Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

HELLP SYNDROME

Disusun Oleh :

Putu Gita Diah Savitri

N 111 18 066

Pembimbing Klinik :

dr. Djemi, Sp.OG, MARS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan


merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non-medik dan sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam
kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik dipusat
maupun di daerah. Hipertensi pada kehamilan didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan selang waktu 4 jam.
Proteinuria diukur menggunakan urin 24 jam. Dikatakan proteinuria jika dideteksi
protein dalam urin sebanyak ≥300 mg/dl atau ≥ +11.
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, dan postpartum. Pada beberapa kasus preeklampsia ataupun eklampsia
sering ditemukan sindrom HELLP. Sindrom HELLP ialah preeklampsia-
eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi
hepar, dan trombositopenia. Sindrom help yang terjadi pada wanita hamil perlu
benar-benar diperhatikan dalam kaitannya dengan proses patologis dalam sistem
target maternal dibalik tanda-tanda klasik preeklampsia dan eklampsia. Sindrom
ini juga berhubungan dengan keadaan penyakit yang berat atau akan berkembang
menjadi lebih berat serta dengan prognosis maternal dan luaran perinatal yang
lebih buruk, walaupun angka-angka kematian maternal perinatal yang ditemukan
masih sangat bervariasi mengingat perbedaan kriteria diagnosis yang digunakan
serta saat diagnosis ditegakan. Pada kasus ini akan di bahas mengenai sindrom
HELLP.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala
yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet
yang kurang dari batas bawah. Bersama dengan preeklampsia, sindroma
HELLP adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil
di dunia. HELLP biasanya berkembang secara tibatiba dalam kehamilan
(Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium. Sebagai
salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset
yang juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi
plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif
akan mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor,
dan menyebabkan terganggunya kehamilan. normal yang ditunjukkan
dengan abnormalitas relaksasi vaskular.3

2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom HELLP ditemukan pada 0,17 – 0,85 % kehamilan, dan
lebih sering ditemukan pada multipara tua, wanita ras Kaukasian. Pada 70%
kasus sindrom HELLP didiagnosis saat antepartum: 10% sebelum 27
minggu, 70% antara usia kehamilan 27 – 37 minggu, dan 20% setelah 37
minggu. Pada 30% kasus terdiagnosis pada saat intra-pratum atau
postpartum. Risiko berulang pada kehamilan berikutnya sekitar 19 – 27%
kasus.4,5
Sindrom HELLP terjadi pada 1 – 8 per 1000 kehamilan. Pada
kehamilan dengan pre-eklampsia, hasil laboratorium sindrom HELLP
ditemukan pada 2 – 20 % kasus, sedang pada kehamilan dengan eklampsia
ditemukan hasil laboratorium yang mendukung sindrom HELLP ditemukan
pada 10 – 30 % kasus.6

2.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom HELLP menurut Missisipi (berdasarkan kadar
trombosit darah) yaitu sebagai berikut.1

2.4. FAKTOR RISIKO


Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor resiko berikut:1
1 Primigravida.
2 Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, bayi besar.
3 Umur yang ekstrim (>35 tahun).
4 Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia.
5 Penyakit-penyait ginjal dan hipertensi yang sudah lama ada sebelum
hamil.
6 Obesitas.7

2.5. ETIOPATOGENESIS
Etiologi pasti penyakit belum jelas. Namun ada beberapa teori
yang dihubungakan dengan kejadiannya. Diantaranya akan dibahas berikut
ini.1
1 Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas (gambar 1)
ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang menyebabkan degenerasi
lapisan otot sehingga menyebabkan dilatasi arteri spiralis. Invasi juga
terjadi di jaringan sekitar arteri spiralis sehingga menyebabkan jaringan
menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri mengalami dilatasi. Hal
ini disebut dengan remodelling arteri spiralis. Namun, hal ini tidak
terjadi pada penderita preeklampsia/sindrom HELLP sehingga lumen
arteri menjadi kaku. Terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis.
Perbedaan lumen arteri spiralis pada kehamilan norma dan kehamilan
dengan preeklampsia/sindrom HELLP yaitu 300 mikron.1,8
2 Teori iskemik plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemik plasenta terjadi akibat kegagalan remodelling arteri
spiralis. Vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan penurunan aliran
darah uteroplasenta sehingga terjadi iskemia.1 Secara normal, dalam
tubuh terdapat produksi radikal bebas atau oksidan yang diimbangi
dengan produksi anti-oksidan. Salah satu oksidan penting yang
dihasilkan oleh plasenta yaitu hidroksil yang sangat toksik terhadap
endotel pembuluh darah. Dalam kasus preeklampsia, terjadi
ketidakseimbangan produksi anti-oksidan (vitamin E) dan oksidan
sehingga menyebabkan kerusakan membran endotel sehingga terjadi
disfungsi endotel.1,8,9 Disfungsi endotel menyebabkan terjadinya hal-hal
berikut ini:
a Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi
endotel yaitu produksi prostaglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan vasodilator kuat,
b Agregasi trombosit yang memproduksi tromboksan (TXA2)
yang merupakan vasokonstriktor kuat,
c Perubahan khas sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis),
d Peningkatan permeabilitas kapiler,
e Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilator) menurun, sedang endotelin
(vasokonstriktor) meningkat,
f Peningkatan faktor koagulasi. 1,9

3 Teori imunologi
Pada teori ini, hasil konsepsi yang pada kehamilan norma tidak
ditolak oleh respon imun ibu, pada kehamilan dengan preeklampsia
dianggap sebagai korpus alienum terjadi reaksi imunitas untuk melawan
hasil konsepsi dengan pembentukan sel-sel radang. Terjadi invasi
makrofag di subendotlial yang juga menyebabkan penyempitan lumen
pembuluh darah (gambar 2). Hal ini merupakan peran dari human
leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam
memodulasi respon imun sehingga hasil konsepsi tidak ditolak. HLA-G
juga melindungi hasil konsepsi dari lisis oleh sel Natural Killer dan
memudahkan terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu
untuk mempermudah dilatasi arteri spiralis seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.1,8
4 Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter (tidak peka)
terhadap bahan-bahan vasopresor karena dilindungi oleh adanya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan
dengan menghilangnya daya refrakter akibat pemberian sintesis
prostaglandin inhibitor yang disebut dengan prostasiklin. Ada
kehamilan dengan preeklampsia terjadi kehilangan daya refrakter
pembuluh darah.1
5 Teori genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Dalam hal ini genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip lain.1,8

6 Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi yang juga terjadi pada kehamilan normal. Namun, pada
kehamilan dengan preeklampsia terjadi pelepasan debris yang
berlebihan akibat peningkatan stres oksidatif. Hal ini menyebabkan
reaksi inflamasi menjadi meningkat sehingga mengaktivasi sel endotel,
makrofag/granulosit, yang pada akhirnya menimbulkan gejala-gejala
preeklampsia pada ibu.1

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang


ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler,
vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan
faktor  pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari
kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi
trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan
agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis
yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan
tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah
kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah
tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran
darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan
nekrosis  periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan
intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan
perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan
atau destruksi trombosit.9

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Gejala yang dapat dikeluhkan pasien pada sekitar 52% pasien
eklampsia dari 61 pasien dengan sindrom HELLP berhubungan dengan nyeri
kepala, mual dan muntah, gangguan penglihatan dan nyeri epigastrik. Pada
beberapa kasus dapat ditemukan adanya perdarahan spontan atau perdarahan
gastrointestinal.2,4,5
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti nyeri tekan
kuadran kanan atas, penambahan berat badan yang signifikan, edema
generalisata, peningkatan tekanan darah yang berat, dan ikterus.2,4,5
Berikut akan dijabarkan mengenai kondisi yang menunjukkan gambaran
klinis dari masing-masing organ akibat komplikasi preeklampsia.9

Tabel 3. Gambaran manifestasi klinik dan komplikasinya


Sistem Organ Kondisi yang Buruk Komplikasi Berat
Eklampsia
PRES
Sistem saraf Sakit kepala/gangguan
Ablasio retina
pusat penglihatan
GCS < 13
Stroke, TIA, atau RIND
Hipertensi berat yang tidak
terkontrol (dalam periode 12 jam
dengan penggunaan 3 agen anti-
Nyeri dada/sesak napas hipertensi)
Kardiorespirasi
Saturasi O2 <97% Saturasi <90% memerlukan terapi
O2 ≥50% >1 jam, intubasi untuk
pasien SCTP, edema paru, iskemik
myokardium atau infark.
Peningkatan leukosit Jumlah platelet <50 x 103/L
Hematologi Peningkatan PTT Dibutuhkan transfusi
Trombositopenia
Gangguan ginjal akut (kreatinin
Peningkatan kadar ureum
>150 μM
Ginjal Peningkatan kadar
tanpa gangguan ginjal sebelumya)
kreatinin
indikasi untuk dialisis
Hepar Mual atau muntah, nyeri Disfungsi hati
kuandran kanan atas atau Ruptur atau hematom hepar
epigastrik
Peningkatan serum
SGOT, SGPT, LDH, atau
bilirubin
Kadar albumin plasma
rendah
abnormal FHR
IUGR Abrupsi dengan bukti gangguan
Oligohidramnion pada ibu dan fetus
Feto-plasental
Absent or reversed end- Lahir mati
diastolic flow by Doppler
Velocimetry

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom HELLP dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang mendukung
khususnya pemeriksaan laboratorium. Hellp syndrome didahului tanda dan
gejala yang tidak khas seperti malaise, lemah, nyeri kepala, mual dan
muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus). Adanya tanda
dan gejala preeklampsia.4,5,9
1 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis dini sindrom HELLP berdasarkan hemolisis, tes fungsi
hati, dan disfungsi ginjal.2 Hemolisis dapat dibuktikan dengan
peningkatan kadar lactate dehydrogenase (LDH) >600 IU/L dan
penurunan kadar serum haptoglobulin. Marker sensitif ini dapat
dideteksi sebelum terjadi peningkatan serum bilirubin indirek dan
penurunan kadar hemoglobin.2,5 Peningkatan enzim hati (SGOT dan
SGPT) merupakan marker awal adanya hemolisis dan kerusakan hepar.
Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time
(APTT) bisa saja normal pada awal perjalanan penyakit, namun kadar
produk degradasi fibrin, D-dimer, dan peningkatan kompleks thrombin-
antithrombin, marker terjadinya fibrinolisis dan agregasi trombosit. 2,5
Gagal hati akut jarang terjadi karena double vaskularisasi pada hepar
dan fungsi kapasitasnya di bawah rendahnya ambilan oksigen.
Walaupun demikian, mikroangiopati dengan obstruksi sinusoid yang
menyebabkan nekrosis hepar yang bertanggungjawab peningkatan AST
(250 IU/L) dan ALT. Pada 30% kasus, terjadi peningkatan gamma GT,
alkalin fosfatase dan serum bilirubin dalam jumlah sedang. Nekrosis
hepatik dan perdarahan intraparenkim merupakan lesi fokal, sintesis
enzim hati masih dapat dipertahankan. PT biasanya normal, kecuali
pada kasus berat dengan komplikasi DIC.5 Trombositopenia merupakan
penyebab utama gangguan koagulasi pada sindrom HELLP. Banyak
faktor yang berperan dalam patogenesis trombositopenia: kerusakan
endotel vaskular, perubahan produksi prostasiklin dan peningkatan
deposit fibrin pada dinding vaskular. Terjadi akselerasi destruksi
trombosit, aktivasi trombosit, peningkatan volume trombosit dan
ditemukan produksi megakariosit. Peningkatan respon kalsium
trombosit ke arginin-vasopresin, yang memudahkan terjadinya
trombositopenia dan terjadi pada trimester awal kehamilan, yang
dilaporkan sebagai faktor prediktor preeklampsia. 2,5 Bila jumlah
trombosit menurun < 50.000/mm3 yang dihubungkan dengan DIC
dengan prognosis buruk.2,5 Penurunan jumlah trombosit maternal terjadi
segera setelah proses kelahiran, kemudian mulai meningkat 3 hari post-
partum, mencapai >100.000/mm3 setelah 6 hari post-partum. Bila tidak
terjadi peningkatan trombosit setelah 96 jam post-partum merupakan
indikasi kelainan yang berat, dengan kemungkinan perkembangan gagal
multi-organ.5

Pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 4. Tanda laboratorium sindrom HELLP4
Hemolisis
Terdapat dua dari bukti di bawah ini:
1. Abnormal apusan darah tepi (burr sel, sistiosit)
2. Peningkatan serum bilirubin (≥1,2 mg/dL)
3. Serum haptoglobulin rendah
4. Penurunan signifikan kadar hemoglobin, tidak berhubungan
dengan kehilangan darah
Peningkatan enzim hati
5. Peningkatan AST atau ALT 2 kali di atas nilai normal
6. Peningkatan LDH 2 kali di atas nilai nomal
Trombositopenia
7. <100.000/mm3

2 Pemeriksaan Pencitraan
Pencitraan pada hepar penting untuk mengevaluasi perdarahan
subkapsular dan intraparenkim dan ruptur hepar. Pada wanita hamil,
dapat dilakukan USG dan MRI untuk mencegah radiasi ionisasi. CT-
scan dilakukan saat post-partum.5
USG transabdominal membuktikan adanya hematom intrahepatik
yang tampak pada monitor dengan struktur hipoekhoik. Sedang CT-
scan dan MRI mendeteksi adanya hemoperitoneum, hematom
intrahepatik, dan permukaan yang irregular antara parenkim hepatik
normal dan hematom intrahepatik yang berhubungan dengan daerah
kapsul yang ruptur. Arteriografi hepatik, merupakan prosedur invasif,
dapat mendeteksi perdarahan dan hanya dapat dilihat sebelum terjadi
embolisasi arteri.5
3 Biopsi Hepar
Biopsi hepar berisiko terjadinya perdarahan dan ruptur hepar.
Perdarahan periportal, nekrosis fokal parenkim dan steatosis
makrovesikular dapat diobservasi pada 1/3 pasien. Deposit fibrin dan
deposit hyalin ditunjukkan pada imunofluoresens pada level sinusoid
hepar. Spesimen hepar menunjukkan hasil positif pada reaksi terhadap
IL-1, IL-8, TNF (dan antibodi elastase neutrofil) yang negatif pada
AFLP.5,10

2.8 PENATALAKSANAAN
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu,
terutama kelainan koagulasi. Langkah selanjutnya adalah evaluasi
kesejahteraan janin dan usia kehamilan. Akhirnya, keputusan harus dibuat
mengenai apakah pengiriman segera diindikasikan atau tidak. Terdapat
konsensus yang pendapat bahwa persalinan yang cepat diindikasikan jika
sindrom berkembang setelah 34 minggu kehamilan atau lebih awal jika ada
disfungsi multi-organ, DIC, infark hepar atau perdarahan, gagal ginjal,
dugaan abrupsi plasenta, atau status janin yang tidak meyakinkan untuk
bertahan. Ada ketidaksepakatan yang signifikan mengenai manajemen
wanita dengan sindrom HELLP sebelum 34 minggu kehamilan, yaitu
kematangan paru janin belum tercapai pada UK tersebut. Beberapa penulis
merekomendasikan memperpanjang kehamilan sampai 34 minggu
kehamilan atau sampai adanya perkembangan sebagai indikasi ibu atau
janin untuk persalinan. Meskipun tampaknya bahwa manajemen kehamilan
mungkin bermanfaat, hasil perinatal secara keseluruhan tampaknya tidak
membaik bila dibandingkan dengan kasus usia kehamilan yang sama yang
dilahirkan dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sindrom HELLP.3
Penatalaksanaan preeklampsia dan sindrom HELLP masih
kontroversial. Kebanyakan modalitas terapi yang diterapkan sama dengan
preeklampsia berat. Pengobatan harus dilakukan di Intensive Care Units
(ICU) dengan dialisis dan didukung oleh ventilator pada kasus berat, dan
terdiri dari plasma expander, obat antitrombosis, heparin, antitrombin,
aspirin dosis rendah, prostasiklin, imunosupresif, steroid, plasma darah
segar, dialisis.5,10
Pemberian kortikosteroid diikuti oleh perbaikan yang cepat dari
segi klinis maupun parameter laboratorium, sehingga terminasi kehamilan
dapat ditunda. Perbaikan trombositopenia lebih sering diobservasi pada
pemberian bertahap dari dosis rendah ke dosis tinggi. Pemberian
kortikoseteroid (deksametason, betametason) dianggap dapat meningkatkan
kadar trombosit darah.5,11
Keuntungan pada maternal yaitu memperpanjang masa antara
masuk rumah sakit dan induksi persalinan, dan keuntungan pada fetus yaitu
menambah berat badan lahir. Plasmafaresis dengan plasma darah segar
diberikan pada pasien yang menunjukkan progresifitas hiperbiliruinemia,
kreatinin serum, dan trombositopenia berat. Hal ini juga direkomendasikan
pada pasien dengan sindrom HELLP yang bertahan lebih dari 72 jam
postpartum.5,11 Pedoman pemberian MgSO41,12,13
Syarat pemberian:
1 Tersedia antidotum (kalsium glukonat)
2 Refleks patella (+)
3 Frekuensi pernapasan >16 kali/menit

Cara pemberian MgSO


Dosis awal:
1 Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dengan 10 ml akuades.
2 Bolus perlahan secara IV selama 10-15 menit
3 Jika akses IV sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO 4 (12,5 ml larutan
MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.
Dosis rumatan:
1 Ambil 6 g larutan MgSO4 (15 mg larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dalam ringer lactate atau ringer acetate lalu berikan secara IV dengan
kecepatan 28 tetes per menit selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
setelah persalinan atau setelah kejang berakhir (bila eklampsia).4

Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah,


Frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin. Bila
frekuensi pernapasan <16/menit dan/atau tidak didapatkan refleks tendon
patella dan/atau terdapat oligouria (produksi urin <0,5 ml/kgBB) segera
hentikan pemberian MgSO4. Bila terjadi depresi napas, berikan kalsium
glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit. Bila kejang
berulang, berikan MgSO4 2g IV perlahan (10-15 menit). Bila setelah
pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan
pemberian diazepam 10 mg/IV selama 2 menit.1
Hipertensi pada preeklampsia diobati dengan pemberian
magnesium sulfat, hidralazin, antagonis kalsium, nitrogliserin, atau natrium
nitroprusit (pada krisis hipertensi). Diuretik tidak digunakan secara rutin
karena meningkatkan hipovolemia maternal dan hipoperfusi
uteroplasenta.5,12
Penggunaan magnesium sulfat pada pasien dengan preeklampsia
berat menurunkan risiko terjadinya eklampsia. Sedang efek pada bayi masih
dalam penelitian, namun diduga memberikan hasil yang lebih baik
dibanding pemberian fenitoin. Mekanisme kerja magnesium sulfat belum
jelas namun beberapa teori menyatakan bahwa magnesium sulfat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dengan memblok reseptor
kalsium, reseptor N-methyl-Daspartate dan vasodilatasi perifer. Selain itu,
magnesium sulfat juga secara kompetitig memblo masuknya kalsium ke
synaptic endings dan mengurangi transmisi neuromuskular.12
Induksi persalinan merupakan terapi spesifik pada sindrom
HELLP. Pada ibu dengan usia kehamilan ≥34 minggu, direkomendasikan
untuk induksi sesegera mungkin. Komplikasi memberat ketika induksi
persalinan tertunda lebih dari 12 jam. Pada ibu dengan usia kehamilan
antara 24-34 minggu direkomendasikan untuk pematangan paru terlebih
dahulu, untuk menurunkan risiko perdarahan nekrosis rektokolitis dan
perdarahan intraventrikular fetus. Bila tidak ada komplikasi obstetrik,
dianjurkan untuk persalinan pervaginam. Pada 60 % kasus dibutuhkan
persalinan perabdominam.5

2.9 KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan otak yang merupakan
komplikasi paling berat yang bersifat fata pada 50-65% kasus. Peningkatan
tekanan darah diastol secara tiba-tiba di atas 120 mmHg meningkatkan
risiko komplikasi hipertensi ensefalopati, aritmia ventrikel, DIC.
Komplikasi pada otak jarang terjadi namun jarang memberat.5
Komplikasi renal terjadi pada level mikrovaskular (trombosis
vaskular, oklusi arteri renal, hipoperfusi). Sindrom HELLP dapat
menyebabkan nekrosis tubular yang bersifat reveribel dan nekrosis kortikal
(pada sebagian besar kasus menimbulkan sequelae). Iskemia kortikal dapat
menyebabkan hipertensi arterial, dan trombosis mikroangiopatik yang
menyebabkan disfungsi renal. Gagal ginjal pada sindrom HELLP dapat
menyebabkan gangguan koagulasi, perdarahan, dan syok. Insidensnya
berkisar sekitar 8%.5
Diabetes insipidus nefrogenik jarang terjadi yang
dikarakteristikkan dengan resistensi arginin-vasopresin yang dimeddiasi
oleh peningkatan kadar vasopresinase. Peningkatan vasopresinase dapat
terjadi akibat defisiensi metabolik hepar.5
Komplikasi hepatik yaitu infark, perdarahan dan hematom. Ruptur
hepatik terjadi dalam 1/40.000 – 1/250.000 kasus. Adanya perdarahan hepar
dan hematom subkapsular, taruma minor (muntah, transportasi pasien,
palpasi hepar, proses kelahiran, kejang) dapat menginduksi terjadinya ruptur
hepar yang memberikan gejala nyeri epigastrik tiba-tiba, anemia dan
hipotensi.5

2.10 PROGNOSIS
Angka mortalitas pada ibu dengan sindrom HELLP berkisar antara
18 – 86 %. Prognosis bergantung pada diagnosis segera dan pendekatan
sesegera mungkin. Mortalitas bayi pada saat perinatal bervariasi antara 6,7 –
70%. Sindrom HELLP menyebabkan kelahiran prematur. Sekitar 60%
menjadi kematian janin dalam rahim (KJDR), 30% pertumbuhan janin
terhambat (PJT), dan 25% trombositopenia. Masa kritis berkembang setelah
induksi persalinan. Pada kehamilan selanjutnya dapat berulang 43%.5,13
BAB III

REFLEKSI KASUS

Tanggal Pemeriksaan :
Jam :
Ruangan : IGD Kebidanan RS UNDATA

I. DENTITAS

Nama : Ny. A Nama Suami : Tn. F

Umur : 35 tahun Umur : 38 tahun


Alamat : Jl. Kelor Alamat : Jl. Kelor

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SD Pendidikan : SMP

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Pasien pasca partum dengan pasca kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien rujukan dari RS Buol masuk dengan keluhan Post partum hari ke-II
dengan pasca kejang. Kejang berlangsung sebelum persalinan sebanyak 3 kali. 2
kali kejang di puskesmas dan 1 kali kejang saat di perjalanan menuju Rumah
Sakit Buol. Kejang berlangsung kurang lebih 1 menit dan pasien masih sadar,
sekarang pasien mengalami pandangan kabur (+), lemah (+), malaise (+), sesak
napas (+), nyeri perut kuadran kanan atas (+), mual (+), muntah 3x sejak tadi
malam, isi muntahan makanan bercampur air, nyeri ulu hati tembus belakang (+),
pusing (+), sakit kepala (-), demam (-), kencing hanya sedikit-sedikit disertai
darah, BAB normal dan edema pada kedua tungkai (+/+).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat hipertensi dalam kehamilan sejak usia kehamilan 28 minggu (+), riwayat
kejang (-), riwayat DM (-), asma (-), penyakit jantung (-), alergi (-). Riwayat
Obstetri :
 Anak pertama jenis kelamin laki-laki usia 5 tahun, aterm lahir spontan
LBK, persalinan ditolong bidan, BBL : 2500 gram
 Anak kedua, jenis kelamin laki-laki, preterm lahir spontan LBK,
persalinan ditolong bidan, BBL : 2000 gram (meninggal saat lahir)
 Anak ketiga, jenis kelamin laki-laki, aterm lahir spontan LBK, persalinan
ditolong bidan, BBL 2700 gram
Riwayat alergi :
Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.

RIwayat menstruasi :
Pertama kali haid saat berusia 12 tahun, teratur, sering terasa sakit saat
haid namun setelah menikah sudah jarang sakit saat haid, durasi haid 5 hari.
Riwayat kontrasepsi : KB pil.
Riwayat pernikahan : Pernikahan pertama, ±7 Tahun lalu

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. KEADAAN UMUM : Lemah


B. KESADARAN : Compos Mentis

C. TANDA VITAL :
Tekanan Darah : 180/120 mmHg
Nadi : 110x/menit
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 36,50C Axilla
D. STATUS GENERALISATA
Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), penglihatan kabur (+/+)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (+/+)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Paru paru :

- Inspeksi : Simetris bilateral (+/+)


- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezzing (-/-)
Jantung :

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : bunyi jantung 1 & 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)
Ekstremitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), Tremor (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (+/+), Tremor (-/-)

E. STATUS OBSTETRI
TFU : 2 jari dibawah umbilikus
Kontraksi uterus : baik
Lokia : Rubra (+)
Pemeriksaan dalam vagina : tidak dilakukan.

F. HASIL LABORATORIUM
Laboratorium:
 Wbc : 28 x 103/mm3 BT : 5’
 Hgb : 8,4 gr/dl CT : 7’30”
 Hct : 38.6 % HbSAg : non-reaktif
 Plt : 63 x 103/l Ureum : 156,7mg/dL
 Rbc : 4,8 x 106/l Creatinin : 5,78 mg/dL
 SGOT : 805 U/L
 SGPT : 287 U/L
Urine
 Protein : +2 Silinder : (-)
 Leukosit :5 Epitel : (+)
 Eritrosit : 15 Kristal : (-)

G. DIAGNOSIS
PIIIA0 post partum H2 + anemia + Post eklampsia + HELLP syndrome

H. PENTALAKSANAAN
 Pasang oksigen 4 lpm
 IVFD RL 500 CC
 Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
 Inj ondansetron 2 mg//ampul/12 jam IV
 Inj. Dexamethasone 10 mg /12 jam IV
 Inj Meropenem 1 gr/8 jam IV
 Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
 Nifedipin 3 x 10 mg
 Metildopa 2 x 250 mg
 Transfusi 1 labu Whole blood cell
 Pasang kateter
 Edukasi pasien untuk banyak minum air
 Monitoring trombosit tiap 12 jam

I. FOLLOW UP
1. Perawatan hari pertama
S : Nyeri perut tembus belakang (+), pusing (+), sakit kepala (+), penglihatan
kabur (+), edema pada tungkai (+/+), sesak (-), mual (-), muntah (-), BAB
(+), BAK (+) sudah tidak pekat, perdarahan jalan lahir (+)

O : Konjungtiva anemia -/-

Sclera ikterik +/+

TFU 2 jari dibawah umbilikus

Kontraksi uterus baik

Lokia rubra +

Tekanan darah : 120/90mmHg

Nadi : 88x/m

Suhu : 36.5

Pernapasan : 20 x/menit

Urin tampung 300 cc/24 jam

Hasil pemeriksaan laboratorium :

Wbc : 27 x 103/L

Hgb : 8,7 x 103/L

PLT : 81 x 103/L

SGOT : 75 U/L

SGPT : 65 U/L

A : PIIIA0 post partum H3 + anemia + Post eklampsia + HELLP syndrome


P :
a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit
b. Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
c. Inj. Dexamethasone 10 mg /12 jam IV
d. Inj Meropenem 1 gr/8 jam IV
e. Drips metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
f. Nifedipin 3 x 10 mg
g. Metildopa 2 x 250 mg
h. Cek albumin serum, cek darah rutin, SGOT, SGPT, cek ureum dan
kreatinin

2. Perawatan hari kedua


S : Pandangan kabur (-), Nyeri ulu hati (+), mual (-), muntah (-), pusing (+), sakit
kepala (-), keluar darah dari jalan lahir (+), BAK (+), BAB (+).

O : Konjungtiva anemia -/-

Sclera ikterik (+/+)

TFU 3 jari dibawah umbilikus

Kontraksi uterus baik

Lokia rubra (+)

Edema tungkai (+/+)

Tekanan darah : 130/90mmHg

Nadi : 82x/m

Suhu : 36.5

Pernapasan : 20x/menit

Takar urin : 350 cc/24 jam

Pemeriksaan laboratorium :
Wbc : 25 x 103/L
Hgb : 8,7 gr/dl
` PLT : 115 x 103/L
SGOT : 55 U/L
SGPT : 34 U/L
Albumin 2,4 mg/dl
Ureum 213 mg/dl
Creatinin 8,6 mg/dl
A : PIIIA0 post partum H4 + anemia + Post eklampsia + HELLP syndrome +
acute kidney injury

P :

a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit


b. Inj. Ranitidin 1amp/8jam/iv
c. Inj. Dexamethasone 5 mg /12 jam IV
d. Inj anbacim 1 gr/12 jam IV
e. Nifedipin 3 x 10 mg
f. Vip albumin 1 x 1
g. Cek albumin serum, cek darah rutin, SGOT, SGPT
h. Anjurkan makanan tinggi protein
i. Konsultasi ke penyakit dalam

3. Perawatan hari ketiga


S : Pandangan kabur (-), Nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
pusing (-), sakit kepala (-), , keluar darah dari jalan lahir bercampur lendir
(+), BAK (+), BAB (+).

O : Konjungtiva anemia -/-

Sclera ikterik (-/-)

TFU 4 Jari dibawah umbilikus

Kontraksi uterus baik


Lokia sanguinolenta (+)
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5
Pernapasan : 20x/menit
Takar urin 500 cc/24 jam
Pemeriksaan laboratorium :

Wbc : 17 x 103/L
Hgb : 9,23 gr/dl
` PLT : 120 x 103/L
SGOT : 39 U/L
SGPT : 34 U/L
Albumin : 3,0 mg/dl

A : PIIIA0 post partum H5 + anemia + Post eklampsia + HELLP syndrome +


acute kidney injury

P:
a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit
b. Inj anbacim 1 gr/12 jam IV
c. Vip albumin 1 x 1
d. Aminefron 1 x 1
e. cek darah rutin
f. Indikasi Hemodialisa

4. Perawatan hari ke-empat


S : Pandangan kabur (-), Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), pusing (-), sakit
kepala (-), keluar darah dari jalan lahir bercampur lendir (+), BAK (+), BAB
(+).

O: Konjungtiva anemia -/-

Sclera ikterik (-/-)

TFU 4 Jari dibawah umbilikus

Kontraksi uterus baik

Lokia sanguinolenta (+)

Tekanan darah : 120/80mmHg

Nadi : 82x/m

Suhu : 36.5

Pernapasan : 20x/menit

Urin tampung : 600 cc/24 jam

Hasil laboratorium :

Wbc : 11 x 103/L
Hgb : 9,4 gr/dl
PLT : 134 x 103/L
A : PIIIA0 post partum H6 + anemia + Post eklampsia + HELLP syndrome +
acute kidney injury

P :

a. IVFD RL 500 CC : Nacl 0,9% (1 : 1) 20 tetes/menit


b. Cefadroxil 500 mg 2 x 1
c. Aminefron 1 x 1
d. Indikasi Hemodialisa
e. Pasien alih rawat bersama Interna

IV. RESUME
Berdasarkan anamnesis Pasien rujukan dari RS Buol masuk dengan
keluhan Post partum hari ke-II dengan post eklampsia. Kejang berlangsung
sebelum partus sebanyak 3 kali. 2 kali kejang di puskesmas dan 1 kali kejang saat
di perjalanan menuju Rumah Sakit Buol. Kejang berlangsung kurang lebih 1
menit dan pasien masih sadar, sekarang pasien mengalami pandangan kabur (+),
lemah (+), malaise (+), sesak napas (+) nyeri abdomen hipokondrium dextra (+),
nausea(+), vomitus 3x sejak tadi malam, isi muntahan makanan bercampur air,
nyeri ulu hati tembus belakang (+), pusing (+), oligouria disertai hematuria,
defekasi normal dan edema pada kedua tungkai (+/+). Riwayat hipertensi pada
saat usia kehamilan 28 minggu.
Dari pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+), TD :
180/120 , nadi 110 x/m, respirasi 28 x/m, Suhu 36,8ºC. Nyeri tekan kuadran
kanan atas, TFU 2 jari dibawah umbilikus, kontraksi uterus baik, lokia rubra (+),
ekstremitas bawah edema (+/+). Dari pemeriksaan laboratorium : wbc 28 x 10 3/L
Hgb 8,4 gr/dl, Hct 38,6%, PLT 63 x 103/L, SGOT 805 U/L, SGPT 287 U/L,
ureum 156,7 mg/dl, creatinin 5,78 mg/dl. Urinalisis : protein +2, leukosit 5/LPB,
eritrosit 15, epitel (+).
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang ditegakan diagnosis
pada pasien ini yaitu PIIIA0 post partum H2 + anemia + Post eklampsia + HELLP
syndrome dan dilakukan terapi Pasang oksigen 4 lpm, IVFD RL 500 CC , Inj.
Ranitidin 1amp/8jam/iv, Inj ondansetron 2 mg//ampul/12 jam IV, Inj.
Dexamethasone 10 mg /12 jam IV, Inj Meropenem 1 gr/8 jam IV, Drips
metronidazole 500 mg/ 8 jam IV, Nifedipin 3 x 10 mg, Metildopa 2 x 250 mg,
Transfusi 1 labu Whole blood cell.
Setelah dua hari diruang perawatan biasa pasien di lakukan pemeriksaan
laboratorium di dapatkan hasil peningkatan kadar ureum 213 mg/dl dan Creatinin
8,6 mg/dl sehingga pasien ini di diagnosa PIIIA0 post partum H4 + anemia + Post
eklampsia + HELLP syndrome + acute kidney injury sehingga pasien alih rawat
interna untuk di lakukan penatalaksanaan pada acute kidney injury.

BAB IV
PEMBAHASAN

Gejala klinis sindrom HELLP tidak spesifik. Gejala yang biasannya


muncul adalah gejala-gejala mirip preeklampsia. Pada kasus ini pasien datang
dengan kondisi postpartum dimana sesuai dengan teori bahwa kejadian sindrom
HELLP bisa terjadi 30 % pada pasien dengan post partum. Teori menjelaskan
bahwa angka kejadian meningkat pada wanita multiparitas dan sama halnya pada
kasus dimana pasien dengan paritas dua atau dua kali melahirkan anak.
Klasifikasi Sindrom HELLP pada pasien ini yaitu, masuk dalam kelas II
karena dari hasil pemeriksaan trombosit 63 x 103/L dan SGOT 805 U/L dan SGPT
287 U/L ini berdasarkan klasifikasi Missisipi sedangkan klasifikasi menurut
Tenesse pasien masuk dalam HELLP sindrom komplit dimana trombosit
<100.000/ml dan AST/ALT ≥40 IU/L.
Dari gejala klinis, pasien sering sekali mengeluh nyeri di regio epigastrik
atau kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual dan muntah (45-
86%), nyeri kepala (30-60%), dan gangguan penglihatan (20%). Namun gejala
yang terjadi kadang-kadang tidak spesifik yang menyerupai infeksi virus, seperti
demam dan badan terasa lemah. Pada kasus ini gejala yang disebutkan diatas
semuanya ada pada pasien dan membuat kasus ini menjadi semakin khas untuk
menjurus kepada Sindrom HELLP. Pasien mengalami hemolisis itu terbukti dari
ditemukannya sklera ikterik dan nyeri kuadran kanan atas serta adanya penurunan
hemoglobin pada pasien.
Baku emas penegakan diagnosis Sindrom HELLP masih menggunakan
hasil pemeriksaan laboratorium yang memberikan bukti adanya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Pada kasus ini sudah dilakukan
pemeriksaan baku emas dan hasilnya sangat mengarah kepada sindrom HELLP.
Namun masih terdapat perbedaan-perbedaan untuk menentukan patologi tersebut.
Bukti adanya hemolisis pada pemeriksaan darah adalah ditemukannya
fragmentosit atau sel burr pada pemeriksaan apusan darah tepi, peningkatan LDH,
penurunan Hemoglobin, dan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi. Pada kasus
ini tidak dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi, pemeriksaan LDH, dan
pemeriksaan bilirubin. Dalam hal ini bisa saja dilakukan pemeriksaan yang seperti
diatas tetapi tiap center rumah sakit berbeda-beda dalam melakukan penegakan
diagnosis. Saat ini, yang banyak digunakan untuk pemeriksaan bukti hemolisis
adalah adanya kadar LDH >600 U/L, namun Smulian et al. Mengatakan bahwa
nilai ambang LDH mungkin <600 U/L, tergantung metode pemeriksaan yang
dilakukan, dan sayangnya belum ada kesepakatan tentang cara pemeriksaannya.
Selain itu, adanya penurunan Hb dan peningkatan bilirubin biasanya belum
terdeteksi pada kasus akut, sehingga belum bisa dijadikan patokan. Sebenarnya
indikator yang lebih spesifik adalah penurunan kadar haptoglobin atau tidak
terdeteksinya haptoglobin, namun belum bisa menjadi pemeriksaan rutin.
Abnormalitas hepar ditentukan dengan peningkatan enzim-enzim hepar seperti
ALT, AST, dan kadar bilirubin.
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit <50.000/ml
atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu
protrombin, waktu tromboplastin parisal dan fibrinogen. Pada kasus ini belum
dilakukan pemeriksaan PT dan aPPT karena trombosit yang didapatkan
>50.000/ml. Jika didapatkan kadar trombosit <100.000/ml atau trombosit
100.000-150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat,
nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg iv tiap 12 jam.
Pada kasus ini telah diberikan terapi deksametason karena trombosit
<100.000/ml dengan tanda dan gejala seperti diatas, dan setelah beberapa hari
monitoring didapatkan hasil yang cukup memuaskan dimana terjadi kenaikan
trombosit yang signifikan dan penurunan enzim hati kembali ke nilai normal.
Pada pasien postpartum deksametason diberikan 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali,
kemudian diikuti 6 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan bila
tela terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml dan penurunan
LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-eklampsia.
Pada kasus pemberian deksametason dihentikan pada hari ketiga
perawatan karena sudah terjadi kenaikan trombosit >100.000/ml dan gejala klinis
sudah berkurang yang berarti terjadi perbaikan secara klinis dan bermakna.
Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui dengan :
meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya tekanan darah, menurunnya
kadar LDH, dan AST.
Penggunaan deksametason dosis tinggi pada ibu dengan sindrom HELLP
juga menjadi isu tatalaksana sindrom ini. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa terapi dengan deksametason 10 mg setiap 12 jam dapat mengurangi
morbiditas ibu dan meningkatkan jumlah trombosit lebih cepat. Namun penelitian
lain juga menyebutkan bahwa deksametason tidak mengurangi komplikasi pada
ibu, seperti gagal ginjal akut, edema paru, dan oligouria.
Pemberian deksametason juga tidak mengurangi kebutuhan transfusi darah
serta mengurangi secara signifikan durasi perawatan di rumah sakit. Pada kasus
ini dimana pasien mengalami komplikasi gagal ginjal akut yang harus dilakukan
hemodialisa, hal ini sejalan dengan teori bahwa terapi deksametason tidak
mengurangi komplikasi yang terjadi.

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
1 HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala
yang mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah
platelet yang kurang dari batas bawah.
2 Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor resiko antara
lain primigravida, hiperplasentosis, umur yang ekstrim (>35 tahun),
riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia, penyakit-penyait
ginjal dan hipertensi yang sudah lama ada sebelum hamil serta
obesitas.
3 Gejala yang dapat dikeluhkan pasien pada sekitar 52% pasien
eklampsia dari 61 pasien dengan sindrom HELLP berhubungan
dengan nyeri kepala, mual dan muntah, gangguan penglihatan dan
nyeri epigastrik. Pada beberapa kasus dapat ditemukan adanya
perdarahan spontan atau perdarahan gastrointestinal

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. 4th ed. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo: Jakarta; 2013. Hal 532-554.
2. Syafrullah SC, Zulkarnaen, Lisiswanti R, Trestyawati. Preeklampsia berat
dengan partial help syndrome. Jurnal medulla Unila. Volume 6. Nomor 6.
2016.
3. Hartawan IG. Eklampsia, Hellp syndrome, acute respiratory distress
syndrome and pneumonia. 2018
4. Pokharel SM, Chattopadhyay SK, Jaiswal R, Shakya P. HELLP Syndrome - a
pregnancy disorder with poor prognosis. Nepal Med Coll J 2012. Hal. 34-37
5. Jebbink J, Wolters A, Fernando F, Afink G, Post J, Ris-Stalpers C.
Molecular genetics of preeclampsia and HELLP syndrome – A review.
Biochimica et Biophysica Acta 2012. Hal 1960–69.
6. Sibai BM. A practical plan to detect and management of HELLP syndrome.
OBG management 2005
7. Mihu D, Costin N, Mihu CM, Seicean A, Ciortea R. HELLP Syndrome – a
Multisystemic Disorder. J Gastrointestin Liver Dis 2007; hal. 419-24.
8. BMJ. HELLP syndrome. British med j 2015.
9. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan. Edisi II. FK-UNAIR. 2013: 10-19
10. Satpathy HK, Satpathy C, Donald F. HELLP syndrome. J Obstet Gynecol
India 2009. Hal. 152
11. Cunningham FG, et al. Williams obstetric. 24th ed. New York: McGraw Hill;
2014. Hal 728-70.
12. Magee LA, et al. Diagnosis, Evaluation, and Management of the
Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive Summary. J Obstet
Gynaecol Can 2014.hal.7-12
13. Baxter JK, Weinstein L. HELLP syndrome: the state of the art. Obs and
gynec survey 2004. Hal. 19
14. Woudstra DM, Chandra S, Hofmeyr GJ, Dowswell T. Corticosteroids for
HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets) syndrome in
pregnancy (Review). Cochrane Library 2010. Hal. 5-8
15. Tukur J. The use of magnesium sulphate for the treatment of severe pre-
eclampsia and eclampsia. Annals of African Medicine 2009.hal 1-6
16. WHO. Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. 1st
ed. Jakarta: kementrian kesehatan Republik Indonesia 2013.

Anda mungkin juga menyukai