Anda di halaman 1dari 16

Fathah.muhammad@yahoo.

com / 085740967848

Hal – Hal Yang Memperkirakan Keluaran Pada Status


Epileptikus Refarakter

Sara E, Hocker, MD; Jeffrey W. Britton, MD; Jayawant N. Mandrekar, PhD; E. F.


M. Wijdicks, MD, PhD; Alejandro A. Robinstein, MD

ABSTRAK

Tujuan; untuk mencirikan faktor- faktor demografik, keluaran, dan prognostik


dari status epileptikus refrakter (RSE)

Desain; analisis retrospektif dari semua episode RSE yang diobati periode 1
Januari 1999 hingga 30 Agustus 2011.

Tempat; Neurointensive Care Unit didalam pusat rujukan tersier, Mayo klinik,
Rochester, Minnesota.

Pasien; staus epileptikus refrakter didefinisikan sebagai status epileptikus (SE)


yang konvulsif mauapun non – konvulsif yang terus berlangsung meskipun telah
diberikan terapi inisial lini pertama dan kedua. Kriteria eksklusi adalah pasien
yang berumur kurang dari 18 tahun, dengan SE anoxic / myoclonic, SE
psikogenik, SE parsial sederhana, dan ketidakadaan SE.

Metode pengukuran; keluaran fungsional yang diukur adalah berdasarkan skala


Rankin yang termodifikasi (mRs) yang dibagi menjadi dua katagori, yaitu baik
(mRs, 0 – 3) dan buruk (mRs 4 – 6). Keadaan fungsional yang menurun diartikan
sebagai perubahan mRs lebih dari 1 sejak penerimaan di rumah sakit hingga
pasien dipulangkan.

Hasil; kami mengidentifikasi 63 episode RSE non – anoxik pada 54 pasien. Agen
– agen anestesi digunakan pada 55 episode (87.30 %), dan durasi koma yang
diinduksi oleh obat memiliki rerata 11.0 ± 17.9 hari. Angka kematian pasien rawat
inap 31.75 % (20 dari 63 episode ). Keluaran fungsional yang buruk saat pasien

1
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

dipulangkan terjadi pada 48 dari 63 episode (76.19 %). Rerata waktu perawatan di
rumah sakit adalah 27.7 ± 37.3 hari. Keluaran fungsional yang buruk berhubungan
dengan durasi koma akibat agen yang digunakan (p= 0.03), kondisi aritmia yang
memerlukan intervensi (p = 0.01), dan pneumonoa (p = 0.01). Penggunaan
ventailasi mekanik yang diperpanjang berhubungan dengan angka kematian (p =
0.04). Pengendalian bangkitan tanpa supresi berkesinambungan atau dengan
electroencephalogram isoelektrik telah memprediksikan pemulihan fungsional
yang baik (p = 0.01). usia, riwayat epilepsi, status epileptikus sebelumnya, tipe
status epileptikus, dan obat – obat anestesi yang digunakan tidak berkaitan dengan
keluaran fungsional.

Kesimpulan; sebanyak tiga – per – empat pasien dengan RSE memiliki keluaran
yang buruk. Pengendalian SE tanpa menyebabkan koma akibat obat atau supresi
dengan elektroencephalogram berat meramalkan prognosis yang lebih baik.

PENDAHULUAN

Status epileptikus refrakter atau refractory status epilepticus (RSE)


memiliki definisi yang beragam dari berbagai literatur. Literatur tertentu
menyebutkan bahwa RSE merupakan bangkitan yang tidak berespon terhadap
pemberian 2 hingga 3 obat antiepilepsi. Obat yang dimaksud, yang biasa
diberikan, adalah golongan benzodiazepine secara intravena sebagai lini pertama,
dan phenytoin, phenobarbital, atau asam valproat yang juga diberikan secar
intravena sebagai lini kedua. Literatur lain menyebutkan bahwa RSE ditentukan
oleh durasi bangkitan yang berlangsung selama 1 hingga 2 jam. Oleh karena itu
tidak ada definisi RSE yang diterima secara luas. Sebuah definisi sub telah
diajukan, yaitu tentang status epileptikus refrakter yang super atau superrefractory
Status Epilepticus (SSRE); yaitu RSE yang terus atau kembali terjadi dalam 24
jam atau lebih setelah terapi anestesi diberikan, termausk kasus – kasus dimana
status epileptikus kembali terjadi apabila terapi anestesi dikurangi atau dihentikan.

Variasi definisi ini menyebabkan prevalensi RSE memiliki rentang yang


besar, yaitu 9 % hingga 44 % dari keseluruhan kasus status epileptikus (SE).

2
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Serangkaian kajian selama 3 dekade talah melaporkan angka kematian akibat RSE
yang berkisar dari 12 % hingga 77 %, dan dengan meta analisis terhadap 193
pasien diantara tahun 1980 dan 2001 melaporkan angka kematian sebesar 48 %.
Sertangkaian kajian dari tahun 2002 hungga sekarang melaporkan angka kematian
yang lebih kecil, namun memiliki arti yang penting, yaitu berkisar 11.1 % hingga
39.0 %.

Faktor risiko RSE diantaranya berkaitan dengan onset terjadinya


bangkitan, bangkitan motorik fokal, dan kelainan sistem syaraf pusat akut,
misalnya encephalitis. Serngakaian kajian dan meta – analisis pasien – pasien
dengan RSE telah menunjukkan adanya hubungan angka kematian dengan
bertambahnya usia, etiologi dan durasi bangkitan.

Penatalaksanaan optimal dari RSE masih belum jelas. Dikarenakan SE


sekarang menjadi lebih tahan atau resisten terhadap terapi anti – epilepsi
konvensional atau conventional antiepileptic drugs (AIEDs) yang berkelanjutan,
maka adalah suatu hal yang disarankan untuk meredakan bangkitan secara dini
dengan obat – obat yang menginduksi koma (midazolam, propofol, atau
barbiturat), seperti thiopental di eropa atau pentobarbital di amerika serikat.
Penatalaksanaan farmakologis RSE yang sudah dipelajari selama ini hanya dalam
lingkup kajian retrospektif sederhana dan kajian prospektif tanpa adanya kontrol.
Berbagai agen anestesi dapat digunakan, yang paling umum adalah midazolam,
propofol, atau barbiturat. Dengan kata lain, agen – agen anestesi dapat diberikan
secara berurutan maupun bersama – sama dalam kombinasi tertentu. Meskipun
demikian, Informasi mengenai perbandingan antar agen anestesi yang satu dengan
yang lain masih terbatas.

Status epileptikus refrakter – khusunya ketika penyakit ini berlangsung


hingga berbulan – bulan – menarik perhatian para dokter dan keluarga, dan hal ini
memunculkan pertanyaan yang berkaitan dengan keluaran fungsional. Hal yang
ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keluaran dan untuk
mengidentifikasi faktor – faktor prognostik dari RSE.

3
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

METODE

Penelitian ini merupakan analisis retrospektif dari semua pasien dewasa


yang ditemukan yang menjalani pengobatan atas RSE di Rumah Sakit St. Mary,
Rochester, Minesota, periode 1 januari 1999 hingga 30 agustus 2011. Kasus –
kasus yang diidentifikasi dan data klinis diperoleh dari data – data kueri yang
disimpan pada mesin EEG dan rekam medis.

Kriteria inklusi adalah bila memenuhi beberapa hal sebagai berikut : (1)
pasien yang berumur paling tidak 18 tahun, (2) RSE yang didifinisikan sebagai
status epileptikus yang konvulsif (GCSE) maupun non konvulsif (NCSE) (onset
yang parsial mauapun keseluruhan) yang tidak berespon terhadap pengobatan 2
AEDs dan / atau memerlukan agen – agen anestesi untuk mengendalikan kujang,
dan (3) pasien – pasien yang menjalani pengawasan EEG berkelanjutan. Kriteria
eksklusi adalah sebagai berikut : (1) SE anoxic / myoclonic, (2) SE psikogenik.
(3) SE parsial sederhana, dan (4) kondisi bebas SE. Pasien kemudian
diklasifikasikan sebagai superrefrakter jika bangkitan tetap berlangsung atau
kembali terjadi selama 24 jam atau lebih setelah onset pemberian terapi anestesi,
termasuk didalamnya kasus – kasus dimana bangkitan kembali terjadi pada
pengurangan atau penghentian terapi anestesi.pasien dengan NCSE yang
dimasukkan adalah yang hanya jika perubahan akut ang jelas pada kondisi sadar
teramati (sering didahului oleh bangkitan klinis general yang tersaksikan) dalam
hubungannya dengan aktivitas epileptiform berkelanjutan pada pemantauan EEG.

Del;apan puluh dua pasien dengan 90 episode dieksklusi (66 dari jumlah ini
berespon terhadap AEDs lini 1 atau 2, 14 anoxic, 6 episode parsial sederhana, dan
3 tidak ada bangkitan; 1 pasien menolak diperiksa). Empat puluh empat pasien
dengan 63 episode RSE diinklusi pada penelitian ini setelah melewati
pemeriksaan yang teliti berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Karakteristik pasien dirangkum dan disajikan pada bagian eAppendix sub –


bagian “Systemic Complication – Abstracted” (http://www.archneurol.com). Skala
rankin termodifikasi (mRs) yang ditentukan adalah pada saat penerimaan,

4
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

pemulangan pasien, 3 hingga 6 bulan, dan 9 hingga 12 bulan setelah pasien


dipulangkan. Keluaran fungsional yang buruk didefinisikan bila skor mRs ≥ 4
pada saat pemulangan. Penurunan fungsional didefinisikan sebagai perubajan skor
mRs sebanyak 1 dari mulai pasien diterima di rumah sakit hingga dipulangkan
dari dumah sakit.

Komplikasi sistemik diperjelas pada eAppendix. Jenis SE yang dicatat


didetentukan oleh tampilan awal. Jika SE dimulai dengan bangkitan tonik – klonik
general yang disaksikan dengan disertai konvulsi atau perubahan kondisi menjadi
non – konvulsif, keadaan ini dicatat sebagai GCSE. Status epileptikus non –
konvulsif didefinisikan sebagai perubahan – perubahan perilaku dan / atau kognisi
dari keadaan dasar yang berhubungan dengan tampilan listrik epileptiform yang
berkelanjutan pada EEG.

Tingkat supresi EEG dicatat sebagai maksimal dari tingkatan supresi yang
dicapai selama episode RSE dan di katagorikan menjadi bangkitan kontrol atau
seizure control, supresi bertubi atau supression burst (SB), dan isoelektrik. Pasien
dibagi menjagi kelompok risiko rendah dan tinggi berdasarkan karakteristik klinis
pada saat penampilan. Mereka yang lebih muda dari usia 54 tahun dengan riwayat
epilepsi dan menerima APACHE II (Acure Physiology and Chronic Health
Evaluation II) yang bernilai kurang dari 23 dinyatakan sebagai risiko rendah.

Rangkuman deskriptif dilaporkan sebagai rerata / median dan kisaran


untuk variabel – variabel kontinyu; dan frekuensi serta persentase untuk variabel –
variabel katagorik. Keluaran katagorik akan dibandingakan menggunakan uji chi
– square (x2) atau uji fusher exact. Uji Wilcoxon rank sum digunakan untuk
membandingkan keluaran kontinyu. Semua test adalah dua sisi (2 – sided); Nilai P
< 0.05 merupakan batas kemaknaan statistik. Analissa statistik menggunakan
software SAS, versi 9.2 (SAS institute, Inc). Penelitian ini disetujui oleh Dewan
Pemeriksa Institusional Klinik Mayo (Mayo Clinic Institutional Review Board).

5
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

HASIL

Tabel menyajikan variabel – variabel klinis dan demografis yang telah


dianalisis. Semua pasien dirawat di unit perawawtan intensif. Agen – agen
anestesi dibutuhkan pada 55 episode (87.30 %), dan durasi koma anestetik
memiliki rerata 11.0 ± 17.9 hari ( median 4 hari, kisaran 0 – 90 hari). Ventilasi
mekanik digunakan pada 57 dari 63 episode (90.48 %). Rerata perawatan di
rumah sakit 27.7 ± 37.3 hari. Angka kematian pasien rawat inap sebanyak 20
kasus atau 31.75 %. Pada pasien yang dipulangkan, fungsional jelek terdapat pada
48 episode (76.19 %). Meskipun demikian, perbaikan terjadi dari waktu ke waktu
pada 13 hingga 43 episode dimana data follow up tersebut tersedia. (gambar 1)

Karakteristik Klinis

Terdapat kecenderungan yang tidak signifikan mengenai kondisi


fungsional yang turun pda usia 60 tahun ke atas; namun, usia tidak berhubungan
dengan kematian atau keluaran fungsional yang buruk. Begitu juga riwayat
epilepsi, SE berulang, dan jenis SE yang tidak ada yang secara statistik bermakna
dapat memprediksi angka kematian dan keluaran fungsional. Empat belas dari 54
pasien digolongkan sebagai risiko rendah berdasarkan karakterisik klinik pada
presentasi. Kami membandingkan angka kematian dan keluaran fungsional
diantara pasien – pasien dengan risiko rendah dan tinggi dan tidak menemukan
perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut.

Baik glukosa serum, laktat, maupun jumlah sel darah putih (WBC) tidak
ada yang berhubungan dengan keluaran. Rerata knsentrasi protein LCS adalah
65.1 ± 53.48 mg/dL (konversi ke satuan gram / liter, angka tersebt dapat dikalikan
10); protein yang tinggi berkaitan dengan keluaran fungsional yang buruk (p =
0.05). rerata jumlah sel darah putif pada LCS adalah 12.5 ± 26.2 /µL (konversi
menjadi satuan x 109/L, angka tersebtu dapat dikalikan dengan 0.001); jumlah sel
darah putih di LCS yang tinggi berkaitan dengan keluaran fungsional yang buruk
(p = 0.03).

6
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Tabel. Karakteristik demografik dan klinis pada episode status


epileptikus refrakter
Variabel No. (%) a
Usia, median (range), tahun 52 [18 – 93]
Jenis Kelamin, Laki – laki (perempuan) 36 [57]
Etnis
Kulit Putih 52 [82.5]
Kulit Hitam 3 [4.8]
Hispanik 1 [1.6]
Arab 1 [1.6]
Tidak diketahui 6 [9.5]
Episode SE sebelumnya b 17 [27.9]
Riwayat bangkitan c 37 [59.7]
Skor mRs saat masuk rumah sakit c
0 14 [22.6]
1 11 [17.7]
2 10 [16.1]
3 15 [24.2]
4 8 [12.9]
5 4 [6.5]
Klasifikasi SE b
GCSE 20 [31.7]
NCSE parsial 32 [52.5]
NCSE general 9 [14.8]
Penyebab SE
Dosis AED kecil / tidak diberikan 8 [12.7]
Metabolik 7 [11.1]
Infeksi SSP 7 [11.1]
Infeksi sistemik 6 [9.5]
Tumor otak 6 [9.5]
Trauma 4 [6.3]
Perdarahan intrakranial 4 [6.3]
Autoimunitas 4 [6.3]
Stroke iskemik 3 [4.8]
Kriptogenik 3 [4.8]
Kongenital / herediter 3 [4.8]
Perubahan pengobatan 2 [3.2]
Intoksikasi atau lepas obat 2 [3.2]
ECT 2 [3.2]
AVM 1 [1.6]
Vaskulitis SSP 1 [1.6]
AED, antiepilectic drugs; AVM, arteriovenous malformation; CNS, central
nervous system; ECT, electroconvulsive therapy; GCSE, gerealized
convulsice status epilepticus; mRs, modified Rankin Scale; NCSE,
nonconvulsive status epilepticus; SE, status epilepticus;
a
Data dipresentasikan sebagai angka (persen)
b
data tidak ada atau kurang jelas pada 2 episode
c
data tidak ada atau kurang jelas pada 1 episode

7
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Antibodi paraneoplastik pada LCS dianalisa pada 14 episode, dari situ


kami menemukan 3 episode dengan antibodi abnormal, dan termasuk beberapa
hal berikut : (1) antibodi reseptor N – Methyl – D – aspartat (NMDA), (2) antibodi
NMDA dan kanal potasium terjaga – potensial listrtik, dan (3) antibodi nuklear
antineuronal 1 pada pasien dengan karsinoma sel spindel yang bermetastase.

Pengobatan

Obat – obatan lini pertama dan kedua seringnya, secara berturut – turut,
lorazepam (60 %) dan sodium fosphenytoin (52 %). Agen anestesi yang paling
sering digunakan adalah midazolam (n = 38), diikuti oleh propofil ( n = 33),
pentobarbital (n = 3), dan lidokain (n = 1). Gambar 2 menunjukkan jumlah obat
– obatan anti epilepsi dan anestesi yang dibutuhkan untk mengendalikan
bangkitan pada penelitian kohort kami. Satu pasien mengalami operasi dan satu
lagi menjalani terapi elektrokonvulsif; keduanya menunjukkan hasil yang tidak
efektif.

48
5 50
63
Skor Rankin yang dimodifikasi

(4.74 [1.5]) (4.87 [1.95])


4 (4.52 [1.5])

3
62
2
(2.06 [2.03])

0
Premorbid Dipulangkan 3 - 6 bulan 9 - 12 bulan

Gambar 1. Keluaran fungsional pada status epileptikus refrakter. Nilai dalam tanda
kurung adalah rerata [SD].

8
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Obat – obat anestesi tidak berkorelasi dengan keluaran. Kebutuhan akan obat –
obat anestesi pada pengamatan yang diikuti selama rerata 11 hari berkaitan
dengan keluaran fungsional yang buruk (p = 0.01) (Gambar 3) dan dengan
fungsional yang turun (p = 0.02). analisis menggunakan pendekatan kurva
karakteristik penerima yang beroperasi atau receiver operating characteristic
curve membenarkan hasil yang hampir sama yaitu 10 hari (p = 0.01). Untuk
menilai perubahan yang mungkin terjadi pada pengobatan yang berlanjut, kami
membandingkan angka kematian dan keluaran fungsional selama tengah pertama
dan tengah kedua dari kurun waktu penelitian kami; dan kami tidak menemikan
adanya perbedaan yang bermakna diantara kedua periode tersebut.

63
Episode

Kematian Pengendalian SE

AED lini Ke-3 AED lini ke-4 AED lini ke-5 AED lini ke-6 AED lini ke-7 AED lini ke-9 AED lini ke-11
9 episode 15 episode 13 episode 2 episode 1 episode 2 episode 1 episode

Propofol Felbamate Felbamate


Midazolam
Pentobarrbital Isoflurane

Gambar 2. Agen – agen antiepiliepsi dan anestesi yang dibutuhkan untuk mengendalikan
bangkitan pada penelitian kohort kami terhadap 63 episode status epileptikus refrakter. AED, Anti
Epileptic Drugs; SE, Status Epilepticus

Komplikasi Sistemik

Aritmia kordis terjadi pada 21 dari 60 episode (35.00 %) dan yang


membutuhkan intervensi sebanyak 14 dari 21 kasus (66.67 %); kebuhan akan
intervensi berkaitan dengan keluaran fungsional yang buruk (p = 0.01). satu
pasien mengalami infark miokard dengan elevasi segmen non – ST. Oedem
pulmonal terdapat pada 21 dari 58 episode (36.21 %). Hipotensi dan hipoksia

9
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

sering terjadi, secara berurutan pada 45 dari 57 episode (78.95 m%) dan 20 dari
56 episode (35.71 %). Keberadaan hipotensi maupun hipoksia tidak berkaitan
dengan keluaran. Pneumonia terjadi pada 39 dari 56 kasus (69.64 %) dan
didiagnosa pada rata – rata hari ke 5 setelah pasien mulai dirawat di rumah sakit.
Keberadaan pneumonia dapat menjadi prediksi terjadinya keluaran fungsional
buruk (p = 0.01). Ventilasi mekanis diperlukan pada 57 dari 63 episode (90.47 %).
Dari sejumlah tersebut, 20 episode memerlukan trakeostomi. Ventilasi mekanik
yang semakin lama berkaitan dengan kematian selama perawatan (p = 0.04).
gangguan asam – basa ditemukan pada 40 dari 56 episode (71.43 %). Gangguan
asam – basa yang paling sering ditemukan adalah alkalosis respiratoar (n = 19,
33.93 %), kemudian diikuti oleh asidosis respiratoar (n = 14, 25.00 %). Dan
keduanya tidak berkaitan dengan keluaran.

100
90
Lama Menerima Agent Anestesi (Hari)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4 5 6
Skor MRS saat pemulangan dari rumah sakit

Gambar 3. Hubungan antara jumlah hari dalam kondisi koma anestesi dan keluaran
fungsional. mRs, modified Rankin Scale.

Supresi EEG

Supresi isoelektrik diberikan pada 4 kasus; 2 pasien meninggal dan 2 pasien yang
memiliki skor mRs 5 pada saat diberikan aliran listrik, memiliki nilai mRs yang

10
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

kemudian turun menjadi 1 dan 4 pada follow up bulan ke 9 – 12. Supresi berubi
diberikan pada 27 kasus, 22 kasus (81.48 %) memmiliki keluaran fungsional
buruk. Dari jumlah ini seanyak 8 pasien meninggal dan 4 pasien tidak memiliki
data follow up setelah pemulangan. Sisa pasien yang berjumlah 10, 6 pasien
memiliki kondisi yang semakini buruk, 3 kondisi meningkat, dan 1 pasein tetap
pada kondisinya pada saat dilakukan follow-up. Pengendalian bangkitan tanpa SB
atau dengan menggunakan EEG isoelektrik dicatat pada 16 episode dan
berkolerasi dengan keluaran fungsional yang baik pada saat dipulangkan dari
rumah sakit (p = 0.01). Dari 8 kasus dengan keluaran fungsional yang baik saat
dipulangkan, 4 pasien tidak memiliki data follow – up yang berkelanjutan, 1
pasien kondisinya memburuk, 1 pasien kondisinya membaik, sementara konndisi
2 pasien sisanya tetap stabil. Pada 16 episode tersebut, tingkat supresi EEG tidak
berkaitan dengan jumlah hari dalam pengaruh obat – obat anestesi.

Keluaran

Perpindahan ke terapi paliatif yang mendahului kematian dilakukan pada 16 dari


20 kasus (80.00 %). Penyebab lain kematian adalah kematian otak karena edema
serebral difus, sindroma infus propofol (2 pasien), dan pneumonia berat. Status
fungsional premorbid dan keluaran saat pasien dipulangkan tersedia sejumlah 62
episode; penurunan status fungsional terjadi pada 37 episode; status fungsional
premorbid menetap pada 8 episode. Lama perawatan yang meningkat memiliki
hubungan dengan keluaran fungsional buruk (p = 0.04). Diantara pasien – pasien
yang masih bertahan hidup, data follow – up tersedia pada 32 dari 43 episode
(74.42 %); kondisi 13 pasien meningkat, kondisi 13 pasien menurun drastis dan
kondisi dari 6 pasien tidak berubah. ketigabelas pasien yang kondisinya membaik,
9 berasal dari keluaran fungsional buruk ke baik. ketigabelas pasien yang
kondisinya memburuk, 2 berubah dari keluaran fungsional baik ke buruk.
Setidaknya 1 prognostikator ditemukan saat pasien dipulangkan, pada 7 dari 9
kasus dengan keluaran fungsional buruk yang kemudian mebaik hingga skor mRs
kurang dari 3. Dari keenam pasien dengan RSE yang berlangsung lebih dari
sebulan, 4 pasien bertahan hidup dengan mRs skor 5 pada saat dipulangkan.

11
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

ketiga pasien yang data ikutannya tersedia, skor mRs pada bulan ke 9 hingga 12
adalah 1, 3, dan 4. Informasi terperinci setiap episode disajikan dalam eTable.

KOMENTAR

Penelitian kami mengevaluasi pasien yang didapat dalam bentuk desain


kohort yang besar terhadap pasien – pasien RSE yang dirawat di unit perawatan
intensive dibawah pengawasan EEG berkelanjutan. Penelitian kohort ini meneliti
RSE non – anoxic dimana hampir 90 % episodenya termasuk katagori RSE super.
Hampir satu setiap tiga orang yang dirawat di rumah sakit meninggal, dan kurang
dari sepermpat pasien memiliki kondisi fungsional yang pulih dengan baik saat
dipulangkan dari rumah sakit. Meskipun demikian bukanlah suatu kerugian
apabila terdapat pemulihan kondisi yang kurang bermakna pada penelitian ini.
Analisis kamu mengenai keluaran telah mengidentifikasi beberapa faktor
prognostik yang dapat di aplikasikan dalam praktek.

Karakteristik Klinis

Kondisi fungsional yang merosot banyak terjadi pada pasien – paseien tua,
namaun secara statistik usia tidak berhubungan dengan angka kematian pada
penelitian kohort kami. Usia memiliki berhubungan dengan angka kematian yang
meningkat pada SE non – refrakter seperti halnya pada RSE pada metaanalisis
193 pasien; namun demikian, hubungan ini tidak dapat terlihat pada studi serial –
terpusat dengan lingkup lebih kecil. Pada kebanyakan pasein – paseien kami,
kematian ditentukan oleh penghentian segala tindakan yang menopang kehidupan
akibat kegagalan dalam rangka menyudahi koma (akibat obat), tanpa adanya
bangkitan – bangkitan yang terjadi kembali, dibanding akibat komplikasi
sistemik, yang sebelumnya merupakan faktor yang dikira menjadi pemicu
timbulnya angka kematian yang meningkat pada pasien – pasien usia tua.

Riwayat epilepsi sering ditemui pada penelitian kami. Kejadian sejenis, tingginya
insidensi epilepsi yang telah ada sebelumnya telah dilaporklan oleh Rossetti et al.
Riwayat epilepsi, SE sebelumnya, atau jenis SE tidak mempengaruhi keluaran.

12
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Hal ini bertentangan dengan apa yang ditemukan oleh serangkaian penelitian oleh
Power et al, dimana mereka menemukan bahwa pasien tanpa epilepsi sebelumnya
memerlukan terapi anestesi yang lebih lama dan memiliki keluaran yang lebih
buruk dibandingkan pasien dengan riwayat epilepsi. Meskipun demikian, hanya 5
dari 27 episode dari penelitian tersebut yang tidak didiagnosa epilepsi. Hal
tersebut mempersulit penyusunan keseimpulan mengenai kemaknaan temuan ini.
Kami tidak mengira jenis SE mempengaruhi keluaran karena hampir semua kasus
yang kami kumpulkan tergolong non – konvulsif pada saat terapi mulai diberikan.

Baik tinggi protein LCS dan tingginya jumlah sel darah putih LCS
berhubungan dengan keluaran fungsional yang buruk. Temuan ini
mengusyaratkan adanya proses inflamasi yang meningkat dan dapat menjadi
penanda adanya penyakit otak berat. Penelitian kohort dengan lingkup lebih besar
perlu dilakukan untuk memahami nilai prognostik variabel –variabel tersebut
diatas terhadap RSE karena sebab khusus.

Pengobatan dan Komplikasi

Pemilihan AED dan atau urutan inisiasi – nya setelah dimulianya


pemberian agen lini pertama dan kedua sangat bervariasi pada penelitian kohort
kami, hal ini mencerminkan praktek klinis. Diantara agen – agen anestesi,
midazolam dan propofol lebih sering digunakan daripada pentobarbital.
Isoflurane, ketamine, dan lidocaine juga digunakan, meskipun jarang, untuk
analisis. Hasil penelitian kamu mendukung data yang telah ada yang menyaratkan
bahwa pemilihan agen – agen anestesi tidak kuat mempengaruhi keluaran.
Kebutuhan obat – obat yang mamanjang untuk mencapai koma anestesi
berhubungan kuat dengan keluaran fungsional yang buruk dan penurunan
fungsional.

Ventilasi mekanik diperl;ukan pada lebih dari 90 % kasus, sepertiga dari


angka tersebut pada akhirnya memerlukan tindakan trakeostomi. Durasi ventilasi
mekanis yang diperpanjang berkaitan dengan meningkatnya angka kematian.
Aritmia kordis yang memerlukan intervensi dan pneumonia memprediksi keluaran

13
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

fungsional yang buruk. Pneumonia terjadi lebih sering daripada penelitian lain,
hal ini mungkin disebabkan karena sifat refrakter dari penelitian kohort kami.
Hipotensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi namun tidak
mempengaruhi keluaran. Ini sesuai dengan temuan hasil meta – analisis
sebelumnya.

Karena perubahan – perubahan di lapangan mungkin terjadi berlarut –


larut, kami membandingkan angka kematian dan keluaran fungsional antara
setengah periode pertama dan kedua penlitian kami. Keluaran tidak memiliki
perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok ini.

Supresi EEG

Pengendalian bangkitan tanpa menggunakan SB maupun supresi EEG


isolektris berhubungan dengan keluaran fungsional yang baik pada penelitain
kohort kami sementara itu 85 % episode yang diberikan SB dan 100 % episode
yang diberikan supresi EEG isoelektris memiliki keluaran fungsional yang buruk.
Dikarenakan kesimpulan – kesimpulan mutlak tidak dapat diusulkan hanya
dengan 4 episode yang mencapai supresi isoelektris, adalah suatu kecenderungan
atau trend yang jelas : prognosis akan lebih buruk apabila supresi berat diperlukan
untuk mengendalikan bangkitan. Pasien – pasien yang diberikan SB masih bisa
mengalami bangkitan, dan bila diberikan supresi isoelektris untuk mengendalikan
bangkitan, hal ini menandakan penyakit otak yang lebih berat dan refrakter.
Dengan kat lain, penelitian kami menemukan bahwa supresi EEG dengan tingkat
yang semakin dalam akan menyebabkan keluaran yang semakin buruk karena
efek yang merusak dari anestesi yang lama. Namun hal ini mungkin bukan suatu
penjelasan mengingat hanya 3 kematian dari penelitian kami yang dapat
dihubungakan secara langsung dengan komplikasi anestesi (2 dengan sindroma
infus propofol dan 1 dengan pneumonia). Temuan kami berbeda dengan data yang
dipublikasikan sebelunnya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
supresi EEG dengan keluaran.

14
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

Keluaran

Angka kematian pasien yang dirawat di rumah sakti pada penelitian kami serupa
dengan angka kematian yang dilaporkan pada penelitian terbatu lainnya. Secara
keseluruhan keluaran fungsional tergolong buruk. Meskipun demikian,
sebagaimana dilaporkan oleh penelitian sebelumnya yang membatasi pasien
dengan RSE yang berlangsung lebih dari 1 minggu, beberapa pasien dapat
sembuh dari waktu kewaktu. Pada penelitian kohort kami, 2 pasien akhirnya
mencapai kondisi keluaran fungsional yang bagus meskipun setelah berada dalam
kondisi koma anestesi selama 1 bulan. Penelitian lain juga melaporkan pasien –
pasien dengan pemulihan yang memuaskan setelah RSE berlangsung berminggu –
minggu atau berbulan – bulan. Oleh karena itu kami mengira bahwa pasien
dengan RSE seharusnya diobati secara cepat dan pilihan pengobatan harus
diselesaikan sebelum penanganan paliative mulai dirundingkan dengan keluarga.

Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian

Analisis kasus kami memiliki beberapa keterbasan. Keseimpulan mungkin


hanya bersifat sementara karena pasien – pasien kami sakit parah, memerlukan
penanganan unit rawat intensif, durasi koma anestesi yang lebih lama, dan lama
rawat yang lebih lama bila dibandingkan dengan penelitian RSE lainnya, dan oleh
karena itu mungkin tidak dapat di aplikasikan pada semua kasus SE yang gagal
dengan pengobatan 2 AEDs. Terdapat suatu variasi pengobatan pada setiap subjek
sebagaimana yang diharapkan pada penelitian retrospektif. Kami tidak dapat
menentukan durasi yang tepat dari SE sebelum mulai diberikan terapi, dan sering
mengalami kesulitan bahkan pada saat mengevaluasi pasien di UGD untuk
pertamakalinya. Meskipun penelitan kami merupakan salah satu penelitian RSE
terbesar sekarang ini, analisis kami mungkin saja kurang dapat menemukan
beberapa hubungan. Penelitian kami berisi perbandingan banyak variabel,
sehingga menimbulkan potensi kesalahan; meskipun demikian, korelasi yang
didapat secara biologis masuk akal. Untuk meyakinkan bahwa kesalahan berlipat
pada pengambilan sampel tidak mengubah validitas hubungan – hubungan yang

15
Fathah.muhammad@yahoo.com / 085740967848

kami temukan, kami mengulang analisis setelah menghilangkan semua episode


berulang dari RSE dan tidak menemukan perbedaan pada hubungan – hubungan
tersebut.

Penyebab RSE pada penelitian kohort kami terlalu bervariasi untuk


dilakukan analisis akibat dari setiap katagori penyebab terhadap keluaran
fungsional. Kami juga kekurangan data follow – up pada sebagian kecil pasien
kami yang bertahan hidup; setengah dari kasus ini dipulangkan dengan keluaran
fungsioinal yang buruk namun mungkin berngasunr – angsur telah membaik.

Penyelidikan kami mencakup besar sampel yang besar untuk sebuah


kajian tunggal – pusat (single – center study) mengenai kondisi yang agak jarang
ditemui dan menggunakan monitoring EEG berkelanjutan yang mencatat SE
menetap pada semua kasus selama periode penelitian, ahli – ahli neurointensif
memimpin perawatan pasien, sehingga dapat dianggap perlakuan yang diberikan
kepada pasien kurang lebih sama atau homogen. Lebih dari separo pasien – pasien
kami membutuhkan lebih dari satu agen anestesi, yang secara akurat
mencerminkan perlakuan klinis ketika mengibati kasus SE yang refrakter. Hal ini
tidak seperti yang ditemuakan pada penelitan RSE lainnya dimana hanya
menggunakan satu agen anestesi saja.

KESIMPULAN

Kami menyimpulkan bahwa angka kematian RSE tinggi dan tidak


bergantung pada pemilihan agen anestesi, tipe SE, dan kondisi epilepsi
sebelumnya. Komplikasi kardiopulmoner sering terjadi danmeningkatkan angka
kematian serta pemulihan fungsional yang buruk, namun keluaran terutama
bergantung pada keberhasilan atau kegagalan dalam menggagalkan bangkitan.
Saat SE anoxic menjadi refrakter perjalanan klinis dan keluaran pasien ditentukan
oleh keparahan SE. Supresi EEG yang cepat tidak tampak meningkatkan keluaran
RSE, dan prognosis menjadi lebih tidak diinginkan bila pasien semakain lama
dalam kondisi koma akibat – obat. Namun, beberpaa pasien memperoleh kembali
fungsi yang baik meskipun setelah RSE yang lama.

16

Anda mungkin juga menyukai