Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA KLIEN

DENGAN DIAGNOSA CIDERA OTAK BERAT (COB)

DI RUANG IGD (UNIT GAWAT DARURAT)

Disusun Oleh :

Hindayatus S

1930036 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

TAHUN AJARAN 2020

1
2

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Cedera Kepala

Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertaiatau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent (PERDOSSI, 2007).

. Cedera kepala juga dikenal sebagai cedera kranioserebral, cedera yang

mengenai baik bagian kranium (tengkorak) maupun serebrum (otak).Karenanya

dapat menimbulkan luka pada kulit kepala, fraktur kranium, robekan pada selaput

otak, kerusakan vaskularisasi serebral, dan kerusakan jaringan parenkim otak

(Soertidewi, 2012)

2. Etiologi

4. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
5. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
3

kecil, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)

3. Klasifikasi Cedera Kepala

Menurut (NANDA, 2015). klasifikasi cedera kepala dibedakan menjadi 2,

yaitu:

1. Berdasarkan Patologi

a. Cedera Kepala Primer

cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat

menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel

diarea tersebut, yang menyebabkan kematian sel.

b. Cedera Kepala sekunder

Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma

sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak

terkendali, seperti respon fisiologis cedera otak, edema serebral,

perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia

serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

2. Berdasarkan jenis cedera

a. Cedera kepala terbuka

Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak dan

jaringan otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak

dan laserasi diameter.

b. Cedera kepala tertutup

Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan dengan

cedera serebral yang luas.


4

3. Berdasarkan Glasgown Coma Scale

a. Cedera Kepala Ringan (Minor), dengan ciri-ciri:

1) GCS 14-15

2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia <30 menit

3) Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusia serebral dan hematoma

b. Cedera Kepala Sedang, dengan ciri-ciri:

1) GCS 9-13

2) Kehilangan kesadaran dan dan amnesia >30 menit namun tidak

lebih dari 24 jam

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak, contusia serebral, laserasia

dan hematoma intrakranial

c. Cedera Kepala Berat, dengan ciri-ciri:

1) GCS 3-8

2) Kehilangan kesadaran, amnesia lebih dari 24 jam

3) Mengalami kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial

4. Mekanisme Cedera

Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan


pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara
tepat.Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselarasi, coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.
1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek
diam, seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali
terjadi dalamkasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan
fisik.
5

3. Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan


otak bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur.
Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat
berpindah ke area otak yang berlawanan.
4. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau
robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah
yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
5. Cedera Penetrasi
Cedera penetrasi dapat disebabkan olehpeluru, pecahan peluru, ataubenda
tajamlain yang bergerak dengan kecepatanyang cukup besar yang
mengenai kepala dan dapat merusak integritas tengkorak.

5. Tanda dan Gejala Cedera Kepala

Menurut (Martono dkk, 2016). tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala

dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga

yaitu :

a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15

Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan

kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat

mengeluh nyeri kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan

hematoma kulit kepala.

b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13

klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak

memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia

pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,


6

mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan

kejang.

c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.

Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera

kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran

lebih dari 24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma

intrakrania dan edema serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi

karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang

paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat

terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

6. Manifestasi Klinis Cedera Kepala

Pada pemeriksaan klinis biasanya memakai pemeriksaan GCS yang

dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. Kondisi cedera

kepala yang dapat terjadi yaitu (Martono dkk, 2016):

1. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan < 10

menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada kerusakan

jaringan otak.

2. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak karna

pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio

serebri lebih sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal

dibandingkan bagian otak lain.

3. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan durameter

dan fraktur terbuka pada kranium.


7

4. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang. Sumber

perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media. Epidural

hematom biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dengan

ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Jika perdarahan > 20 cc atau

> 1 cm midline shift > 5 mm akan dilakukan operasi untuk menghentikan

perdarahan. Gambaran CT scan didapatkan area hiperdens dengan bentuk

bikonvek atau letikuler antara 2 sutura.

5. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara durameter

dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom dibawah lapisan

durameter dengan sumber perdarahan dari bridging vein, a/v cortical, sinus

venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri kepala, bingung, mengantuk,

berpikir lambat, kejang dan udem pupil. Secara klinis dapat dikenali

dengan penurunan kesadaran disertai dengan adanya laterasi yang paling

sering berupa hemiparese/plegi. Gambaran CT scan didapatkan hiperdens

yang yang berupa bulan sabit (cresent).

6. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah

subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri. Pada

pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-

girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.

7. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada jaringan

otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada pada jaringan

otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi perdarahan antara neuron

otak yang relatif normal.


8

8. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar

tengkorak (temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid). Terbagi menjadi 2

yaitu fraktur anterior (melibatkan tulang etmoid dan sphenoid) dan fraktur

posterior (melibatkan tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian

tulang sphenoid). Tanda-tanda dari fraktur basis kranii yaitu:

a) Ekimosis periorbital (racoon’s eyes)

b) Ekimosis mastoid (battle’s sign)

c) Keluar darah berserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga

(rinore atau otore)

d) Kelumpuhan nervus cranial

7. Patofisiologi

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap

jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar

tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada

cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan

mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak

tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah

titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik

bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau

pada sisi sebaliknya (contra coup). Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan

yang tidak rata. Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan

berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak

yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada otak  menyebabkan

vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan


9

penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak

sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka

‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral

dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak

(edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48

jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan 

penyelamatan hidup.

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal

CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan

vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)

menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan

bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera

kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-

akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil

terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah

otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang

mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia. Hipoventilasi atau

hipoksia meningkatkan angka kematian dengan mempertahankan ventilasi yang

baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit dan aliran oksigen yang

memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi profilaksis pada

cedera kepala sudah tidak direkomendasikan Menurut Hudak dan Gallo (2010)
10

WOC

Cedera
kepala

Ekstra Tulang Intra


Kranial Kranial Kranial

Terputusnya Terputusnya Cedera


kontinuitas kontinuitas otak
jaringan kulit, otot jaringan (kontusio,
& Vaskuler tulang laserasi)

Gangguan - Perubahan
- Perdaraha Gangguan Resik Nyeri neurologis autoregulasi
n suplai o fokal - Edema
darah infeks serebral

Perubahan Resiko - Bersihan


Iskemi Kejan
sirkulasi ketikdaefektifa jalan napas
a
n perfusi Gangguan - Dispnea
Hipoksi jaringan pola napas - Henti napas
PTI
a
K
Girus medialis Ganggua - Gangguan fungsi luhur
lobus n fungsi - Perubahan perilaku
temporalis - Gangguan fungsi
tergeser motorik
Lobus
Herniasi Frontal
unkus Gangguan
Lobus fungsi
Mesensefalo oksipital
n tertekan
Lobus - Gangguan
keseimbangan
Gangguan - Gangguan
kesadaran Lobus parietal
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
Resik Immobilisa Cemas hipestesi, parestesi,
o si dll)
injury

Resiko Defisit perawatan


gangguan diri
11

8. Komplikasi

Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal

Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah

edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat

dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera

pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan

darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan

TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah

dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah peru-peru

berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus.

Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan

peningkatan TIK lebih lanjut.

2. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.

Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan

menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping

tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur

harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk

meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,

perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas

paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
12

pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan

rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat

gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.

Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam


merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama
pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi
dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin
untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

3. Kebocoran Cairan Serebrospinal


Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

9. Penatalaksanaan Cedera Kepala

Menurut Iskandar (2017) pasien dengan trauma kepala apapun harus di

observasi minimal 4 jam walaupun trauma pada kepala tampak minimal. Ada

beberapa tanda khusus penting yang harus di perhatikan, jika pasien mengalami

gejala-gejala ini pasien harus dirujuk untuk dilakukan CT Scan guna memastikan

diagnosa. Tanda-tanda yang perlu di observasi adalah :

1. Penurunan kesadaran lebih dari 10 menit

2. Defisit neurologis fokal

3. Fraktur pada cranium

4. Muntah dan mual yang menetap selama 4 jam setelah trauma

Jika didapatkan pasien dengan kriteria seperti di atas, ada beberapa poin
13

yang bisa dilakukan oleh dokter umum di antaranya :

1. Lakukan head trunk up dengan menaikkan kepala pasien lebih tinggi

sebesar 20 derajat

2. Pasang infus dan lakukan restriksi cairan 2 sampai 2,5 liter untuk orang

dewasa

3. Lakukan observasi ketat dengan pemeriksaan Glasgow Comma Scale

(GCS) selama beberapa saat sekali

4. Pastikan jalan napas terbuka dan berikan oksigenasi yang adekuat

5. Ganti cairan yang hilang dengan cairan koloid dan bukan dengan cairan

kristaloid. Hindari juga cairan yang mengandung dextrose. Cairan yang

hilang dapat dihitung dari perkiraan kehilangan darah yang diakibatkan

oleh trauma

6. Hati-hati dalam pemberian cairan. Hidrasi yang berlebihan dapat

menyebabkan edema otak lebih lanjut


14

Penatalaksanaan CKR, CKS, DAN CKB

PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)

Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13-15)

Riwayat
Nama, umur, jenis kelamin, Tidak sadar segera setelah cedera
ras, pekerjaan Tingkat kewaspadaan
Amnesia : Retrograde, antegrade
Mekanisme cedera Sakit kepala: ringan, sedang, berat
Waktu cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra, servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila memenuhi kriteria


kecurigaan perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS

- CT scan tidak ada - Tidak memenuhi kriteria rawat


- CT scan abnormal - Diskusikan kemungkinan kembali
- Semua cedera tembus ke rumah sakit bila memburuk dan
- Riwayat hilang kesadaran berikan kertas observasi
- Kesadaran menurun - Jadwalkan untuk kontrol ulang
- Nyeri kepala sedang-berat
- Intoksikasi alkohol/obat-obatan
- Fraktur tulang
- Kebocoran likuor: otorea atau
rinorea
- Cedera penyerta yang bermakna
- Tak ada keluarga di rumah
- GCS <15
- Defisit neurologis fokal
15

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi : GCS 9 - 12

Pemeriksaan Inisial

- Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah


pemeriksaan darah sederhana
- Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
- Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah saraf

Setelah dirawat inap

- Lakukan pemeriksaan neurologis periodik


- Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien
memburuk dan bila pasien akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)

- Pulang bila memungkinkan Bila pasien tidak mampu


- Kontrol di poliklinik melakukan perintah sederhana
lagi, segera lakukan pemeriksaan
CT scan ulang dan
penatalaksanaan selanjutnya
sesuai protokol cedera kepala
berat
16

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi: Pasien tidak mampu melakukan perintah


sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksanaan

- ABCDE
- Primary Survey dan resusitasi
- Secondary Survey dan riwayat AMPLE
- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf
- Reevaluasi neurologis: GCS
 Respon buka mata
 Respon motorik
 Respon verbal
 Refleks cahaya pupil

- Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)


 Manitol
 Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
 Antikonvulsan

CT Scan
17

ALOGARITMA CEDERA KEPALA BERAT

CEDERA KEPALA BERAT

GCS 8 atau kurang


Diagnostik
kedaruratan atau
prosedur Evaluasi trauma
terapeutik sesuai ATLS
indikasi
a. Intubasi endotrakeal
b. Resusitasi cairan
c. Ventilasi (PAC02 – 35 mmHg)
d. Oksigenasi
e. Sedasi
f. ± Blokade neuromuscular (kerja
singkat) ±hiperventi
lasi

Ya ±manitol
(1g/kg)
Herniasi?*
Deteriorasi
?*
Tidak Ya
Resolu
CT Scan
si ?

Ya Tidak
Lesi Bedah
?

Tidak Kamar
operasi
Unit perawatan
intensif

Pantau TIK

Obati hipertensi
intrakranial
18

10. Pemeriksaan Penunjang Cedera Kepala (Martono dkk, 2016)

1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)

2. Angiografi serebral

3. Pemeriksaan MRI

4. CT scan: Indikasi muntah-muntah, penurunan GCS lebih dari 1 point,

adanya laterasi dan bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan

lateralisasi tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan

luka tembus benda tajam/peluru.

5. Pemeriksaan diagnostic

a) Laboratorium

1) GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi

dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).

2) Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan

yang memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju

dari metabolisme dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.

b) Pencitraan

1) CT scan diperlukan untuk mengidentifikasi adanya hematoma,

hemoragi, kontusia, fraktur tengkorak, pembengkakan atau

pergeseran jaringan otak.

2) MRI untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak terdeteksi oleh

CT scan.

c) Prosedur Diagnostik

EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.


19

11. Asuhan Keperawatan Teori Cedera Kepala

12.1 Pengkajian

Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala

menurut Yasmoro dkk (2016) “Pengkajian Pola Kesehatan Fungsional” adalah

sebagai berikut :

1) Primary Survey
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita
(diagnostic) sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa.
Kunci utama untuk penanganan pada pasien trauma adalah penanganan
pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119
Training Division, 2012).
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit
setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam
penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi
yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau
trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway
harus melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat
hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi,
hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam
hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral,
chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan
didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan
nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan
dilakukan nasal atau oropharingeal airway. Jika tindakan
20

pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat


dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan
airway definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam
trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut
dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya
oksigen, dan airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan
plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan pada
penemuan-penemuan klinis antara lain :
 Adanya apnea
 Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan
cara-cara yang lain
 Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
 Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway.
Seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang
berkepanjangan
 Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas
(GCS=8)
 Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat
apabila urgensi pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi
nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) hanya
dilakukan padapenderita yang masih bernafas spontan. Prosedur
ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe.
Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur
lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk
intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk
mengatasi didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi
dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan airway surgical.
21

b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu
tindakan ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat
membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertikaran gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara
cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita
dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai
dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada
melalui distensi vena, devasi trakeal,gerakan paradoksal pada dada,
dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat dalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio
paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan
ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan
dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.
c. Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah
yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di
rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan
oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian
maka diperlukan penilaian yang cepat dari status henodinamika
penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai
22

pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang


banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan
tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu
disebabkan oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera
dengan pemberian larutan Ringer Laktat secara intravena harus
memberikan respons yang baik (2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb).
Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di control dengan
penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di evaluasi
dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari
lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada
penanganan pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat
diberikan bahkan sampai dengan pemberian transfuse darah.
Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali tidak
memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan
ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat
dilakuakn transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched
universal donor O negative. Vasopressor tidak boleh diberikan
pada pasien dengan syok hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan
tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4
klasifikasi perdarahan antara lain :
- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ;
gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila
tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada
perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau
frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler dan mekanisme
kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24
jam.
- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%);
gejala-gejala klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih
23

dari 100 pada orang dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan


nadi. Perubahan saraf sentral yang tidak jelas sperti cemas,
ketakutan atau sikap permusuhan, produksi urine hanya sedikit
terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang memrlukan
transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan
kristaloid pada mulanya.
- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume
darah); Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml
untuk orang dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir
selalu menunjukan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat,
termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting
oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik.
Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah
kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah
tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse darah.
Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas
respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse
dan oksigenasi organ yang adekuat.
- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume
darah); Dengan kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita
terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardia yang jelas,
penurunan tekanan darah sistolik yang cukuo besar, dan
tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic yang
tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas
menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini
sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi
pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50%
volume darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran,
kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.
24

Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang


berat. Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan
darah did alam tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok
kelas III. Pemasangan bidai yang baik akan dapat menurunkan
perdarahan secara nyata dengan mengurangi pergerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur. Pada
patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya
dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif
merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi
terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara
sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang
sederhana dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita.
GCS ini dapat dilakukan sebagau pengganti AVPU. Bila belum
dilakukannya reeavaluasi pada primary survey, harus dilakukan
pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan
oksigenasi atau penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma
langsung padaotak. Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya
reevaluasi terhadap oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
e. Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan
deformitas sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling
aman dengan membuka paaian penderita secara keseluruhan. Ini
25

dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan


mengevaluasi keadaan penderitra, mencegah terjadinya
displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny
komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi
jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang
steril dapat digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan
tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut.

2) Secondary Survey
a. Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien gangguan sistem saraf biasanya

akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan

yang didapatkan meliputi kelemahan anggota gerak sebelah

badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, konvulsi, sakit

kepala hebat, tingkat kesadaran menurun (GCS <15), akral

dingin dan ekspresi rasa takut.

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada gangguan neurologis riwayat penyakit sekarang yang

mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat jatuh, keluhan

mendadak lumpuh pada saat pasien sedang melakukan aktivitas,

keluhan pada gastrointestinal seperti mual muntah bahkan

kejang sampai tidak sadar di samping gejala kelumpuhan

separuh badan.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian riwayat penyakit dahulu diarahkan pada penyakit

penyakit yang dialami sebelumnya yang kemungkinan

mempunyai hubungan dengan masalah yang dialami klien


26

sekarang seperti adakah riwayat penggunaan obat obat, tekanan

darah tinggi.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian riwayat penyakit keluarga diarahkan pada penyakit

penyakit yang terjadi pada keluarga pasien secara garis

keturunan maupun yang tinggal serumah yang dapat

mempengaruhi kesehatan pada pasien. Buat genogram untuk

mengetahui alur keturunan jika terdapat faktor penyakit

keturunan.

e. Pola Metabolik

Kaji kesulitan menelan dan adanya mual muntah (yang

berkaitan dengan perdarahan).

f. Pola Eliminasi

Kaji adanya inkontinensia urin atau feses.

g. Pola Aktivitas

Kaji adanya kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiplegi).

h. Pola Persepsi

1) Kaji pasien apabila tidak memahami penjelasan dari apa

yang telah terjadi atau menanggapi pertanyaan.

2) Kaji pasien saat mengeluh pusing, mengantuk, sakit kepala,

leher kaku, dan merasakan nyeri atau sakit di kaki.

3) Kaji pola pikir pasien, emosi labil dan perubahan perilaku.


27

i. Pola Istirahat

Kaji gejala-gejala dari trombosis saat tiduratau saat bangun

tidur.

j. Kardiovaskular

Kaji adanya hipertensi atau hipotensi.

k. Paru-paru

Kaji respirasi pasien apakah terjadi takipnea atau bradhipnea.

l. Neurologis

Kaji adanya kejang, perubahan tingkat kesadaran, kaku kuduk,

gangguan memori, kebingungan, perdarahan retina,

hemiparalise, hemianopia (defisit bidang visual pada satu atau

kedua mata), apraxia (keridakmampuan untuk melakukan

tindakan terarah), afasia reseptif (ketidakmampuan untuk

memahami kata-kata) atau ekspresif (ketidakmampuan untuk

mengucapkan kata-kata), agnosia (ketidakmampuan untuk

mengenali obyek secara detail), disorientasi, ukuran pupil yang

abnormal, disfagia, dan defisit sensorik.

m. Integumen

Kaji Cappilary Refill Time (CRT), turgor kulit dan adanya tanda

sianosis.

2.11.1 Diagnosa, Intervensi, Tujuan, dan Kriteria Hasil

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berehubungan dengan hipersekresi

jalan napas (SDKI “D. 0001 Halaman 18).


28

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan dihharapkan

kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan

napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.

Kriteria Hasil (SLKI “L. 01001 Halaman 18) :

1) Produksi sputum menurun

2) Mengi dan wheezing menurun

3) Dispnea menurun

4) Ortopnea menurun

5) Frekuensi napas membaik

6) Pola napas membaik

Intervensi (SIKI “I. 01011” Halaman 186)

OBSERVASI

1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2) Monitor bunyi napas (misal : gurgling, mengi, wheezing,

ronkhi kering)

3) Monitor adanya sputum

TERAPEUTIK

4) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tild dan chin

lift (jaw thrust jika curiga trauma servikal)

5) Posisikan semi fowler atau fowler

6) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

7) Berikan oksigen jika perlu

EDUKASI

8) Ajarkan teknik batuk efektif


29

9) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak ada

kontraindikasi

KOLABORASI

10) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran, mukolitik,

jika perlu.

2. Resiko respirasi berhubungan dengan penurunan motalitas

gastrointestinal (SDKI “D. 0006 Halaman 28).

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan dihharapkan

mencegah masuknya partikel cair atau padat kedalam

paru-paru

Kriteria Hasil (SLKI “L. 01006 Halaman 133) :

1) Tingkat kesadaran meningkat

2) Kemampuan menelan meningkat

3) Dispnea menurun

4) Kelemahan otot menurun

5) Akumulasi sekret menurun

6) Wheezing dan batuk menurun

7) Penggunaan otot aksesori menurun

8) Sianosis dan gelisah menurun

Intervensi (SIKI “I. 01018” Halaman 273)

OBSERVASI

1) Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah, dan kemampuan

menelan.
30

TERAPEUTIK

2) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tild dan chin

lift (jaw thrust jika curiga trauma servikal).

3) Pertahankan posisi semi fowler 30-45 derajat pada pasien

tidak sadar.

4) Pertahankan pengembangan balon endotracheal tube (ETT).

5) Lakukan penghisapan jalan napas jika produksi sekret

meningkat.

6) Berikan oksigen jika perlu

EDUKASI

7) Ajarkan strategi mencegah aspirasi.

3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif /

perdarahan (SDKI “D. 0023 Halaman 64).

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan dihharapkan kondisi

volume cairan intravaskuler, interstisial, dan atau

intraseluler mencukupi.

Kriteria Hasil (SLKI “L. 03028 Halaman 107) :

1) Kekuatan nadi meningkat

2) Turgor kulit meningkat

3) Output urine meningkat

4) Ortopnea dan dispnea menurun

5) Paroxysmal nocturnal dyspnea menurun

6) Edema anarkasa dan perifer menurun

7) Frekuensi nadi membaik


31

8) Tekanan darah membaik

9) Tekanan nadi membaik

10) Membran mukosa membaik

11) Jugular venous pressure (JVP) membaik

12) Kadar Hb dan Ht membaik

13) Intake cairan membaik

Intervensi (SIKI “I. 03116” Halaman 184)

OBSERVASI

1) Periksa tanda dan gejala hipovolemi (nadi meningkat, nadi

teraba lemah, tekanan darah menurun, turgor kulit menurun,

mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat,

haus, lemah).

2) Monitor intake output cairan.

TERAPEUTIK

3) Hitung kebutuhan cairan

EDUKASI

4) Anjurkan memperbanyak asupan oral.

KOLABORASI

5) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (misal NaCl, RL)

6) Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (misal glukosa

2,5%, NaCl 0,4%)

7) Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)

8) Kolaborasi pemberian produk darah


32

DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill


Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012

Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC


Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:
EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.
Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3November


2007. Pekanbaru : PERDOSI.

Anda mungkin juga menyukai