Anda di halaman 1dari 51

ANALISIS HADITS FIKIH AMALIYAH ANAHDLIYAH DALAM

KITAB

AL MUTATHAFAT LIL AHLIL BIDAYAT

KARYA KH MARZUQI MUSTAMAR SEBAGAI BENTENG


AKIDAH ASWAJA

(STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADITS)

Oleh :

HAKIM BISRI

NIM : 160110127

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA AL AZHAR

(STAIMA) KOTA BANJAR

2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SWT mengakhiri risalah kenabian dengan disyariatkannya

agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai

rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).1 Dengan demikian beliau

menghabiskan seluruh umurnya untuk berdakwah, memberikan pengajaran,

bimbingan, mendialogkan dakwah dan risalah yang beliau emban, memberi

bimbingan pada para sahabat, membawa mereka kepada sesuatu yang

membawa kemaslahatan dan petunjuk serta merasakan suka duka bersama

mereka.

Karena itulah, Nabi Muhammad Saw. merupakan panutan terbaik

yang jejak- jejaknya akan selalu diikuti dalam segala manifestasi kehidupan.

Beliau benar-benar menjadi tauladan yang baik bagi para sahabat yang

berbaur, menyaksikan dan mendengar langsung dari Rasulullah Saw. Para

sahabat mengenal Nabi Muhammad Saw sampai ke masalah yang paling

pelik – yang semua itu merupakan sunnah – dan kemudian mewariskannya

kepada kita dengan penuh keikhlasan dan ketelitian

Sejak masa sahabat, kaum muslimin telah memberikan perhatian

yang sungguh-sungguh terhadap studi Hadis, mereka telah melakukan

penelitian yang akurat terhadap para periwayat berkenaan dengan keadilan

(integritas pribadi) maupun ke-dhabit-an (kapasitas intelektual) mereka.


Dari dua sudut itu pula mereka melakukan tarjih dan ta’dil maupun tautsiq

(menyatakan ke-tsiqah-an) para rawi. Maka sangat bisa dimengerti jika

sampai hari ini sunnah yang kita jalankan adalah sunnah yang benar-benar

otentik dari Nabi Saw.

Di samping itu, nalar manusia yang paling sederhana tak akan

mengingkari bahwa kehadiran agama di muka bumi adalah membawa

sejumlah pesan dan nilai- nilai, demikian halnya dengan agama Islam, ada

sejumlah nilai-nilai dasar (basic values) dan pesan-pesan universal yang

dibawa dan kemudian disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. kepada

umatnya, guna dijadikan sebagai way of life dan weltanchauung dalam

kehidupan sehari-hari

Rasionalisasi sebuah pesan adalah kemestian untuk dimengerti atau

dipahami. Disamping itu, seorang pembawa pesan tentulah bukan agen pasif

dengan kewenangan yang sangat terbatas. Dalam Islam, Nabi Muhammad

Saw. sebagai agen atau pembawa pesan bersifat aktif dan senantiasa terlibat

dengan inti pesan tersebut. Maka wajar, Nabi Muhammad Saw. dan Hadis-

Hadisnya diletakkan sebagai sumber pokok ajaran Islam setelah al-Qur'an

Pada prinsipnya untuk memahami Hadis Nabi haruslah

memperhatikan beberapa petunjuk al-Qur'an dan kondisi sosio-kultural di

masyarakat, Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut

kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya). Ringkasnya, Hadis sebagai salah satu sumber


hukum Islam disamping al-Qur'an, pada hakikatnya juga ditujukan kepada

semua umat manusia. Namun walaupun demikian, fitrah seorang manusia

pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki persamaan juga memiliki

perbedaan. Begitupula dengan figur Nabi Muhammad Saw.

Di satu sisi Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah SWT kepada

umat manusia untuk semua umat manusia sehingga beliau disebut sebagai

Rasulullah, tetapi beliau juga dinyatakan dalam al-qur’an sebagai manusia

biasa. Maka segi- segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi Muhammad

Saw. dan suasana yang melatar-belakangi atau apapun yang menyebabkan

terjadinya Hadis Nabi Muhammad Saw., mempunyai kedudukan penting

dalam memahami dan memaknai Hadis.12

Para ulama sepakat bahwa Hadis bersifat menjelaskan (baya>n al-

tafsi>l) dan juga bersifat menafsirkan (baya>n al-tafsi>r) dari isi-isi

kandungan al-Qur'an.13 Melihat begitu pentingnya posisi Hadis, maka

tidaklah mengherankan begitu kerasnya usaha umat Nabi Muhammad Saw.

dalam mengumpulkan, menghafalkan dan menyebarluaskan Hadis. Hanya

saja problematika Hadis dalam kenyataannya cukup kompleks. Hadis tidak

semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir seperti halnya al-

Qur'an, Hadis sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawa>tir dan

sebagian lagi secara ah}ad.14 Sejarah juga mengungkap bahwa tidak semua

Hadis tertulis di masa Nabi Muhammad Saw., Hadis juga sering dipalsukan

oleh kepentingan-kepentingan mazhab, dihimpun dalam jangka waktu yang

lama dengan metode yang beragam, adanya periwayatan bi al-ma'na>,15 dan


juga dalam kenyataannya sebuah Hadis terkadang dipahami dalam

paradigma yang berbeda di masyarakat.

Berangkat dari kenyataan ini, dinamika keilmuan Islam hari ini

selalu berbicara hadis. "Apakah yang anda bicarakan ada hadisnya?" Jika

ada, maka anda yang memenangkan diskusinya. Jika tidak ada, maka

tuduhan bid'ah dan anggapan menambah-nambahkan harus siap anda

terimanya. Pernahkah anda melihat seseorang -atau segolongan umat

muslim- yang sedikit-sedikit bicara bid'ah karena amaliahnya berbeda

dengan amaliah mereka?

Secara bahasa, kata amaliyah (ٌ‫ ) َع َملِيَّة‬dalam bahasa Arab modern

bermakna proses, atau pekerjaan/tindakan yang sedang berlangsung. Dan di

kalangan militer atau pertempuran, kata amaliyah diartikan operasi. Secara

grammar, kata amaliyah adalah bentuk sifat dari kata amal (pekerjaan,

perbuatan).

Banyak media dan pengamat di Indonesia yang secara keliru

menerjemahkan amaliyah menjadi serangan. Padahal yang tepat adalah

operasi. Sebab kata serangan sendiri bahasa Arabnya adalah hujum (‫)هُجُوْ ٌم‬.

Dalam kehidupan sehari – hari kadang suatu amaliyah yang kita

lakukan banyak yang menanyakan dalilnya. Mereka menuntut kebenaran

amaliyah dengan adanya dalil untuk memperkuat keyakinan mereka

melakukan suatu amaliyah. Ada sebagian umat yang percaya kalau

perbuatan yang tidak di contohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW,


maka tidak boleh dilakukan apalagi mengenai amaliyah ibadah, mereka

menganggapnya suatu bid’ah. Dengan memegang dalil

‫ضالَ لَ ٍة ىِف النَّا ِر‬ ٍ ٍ


َ ‫ُك ُّل بِ ْد َعة‬
َ ‫ضالَ لَة َو ُك ُّل‬

“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Ada yang salah memahami pengertian bid’ah maka harus

diterangkan tentang bid’ah. Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah

segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman

Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-

adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya?

Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek

dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek?

Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

‫اخالََف َها َف ُه َو‬ ِ َ‫اَلْبِ ْدعةُِب ْدعت‬


َ ‫السنَّةَ حَمْ ُم ْو َدةٌ َو َم‬
ُّ ‫ فَ َم َاوافَ َق‬,ٌ‫ حَمْ ُم ْو َدةٌ َو َم ْذ ُم ْو َمة‬: ‫ان‬ َ َ

ٌ‫َم ْذ ُم ْو َمة‬

“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang

sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan

dengan sunnah itulah yang tercela”. Sayyidina Umar Ibnul Khattab,

setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at

yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’abbeliau berkata:


ِ ُ‫ت اْلبِ ْدعة‬
‫هذه‬ ِ ‫نِعم‬
َ َْ

“Sebagus bid’ah itu ialah ini”. Bolehkah kita mengadakan Bid’ah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi

SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

‫ُج ْو ِر ِه ْم َشْيئًا‬ ِ ‫من س َّن ىِف اْ ِالسالَِم سنَّةً حسنَةً َفلَه أَجرها وأَجر من ع ِمل هِب ا ِمن َغ ِ اَ ْن يْن ُق‬
ُ ‫ص م ْن أ‬
َ َ ‫ْ ُ َ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ رْي‬ َ َْ

‫ص ِم ْن أ َْو َزا ِر ِه ْم‬ ِ ‫ِ هِب‬ ِ ِ ِ ِ ‫ىِف‬


َ ‫َو َم ْن َس َّن اْال ْسالَم ُسنَّةً َسيئَةً َف َعلَْيه ِو ْز ُر َه َاو ِو ْز ُر َم ْن َعم َل َا م ْن َغرْيِ اَ ْن َيْن ُق‬

76 :‫ص‬5 :‫ ج‬,‫ القائى‬.‫ َشْيئًا‬.

“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam

Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya

dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa

yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa

dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi

dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Berkembangnya zaman banyak bermunculan faham – faham yang

sering membid’ah bid’ahkan amaliyah yang sudah ada sejak zaman

walisongo yang sudah melekat dengan kebudayaan dan adat istiadat

masyarakat dengan mempertanyakan dalil – dalil amaliyah tersebut,

bahkan ada yang sampai mengkafirkan sesama muslim. Dengan adanya

faham tersebut maka perlu dicarikan dalil untuk melawan faham tersebut.
Banyak buku atau kitab hadist yang memuat hadist – hadist yang

membahas diperbolehkannya amaliyah tersebut, sebagai landasan

melakukan amaliyah seperti ; ziaroh kubur, tahlilan, tujuh bulanan dll.

KH Hasyim Asy'ari, dalam Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul

Ulama, menyampaikan bahwa ada suatu golongan yang dengan sengaja

terjun ke lautan fitnah dan mereka melakukan bid'ah di luar Sunnah

Rasulullah SAW. Walaupun demikian, orang mukmin yang tahu akan

kebenaran, bersikap diam dan tidak bergerak memberantas perbuatan

bid'ah tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian dengan judul, “Analisis Hadist Fikih Amaliyah

Annahdliyah dalam kitab AL Muthofafat Lil Ahlil Bidayat Karya KH.

Marzuki Mustamar Sebagai Benteng Akidah Aswaja”.

B. Fokus Penelitian

Mengingat luasnya cakupan pembahasan,maka peneliti

memberikan fokus masalah sebagai berikut:

1. Pemahaman Terhadap Hadist Fikih.

2. Penguatan Amaliyah yang sudah ada di masyarakat.

C. Rumusan Masalah
Hadist yang berkenaan dengan masalah Amaliyah memang

banyak, tapi supaya penelitian ini sistematik dan terarah maka tulisan ini

penyusun batasi pada Hadis-hadis fikih yang berkenaan dengan

Amaliyah dalam kitab AL Muthofafat Lil Ahlil Bidayat. Adapun pokok

masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini antara lain:

1. Bagaimana Hadit Fikih dalam kitab Almutathofat lil Ahlil

Bidayat?

2. Bagaimana Amaliyah dalam kitab AL Muthofafat Lil Ahlil

Bidayat?

3. Bagaimana upaya menerapkan Hadit Fikih Amaliyah dalam

Kitab AL Muthofafat Lil Ahlil Bidayat Sebagai benteng akidah

Aswaja?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan secara mendalam tentang Hadit Fikih

Amaliyah dalam Kitab Almutathofat Lil Ahlil Bidayat.

2. Untuk mendeskripsikan secara mendalam amaliyah Annahdliyah

dalam kitab AL Muthofafat Lil Ahlil Bidayat.


3. Untuk mendeskripsikan secara mendalam upaya menerapkan Hadit

Fikih Amaliyah Annahdliyah dalam Kitab AL Muthofafat Lil Ahlil

Bidayat

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi nilai guna pada

berbagai pihak, yaitu:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

keilmuan bidang agama Islam, lebih khusus pada dalil amalan –

amalan yang kita lakukan setiap hari.

2. Secara Praktis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini bisa menambah pengetahuan dan wawasan

tentang Hadist – hadist Amaliyah yang berkembang di masyarakat.

b. Bagi Masyarakat

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai

masukan untuk memperkuat amaliyah yang sudah berkembang di

tengah – tengah masyarakat

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk menambah

wawasan dan memberikan pengalaman yang sangat penting untuk

penelitian selanjutnya.
F. Penelitian Terdahulu

Dalam melaksanakan penelitian ini, ada beberapa literature yang

dijadikan penulis sebagai acuandan tinjauan pustaka. Penelitian

terdahulu untuk perbandiangan dan melakukan penelitian mengenai

Hadits Fiqih Amaliyah

1. Didin Wahyudin (2017), IAIN Tulungagung dengan judul

“Pendidikan Aswaja sebagai upaya menangkal Radikalisme”.

Relevansi dalam penelitian ini adalah sama-sama menjelaskan

Hadits Amaliyah.

2. Aslikhah Fardiana (2018), IAIN Ponorogo dengan Judul

“Pelestarian amaliyah Ahlus sunnah wal jama’ah untuk

membentengi warga NU dari faham Radikalisme”.

G. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar, skripsi ini disusun dalam sistematika pembahasan

yang terdiri dari: bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir

Bagian awal, skripsi ini memuat hal-hal yang bersifat formalitas,

tentang halaman judul, halaman pengajuan, halaman persetujuan dan daftar

isi.

Bagian isi, yang merupakan inti dari hasil penelitian yang terdiri dari

lima bab dan masing-masing bab terbagi sub-sub bab.


1. Bab I, berisi pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang, fokus

penelitian, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, penegasan

istilah, dan sistematika pembahasan.

2. Bab II, merupakan kajian pustaka yang terdiri dari: kajian fokus

pertama, kajian fokus kedua, kajian fokus ketiga, penelitian terdahulu

3. Bab III, berisi metode penelitian yang terdiri dari: jenis penelitian,

lokasi penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, teknik pengumpulan

data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian

4. Bab IV, paparan hasil penelitian, terdiri dari: paparan data, temuan

peneliti dan pembahasan

5. Bab V, Penutup, terdiri dari: kesimpulan, saran

Bagian Akhir, terdiri dari: daftar rujukan, lampiran-lampiran, surat

pernyataan keaslian tulisan, dan daftar riwayat hidup.

BAB II

KERANGKA TEORI
A. Hadits

1. Pengertian Hadits

Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu

dari kata “Al-hadits” yang artinya adalah perkataan, percakapan atau

pun berbicara. Jika diartikan dari kata dasarnya, maka pengertian

hadits adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun

percakapan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam terminologi agama

Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan setiap tulisan yang

melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan

tingkah laku Nabi Muhammad SAW.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits merupakan salah

satu panduan yang dipakai oleh umat islam dalam melaksanakan

aktivitas atau pun mengambil tindakan.

2. Jenis – jenis Hadits

Jenis – jenis hadits dapat dikelompokkan berdasarkan

beberapa kategori, yaitu :

a. Berdasarkan Keutuhan Rantai Sanad

Berdasarkan tingkat keutuhan rantai Sanadnya, hadits dapat

digolongkan ke dalam 6 jenis, yaitu :

1) Hadits Mursal – Merupakan hadits yang penutur satunya

tidak dijumpaik secara langsung.


2) Hadits Munqathi’ – Merupakan hadits yang putus pada

salah satu atau pun dua penutur.

3) Hadits Mu’dlal – Merupakan hadits yang terputus pada dua

generasi penutur secara berturut – turut.

4) Hadits Mu’allaq – Merupakan hadits yang terputus

sebanyak 5 penutur, dimulai dari penutur pertama secara

berturut – turut.

5) Hadits Mudallas – Merupakan hadits yang tidak tegas

disampaikan secara langsung kepada penutur.

6) Hadits Musnad – Merupakan hadits yang penuturnya paling

jelas dan tidak terpotong sama sekali.

b. Berdasarkan Jumlah Penutur

Berdasarkan Jumlah penuturnya, hadits dapat dikelompokkan ke

dalam 2 jenis hadits, yaitu :

1) Hadits Mutawatir – Merupakan hadits yang diriwayatkan

oleh sekelompok orang yang sudah sepakat untuk saling

mempercayai.

2) Hadits Ahad – Merupakan hadits yang diriwayatkan oleh

sekelompok orang yang belum mencapai tingkatan

mutawatir. Hadits Ahad sendiri dapat dikelompokkan ke

dalam tida macam hadits yaitu Gharib, Aziz, dan Mansyur.


c. Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits

Berdasarkan tingkat keasliannya, hadits dapat dibagi menjadi 4

macam hadits, yaitu :

1) Hadits Sahih – Merupakan hadits yang sanadnya

bersambung, paling diakui tingkat keasliannya dan paling

banyak diterima oleh kelompok ulamah.

2) Hadits Hasan – Merupakan hadits yang sanadnya

bersambung, namun diriwayatkan oleh rawi yang tidak

sempurna ingatannya.

3) Hadits Dhaif – Merupakan hadits yang sanadnya tidak

bersambung atau pun diriwayatkan oleh rawi yang tidak kuat

ingatannya / tidak adil.

4) Hadits Maudlu’ – Merupakan hadits yang dicurigai palsu atau

pun karangan manusia.

B. Fiqih

1. Pengertian Fiqih

Secara bahasa, fiqih (ُ‫ )الفِ ْق====ه‬berarti fah-mun (‫)فَ ْه ٌم‬, yang

artinya pemahaman mendalam yang memerlukan pengerahan akal

pikiran.

Pengertian ini ditunjukkan oleh beberapa firman Allah ta’ala,

diantaranya :
‫قَوْ لِي‬ ‫*يَ ْفقَ ُهوا‬ ‫َواحْ لُلْ ُع ْق َدةً ِّمن لِّ َسانِي‬

dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya

mereka memahai perkataanku,

(QS. Thaha : 27 – 28)

‫ َكثِيرًا ِّم َّما تَقُو ُل‬ ُ‫نَ ْفقَه‬ ‫َما‬

kami tidak banyak  mengerti tentang apa yang kamu katakan itu

(QS. Hud : 91)

Adapun secara istilah, berikut ini pengertian fiqih menurut para ulama :

1. Al-Utsaimin

ِ ‫ْرفَةُ اأْل َحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة بِأ َ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
‫ص ْيلِيَّ ِة‬ ِ ‫َمع‬

Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-

dalilnya yang terperinci.[ CITATION Muhm7 \l 1033 ]

2. Az-Zarkasyi

ِ ‫ْال ِع ْل ُم بِاأْل َحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة ْال ُم ْكتَ َسبُ ِم ْن أَ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
‫صيلِيَّ ِة‬

Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah yang

digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.[ CITATION AzZ94 \l 1033 ]

3. Imam Al-Haramain
‫هُ َو ْالعلم بِأَحْ َكام أَف َعال ْال ُم َكلّفين ال َّشرْ ِعيَّة دون ْال َع ْقلِيَّة‬

Adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf secara syar’i

bukan secara akal.[ CITATION Abd05 \l 1033 ]

Dari definisi ketiga ulama tersebut dapat kita ambil

kesimpulan sebagai berikut :

 Ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum syar’i

 Pembahasan fiqih hanya yang bersifat amaliyyah, seperti tata cara

sholat, zakat, haji dan semisalnya

 Ilmu fiqih hanya membahas hukum syar’i, tidak membahas

hukum akal dan hukum adat

 Dalam pembahasannya, ilmu fiqih digali dari dalil-dalilnya yang

terperinci

 Ilmu fiqih juga membahas hukum perbuatan mukallaf, seperti

wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram

2. Sumber Ilmu Fiqih

Ilmu fiqih diambil dari empat sumber utama, diantaranya :

a. Al-Quran

Adalah kalam Allah azza wajalla yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui perantara

malaikat Jibril ‘alaihissalam yang membacanya bernilai ibadah.

b. As-Sunnah
Adalah segala sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi

wasallam baik itu ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik,

kepribadian, maupun perjalanan hidup

c. Ijma’

Adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umatnya

Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya

beliau atas perkara syariat

d. Qiyas

Adalah penentuan suatu permasalahan hukum yang tidak ada

pada masa sebelumnya dengan cara membandingkan

permasalahan hukum yang sudah ada nashnya karena adanya

kesamaan illat.

3. Objek Pembahasan Ilmu Fiqih

Sebagaimana yang telah didefinisikan oleh para ulama di atas,

kita mengetahui bahwa objek pembahasan hukum fiqih adalah hukum

perbuatan mukallaf yang bersifat amaliyyah.

Secara umum ilmu fiqih mencakup 2 hal, yakni :

 Fiqih ibadah : yaitu yang membahas tentang hukum-hukum

ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

 Fiqih muamalah : yaitu yang membahas tentang hukum-hukum

interaksi sesama manusia, seperti pernikahan, perceraian,


perdagangan, hutang piutang, tindak pidana, politik dan

sebagainya.

4. Manfaat dan Urgensi Ilmu Fiqih

Diantara manfaat dan urgensi mempelajari ilmu fiqih adalah

 Mengetahui Tata Cara Ibadah yang Benar

Betapa banyak hari ini kita saksikan umat Islam yang

beribadah tanpa dasar ilmu. Akibatnya mereka beribadah hanya

berdasarkan prasangka dan ikut-ikutan orang lain yang belum

tentu benar dalam ibadahnya. Padahal Allah ta’ala melarang

kita untuk mengikuti sesuatu yang kita tidak mengetahui

ilmunya. Allah ta’ala berfirman :

‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم‬ َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬


َ َ‫ْس ل‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya.(QS. Al-Isra’ : 36)

Dengan ilmu fiqih inilah kita bisa mengetahui bagaimana

tata cara ibadah yang benar sesuai dengan apa yang disyariatkan.

 Terhindar dari Ibadah yang Diada-adakan (bid’ah)

Salah satu penyebab munculnya amalan bid’ah adalah

kebodohan. Kebodohan akan ilmu fiqih inilah yang menjadikan

umat Islam membuat ibadah-ibadah baru yang tidak disyariatkan.


Ibadah pada asalnya adalah haram hingga ada dalil yang

memerintahkannya. Oleh karena itulah para ulama menyimpulkan

bahwa tidak diperbolehkan seseorang beribadah sampai datang

dalil yang jelas kepadanya.

Oleh karena itu, mempelajari ilmu fiqih adalah hal yang

sangat penting agar kita terhindar dari ibadah-ibadah yang diada-

adakan

 Tidak Terjatuh Pada Muamalah yang Diharamkan

Memang muamalah pada asalnya adalah hal yang

diperbolehkan hingga ada dalil yang melarangnya. Namun,

betapa banyak saat ini umat Islam justru jatuh pada muamalah

yang tidak diperbolehkan dalam Islam.

Betapa banyak umat Islam yang biasa saja tatkala

melakukan praktik riba. Padahal jelas, bahwa riba adalah

perkara yang diharamkan dalam Islam dan merupakan salah satu

dosa yang sangat besar.

Maka dengan ilmu fiqih kita dapat mengetahui mana

muamalah yang diperbolehkan dan mana yang tidak

diperbolehkan sehingga kita tidak terjatuh dalam perkara yang

diharamkan dalam Islam.

5. Keutamaan dan Anjuran Mempelajari Ilmu Fiqih

Ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat mulia. Sebagai umat Islam

kita dianjurkan untuk bertafaqquh (memahamkan diri) terhadap ilmu


fiqih. Karena dengan ilmu inilah kita bisa beribadah dengan benar

sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa

termasuk pertanda seseorang dikehendaki baik oleh Allah adalah

tatkala orang tersebut dapat memahami agamanya dengan benar.

Beliau bersabda :

‫َم ْن ي ُِر ِد هَّللا ُ بِ ِه َخ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِي الدِّي ِن‬

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan berikan ia

pemahaman di dalam agama.

(HR. Bukhari : 71)

Syaikh Shalih Al-Fauzan juga mengatakan :

‫ص ُل بِ ِه ْال ِع ْل ُم النَافِ ُع الَّ ِذيْ يَقُوْ ُم َعلَ ْي ِه ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح‬


ِ ْ‫أِل َ َّن التَفَقُّهَ فِي ال ِّد ْي ِن يَح‬

Karena dengan berusaha memahami agama maka seseorang akan memperoleh

ilmu yang bermanfaat yang dengannya ia dapat beramal shalih.[ CITATION Sha \l

1033 ]

Oleh karena itulah kita sebagai seorang muslim dianjurkan untuk

memperdalam pemahaman agama kita. Dalil yang menunjukkan

dianjurkannya memperdalam pemahaman agama adalah firman

Allah ta’ala :
‫ َولِيُن ِذرُوا قَوْ َمهُ ْم إِ َذا‬ ‫لِّيَتَفَقَّ ُهوا فِي الدِّي ِن‬ ٌ‫فَلَوْ اَل نَفَ َر ِمن ُك ِّل فِرْ قَ ٍة ِّم ْنهُ ْم طَائِفَة‬  ًۚ‫َو َما َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لِيَنفِرُوا َكافَّة‬

َ‫َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُون‬

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang  untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
(QS. At-Taubah : 122)
C. Amaliyah Annahdliyah

1. Pengertian Amaliyah Annahdliyah

Amaliyah adalah sebuah tradisi yang di jadikan kebiasaan

kemudian dilaksanakan secara berturut – turut oleh suatu kelompok

atau golongan, dan menjadi ciri khas dari kelompok atau golongan

tersebut.Amaliyah Nahdliyah adalah amal perbuatan lahir, baik yang

berhubungan dengan Ibadah, Mu‟amalah maupun Akhlaq; yang biasa

38 dilakukan oleh kaum Nahdliyin, bisa jadi secara formal warga

Jam‟iyyah Nahdlatul Ulama atau bukan.[ CITATION Muh14 \l 1033 ]

Warga Nahdliyin adalah sebutan bagi warga atau masyarakat

yang berfaham ke NU an dan mengamalkan apa yang menjadi

amaliyah dari organisasi masyarakat yaitu Nahdlatul Ulama. Warga

Nahdliyin menggunakan prinsip utama NU yaitu Islam ahlussunnah

wal jamaah. Sedangkan formulasi Khittah NU, mabadi‟ khoiru

ummah dan beberapa qaidah fiqhiyyah di atas merupakan tafsir atas

prinsip utama yang di harapkan mampu mewujudkan dalam


kepribadian dan perilaku – perilaku warga Nahdliyin yang

berkarakter.[ CITATION Ace90 \l 1033 ]

2. Macam – Macam Amaliyah

Secara syara‟ amal perbuatan dalam Islam di bagi menjadi

tiga, yaitu :

a. Amal Jariyah, yaitu amal perbuatan yang sifatnya berkelanjutan

dalam penerapanya.

b. Amal Ibadah, yaitu amal perbuatan yang berupa pengabdian

terhadap Alloh swt.

c. Amal Shaleh, yaitu meliputi semua perbuatan, lahir maupun

batin, yang berakibat pada hal positif atau bermanfaat. Amal

saleh bisa mencakup pengertian amal jariah dan amal ibadah.

[ CITATION Muh14 \l 1033 ]

Sebelumnya telah dijelaskan di atas tentang pengertian dari

amaliyah, khususnya tentang amaliyah Nahdlatul Ulama, maka

penulis akan membahas tentang macam – macam dari amaliyah yaitu

amaliyah nahdliyah (amaliyah warga nahdliyin).

Secara garis besar, amaliyah nahdliyah dibedakan menjadi

dua jenis, yaitu;

a. Ushul

1) Beraqidah Islamiyah yang meyakini bahwa :

a) Rukun Iman ada 6.


b) Allah adalah Maha Esa.

c) Allah mempunyai sifat wajib sebanyak 20, sifat mukhal

20 dan sifat jaiz1.

d) Allah mempunyai asma‟ berjumlah 99 yang dikenal

dengan sebutan asma‟ul husna.

2) Beribadah dengan baik yang dibangun atas Rukun Islam yang

5, yaitu : Mengucapkan dua kalimah syahadat, menunaikan

shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan ramadlan, serta

naik haji ke Baitullah bagi yang mampu.

3) Membangun sendi–sendi aqidah dan melakukan ibadah

dengan benar serta sebaik –baiknya, seolah–olah setiap saat

melihat Allah atau sekurang–kurangnya selalu merasa

diawasi oleh Allah swt.

b. Furu

‟ Hal yang menyangkut tentang furu‟ ini bagi NU sangatlah

banyak, yang meliputi amalan–amalan wajib, sunnah, mustahab

serta hal–hal yang berhubungan dengan “Fadlail”, semisal :

1) Membaca do‟a qunut dalam shalat shubuh, dan dalam shalat

witir pada paruh akhir bulan ramadlan.

2) Berbakti kepada orang tua serta menghormati orang shaleh,

tidak terbatas ketika mereka masih hidup di dunia.

3) Mendo‟akan orang yang sudah meninggal dunia.

4) Berjama‟ah dalam dzikir dan berdo‟a.


5) Melakukan Tawasshul (media) dan Tabarruk (mencari

keberkahan).

c. Tujuan Amaliyah

Amaliyah merupakan kegiatan yang menjadi adat kebiasaan

dari suatu individu maupun kelompok, yang secara terus –

menerus di laksanakan di tempat dan dalam waktu tertentu.

“Tujuan adanya amaliyah nahdliyin yaitu untuk menjadi

pembeda antara suatu kelompok atau golongan, amaliyah juga di

gunakan untuk menjaga adat istiadat yang dilaksanakan oleh

suatu kelompok atau golongan, dan adanya amaliyah juga

sebagai identitas yang mencirikan suatu kelompok atau

golongan.”

D. Aswaja

1. Pengertian Aswaja

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah disingkat menjadi “Aswaja”

karena satu golongan yang dijamin masuk surga oleh Nabi, maka

sangat wajar kalau setiap orang atau golongan mengklaim diri dan

kelompoknya bahwa mereka termasuk golongan Ahl al-Sunnah wa

alJamā’ah.[ CITATION ABu10 \l 1033 ]Yang dimaksud dengan 72

golongan dan siapa pula Ahl alSunnah wa al-Jamā’ah (Aswaja),

dalam kitab “Bughyatu alMustarsyidīn” dijelaskan bahwa 72

golongan itu ialah:


1. Kaum Syiah, adalah kaum yang terlalu melebihkan dan memuja

Sayyidina Ali Ra. Mereka tidak mengakui khalifah Abu Bakar,

Umar dan Usman Radiallahu anhum. Kelompok syiah ini pecah

menjadi 22 golongan.

2. Khawarij, yaitu kaum yang sangat benci kepada khalifah

Sayyidina Ali bahkan ada yang mengkafirkannya. Golongan ini

beranggapan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir.

Kaum khawarij ini pecah menjadi 20 aliran.

3. Kaum Mu’tazilah, yaitu golongan yang berpaham bahwa Allah

tidak memiliki sifat, manusia ditentukan engan pekerjaannya

sendiri, tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala di surga.

Orang yang melakukan dosa besar diletakkan diantara dua tempat

(manzilatain), tidak di surga dan tidak pula di neraka. Isra’ Mi’raj

terjadi hanya ruhnya saja. Kaum Mu’tazilah pecah menjadi 20

golongan aliran.

4. Kaum Murjiah , golongan yang berpendapat bahwa orang yang

berbuat maksiat tidak dapat memberi manfaat kalau sudah

beriman. Sebaliknya kebajikan tidak akan memberi manfaat kalau

dirinya kafir. Kelompok ini pecah menjadi 5 golongan.

5. Kaum Najariah, yaitu golongan yang memfatwakan bahwa

perbuatan manusia adalah makhluk. Tuhan tidak mempunyai

sifat. Kaum ini pecah menjadi 3 golongan.


6. Kaum Jabariah, kaum yang memfatwakan bahwa manusia

majbur, artinya tidak berdaya sedikitpun. Kasab dan ikhtiar

manusia tidak ada. Golongan ini tidak ada perpecahan. Hanya

satu aliran.

7. Kaum Musyabbibah, yaitu golongan yang beranggapan bahwa

tuhan serupa dengan manusia, misalnya Allah mempunyai tangan

seperti manusia, duduk dikursi, dan sebagainya. Golongan ini

hanya satu aliran saja.

Dari tujuh golongan tersebut dengan perpecahan yang ada di

dalamnya semua dapat dijumlah menjadi 72 golongan, seperti yang

diungkapkan Rasulullah dalam hadits terdahulu. Dan ditambah satu

yakni kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Dengan demikian

sempurnalah bilangan 73 umat Nabi Muhammad yang terpecah belah

tersebut. Yang terakhir inilah dijamin masuk surga oleh Rasulullah

Saw. Rasulullah Saw bersabda yang digolongkan Ahl al-Sunnah wa

al-Jamā’ah adalah: “Sesungguhnya bani Israil pecah menjadi 72

aliran, dan umatku akan berpecah menjadi 73 aliran. Semuanya

masuk neraka kecuali satu aliran.” Para sahabat bertanya, “Siapakah

satu aliran itu ya Rasulallah?” beliau menjawab, “Golongan yang satu

adalah orangorang yang berpegang pada semua perbuatan yang telah

aku lakukan, serta perbuatan yang dikerjakan oleh sahabatku”. (HR.

Turmudzi dan Baihaqi).[ CITATION Muh04 \l 1033 ]


Menurut hadits ini, Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah (Aswaja)

ialah golongan orang yang berpegang teguh kepada perbuatan

sahabatnya. KH. Ahmad Shiddiq mengatakan : pada hakikatnya Ahl

al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah ajaran islam yang murni

sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw

bersama para sahabatnya. Kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah

sering juga disebut sunni. Kaumnya disebut sunniyun atau asy’ariyah

dikatkan dengan pendirinya bernama imam Abu Hasan Ali

AlAsy’ari. Golongan ini muncul pada abad ke 3 hijriah.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah menurut bahasa dengan makna

perkata adalah terdiri dari kata; Ahl berarti keluarga, golongan, atau

pengikut. al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh

Rasulullah Saw. Sedangkan kata al-Jamā’ah berarti sesuatu yang

telah disepakati oleh Rasulullah dan para sahabat beliau pada masa

khulafā al-rāsyidīn (Abu Bakar al-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra,

Usman bin Afan ra, danAli bin Abi Thalib ra).

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah merupakan akumulasi

pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh

para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman

tertentu yang dipahami dari berbagai statemen fi’liyah, qauliyah, dan

restu Rasulullah Saw, baik tersirat maupun tersurat serta praktek para

sahabat Nabi Saw. Karenanya proses terbentuknya Ahl al-Sunnah wa

al-Jamā’ah sebagai suatu paham (setelah kurun ketiga) memerlukan


jangka waktu. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam

berbagai bidang, ilmu tauhid, fiqh, dan tasawuf terbentuk tidak dalam

satu masa, tetapi muncul bertahap dalam waktu yang berbeda.

Sebagaimana diterangkan diatas Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah terdiri

dari tiga kata, Ahl, al-Sunnah, dan al-Jamā’ah. Ketiganya merupakan

satu kesatuan bukan sesuatu yang terpisah. [ CITATION Ibi \l 1033 ]

Penjelasannya sebagai berikut:

1. Ahl, mengandung beberapa makna. Diantaranya bermakna

keluarga, kerabat, dan penduduk yang memeluk aliran atau

pengikut suatu mazhab. Dalam al-Qur’an ada tiga makna Ahl,

yaitu:

a. Ahl, berarti keluarga sebagaimana termaktub dalam al-

Qur’an:

َ َ‫َو َنادَ ٰى ُنو ٌح رَّ َّبهُۥ َف َقا َل َربِّ إِنَّ ٱ ْبنِى مِنْ أَهْ لِى َوإِنَّ َوعْ دَ َك ْٱل َح ُّق َوأ‬
‫نت‬

َ ‫أَحْ َك ُم ْٱل ٰ َح ِكم‬


‫ِين‬

Artinya :

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya


Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau
adalah Hakim yang seadil-adilnya". (QS. HUD :45)

Demikian pula dalam ayat lain:

َ 2ۗ ُ‫ك ِر ْز ًق ۗا َنحْ نُ َنرْ ُزق‬


‫ك َو ْال َعاقِ َب ُة‬ َ َ‫َو ْأمُرْ اَهْ ل‬
َ ُ‫ل‬2ََٔ‫ اَل َنسْ ٔـ‬ ‫ك ِبالص َّٰلو ِة َواصْ َط ِبرْ َعلَ ْي َه ۗا‬
‫لِل َّت ْق ٰوى‬
Artinya :
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
(QS. Thaha: 132).
2. Al Sunnah

a. Al-Sunnah adalah wahyu Allah (bukan al-Qur’an) atau suatu

perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw selain al-Qur’an.

b. Al-Sunnah berarti perkara yang diperbuat oleh Nabi Saw

yang diucapkan dan ditetapkannya. Ini mengandung semua

yang dibawa oleh Nabi secara umum.

c. Al-Sunnah ialah setiap perintah yang bukan wajib apabila

dilaksanakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak

dilaksanakan tidak mendapat apa-apa. Ini juga disebut

mandub.

3. Al- Jamā’ah a.

a. Al- Jamā’ah adalah orang atau kelompok yang berpegang

pada sunnahku dan sunnah sahabat-sahabatku.

b. Al- Jamā’ah ialah kumpulan terbesar (al-Sawadu al-azham).

Menurut pengertian istilah yang dimaksud dengan Ahl

alSunnah wa al-Jamā’ah (Aswaja) ialah orang-orang yang

selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad Saw dan

amal perbuatan para sahabatnya dalam masalah akidah

keagamaan, amal-amal lahiriah serta akhlak hati.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah bukanlah suatu paham yang baru

bangkit sebagai reaksi dari munculnya beberapa aliran yang menyimpang

dari ajaran Rasulullah Saw yang murni. Seperti Syiah, Khawarij,


Mu’tazilah, dan sebagainya. Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah sudah ada

sebelum ajaran-ajaran yang menyimpang tersebut muncul. Aliran-aliran

itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian al-Sunnah wa al-

Jamā’ah. Setelah gangguan itu membadai dan berkecamuk dirasakan,

maka perlunya predikat Ahl alSunnah wa al-Jamā’ah dipopulerkan oleh

kaum muslimin yang tetap setia menegakkan al-Sunnah wa al-Jamā’ah,

mempertahankannya dari segala macam gangguan yang ditimbulkan oleh

aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak seluruh pemeluk Islam

untuk kembali kepada al-Sunnah wa al-Jamā’ah .

Sebagai kenyataan, perkembangan Ahl al-Sunnah wa alJamā’ah

terdapat dua versi, secara umum dan khusus. Secara umum

keberadaannya sebagai perlawanan terhadap golongan Syiah secara

keseluruhan kecuali kelompok syiah al-Rafidah (syiah yang tidak

mengikuti ajaran imam Zaid bin Ali). Sedangkan Aswaja secara khusus

keberadaannya dihajatkan untuk melawan bid’ah dan Ahl al-Ahwa’

(kaum yang menurutkan hawa nafsu).

Menurut Muhammad bin Husain bin Hasan, sunnah disini

diartikan jalan yang lurus dalam agama. yaitu apa yang terjadi pada diri

Rasululah Saw, khulafā al-rāsyidīn, baik perkataan dengan i’tikad,

perbuatan-perbuatan maupun perkataan-perkataan mereka. Sedangkan

Jamā’ah adalah perkumpulan yang merupakan kebalikan dari

perpecahan. Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ialah sekelompok pengikut

sunnah dengan berpegang teguh pada sunah, petunjuk Nabi Saw,


mengikuti jejak, dan thariqatnya daik dalam i’tikad, perkataan maupun

perbuatan.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah kelompok orang yang

mewajibkan dirinya bersepakat dan bersekutu dengan kebenaran serta

memiliki komitmen yang sama dalam hal jihad, sunah, maupun kesetiaan

mengikuti langkah Nabi dan sahabatnya. Mereka tidak berbuat bid’ah,

menuruti hawa nafsu dan perpecahan.

Adapun sebagian ciri-ciri Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah (Aswaja)

dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Sangat fanatik terhadap Rasulullah Saw. Senantiasa mengajarkan

hadis dan perbuatan Nabi kepada orang lain. Selalu memuliakan dan

mengagungkan Nabi, sebab Nabilah yang mampu membedakan

antara yang hak dan batil.

2. Menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai iman, rujukan atas

persoalan agama. Adapun yang terjadi pada dirinya baik berupa

pandangan, gerak hati, maupun pikirannya selalu dikembalikan

kepada Allah manakala semua pandangan akalnya terdapat

kesesuaian dengan al-qur’an dan sunnah. Sebaliknya bila terjadi

pertentangan, mereka tetap memenangkan keduanya. Karena yakin

bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah selalu berada dalam kebenaran

hakiki, sedangkan pandangan manusia kadang-kadang benar kadang

salah.
3. Berpegang teguh atas kebenaran sunah Nabi, tidak kepada ungkapan-

ungkapan lain diluar sunnah. Semua pendapat dan pandangannya

dinisbatkan kepada al-Qur’an dan hadis, berbeda dengan ahli bid’ah

yang mendasarkan pendapatnya dengan pendapat orang lain. Bahkan

terkadang berdasarkan sebuah ungkapan atau makalah saja.

4. Keberadaan mereka meskipun berbeda negara, zaman, dan tempat

tinggal, tetap satu tulisan atau hasil karangannya mulai dari awal

sampai akhir, apakah itu berhubungan dengan i’tikad, keyakinan, atau

yang lain. Tidak terlihat perbedaan dan perpecahan antara sesama

sunni. Mereka selalu mendasarkan pendapatnya kepada ulama salaf

al-shalih berdasarkan firman allah berikut ini:

‫يرً ا‬22‫ٱخ ِت ٰلَ ًفا َك ِث‬ ۟ ‫ ُد‬22‫ر ٱهَّلل ِ لَ َو َج‬22ْ‫ ِد َغي‬22‫ان مِنْ عِ ن‬22
ْ ‫ ِه‬22‫وا فِي‬ ِ ْ َ‫ان ۚ َول‬
َ ‫و َك‬22 َ ‫دَ َّبر‬22‫أَ َفاَل َي َت‬
َ ‫رْ َء‬22ُ‫ُون ْٱلق‬

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau

kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat

pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. Al-Nisa’:82).

5. Mereka selalu berada ditengah manakala terjadi perselisihan atau

perpecahan, sebagaimana islam berada ditengah-tengah diantara

berbagai agama.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah terdiri dari tiga kata yang masing-

masing memiliki pengertian sendiri-sendiri. Adapun penjabarannya

sebagai berikut:

Ahl adalah kata Arab yang makna asalnya adalah keluarga. Kata

ini kemudian mengalami perluasan makna ketika dipakai untuk menunjuk


keluarga atau kumpulan yang lebih besar, seperti bani, kelompok,

organisasi, maupun golongan. Makna terapan semacam ini akhirnya kata

ahl bisa diartikan juga golongan, kelompok, aliran, pengikut, dan

madzhab. Ahl adalah qabilah yang mempunyai kerabat. Dalam hal ini

orang yang berpegangan pada Ahl al-madhab.

Al-Sunnah memiliki beberapa makna menurut al-Sayyed Murtadza

al-Zubaidi yaitu jalan menuju Allah atau amalan Rasulullah, ketika lafad

sunnah dinisbatkan dengan syara’ mempunyai beberapa makna.

Diantaranya adalah perjalanan sejarah kehidupan Rasulullah. Apa yang

dilakukan Rasulullah atau yang ditempuh oleh Nabi Saw, baik dalam

bentuk ucapan Nabi, perbuatan Nabi, dan taqrir (ketetapan Nabi). Dalam

istilah fiqh yaitu suatu perbuatan dikerjakan apat pahala, jika ditinggal

tidak apa-apa. Dalam istilah ushul fiqh yaitu sesuatu yang dinukil dari

Nabi Saw secara khusus yang bukan nash al-Qur’an. Diantara ulama yang

mengartikan demikian adalah al-Syatibi dalam al-Muwāfaqat. Para ulama

tauhid dan ilmu kalam khususnya yang menguasai sejarah Islam

mengartikan al-Sunnah sebagai kelompok yang bukan ahli bid’ah.

Al-Jamā’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai kesamaan

arti dengan kata al-Ijtima’. Sedangkan makna aslinya adalah perkumpulan

atau persatuan tiga orang atau lebih. Menurut istilah syara’ mempunyai

beberapa makna diantaranya menghubungkan antara salat imam dengan

salat makmum, atau perkumpulan manusia untuk mengangkat pemimpin

yang dibai’at oleh Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (ulama dan pemimpin).


Menurut K.H Hasyim Asy’ari, Ahl al-Sunnah wa alJamā’ah adalah

ulama dalam bidang tafsir al-Qur’an, sunnah rasul, dan fiqh yang tunduk

pada tradisi Rasul dan khulafā alrāsyidīn. Beliau menyatakan sampai

sekarang ulama tersebut termasuk mereka yang mengikuti madzhab

Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Doktrin ini diterapkan dalam NU

yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, dan penyebar faham Ahl

alSunnah wa al-Jamā’ah. NU menerima doktrin ini dengan sepenuh hati

karena sesuai dengan tujuan-tujuan NU, khususnya yang berkaitan dengan

membangun hubungan ulama Indonesia yaitu mengikuti salah satu empat

madzhab Sunni dan menjaga kurikulum pesantren agar sesuai dengan

prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa alJamā’ah yang berarti mengikuti ajaran

Nabi Muhammad dan kesepakatan ulama.

Sebagian berpendapat bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah

merupakan istilah yang muncul pasca kenabian. Sekalipum kata “Sunnah”

dan “Jama’ah” sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan Arab, namun

tampaknya hal tersebut bukan sebagai sebuah mazhab keyakinan.

Misalnya terlihat dalam surat-surat al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq

ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari lahir, tercantum

kutipan kalimat “Wa nasabu anfusahum ila alSunnah” (mereka

mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat “Ahlul haq wad din wa

al- Jamā’ah” (ahli kebenaran, agama, dan jama’ah).

Said Aqil Siradj menyebutkan bahwa Ahl al-Sunnah wa alJamā’ah

tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad Saw maupun masa pemerintahan


khulafā’ al-rāsyidīn, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani

Umayyah. Menurutnya terma Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah merupakan

diksi baru atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya

dimasa Nabi dan pada periode sahabat.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam dinamika keagamaan

Nusantara dan terutama di pulau Jawa, merujuk pada praktek keagamaan

muslim yang memegang teguh pada salah satu madzhab populer (Maliki,

Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali). Catatan penting lainnya adalah bahwa Ahl

al-Sunnah wa al-Jamā’ah juga merujuk kepada seseorang, kelompok,

organisasi, atau gerakan yang begitu afirmatif terhadap budaya setempat.

Dalam konteks Nusantara dan terutama Jawa, misalnya berbagai artikulasi

kebudayaan yang sebelumnya tumbuh dan berkembang tetap

dipertahankan oleh Ahl alSunnah wa al-Jamā’ah. Bahkan tradisi

keagamaan yang datang dari luar dirinya, Syī’ah misalnya juga diadopsi

dan diafarmasi menjadi bagian dari artikulasi keagamaan di kalangan

komunitas Ahl alSunnah wa al-Jamā’ah.

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah ajaran Islam yang murni

sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw dan diamalkan oleh beliau

bersama para sahabatnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa karakter

Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah serambutpun tidak bergeser dari karakter

agama Islam sendiri. Karakter Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah

karakter agama Islam sendiri.


Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur’an dalam

menggambarkan karakter agama Islam, yaitu: al-tawassuth yang berarti

pertengahan, al-I’tidal artinya tegak lurus, tidak condong ke kanan-kann

dan tidak condong ke kiri-kiri, dan al-tawāzun mempunyai arti

keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau

kekurangan suatu unsur yang lain.

Manifestasi prinsip dan karakter al-tawassuth ini tampak pada

segala bidang ajaran agama Islam yang harus dipertahankan, dipelihara,

dan dikembangkan sebaik-baiknya. Terutama oleh kaum Ahl al-Sunnah

wa al-Jamā’ah, pengikut al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Diantaranya:

1. Bidang Aqidah

Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli dengan dalil naqli,

tidak tergesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur, atas mereka karena

satu dan hal yang belum dapat memurnikan tauhuid.

2. Bidang Syari’ah

Berpegang pada al-Qur’an dan al-Hadis dengan menggunakan

metode dan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan. Pada masalah

yang dhanniyat dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama

masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.

3. Bidang Akhlak

Tidak mencegah bahkan menganjurkan usaha memperdalam

penghayatan ajaran Islam dengan riyadhlah dan mujadalah menurut

Kaifiyah yang tidak bertentangan dengan prinsip hukum dan ajaran


Islam, mencegah ekstrim dan dan sikap menjerumuskan orang kepada

penyelewengan akidah dan syari’ah.

4. Bidang Pergaulan antar Golongan

Saling mengerti dan menghormati, serta permusuhan terhadap

suatu golongan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata

memusuhi agama Islam dan umat Islam.

5. Bidang Kehidupan Bernegara dan Berdakwah

Pemerintah yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang

terhormat dan ditaati selama tidak menyeleweng, juga negara Nasional

wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya. Berdakwah

dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, keterangan yang jelas, dan

mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan yang lebih

baik terutama ajaran agama

E. Kitab Al Mutathafat Lil Ahlil Bidayat

Kitab Al-Muqtathofat li Ahlil Bidayat, karya Ketua Pengurus

Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar,

memberikan pedoman bagi masyarakat jika suatu ketika ada pihak-pihak

yang tidak suka dengan tradisi yang selama ini dilanggengkan oleh Islam

Indonesia; melalui para wali dan ulama terdahulu.

Ya, tradisi itu adalah tahlilan, ziarah kubur, istighotsah, diba atau

maulidan, dan lain sebagainya yang jelas sudah sangat mendarah daging

di tengah masyarakat. Namun saat ditanyakan terkait dalil atau


argumentasi keagamaan yang menguatkan tradisi tersebut, sebagian

masyarakat awam tidak tahu.

Parahnya kemudian kaum salafi wahabi sangat memiliki

kesempatan dan banyak senjata untuk menyerang serta mengkafir-

kafirkan banyak orang.

Semestinya, memang kita sebagai warga NU tidak perlu

menanggapi mereka yang tidak suka dengan tradisi Islam yang demikian.

Akan tetapi jika mereka mempertanyakan, menyerang, apalagi sampai

mengkafirkan, maka kita juga perlu menyiapkan jawaban.

Kitab karya seorang yang pernah menjadi Ketua PCNU Kota

Malang ini tidak lain untuk menyelamatkan masyarakat yang kerap

mendapat tudingan sesat, sekaligus menyadarkan pihak-pihak tertentu

agar tidak mudah mengkafirkan orang lain.

Sebab, semua tradisi keagamaan yang dijalankan masyarakat

pasti ada dasarnya. Terlebih Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang

memiliki banyak referensi keagamaan dari ulama-ulama klasik yang

dapat dijadikan sebagai pedoman dan pelindung.

Pada mulanya, kitab ini dikaji secara rutin dan bergilir di

beberapa masjid di Kota Malang. Setelah Kiai Marzuki dipercaya

menjadi Ketua PWNU Jawa Timur, ia keliling pula se-Jatim hanya untuk

mengkaji kitab tersebut.


Kini sudah berjalan sekian bulan, dirinya rutin keliling ke luar

dari daerah kepemimpinannya untuk memberikan kajian kitab Al-

Muqtathofat li Ahlil Bidayat.

Pengasuh Pondok Pesantren Sabulur Rosyad, Malang ini juga

berharap bahwa hadirnya kitab ini dapat memberikan informasi

mengenai keabsahan tradisi ubudiyah masyarakat secara syar'i.

Artinya, dengan kata lain, kitab ini memupuk kepercayaan

masyarakat muslim Indonesia secara umum. Terkhusus, bagi kalangan

Nahdliyin. Bahwa tradisi ritual ubudiyah, seperti tahlilan, haul, upacara

kelahiran, empat dan tujuh bulan kandungan, peringatan Maulid Nabi,

doa qunut, dan lainnya, tidak melenceng dari akidah dan termasuk bagian

sunnah Nabi Muhammad SAW.

BAB III

METODOLOGI PENETILIAN

A. Metodologi Penelitian
Metode Penelitian merupakan suatu proses atau cara yang dipilih

secara Spesifik untuk menyelesaikan masalah yang diajukan dalam sebuah

riset

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitioan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

termasuk jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Metode kualitatif menjadi titik-tolak penelitian kualitatif, yang

menekankan kualitas (ciri-ciri data yang alami) sesuai dengan

pemahaman deskriptif dan alamiyah itu sendiri. Hal itu disebabkan

oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang

dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah

diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pendekatan kualitatif.[ CITATION HMD00 \l 1057 ] Alasan menggunakan

pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran mendalam mengenai objek penelitian yaitu

mengenai Hadits Fiqih Amaliyah Annahdliyah yang terdapat dalam

Kitab AL Mutathofat Lil Ahlil Bidayat Karya KH. Marzuqi Mustamar.

Hasil studi ini dianalisis dengan menggunakan metode content

analysis, sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena

itu peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.

Penelitian ini didesain dalam bentuk penelitian kepustakaan (Library


research) menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber

data penelitian. Penelitian ini adalah telaah yang berkaitan kepada

pemikiran seorang tokoh dalam waktu tertentu, maka secara

metodologis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isi

(perpustakaan).[ CITATION Nyo10 \l 1057 ] Maksudnya adalah penelitian

berhubungan erat dengan pemikiran yang dituangkan dalam karya atau

buku (isi); yaitu penelitian berbicara tentang bahaya memutus tali

Silaturrahmi kemudian dihubungkan dengan keadaan atau kondisi

suatu keadaan. Karena penelitian ini berhubungan dengan Hubungan

antar sesama yaitu silaturrahmi, maka pendekatan yang digunakan

selain kualitatif juga dengan pendekatan ekspresif (berhubungan

dengan pengarang), pendekatan objektif (berhubungan dengan teks),

pendekatan mimetik (berhubungan dengan kesemestaan) Penelitian ini

juga menggunakan pendekatan teknik deskriptif, yaitu suatu bentuk

penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena

yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.

Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan,

hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu

dengan fenomena lainnya.[ CITATION Nan06 \l 1057 ] Pendekatan

deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan

menginterpretasikan sesuatu pendapat yang berkembang. Furchan

menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang

dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat


penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan

yang diberikan atau dikendalikan. Pendekatan lebih diskriftif akan

menjadi lebih jelas bilamana dilihat dari pandangan para pakar

mengenai metode tersebut, diantaranya: [ CITATION Ari04 \l 1057 ]

1. Menurut Whitney metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan

interprefasi yang tepat.

2. Menurut Moh.Nazir menerangkan bahwa penelitian deskriptif

mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara

yang berlaku di masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk

tentang hubungan kegiatan-kegiatan, skiap-sikap, pandangan-

pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan

pengaruh dari suatu fenomena.

3. Menurut Mely. G. Tan yang mengemukakan bahwa penelitian yang

bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat suatu

sifat- sifat individu, keadan, gejala atau kelompok-kelompok

tertentu dalam suatau masyrakat.

Prosess pendekatan penelitian deskriftif dapat diikhtisarkan

dalam langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pernyataan masalah. Seperti halnya penelitian pustaka (Library

Reseach), peneliti harus memulai penyelidikannya dengan

pernyataan masalah yang jelas.

2. Identifikasi informasi yang di perlukan untuk memecahkan

masalah.
3. Pemilihan atau pengembangan pengumpulan data.

4. Identifikasi – sasaran dan penentuan prosedur dari data prier

dan sekunder yang di pelukan.

5. Rancangan prosedur pengumpulan data.

6. Pengumpulan data.

7. Analisis data

8. Pembuatan laporan.

3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis isi kitab AL

Mutathafat Lil Ahli Bidayat karya dari KH. Marzuqi Mustamar. Hal-

hal yang diasumsikan dapat menjadi objek penelitian dalam kitab AL

Mutathafat Lil Ahli Bidayat karya dari KH. Marzuqi Mustamar adalah

pesan dari ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits – Hadits Nabi

Muhammad saw. Tentang Hadits-Hadits Fiqih Amaliyah Annahdliyah,

agar kita tidak ragu dalam melaksanakan segala bentuk Amaliyah.

4. Waktu Penelitian

Penelitian Ini dilaksanakan selama 3 Bulan, mulai dari bulan Mei

sampai dengan bulan Juli 2020.

Tabel Waktu Penelitian

Waktu Pelaksanaan
No Kegiatan
Mei Juni Juli
1. Tahap Persiapan
a. Penyusunan proposal dan
Pengajuan Judul
b. Pengajuan Proposal
c. Perizinan Penelitian
Waktu Pelaksanaan
No Kegiatan
Mei Juni Juli
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data
b. Analisis Data
3. Tahap Penyusunan Laporan

B. Sumber Data

Untuk mengumpulkan data penelitian yang diperlukan dalam

pembahasan ini, penulis mengunakan metode penelitian pustaka (library

research) yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku literatur

yang ada hubungannya dengan pokok bahasan dan sumber pendukung

lainnya. Penelitian ini disebut penelitian pustaka (library research), oleh

karena itu sumber data diperoleh dalam dua bentuk data, yaitu data primer

dan data sekunder.

1. Data primer;

Data Primer, yaitu materi-materi yang berkaitan dengan

sasaran penelitian dan buku-buku yang berkaitan langsung dengan

masalah yang akan di bahas. Adapun data primer yang digunakan

adalah Hadits Fiqih Amaliyah Annahdliyah yang terdapat dalam kitab

Al Mutathafat lil Ahlil Bidayat dengan metode Library Research.

2. Data sekunder;

Data Sekunder, merupakan sumber data bersifat umum untuk

meneliti, yang isinya mendukung data primer. Yaitu data-data yang

berkaitan dengan judul penelitian yang dilakukan. Data tersebut


berupa buku-buku, hasil penelitian, jurnal, dan literatur lainnya yang

ada hubungannya dengan judul penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan langkah penting dalam

melakukan penelitian, karena data yang terkumpul akan dijadikan bahan

analisis dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian

kualitatif ini adalah :

1. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan

data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen

yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain . Dokumentasi

merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif

untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu

media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung

oleh subjek yang bersangkutan.

Dengan metode ini, peneliti mengumpulkan data dari dokumen

yang sudah ada, sehingga penulis dapat memperoleh catatan-catatan

yang berhubungan dengan penelitian seperti : gambaran umum isi

dalam kitab dan pesan yang terkandung dalam kitab atau buku.

2. Studi Literatur

Studi literatur sebagai teknik pengumpulan data kualitatif

dilakukan dengan cara menelusuri dokumen penting yang dianggap

berkaitan dengan fokus penelitian. Teknik ini disebut juga studi


kepustakaan. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan bisa berupa

teks atau gambar. Dokumen yang menjadi sumber data tak melulu

teks-teks akademik seperti buku, laporan riset, policy brief, atau jurnal,

tapi bisa juga, pamflet, spanduk, kartu nama, dan laporan jurnalistik.

D. Teknik Analisis Data

Langkah awal yang ditempuh guna memperoleh data adalah

dengan mengumpul berbagai sumber dari data primer dan data

sekunder. Kitab Al Mutathafat Lil Ahlil Bidayat karya KH. Marzuqi

Mustamar, mengenai Hadits – hadits Fiqih Amaliyah Annahdliyah.

Data yang telah terkumpul lalu ditelaah dan diteliti untuk selanjutnya

diklarifikasi sesuai dengan keperluan. Selanjutnya disusun secara

sitematis, sehingga menjadi suatu kerangka yang jelas dan mudah

difahami untuk dianalisa.

Untuk menganalisa data yang terkumpul, diklarifikasikan

sesuai dengan kebutuhan dan analisis dengan cara yang tepat. Dalam

menganalisis data, teknik yang dilakukan menggunakan content

analysis. [ CITATION Ant90 \l 1057 ] Maksudnya bahwa semua ide dalam

pemikiran KH. Marzuqi Mustamar tentang amaliyah ditampilkan

bentuk kitab yang mengambil hadits Nabi saw. Setelah itu penulis

membandingkan melalui buku, artikel, jurnal dan kitab lain yang

relevan. Oleh karena itu, selain menggunakan content analysis,

metode yang dipandang sesuai dan memiliki relevansi dan akurasi

yang kuat dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat


diskriptif kualitatif yang mempergunakan sumber-sumber tertulis yang

ada hubungannya dengan pokok permasalahan.[ CITATION Noe90 \l

1057 ]

Selanjutnya di susun langkah-langkah yang sesuai untuk

menunjang keakuratan penelitian ini. Penyajian ini memberikan

gambaran mengenai distribusi subjek menurut kategori-kategori yang

ditetapkan. Oleh karena itu, content analysis ini di dasarkan pada

pendapat ahli dan pembandingnya agar dapat membantu memahami

kea=daan data yang disajikan.[ CITATION Sai10 \l 1057 ]

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan

cara mengorganisasikan data dan memilih mana yang penting serta

mana yang perlu dipelajari serta membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami (Sugiyono, 2007: 333-345). Teknik analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang

digunakan peneliti sebagaimana yang dikemukakan Miles dan

Hubberman (Sugiyono, 2007: 204) yaitu pengumpulan data, reduksi

data, penyajian data dan langkah terakhir adalah penarikan

kesimpulan. Langkah-langkah tersebut sebagi berikut.

a. Reduksi data

Reduksi data merupakan penyerderhanaan yang dilakukan melalui

seleksi, pemfokusan dan keabsahan data mentah menjadi informasi

yang bermakna, sehingga memudahkan penarikan kesimpulan.


b. Penyajian data

Penyajian data yang sering digunakan pada data kualitatif adalah

bentuk naratif. Penyajian-penyajian data berupa sekumpulan

informasi yang tersusun secara sistematis dan mudah dipahami.

c. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data

yang dilakukan melihat hasil reduksi data tetap mengaju pada

rumusan masalah secara tujuan yang hendak dicapai. Data yang

telah disusun dibandingkan antara satu dengan yang lain untuk

ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.

Gambar 2: Teknik Analisis Data Kualitatif Menurut Miles dan

Hubberman (Sugiyono, 2007: 333-345)

Dalam penelitian ini yang akan di analisis peneliti adalah Hadits

Fiqih Amaliyah Annahdliyah dalam kitab Al Mutathafat lil ahlil Bidayat

karya KH. Marzuqi Mustamar


.

DAFTAR PUSTAKA

KH. Marzuki Mustamar, Al Muqtathofat lil Ahli Bidaayaat” (Malang; UIN-

MALIKI Press, 2011-2012)


R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.

297.

M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), Cet. 1, h. 61

W.J.S. Purwadaminta, Kamus Umum bahasa Indonesia (Jakarta; Balai

Pustaka, 1999), h.677

Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka

Utama, 2001), h. 98

Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai, (Jakarta: P3G Depdikbud, 1980),

h. 1

Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2007), h. 114

As-Shon‟ani, Subul as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm.298.

Anda mungkin juga menyukai