Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal
infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya
mencapai 30%-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Berdasarkan
penelitian di bagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis
presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi
komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari
biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis
(TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang
dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yang menyangat
bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%,
thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai
edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3 cm.
Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya  AIDS,  jumlah penderita
AIDS secara dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30
juta orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta.
Sembilan puluh persen individu yang terinfeksi ini tinggal di negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi
HIV tahun 2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar
tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous
drug users ).

1
Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang
menjadi kelainan neurologis.3 Kelainan neurologis yang sering terjadi pada
penderita yang terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP,
meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan progressive multifocal
leukoencephalopathy.
Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah
ensefalitis toxoplasma.5 Dari penelitian Terazawa dkk6, didapatkan seroprevalens
IgG antibody Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk kota Jakarta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TOKSOPLASMOSIS
2.1.1 Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah
bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak.

2.1.2 Klasifikasi
Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan
bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler seperti bulan
sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul.
Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di ujung yang tumpul.
Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi
namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap msih hidup. Kista
jaringan ini akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi
pada orang dengan kekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi
reaktivasi akan menyebabkan terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia,
terserangnya seluruh jaringan otot, myocarditis, ruam makulopapuler dan atau
dengan kematian. Toxoplasmosis yang menyerang otak sering terjadi pada
penderita AIDS.
Infeksi primer yang terjadi pada awal kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada bayi yang dapat menyebabkan kematian bayi atau dapat
menyebabkab Chorioretinis, kerusakan otak disertai dengan klasifikasi
intraserebral, hidrosefalus, mikrosefalus, demam, ikterus, ruam,
hepatosplenomegasli, Xanthochromic CSF, kejang beberapa saat setelah lahir

3
2.1.3 Etiologi Toxoplasmosis
Toxoplasmosis sendiri ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun
1909 yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya
setelah diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap
suatu genus termasuk famili babesiidae.
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat
atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam
jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum
tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.

2.1.4 Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis


Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista,
clan Ookista.
 Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel
mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa
akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam jaringan akan
membelah secara lambat dan disebut bradizoit
 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan
berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi aan paling banyak terdapat
dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
 Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista
terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces
kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni
dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan
clikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma
gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini
tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka

4
pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok
trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk
stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan
tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam
usus halus kucing tersebut.

2.1.5 Cara Penularan Toxoplasmosis


Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang matang
yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat,
kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke janin
terjadi utero melalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga
terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan
percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik dan

5
alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii.
Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena
infeksi toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung ookista
dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah melalui hewan
peliharaan. Hal ini terbutki bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara
hewan peliharaan yang suka makan daging mentah mempunyai frekuensi
toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang
terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan
jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan
diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana
parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap
kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk
kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap
tanpa menimbulkan peradangan lokal.

2.1.6 Patologi dan Gambaran Klinik


Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya
memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri
otot, sakit tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe
servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun
jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis,
miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.
Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat
mencapai berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata,
paru-paru, hati, limpa, sumsum ulang, kelenjar limfe dan otot jantung.

6
Gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan
kelainan patologi yang terjadi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis
didapat.

Gejala klinik toksoplasmosis congenital.


Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan bahkan bias
fatal oleh karena parasi tersebar di berbagai organ-organ terutama pada system
susunan sarafnya. Kelainan yang terjadi sangat jelas terlihat dan yang
patognomonik dan indikatif adalah kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus
atau mikrosefalus dan psikomotor. Kalsifikasi serebral dan korioretinitis
merupakan gejala yang paling penting untuk menentukan diagnosis
toksoplasmosis congenital.

Gejala klinik toksoplasmosis di dapat


Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ dan jaringan dapat terjadi
yaitu pada jaringan serebrospinal yang mengakibatkan ensefalomielopati,
hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis, kelainan limfatik berupa
limfadenitis disertai dengan demam, kelainan pada kulit yang berupa ruam kulit
makulopapuler yang mirip ruam kulit pada demam tifus, kelainan pada paru-paru
yang berupa pneumonia interstisial, pada jantung terjadi miokarditid dan terjadi
pula pembesaran hati dan limpa. Kelainan-kelainan pada jaringan serebrospinal
umumnya menyerang bayi dan anak-anak sedangkan kelainan limfatik menyerang
anak berumur antara 5-15 tahun.

7
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis untuk Toxoplasmosis sendiri dibagi menjadi 2 yaitu :
• Diagnosis Klinik
Toksoplasmosis hendaknya wajib dicurigai bila didapatkan klasifikasi serebral
pada ventikulogram dan korioretinitis ditemukan pada pemeriksaan mata. Apalagi
jika didapatkan kelainan-kelainan yang berupa hidrosefalus, mikrosefalus,
mikroptalmus, pneumonitis, miokarditid, adenopati, hepatomegali atau
splenomegali.
• Diagnosis Spesifik
Diagnosis spesifik ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan laboratorium
untuk menemukan Toxoplasma gondii yang berasal dari hasil biopsy aau
pengambilan cairan dari organ dan jaringan penderita. Inokulasi hewan-hewan
percobaan (tikus, mamot atau hamster) dengan hasil biopsy organ dan jaringan
dapat meningkatkan hasil pemeriksaan

2.1.8 Pencegahan Toxoplasmosis


Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit toxoplasmosis
adalah sebagai berikut :
1. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau
yang sudah dimasak pada suhu 150°F (66°C),sedangkan pada daging yang
dibekukan mengurangi infektivitas parasit tetapi tidak membunuh parasit.
2. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunya antibodi terhadap toxoplasma
gondi, dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan
tempat sampah. Pakailah sarung tangan karet dan cucilah tangan selallu setelah
bekerja dan sebelum makan.
3. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan
kering, makanan kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan
jangan biarkan membru makanan sendiri.

8
4. Cucilah tangan baik-bai sebelum makan dan sesudah menjamah dagin mentah
atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing.
5. Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat
bermain anak-anak

2.1.9 Pengobatan Toxoplasmosis


Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam foist.
 Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama
sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama
sebulan.
efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka
dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan.
Trimetoprimn juga temyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila
dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine,
ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif
tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat
sebelumnya. Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di
bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan
pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari
selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat.
Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada
penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu
penderita toxoplasmosis.

9
2.2 ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
2.2.1 Definisi
Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien
AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii,
yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada
tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau
kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di
sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit
tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam,
sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh,
kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing,
masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi.

2.2.2 Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,
burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja
kucing dan kadang pada daging mentah ataukurang matang. Begitu parasit masuk
ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada
orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah
penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa
juga dari sayur yang terkontaminasi ataukontak langsung dengan feses kucing.
Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan
transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi

10
reaktivasi dari infeksilaten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.

2.2.3 Daur Hidup


Toxoplasma gondii hidup  dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk
akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing.
Kucing merupakan pejamu  definitif  dari T gondii. Siklus hidup aseksual  terjadi 
pada pejamu perantara, (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue
cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites
atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi
tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau
limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan
perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi
untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst
ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC,
didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma.  Siklus seksual entero-
epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius
setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir
selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah
diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi
lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius
di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. 4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten.

11
yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di
otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit).
Takisoit ini akan menghancurkan  sel dan menyebabkan focus nekrosis. 4,7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 <
200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200
sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii,
dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk
pemberian profilaksis primer.  M. tuberculosis dan candida species dapat
menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

2.2.4 Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher
rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh
perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel
dengan meningkatkan tingkat apoptosispada sel yang terinfeksiSelain menyerang
sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dandapat
mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalantubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat
menyerang sistem saraf yang membahayakanfungsi dan kesehatan sel saraf
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin.
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12
dan IFN-gamma  secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai

12
respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset
yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal
(69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%) 9. Pada
suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status
mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70 % kasus, Nyeri kepala
pada 50 % kasus, demam pada 45% kasus dan kejang pada 30 % kasus. 5 Defisit
neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara.
Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan
sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi
neuropsikiatri.7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi.

13
2.2.5 Tanda dan gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan,lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan
yang meningkat, masalah penglihatan,pusing, masalah berbicara dan berjalan,
muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda
infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalumerupakan suatu kekambuhan akibat
hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah
berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang
dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.

14
2.2.6 Diagnosa
 Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan
IgM. Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect fluorescent antibody
(IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).Titer
IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis
ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
 Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA
T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar
dancairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang
terinfeksi HIV. Adanya PCRyang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak
setelah infeksi akut.
 CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau
penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik padajaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau
tanpa lesi.
 Biopsi otak : untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

15
2.2.7 Penatalaksanaan
 Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
 Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
 kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
 pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari  dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
 pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
 pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau
atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau
3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
 Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi
HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau
limfosit total kurang dari 1200.  Pada pasien ini, CD4 42, sehingga
diberikan ARV.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum
terinfeksi tokso, dapat dihindari dengan cara menghindari risiko terpajan infeksi
dengan tidak memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut
jika membersihkan kandang kucing. Dengan memakai obat anti-HIV yang manjur
untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan
diakibatkan tokso. Jika jumlah CD4 turun di bawah 100, sebaiknya bicara dengan
dokter tentang pemakaian obat untuk mencegah penyakit tokso.
Jika mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-kejang, atau gejala tokso
lain, segera menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat
diobati secara efektif. Jika anda mengalami penyakit tokso, sebaiknya anda terus
memakai obat antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah
terkena penyakit keganasan. Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada
penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan
menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel
limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat
menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan
pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),
infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan
suportif.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006.
 Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired
Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.
 Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS.
2006.
 Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi.
Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
 Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-
90.
 Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus
and AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology.
Goetz. 2003:955-89.
 Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice
Medicine. Januari 2003.
 Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi.
Jakarta: EGC. 2001.
 HIV and Hepatitis. 2008. Di unduh dari
http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html.
 HIV insite. 2003. Di unduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-
01.
 Yayasan Spirita.2009. Neuropati Perifer. Diunduh dari
http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf.

18
 Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and
Stroke. Diunduh darihttp://www.spirita.or.id.
 Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus

19

Anda mungkin juga menyukai