5 6066442495858835732
5 6066442495858835732
OLEH : KELOMPOK 2
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“asuhan keperawatan henti jantung dan krisis hipertensi”.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah keperawatan
kritis Dengan selesainya penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada : Ns.Made Martini S.kep M.Kep selaku
dosen keperawatan kritis yang telah memberikan kami kesempatan untuk
memyelesaikan tugas.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya perlukan
demi sempurnanya penyusunan makalah ini.semoga apa yg penulis bahas
disini dapat berguna bagi pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Cover
Kata pengantar...............................................................................................ii
Daftar isi.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................2
1.2 Rumusan masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................3
1.4 Manfaat ...................................................................................................3
BAB II KONSEP TEORI..............................................................................4
2.1 Laporan pendahuluan henti jantung.........................................................4
2.2 Laporan pendahuluan krisis jantung........................................................24
BAB III PEMBAHASAN DAN CONTOH KASUS....................................40
3.1 Laporan kasus..........................................................................................40
BAB IV PENUTUP.......................................................................................48
4.1 Kesimpulan..............................................................................................48
4.2 Saran........................................................................................................44
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
masih tinggi, maka dibutuhkan usaha untuk menekannya. Usaha yang dilakukan
yaitu dengan pengobatan yang tepat sehingga tekanan darah dapat terkontrol ke
tingkat normal (Herdanto, 2010). Prevalensi hipertensi di Amerika tahun 1999-
2000 menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III)
paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan di bawah
140/ 90 mmHg. Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran kesehatan yang lebih
rendah, kemungkinan terjadinya hipertensi lebih besar (Muchid et al., 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful
Anwar Malang pada periode April-Mei 2005 penderita dengan komplikasi sebesar
51,6%, yaitu retinopati dan atau gangguan ginjal.
1.3 Tujuan
1.3.1 untuk mengetahui apa itu henti jantung
1.3.2 untuk mengetahui penyebab henti jantung
1.3.3 untuk mengetahui perjalanan henti jantung.
1.3.4 untuk mengetahui penyebab henti jantung
1.3.5 untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic henti jantung
1.3.6 untuk mengetahui penatalaksaan henti jantung
1.3.7 untuk mengetahui pengertian krisis hipertensi
1.3.8 untuk mengetahui klasifikasi krisis hipertensi
1.3.9 untuk mengetahui penyebab krisis hipertensi
1.3.10 untuk mengetahui bagaimana perjalanan penyakit krisis hipertensi.
1.3.11 untuk mengetahui gejala krisis hipertesi
1.3.12 untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang krisis
hipertensi.
1.4 Manfaat
Adapun mamfaat dari disusunya makalah ini adalah untuk menambah
wawasan pembaca mengenai penatalaksanaan kasus keperawatan kritis,
terutama mengenai henti jantung dan krisis hipertensi
BAB II
TINJAUAN TEORI
4
5
dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di antara saat timbulnya
keadaansakit terminal dan kematian.
B. Etiologi
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung dapat
berupa :
1. Usia
Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan betambahnya usia
bahkan dengan pasien yang bebas dari serangan jantung tiba-tiba (SCA:
sudden cardiac arrest).
2. Jenis kelamin
Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan jantung tiba-
tiba (SCA) dibandingkan dengan wanita yang lebik beresiko mengalami henti
jantung atau CAD yang mendasari.
3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden
SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium
ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat
merokok hanya terlihat pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini
menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok juga meningkatkan
insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti
jantung.
4. Penyakit jantung yang mendasari :
a. Penyakit arteri koronaria
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD
mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa
CAD yang jelas.The Multicenter Post Infarction Research
Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature
ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan ronki dalam masa periinfark
6
d. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam
mengurangi insiden SCD.
e. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD
pada pria, bukan wanita.
6. Riwayat aritmia
a. Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel
disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga
beresiko, jika aritmia supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium.
Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang
mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus
atau VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
b. Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus
menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC
tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel
kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT spontan mempunyai
ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat
VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan
VF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
Faktor-faktor pemcetis terjadinya henti jantung dapat berupa :
1. Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien
yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini
timbul selama atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan
bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD
jarang terjadi.
2. Iskemik
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia
dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia
ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas
8
pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya
listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih
banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
3. Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan
brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat
menyokong henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan
segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD.
Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan
derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah
yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti
jantung dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria
yang tetap.
C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan
mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang
mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu
penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang
menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat
9
jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari
jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan
adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh
dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan
tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
mengakibatkan kematian.
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan
dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan
ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava
superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
D. Manifestasi klinis
Mnifestasi klinis cradiac arrets :
1. Organ-organ tubuh mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen, ternasuk otak.
2. Hyfoxcia serebral atau ketidakadaan oksigen pada otak, menyebabkan
kehilangan kesadaran (collaps)
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
11
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang
dapat terasa pada arteri.
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian
tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap
fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung.
Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola
listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan enzim jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat
penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang
ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan
impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
c. Test obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-
obatan terlarang.
12
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan
fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai
70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden
cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa
cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari
jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized
tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary chaterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan
atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk
arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat
pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu,
sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan
dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri
terbuka.
F. Penatalaksanaan
1. Respon awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar
disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan
ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis
dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung
yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap
dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk
diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk
14
adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai,
maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang menyumbat.
Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan
terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan
sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia
ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk
menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons inisial
adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat
indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring.
Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang
mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan
setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan dukungan kehidupan dasar (bassic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan
dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan
intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan
RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi
ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat
dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya
pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu
bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan
pengembangan paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara
pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan
resusitasi dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan
ventilasi maupun kompresi dinding dada hanya satu orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung
memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan
15
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani
dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar
tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner
diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta
asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan
intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk
mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada
bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti
jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas.
Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan
benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
4. Perawatan pacsa resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan.
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
18
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan
untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang
berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit
yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal
ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan
dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas
spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency
berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat
yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes
diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka
panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata
statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti
jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen
19
pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen
pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat
diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak
diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit
adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain
yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir
semua kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif dilakukan
menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik
sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik
kronik, tanpa MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau
ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari
peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik,
pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis (seperti angiografi, obat)
digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik
paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram
untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika
ya, informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi
efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat
digunakan untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan
tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien
dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah
kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik
untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik
dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti
jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat
diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron,
penanaman defibrillator/kardioverter (ICD, implantable
cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti
bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.
20
A. Pengkajian
21
1. Arway
Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran
nafas. Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses ventilasi (pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-
paru. Jalan nafas seringkali mengalami obstruksi akibat benda asing, serpihan
tulang akibat fraktur pada wajah, akumulasi sekret dan jatuhnya lidah ke
belakang.
Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal, barangkali
terjadi trauma pada leher. Oleh karena itu langkah awal untuk membebaskan
jalan nafas adalah dengan melakukan manuver head tilt dan chin lift.
Data yang berhubungan dengan satus jalan nafas adalah :
- Sianosis (mencerminkan hipoksemia)
- Retraksi interkosta (menandakan peningkatan upaya nafas)
- Pernafasan cuping hidung
- Bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)
- Tidak ada hembusan udara (menandakan obstruksi jalan nafas atau
henti nafas)
2. Breathing
Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara
adekwat. Inspirasi dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas,
terutama masuknya oksigen yang diperlukan untuk metabolisme tubuh.
Inspirasi dan ekspirasi merupakan tahap ventilasi pada proses respirasi. Fungsi
ventilasi mencerminkan fungsi paru, dinding dada dan diafragma.
3. Cirulation
Sirkulasi yang adekwat menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan pembuangan
karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi tergantung dari fungsi sistem
kardiovaskuler.
Status hemodinamika dapat dilihat :
- Tingkat kesadaran
- Nadi
- Warna kulit
Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis dan
arteri femoral.
A. PENGERTIAN
Diabetes Mellitus (DM) sebagai salah satu Hipertensi yang dikenal sebagai
the silent killer merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit
jantung koroner dan stroke yang merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia
saat ini.Komplikasi akibat hipertensi bukan hanya terjadi secara kronis tetapi
dapat pula terjadi secara akut yang membutuhkan penanganan segera.Sekitar satu
persen dari penderita hipertensi dapat mengalami krisis hipertensi, yakni
terjadinya peningkatan tekanan darah tiba – tiba dengan atau tanpa disertai
kerusakan/ancaman kerusakan organ target.
Krisis hipertensi biasanya ditandai dengan peningkatan tekanan darah
diastolic yang melebihi 120 hingga 130 mmHg dan tekanan sistolik mencapai 200
hingga 220 mmHg. Krisis hipertensi terbagi dua, yakni Hipertensi emergensi jika
disertai dengan kerusakan organ target dan Hipertensi urgensi jika tanpa
kerusakan organ target (Kaplan, 2006; Van der Born, et all, 2011). Hipertensi
emergensi dan urgensi sering dijumpai di instalasi gawat darurat yakni sekitar
27,5% dari semua kasus – kasus emergensi yang ada (Kitiyakara & Guzman,
1998; Cherney & Straus, 2002).
Hipertensi emergensi merupakan suatu diagnosis klinis dan penilaian
kondisi klinis lebih penting dari pada nilai absolut tekanan darah. Sehingga pada
pasien – pasien yang tidak memiliki riwayat hipertensi atau wanita dengan pre-
eklamsia, peningkatan tekanan darah yang lebih rendah dari nilai tersebut dapat
dianggap sebagai hipertensi emergensi (Varon & Marik, 2003). Sindroma
hipertensi emergensi pertama sekali disampaikan oleh Volhard dan Fahr.
pada tahun 1914 yang memaparkan kasus hipertensi berat yang disertai
dengan buktiadanya kelainan ginjal dan tanda – tanda injuri vaskular jantung,
otak, retina dan ginjal yang selanjutnya cepat mengalami serangan jantung, gagal
ginjal dan stroke (Volhard, Fahr, & Die brightsche Nierenkranbeit, 1914).
Penelitian besar pertama yang menggambarkan perjalanan alamiah hipertensi
malignandipublikasikan pada tahun 1939 oleh Keith dan kawan – kawan yang
25
B. Klasifikasi
Krisis hipertensi dibagi menjadi 2 (Tanto, 2014), yaitu :
26
1) Hipertensi urgensi, apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg, dan atau
diastolic >120 mmHg tanpa disertai jejas organ target
2) Hipertensi emergensi, apabila tekanan darah sistolik sistolik > 180 mmHg,
dan atau diastolic >120 mmHg disertai jejas organ target yang progresif.
Beberapa organ target pada hipertensi krisis yang harus diwaspadai, antara
lain :
1) Neurologi : ensefalopati hipertensi, stroke iskemik/hemoragik,
papil edema, perdarahan intracranial
2) Jantung, syndrome koroner akut, edema paru, diseksi aorta, gagal
jantung akut
3) Ginjal : proteinuria, hamaturia, gangguan ginjal akut
4) Preeclampsia/eklampsia, anemia hemolitik, dan lain-lain
C. Etiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular,
berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor
penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami.
Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai
peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak
ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga
membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi
autoregulasi (Devicaesaria, 2014)
D. Patofisiologi
Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini belum diketahui secara
pasti. Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi
autoregulasi dan peningkatan resistensi vascular sistemik yang mendadak dan
cepat. Peningkatan tekanan darah menyebabkan stress mekanik dan jejas
endotel sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Hal tersebut juga
memicu kaskade koagulasi dan deposisi fibrin. Hal tersebut menyebabkan
27
E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan
organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema.
Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul
lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan
atau hematuria bisa saja terjadi (Devicaesaria, 2014)
F. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan tekanan darah : tekanan darah sistolik sistolik > 180
mmHg, dan atau diastolic >120 mmHg
b. Funduskopi : spasme arteri segmental atau difus, edema retina,
perdarahan retina, eksudat retina, papil edema, vena membesar
c. Pemeriksaan neurologis : sakit kepala, bingung, kehilangan
penglihatan, deficit fokal neurologis, kejang, koma
d. Status kardiopulmoner
e. Pemeriksaan cairan tubuh : oliguria pada gagal ginjal akut
f. Pemeriksaan denyut nadi perifer
g. Pemeriksaan darah : hematokrit dan apusan darah
h. Urinalisis : proteinuria, eritrosit pada urine
i. Kimia darah : peningkatan kreatinin, azotemia (ureum > 200
mg/dl), glukosa, elektrolit
28
G. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah menurunkan resistensi vaskular sistemik
Pada kegawatan hipertensi tekanan darah arteri rata-rata diturunkan secara
cepat, sekitar 25% dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya, dalam
beberapa menit atau jam. Penurunan tekanan darah selanjutnya dilakukan
secara lebih perlahan. Sebaiknya penurunan tekanan darah secara cepat
tersebut dicapai dalam 1- 4 jam, dilanjutkan dengan penurunan tekanan darah
dalam 24 jam berikutnya secara lebih perlahan sehingga tercapai tekanan
darah diastolik sekitar 100 mmHg.
Seperti sudah disebutkan di atas, pada kegawatan hipertensi diberikan
obat antihipertensi parenteral yang memerlukan titrasi secara hati-hati sesuai
dengan respons klinik. Setelah penurunan tekanan darah secara cepat tercapai
dengan pemberian obat antihipertensi parenteral, dimulai pemberian obat
antihipertensi oral.
Jika tekanan darah makin menurun dengan penambahan obat
antihipertensi oral tersebut, dilakukan titrasi penurunan dosis obat
antihipertensi parenteral sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah yang
berkesinambungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat monitor
tekanan darah osilometrik otomatik.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau
hipotensi, kecuali pada diseksi aorta, karena akan mengakibatkan terjadinya
hipoperfusi organ target. Penurunan tekanan darah sampai normal dapat
dilaksanakan pada saat pasien berobat jalan.
Obat parenteral yang digunakan untuk terapi krisis hipertensi adalah :
1) Natrium Nitropusida
2) Nikardipin hidroklorida
29
3) Nitrogliserin
4) Enaraplirat
5) Hidralazin Hidroklorida
6) Diazoksid
7) Labatalol Hidroklorida
8) Fentolamin
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Bila diagnosa krisis hipertensi telah ditegakkan maka TD perlu segera
diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di ICU, pasang
femoral intra arterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi). Untuk
menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler. Anamnese
singkat dan pemeriksaan fisik. Tentukan penyebab krisis hipertensi, singkirkan
penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi, tentukan adanya kerusakan organ
sasaran. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang
menyertai dan usia pasien.
1) Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48
jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic
aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
2) Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan
dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini
harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu,
misal : dissecting anneurysma aorta. TD secara bertahap diusahakan mencapai
normal dalam satu atau dua minggu.
1) Pengaturan menu bagi penderita hipertensi selama ini dilakukan dengan
empat cara, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas,
diet rendah serat,dan diet rendah energi (bagi yang kegemukan).
2) Cara diet tersebut bertambah satu dengan hadirnya DASH (Dietary Approach
to Stop Hipertension) yang merupakan strategi pengaturan menu yang lengkap.
Prinsip utama dari diet DASH adalah menyajikan menu makanan dengan gizi
seimbang terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-produk susu tanpa atau
sedikit lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Porsi
makanan tergantung pada jumlah kalori yang dianjurkan untuk dikonsumsi setiap
harinya. Jumlah kalori tergantung pada usia dan aktifitas. Menu yang dianjurkan
dalam diet DASH untuk yang berat badannya normal mengandung 2.000 kalori
yang dibagi dalam tiga kali waktu makan (pagi, siang, malam).
BAHAN
PORSI SEHARI UKURAN PORSI
MAKANAN
Karbohidrat 3 – 5 piring Kecil
Lauk hewani 1 – 2 potong Sedang
Lauk nabati 2 – 3 potong Sedang
Sayuran 4 – 5 mangkuk
Buah – buahan 4 – 5 buah/potong Sedang
Susu / yoghurt 2 – 3 gelas
3) Diet tinggi buah-buahan, sayuran, dan produk susu tanpa lemak atau rendah
lemak secara bersama-sama dan total dapat menurunkan tekanan sistolik rata-rata
6 – 11 mmHg. Buah yang paling sering dianjurkan dikonsumsi untuk mengatasi
hipertensi adalah pisang. Sementara dari golongan sayuran adalah sayuran hijau,
seledri, dan bawang putih. Sedangkan makanan yang dilarang dikonsumsi lagi
oleh penderita hipertensi adalah daging kambing dan durian.
d. Terapi
Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolic kurang
lebih 110 mmHg atau berkurangnya sampai tekanan darah diastolic kurang lebih
110 mmHg atau berkurangnya mean arterial blood pressure mean arterial blood
pressure25 %( pada strok penurunan hanya boleh 20 % dan khusus pada strok
31
iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi> 220 /
330 mmHg ) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi
organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12 – 16 jam selanjutnya sampai
mendekati normal. Penurunan tekanan darah hipertensi urgency dilakukan secara
bertahap dalam dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam.
8. Komplikasi
a. Iskemia atau Infark Miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
hipertensi berat. Tekanan darah harus diturunkan sampai rasa nyeri dada
berkurang atau sampai tekanan diastolik mencapai 100 mmHg. Obat pilihan
adalah nitrat yang diberikan secara intravena yang dapat menurunkan resistensi
sistemik perifer dan memperbaiki perfusi koroner. Obat lain yang dapat dipakai
adalah labetalol.
b. Gagal Jantung Kongestif
Peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mencolok dapat menimbulkan
gagal jantung kiri. Natrium nitroprusid yang diberikan bersama-sama dengan
oksigen, morfin, dan diuretik merupakan obat pilihan karena dapat menurunkan
preload dan afterload. Nitrogliserin yang juga dapat menurunkan preload dan
afterload merupakan obat pilihan yang lain.
c. Diseksi Aorta Akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peninggian tekanan darah yang
mencolok yang disertai dengan nyeri di dada, punggung, dan perut. Untuk
menghentikan perluasan diseksi tekanan darah harus segera diturunkan. Tekanan
darah diastolik harus segera diturunkan sampai 100 mmHg, atau lebih rendah asal
tidak menimbulkan hipoperfusi organ target. Obat pilihan adalah vasodilator
seperti nitroprusid yang diberikan bersama penghambat reseptor b. Labetalol
adalah obat pilihan yang lain.
d. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal akut dapat sebagai penyebab atau akibat peninggian tekanan
darah yang mencolok. Pada pasien cangkok ginjal peninggian tekanan darah dapat
disebabkan stenosis arteri pada ginjal cangkok, siklosporin, kortikosteroid, dan
32
sekresi renin yang tinggi oleh ginjal asli. Penatalaksanaan adalah dengan cara
menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa mengganggu aliran darah ginjal.
Antagonis kalsium seperti nikardipin dapat dipakai pada keadaan ini.
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN
33
Seorang pasien laki – laki datang ke RSUD dengan keluhan pusing, sakit
pada bagian dada sejak kemarin, pasien datang diantar oleh istrinya, pasien
mengatakan memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung bawaan.
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Pasien, meliputi : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat, Pendidikan, Agama,
Bangsa.
2) Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat, Pendidikan,
Agama, Bangsa dan hubungan dengan pasien.
a) Riwayat penyakit
Pasien mengeluh sudah memiliki hipertensi sejak berusia 30 tahun, tekanan
darah kadang naik kadang turun.
5) Eksposure
Kaji : Tanda-tanda trauma yang ada.
5) Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala, berdenyut,
gangguan penglihatan, episode epistaksis
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, perubahan retinal
optic
6) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala oksipital berat,
nyeri abdomen
7) Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea, dispnea
nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/penggunaan otot aksesoris pernapasan, bunyi napas
tambahan, sianosis
8) Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi postura
9) Pembelajaran/PenyuluhaN
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM ,
penyakit ginjal Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormone.
13) Neurosensori
Pasien mengeluh lemas dan pusing, kepala sakit dari kemarin, agak kabur ketika
melihat
14) Nyeri/ketidaknyamanan
Nyeri pada bagian dada ketika berjalan lama dan melakukan aktifitas berat. Sakit
kepala skala nyeri 4
15) Pernapasan
Ada suara tambahan weezhing pasien mengeluh sesak, ada riwayat merokok
sejak 10tahun yang lalu.
16) Keamanan
Pasien berjalan dengan bantuan keluarga menggunakan kursi roda.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi
paru
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
jantung
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai O2
ke otak menurun karena hipertensi
C. Intervensi Keperawatan
38
A. Pengkajian
a) Identitas
1) Pasien
Nama : Tn T
Umur : 56 th
Jenis Kelamin :Laki-laki
Alamat : Denpasar barat
Pendidikan :SMA
Agama :Hindu
Bangsa :Indonesia
b) Penanggung Jawab
Nama :Ny A
Umur :40 th
Jenis Kelamin :Perempuan
Alamat : Denpasar Barat
Pendidikan :SMA
Agama :Hindu
Bangsa :Indonesia
dan hubungan dengan pasien :Istri
c) Riwayat penyakit
Pasien mengeluh sudah memiliki hipertensi sejak berusia 30 tahun, tekanan darah
kadang naik kadang turun.
d) Riwayat penyakit keluarga
Memang ada riwayat keturunan hipertensi, bapak pasien juga mengalami stroke
berat akibat hipertensi
41
42
e) Pengkajian Primer
1) Airway Kaji :
g. Bersihan jalan nafas
ada penumpukan secret pada saluran nafas
h. Distres pernafasan Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas
Tidak ada muntahan, tidak ada oedema
9) Breathing Kaji :
f. Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
Frekuensi nafas 24, pasien sesak, terpasang O2
g. Suara nafas melalui hidung atau mulut
Suara nafas weezihing , pasien bernafas dari mulut
10) Circulation Kaji :
Nadi 80x/menit, Td 180/120 Mmhg, warna kulit coklat, tidak ada tanda
perdarahan internalmaupun eksternal.
11) Disability Kaji :
Pasien sadar penuh, ekstremitas dapat digerakkan, GCS 15, respon pupil
terhadap cahaya baik.
6) Neurosensori
Pasien mengeluh lemas dan pusing, kepala sakit dari kemarin, agak kabur ketika
melihat
7) Nyeri/ketidaknyamanan
Nyeri pada bagian dada ketika berjalan lama dan melakukan aktifitas berat. Sakit
kepala skala nyeri 4
8) Pernapasan
Ada suara tambahan weezhing pasien mengeluh sesak, ada riwayat merokok
sejak 10tahun yang lalu.
9) Keamanan
Pasien berjalan dengan bantuan keluarga menggunakan kursi roda.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi
paru
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
jantung
44
C. Intervensi Keperawatan
D. Implementasi
No Diagnosa Implementasi Respon pasien
Jam
Hari
/tanggal
1 Ketidakefektifan pola kaji pernafasan pasien Ds : pasien
08.00 napas berhubungan mengaakan masih
19/03- dengan Penurunan sesak, dan susah
20 ekspansi paru bernafas jika
tanpa oksigen.
Do : pasien
tampak lemas,
bernafas
menggunakan
bantuan otot dada.
Ds : pasien
2 Penurunan curah jantung Kaji dan mengatakan
10.00 berhubungan dengan dokumentasikan masih pusing,
19/03- perubahan kontraktilitas tekanan darah, Do : pasien
20 jantung adanya sianosis, tampak lemas,Td
status pernafasan dan 180/120 Mmhg
status mental
Ds : pasien
3. Ketidakefektifan pola berikan posisi yang mengatakan
16.00 napas berhubungan nyaman,tinggikan sudah lebih
19/03/20 dengan Penurunan kepala nyaman
ekspansi paru Do : pasien
tampak agak
47
tenang.
Ds : pasien
4 Penurunan curah jantung Pantau denyut perifer, mengatakan
10.00 berhubungan dengan CRT, dan suhu serta perasaannya
20/03/20 perubahan kontraktilitas warna ekstremitas sudah agak tenang
jantung Kolaborasi dengan Do : pasien sudah
dokter mengenai tampak lebih
terapi obat yang bersemangat, bisa
dibutuhkan pasien berjalan namun
pelan, crt baik,
suhu 36c warna
ekstremitas
kecoklatan.
E. Evaluasi
No Diagnosa Evaluasi sumatif
48
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Henti jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga
tidak dapat memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh beberapa
penyakit jantung yang diderita pasien.
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses
kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala.
Krisis hipertensi biasanya ditandai dengan peningkatan tekanan darah
diastolic yang melebihi 120 hingga 130 mmHg dan tekanan sistolik mencapai 200
hingga 220 mmHg. Krisis hipertensi terbagi dua, yakni Hipertensi emergensi jika
disertai dengan kerusakan organ target dan Hipertensi urgensi jika tanpa
kerusakan organ target (Kaplan, 2006; Van der Born, et all, 2011). Hipertensi
emergensi dan urgensi sering dijumpai di instalasi gawat darurat yakni sekitar
27,5% dari semua kasus – kasus emergensi yang ada (Kitiyakara & Guzman,
1998; Cherney & Straus, 2002).
4.2 Saran
Lebih banyak belajar, dari sumber buku tidak hanya berpatokan dengan internet
saja.
49
DAFTAR PUSTAKA
50