Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah kista berasal dari perkataan Yunani kustis yang bererti kantong dimana ia
merupakan suatu abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara
histopatologi, kista adalah ronaaa vans dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus
yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi
berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epithelia
ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel.
Kista dapat bersifat konaenital atau didaeatka. Cairan kista biasanya bening dan tidak
berwama namun dapat iolga viskuos atau mengandung kristal kolestrol sebagai hasil
dari nekrosis jaringan. "True cysts" atau kista sesungguhnya harus dibedakan dari
"false cysts" atau pseudokista dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan
yang terkandung dalam, kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista
seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamatori atau degeneratif.
Gambaran histopatologi dinding kista hepar yang dilapisi oleh sel epitel. Gambaran
histopatologi dinding pseudokista yang tidak mempunyai lapisan sel epitel.
Penyakit kistik hepar merupakan suatu spektrum yang secara umum diklasifikasikan
mulai dari kista yang bersifat infeksius, kongenital, neoplastik hingga kista akibat
trauma pada hepar yang masing-masing berbeda etiologi, cara penanganan dan
komplikasi serta prognosis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kista hepar ?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi hepar ?
3. Apa etiologi kista hepar ?
4. Bagaimana patofisiologi kista hepar ?
5. Apa saja klasifikasi hepar ?
6. Apa saja manifestasi klinis kista hepar ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kista hepar ?
8. Apa saja komplikasi kista hepar
9. Bagaimana penatalaksanaan kista hepar ?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kista hepar ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kista hepar
2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hepar
3. Untuk mengetahui etiologi kista hepar
4. Untuk mengetahui patofisiologi kista hepar
5. Untuk mengetahui klasifikasi hepar
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis kista hepar
7. Untuk mengetahui pemeriksan penunjang kista hepar
8. Untuk mengetahui komplikasi kista hepar
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan kista hepar
10. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan kista hepar

2
BAB II

ISI

I. Konsep kista Hepar


A. Pengertian
 kista adalah rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang
terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi
berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel
ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa epitel. ( Nursalam,
2011 )
 Kista Hepar dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening
dan tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol
sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya
harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini
merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak
mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses
inflamasi atau degeneratif. ( Enggram,Barbara.2012 )
 Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama pemeriksaan
gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan kista. Dalam banyak kasus,
penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter maupun multipel, tidak
memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini juga dapat
diasosiasikan sebagai proses patologis yang cukup serius. ( Brunner dan Suddarth.
2011 )

B. Anatomi dan fisiologi hepar


Anatomi hepar menurut Doherty, GM 2010
Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen, intraperitoneal tepat di bawah
sisi kanan diafragma yang dilindungi oleh costa. Berat hepar kurang lebih 1400
gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.

3
Gambar 1. Posisi hepar dalam tubuh Doherty, GM 2010

Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal) yang


dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan berbentuk
kubah, sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi untuk sebagian
besar terpisah dari diafragma karena recessus subphrenicus cavitas peritonealis.
Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali di sebelah dorsal pada area nuda, tempat
hepar bersentuhan langsung pada diafragma. Area nuda hepar ini dibatasi oleh
melipatnya peritoneum dari diafragma ke hepar sebagai lembar ventral (cranial) dan
lembar dorsal (kaudal) ligamentum coronarium. Kedua lembar tersebut bertemu di
sebelah kanan untuk membentuk ligamentum triangulare. Ke arah kiri lembar-lembar
ligamentum coronarium tercerai dan membatasi area nuda hepar yang berbentuk
segitiga. Lembar ventral ligamentum di sebelah kiri bersinambungan dengan lembar
kanan ligamentum falciforme, dan lembar dorsal bersinambungan dengan lembar
kanan omentum minus. Lembar kiri ligamentum falciforme dan omentum minus
bertemu untuk membentuk ligamentum triangulare sinistrum.
Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra yang masing-
masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing lobus memiliki pendarahan sendiri
dan arteria hepatica dan vena portae hepatis, dan juga penyaluran darah venosa dan
empedu bersifat serupa. Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra
oleh fossa vesicae biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis hepatis, dan oleh

4
sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatika yang melintas dari fundus
vesicae biliaris ke vena cava inferior.

Gambar 2. Anatomi Hepar Doherty, GM 2010

Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh lobus quadratus.
Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus caudatus dan lobus quadratus oleh fissure
ligament teretis dan fissura ligamenti venosi pada facies visceralis, dan oleh
perlekatan ligamentum teres hepatis pada facies diaphragmatica.
Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria (30%) dan vena porta
hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari
aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin akan oksigen dari saluran
cerna, kecuali dari bagian distal canalis analis. Di porta hepatis arteri hepatica propria
dan vena porta hepatis berakhir dengan membentuk ramus dekstra dan ramus sinistra,
masing-masing untuk lobus hepatis dekstra. Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah,
dalam masing-masing lobus cabang primer vena porta hepatis dan arteri hepatica
propria teratur secara konsisten untuk membatasi segmen vascular. Bidang horizontal

5
melalui masing-masing lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vascular.
Antara segmen-segmen terdapat vena hepatica untuk menyalurkan darah dari segmen-
segmen yang bertetangga.

Gambar 3. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus Doherty, GM 2010

Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis hepatis, bermuara
dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari diaphragm. Hubungan vena ini dengan
vena cava inferior membantu memantapkan kedudukan hepar.

Gambar 4. Sistem duktuli dan vaskular intrahepatik Doherty, GM 2010


Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa lymphaticum profundum.
Vasa lymphaticum superficial terbanyak bergabung dengan pembuluh limfe di porta
hepatis dan ditampung oleh nodi lymphoidei hepatici.

6
Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat penting dalam
mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini memungkinkan kita melakukan
reseksi pada segmen tertentu atau kombinasi beberapa segmen dengan tetap
mempertahankan vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang
tertinggal.

7
Gambar 5. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature Doherty, GM
2010

Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek yang berbeda : anatomi
morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi morfologis tradisional berdasarkan pada
penampakan eksternal hepar, dan tidak mempertimbangkan vaskularisasi dan
percabangan duktus biliaris, yang sebenarnya penting dalam reseksi hepar.

Klasifikasi Couinaud
C. Couinaud (2009) membagi hepar menjadi delapan segmen fungsional yang
independen. Setiap segmen memiliki aliran vaskular masuk dan keluar masing-
masing, demikian pula dengan duktus biliaris. Di tengah tiap segmen terdapat cabang
dari vena porta, arteri hepatis, dan duktus biliaris. Di daerah perifer tiap segmen
terdapat aliran darah keluar melalui vena hepatica.

Gambar 6. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature Doherty, GM


2010

Vena hepatica dekstra membagi lobus kanan menjadi segmen anterior dan posterior.
Vena hepatica media membagi hepar menjadi lobus kiri dan kanan (atau hemilever

8
kiri dan kanan). Aliran ini berasal dari vena cava inferior hingga fossa buli-buli. Vena
hepatica sinistra membagi lobus kiri menjadi segmen medial dan lateral.
Vena porta membagi hepar menjadi segmen atas dan bawah. Vena porta kiri dan
kanan bercabang di superior dan inferior dan kemudian terbagi ke pusat tiap segmen.
Karena pembagian menjadi unit yang berdiri sendiri seperti ini, tiap segmen dapat
direseksi tanpa mengganggu segmen yang ditinggalkan. Agar hepar dapat tetap
berfungsi, reseksi harus dilakukan sepanjang pembuluh darah yang memperdarahi
perifer dari segmen, yang berarti garis reseksi berjalan paralel dengan vena hepatica.
Vena porta di sentral segmen, duktus biliaris, dan arteri hepatica tetap dipertahankan.

Segmentasi Hepar

Gambar 7. Segmentasi hepar secara clockwise Doherty, GM 2010


Terdapat delapan segmen dari hepar. Segmen 4 biasanya dibagi lagi menjadi segmen
4a dan 4b (menurut klasifikasi Bismuth). Penomoran segmen hepar ini diatur searah
jarum jam (clockwise). Segmen 1 (lobus caudatus) terletak posterior, yang tidak
tampak dalam proyeksi frontal.
Couinaud membagi hepar menjadi lobus fungsional kiri dan kanan (gauche et droite
foie) oleh vena hepatica media, yang dikenal sebagai Cantlie’s line. Cantlie’s line
berawal dari pertengahan buli-buli fossa anterior hingga postero-inferior dari vena
cava.

9
Pada gambar di atas, tampak seolah bagian medial dari lobus kiri dipisahkan dari
bagian lateral oleh ligamentum falciforme. Sebenarnya bagian medial (segmen 4) dan
lateral (segmen 2 dan 3) ini dipisahkan oleh vena hepatica sinistra yang terletak di
sebelah kiri, sangat dekat dengan ligamentum falciforme.

Anatomi Transversal

Gambar 8. Potongan transversal segmen superior hepar Doherty, GM 2010

Gambar di atas menunjukkan potongan transversal segmen superior hepar, yang


dipisahkan oleh vena hepatica. Gambar di sebelah kanan menunjukkan potongan
transversal setinggi vena porta sinistra. Pada tingkat ini vena porta membagi lobus kiri
hepar menjadi segmen superior (2 dan 4a) dan segmen inferior (3 dan 4b). Vena porta
sinistra terletak sedikit lebih tinggi daripada vena porta dekstra.

10
Gambar 9. Potongan transversal segmen inferior hepar Doherty, GM 2010

Pada gambar di atas, gambar di sebelah kiri adalah potongan setinggi vena porta
dekstra. Pada tingkat ini vena porta dekstra membagi lobus kanan hepar menjadi
segmen superior (7 dan 8) dan segmen inferior (5 dan 6). Pada potongan setinggi vena
lienalis di gambar sebelah kanan, hanya segmen inferior hepar yang terlihat.

Klasifikasi Bismuth

Gambar 10. Segmentasi hepar menurut Klasifikasi Bismuth Doherty, GM 2010

11
Klasifikasi ini sebenarnya mirip dengan klasifikasi Couinaud, dengan sedikit
perbedaan. Klasifikasi Bismuth sering digunakan di Amerika, sedangkan klasifikasi
Couinaud lebih populer di Asia dan Eropa.
Menurut Bismuth 2011, tiga cabang vena hepatica membagi hepar menjadi empat
bagian, yang lalu dibagi lagi menjadi segmen yang lebih kecil. Segmen ini dinamakan
portal sectors, sebab masing-masing disuplai oleh pedikel vena porta di bagian
tengahnya. Garis pemisah antarsektor mengandung sebuah vena hepatica. Oleh karena
itu klasifikasi ini dapat digambarkan sebagai vena hepatica dan pedikel vena porta
yang saling mengisi, seperti halnya jari-jari tangan yang saling ditautkan.
Vena porta sinistra membagi lobus kiri hepar menjadi dua sektor : anterior dan
posterior. Sektor anterior kiri terbagi atas dua segmen : segmen IV yaitu lobus
quadratus, dan segmen III, yang merupakan bagian anterior dari lobus hepar kiri.
Kedua segmen ini dipisahkan oleh fissura hepatica sinistra (fissura umbilicalis).
Sektor posterior kiri hanya terdiri atas segmen II, yang berada di bagian posterior dari
lobus kiri hepar.

Fisiologi Hepar menurut Doherty, GM 2010


Hepar memiliki banyak fungsi, termasuk fungsi pengambilan, penyimpanan, dan
distribusi nutrisi dari darah atau traktus gastrointestinal, sintesis, metabolism, dan
eliminasi berbagai substrat endogen, eksogen, dan berbagai macam toksin. Hepar
menerima suplai darah ganda dengan 75% dari vena porta, dan 25% dari arteri
hepatica. Terdapat autoregulasi dari aliran arteri hepatica, namun tidak dari sistem
vena porta. Aliran vena porta meningkat seiring dengan asupan makanan, garam
empedu, sekretin, pentagastrin, polipeptida intestinal vasoaktif (VIP), glucagon,
isoproterenol, prostaglandin E1 dan E2, dan papaverin. Aliran porta diperlambat
oleh serotonin, angiotensin, vasopressin, nitrat, dan somatostatin.
Secara umum, hepar memiliki empat unit anatomic-fisiologik yang saling
berhubungan dalam membentuk fungsi hepar, yaitu :

1. Sistem sirkulasi
Suplai darah ganda berfungsi membawa nutrisi bagi hepar dan berguna sebagai
pembawa material yang diabsorbsi dari traktus intestinalis untuk digunakan

12
dalam proses metabolisme. Pembuluh darah yang diikuti dengan sistem
limfatik dan serat saraf berkontribusi untuk mengatur aliran darah dan tekanan
intrasinusoidal.
2. Saluran empedu
Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan material yang disekresikan oleh sel-sel
hepar, termasuk bilirubin, kolesterol, dan obat-obat yang telah terdetoksifikasi.
Sistem ini berasal dari apparatus Golgi, yang melewati mikrovili dari kanalis
biliaris dan berakhir pada common bile duct.
3. Sistem retikouloendotelial
Sistem ini memiliki 60% elemen pada hepar, termasuk pula sel Kupffer dan
sel-sel endothelial.
4. Sel fungsional hepar (hepatosit)
Sel ini memiliki aktifitas yang sangat bervariasi. Fungsi metabolik dari hepar
membantu menyediakan kebutuhan tubuh. Sel-sel ini membantu proses
anabolik maupun katabolik, fungsi sekresi dan penyimpanan.

Empedu dibentuk pada membrana kanalikuli hepatosit dan duktuli empedu, dan
disekresikan melalui sebuah proses aktif yang relative tidak tergantung pada aliran
darah. Komponen organik utama dari empedu adalah asam empedu terkonjugasi,
kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu, dan protein. Dalam kondisi normal, 600
hingga 1000 mL empedu diproduksi setiap harinya.
Bilirubin, sebuah produk degradasi dari heme, dieliminasi hampir seluruhnya pada
empedu. Bilirubin bersikulasi terikat pada albumin dan dikeluarkan dari plasma oleh
hepar melalui sistem transpor termediasi. Di dalam hepatosit, bilirubin terikat pada
asam glukuronat sebelum disekresikan pada empedu.
Hepar mensintesis protein plasma utama, termasuk albumin, gamma-globulin, dan
beberapa protein koagulasi. Disfungsi hepar akan memberikan efek koagulasi dengan
menurunnya produksi protein koagulasi, atau dalam kasus ikterus obstruktif, terdapat
penurunan aktifitas dari faktor II, V, VII, IX dan X, sebagai akibat dari kurangnya
modifikasi post-translasi yang bergantung pada vitamin K.
Tes Fungsi Hepar
Beberapa tes biasanya sering dilakukan untuk menganalisa kondisi hepar, disebut
sebagai tes fungsi hepar. Serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine

13
aminotransferase (ALT) adalah pengukuran level enzim yang normal terdapat di
dalam hepatosit. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran kadar albumin, faktor
pembekuan, dan bilirubin dari sampel darah.

Jenis tes Nilai normal


Serum albumin 3,5 – 4,6 g/dL
Total protein 6,0 – 7,4 g/dL
Kolesterol 135 – 300 mg/dL
Alkali fosfatase 24 – 100 IU/dL
AST 10 – 36 unit/dL
ALT 10 – 48 unit/dL
GGT 0 – 48 unit/dL (pria)
4 – 26 unit/dL (wanita)
LDH 180- 225 unit/dL
PT 90 – 100% control Lab
Total bilirubin < 1,4 mg/dL
Bilirubin direk < 0,3 mg/dL
Bilirubin indirek < 1,1 mg/dL
Tabel 1. Nilai normal tes fungsi hepar Doherty, GM 2010

Keterangan : menurut Riyani, Ani. 2013.


a. Serum Albumin merupakan protein yang paling berlimpah dalam plasma darah hingga
mencapai sekitar 60% dari total plasma protein. Rentang normal untuk albumin serum
adalah 3,6 – 5,5 g/dL. Plasma merupakan 40% dari total albumin tubuh, sedangkan 60%
sisanya hadir dalam ekstra vaskular intertisial kola (waktu paruh albumin dalam plasma
adalah sekitar 18-20). Fungsi utama dari serum albumin adalah sebagi pemeliharaan
tekanan osmotik koloid, transportasi ligan dan konstitusi asam amino. Riyani, Ani. 2013.
b. Protein adalah suatu makromolekul yang tersusun atas molekul-molekul asam amino
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui suatu ikatan yang dinamakan ikatan
peptida. Sejumlah besar asam amino dapat membentuk suatu senyawa protein yang
memiliki banyak ikatan peptida, karena itu dinamakan polipeptida. Secara umum protein
berfungsi dalam sistem komplemen, sumber nutrisi, bagian sistem buffer plasma, dan
mempertahankan keseimbangan cairan intra dan ekstraseluler. Berbagai protein plasma
terdapat sebagai antibodi, hormon, enzim, faktor koagulasi, dan transport substansi
khusus. Total protein terdiri atas albumin (60%) dan globulin (40%). Bahan pemeriksaan
yang digunakan untuk pemeriksaan total protein adalah serum. Bila menggunakan bahan

14
pemeriksaan plasma, kadar total protein akan menjadi lebih tinggi 3 – 5 % karena
pengaruh fibrinogen dalam plasma. Riyani, Ani. 2013.
c. Kolesterol menurut Nurrahmani, dalam tinjauan ilmiah kolesterol adalah senyawa lemak
kompleks yang 80% dihasilkan dan dalam tubuh (organ hati) dan 20% sisanya dan luar
tubuh (zat makanan). Itu artinya, kolesterol yang berada dalam zat makanan yang kita
makan dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.
Tahapan Nilai Rujukan , normal <200 mg/dl, resiko sedang 200 – 240 mg/dl
resiko tinggi ≥ 240 mg/dl
d. Fosfatase alkali (alkaline phosphatase/ALP) adalah enzim yang dibuat dalam hati, tulang,
dan plasenta dan biasanya hadir dalam konsentrasi tinggi pada darah yang tumbuh dan
empedu dan dalam konsentrasi rendah pada darah. Fosfatase alkali dilepaskan ke dalam
darah dalam jumlah yang meningkat selama kerusakan sel-sel hati dan selama aktivitas
normal seperti pertumbuhan tulang dan kehamilan. Tingkat abnormal rendah fosfatase
alkali hadir dalam kondisi genetik dan hipotiroidisme. Zat ini diukur dalam tes darah
rutin.
e. SGOT atau juga dinamakan AST (Aspartat aminotransferase) merupakan enzim yang
dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada
otot rangka, ginjal dan pankreas. Kondisi yang meningkatkan kadar SGOT/AST :
Peningkatan tinggi ( > 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.

f. SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler.
Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka.
Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan
parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.

g. Gamma-glutamil transferase (gamma-glutamyl transferase, GGT) adalah enzim yang


ditemukan terutama di hati dan ginjal, sementara dalam jumlah yang rendah ditemukan
dalam limpa, kelenjar prostat dan otot jantung. Gamma-GT merupakan uji yang sensitif
untuk mendeteksi beragam jenis penyakit parenkim hati. Kebanyakan dari penyakit
hepatoseluler dan hepatobiliar meningkatkan GGT dalam serum. Kadarnya dalam serum
akan meningkat lebih awal dan tetap akan meningkat selama kerusakan sel tetap
berlangsung.

15
h. Laktat dehidrogenase (LD, LDH) adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir
semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi dijumpai di jantung, otot
rangka, hati, ginjal, otak, dan sel darah merah. LDH merupakan suatu molekul tetramerik
yang mengandung empat subunit dari dua bentuk; H (jantung) dan M (otot), yang
berkombinasi sehingga menghasilkan lima isoenzim yang diberi nama LDH1 (H4)
sampai LDH5 (M4). Isoenzim-isoenzim tersebut memiliki spesifisitas jaringan yang
sangat berguna dalam menentukan organ asal, yaitu :

 LDH1 (HHHH) terdapat di jantung, eritrosit, otak

 LDH2 (HHHM) terdapat di jantung, eritrosit, otak

 LDH3 (HHMM) terdapat di paru, otak, ginjal, limpa, pankreas, adrenal, tiroid

 LDH4 (HMMM) terdapat di hati, otot rangka, ginjal

 LDH5 (MMMM) terdapat di hati, otot rangka, ileum

i. Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang
diperlukan untuk membentuk bekuan darah.
Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan faktor koagulasi
jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin),
faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart).
Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai
normal. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis
protrombin.
j. Total bilirubin adalah suatu jenis pemeriksaan jumlah bilirubin dalam darah termasuk
bilirubin direk dan indirek.
k. Bilirubin Indirek / Bilirubin tak terkonjugasi 
Bilirubin indirek disebut juga bilirubin tak terkonjugasi. Disebut bilirubin tak
terkonjugasi karena bilirubin ini masih melekat pada albumin dan tidak berada dalam
kondisi bebas. Bilirubin jenis ini tidak larut dalam air, karena itu tidak akan di temukan
di dalam urin. Nilai normal bilirubin indirek adalah 0,1 – 0,4 g/dt. Peningkatan kadar

16
bilirubin indirek sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis),
seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis.
l. Bilirubin Direk / Bilirubin terkonjugasi 
Bilirubin Direk adalah bilirubin bebas yang terdapat dalam hati dan tidak lagi berikatan
dengan albumin. Bilirubin ini akan dengan mudah berikatan dengan asam glukoronat
membentuk bilirubin glukorosida atau hepatobilirubin. Dari hati bilirubin ini masuk
kesaluran empedu dan dieksresikan ke usus. DI dalam usus, flora usus akan
mengubahnya menjadu urobilirubin untuk kemudian di buang keluar dari tubuh melalui
urin dan feses. Bilirubin direk bersifat larut dalam air. Dalam keadaan normal, bilirubin
direk ini tidak ditemukan dalam plasma darah. Peningkatan kadar bilirubin direk
menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu (batu
atau tumor).

Fungsi Normal Hepar


Metabolisme energi dan interkonversi substrat
Produksi glukosa melalui glukoneogenesis dan glikogenolisis
Konsumsi glukosa melalui jalur sintesis glikogen, sintesis asam lemak,
glikolisis, dan siklus asam trikarboksilat
Sintesis kolesterol dari asetat, sintesis trigiliserida dari asam lemak, dan
sekresi keduanya pada partikel VLDL
Pengambilan kolesterol dan trigliserida melalui endositosis partikel HDL
dan LDL dengan ekskresi kolesterol pada empedu, beta-oksidasi
asam lemak, dan konversi dari asetil-KoA berlebih menjadi keton
Deaminasi asam amino dan konversi ammonia menjadi urea melalui siklus
urea
Transaminasi dan sintesis de novo asam amino non esensial
Fungsi sintesis protein
Sintesis berbagai macam protein plasma, termasuk albumin, faktor
pembekuan, protein pengikat, apolipoprotein, angiotensinogen, dan
insulin-like growth factor I
Fungsi solubilisasi, transport, dan penyimpanan
Detoksifikasi obat dan racun melalui reaksi biotransformasi fase I dan fase
II dan ekskresi melalui empedu

17
Solubilisasi lemak dan vitamin larut lemak pada empedu untuk diambil
oleh enterosit
Sintesis dan sekresi dari partikel VLDL dan lipoprotein pre-HDL, dan
pembersihan sisa HDL, LDL, dan kilomikron
Sintesis dan sekresi berbagai macam protein pengikat, termasuk transferin,
globulin pengikat hormone steroid, globulin pengikat hormone tiroid,
seruloplasmin, dan metalotionein
Pengambilan dan penyimpanan vitamin A, D, B12, dan folat
Fungsi proteksi dan pembersihan
Detoksifikasi ammonia melalui siklus urea
Detoksifikasi obat melalui oksidasi mikrosomal dan sistem konjugasi
Sintesis dan pengantaran glutathione
Pembersihan sel-sel yang rusak dan protein, hormone, obat-obatan, dan
faktor pembekuan teraktivasi dari sirkulasi portal
Pembersihan bakteri dan antigen dari sirkulasi portal

C. Etiologi
Menurut Enggram,Barbara.2012 , berlandaskan etiologi kista hepar terbagi kepada
dua yaitu kista hepar non parasitik & kista hepar parasitik / kista hidatid, dimana
kista hepar non rasitik paling sering merupakan kelainan yg memiliki sifat
kongenital. Istilah ‘kista hepar sendiri umumnya diberdayakan untuk kista yg
memiliki sifat non parasitik yg soliter, namun bisa jg multipel (simple cyst).
Namun terdapat beberapa tipe lesi kistik pada hepar yg wajib dikenali &
dibedakan dad simple cyst ini. Lesi kistik non parasitik pada hepar termasuklah
kista hepar kongenital soliter / multipel, kista multiple pada penyakit polycystic
liver disease, tumor hepar kistik (kistadenoma, kistadenocarcinoma) &
pseudokista yaitu abses hepar piogenik & amoebik serta kista yg terbentuk
dampak trauma yaitu kista traumatik. Kondisi-kondisi ini biasanya bisa dibedakan
lewat simptom yg dialami pasien serta gambaran radiografik dad lesi. 
Kista Echinococcal / kista hidatid dikarenakan oleh infestasi parasit cacing pita
dari genus Echinococcus & merupakan lesi kista hepar yg paling sering dijumpai
di luar Amerika Serikat, terutama di kawasan Mediterranean. Echinococcus bisa
menyerang semua organ, namun hepar merupakan organ yg paling sering terlibat,

18
diikuti oleh paru-paru & tak sering pada organ lain seperti ginjal & kelenjar
adrenal. Kedua organ ini terlibat pada 90% dad semua kasus echinocossis.

Konginital

D. Patofisiologi

parasit cacing pita dari genus Echinococcus, konginital

kista hepar

peregangan kapsula hati gangguan suplay darah normal pada sel-sel hepar

hepatomegali kerusakan sel parenkim dan sel hati

perasaan tidak nyaman gangguan metabolisme karbohidrat dan protein

di kuadran kanan atas

glikogenesis menurun glikoneogenesis menurun

cemas nyeri anoreksia

kesulitan untuk beristirahat/tidur glikogen dalam hepar berkurang

ggg pola tidur perubahan nutrisi glikogenolisis menurun

kurang dari kebutuhan glukosa dalam darah berkurang

cepat lelah

intoleransi aktivitas

19
Doherty, GM 2010

E. Klasifikasi kista hepar


Kasifikasi kista hepar menurut Doherty, GM 2010

Kista intrahepatik kongenital


Parenkimal
Soliter
Penyakit polikistik hepar
Anak
Dewasa
Fibrosis hepatis kongenital
Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Caroli’s disease)
Kista intrahepatik didapat (acquired)
Inflamatorik
Piogenik
Amebik
Echinococcal (hydatid)
Neoplastik
Benigna
Maligna
Traumatik
Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar Doherty, GM 2010

1. Kista Intrahepatik Kongenital


Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau multilokular.
Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15% kasus, 1 % pada

20
pemeriksaan CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik hepar lebih banyak
ditemukan pada wanita usia 40 hingga 60 tahun.
Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi kista berupa
material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal yang rendah – tidak
seperti kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya cairan kista ini
berwarna kuning kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim yang nekrosis.
Penyakit polikistik hepar menunjukkan gambaran honeycomb appearance dengan
kavitas yang multipel, dengan lesi yang tersebar merata di seluruh hepar.
Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak bergejala.
Sebuah massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan yang paling
sering, dan ketika gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan penekanan pada
organ yang berdekatan. Nyeri abdominal yang akut dapat mengikuti komplikasi torsi,
hemoragik intrakistik, atau rupturintraperitoneal. Pemeriksaan klinis dapat
mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat teraba. Ikterus jarang ditemukan.
Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas. CT scan, USG, dan
arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi intrahepatik dari massa, dan
peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya tidak
membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik dapat
ditangani secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik, atau torsi.
Pasien dengan kista hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui percutaneus
cathether drainage yang dikontrol secara radiologik, pada waktu yang bersamaan
dengan injeksi cairan yang menyebabkan sklerosis seperti alkohol. Prosedur ini sering
dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi permanen diperoleh melalui operasi yang
sederhana dengan pembukaan atap kista secara luas dan dihubungkan kembali seperti
halnya parenkim hepar yang normal. Prosedur ini dapat dilakukan secara
laparoskopik. Pada kasus hemoragik intrakistik yang signifikan, cystectomy mungkin
dibutuhkan. Drainase internal ke intestinum mungkin dibutuhkan hanya bila terdapat
erosi di dalam duktus hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali.
a. Simple Liver Cyst
Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang bervariasi,
permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering ditemukan pada
lobus kanan. Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam menyerupai
epitel duktus biliaris, lapisan tengah yang berupa jaringan ikat padat, dan lapisan

21
luar yang mengandung jaringan ikat longgar dan duktus biliaris serta pembuluh
darah yang terkompresi.
Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai akibat dari
hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat mengenai
semua usia. 90% dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran yang
bervariasi. Sebuah kista yang mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan pada
pasien berusia 2 tahun.
Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara
congenital. Kista ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi
progresif mikrohemartroma bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis
yang paling diterima adalah kegagalan mikrohemartroma untuk membentuk
hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas, cairan yang terkandung di
dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai plasma. Empedu,
amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan secara
terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan
dari simple cyst tidak bersifat kuratif.
Apabila ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungan dengan
penekanan organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagian besar
kista soliter tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan, ekstirpasi
seluruh kista dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari bagian
dindingnya saja yang dilakukan. Lobektomi hepatik jarang dilakukan.
b. Policystic Liver Disease
Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar
individu dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya
disubklasifikasikan sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki
perbedaan pada pola pewarisan, status penampilan dan konsekuensi klinis.
Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif autosomal dengan 4
subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua varian
dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan
absolut dari duktus biliaris intrahepatik.
Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic disease of the
kidneys and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik yang berukuran
mikroskopik dapat terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi portal, atau
hipertensi arteri renalis dan gangguan renal yang progresif.

22
Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan
autosomal. Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat
tampak pola yang berbeda dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan
ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat ditemukan pada lien, pancreas, ovarium,
paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring usia dan lebih sering pada
wanita dibandingkan pria.
PCLD pada dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan
autosomal dominant polycystic kidney disease (AD-PKD). Pada pasien ditemukan
mutasi dari gen PKD1 dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD
ditemukan tanpa adanya PKD. Pada dengan PKD, kista ginjal biasanya lebih
dominan dibandingkan kista pada hepar. PKD sering menyebabkan gagal ginjal,
sedangkan kista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan
fungsi hati.
Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar sering
diasosiasikan dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar diasosiasikan
dengan polikistik ginjal. Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai penyebab
yang jarang dari hipertensi portal, dan juga diasosiasikan dengan atresia duktus
biliaris, kolangitis, dan hemangioma. Pada pasien dengan gejala yang signifikan
terkait efek massa dari polikistik hepar, terapi paliatif dapat dicapai dengan reseksi
non-anatomik dan fenestrasi yang lebar pada kista yang lebih besar.
Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada penyakit ginjal
yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan manifestasi hipertensi
portal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-parasitik yang ditangani
secara operatif mendekati angka nol.

2. Kista Intrahepatik Acquired (didapat)


a. Echinococcal/Kista Hydatid
Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah peternakan
biri-biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia, dan New
Zealand, serta negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcal
disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang dapat asimptomatis selama
bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan pembedahan, atau E.
multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang multipel

23
dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista echinococcal
ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus kanan.
Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh perlahan
dan tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki dua
lapisan yang terdiri atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular yang
berfungsi proteksi, dan sebuah endokista, yang merupakan bagian yang aktif dari
kista tersebut. Endokista mensekresi cairan bening yang mengisi kista dan
memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand) dan kista anakan.
Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter
cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya. Pasien dengan kista
multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi biasanya tidak bergejala.
Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di sekitarnya. Nyeri tumpul
abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan (80%). Ikterus, demam,
pruritus, nausea, dan vomitus ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. Fungsi
hepar ditemukan abnormal dan pembesaran hepar yang dapat dipalpasi pada
pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan eosinofilia hanya ditemukan
pada 5-15% individu yang terinfeksi.
Komplikasi dari kista hidatid di antaranya :
 Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
 Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan
pembentukan kista baru pada rongga peritoneal.
 Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
 Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.
Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani
secara laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah
manajemen kista ini meliputi :
 Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan
cairan kista.
 Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang
memadai sebab cairan dalam kista biasanya bertekanan rendah.
 Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline
hipertonik maupun alkohol.

24
 Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui
pemisahan di antara lapisan germinal dan adventitia.
 Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau
bila cukup ekstensif, dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian
dengan omentum.

b. Kista Neoplastik
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer atau
kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik
dari organ lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik
tumor hepar solid primer atau metastatik.
Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih sering
terjadi pada wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul
dan rasa penuh di perut bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis dengan
USG dan CT scan, yang menunjukkan sebuah massa kistik dengan dinding yang
tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa solid yang berhubungan
dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen maligna yang
membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan menunjukkan SOL
yang avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang disebabkan oleh proyeksi
dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan duktus biliaris, sehingga
cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai diagnostik.
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran radiografi
berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala. Operasi
yang kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atau
infeksi, hingga dapat bertransformasi menjadi malignansi. Apabila gambaran kista
tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya dan memisahkannya dari
parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya atau penyebaran pada
parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan eksisi yang lebih
lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus dipertimbangkan.
Tumor ini, seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi malignansi
yang cukup rendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.

25
c. Kista Traumatik
Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atau
intraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu
sendiri dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam
parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic
mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial
yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah
pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat
dibedakan dari kista kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama.
Pembedahan dianjurkan bagi pasien yang mengeluhkan gejala. Pada saat
laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari kista congenital dengan
adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista yang
simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian
dinding kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus
dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik
setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat
diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik.

F. Manifestasi Klinis
Biasanya tidak ada gejala yang dapat diamati pada pasien kista hepar yang
mengalami hepatomegali, karena hati tudak memiliki saraf. Namun beberapa
gejala dapat terlihat ketika rentang hati yang cukup meningkat, menurut
Enggram,Barbara.2012 gejala kista hepar meliputi :
1. Rasa sakit dan ketidaknyamanan muncul dan memberikan tekanan pada organ
di sekitarnya karena prmbengkakan.
2. Dalam kasus pembesaran hati yang terkait kista hepar, seseorang akan
mengalami gejala seperti kulit yang menguning, anoreksia, mual, lesu, sakit
perut dan muntah.

G. Komplikasi
menurut Enggram,Barbara 2012 pada kista hepar dapat timbul komplikasi
perdarahan atau ruptur,torsi,infeksi menjadi fibrosis hati, saluran empedu dilatasi
dan colangio carcinoma.Efek massa kista dan pembesaran hati yang massif:
distensi abdomen,sesak nafas,perut terasa penuh,heart burn,muntah,intake

26
makanan tidak adekuat, hernia dan prolap uteri serta inkontinensia.Obstruksi vena
cava inferior,vena porta dan vena hepatica. Obstruksi saluran empedu: ikterus

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan kista hepar tidak banyak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. Hasil pemeriksaan faal hati seperti transaminase atau alkali
fosfatase mungkin sedikit abnormal, namun kadar bilirubin, prothrombin time
(PT) dan activated prothrombin times (APTT) biasanya berada dalam batas
normal.
Pada Polycystic Liver Disease (PCLD), dapat dijumpai abnormalitas yang
lebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati, namun gagal fungsi hati
jarang dijumpai. Tes fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin darah
biasanya abnormal. Pada tumor kistik hepar, tes fungsi hati juga dapat normal
seperti pada simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian
pasien.
Terdapat peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9 pada sebagian
pasien. Cairan kista dapat diambil untuk pemeriksaan CA 19-9 pada saat
pembedahan sebagai pemeriksaan marker untuk kistadenoma dan
kistadenokarsinoma. Pasien dengan abses hepar dapat dikenal pasti dari gejala
klinis. Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis.
Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinophilia pada sekitar 40% pasien, dan
titer antibody echinococcal positif pada hampir 80% dari pasien. Pemeriksaan
immunoassay enzim (enzyme immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk
mendeteksi antibodi spesifik untuk E. histolytica.
Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma.
Secara histopatologik kista hepar yang benigna mengandung cairan yang

27
bersifat serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel epitel kuboidal dan
stroma fibrosa yang tipis.
2. Pemeriksaan Radiologik
Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara luas termasuk
ultrasonografi (USG) dan CT scan, kista hepar didiagnosa hanya apabila ia
sudah sangat membesar dan bisa dilihat sebagai massa di abdomen atau
sebagai penemuan tidak sengaja saat melakukan laparotomy. Saat ini,
pemeriksaan radiologik sering menemukan lesi yang asimptomatik secara
tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan radiologik pada pasien
dengan kista hepar, seperti USG yang bersifat non-invasif namun cukup
sensitif untuk mendeteksi kista hepar. CT scan juga sensitif dalam mendeteksi
kista hepar, dan hasilnya lebih mudah untuk diinterpretasikan dibanding USG.
MRI, nuclear medicine. scanning dan angiografi hepatik mempunyai
penggunaan yang terbatas dalam mengevaluasi kista hepar.
Secara umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal yaitu
mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan
homogenous. PCLD harus dikonfirmasi dengan USG atau CT scan dengan
menemukan kista-kista multiple pada saat evaluasi.
Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya daughter cyst yang
terkandung dalam rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan
kistadenokarsinoma umumnya terlihat multilokuler dan mempunyai septa
internal, densitas yang heterogeneus dan dinding kista yang irregular. Tidak
seperti tumor lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada
kistadenoma dan kistadenokarsinoma.
Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan lesi
kistik pada hepar adalah untuk membedakan kista neoplasma dan simple cyst.
Namun secara umum, neoplasma kistik mempunyai dinding yang tebal,
irregular dan hipervaskular, sedangkan dinding kista pada simple cyst tipis dan
uniform. Simple cyst memiliki tendensi memiliki bagian interior yang
homogenous dan berdensitas rendah, sedangkan neoplasma kistik biasanya
mempunyai bagian interior yang heterogenous dengan septasi-septasi.

I. Penatalaksanaan
1. Penanganan Medikamentosa

28
Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-parasitik
maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapi
konservatif yang ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara tuntas.
Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara teknis
mudah untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai
kadar rekurensi hampir 100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan
sklerosan dengan menggunakan alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian
pasien namun mempunyai tingkat kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi.
Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi sempurna dari dinding kista.
Hal ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada kista yang
sangat besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan
kistadenokarsinoma.
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan
mebendazole, namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan
sebagai terapi adjuvan dan tidak dapat menggantikan peran penanganan bedah
atau pengobatan perkutaneus dengan teknik PAIR (Puncture, Aspiration,
Injection, Reaspiration). Pengobatan medikamentosa dimulai 4 hari sebelum
pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai panduan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO).

2. Penanganan Operatif
Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh
lapisan epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan
terjadinya rekurensi. Secara ideal, kista direseksi keluar secara utuh tanpa
melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista akan kolaps dan
ditemukan kesukaran untuk mengenal secara pasti dan mengeluarkan lapisan
epitel.
a. Teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration)
Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh
USG atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah
kanula khusus, diikuti dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama
15 menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga
hasil aspirasi jernih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida
yang isotonik. Tindakan ini harus diikuti dengan pengobatan perioperatif

29
dengan obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan
setelah tindakan.
b. Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian
dari dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini
menghasilkan permukaan kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang
tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh epitel yang masih tertinggal
merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa epitel
dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau
elektrokauter. Sebelumnya penanganan kista seperti ini memerlukan
tindakan laparotomi (open unroofing) namun seiring dengan
perkembangan alat dan teknik, ia bisa dilakukan secara laparoskopik.(13)

Gambar 11. Liver Fenestration Enggram,Barbara.2012

Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista


secara laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu
reokupasi yang lebih singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih
cepat dibandingkan open unroofing secara laparotomi. Faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhi terjadi rekurensi dengan teknik ini adalah
deroofing yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen
posterior dari hepar, penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding
kista, tindakan omentoplasty untuk cavitas residual, dan tindakan
laparoskopi atau laparotomi yang pernah dilakukan sebelumnya yang
menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di hepar.
c. Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati

30
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati
telah digunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun
prosedur ini bisa mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang
sangat rendah, namun ia mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang
mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang benigna.
Penelitian Martin dkk. menemukan kadar morbiditas 50% pada 16 pasien
yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non-
parasitik. Di antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar,
termasuk infeksi paru-paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi,
drainase cairan peritoneal dan empedu yang lama dan hematoma
subphrenikus.(4) Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik
dengan simptom yang menetap setelah pendekatan terapeutik
medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau pada keadaan gagal
ginjal. Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista
multipel yang rekuren atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar.
Anatomi segmental hepar yang pertama dijelaskan oleh Couinaud pada
tahun 1957 membagi hepar menjadi delapan segmen dimana setiap segmen
mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang
tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini
secara individual apabila diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak
perlu dari jaringan hepar yang normal. Kehilangan darah bisa dikurangi
dengan menggunakan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle).
Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk mereseksi hepar dengan
perdarahan seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan bahwa
dibutuhkan fungsi hepar residual yang cukup setelah dilakukan reseksi,
untuk mencegah insufisiensi hepatik post-operatif. Kehilangan darah yang
banyak diasosiasikan dengan peningkatan morbiditas peri-operatif.
Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mereseksi segmen hepar secara
keseluruhan. Walaupun pemisah antarsegmen tidak dapat terlihat melalui
permukaan hepar, segmen dapat diidentifikasi dengan melakukan oklusi
terhadap aliran inflow terhadap segmen yang dituju, maka akan terjadi
iskemik dan akan terlihat pembagian fungsional hepar dari permukaan.

31
Gambar 12. Segmentasi hepar menurut Couinaud Enggram,Barbara.2012

Glisson’s capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yang mengelilingi cabang
biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia ini berlanjut dari parenkim
hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi operatifnya adalah, apabila suplai dari segmen
individual dilakukan dari dalam hepar, ligasi dari fascia ini akan menyebabkan
devaskularisasi segmen. Teknik ini kemudian dipermudah dengan penggunaan stapler.
Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisi subkostal bilateral
memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan dengan memperluas insisi eksploratif
subkostal kanan untuk menjamin tidak terdapat penyakit peritoneal yang tidak diharapkan.
Ekstensi ke arah atas hingga tepi bawah sternum (insisi Mercedes-Benz) juga dapat
dilakukan untuk mendapatkan akses yang lebih lebar.
Setelah dilakukan laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari peritoneal. Ligamentum
falciforme dipisahkan dengan perhatian khusus pada identifikasi lokasi dimana vena
hepatika memasuki vena cava inferior. Ligamentum koronaria dekstra, dipisahkan untuk
mobilisasis lobus kanan hepar. Ligamentum triangulare sinistra dipisahkan untuk
mobilisasi lobus kiri hepar.

32
II. Konsep Dasar Askep Kista Hepar
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
prosesyang sistematis dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien (Iyer et.al., 2010 dalam Nursalam, 2011 :
17).
Dalam pengumpulan data ada 2 tipe data yang ada pada pengkajian yaitu data
subyektif dan data obyektif (Nursalam, 2011 : 19).
a. Data Subyektif
Data Subyektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu
pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Data subyektif sering didapatkan
dari riwayat keperawatan termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang
status kesehatan (Nursalam, 2011 : 19).
Data Subyektif yang biasanya muncul pada pengkajian dengan kista hepar
adalah Keluhan berupa nyeri abdomen, kelemahan dan penurunan berat badan,
anoreksia, rasa penuh setelah makan terkadang disertai muntah dan mual. Bila
ada metastasis ke tulang penderita mengeluh nyeri tulang.
b. Data Obyektif
Data Obyektif adalah dan diukurata yang dapat diobservasi dan diukur (Iyer,
et.al., 2010, dalam Nursalam, 2011 : 19). Data Obyektif yang dapat dikaji pada
pasien dengan kista hepar adalah : penurunan tonus otot, distensi abdomen
(hepatomegali, Splenomegali, asites), penurunan BB atau peningkatan
(cairan), edema, kulit kering, ikterik, ensefalopati hepatik, takipnea, demam,
hipoksia, pernapasan dangkal, perubahan mental, ekspansi paru terbatas,
peningkatan suhu tubuh, dan sebagainya.
Menurut Doengoes, 2010 hasil pemeriksaan fisik pada pasien kista hepar
adalah:
1. Aktivitas / Istirahat
Gejala       : Kelemahan, kelelahan terlalu lelah.
Tanda       : Letargi (gelisah), penurunan massa otot/tonus (atropi)
2. Sirkulasi
Gejala       : Riwayat GJK kronis, perikanditis, penyakit jantung reumatik,
kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati).

33
3. Eliminasi
Gejala       : Flatus
Tanda       :Distensi abdomen (hepotomegali, splenomegali, asites),
penurunan/tak adanya bising usus, melena (pendarahan), urine gelap, pekat
4. Makanan/Cairan
Gejala       :Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tak dapat
mencerna,  mual/muntah
Tanda       : Penurunan berat badan atau peningkatan (cairan), penggunaan
jaringan, edema umumnya pada jaringan, kulit kering, turgor buruk, ikterik
angioma spider, napas berbau/fetor hepatikus, pendarahan guso
5. Neurosensori
Gejala       : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian,
penurunan mental
Tanda       : Peruhan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/tak
jelas, asterik (ensefalofati hepatic)
6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala       : Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran kanan atas
Tanda       : Prilaku berhati-hati/distraksi, fokus pada diri sendiri
7. Pernapasan
Gajala       : Dispepneu (henti napas)
Tanda       : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan,
ekspansi paru terbatas (asites), hipoksia
8. Keamanan
Gejala       :Pruritas (gatat)
Tanda       :Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik, ekimosis,
petekie
9. Seksualitas
Gejala       : Gangguan menstruasi, impotent
Tanda       : Atrafi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah
lengan pubis)

34
2. Diagnosa
Diagnosa yang dapat muncul pada pasien dengan kista hepar menurut NANDA
NIC NOC 2013
a. Tidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, gangguan
absorbsi, metabolisme vitamin di hati.
b. Nyeri Akut berhubungan dengan tegangnya dinding perut.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dengan kebutuhan
e. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang
diderita.

2. Intervensi menurut NANDA NIC NOC 2013


a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, gangguan absorbsi, metabolisme vitamin di hati.

Diagnosa Tujuan intervensi


Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC
kurang dari kebutuhan  Kaji adanya alergi
tubuh 1. Nutritional status: makanan
Adequacy of nutrient  Kolaborasi dengan
Definisi : Asupan nutrisi 2. Nutritional Status : food ahli gizi untuk
tidak cukup untuk memenuhi and Fluid Intake menentukan jumlah
kebutuhan metabolik. 3. Weight Control kalori dan nutrisi
Setelah dilakukan tindakan yang dibutuhkan
Batasan karakteristik : keperawatan selama….nutrisi pasien
kurang teratasi dengan  Yakinkan diet yang
 Berat badan 20 % atau indikator: dimakan mengandung
lebih di bawah ideal
tinggi serat untuk
 Dilaporkan adanya intake  Albumin serum
mencegah konstipasi
makanan yang kurang  Pre albumin serum
 Ajarkan pasien
dari RDA (Recomended  Hematokrit bagaimana membuat
Daily Allowance)  Hemoglobin catatan makanan
 Membran mukosa dan
 Total iron binding harian.

35
konjungtiva pucat capacity  Monitor adanya
 Kelemahan otot yang  Jumlah limfosit penurunan BB dan
digunakan untuk gula darah
menelan/mengunyah  Monitor lingkungan
 Luka, inflamasi pada selama makan
rongga mulut  Jadwalkan
 Mudah merasa kenyang, pengobatan  dan
sesaat setelah mengunyah tindakan tidak selama
makanan jam makan
 Dilaporkan atau fakta  Monitor turgor kulit
adanya kekurangan  Monitor kekeringan,
makanan rambut kusam, total
 Dilaporkan adanya protein, Hb dan kadar
perubahan sensasi rasa Ht
 Perasaan  Monitor mual dan
ketidakmampuan untuk muntah
mengunyah makanan  Monitor pucat,
 Miskonsepsi kemerahan, dan
 Kehilangan BB dengan kekeringan jaringan
makanan cukup konjungtiva
 Keengganan untuk  Monitor intake
makan nuntrisi
 Kram pada abdomen  Informasikan pada
 Tonus otot jelek klien dan keluarga

 Nyeri abdominal dengan tentang manfaat

atau tanpa patologi nutrisi

 Kurang berminat  Kolaborasi dengan

terhadap makanan dokter tentang

 Pembuluh darah kapiler kebutuhan suplemen

mulai rapuh makanan seperti

 Diare dan atau NGT/ TPN sehingga

steatorrhea intake cairan yang


adekuat dapat
 Kehilangan rambut yang

36
cukup banyak (rontok) dipertahankan.
 Suara usus hiperaktif  Atur posisi semi
 Kurangnya informasi, fowler atau fowler
misinformasi tinggi selama makan
 Kelola pemberian anti
Faktor-faktor yang emetik:…..
berhubungan :  Anjurkan banyak
 Faktor biologis minum
 Faktor ekonomi  Pertahankan terapi IV
 Ketidakmampuan untuk line
mengabsorbsi nutrien  Catat adanya edema,
 Ketidak mampuan untuk hiperemik, hipertonik
mencerna makanan papila lidah dan
 Ketidak mampuan cavitas oval
menelan makanan
 Faktor psikologis

b. Nyeri akut berhubungan dengan tegangnya dinding perut.

Diagnosa Tujuan Intervensi


Nyeri akut NOC : NIC :
 Pain Level, Pain Management
Definisi :  pain control,  Lakukan pengkajian
Pengalaman sensori yang  comfort level nyeri secara
tidak menyenangkan dan Kriteria hasil: komprehensif termasuk
pengalaman emosional yang  Mampu mengontrol nyeri (tahu lokasi, karakteristik,
muncul secara aktual atau penyebab nyeri, mampu durasi, frekuensi,
potensial kerusakan jaringan menggunakan tehnik kualitas dan faktor
atau menggambarkan adanya nonfarmakologi untuk presipitasi

37
kerusakan (Asosiasi Studi mengurangi nyeri, mencari  Observasi reaksi
Nyeri Internasional): bantuan) nonverbal dari
serangan mendadak atau  Melaporkan bahwa nyeri ketidaknyamanan
pelan intensitasnya dari berkurang dengan  Gunakan teknik
ringan sampai berat yang menggunakan manajemen nyeri komunikasi terapeutik
dapat diantisipasi dengan  Mampu mengenali nyeri (skala, untuk mengetahui
akhir yang dapat diprediksi intensitas, frekuensi dan tanda pengalaman nyeri pasien
dan dengan durasi kurang nyeri)  Kaji kultur yang
dari 6 bulan.  Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi respon
setelah nyeri berkurang nyeri
Batasan karakteristik :  Tanda vital dalam rentang  Evaluasi pengalaman
 Laporan secara verbal normal nyeri masa lampau
atau non verbal  Tidak mengalami gangguan  Evaluasi bersama pasien
 Fakta dari observasi tidur dan tim kesehatan lain
 Posisi antalgic untuk tentang ketidakefektifan
menghindari nyeri kontrol nyeri masa

 Gerakan melindungi lampau

 Tingkah laku berhati-hati  Bantu pasien dan


keluarga untuk mencari
 Muka topeng
dan menemukan
 Gangguan tidur (mata
dukungan
sayu, tampak capek, sulit
 Kontrol lingkungan
atau gerakan kacau,
yang dapat
menyeringai)
mempengaruhi nyeri
 Terfokus pada diri sendiri
seperti suhu ruangan,
 Fokus menyempit
pencahayaan dan
(penurunan persepsi
kebisingan
waktu, kerusakan proses
 Kurangi faktor
berpikir, penurunan
presipitasi nyeri
interaksi dengan orang
 Pilih dan lakukan
dan lingkungan)
penanganan nyeri
 Tingkah laku distraksi,
(farmakologi, non
contoh : jalan-jalan,
farmakologi dan inter
menemui orang lain
personal)
38
dan/atau aktivitas,  Kaji tipe dan sumber
aktivitas berulang-ulang) nyeri untuk menentukan
 Respon autonom (seperti intervensi
diaphoresis, perubahan  Ajarkan tentang teknik
tekanan darah, perubahan non farmakologi
nafas, nadi dan dilatasi  Berikan analgetik untuk
pupil) mengurangi nyeri
 Perubahan autonomic  Evaluasi keefektifan
dalam tonus otot kontrol nyeri
(mungkin dalam rentang  Tingkatkan istirahat
dari lemah ke kaku)  Kolaborasikan dengan
 Tingkah laku ekspresif dokter jika ada keluhan
(contoh : gelisah, dan tindakan nyeri tidak
merintih, menangis, berhasil
waspada, iritabel, nafas  Monitor penerimaan
panjang/berkeluh kesah) pasien tentang

 Perubahan dalam nafsu manajemen nyeri

makan dan minum


Analgesic

Faktor yang berhubungan : Administration

Agen injuri (biologi, kimia,  Tentukan lokasi,

fisik, psikologis) karakteristik, kualitas,


dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
39
 Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri

Diagnosa Tujuan Intervensi

40
Gangguan pola tidur NOC NIC
Definisi : gangguan kualitas  Anciety reduction Sleep Enhancement
dan kuantitas waktu tisur  Comfort level – Dterminasi efek-
akibat faktor eksternal.  Pain level efek medikasi
 Rest : extent and pattern terhadap pola tidur
Batasan karakteristik :  Sleep : exten and pattern – Jelaskan
Kriteria hasil : pentingnya tidur
 Perubahan pola tidur  Jumlah jam tidur dalam yang adekuat
normal batas normal (6-8 jam) – Fasilitas untuk
 Penurunan kemampuan  Pola tidur baik , Kualitas mempertahankan
berfungsi dalam batas normal aktivitas untuk
 Ketidak puasan tidur  Perasaan segar nyaman mempertahankan
 Menyatakan sering setelah bangun tidur aktivitas sebelum
terjaga  Mampu tidur ( membaca )
 Menyatakan tidak mengidentifikasikan hal- – Ciptakan
mengalami kesulitan tidur hal yang meningkatkan lingkungan yang
 Menyatakan tidak merasa tdur nyaman
cukup istirahat – Kolaborasi
pemberian obat
Faktor yang berhubungan tidur
 Kelembaban lingkungan – Diskusikan dengan
sekitar pasien dan keluarga
 Suhu lingkungsn sekitar tentang teknik tidur

 Tanggung jawab memberi pasien

asuhan – Instruksikan untuk

 Perubahan pajanan memonitor tidur

terhadap cahaya gelap pasien

 Gangguan ( misal untuk – Monitor waktu

tujuan terapeutik, makan dan minum

pemantauan, pemeriksaan dengan waktu tidur

laboratorium ) – Monitor/ catat


kebutuhan tidur
 Kurang kontrol tidur
pasien setiap hari
 Kurang privasi,
dan jam
41
pencahayaan
 Bising, bau gas
 Restrain fisik, teman tidur
 Tidak familier dengan
perabot tidur

d. Intoleransi aktivitas ketidakseimbangan antara suplai O2 dengan kebutuhan

Diagnosa Tujuan Intervensi


intoleransi aktivitas NOC : Activity Therapy
 Energy conservation  Kolaborasikan dengan
Definisi : Ketidakcukupan  Self Care : ADLs Tenaga Rehabilitasi
energu secara fisiologis Kriteria Hasil : Medik
maupun psikologis untuk  Berpartisipasi dalam dalammerencanakan
meneruskan atau aktivitas fisik tanpa progran terapi yang tepat.
menyelesaikan aktifitas yang disertai peningkatan  Bantu klien untuk
diminta atau aktifitas sehari tekanan darah, nadi dan mengidentifikasi aktivitas
hari. RR yang mampu dilakukan
Batasan karakteristik :  Mampu melakukan  Bantu untuk memilih
 melaporkan secara verbal aktivitas sehari hari aktivitas konsisten
adanya kelelahan atau (ADLs) secara mandiri yangsesuai dengan
kelemahan. kemampuan fisik,
 Respon abnormal dari psikologi dan social
tekanan darah atau nadi  Bantu untuk
terhadap aktifitas mengidentifikasi dan
 Perubahan EKG yang mendapatkan sumber
menunjukkan aritmia yang diperlukan untuk
atau iskemia aktivitas yang diinginkan
 Adanya dyspneu atau  Bantu untuk mendpatkan
ketidaknyamanan saat

42
beraktivitas. alat bantuan aktivitas
Faktor factor yang seperti kursi roda, krek
berhubungan :  Bantu untu
 Tirah Baring atau mengidentifikasi aktivitas
imobilisasi yang disukai
 Kelemahan menyeluruh  Bantu klien untuk
 Ketidakseimbangan membuat jadwal latihan
antara suplei oksigen diwaktu luang
dengan kebutuhan  Bantu pasien/keluarga
 Gaya hidup yang untuk mengidentifikasi
dipertahankan. kekurangan dalam
beraktivitas 
 Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik,
emoi, social dan spiritual

e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan terhadap penyakit yang


diderita

Diagnosa Tujuan Intervensi

43
 Ansietas NOC : NIC :
Definisi: - Anxiety self control Anxiety Reduction
Perasaan ketidaknyamanan - Anxiety level (penurunan kecemasan)
atau kekhawatiran yang - koping  Gunakan pendekatan
samar disertai respon Kriteria hasil: yang menenangkan
autonom (sumber sering kali  Klien mampu  Nyatakan dengan jelas
tidak spesifik atau tidak mengidentifikasi dan harapan terhadap pelaku
diketahui oleh individu; mengungkapkan gejala pasien
perasaan takut yang cemas  Jelaskan semua prosedur
disebabkan oleh antisipasi  Mengidentifikasi, dan apa yang dirasakan
terhadap bahaya. Hal ini mengungkapkan dan selama prosedur
merupakan isyarat menunjukkan tehnik  Temani pasien untuk
kewaspadaan yang untuk mengontol cemas memberikan keamanan
memperingatkan individu  Vital sign dalam batas dan mengurangi takut
akan adanya bahaya dan normal  Berikan informasi
memampukan individu untuk Postur tubuh, ekspresi wajah, faktual mengenai
bertindak menghadapi bahasa tubuh dan tingkat diagnosis, tindakan
ancaman. aktivitas menunjukkan prognosis
berkurangnya  Libatkan keluarga untuk
Batasan karakteristik: mendampingi klien
 Perilaku:  Instruksikan pada pasien
- Penurunan untuk menggunakan
produktivitas tehnik relaksasi
- Gerakan yang  Dengarkan dengan
ireleven penuh perhatian
- Gelisah
 Identifikasi tingkat
- Melihat sepintas
kecemasan
- Insomnia
 Bantu pasien mengenal
- Kontak mata yang
situasi yang
buruk
menimbulkan kecemasan
- Mengekspresikan
 Dorong pasien untuk
kekhwatiran karena
mengungkapkan
perubahan dalam
perasaan, ketakutan,

44
peristiwa hidup persepsi
- Agitasi  Berikan obat untuk
- Mengintai mengurangi kecemasan
- Tampak waspada

 Afektif:
- Gelisah,distres
- Kesedihan yang
mendalam
- Ketakutan
- Perasaaan tidak
adekuat
- Berfokus pada diri
sendiri
- Peningkatan
kewaspadaan
- Iritabilitas
- Gugup senang
berlebihan
- Rasa nyeri yang
meningkatkan
ketidakberdayaan
- Peningkatan rasa
ketidakberdayaan
yang persisten
- Bingung, menyesal.
- Ragu atau tidak
percaya diri
- Khawatir

 Fisiologis
- Wajah tegang, tremor
tangan

45
- Peningkatan keringat
- Peningkatan
ketegangan
- Gemetar atau tremor
- Suara bergetar

 Simpatik
- Anoreksia
- Eksitasi
kardiovaskuler
- Diare,mulut kering
- Wajah merah
- Jantung berdebar-
debar
- Peningkatan tekanan
darah
- Peningkatan refleks
- Peningkatan frekuensi
pernafasan
- Pupil melebar
- Kesulitan bernafas
- Vasokontriksi
superfisial
- Lemah, kedutan pada
otot

 Parasimpatik
- Nyeri abdomen
- Penurunan tekanan
darah
- Penurunan denyut
nadi
- Diare, mual,vertigo

46
- Letih, gangguan tidur
- Kesemutan pada
ekstremitas
- Sering berkemih
- Anyang-anyangan
- Dorongan segera
berkemih

 Kognitif
- Menyadari gejala
fisiologis
- Bloking pikiran,
konfusi
- Penurunan lapang
persepsi
- Kesulitan
berkonsentrasi
- Penurunan
kemampuan untuk
belajar
- Penurunan
kemampuan untuk
memecahkan masalah
- Ketakutan terhadap
konsekuensi yang
tidak spesifik
- Lupa, gangguan
perhatian
- Khawatir, melamun
- Cenderung
menyalahkan orang
lain.

47
Faktor yang berhubungan:
 Perubahan dalam(status
ekonomi, lingkungan,
status kesehatan, pola
interaksi,fungsi peran,
status peran)
 Pemajanan toksin
 Terkait keluarga
 Herediter
 Infeksi/kontaminan
interpersonal
 Penularan penyakit
interpersonal
 Krisis maturasi
 Krisis situasional
 Stres, ancaman kematian
 Penyalahgunaan zat
 Ancaman pada (status
ekonomi, lingkungan,
status kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran,
status peran, konsep diri)
 Konflik tidak disadari
mengenai tujuan penting
hidup
 Konflik tidak disadari
mengenai nilai yang
esensial atau penting.
Kebutuhan yang tidak
dipenuhi

48
4. Implementasi
Disesuaikan dengan intervensi keperawatan
5. Evaluasi
Disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil

49
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kista Hepar dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening dan
tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol sebagai
hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya harus dibedakan
dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan
yang terkandung dalam kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista
seperti ini biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif. (
Enggram,Barbara.2012 )
Biasanya tidak ada gejala yang dapat diamati pada pasien kista hepar yang mengalami
hepatomegali, karena hati tudak memiliki saraf. Namun beberapa gejala dapat terlihat
ketika rentang hati yang cukup meningkat, menurut Enggram,Barbara.2012 gejala
kista hepar meliputi : Rasa sakit dan ketidaknyamanan muncul dan memberikan
tekanan pada organ di sekitarnya karena prmbengkakan. Dalam kasus pembesaran
hati yang terkait kista hepar, seseorang akan mengalami gejala seperti kulit yang
menguning, anoreksia, mual, lesu, sakit perut dan muntah.
B. Saran
Diharapkan perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan keluhan
pasien khususnya pada pasien kista hepar.

50
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC

Carpenito-Moyet,Lynda Juall.2013.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta:EGC


Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed. Benign
tumor & cysts of the liver. India : McGraw-Hill. 2010. h.576-7.
Enggram,Barbara.2012.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: EGC
Nursalam. (2011). Keperawatan medikal bedah . Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Nanda International.2013. Diagnosis Keperawatan: definisi &
Klasifikasi 2012-                       2014. Penerbit buku kedokteran. Jakarta : EGC

Riyani, Ani. 2013. Penuntun Praktikum Kimia Klinik 2. Bandung : Politeknik

Kesehatan Kemenkes Bandung Jurusan Analis Kesehatan .

51

Anda mungkin juga menyukai