Anda di halaman 1dari 57

PENTINGNYA MENJAGA NILAI-NILAI TALI SILATURAHMI

DAN
MENJAUHI PERPECAHAN DALAM KITAB AT TIBYAN
KARYA KH.HASYIM ASY’ARI

(Kajian Tematik Hadits)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Pada Jurusan Tarbiyah

Oleh:

SYAIFUL KHOTIIN

NIM : 160110130

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA AL AZHAR

(STAIMA) KOTA BANJAR

2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya dalam hidup bermasyarakat kita sangat

memerlukan bantuan orang lain agar hidup ini bisa berjalan dengan

baik, saling gotong royong dan saling membantu satu sama lain agar

tercipta kehidupan yang harmonis dan rukun tidak terjadi perpecahan.

Maka dari itu manusia sering disebut dengan makhluk sosial, karena

masih ada ketergantungan satu sama lain.

Manusia sebagai makhluk sosial merupakan manusia yang saling

berinteraksi antar manusia satu dan manusia yang lainnya dalam

kehidupan berkelompok. Kelompok – kelompok tersebut dapat berupa

kelompok – kelompok kecil yang terdiri dari dua orang, masyaraka

menengah yang terdiri dari banyak orang seperti perkumpulan

masyarakat, dan masyarakat terbesar seperti Negara.[ CITATION Rso13 \l

1033 ]

Dalam bermasyarakat perlu adanya ikatan antar masyarakat, agar

terjalin kehidupan yang rukun dan harmonis serta tercipta hubungan

sosial yang baik. Iktan ini, biasa kita sebut dengan Silaturahmi.

Silaturahmi adalah budaya yang sudah berkembang dan tumbuh subur

di Indonesia, yang perlu kita jaga.

Silaturahmi tidak membeda-bedakan baik antar suku, agama, ras,

dan aliran. Saling menghormati dan menyayangi adalah salah satu


kunci silaturahmi tetap terjaga, yang muda menghormati yang lebih

tua, yang tua menyanyangi yang muda. Akan tetapi, akhir – akhir ini

banyak yang merusak hubungan silaturahmi tersebut, sehingga banyak

terjadi perpecahan.

Menjaga tali persaudaraan atau silaturahmi, baik di dalam

lingkungan keluarga maupun dalam konteks kehidupan yang lebih luas

memang sebuah keharusan, apapun masalahnya kita tidak boleh

meninggalkan ibadah silaturahmi, banyak ketegangan yang sering

muncul akibat terjadinya perbedaan pandangan, pendapat maupun

sikap seringkali menjadi penyebabnya. Misalnya, perbedaan dalam

memilih pemimpin, baik tingkat daerah maupun nasional. Dan ini

sudah sering terjadi di Negara kita Indonesia, sepatutnya kita perihatin

dengan semua ini.

Dengan ini antar sesama warga atau masyarakat menjadi mudah

terpecah belah. Jika kita tidak mampu mengendalikan diri dengan baik

dan mampu berjiwa besar, maka hubungan ikatan emosional yang

telah lama terbangun akan merenggang.

Dengan inilah alasan peneliti memilih kitab AT Tibyan karya dari

ulama besar Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari karena didalam kitab

ini menjelaskan pentingnya menjaga tali silaturrohim dan menjauhi

perpecahan, banyak hadits – hadits didalam kitab ini yang membahas

tentang bahayanya jika terjadi perpecahan antar manusia.


Kita diperingatkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab AT

Tibyan ini tentang bahaya memutus tali silaturrahmi serta buruknya

pergaulan antar sanak, kerabat, saudara dan sahabat. Di antara

penyebab dari putusnya tali silaturahmi dan perpecahan ini antara lain

adalah saling membenci, saling iri hati, saling berseteru, dan etika-

etika buruk lainnya. Peringatan ini menjadi sangat penting sekali

karena meratanya cobaan tersebut di tengah – tengah masyarakat

kontemporer saat ini.

Islam memerintahkan kita untuk terus memelihara hubungan baik

dengan jalan silaturahmi, banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang

menjelaskan soal silaturahmi. Misalnya ajakan untuk melaksanakan, “

‫ۚ َو َّٱت ُقو ۟ا ٱللَّهَ ٱلَّ ِذى تَ َسٓاءَلُو َن بِۦِه َوٱأْل َْر َح َام‬

yang artinya “dan bertawakalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) namaNya kalian saling meminta satu sama lain, dan

periharalah hubungan silaturahmi.

Sedangkan laranghan memutus hubungan silaturahmi sebagaimana

termaktub dalam hadits Nabi Muhammad saw, “ Tiga orang tidak

masuk surga: pertama, orang yang melanggengkan minum khamar.

Kedua, pemutus silaturahmi. Ketiga, membenarkan sihir.”

Menjalankan ibadah silaturahmi banyak manfaat yang dapat dipetik

bagi orang yang menjalankannya. Itulah salah satu pesan penting yang
pernah disampaikan oleh Hadrotussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari,

pendiri Pesantren Tebuireng dan NU. Wejangan dari beliau patut

menjadi pedoman kita dalam bermasyarakat sehingga terwujud “

Baldatun Toyyibatun warobun Ghofur”.

Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk mempelajari tentang

silaturahmi dan ancaman bagi orang-orang yang memutuskan tali

silaturahmi. Sehingga dalam penelitian kali ini peneliti mengambil

judul “PENTINGNYA MENJAGA NILAI-NILAI TALI

SILATURAHMI DAN MENJAUHI PERPECAHAN DALAM

KITAB AT-TIBYAN KARYA KH. HASYIM ASY’ARI”. Dengan

harapan bisa mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.

B. Fokus Kajian

Fokus Kajian dalam penelitian ini adalah Pentingnya Menjaga

Nilai – nilai Tali Silaturrahim dan Menjauhi Perpecahan dalam Kitab

At-Tibyan Karya KH. Hasyim Asy’ari.

1. Nilai

Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat

berarti bagi kehidupan manusia[ CITATION MCh96 \l 1033 ] ,

khususnya mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal, Nilai

artinya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan.[ CITATION WJS99 \l 1033 ]

2. Silaturahmi/Silaturrohim
Silaturahmi adalah budaya yang tumbuh subur di tengah –

tengah kehiduan masyarakat. Pada penelitian ini, yang akan

menjadi data adalah pesan silaturahmi yang terdapat dalam kitab

At Tibyan. Menurut peneliti, pesan silaturahmi dalam kitab At

Tibyan karya KH. M. Hasyim Asy’ari layak untuk menjadi objek

penelitian karena banyak pesan moral yang di sampaikan melalui

kitab tersebut.

3. Menjauhi Perpecahan

Arti perpecahan dalam bahasa Arab adalah Al-iftiraaq (

‫)االف رتاق‬ berasal dari kata ‫ املفارقة‬yang berarti ‫( املباينة‬perpisahan),

‫( املفاص لة‬pemisahan) dan ‫( االنقط اع‬pemutusan). Kata iftiraaq juga

diambil dari pengertian memisahkan diri dan nyeleneh, seperti

ungkapan: ‫اخلروج عن األصل‬ (keluar dari kaedah), ‫اخلروج عن اجلادة‬

(keluar dari biasanya).

Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan perpecahan

adalah pemutusan. Memutuskan segala hubungan termasuk

silaturahmi, dimana perbuatan memutus tali silaturahmi sangatlah

dibenci oleh agama dan bagi orang – orang yang memutuskan tali

silaturahmi akan mendapatkan dosa besar dan siksa yang pedih dari

Allah SWT.
C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, Bagaimana

cara menjaga nilai- nilai tali silaturahmi dan menjauhi perpecahan

dalam kitab AT-TIBYAN ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini

adalah Untuk mengetahui bagaimana pentingnya menjaga nilai – nilai

tali Silaturahmi dan menjauhi perpecahan dalam kitab AT TIBYAN.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat atau kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Secara konseptual diharapkan dapat memperkaya khasanah

pengetahuan tentang pentingnya menjaga silaturahmi terutama

pesan moral yang terdapat dalam kitab.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi

peneliti berikutnya atau peneliti lain yang ingin meneliti lebih

mendalam dengan topik dan fokus serta setting penelitian yang

lain agar bisa dijadikan perbandingan dan menemukan

penemuan-penemuan lain.

2. Secara Praktis

a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti,

pembaca agar mengetahui pentingnya menjaga tali silaturahmi.

b. Bagi Pembaca

Menambah khasanah pengetahuan bagi pembaca dalam hidup

bermasyarakat supaya tercipta hubungan yang rukun antar

sesama.

F. Penelitian Terdahulu

Dalam melaksanakan penelitian ini, ada beberapa literature yang

dijadikan penulis sebagai acuandan tinjauan pustaka. Penelitian

terdahulu untuk perbandiangan dan melakukan penelitian mengenai

pentingnya menjaga tali silaturahmi.

1. Qurnia Syaifudin Indartiawan (2015) , UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Dengan Judul “Pesan Silaturahmi Dalam Film Rayya

Cahaya Di Atas Cahaya (Analisis Semiotik) Film “Rayya Cahaya

Di Atas Cahaya” merupakan sebuah film yang bergenre drama

road movie karya Viva Westi. Film yang berdurasi 118 menit ini

naskahnya ditulis oleh Viva Westi dan Emha Ainun Najib. Film

ini diperankan oleh beberapa artis kawakan seperti: Titi Sjuman,

Tio Pakusadewo, Arie Dagienkz, Masayu Anastasia, Fanny

Fabriana, Tino Saroenggalo, Verdi Soelaiman, Alex Abbad, dan

Christine Hakim. Film berkisah tentang Rayya (Titi Sjuman), artis

sekaligus supermodel yang sedang berada di puncak ketenaran

namun terselimuti masalah yang tak kalah kompleksnya, bahkan


Rayya berfikirkan akan bunuh diri di tengah pembuatan buku

otobiografinya.

Relevansi dalam penelitian ini adalah sama-sama menjelaskan

pesan Silaturahmi. Namun, peneliti mengunakan media film

sebagai objek penelitian.

2. Siti Fatimah (2017), UIN Alauddin Makassar. Dengan judul

“Silaturrohim Menurut Hadits Nabi Muhammad Saw.”. Skripsi ini

membahas tentang Silaturrahim Menurut Hadis Nabi saw. (Suatu

kajian Tahlili) dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1)

Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang silaturrahim? 2)

Bagaimana kandungan hadis tentang silaturrahim?, dan 3)

Bagaimana implementasi silaturrahim di dalam kehidupan

manusia?.

Tujuan penelitian ini untuk: 1) Menjelaskan kualitas dan

kehujjahan hadis tentang silaturrahim, 2) Menjelaskan kandungan

hadis tentang silaturrahim, dan 3) Menjelaskan implementasi

hadis di dalam kehidupan manusia.

Relenvasi dalam penulisan ini adalah sama-sama menjelaskan

tentang Silaturahmi, namun objek dan metode kajian yang akan

dilakukan peneliti jauh berbeda.

3. Ulfatun Najah (2017) Jurusan Tafsir Hadits, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dengan judul “Silaturrohim Dalam

Perspektif Hadits(Kajian Tematik Hadits)” Skripsi ini membahas


tentang masalah suatu keadaan yang menggambarkan tentang

hubungan seseorang dengan manusia lainnya. Dari hubungan

terdekat bersama keluarganya ataupun hubungan yang sangat jauh

melalui teman, tetangga dan yang lainnya. Dalam hal ini juga

dikaitkan dengan masalah etika dalam berdakwah. Sebagaimana

manusia hidup perlu mengedepankan etika, tata krama atau akhlak

sehingga berkesinambungan antara Habl min al-Allāh dan Habl

min al-Nāsi.

Kesamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama menjelaskan

hadits – hadits yang berhubungan dengan Silaturahmi dan

menggunakan metode penelitian yang sama yaitu Library

Research (Penelitian Kepustakaan)..

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima Bab, yang akan

dirincikan sebagai berikut:

1. Bab I adalah pendahuluan. Bagian pendahuluan ini berisi satu bab

tersendiri yang terdiri dari enam sub-bab, yang meliputi latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

2. Bab II adalah kerangka teori. Bagian kerangka teori ini terdiri dari

beberapa sub-bab yang menguraikan tentang Silaturahmi, Cara

Menjauhi Perpecahan, Kitab At Tibyan.


3. Bab III akan memaparkan korpus penelitian. Bagian ini akan

membahas tentang Metodologi Penelitian yang digunakan peneliti

dalam melaksanakan tugas akhir Kuliah dan biografi KH. M.

Hasyim Asy’ari.

4. Bab IV merupakan pokok penelitian yang akan menganalisis isi

kitab At-Tibyan yang merupakan salah satu karya Hadrotussyaikh

KH. M. Hasyim Asy’ari. Dengan menggunakan metode Library

Research di kitab tersebut.

5. Bab V adalah penutup. Kesimpulan, saran dan rekomendasi.


BAB II

KERANGKA TEORI

A. Silaturahmi

1. Pengertian Silaturahmi

Silaturahmi atau silarurahim terdiri dari dua suku kata yang berasal

dari bahasa Arab yaitu Shilah (‫ )ص لة‬dan Ar-rahim (‫ ( الرحيم‬, kata Shilah

berasal dari wahsala – yashilu wasl(an) wa shilat(an) yang artinya

hubungan atau menghubungkan. Adapun kata ar-rahim atau ar-rahm,

jamaknya arha>m yakni Rahim atau kerabat. Asal katanya dari ar-

rahmah (kasih sayang). Kata ini digunakan untuk menyebut rahim atau

kerabat karena dengan adanya hubungan rahim atau kekerabatan itu,

orang-orang berkasih sayang.[ CITATION Muh13 \l 1033 ]

Selain bermakna kasih sayang, kata ar-rahim juga mempunyai

arti peranakan (Rahim) atau kekerabatan yang masih ada pertalian darah

(persaudaraan). Yang dimaksud dengan Rahim di sini adalah

menyambung hubungan dengan orang-orang yang mahram, yaitu tiap

orang laki-laki dan perempuan yang tidak boleh dinikahi;seperti bapak,

ibu, saudara, saudari, kakek, nenek, dst. Juga paman dari ayah dan ibu,
serta bibi. Adapun anak-anak mereka tidak ada kewajiban unutk

menyambungnya, seperti bolehnya menikah di antara keduanya.

[ CITATION KHM19 \l 1033 ]

Sehingga dengan begitu kata silaturrahim dapat diartikan pula

sebagai hubungan atau menghubungkan kekerabatan atau persaudaraan.

Dari sini, silaturrahim atau silaturrahim secara bahasa adalah menjalin

hubungan kasih sayang dengan sudara dan kerabat yang masih ada

hubungan darah (senasab) dengan kita.[ CITATION Nur14 \l 1033 ]

Silaturrahim dengan silaturrahmi memiliki maksud pengertian yang

sama namun dalam penggunaan bahasa Indonesia istilah silaturrahmi

memiliki pengertian yang lebih luas, karena penggunaan istilah ini tidak

hanya terbatas pada hubungan kasih sayang antara sesama karib kerabat,

akan tetapi juga mencakup pengertian masyarakat yang lebih luas.

[ CITATION Fat10 \l 1033 ] Kemudian mengadakan silaturrahim dapat

diaplikasikan dengan mendatangi famili atau teman dengan memberikan

kebaikan baik berupa ucapan maupun perbuatan.[ CITATION Hus \l 1033 ]

Inti atau pokok kata silaturrahim adalah rasa rahmat dan kasih

sayang. Menyambung kasih sayang dan menyambung persaudaraan, bisa

juga diartikan sebagai menyambung tali kekerabatan dan menyambung

sanak. Hal ini sangat dianjurkan oleh agama untuk keamanan dan

ketentraman dalam pergaulan kehidupan masyarakat berbangsa dan

bernegara.[ CITATION Rah00 \l 1033 ]


Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa silaturrahim berarti

mendekatkan diri kepada orang lain setelah selama ini jauh dan

menyambung kembali komunikasi setelah selama ini terputus dengan

penuh kasih sayang diantara mereka. Seperti Sabda Nabi Muhammad

SAW. “Dari Sayyidah Aisyah ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda

kepadanya, “ Barangsiapa yang diberi kelembutan, maka dia telah

diberikan bagian kebaikan dunia akhirat. Sedangkan silaturahmi,

bertetangga dengan baik, dan berbudi pekerti luhur adalah hal-hal yang

bisa meramaikan dunia dan memperpanjang umur” (HR. Imam Ahmad).

Jadi kata silaturrahim sendiri kurang lebih berarti hubungan

antar seseorang dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Bukan hanya

kepada sanak saudara dan kerabat, tetapi silaturrahim juga dapat dijalin
dengan siapa saja di antara sesama. manusia, baik mereka yang seiman
dengan kita maupun mereka yang tidak seiman selama mereka tidak
memusuhi dan memerangi kita.

2. Pentingnya Menjaga Tali Silaturahmi

Manusia adalah Makhluk sosial yang hidup berinteraksi dengan


orang lain. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa manusia sangat membutuhkan
bantuan dari orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Walaupun manusia
bisa melakukan suatu hal sendiri akan tetapi dalam agama islam kita
dianjurkan untuk bersama-sam untuk memperoleh nilai yang tinggi
misalnya sholat berjamaah, bergotong royong membangun sebuah
bangunan baik itu tempat ibadah maupun rumah tinggal.
Karena pentingnya keberadaan orang lain bagi seseorang, Islam
tidak menghilangkan hubungan simbiosis mutualisme antar manusia.
Hubungan ini sudah diatur sedemikian indahnya sehingga terjalin seperti
matai rantai yang saling berkaitan dan tak terputus. Persaudaraan yang
diliputi dengan cinta kasih begitu diutamakan dalam agama Islam, meski

berbeda suku dan bangsa[ CITATION Muh13 \l 1033 ] . Allah berfirman dalam

QS.Al-Hujurat 49:13

ۚ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُ ْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا‬
‫إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ أَ ْتقَا ُك ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.[ CITATION Kem \l 1033 ]

Sayangnya, jalinan ikatan Silaturahmi semakin hari semakin

memudar. Manusia yang disibukan dengan mengejar cita- cita dan impian

membuat sibuk dengan urusannya sendiri tanpa menghiraukan orang lain

disekitar. Hal ini semakin diperparah dengan berkembangnya teknologi

yang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, bagi para penggunnya.

Yang semula dulu bisa berinteraksi dengan sekelilingnya sekarang semakin

jauh. Misalnya adanya Handphone membuat orang tenggelam dalam urusan

pribadi mereka, asyik sendiri dengan dunia maya atau sosmed.[ CITATION

Muh13 \l 1033 ]
Oleh sebab itu, Allah swt. memberi petunjuk dan menekankan
kepada hamba-Nya agar selalu terus menjaga tali silaturahmi antar
sesama. Allah swt. berfirman dala QS. An-Nisa 4:1

۟ ٓ
َّ َ‫ق ِم ْنهَ……ا زَ وْ َجهَ……ا َوب‬
‫ث ِم ْنهُ َم……ا‬ ٍ ‫ٰيَأَيُّهَ……ا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُ……وا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذى خَ لَقَ ُكم ِّمن نَّ ْف‬
َ …َ‫س ٰ َو ِح… َد ٍة َوخَ ل‬
۟ …ُ‫ر َجااًل َكثِيرًا َونِ َسٓا ًء ۚ َوٱتَّق‬
…‫…وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذى ت ََس …ٓا َءلُونَ بِِۦه َوٱأْل َرْ َح……ا َ…م ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َك……انَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬ ِ
artinya :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-Mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satusama lain
dan (perihalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.[ CITATION Kem \l 1057 ]

Jalinan silaturahmi bukanlah hal yang sepele dalam Islam.


Banyak ajaran islam yang mengedapankan pola hidup yang mengacu pada
hubungan persaudaraan antar manusia. Misalnya hukum jual beli yang
tidak boleh ada yang dirugikan, utang piutang tidak boleh ada unsur riba,
dan masih banyak lagi yang diatur sedemikian baiknya dalam Islam.
Semua memiliki tujuan agar bentuk hubungan antar manusia tidak
berakhir dengan mudharat dan permasalahan yang merusak perikatan,
yang pada akhirnya bisa memutuskan hubungan silaturahmi diantara

sesama.[ CITATION Muh13 \l 1057 ]

Adapun hukum tentang silaturahmi, yaitu denga membaca ayat-


ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi saw. Kita akan mengetahui dan
tidak meragukan bahwasanya Allah telah mewajibkan Silaturahmi. Selain
itu para ulama juga telah sepakat akan wajibnya Silaturahmi dan orang
yang memutusnya berdosa. Rasulullah saw bersanda
ُ ‫ص…لَهُ هَّللا ُ َو َم ْن قَطَ َعنِي قَطَ َع… هُ هَّللا‬ ِ ْ‫ال َّر ِح ُم ُم َعلَّقَةٌ بِ ْال َعر‬
َ ‫ش تَقُ……و ُل َم ْن َو‬
َ ‫ص…لَنِي َو‬
artinya :

"Rahim (kasih sayang) itu tergantung di 'Arasy, seraya berkata; "Siapa


yang menyambungkanku, maka Allah pun akan menyambungkannya. Dan
barangsiapa yang memutuskanku, niscaya Allah pun akan
memutuskannya pula." (HR. Muslim)

Al-qadhi iyadh mengatakan, tidak ada khilaf bahwa hukum

silaturrahim secara umum adalah wajib dan memutuskannya merupakan

dosa yang sangat besar. Namun menyambungnya memiliki derajat yang

bertingkat-tingkat sebagiannya lebih tinggi dari yang lain, yang paling

bawah ialah meninggalkan saling boikot dan menyambungnya dengan

perkataan, walaupun dengan ucapan salam. Dan juga berbeda pemahaman

mengenai kebergantungan dan keperlun, ada yang hukumnya wajib dan

ada juga mustahak (berhak, patut dan pantas). Sekiranya dia

menyambung sebagian dan tidak sampai pada tujuan maka tidak

dinamakan memutuskan, dan kalau dia lalai dari apa yang dia mampu

yang semestinya dia lakukan tidak dinamakan menyambung.[ CITATION

Isn14 \l 1057 ].

3. Larangan Memutuskan Silaturahmi

Menjalin Silaturahmi antar sesama sangatlah penting dalam

kehidupan, sehingga Rasulullah saw, melarang umatnya memutuskan

Silaturahmi. Sebab, memutuskan Silaturahmi akan menimbulkan petaka

dan masalah dalam kehidupan manusia.

Memutuskan tali silaturahmi yang diharamkan adalah memutus apa


yang sebelumnya mengakrabkan sanak kerabat berupa hubungan yang

tersambung dan kebaikan. Apakah kebaikan yang bisa mengakrabkan

kerabatnya itu berupa harta, berkirim surat, ziarah, dsb. Memutus semua

itu setelah dilakukan tanpa sebuah uzur syar’i adalah dosa besar. Sebab

hal tersebut akan menyebabkan keresahan, kehilangan, dan sakitnya hati.

Maka jika terjadfi yang demikian, ia adalah orang yang telah memutus

silaturahmi.[ CITATION KHM19 \l 1057 ]. Rasulullah saw. bersabda

‫صا ِحبِ ِه ْال ُعقُوبَةَ فِى ال ُّد ْنيَا َم َع َما يَ َّد ِخ ُرهُ لَهُ فِي‬
َ ِ‫ب أَجْ َد ُر أَ ْن يُ َع ِّج َل هَّللا ُ ل‬
ٍ ‫َما ِم ْن َذ ْن‬

‫ َحتَّى إِ َّن‬،‫َّح ِم‬ ِ ِ‫ب َوإِ َّن أَ ْع َج َل الطَّا َع ِة ثَوْ ابا ً ل‬


ِ ‫صلَ ِة الر‬ َ ‫ َو ْال َك ِذ‬،‫ْاآل ِخ َر ِة ِم ْن قَ ِط ْي َع ِة ال َّر ِح ِم َو ْال ِخيَانَ ِة‬

ِ ‫ َويَ ْكثُ ُ…ر َع َد ُدهُ ْم إِ َذا تُ َو‬،‫ت لِيَ ُكوْ نُوْ ا فَ َج َرةً فتنموْ ا أَ ْم َوالَهُ ْم‬
‫اصلُوْ ا‬ ِ ‫أَ ْه َل ْالبَ ْي‬

“Tidaklah sebuah dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya


di dunia dan juga disimpan di akhirat dibanding dosa memutuskan
silaturrohim, khianat, dan juga berdusta, dan sesungguhnya amalan
ketaatan yang paling disegerakan pahalanya adalah menyambung
silaturrohim, sesungguhnya dengan silaturrohim keluarga akan bahagia,
harta akan melimpah dan jumlah keluarga akan bertambah, jika mereka
saling menyambung tali silaturrohim.” (Dishohihkan al Albani dalam
Shohih al-Jami’: 5591)

Hadits diatas menjelaskan bahwa memutuskan silaturahmi adalah

sebuah dosa besar. Karena memutuskan silaturahmi dapat menyebabkan

kerusakan di muka bumi ini. Allah swt memutuskan bagi pelakunya

dengan mendapatkan kutukan dan hukuman yang segera di dunia dan

tertunda diakhirtnya. Allah swt. berfirman dalam QS. Muh{ammad/47:

22-23 dan QS. al-Ra’d/ 13: 25.

ِ ‫َف َه ْل َع َس ْيتُ ْم إِن َت َولَّْيتُ ْم أَن ُت ْف ِس ُدو ۟ا فِى ٱأْل َْر‬


*‫ض َو ُت َقطِّعُ ٓو ۟ا أ َْر َح َام ُك ْم‬
ٓ
َ َ ‫أُ ۟و ٰلَئِكَ ٱلَّ ِذينَ لَ َعنَهُ ُم ٱهَّلل ُ فَأ‬
َ ٰ ‫ص َّمهُ ْم َوأَ ْع َم ٰ ٓى أَ ْب‬
‫ص َرهُ ْم‬

Artinya :

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat


kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?
Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya
telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.(QS.Muhammad,
47;22-23)

َ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَنقُضُونَ َع ْه َد ٱهَّلل ِ ِم ۢن بَ ْع ِد ِمي ٰثَقِ ِهۦ َويَ ْقطَعُونَ َمٓا أَ َم َر ٱهَّلل ُ بِ ِٓۦه أَن يُو‬
‫ص َل‬
ٰٓ ُ
ِ ْ‫َويُ ْف ِس ُدونَ فِى ٱأْل َر‬
ِ ‫ض ۙ أ ۟ولَئِكَ لَهُ ُم ٱللَّ ْعنَةُ َولَهُ ْم س ُٓو ُء ٱل َّد‬
‫ار‬

Artinya :

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh


dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk
(Jahannam).(QS.ARRa’d, 13;25)
Dalam ajaran Islam, antar sesama baik dalam lingkungan

keluarga maupun dalam bermasyarakat hubungan silaturahmi harus

dijaga dengan baik karena keratakan hubungan antar sesama akan

berakibat sangant buruk. Kita tidak boleh saling berseteru atau memutus

silaturahmi melebihi dari 3 hari, karena bila itu terjadi kita akan

mendapatkan dosa yang besar seperti sabda Nabi Muhammad saw :


‫وعن أنس رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ال تقاطعوا وال‬

‫تدابروا وال تباغضوا وال تحاسدوا وكونوا عباد هللا إخوانا وال يحل لمسلم أن‬

‫يهجر أخاه فوق ثالث متفق عليه‬

Artinya :

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Raslullah SAW bersabda,

"Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling

membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah

hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim

untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari. (HR

Muttafaq ‘alaihi)

Dari keterangan hadits diatas, jelas sekali kita tidak boleh bermusuhan

melebihi dari 3 hari, apabila itu terjadi maka segeralah rekatkan kembali

hubungan persaudaraan diantara sesama, seperti sabda Nabi Muhammad

saw.

‫ «اَل يَ ِح ُّل‬:‫ قَا َل‬،‫سلَّ َم‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬،‫ي‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ ‫وب اأْل َ ْن‬
ِّ ‫صا ِر‬ َ ‫عَنْ أَبِي أَ ُّي‬

‫ َو َخ ْي ُر ُه َما‬،‫ص ُّد َه َذا‬


ُ َ‫ص ُّد َه َذا َوي‬
ُ َ‫فَي‬ ‫ان‬
ِ َ‫ يَ ْلتَقِي‬، ‫ال‬ َ ‫سلِ ٍم أَنْ يَ ْه ُج َر أَ َخاهُ فَ ْو‬
ِ ‫ق ثَاَل‬
ٍ َ‫ث لَي‬ ْ ‫لِ ُم‬

َّ ‫)) الَّ ِذي يَ ْبدَأُ بِال‬


‫ساَل ِم‬

Artinya

“Dari Abî Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah

Shallallahu alaihi wasallam bersabda; ‘Tidak halal seorang muslim

mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam diamana keduanya


bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di

antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam’.(HR.

Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba’în al-

Nawawiyyah, hal.289 )

Adapun makna dari hadis di atas ialah sudah menjadi sunnatullah

bahwa hubungan sesama manusia tidaklah selamanya baik, tidak ada

problema dan pertentangan. Akan tetapi, gesekan atau permusuhan tersebut

diperpanjang sampai lebih dari tiga hari, yang ditandai dengan tidak saling

menegur sapa dan saling menjauhi. Apalagi jika mereka menyadari bahwa,

bagi orang yang memutuskan silaturrahim, diancam tidak akan

mendapatkan kebahagiaan kelak diakhirat, yaitu mereka tidak berhak

masuk surga.

Menurut Imam Nawawi, yang dikutip oleh Muhammad Rusdi T.

dalam bukunya mengatakan bahwa, persengketaan harus diakhiri pada hari

ke tiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagian ulama, di atara sebab Islam

membolehkan adanya persengketaan selama tiga hari karena dalam jiwa

manusia terdapat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya

ketika bertengkar atau dalam keadaan marah. Sehingga dalam waktu tiga

hari itu diharapkan akan menghilangkan perasaan tersebut. Dengan

demikian, tidak akan dihalalkan bagi seorang muslim untuk bersengketa

dengan saudaranya lebih dari tiga hari, yang ditandai dengan tidak saling

berpaling muka dan tidak menegur[ CITATION Muh12 \l 1057 ]


Jadi, cara efektif untuk membuka kembali hubungan yang telah

terputus adalah dengan mengucapkan salam sebagai tanda dibukanya

kembali hubungan kekerabatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang yang

memulai salam itu berarti kalah, tetapi mengingat betapa penting dan

mulianya orang yang menyambung tali siaturrahim. Allah swt.

memberikan berkah tersendiri bagi pelaku yang menyambung

silaturrahim baik di akhirat maupun di dunia

B. Cara Menjauhi Perpecahan

Selain ibadah yang diwajibkan oleh Allah swt. masih banyak

ibadah lainnya yang mendapat penilaian baik dari Allah swt. salah

satunya adalah memperbanyak silaturrahim dengan siapa pun dan di

mana pun. Dengan silaturrahim pahala dan berkah dalam kehidupan kita

semakin berkah. Sebab, silaturrahim adalah ibadah yang paling mulia,

paling indah, akhlak paling mulia dan amalan shalih yang perlu kita

tingkatkan derajatnya di kalangan umat manusia.

Rasulullah saw. juga memberikan tuntunan sekurang-kurangnya


dalam dua gambaran tentang persaudaraan dalam Islam, yaitu: Pertama,
persaudaraan dalam Islam harus seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota
badan ada yang sakit, maka yang lain harus ikut merasakan sakit.
Esensinya, persaudaraan harus diwarnai oleh adanya semangat solidaritas.
Kepahitan hidup yang dirasakan oleh orang lain turut dirasakan oleh
saudaranya.

Kedua, persaudaraan dalam Islam harus seperti sebuah bangunan.

Sabda Nabi saw. Antara satu unsur bangunan dengan unsur yang lainnya
saling memerlukan dan saling melindungi. Esensi tercakup sikap

ta’awun sikap saling tolong, Tarahum saling menyayangi, tadhamun

saling tanggung jawab.[ CITATION Ann \l 1057 ]

Maka dari itu kita harus selalu menjaga tali silaturahmi agar

persaudaraan diantara sesama tetap kokoh, ada banyak hal agar kita

terhindar dari perpecahan, diantara saling bersatu dan salin bantu

membantu satu sama lain. Menurut KH. Zaenal Abidin Ahmad, Lc

Dalam menjauhi terjadinya perpecahan ada yang harus selalu ingat,

diantaranya :

1. Tabayun

Artinya mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran

informasi yang di dapat. Di era seperti ini, berkembangnya teknologi

yang begitu cepat, banyak kabar-kabar yang belum jelas

kebenarannya atau HOAX . hal ini yang menyebabkan terjadinya

perpecahan dikarenakan mendapat yang belum pasti kebenarannya.

Maka dari itu kita perlu Tabayun untuk mendapatkan berita yang

benar. Allah swt. berfirman dalam QS. Al Hujarat ayat 6

ِ ُ‫ق بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا… أَن ت‬


‫صيبُوا… قَوْ ما ً بِ َجهَالَ ٍة‬ …ٌ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِن َجاء ُك ْم فَا ِس‬

َ‫فَتُصْ بِحُوا َعلَى َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik


membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”(QS. Al-Hujurat: 6)
Menurut banyak ulama, ayat ini turun dalam rangka merespon

peristiwa penugasan Rasulullah pada al-Walid Ibn Uqbah Ibn Abi

Mu’ith untuk memungut zakat di kalangan Bani al-Musthalaq.

Ketika warga Bani al-Musthalaq mendengar kedatangan utusan

Rasulullah, yakni al-Walid, mereka keluar dari perkampungan untuk

menyambutnya sambil membawa sedekah mereka, namun al-Walid

justru mengira mereka hendak menyerangnya. Karena itu, spontan

al-Walid kembali sambil melaporkan kepada Rasulullah bahwa Bani

al-Musthalaq enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang

Rasulullah. Rasulullah marah dan mengutus Khalid Ibn Walid

menyelidiki keadaan sebenarnya sambil berpesan agar tidak

menyerang mereka sebelum pokok persoalannya jelas. Khalid

mengutus seorang informannya menyelidiki perkampungan Bani al-

Musthalaq, di sana didapati warga masih mengumandangkan adzan

dan melaksanakan shalat berjamaah, yang itu artinya mereka masih

bersetia pada Allah dan Rasul-Nya. Tak lama kemudian Khalid

mendatangi mereka dan menerima zakat yang telah mereka

kumpulkan[ CITATION MQu09 \l 1057 ].

 Ayat ini dengan sengaja memakai kata naba’ yang berarti berita

penting untuk membedakannya dengan kata khabar yang berarti

kabar biasa yang kurang relevan. Sedangkan tabayyun berasal dari

kata tabayyana, yatabayyanu, tabayyunan ( ‫ ) تَبیُانً………ا یت………بیّنُوْ ا تَبیَانَا‬yang

berarti tampak, jelas, atau terang [ CITATION Lih84 \l 1057 ]


Pada ayat lain Allah swt. juga berfirman :

ُ‫ص َر َو ْالفُؤَا َد ُكلُّ أُولَئِكَ َكانَ َع ْنه‬


َ َ‫ إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬, ‫ْس لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم‬
َ ‫َو الَ تَ ْقفُ َما لَي‬

‫َم ْسئُواًل‬

Artinya :

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui.


Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan
dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).

Ayat tersebut, mengandung makna yang selaras dan saling

melengkapi dengan ayat yang telah tersebutkan sebelumnya. Ayat

pertama menyebutkan keharusan bertabayyun terhadap adanya suatu

berita atau informasi ataupun datangnya suatu pemahaman dan cara

berpikir keberagamaan yang baru. Sedangkan pada ayat kedua disiratkan

tidak diperkenankannya mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara

jelas. Menyiratkan pula adanya proses tindak lanjut terhadap sesuatu

yang belum diketahui, agar dapat diketahui secara benar dan jelas.

Aktivitas pendengaran, aktivitas penglihatan dan aktivitas hati akan

dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.

Dari penjelasan ayat diatas jelas sekali jangan sampai kita

terprovokasi dengan berita yang belum jelas asal usulnya, karena itu akan

menyebabkan terjadinya perpecahan antar sesama, banyak sekali kasus-

kasus kriminalisasi terjadi dikarenakan informasi yang tidak jelas.

2. ‘Addamus Syukriyyah

 Artinya tidak memperolok-olokkan orang. Bila kita bisa


menekan rasa ego kita, insya Allah hidup tetap tenang walau di olok-olok

atau difitnah. Banyak orang mengolok – olok orang lain baik langsung

maupun lewat sosial media, bahkan ada beberapa pendakwah yang isi

ceramahnya hanya menjelek- jelekan orang lain tidak ada bahasan yang

ilmiah didalamnya. Allah swt. berfirman dalam QS. Al Hujarat ayat 11 :

۟ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬


۟ ُ‫وا اَل يَ ْسخَرْ قَوْ ٌم ِّمن قَوْ ٍم َع َس ٰ ٓى أَن يَ ُكون‬
‫وا خَ ْيرًا ِّم ْنهُ ْم َواَل نِ َسٓا ٌء ِّمن‬ َ

ِ َ‫وا بِٱأْل َ ْل ٰق‬


َ ‫ب ۖ بِ ْئ‬
‫س‬ ۟ ‫نِّ َسٓا ٍء َع َس ٰ ٓى أَن يَ ُك َّن خَ ْيرًا ِّم ْنه َُّن ۖ َواَل ت َْل ِم ُز ٓو ۟ا أَنفُ َس ُك ْم َواَل تَنَابَ ُز‬

ٰ ٓ
َ ِ‫ق بَ ْع َد ٱإْل ِ ي ٰ َم ِن ۚ َو َمن لَّ ْم يَتُبْ فَأ ُ ۟و ٰلَئ‬
َ‫ك هُ ُم ٱلظَّلِ ُمون‬ ُ ‫ٱٱِل ْس ُم ْٱلفُسُو‬

Adapun terjemahannya sebagai berikut:


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang
direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri
dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim."
Ada sejumlah riwayat mengenai sebab turunnya ayat ini. Mari

kita kutip sebagian dari Tafsir al-Maraghi:

  ‫روى… أن اآلية نزلت فى وفد تميم إذ كانوا يستهزئون بفقراء أصحاب النبي صلّى هللا عليه‬

‫وسلّم كعمار… وصهيب وبالل وخبّاب وابن فهيرة وسلمان الفارس…ي وس……الم م……ولى أبى حذيف……ة‬

‫فى آخرين غ……يرهم لم……ا رأوا من رثاث……ة ح……الهم‬. ‫وروى أنه……ا ن……زلت فى ص……فيّة بنت ح……ي ّى بن‬

‫ ي……ا‬:‫ «إن النس……اء يقلن لى‬:‫ أتت رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم فقالت‬:‫أخطب رضى هللا عنها‬

‫ فقال لها‬،‫يهودية بنت يهوديين‬: ‫ وزوجى… محمد‬،‫ وعمى موسى‬،‫ أبى هارون‬:‫»هاّل قلت‬
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan yang

dilakukan kelompok dari Bani Tamim terhadap para sahabat Rasul yang

miskin seperti Bilal, Shuhaib, Salman al-Faris, Salim Maula Abi

Huzaifah, dll. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa ayat ini berkenaan

dengan ejekan sebagian perempuan kepada Shafiyah binti Huyay bin

Akhtab (salah seorang istri Nabi) yang keturunan Yahudi. Nabi

kemudian berkata kepada Shafiyah: "mengapa tidak kamu katakan

kepada mereka bahwa bapakku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan

suamiku Nabi Muhammad?!"

Disini jelas sekali kita tidak boleh mengolok – olok orang lain

apalagi sesama muslim karena itu adalah suatu perbuatan Dosa besar.

Nabi Muhammad saw. bersabda :

ٌ ‫ِسبَابُ ال ُم ْسلِ ِ…م فُسُو‬


‫ق‬

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar)”( HR.


Bukhari no. 48, 6044, 7076 dan Muslim no. 64)

Orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sebenar-

benarnya, tentu dia akan mengangungkan apa yang Allah Ta’ala

agungkan dan mencintai apa yang Allah Ta’ala cintai. Dia akan benar-

benar mengagungkan dan mencintai Allah Ta’ala, Rasul-Nya, syariat-

Nya, dan juga mencintai orang-orang shalih yang melaksanakan syariat

tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mungkin orang seperti ini, yang benar-

benar beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, akan menghina,


mengejek, dan mengolok-olok syariat-Nya. Perbuatan seperti ini

hanyalah muncul dari orang-orang yang di dalam hatinya terdapat

kemunafikan, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits di atas

(Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafidzahullah )

3. Tarkut Tanabuz

Yakni meninggalkan panggilan dengan sebutan-sebutan yang tidak

baik terhadap orang lain. Sehabis pemilu tahun 2019 kemarin banyak tali

silaturrahmi yang putus akibat perbedaan pilihan. Akibatnya banyak yang

bermusuhan dan sling caci maki bahkan punya sebutan atau panggilan

untuk kelompok - kelompok tertentu seperti Cebong dan Kampret. Sampai

sekarang pun masih banyak yang menggunakan sebutan tersebut meski

pemilu sudah berakhir.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab menyebutkan

panggilan-panggilan kepada orang lain dengan panggilan yang buruk

seperti memanggil dengan nama hewan anjing, keledai, bisa

mengakibatkan pelakunya mendapatkan ta’zir atau hukuman dari

pemerintah. Hal ini menunjukkan, pemanggilan tidak baik kepada orang

lain merupakan sikap yang dilarang agama.

ُ ‫فَا ِج‬
 ‫ر‬ ‫ق يَا َكافِ ُر يَا‬ ِ ‫َو ِمنَ اأْل َ ْلفَا ِظ ْال ُموْ ِجبَ ِة لِلتَّع‬
ُ ‫ْزي ِْر قَوْ لُهُ لِ َغي ِْر ِه يَا فَا ِس‬

‫ْث يَا َك َّذابُ يَا َخائِ ُن يَا‬ ِ ِ‫يَا َشقِ ُّي يَا َك ْلبُ يَا ِح َما ُر يَا تَيْسُ يَا َراف‬
ُ ‫ض ُّي يَا خَ بِي‬

‫ق‬ ُ ْ‫َان يَا قَ َوا ُد يَا َديُّو‬


ُ ‫ث يَا عَل‬ ُ ‫قِرْ ن‬.  
Artinya: “Di antara kata-kata yang mengakibatkan pelakunya

mendapatkan hukuman ta’zir adalah ketika ada satu orang memanggil

orang lain dengan panggilan ‘Hai kafir, hai orang yang durhaka, hai orang

yang celaka, hai anjing, hai keledai, hai kambing jantan, hai orang syi’ah

râfidlah, hai orang jelek, hai penipu, hai orang yang berkhianat, hai orang

yang mempunyai dua tanduk, hai orang yang tidak mempunyai gairah

sama keluarganya dan hai segumpal darah.” (An-Nawawi, Syarah al-

Majmu’, [Dârul Fikr], juz 20, halaman 125). 

Pada Masa Khalifah Ali Bin Abu Tholib ada seorang yang bertanya

kepada beliau tentang orang yang memanggi “ hai fasik , orang yang

buruk” Sahabat Ali Menjawab “ sesungguhnya itu kalimat yang buruk dan

kotor dan pelakunya berhak untuk di tazir”.

Dengan demikian, jika ada yang memanggil orang lain dengan

panggilan nama hewan seperti anjing, keledai dan kambing hitam berhak

dihukum pemerintah, maka begitu pula jika ada yang memanggil orang lain

dengan sebutan kecebong atau pun kampret, masing-masing adalah nama

hewan, bukan nama manusia sebenarnya. Pelakunya bisa dita’zir. Ta’zir

adalah sebuah hukuman dari syari’at yang tidak diatur aturan bakunya

dalam agama. Tidak seperti had dan qishas. Keduanya mempunyai aturan-

aturan teknis yang mengatur.

4. Ijtinabu Katsirin minadzdzan

Yakni menghindari buruk sangka. Dengan kita berburuk sangka

kepada orang lain bisa membuat perpecahan diantara sesama. Menurut


Tubagus Wahyudi, ST., Msi., MCHt., Chi “orang yang berburuk sangka

atau su’udzan tidak sadar sedang merusak dirinya sendiri. Otak

(subconscious) manusia akan merspon semua pikiran, dan selanjutnya

alam bawah sadar akan berupaya mempengaruhi kita dan alam semesta

untuk menciptakan kondisi seperti yang kita su’udzan-kan, baik kepada

orang lain , diri sendiri apalagi kepada Allah SWT. [ CITATION Owe15 \l

1057 ]

Dalam Islam pun su’udzan sangat dilarang karena akan berujung

fitnah, jika kita su’udzan atau berburuk sangka hidup tidak akan pernah

tenang dan suatu perbuatan dosa. Allah swt. berfirman dalam QS. Al

Hujarat ayat 12 :

‫ْض الظَّنِّ إِ ْث ٌم ۖ َواَل تَ َج َّسسُوا‬


َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اجْ تَنِبُوا َكثِيرًا ِّمنَ الظَّنِّ إِ َّن بَع‬
Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka,


karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan

berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan

perbuatan dosa.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ِ ‫إِيَّا ُك ْم َوالظَّ َّن فَإ ِ َّن الظَّ َّن أَ ْك َذبُ ْال َح ِد ْي‬
‫ث َوالَ تَ َح َّسسُوا َوالَ تَ َج َّسسُوا‬

‫َوالَ ت ََحا َس ُدوا َوالَتَدَابَرُوا َوالَتَبَا َغضُوا َو ُكوْ نُوا ِعبَا َدهَّللا ِ إحْ َوانًا‬
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena
prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling
mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling
mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara”( Al-Bukhari hadits no. 6064 dan
Muslim hadits no. 2563)

5. Ijtinabul Ghibah

Yakni menjauhi ghibah. Ghibah adalah menceritakan keburukan

dan kejelekan orang lain. Ketika seseorang menceritakan kejelekan orang

lain, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika yang

diceritakannya benar-benar terjadi maka itulah ghibah. Kedua, jika yang

diceritakannya itu tidak terjadi berarti ia telah memfitnah orang lain

Diriwayatkan, pada zaman Rasulullah SAW bila ada orang yang

berbuat ghibah, maka siksanya langsung diperlihatkan, sebagaimana yang

terjadi pada dua orang wanita yang diperintah olehnya untuk

memuntahkan darah kental dari mulutnya setelah menggunjing

saudaranya. Seiring banyaknya orang menggunjing, seperti sekarang ini,

siksaan itu pun tak lagi diperlihatkan. Terlebih dosa besar itu sudah

dianggap sebagai hal biasa dan lumrah terjadi. Padahal, Rasulullah SAW

sudah menyatakan bahwa dosa ghibah berat dari dosa zina:

، ُ‫ ال َّر ُج ُل يَ ْزنِي ثُ َّم يَتُوب‬:‫ال‬


َ َ‫ َو َك ْيفَ ؟ ق‬:‫يل‬ ِّ َ‫ْال ِغيبَةُ أَ َش ُّد ِمن‬
َ ‫ ِق‬. ‫الزنَا‬

َ ُ‫ب ْال ِغيبَ ِة اَل يُ ْغفَ ُر لَهُ َحتَّى يَ ْغفِ َر لَه‬


ُ‫صا ِحبُه‬ َ ‫ َوإِ َّن‬،‫فَيَتُوبُ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ‫صا ِح‬

Artinya,
“’Ghibah itu lebih berat dari zina.’” Seorang sahabat bertanya,
‘Bagaimana bisa?’ Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang
berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya.
Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang
yang dighibahnya,’” (HR At-Thabrani).

Lebih bahaya lagi, kelak di akhirat orang yang suka ghibah akan

dimintai  pertanggungjawaban di hadapan Allah oleh orang yang

dighibahnya. Amal kebaikannya dibayarkan kepada orang-orang yang

pernah dizaliminya, termasuk kepada orang yang telah dighibahnya.

Setelah amal kebaikannya habis, amal keburukan orang-orang yang

dizaliminya ditimpakan kepada dirinya. Akibatnya, dia akan menjadi

orang yang bangkrut, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW

dalam hadits berikut ini. Suatu hari, Rasulullah SAW bertanya kepada para

sahabat, “Apakah kalian tahu siapakah orang yang bangkrut?” Mereka

menjawab, “Orang yang bangkrut di tengah kami adalah orang yang sudah

tidak memiliki dirham dan harta benda lain.” Ia menjelaskan, “Orang

bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat

membawa amal shalat, amal zakat, amal puasa, namun dia pernah mencaci

si ini, menuduh si ini, makan harta si sini, menumpahkan darah si ini,

memukul si ini sehingga yang ini dibayar dengan kebaikannya dan yang

ini dibayar dengan kebaikannya. Setelah kebaikan-kebaikannya habis

sebelum semua kezaliman terbayar, maka diambillah keburukan-

keburukan mereka yang pernah dizaliminya lalu ditimpakan kepada

dirinya. Akibatnya, dia dilemparkan ke dalam neraka.”


Dari penjelasan diatas, maka kita harus hindari segala bentuk atau

macam hal yang bisa menjadi akar perpecahan diantara manusia. Kita

wajib menjauhinya agar hidup kita rukun , damai, aman dan nyaman serta

terjalin tali persaudaraan yang kuat dan kokoh.

C. Kitab AT Tibyan

Kitab At Tibyan Adalah sebuah kitab karya atau karangan dari

Ulama cemerlang dan pimpinan ormas terbesar di Indonesia, “Jam’iyyah

Nahdlatul Ulama “, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari(semoga

Allah SWT memberikan manfaat kepada kita sebab keberadaan Syaikh

dan Ilmu-ilmu beliau). Di dalamnya membahas tentang urgensi

silaturrahmi, pergaulan yang baik antara sanak kerabat, saudara, serta

sahabat untuk membangung sebuah masyarakat Islami, sebagaimana yang

telah terjadi di era Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in ra, dan orang-

orang setelah mereka, yaitu para ulama salafunas salih . firman Allah

SWT tentang mereka :

ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬


‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْٱل ُمن َك ِر‬ ْ ‫ُكنتُ ْم خَ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬

ِ َ‫َوتُ ْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ ۗ َولَوْ َءا َمنَ أَ ْه ُل ْٱل ِك ٰت‬


َ‫ب لَ َكانَ خَ ْيرًا لَّهُم ۚ ِّم ْنهُ ُم ْٱل ُم ْؤ ِمنُون‬

َ‫َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْٱل ٰفَ ِسقُون‬

Artinya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran(4):110)
Hadratussyaikh juga (dalam kitabnya ini) memperingatkan tentang

bahaya memutuskan tali silaturahmi serta bentuknya pergaulan antara

sanak kerabat, saudara dan sahabat. Di antara penyebab – penyababnya

adalah saling membenci, saling iri hati, saling berseteru, dan etika-etika

buruk lainnya. Peringatan ini sangat penting sekali kareana meretanya

cobaan tersebut di tengah – tengah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, apalagi di

tengah-tengah masyarakat kontemporer saat ini.

Karena di pandang pantas, didalam kitab ini juga dilampirkan

empat kitab tipis yang juga karangan beliau ; pertama, Muqaddimah

Qanun Al-Asasi Lijam’iyyati Nahdlatil Ulama’ (Pembukaan Undang-

undang Dasar Jam’iyyah NU); kedua, Risalah fit Ta’akkudil Akhdzi bi

Madzahibil Aimmah Al-Arba’ah (Kitab tipis tentang berpegang teguh pada

mazhab Imam Empat); ketiga, Al-Mawa’iz (Nasihat-nasihat); dan keempat

adalah 40 Hadits Nabi saw yang berhubungan dengan dasar-dasar

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Dalam kitab ini memuat hadits – hadits tentang silaturrahmi dan

larangan untuk memutusnya. Dan beberapa nasihat dari KH. M. Hasyim

Asy’ari untuk persatuan umat dan kemaslahatan manusia.

D. Kerangka Pemikiran

Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, nilai bukan benda

konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut
pembuktian empirik, melainkan sosial penghayatan yang dikehendaki,

disenangi, dan tidak disenangi.[ CITATION Man01 \l 1033 ].

Dilihat dari segi bahasa, kata silaturahmi berasal dari bahasa Arab

yang terdiri dari dua suku kata yaitu Shilah dan Rahiim. Kata shilah

merupakan bentuk masdar dari kata kerja Washola yang berate

menyambung. Kata Rahiim adalah bentuk singular dari arham yang berarti

sanak saudara yang tidak tergolong ahli waris., jadi secara harfiyah

silaturahmi adalah menyambung kebaikan kepada sanak saudara dan orang

lain serta kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki

hubungan nasab dan kerabat bersikap lembut, menyayangi dan

memperhatikan kondisi mereka.. Silaturahmi adalah salah satu bentuk

ajaran agama yang berkenaan dengan sosial masyarakat untuk saling

mengadakan hubungan yang baik dalam pergaulan. Silaturahmi termasuk

ibadah kepada Allah yang mulia dan agung karena dapat memberikan

manfaat di dunia maupun di akhirat. Silaturahmi juga termasuk kebutuhan

secara fitrah dan sosial karena akan melahirkan keakraban, tersebarnya

kasih sayang dan persaan cinta. Silaturahmi merupakan amal sholeh yang

memiliki nilai keberkahan kepada siapa saja yang menjalankannya.

Kita dianjurkan untuk memelihara tali silaturahmi antar saudara,

kerabat dan sahabat dan tidak boleh memutus tali silaturahmi tersebut.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang


Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”(QS An-Nisa :1)

Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan perpecahan adalah

pemutusan. Memutuskan segala hubungan termasuk silaturahmi, dimana

perbuatan memutus tali silaturahmi sangatlah dibenci oleh agama dan

bagi orang – orang yang memutuskan tali silaturahmi akan mendapatkan

dosa besar dan siksa yang pedih dari Allah SWT.

Banyak ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits yang menerangkan

tentang bahayanya memutus tali silaturahmi yang mengakibatkan

perpecahan antar umat. Dan akan mendapat laknat dari Allah bagi siapa

saja yang memutuskan hubungan silaturahmi baik kepada kerabat dan

sahabat.

Peneliti memilih mengambil Kitab At-Tibyan karena didalamnya

banyak hadits yang menjelaskan tentang bahaya memutus tali

silaturahmi, sehingga menarik untuk di teliti. Dengan harapan bahwa

dengan meneliti kitab tersebut bisa menjadikan kita menjaga tali

silaturahmi supaya tidak terjadi perpecahan.

Menjaga Nilai – Nilai


Menjauhi Perpecahan
Tali Silaturahmi

Kitab At-Tibyan
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

Metode Penelitian merupakan suatu proses atau cara yang dipilih

secara Spesifik untuk menyelesaikan masalah yang diajukan dalam sebuah

riset

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitioan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

termasuk jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Metode kualitatif menjadi titik-tolak penelitian kualitatif, yang

menekankan kualitas (ciri-ciri data yang alami) sesuai dengan

pemahaman deskriptif dan alamiyah itu sendiri. Hal itu disebabkan

oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang


dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah

diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pendekatan kualitatif.[ CITATION HMD00 \l 1057 ] Alasan menggunakan

pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran mendalam mengenai objek penelitian yaitu

mengenai bagaimana menjaga tali silaturahmi dan menjauhi

perpecahan menurut KH. Hasyim Asya’ri dalam Kitab At-Tibyan.

Hasil studi ini dianalisis dengan menggunakan metode content

analysis, sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena

itu peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.

Penelitian ini didesain dalam bentuk penelitian kepustakaan (Library

research) menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber

data penelitian. Penelitian ini adalah telaah yang berkaitan kepada

pemikiran seorang tokoh dalam waktu tertentu, maka secara

metodologis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isi

(perpustakaan).[ CITATION Nyo10 \l 1057 ] Maksudnya adalah penelitian

berhubungan erat dengan pemikiran yang dituangkan dalam karya atau

buku (isi); yaitu penelitian berbicara tentang bahaya memutus tali

Silaturrahmi kemudian dihubungkan dengan keadaan atau kondisi

suatu keadaan. Karena penelitian ini berhubungan dengan Hubungan

antar sesama yaitu silaturrahmi, maka pendekatan yang digunakan


selain kualitatif juga dengan pendekatan ekspresif (berhubungan

dengan pengarang), pendekatan objektif (berhubungan dengan teks),

pendekatan mimetik (berhubungan dengan kesemestaan) Penelitian ini

juga menggunakan pendekatan teknik deskriptif, yaitu suatu bentuk

penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena

yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.

Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan,

hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu

dengan fenomena lainnya.[ CITATION Nan06 \l 1057 ] Pendekatan

deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan

menginterpretasikan sesuatu pendapat yang berkembang. Furchan

menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang

dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat

penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan

yang diberikan atau dikendalikan. Pendekatan lebih diskriftif akan

menjadi lebih jelas bilamana dilihat dari pandangan para pakar

mengenai metode tersebut, diantaranya: [ CITATION Ari04 \l 1057 ]

1. Menurut Whitney metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan

interprefasi yang tepat.

2. Menurut Moh.Nazir menerangkan bahwa penelitian deskriptif

mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara

yang berlaku di masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk

tentang hubungan kegiatan-kegiatan, skiap-sikap, pandangan-


pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan

pengaruh dari suatu fenomena.

3. Menurut Mely. G. Tan yang mengemukakan bahwa penelitian yang

bersifat deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat suatu

sifat- sifat individu, keadan, gejala atau kelompok-kelompok

tertentu dalam suatau masyrakat.

Prosess pendekatan penelitian deskriftif dapat diikhtisarkan

dalam langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pernyataan masalah. Seperti halnya penelitian pustaka (Library

Reseach), peneliti harus memulai penyelidikannya dengan

pernyataan masalah yang jelas.

2. Identifikasi informasi yang di perlukan untuk memecahkan

masalah.

3. Pemilihan atau pengembangan pengumpulan data.

4. Identifikasi – sasaran dan penentuan prosedur dari data prier

dan sekunder yang di pelukan.

5. Rancangan prosedur pengumpulan data.

6. Pengumpulan data.

7. Analisis data

8. Pembuatan laporan.

3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis isi kitab AT – TIBYAN

karya dari Hadrotussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Hal-hal yang


diasumsikan dapat menjadi objek penelitian dalam kitab AT - TIBYAN

karya KH. M. Hasyim Asy’ari adalah pesan dari ayat – ayat Al –

Qur’an dan Hadits – Hadits Nabi Muhammad saw. Tentang pentingnya

menjaga tali silaturahmi dan menjauhi perpecahan, agar kita terhindar

dari laknat Allah SWT. Karena memtus hubungan tali silaturahmi

adalah suatu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT.

4. Waktu Penelitian

Penelitian Ini dilaksanakan selama 3 Bulan, mulai dari bulan Mei

sampai dengan bulan Juli 2020.

Tabel Waktu Penelitian

Waktu Pelaksanaan
No Kegiatan
Mei Juni Juli
1. Tahap Persiapan
a. Penyusunan proposal dan
Pengajuan Judul
b. Pengajuan Proposal
c. Perizinan Penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data
b. Analisis Data
3. Tahap Penyusunan Laporan

B. Sumber Data

Untuk mengumpulkan data penelitian yang diperlukan dalam

pembahasan ini, penulis mengunakan metode penelitian pustaka (library

research) yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku literatur


yang ada hubungannya dengan pokok bahasan dan sumber pendukung

lainnya. Penelitian ini disebut penelitian pustaka (library research), oleh

karena itu sumber data diperoleh dalam dua bentuk data, yaitu data primer

dan data sekunder.

1. Data primer;

Data Primer, yaitu materi-materi yang berkaitan dengan

sasaran penelitian dan buku-buku yang berkaitan langsung dengan

masalah yang akan di bahas. Adapun data primer yang digunakan

adalah Hadits tentang larangan memutus tali silaturahmi yang terdapat

dalam kitab At-Tibyan dengan metode Library Research.

2. Data sekunder;

Data Sekunder, merupakan sumber data bersifat umum untuk

meneliti, yang isinya mendukung data primer. Yaitu data-data yang

berkaitan dengan judul penelitian yang dilakukan. Data tersebut

berupa buku-buku, hasil penelitian, jurnal, dan literatur lainnya yang

ada hubungannya dengan judul penelitian ini. Seperti: Raih Berkah

Harta dengan sedekah dan silaturahmi(Muhammad Habibillah),

Dahsyatnya Silturrahmi (Fatihuddin), dll.

C. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan langkah penting dalam

melakukan penelitian, karena data yang terkumpul akan dijadikan bahan

analisis dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian

kualitatif ini adalah :


1. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan

data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen

yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain . Dokumentasi

merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif

untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu

media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung

oleh subjek yang bersangkutan.

Dengan metode ini, peneliti mengumpulkan data dari dokumen

yang sudah ada, sehingga penulis dapat memperoleh catatan-catatan

yang berhubungan dengan penelitian seperti : gambaran umum isi

dalam kitab dan pesan yang terkandung dalam kitab atau buku.

2. Studi Literatur

Studi literatur sebagai teknik pengumpulan data kualitatif

dilakukan dengan cara menelusuri dokumen penting yang dianggap

berkaitan dengan fokus penelitian. Teknik ini disebut juga studi

kepustakaan. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan bisa berupa

teks atau gambar. Dokumen yang menjadi sumber data tak melulu

teks-teks akademik seperti buku, laporan riset, policy brief, atau jurnal,

tapi bisa juga, pamflet, spanduk, kartu nama, dan laporan jurnalistik.

D. Teknik Analisis Data

Langkah awal yang ditempuh guna memperoleh data adalah

dengan mengumpul berbagai sumber dari data primer dan data


sekunder. Kitab At Tibyan karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim

Asy’ari, mengenai Pentingnya Menjaga Tali Silaturrahmi atau

persaudaraan dan larangan memutus tali silaturrahmi. Data yang telah

terkumpul lalu ditelaah dan diteliti untuk selanjutnya diklarifikasi

sesuai dengan keperluan. Selanjutnya disusun secara sitematis,

sehingga menjadi suatu kerangka yang jelas dan mudah difahami

untuk dianalisa.

Untuk menganalisa data yang terkumpul, diklarifikasikan

sesuai dengan kebutuhan dan analisis dengan cara yang tepat. Dalam

menganalisis data, teknik yang dilakukan menggunakan content

analysis. [ CITATION Ant90 \l 1057 ] Maksudnya bahwa semua ide dalam

pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari mengenai pentingnya menjaga

Silaturrahmi dan menjauhi Perpecahan ditampilkan sebagaimana

adanya. Setelah itu penulis membandingkan melalui buku, artikel,

jurnal dan kitab lain yang relevan. Oleh karena itu, selain

menggunakan content analysis, metode yang dipandang sesuai dan

memiliki relevansi dan akurasi yang kuat dalam penelitian ini adalah

penelitian yang bersifat diskriptif kualitatif yang mempergunakan

sumber-sumber tertulis yang ada hubungannya dengan pokok

permasalahan.[ CITATION Noe90 \l 1057 ]

Selanjutnya di susun langkah-langkah yang sesuai untuk

menunjang keakuratan penelitian ini. Penyajian ini memberikan

gambaran mengenai distribusi subjek menurut kategori-kategori yang


ditetapkan. Oleh karena itu, content analysis ini di dasarkan pada

pendapat ahli dan pembandingnya agar dapat membantu memahami

keadaan data yang disajikan.[ CITATION Sai10 \l 1057 ]

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan

cara mengorganisasikan data dan memilih mana yang penting serta

mana yang perlu dipelajari serta membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami (Sugiyono, 2007: 333-345). Teknik analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang

digunakan peneliti sebagaimana yang dikemukakan Miles dan

Hubberman (Sugiyono, 2007: 204) yaitu pengumpulan data, reduksi

data, penyajian data dan langkah terakhir adalah penarikan

kesimpulan. Langkah-langkah tersebut sebagi berikut.

a. Reduksi data

Reduksi data merupakan penyerderhanaan yang dilakukan melalui

seleksi, pemfokusan dan keabsahan data mentah menjadi informasi

yang bermakna, sehingga memudahkan penarikan kesimpulan.

b. Penyajian data

Penyajian data yang sering digunakan pada data kualitatif adalah

bentuk naratif. Penyajian-penyajian data berupa sekumpulan

informasi yang tersusun secara sistematis dan mudah dipahami.

c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data

yang dilakukan melihat hasil reduksi data tetap mengaju pada

rumusan masalah secara tujuan yang hendak dicapai. Data yang

telah disusun dibandingkan antara satu dengan yang lain untuk

ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.

Gambar 2: Teknik Analisis Data Kualitatif Menurut Miles dan

Hubberman (Sugiyono, 2007: 333-345)

Dalam penelitian ini yang akan di analisis peneliti adalah

Pentingnya Menjaga Nilai – nilai Tali Silaturrahim dan Menjauhi

Perpecahan dalam Kitab At-Tibyan Karya KH. Hasyim Asy’ari.

1. Nilai

Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat

berarti bagi kehidupan manusia[ CITATION MCh96 \l 1033 ], khususnya

mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal, Nilai artinya sifat-
sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.

[ CITATION WJS99 \l 1033 ]

2. Silaturahmi/Silaturrohim

Silaturahmi adalah budaya yang tumbuh subur di tengah –

tengah kehiduan masyarakat. Pada penelitian ini, yang akan menjadi

data adalah pesan silaturahmi yang terdapat dalam kitab At Tibyan.

Menurut peneliti, pesan silaturahmi dalam kitab At Tibyan karya KH.

M. Hasyim Asy’ari layak untuk menjadi objek penelitian karena

banyak pesan moral yang di sampaikan melalui kitab tersebut.

3. Menjauhi Perpecahan

Arti perpecahan dalam bahasa Arab adalah Al-iftiraaq (‫)االفرتاق‬

berasal dari kata ‫ املفارقة‬yang berarti ‫( املباينة‬perpisahan), ‫املفاص لة‬

(pemisahan) dan ‫( االنقطاع‬pemutusan). Kata iftiraaq juga diambil dari

pengertian memisahkan diri dan nyeleneh, seperti ungkapan: ‫اخلروج‬

‫( عن األصل‬keluar dari kaedah), ‫( اخلروج عن اجلادة‬keluar dari biasanya).

Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan perpecahan adalah

pemutusan. Memutuskan segala hubungan termasuk silaturahmi,

dimana perbuatan memutus tali silaturahmi sangatlah dibenci oleh


agama dan bagi orang – orang yang memutuskan tali silaturahmi akan

mendapatkan dosa besar dan siksa yang pedih dari Allah SWT.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari

1. Silsilah KH. M. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim

bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan

nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan

julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin

Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan

sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim

binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin

Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal

dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).

Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak,

sedangkan yang kedua dari jalur ibu.[ CITATION Ach10 \l 1057 ]


Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah

sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah,

bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya

atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara

dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu

Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah

pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan

dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada

disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di

Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang

terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan

Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja

pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup

populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan

pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu

(Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang

yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada

akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah

dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras

Jombang.
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa

Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti

ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai

Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum

akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama

saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah,

salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu

dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai

Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna

menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim

kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh

bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang

putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul

ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu,

membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya

memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia

setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang

gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah.

Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899

M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama,

karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.


Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan

perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan

Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah,

Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah,

Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan

Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia

pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi

dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren

Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai

Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan

Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan

perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

2. Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama

(islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai

pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai

Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di

tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim

termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan

falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan

berkelana) atau sambi kelana”           


Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara

serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya

sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga

berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal

dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian

islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup

menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu

menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya

mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai

Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim

belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren

Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan

pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan

kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu

diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim

melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai

Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi

membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai

Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa

arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah

bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh,

Adab, Tafsie dan Hadith.


Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan

tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal

menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim

berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin  Hashim,

Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi

bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi,

Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb

bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid

Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn

al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim

juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi,

Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang

disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di

Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam

pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya

kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-

Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah

belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d  Allah al-Maymani

(mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah),

al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah

(Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus),

KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).


Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan

bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan

mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa

sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat,

diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu,

meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika

intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat

menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan

tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari

dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah

melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

3. Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang

masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di

pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain: [ CITATION

Drs18 \l 1057 ]

a. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-

Ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H

dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami,

Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai

pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta


memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali

persaudaraan atau silatuhrami.

b. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.

Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim

Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi

landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak

NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan

wajib mereka.

c. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar

menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i,

Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin

Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa

pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.

d. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul

Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits

pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU.

Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan

dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang

prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan

hambatan ini.
e. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim

fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume  dari kitab Adab

al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-

Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-

Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim

wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan

bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut

kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari

terhadap dunia pendidikan.

f. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa

Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat

dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal

tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana

sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak

langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan

yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita

dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH.

Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya

pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim

Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang


merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak

mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi

keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

Anda mungkin juga menyukai