Laporan Pendahuluan COB
Laporan Pendahuluan COB
Disusun Oleh :
Hindayatus S
1930036
1
2
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
dapat menimbulkan luka pada kulit kepala, fraktur kranium, robekan pada selaput
(Soertidewi, 2012)
2. Etiologi
4. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
5. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
3
kecil, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
yaitu:
1. Berdasarkan Patologi
1) GCS 14-15
1) GCS 9-13
1) GCS 3-8
4. Mekanisme Cedera
Menurut (Martono dkk, 2016). tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala
yaitu :
kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat
mengeluh nyeri kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan
kejang.
karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang
paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. Kondisi cedera
1. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10
menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan
jaringan otak.
2. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna
pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio
3. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan durameter
ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc atau
dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom dibawah lapisan
durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v cortical, sinus
berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat dikenali
otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada jaringan
8. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar
yaitu fraktur anterior (melibatkan tulang etmoid dan sphenoid) dan fraktur
7. Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah
titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik
bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau
pada sisi sebaliknya (contra coup). Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan
yang tidak rata. Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan
berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak
sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka
‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral
(edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48
penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah
otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang
baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit dan aliran oksigen yang
cedera kepala sudah tidak direkomendasikan Menurut Hudak dan Gallo (2010)
10
WOC
Cedera
kepala
Gangguan - Perubahan
- Perdaraha Gangguan Resik Nyeri neurologis autoregulasi
n suplai o fokal - Edema
darah infeks serebral
8. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan
TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah
Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
12
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
observasi minimal 4 jam walaupun trauma pada kepala tampak minimal. Ada
beberapa tanda khusus penting yang harus di perhatikan, jika pasien mengalami
gejala-gejala ini pasien harus dirujuk untuk dilakukan CT Scan guna memastikan
Jika didapatkan pasien dengan kriteria seperti di atas, ada beberapa poin
13
sebesar 20 derajat
2. Pasang infus dan lakukan restriksi cairan 2 sampai 2,5 liter untuk orang
dewasa
5. Ganti cairan yang hilang dengan cairan koloid dan bukan dengan cairan
oleh trauma
Riwayat
Nama, umur, jenis kelamin, Tidak sadar segera setelah cedera
ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan
Amnesia : Retrograde, antegrade
Mekanisme cedera Sakit kepala: ringan, sedang, berat
Waktu cedera
Definisi : GCS 9 - 12
Pemeriksaan Inisial
- ABCDE
- Primary Survey dan resusitasi
- Secondary Survey dan riwayat AMPLE
- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
- Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
CT Scan
17
Ya ±manitol
(1g/kg)
Herniasi?*
Deteriorasi
?*
Tidak Ya
Resolu
CT Scan
si ?
Ya Tidak
Lesi Bedah
?
Tidak Kamar
operasi
Unit perawatan
intensif
Pantau TIK
Obati hipertensi
intrakranial
18
2. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan MRI
lateralisasi tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan
5. Pemeriksaan diagnostic
a) Laboratorium
b) Pencitraan
CT scan.
c) Prosedur Diagnostik
12.1 Pengkajian
sebagai berikut :
1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita
(diagnostic) sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa.
Kunci utama untuk penanganan pada pasien trauma adalah penanganan
pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119
Training Division, 2012).
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit
setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam
penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi
yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau
trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway
harus melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat
hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi,
hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam
hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral,
chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan
didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan
nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan
dilakukan nasal atau oropharingeal airway. Jika tindakan
20
b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu
tindakan ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat
membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertikaran gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara
cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita
dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai
dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada
melalui distensi vena, devasi trakeal,gerakan paradoksal pada dada,
dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat dalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio
paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan
ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan
dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
c. Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah
yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di
rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan
oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian
maka diperlukan penilaian yang cepat dari status henodinamika
penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai
22
2) Secondary Survey
a. Keluhan Utama
separuh badan.
darah tinggi.
keturunan.
e. Pola Metabolik
f. Pola Eliminasi
g. Pola Aktivitas
h. Pola Persepsi
i. Pola Istirahat
tidur.
j. Kardiovaskular
k. Paru-paru
l. Neurologis
m. Integumen
Kaji Cappilary Refill Time (CRT), turgor kulit dan adanya tanda
sianosis.
3) Dispnea menurun
4) Ortopnea menurun
OBSERVASI
ronkhi kering)
TERAPEUTIK
EDUKASI
kontraindikasi
KOLABORASI
jika perlu.
paru-paru
3) Dispnea menurun
OBSERVASI
menelan.
30
TERAPEUTIK
tidak sadar.
meningkat.
EDUKASI
intraseluler mencukupi.
OBSERVASI
haus, lemah).
TERAPEUTIK
EDUKASI
KOLABORASI
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.