-consequnce tidak menyenangkan yang bisa melemahkan -

perilaku baru

c. Perilaku negatip-consequnce tidak menyenangkan yang

bisa menghentikan perilaku lama-dan menguatkan perilaku baru :

Suatu keadaan peristiwa yang dapat memperkuat perilaku

disebut reinforcement, sedangkan suatu peristiwa negatip yang akan menekan

atau melemahkan perilaku disebut sebagai hukuman (punishmentt).

a. Reinforcement positif
30

Peristiwa menyenangkan dan diinginkan, peristiwa ramah, yang mengikuti

sebuah perilaku.

b. Reinforcement negatif

Peristiwa atau persepsi dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan dan

tidak diinginkan, tetapi juga memperkuat perilaku, karena seseorang cenderung

mengulangi sebuah perilaku yang dapat menghentikan peristiwa yang tidak

menyenangkan.

c. Hukuman (punishmentt).

Suatu consequences negatif yang menekan atau melemahkan perilaku.

Suatu hukuman akan selalu dianggap orang sebagai sesuatu peristiwa yang

tidak menyenangkan, tetapi hukuman yang diberikan sebaiknya bersifat positip

dan membangun, dengan harapan apabila seseorang awalnya berperilaku

negatip kemudian ada peristiwa yang bersifat punishment, dengan

harapan punishment tadi bisa menekan atau bahkan melemahkan sesuatu.

Untuk itu hindari pemberian punishment untuk hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku yang sudah positip, punishment sebaiknya hanya diberikan

pada perilaku yang masih negatip.

2. Ciri-Ciri Consequence

a. Suatu consequences yang segera mengikuti suatu perilaku adalah jauh

lebih kuat mempengaruhi perilaku daripada consequences timbul setelah

satu masa penundaan.

b. Makin menonjol, relevan, penting atau bermakna suatu consequences bagi

individu, maka makin berdayaguna consequences itu terhadap individu.


31

c. Sebuah consequences yang lebih konkrit lebih berdaya guna dibandingkan

dengan consequences yang abstrak. Sekali sebuah perilaku berhasil

dipelajari, maka consequences yang menyenangkan tidak perlu mengikuti

setiap kejadian untuk memelihara perilaku dari perilaku untuk

mempertahankannya tersebut tidak perlu selalu ada saat perilaku.

1. Kekuatan Consequences

Consequences mengerahkan lebih banyak pengaruh terhadap

kelangsungan pelaksanaan perilaku daripada pengaruh yang diberikan

oleh antecedent (Miller, 1980).

Dengan demikian consequence pada diri seseorang relatip akan lebih

berpengaruh untuk terjadinya perilaku baru jika dibandingkan dengan antecedent.

2. Rantai Perubahan Dari Antecedent-Behaviour-Consequens

A1 B1 C1

A2 B2 C2

A1 : sebagai antecedent awal

B1 : sebagai behaviour awal

C1/A2 : sebagai conseguens awal, sekaligus sebagai antecedent ulang

B2 : sebagai behaviour ulang

C2 : sebagai conseguence ulang.

Consequence yang terjadi atau dialami seseorang adakalanya bisa

menguatkan seseorang untuk berperilaku baru, peran tenaga kesehatan disini

diharapkan sebagai motivator yang dapat menjadikan orang tersebut berperilaku

tetap hidup sehat. Sehingga suatu consequence yang sudah menguatkan pada diri


32

seseorang, kalu ada motivasi makan akan segera merangsang seseorang tersebut

untuk segera berperilaku baru.

Tahapan paling rentan yang bisa dimanfaatkan tenaga kesehatan adalah

pada kondisi konsequens yang sekedar melemahkan, atau bahkan menghentikan.

Peran tenaga kesehatan disini sangat diharapkan segera bereaksi secepat mungkin,

karena pada kondisi ini seseorang masih bimbang apakah akan mengulang

perilaku sebelumnya yang masih negatip atau bisa saja dia menghentikan perilaku

yang sudah positip tetapi karena merasa ada consequences negatip. Untuk itu

tenaga kesehatan diharapkan bisa segera menanamkan nilai-nilai agar masyarakat

segera menghentikan perilaku negatip, ataupun bisa mengingatkan perilaku yang

sudah positip tetapi ada peristiwa yang tidak menyenangkan sehingga dia

pikirannya goyah, untuk itu tenaga kesehatan tetap menamkan nilai kebenaran

sehingga masyarakat bisa bertahan dan menjalankan perilaku sehat.

Tenaga kesehatan yang sering bertemu dan berhubungan langsung dengan

masyarakat, adakalanya juga bisa berperan dalam terbentuknya consequns

seseorang, oleh karena itu kita juga harus hati-hati dalam memberi perlakukan

kepada masyarakat. Karena sesuatu yang menurut masyarakat menyenangkan

akan menjadikan mereka untuk tetap tertarik untuk menjalankan perilaku tersebut,

tetapi  sebaliknya apabila apa yang dilakukan tenaga kesehatan dinilai tidak

menyenagkan maka akan menjadikan seseorang untuk tidak mau menjalankan

perilaku positip selanjutnya.

Sebagai tenaga kesehatan juga harus memahami adanya reinforcement.

Tenaga kesehatan diharapkan bisa menunjukan bahwa apa yang mereka dapatkan
33

sebagai Reinforcement positif , untuk dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk bisa

menjalankan perilaku positip selanjutnya.

Dalam hal Reinforcement  negatif, tenaga  kesehatan juga harus bisa

menunjukan kepada masyarakat bahwa apa yang telah dijalankan dan dinilai tidak

menyenangkan bisa meluruskan bahwa sesuatu yang negatip dan tidak

menyenangkan sebaiknya segera dihentikan, tetapi segala sesuatu yang sudah

positip sebaiknya bisa tetap dipertahankan.

Untuk lebih membuat program kesehatan lebih berhasil sebaiknya

memperhatikan ciri-ciri spesifik dari Consequence. Sebaiknya apabila didapatkan

ada suatu consequences, maka tenaga kesehatan harus jeli dan respon terhadap

peristiwa ini dan segera memberikan motivator kepada masyarakat untuk segera

mengubah perilaku mumpung masih hangat, karena kalau kejadiannya sudah lama

dampak untuk tertanamnya menjadi perilaku baru akan menjadi lemah. Selain itu

apabila kita   atau meberi contoh sebuah consequences, sebaiknya yang lebih

konkrit atau nyata.  Karena suatu konsequns yang lebih konkrit akan mudah

dipelajari

2.4. Konsep Dasar Stunting

2.3.1. Definisi Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau

tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur

dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi

median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah

gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,
34

gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam

mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes, 2018)

Balita stunting adalah salah satu masalah utama pada status gizi balita di

Indonesia selain balita gizi buruk (underweight). Stunting merupakan akumulasi

kondisi balita yang pendek dan sangat pendek. Indikator stunting pada balita

dihitung berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) (Badan Litbangkes,

2010).

2.3.2. Faktor Penyebab Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan

olehfaktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi

yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh

karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak

balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat

digambarkan sebagai berikut (TNP2K, 2017)

1. Praktek pengasuhan anak yang kurang baik

Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan

pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan

informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan

tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak

usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6

bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,

MP- ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak
35

lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan

perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun

minuman

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante

Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan)

Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas

Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia

menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun

dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses

yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil

belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih

terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1

dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan

Anak Usia Dini)

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi

Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong

mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,

SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding

dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih

mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di

Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang

mengalami anemia

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi


36

Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah

tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1

dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih

2.3.3. Kerangka Intervensi Stunting di Indonesia

Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan intervensi gizi sensitif.

Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil

Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada

ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi

kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium,

menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari

Malaria

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6

Bulan

Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi

menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum serta

mendorong pemberian ASI Eksklusif

2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23

bulan

Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI

hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6

bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing,

menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam


37

makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi

lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang

kedua adalah intervensi gizi sensitif. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi

pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut

(TNP2K, 2017)

1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana

(KB).

5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada

remaja.

11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin

12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi

Sepuluh (10) Cara Intervensi Stunting menurut Kemendesa PDTT

(2017)

1. Ibu hamil mendapat tablet Fe minimal 90 tablet selama hamil

2. Pembeian makanan tambahan pada ibu hamil


38

3. Pemenuhan gizi

4. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli

5. Inisaiasi Menyusui Dini

6. Berikan ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan

7. Berikan MP ASI untuk bayi di atas 6 bulan hingga 2 tahun

8. Berikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin A

9. Pantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat

10. Lakukan perilaku hidup bersih dan sehat

Lima (5) pilar sanitasi total berbasis lingkungan menurut Kemendesa

PDTT (2017)

1. Cuci tangan menggunakan sabun

2. Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga

3. Berhenti buang air besar semabarangan

4. Pengelolaan sampah rumah tangga

Upaya Intervensi Nyata Mengatasi Stunting

1. Pada ibu hamil

Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam

mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik,

sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah

mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan

tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat

tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu

harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit


39

2. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun Mulai usia 6 bulan, selain

ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI

terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak

memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar lengkap

3. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat

strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan

4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap

rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan

fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan

kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk

pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi,

gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.

5. Walaupun remaja putri secara eksplisit tidak disebutkan dalam 1.000 HPK

, namun status gizi remaja putri atau pra nikah memiliki kontribusi besar

pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran, apabila remaja

putri menjadi ibu

6. Pengelolaan limbah cair rumah tangga

“Jika anak lahir stunting dan pada usia 4-6 tahun tidak mengalami perbaikan
dari segi pemberian gizi maka anak akan tetap pendek saat memasuki usia
pra remaja. Namun ketika anak yang lahir stunting mendapatkan perbaikan
di usia 4-6 tahun, ia bisa tumbuh normal dan mengalami peningkatan tinggi
badan pada usia pra pubertas” (Aryastami, 2015).

Gangguan tunbuh kembang bisa dicegah dengan penerapan 1000 hari

pertama kehidupan. Bayi lahir stunting ternyata masih meiliki harapan

untuk tumbuh normal jika diberikan intervensi pada usia balita


40

2.6. Konsep Pendampingan

2.5.1. Definisi

Pendampingan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh fasilitator atau

pendamping masyarakat dalam berbagai kegiatan program. Fasilitator juga

seringkali disebut fasilitator masyarakat (community facilitator/CF) karena

tugasnya lebih sebagai pendorong, penggerak, katalisator, motivator masyarakat,

sementara pelaku dan pengelola kegiatan adalah masyarakat sendiri (Ii and

Pendampingan, 2005)

Pendampingan sebagai suatu strategi yang umum digunakan oleh

pemerintah dan lembaga non-profit dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas

dari sumber daya manusia, sehingga mampu mengindentifikasikan dirinya sebagai

bagian dari permasalahan yang dialami dan berupaya untuk mencari alternatif

pemecahan masalah yang dihadapi. Kemampuan sumber daya manusia sangat

dipengaruhi oleh keberdayaan dirinya sendiri. Oleh karena itu sangat dibutuhkan

kegiatan pemberdayaan di setiap kegiatan pendampingan. Pendampingan

merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program

pemberdayaan masyarakat, selanjutnya dikatakannya pula dalam kutipan Payne

(1986) bahwa pendampingan merupakan strategi yang lebih mengutamakan

“making thebest of theclient’sresources” (Ii and Pendampingan, 2005)

Keterlibatan masyarakat sebagai sumber daya manusia untuk

memberdayakan dirinya, merupakan potensi untuk mencapai tujuan masyarakat,

yaitu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. pendampingan

adalah kegiatan yang dilakukan bersama-sama masyarakat dalam mencermati

persoalan nyata yang dihadapi di lapangan selanjutnya mendiskusikan bersama


41

untuk mencari alternatif pemecahan kearah peningkatan kapasitas produktivitas

masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa pendampingan berintikan sebagai

upaya menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang

dimiliki sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik.

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa pendampingan bukan saja

dilakukan oleh tenaga pendamping atau petugas lapangan kepada masyarakat

tetapi juga dibutuhkan keterlibatan masyarakat sebagai potensi utama untuk

dikembangkan dan mengembangkan diri. Karena masyarakat lebih mengetahui

apa yang dimiliki dan apa yang menjadi permasalahannya. Berkaitan dengan itu

pendampingan berarti bantuan dari pihak luar, baik perorangan maupun kelompok

untuk menambahkan kesadaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan

pemecahan permasalahan. Pendampingan diupayakan diupayakan untuk

menumbuhkan keberdayaan dan keswadayaan agar masyarakat yang didampingi

dapat hidup secara mandiri. Jadi pendampingan merupakan kegiatan untuk

membantu individu maupun kelompok yang berangkat dari kebutuhan dan

kemampuan kelompok yang didampingi dengan mengembangkan proses interaksi

dan komunikasi dari, oleh, dan untuk anggota, serta mengembangkan

kesetiakawanan dan solidaritas kelompok dalam rangka menumbuhkembangkan

kesadaran sebagai manusia yang utuh, berperan dalam kehidupan masyarakat

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Istilah pendampingan berasal dari kata kerja “mendampingi” yaitu suatu

kegiatan menolong yang karena sesuatu sebab butuh didampingi. Sebelum itu

istilah yang banyak dipakai adalah “Pembinaan”. Ketika istilah pembinaan ini

dipakai terkesan ada tingkatan yaitu ada pembina dan ada yang dibina, pembinaan
42

adalah orang atau lembaga yang melakukan pembinaan. Kesan lain yang muncul

adalah pembina adalah pihak yang aktif sedangkan yang dibina pasif atau

pembina adalah sebagai subyek dan yang dibina adalah obyek. Oleh karena itu

ketika istilah pendampingan dimunculkan langsung mendapat sambutan positif

dikalangan praktisi pengembangan masyarakat. Karena kata pendampingan

menunjukkan kesejajaran (tidak ada yang satu lebih dari yang lain), yang aktif

justru yang didampingi sekaligus sebagai subyek utama, pendampingan lebih

bersifat membantu saja. Pendampingan merupakan aktivitas yang selalu dilakukan

oleh kelompok-kelompok sosial seperti pengajaran, pengarahan atau pembinaan

dalam kelompok dan bisa menguasai, mengendalikan serta mengontrol orang-

orang yang mereka dampingi. Karena dalam pendampingan lebih pada

pendekatan kebersamaan, kesejajaran, atau kesederajatan kedudukan. (BPKB.

Pendampingan masyarakat. Jawa Timur. 2001; 5)

Menurut Deptan (2004), pendampingan adalah kegiatan dalam

pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan tenaga pendamping yang

berperan sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator. Pendampingan pada

umumnya merupakan upaya untuk mengembangkan masyarakat di berbagai

potensi yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat untuk menujuk kehidupan

yang lebih baik dan layak. Selain itu pendampingan berarti bantuan dari pihak lain

yang sukarela mendampingi seseorang atau pun dalam kelompok untuk

memenuhi kebutuhan dan pemecahan masalah dari masing-masing individu

maupun kelompok

Pendampingan pada intinya didasari oleh prinsip pemihakan kepada

kelompok-kelompok masyarakat yang marginal, tertindas dan dibawah untuk


43

menjadikan mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan

masalah dan mengubah posisinya. Pendampingan dengan konsep mencakup

upaya perbaikan kualitas hidup rakyat yang diukur dari peningkatan kesejahteraan

ekonomi, partisipasi

2.5.2. Tujuan Pendampingan

Tujuan pendampingan adalah pemberdayaan. Pemberdayaan berarti

mengembangkan kekuatan atau kemampuan (daya), potensi, sumber daya

manusia yang ada pada diri manusia agar mampu membela dirinya sendiri.

Didalam kegiatan pendampingan Perlu memiliki tujuan dan sasaran yang jelas dan

dapat dilihat dari hasilnya. Menurut Juni Thamrin (1996: 89), yaitu banyak cara

melakukan pendampingan dan salah satunya melalui kunjungan ke lapangan,

tujuan kunjungan kelapangan ini adalah membina hubungan kedekatan dengan

masyarakat, kedekatan dapat menimbulkan kepercayaan antara pendamping

dengan yang didampingi. Tujuan dari pendampingan antara lain:

a) Memperkuat dan memperluas kelembagaan yang sedang dijalankan

dimasyarakat.

b) Menumbuhkan dan menciptakan strategi agar berjalan dengan lancar dan

tercapai tujuan yang dijalankan.

Meningkatkan peran serta aparat maupun tokoh masyarakat dalam

melaksanakan program pendampingan

2.5.3. Metode Pendampingan

Di dalam proses pelaksanaan pendampingan harus memiliki metode

Pendampingan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang harus

didampinngi. Metode pendampingan ini merupakan proses kegiatan agar


44

terjadinya pendampingan, metode pendampingan yang biasa digunakan dalam

kegitan pendampingan yaitu:

a) Konsultasi

Konsultasi Konsultasi adalah upaya pembantuan yang diberikan

pendamping terhadap masyarakat dengan cara memberikan jawaban,

solusi dan pemecahan masalah yang dibutuhkan oleh masyarakat

b) Pembelajaran

Pembelajaran adalah alih pengetahuan dan sistem nilai yang dimiliki oleh

pendamping kepada masyarakat dalam proses yang disengaja

c) Konseling

Konseling adalah membantu menggali semua masalah dan potensi yang

dimiliki dan membuka alternatif-alternatif solusi untuk mendorong

masyarakat mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang ada dan

harus berani bertanggung jawab bagi kehidupan masyarakat. (Bintan,

2010)

2.5.4. Prinsip-prinsip pendampingan

Upaya untuk meningkatkan dan memberdayakan masyarakat adalah

melalui program pendampingan. Pendampingan dengan prinsip yang dapat

digunakan sebagai panduan dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui

program pendampingan yaitu:

a) Prinsip keswadayaan

Yakni dengan memberi motivasi dan mendorong untuk berusaha atas

dasar kemauan dan kemampuan mereka sendiri serta tidak selalu

tergantung pada bantuan luar.


45

b) Prinsip berkelompok

Kelompok tumbuh dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Melalui

kerja-kerja yang dilakukan secara berkelompok, apa yang diinginkan akan

lebih mudah untuk diwujudkan. Selain itu sebuah kelompok dapat menjadi

basis kekuatan (posisi tawar), baik untuk membangun jaringan, maupun

untuk bernegosiasi

c) Prinsip kerja jaringan

Selain menjalani dengan anggota kelompok sendiri, kerja sama juga

dikembangkan antar kelompok dan mitra kerja lainnya. Kerjasama itu

diwujudkan dalam sebuah jaringan yang mempertemukan berbagai

kepentingan antar kelompok. Jaringan kerja yang besar dan solid dengan

sendirinya memberikan kekuatan pada masyarakat.

d) Prinsip keberlanjutan

Kegiatan penumbuhan inisiatif, pengembangan diorientasikan pada

terciptanya sistem dan mekanisme yang akan mendukung dalam

pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Berbagai kegiatan yang

dilakukan merupakan kegiatan yang berpotensi untuk berlanjut

dikemudian hari

e) Prinsip belajar menemukan sendiri Kelompok

Kelompok dalam masyarakat tumbuh dan berkembang atas dasar kemauan

dan kemampuan mereka untuk belajar menemukan sendiri, apa yang

mereka butuhkan dan apa yang akan mereka kembangkan. Termasuk untuk

mengubah penghidupan dan kehidupannya

2.5.5. Tahap-tahap pelaksanaan Kegiatan Pendampingan


46

Di dalam pendampingan harus memiliki tahap pelaksanaan kegiatan agar

lebih terarah dan dapat dipahami kapan program akan berakhir. Tahap-tahap ini

pada hakikatnya merupakan target atau sasaran yang ingin dicapai pada kurun

waktu tertentu. Tahapan kegiatan pendampingan adalah sebagai berikut:

a) Pengenalan kebutuhan masyarakat

Pengenalan kebutuhan masyarakat dilakukan untuk mengetahui apa yang

diperlukan oleh masyarakat di satu daerah sehingga kegiatan yang akan

dijalankan di daerah tersebut tidak sia-sia dan dapat memberikan manfaat

bagi mereka. Oleh karena itu informasi mengenai lokasi, karakteristik

masyarakat serta potensi daerah diperlukan sebagai bahan dasar untuk

merancang suatu kegiatan. Informasi dapat diperoleh baik dari dokumen

tertulis maupun dari pejabat pemerintah, pemuka masyarakat maupun

pemuka adat atau agama. Informasi dari sumber lain seperti dari

masyarakat secara langsung juga diperlukan untuk memastikan bahwa

kegiatan yang akan dilakukan dapat menjawab kebutuhan masyarakat

b) Rekruitmen pendamping

Untuk mencapai tujuan dari pemberdayaan masyarakat tersedianya sumber

daya manusia (SDM) tenaga pendamping yang memiliki pengetahuan,

sikap dan keterampilan, merupakan hal yang sangat penting. Perekrutan

tenaga pendamping ini merupakan salah satu tahap yang menentukan bagi

keberhasilan program pendampingan Kriteria pendamping perlu memiliki

kemampuan untuk dapat berfungsi sebagai penunjuk jalan, pendorong,

pendamai, pengumpul fakta dan pemberi fakta serta kepentingan-


47

kepentingan yang lain. Pada dasarnya pendamping memiliki tiga peran

dasar yaitu:

1. Penasehat kelompok

Pendamping memberikan berbagai masukan dan pertimbangan

yang diperlukan oleh kelompok dalam menghadapi masalah.

Pendamping tidak memutuskan apa yang perlu dilakukan, akan

tetapi kelompoklah yang nantinya membuat keputusan

2. Trainer Participatoris

Pendamping memberikan berbagai kemampuan dasar yang

diperlukan oleh kelompok seperti mengelola rapat, pembukuan,

administrasi, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan

sebagainya

3. Link Person

Peran pendamping adalah penghubung masyarakat dengan

berbagai lembaga yang terkait dan diperlukan bagi pengembangan

kelompok. Untuk menjadi seorang pendamping, persyaratan yang

harus dimiliki adalah:

1) Memiliki kompetensi dan kapasitas kognitif atau

pengetahuan yang dalam dan luas dibidangnya

2) Memiliki komitmen, profesional, motivasi, serta

kematangan dalam pelaksanaan pekerjaan

3) Memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa

yang dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain)


48

4) Memiliki kemampuan dalam mengumpulkan data,

menganalisis dan identifikasi masalah, baik sendiri maupun

bersama-sama masyarakat yang didampingi

5) Kemampuan untuk melakukan interaksi membangun

hubungan dengan setiap keluarga

6) Kemampuan berorganisasi dan mengembangkan

kelembagaan

2.6. Konsep Pendampingan Gizi

Pendidikan gizi model pendampingan keluarga adalah kegiatan dukungan

dan layanan bagi keluarga agar dapat mencegah dan mengatasi masalah gizi (gizi

kurangdan gizi buruk) anggota keluarganya. Metode yang digunakan dalam

kegiatan pendampingan adalah metode pendidikan individual (perorangan)

dengan bentuk pendekatan penyuluhan (konseling) atau dikenal dengan metode

tungku. Dengan caraini kontak antara ibu anak dengan pendamping lebih intensif.

Setiap masalah yangdihadapi oleh ibu dapat diteliti dan dibantu penyelesaiannya.

Akhirnya ibu dengansukarela, berdasarkan kesadaran, dan penuh pengertian akan

menerima perilaku tersebut atau mengubah perilaku (Notoatmodjo, 2007).

Tenaga pendamping adalah individu yang karena profesinya mampu

mendampingi masyarakat/keluarga untuk melakukan praktek pemberian makan

anak, praktek pengasuhan anak, praktek pencarian pengobatan dikala sakit dan

praktek kebersihan. Kegiatan pendekatan diwujudkan dalam aplikasi asuhan gizi

anak dengan kegiatan pendampingan tentang cara memberi makan, cara

mengasuh, cara merawat, cara menilai pertumbuhan dan perkembangan anak,


49

yang dilakukan oleh seorang pendamping kepada ibu, pengasuh anak dalam

bentuk kunjungan rumah, konseling, diskusi kelompok, dilakukan selama tiga sesi

pada setiap individu atau kelompok wilayah binaan yang telah ditentukan

(Sirajuddin, 2007)

Proses metode pendidikan model pendampingan dilakukan melalui tiga sesi,

yaitu:

1. Pendampingan intensif. Sesi ini dilakukan pendampingan intensif oleh

pendaming guna membantu ibu menerapkan praktek asuhan gizi bagi anak

dan keluarganya. Pendamping diharapkan dapat mengajarkan ibu atau

pengasuh anak tentang cara pengolahan makanan anak, perawatan kebersihan

dan higiene anak, pengobatan sederhana bagi anak yang sakit, dengan metode

konsultasi. Bagi sasaran yang gizi buruk terutama gizi tingkat berat (disertai

tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor), pendamping berperan sebagai

perujuk atau mengantar langsung sasaran tersebut ke Puskesmas. Kegiatan

pendampingan intensif berlangsung selama satu minggu berturut-turut (hari

pertama sampai hari ke tujuh).

2. Penguatan. Sesi ini dilaksanakan selama satu minggu yaitu hari ke 8 - 14

(minggu kedua). Pada sesi ini, sasaran tidak lagi dikunjungi setiap hari,

namun hanya dua kali seminggu. Tujuannya adalah untuk memberikan

penguatan atas apa yang dilakukan ibu atau pengasuh anak, sesuai dengan

rekomendasi dan yang dianjurkan oleh tenaga pendamping. Bagi ibu atau

pengasuh anak yang kurang mampu mengikuti instruksi dianjurkan untuk

didekati secara persuasif agar iamampu melakukan praktek asuhan gizi secara

sederhana.
50

3. Praktek mandiri. Setelah melakukan penguatan, ibu atau pengasuh anak diberi

kesempatan dua minggu (hari ke-15 sampai ke-28) untuk mempraktek secara

mandiri terhadap instruksiinstruksi yang dianjurkan. Pada sesi ini, sasaran

tidak lagi dikunjungi kecuali pada hari ke-28 dimana tenaga pendamping

akan melakukan penilaian terhadap output pendampingan. Output yang akan

dinilai pada akhir sesi ini adalah kenaikan berat badan anak dan kemampuan

ibu atau pengasuh dalam melaksanakan asuhan gizi anak . Sasaran yang

belum lulus harus didampingi kembali sebagai sasaran pada sesi intensif pada

kegiatan pendampingan tahap selanjutnya (Depkes, 2007).

Anda mungkin juga menyukai