Anda di halaman 1dari 103

MODUL PEMBINAAN                                           

CALON AHLI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA UMUM 
(AK3U) 

DIREKTORAT PENGAWASAN NORMA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DAN K3 
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA  i
TAHUN 2020 
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i


BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Pembelajaran .......................................................................... 2
C. Ruang Lingkup ............................................................................. ....... 2

BAB II. POKOK BAHASAN

A. Dasar-Dasar Kesehatan Kerja dan Peraturan Perundang-Undangan


di Bidang Kesehatan Kerja................................................................... 3
B. Pelayanan Kesehatan Kerja ................................................................. 14
C. Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja ............................................... 27
D. Penyakit Akibat Kerja ........................................................................... 33
E. Gizi Kerja dan Penyelenggaraan Makanan Bagi Tenaga Kerja ........... 43
F. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di Tempat Kerja ......... 53
G. Pencegahan Penyakit Di Tempat Kerja…………………………………. 60
1. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan
Peredaran Gelap Narkotika, Psokotropika dan Bahan Adiktif
Lainnya …………………………………………………………………. 60
2. Program Pencegahan dan Penanggulangan Tuberculosis
di Tempat Kerja ………………………………………………………... 69
3. Program Pencegahan dan Penanggulangan Pandemi Influenza
di Tempat Kerja ………………………………………………………… 74

BAB III. PENUTUP............................................................................................. 78


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80
LAMPIRAN

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Perlindungan atas keselamatan dan kesehatan merupakan hak bagi tenaga kerja
dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi
dan produktivitas nasional. Dengan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
tersebut diharapkan akan lebih menjamin kondisi lingkungan kerja yang aman dan
tenaga kerjaselalu dalam keadaan sehat, selamat dan sejahtera sehingga pada
akhirnya dapat mencapai suatu tingkat produktivitas kerja yang tinggi. Untuk mencapai
kondisi tersebut maka diperlukan upaya kesehatan kerja.

Upaya kesehatan kerja perlu dilaksanakan karena di tempat kerja terdapat faktor-
faktor risiko bahaya yang dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1) Undang Undang No.1 Tahun
1970, bahwa pengurus perusahaan wajib untuk melaksanakan syarat-syarat
keselamatan kerja, dimana terdapat lebih dari 50 % merupakan syarat-syarat
kesehatan kerja. Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja tersebut.

Kondisi di masyarakat pelaku di tempat kerja baik pekerja maupun pengusaha


masih banyak yang belum menyadari dan memahami adanya sumber-sumber bahaya
di tempat kerja dan peraturan perundangan bidang kesehatan kerja, sehingga masih
banyak perusahaan yang belum menerapkan upaya kesehatan kerja sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.

Untuk meningkatkan penerapan peraturan perundangan di bidang kesehatan kerja


sebagai bagian dari keselamatan dan kesehatan kerja (K3), diperlukan pembinaan dan
pengawasan yang lebih intensif bagi ahli K3. Untuk memperluas jangkauan
pengawasan oleh pegawai pengawas yang jumlahnya terbatas diperlukan peningkatan
jumlah ahli K3 melalui pembinaan calon Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

1
B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan dapat memahami dan


menerapkan K3 bidang Kesehatan Kerja.

2. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)

Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan dapat mengetahui dan


menjelaskan:

a. Latar belakang pengawasan norma kesehatan kerja


b. Dasar-dasar kesehatan kerja dan peraturan perundangan bidang kesehatan
kerja
c. Ruang lingkup pengawasan norma kesehatan kerja
d. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK)
e. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
f. Penyakit Akibat Kerja (PAK)
g. Gizi Kerja dan penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja
h. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja
i. Pencegahan penyakit di tempat kerja

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pembahasan mata pelajaran ini meliputi :


1. Dasar-dasar kesehatan kerja dan peraturan perundangan norma kesehatan kerja
2. Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK)
3. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
4. Penyakit Akibat Kerja (PAK)
5. Gizi kerja dan penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja
6. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja
7. Pencehagan penyakit di tempat kerja

2
BAB II
POKOK BAHASAN

A. DASAR-DASAR KESEHATAN KERJA DAN PERATURAN PERUNDANGAN


KESEHATAN KERJA.

1. PENGERTIAN KESEHATAN KERJA

Menurut Joint ILO/WHO Committee on Occupational Health tahun 1995


pengertian kesehatan kerja adalah :
"Kesehatan kerja bertujuan pada promosi dan pemeliharaan derajat yang setinggi-
tingginya dari kesehatanfisik, mental dan social dari pekerja pada semua pekerjaan;
pencegahan gangguan kesehatan padapekerja yang di sebabkan oleh kondisi kerja
mereka; perlindungan pekerja dalam pekerjaan mereka dari resiko akibat faktor-
faktor yang mengganggu kesehatan ; penempatan dan pemeliharaan pekerja
dalam suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan
psikologisnya ; dan sebagai kesimpulan, penyesuaian pekerjaan, terhadap
manusia dan setiap manusia terhadap pekerjaannya.
Fokus utama dari kesehatan kerja terletak pada tiga obye yan berbeda:
(i)pemeliharaan dan promosi kesehatan kerja dan kapasitas kerja; (ii)perbaikan
lingkungan kerja dan pekerjaan sehingga kondusif terhadap keselamatan dan
kesehatan ;(iii)pengembangan organisasi dan budaya kerja dalam arah yang
mendukung kesehatan dan keselamatan kerja dan dalam pelaksanaannya. Juga
mempromosikan iklim social yang positif dan operasi yang lancar dan dapat
meningkatkan produktivitas perusahaan. Konsep dari budaya kerja dalam konteks
ini adalah refleksi dari sistem-sistem nilai yang essensial yang diterapkan dalam
perusahaan. Budaya tersebut tercermin dalam praktek system manajemen,
kebijakan personalia, prinsip-prinsip partisipasi, kebijakan pelatihan dan
manajemen mutu dari perusahaan".

Berdasarkan paradigma baru diatas, di dunia international telah


dikembangkan beberapa sistem manajemen seperti Sistem Manajemen Mutu (ISO
9000), Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14000) dan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

3
Upaya kesehatan kerja mempunyai tujuan utama menciptakan tenaga kerja
yang sehat dan produktif. Dalam hal tujuan utama tersebut terdapat korelasi yang
erat antara derajat kesehatan tenaga kerja dengan produktivitas kerja. Apabila
tenaga kerja bekerja dengan beban pekerjaan yang dilakukan dengan cara dan
dalam lingkungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan kerja serta
dengan derajat kesehatan tenaga kerja yang baik akan dicapai efesiensi kerja dan
produktivitas kerja yang optimal.
Dalam usaha mencapai tujuan kesehatan tenaga kerja guna mendapatkan
tenaga kerja yang produktif dan mempunyai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya perlu dilaksanakan berbagai upaya antara lain melalui penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja.

2. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN DAN


PRODUKTIVITAS PEKERJA.
Agar seorang pekerja dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas
pekerja yang setinggi-tingginya, maka perlu adanya keseimbangan yang serasi
diantara faktor-faktor:
a. Beban kerja.
b. Beban tambahan dari lingkungan kerja.
c. Kapasitas kerja.

a. Beban kerja:
Setiap pekerjaan merupakan beban dari pelakunya. Beban kerja tersebut
antara lain:
- Beban fisik; seperti pada mengangkat, memikul, menempa (pandai besi)
dan lain-lain.
- Beban mental; seperti pada manajer, pengusaha dan lain-lain.
Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam
hubungannya dengan beban kerja. Pada umumnya mereka hanya mampu
memikul beban sampai batas tertentu, efisiensi dan produktivitas kerja
sangat ditentukan oleh tingkat beban optimal seorang tenaga kerja. Untuk
mendapatkan tingkat yang optimal, perlu menempatkan tenaga kerja pada
pekerjaan yang tepat. Tepat atau tidaknya suatu penempatan ditentukan
oleh faktor-faktor yang ada pada tenaga kerja seperti bakat, kecocokan,
pengalaman pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan lain sebagainya.

4
b. Beban tambahan dari lingkungan kerja :
Suatu pekerjaan pada umumnya dilakukan dalam suatu lingkungan atau
keadaan yang dapat memberikan beban tambahan pada jasmani atau rohani
tenaga kerja. Secara garis besar faktor-faktor lingkungan kerja yang dapat
mengganggu kesehatan tenaga kerja adalah:
- Faktor fisik dapat berupa; kebisingan, suhu/iklim, radiasi, tekanan
udara, penerangan, getaran.
- Faktor kimia berupa: gas dan uap, partikel / aerosol, debu, kabut, asap,
cairan, dll
- Faktor biologi dapat berupa; bakteri, virus, jamur, cacing, parasit, dll
- Faktor fisiologi ( Ergonomi )
- yaitu faktor yang mempengaruhi keserasian antara tenaga kerja dan
pekerjaannya (kontruksi mesin, sikap kerja dan cara kerja). Ketidak serasian
dari faktor di atas dapat menimbulkan kecelakaan kerja, sakit otot, sakit
pinggang, cedera punggung dan lain-lain.
- Faktor psikososial berupa :
Hubungan kerja yang kurang baik, sifat pekerjaan yang monoton, tak sesuai
bakat, kesejahteraan yang kurang dan lain-lain. Faktor ini selain akan
menurunkan produktivitas, juga dapat menimbulkan penyakit-penyakit
psikosomatik.

c. Kapasitas kerja:
Kapasitas kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh :
- ketrampilan
- kesegaran jasmani
- keadaan kesehatan
- tingkat gizi
- jenis kelamin
- umur
- ukuran-ukuran tubuh (antropometri).
Kapasitas kerja akan maksimal, apabila seluruh faktor-faktor diatas dalam
keadaan optimal dan serasi dengan pekerjaan yang dihadapi. untuk itu perlu
pembinaan terus menerus, untuk meningkatkan ketrampilan dan tingkat
kesehatan tenaga kerja.

5
Untuk menghindari terjadinya kecelakaan dan gangguan kesehatan para
pekerja dan selalu dalam keadaan sehat dan produktif perlu dilakukan upaya-upaya
kesehatan kerja yaitu :
a. Optimalisasi beban kerja.
b. Pengendalian lingkungan kerja :
c. Peningkatan kapasitas kerja

3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NORMA KESEHATAN KERJA


Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang kesehatan kerja
antara lain:

UNDANG-UNDANG
1. Undang-undang No. 3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan International Nomor 120 Mengenai Higiene Dalam
Perniagaan dan Kantor-kantor.
Undang-undang ini menjelaskan bahwa dalam Konvensi No. 120 secara
garis besar mengatur kebersihan, ventilasi, suhu, penerangan, persediaan air
minum, kakus, tempat mencuci, tempat tukar pakaian dalam tempat kerja.
Selanjutnya Konvensi ini hendak melindungi pekerja terhadap bahaya getaran
dan sebagainya.
Setiap badan, lembaga atau dinas pemberi jasa atau bagiannya yang
tunduk kepada konvensi ini, dengan memperhatikan besarnya dan
kemungkinan bahaya yang akan terjadi, maka harus melaksanakan P3K di
tempat kerja.

2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


Syarat-syarat keselamatan kerja sesuai dengan Bab III pasal 3 dalam
peraturan perundangan ini menunjukan bahwa lebih dari 50% dari syarat-syarat
tersebut adalah syarat-syarat kesehatan kerja, yaitu :
a. memberi pertolongan pada kecelakaan;
b. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
c. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran;
d. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik

6
maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan;
e. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
f. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
g. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
h. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
i. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan cara dan
proses kerjanya.

Di dalam pasal 8 menyebutkan kewajiban pengusaha untuk :


a. Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari
tenaga kerja yang akan diterimanya maupun yang akan dipindahkan, sesuai
dengan sifat pekerjaan yang akan diberikan kepadanya ;
b. Memeriksakan kesehatan dari semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.

Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja terkait dengan


penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja terutama program jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja.

3. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Di dalam undang-undang pada pasal 86 ini mengatur hak pekerja/buruh
untuk memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Untuk
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Selain itu di dalam pasal 87 mengatur kewajiban setiap perusahaan
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

7
KEPUTUSAN PRESIDEN

1. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2019 Tentang Penyakit Akibat Kerja

Di dalam Peraturan Presiden ini diatur hak pekerja atas Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) sampai dengan 3 tahun setelah hubungan kerja berakhir, dan
juga penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau
lingkungan kerja, meliputi jenis penyakit:

a. Yang di sebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas kerja

b. Berdasarkan sistem target organ

c. Kanker akibat kerja dan ;

d. Spesifik lainnya.

PERATURAN MENTERI

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor


Per-01/Men/1976 tentang Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan,
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter Perusahaan.

Kewajiban dari perusahaan untuk mengirimkan setiap dokter


perusahaannya untuk mendapatkan latihan dalam bidang Hiperkes.

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per-


01/Men/1979 tentang Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan,
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Para Medis
Perusahaan

Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga paramedis


diwajibkan untuk mengirimkan tenaga kerja tersebut untuk mendapatkan
latihan Hiperkes.

8
3. Permenaker No. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

Memuat ketentuan dan tujuan mengenai pemeriksaan kesehatan


tenaga kerja awal (sebelum kerja), berkala (periodik) dan khusus.

4. Permenakertrans No. Per. 01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor


Penyakit Akibat Kerja

 Penyakit akibat kerja harus dilaporkan secara tertulis


 Paling lama 2 x 24 jam
 Melakukan usaha-usaha preventif
 Menyediakan alat pelindung diri.

5. Permennakertrnas No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan


Kerja.
Dalam Peraturan Menteri ini dinyatakan bahwa setiap tenaga kerja
berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kerja. Pengurus wajib
memberikan pelayanan kesehatan kerja terhadap tenaga
kerjanya.Pelayanan kesehatan kerja dapat dilaksanakan dengan cara
menyediakan pelayanan kesehatan sendiri di perusahaan (misalnya rumah
sakit atau klinik perusahaan) dan dapat dilaksanakan dengan cara kerja
sama dengan unit pelayanan kesehatan di luar perusahaan (misalnya rumah
sakit pemerintah atau swasta, puskesmas, klinik swasta) dengan syarat
minimal sudah memiliki dokter dan paramedis yang telah memiliki
kompetensi di bidang kesehatan kerja.

6. Permennakertrans No. Per. 11/Men/2005 tentang Pencegahan dan


Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di
Tempat Kerja.
Peraturan Menteri ini ini mengatur tentang Kewajiban
pengusaha/Pengurus untuk melaksanakan program Pencegahan dan
Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)
di tempat kerja.

9
7. Permennakertrans No. Per. 25/Men/2008 tentang Pedoman Diagnosis
dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja.
Peraturan Menteri ini mengatur tentang pedoman untuk dapat
mendiagnosis penyakit akibat kerja dan untuk menilai kecacatan karena
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, yang dibagi dalam bidang-bidang
disiplin ilmu kedokteran sehingga lebih mudah untuk diikuti dan digunakan
oleh berbagai pihak terutama dokter yang mengobati dan merawat tenaga
kerja.

8. Permennakertrans No. Per. 15/Men/2008 tentang Pertolongan pertama


Pada Kecelakaan di Tempat Kerja
Peraturan Menteri ini diatur ketentuan mengenai kewajiban pengusaha
untuk menyediakan petugas P3K di tempat kerja dan fasilitas P3K di tempat
kerja. Pengurus wajib melaksanakan Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan (P3K) di tempat kerja.

Terkait dengan pengaturan P3K di tempat kerja diatur Petunjuk


Pelaksanaan tentang Pedoman Pelatihan dan Pemberian Lisensi Petugas
P3K di Tempat Kerja dengan Kepdirjen Pembinaan Pengawasan No.
53/DJPPK/VIII/2009.

9. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No.5 Tahun 2018 tentang


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja.
Aspek kesehatan kerja dalam peraturan ini yaitu penerapan hygienes
sanitasi di tempat kerja dan pengendalian PAK akibat faktor bahaya di
tempat kerja. Peraturan ini juga memberikan pedoman batasan nilai ambang
batas faktor fisik dan kimia, serta batasan standar yang harus dipenuhi untuk
faktor biologi, psikologi dan ergonomi, agar pekerja terhindar dari PAK akibat
faktor bahaya tersebut di tempat kerja.

10
KEPUTUSAN MENTERI

- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 333 Tahun 1989 Tentang


Diagnosa dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja
Diagnosa penyakit akibat kerja dapat ditemukan atau didiagnosa
sewaktu melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dan sewaktu
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja. Setelah penyakit akibat kerja
didiagnosa harus dilaporkan dalam waktu 2 x 24 jam.

- Kepmennakertrans No. Kep. 68/Men/IV/2004 tentang Pencegahan dan


Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.
Kepmennakertrans ini mengatur tentang kewajiban untuk melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, baik
kepada pengusaha, pekerja dan pemerintah. Selain itu mengatur mengenai
tes HIV dan pelayanan kesehatan kerja bagi pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS.
Pengusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja :
- Mengembangkan kebijakan (dapat dituangkan dalam Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama)
- Mengkomunikasikan kebijakan melalui :
i. Penyebarluasan informasi
ii. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan
- Memberikan perlindungan kpd pekerja/buruh dari tindakan dan perlakuan
diskriminatif.
- Menerapan prosedur K3 khusus.

SURAT EDARAN DAN INSTRUKSI MENTERI

1. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE.01/Men/1979 tentang


Pengadaan Kantin dan Ruang Makan .

Surat Edaran ini berisi anjuran kepada semua perusahaan untuk :

 Menyediakan ruang makan untuk perusahaan yang mempekerjakan


buruh antara 50 – 200 orang.

11
 Menyediakan kantin untuk perusahaan yang mempekerjakan lebih dari
200
 Mengacu pelaksanaannnya dengan PMP No. 7 tahun 1964 khususnya
yang termaktub dalam pasal 8.

2. Surat Edaran Dirjen Binawas No. SE. 07/BW/1997 tentang Pengujian


Hepatitis B Dalam Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja

Pengujian Hepatitis B dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja


tidak boleh digunakan untuk menentukan fit atau unfit terhadap tenaga kerja.

3. Surat Edaran Dirjen Binawas No. SE. 86/BW/89 tentang Perusahaan


Catering Yang Mengelola Makanan Bagi Tenaga Kerja.

Surat Edaran ini mengatur kewajiban perusahaan catering yang


mengelola makanan bagi tenaga kerja untuk :
 Mendapat rekomendasi dari Kandepnaker setempat dalam hal ini adalah
Dinas Tenaga Kerja.
 Rekomendasi diberikan berdasarkan persyaratan kesehatan, hygiene
dan sanitasi

4. SE 280/2010 tentang Pandemi Influenza

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINWASNAKER


1. Kepdirjen PPK No. 20/DJPPK/2005 tentang Petunjuk Pelaksaan
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

2. Kepdirjen PPK No. 22/DJPPK/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan


Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

3. Kepdirjen No. 44/DJPPK/2012 tentang Pedoman Pemberian Pengharaan


Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Tempat Kerja

12
4. OBYEK PENGAWASAN NORMA KESEHATAN KERJA
Pengawasan Kesehatan Kerja adalah serangkaian kegiatan pengawasan
dari semua tindakan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atas
pemenuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atas objek pengawasan
kesehatan kerja.
Sedangkan objek pengawasan kesehatan kerja, yang harus diperhatikan
dan selalu dilakukan pembinaan dan pengawasan adalah:
a. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.
b. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dan diagnosis penyakit akibat kerja
c. Pelaksanaan P3K di tempat kerja yang meliputi Personil dan Fasilitas P3K
di tempat kerja.
d. Gizi kerja dan penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja (kantin dan
perusahaan katering pengelola makanan bagi tenaga kerja).
e. Personil bidang kesehatan kerja (dokter perusahaan, dokter pemeriksa
kesehatan tenaga kerja, paramedis perusahaan, petugas dan pengelola
perusahaan katering bagi tenaga kerja, petugas P3K)
f. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit di tempat kerja (HIV -
AIDS dan P4GN).

B. PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA


Di tempat kerja, setiap tenaga kerja selalu berhadapan dengan kondisi kerja
yang mengandung potensi bahaya (potensial hazards) terhadap kecelakaan kerja
(occupational accident) maupun penyakit, yang dapat berupa penyakit umum (general
disease) maupun penyakit akibat kerja/PAK (occupational disease).
Di luar tempat kerja, para pekerja juga menghadapi risiko berbagai penyakit dan
kecelakaan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Dengan demikian maka seorang
pekerja berhadapan dengan risiko kecelakaan dan PAK sebagai risiko khusus yang ada
di tempat kerja dan berhadapan dengan risiko penyakit dan kecelakaan di luar tempat
kerja sebagai risiko umum yang ada di lingkungan masyarakat.
Salah satu upaya dalam rangka menjamin kesehatan dan produktifitas pekerja
secara optimal adalah dengan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK).
Kondisi kesehatan dan produktifitas pekerja sangat dipengaruhi oleh cara
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan yang
dilaksanakan wajib mengacu pada standar dan peraturan perundangan yang berlaku serta

13
disesuaikan dengan kondisi tempat kerja serta cara atau proses kerja yang dihadapi
tenaga kerja.
Sesuai dengan Permenakertrans No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan
Kesehatan Kerja, menyatakan bahwa Pelayanan Kesehatan Kerja adalah suatu usaha
kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan :
a. Memberikan bantuan terhadap tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik fisik
maupun mental terutama dalam penyesuaian dengan pekerjaannya
b. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerjanya
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik tenaga kerja
d. Memberikan pengobatan, perawatan dan rehabilitasi terhadap tenaga kerja yang
menderita sakit.
Ruang lingkup Pelayanan Kesehatan Kerja tersebut di atas selaras dengan
kesehatan kerja menurut Joint committee ILO - WHO tahun 1995, yaitu : “Promosi dan
pemeliharaan derajat yang setinggi-tingginya dari kesehatan fisik, mental dan sosial dari
pekerja pada semua pekerjaan; pencegahan gangguan kesehatan pada pekerja yang
disebabkan oleh kondisi kerjanya, perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor-faktor
yang mengganggu kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu
lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologisnya, dan sebagai
kesimpulan adalah penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan penyesuaian setiap
manusia kepada pekerjaannya”.

1. DASAR HUKUM
a. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
b. Permennakertrans No. Per. 01/Men/1976 tentang . Peraturan Menteri Tenaga
Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor Per-01/Men/1976 tentang Kewajiban
Latihan Hygiene Perusahaan, Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Bagi Dokter
Perusahaan.
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per-01/Men/1979
tentang Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan, Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja Bagi Tenaga Para Medis Perusahaan.
d. Permennakertrans No. Per. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan
Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
e. Permennakertrans No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

14
f. Kepdirjen Binwasnaker No. 22 Th 2008 ttg Juknis Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Kerja

2. PENGERTIAN/DEFINISI
a. Dokter Perusahaan : tenaga dokter yang bekerja untuk menjalankan higiene
perusahaan, keselamatan dan kesehatan kerja di suatau perusahaan.
b. Paramedis Perusahaan : tenaga dokter yang bekerja untuk menjalankan higiene
perusahaan, keselamatan dan kesehatan kerja di suatau perusahaan.
c. Dokter Pemeriksa Kesehatan Tenaga Kerja : dokter yang ditunjuk perusahaan
untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dan telah
mendapatkan penunjukan dari Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.
d. Pelayanan Kesehatan Kerja (Occupational Health Services) adalah suatu
pelayanan yang dilakukan untuk pencegahan, diagnosa, menangani
kecelakaan kerja atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan serta
pemberian rehabilitasi terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan atau
penyakit di tempat kerja.

3. TUGAS POKOK DAN FUNGSI PELAYANAN KESEHATAN KERJA


a. Tugas Pokok Pelayanan Kesehatan Kerja
Sesuai Permenakertrans No. 03 Tahun 1982, tugas pokok Pelayanan
Kesehatan Kerja meliputi :
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksan
kesehatan khusus
2. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga
kerja
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
4. Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
5. Pembinaan dan pengawasan terhadap perlengkapan kesehatan kerja
6. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat
kerja
7. Pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K)
8. Pendidikan kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas P3K

15
9. Memberikan nasihat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja,
pemiihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan
makanan di tempat kerja
10. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja
11. Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai
kelainan tertentu dalam kesehatannya
12. Memberikan laporan berkala tentang pelayanan ksehatan kerja kepada
perusahaan.

b. Fungsi pelayanan kesehatan kerja :


Fungsi utama pelayanan kesehatan kerja adalah sebagai sarana
perlindungan tenaga kerja melalui program-program kesehatan kerja yang bersifat
komprehensif (meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif). Upaya-
upaya kesehatan kerja tersebut ditujukan terutama untuk mencegah terjadinya
penyakit akibat kerja (PAK) dan untuk menanggulangi masalah kesehatan kerja
lainnya yang dialami oleh tenaga kerja dalam rangka meningkatkan produktivitas
kerja.
Selain hal tersebut di atas, pelayanan kesehatan kerja juga dapat berfungsi
untuk pemberian P3K, pos informasi kesehatan bagi karyawan, penyelenggaraan
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala, khusus), pemeriksaan,
pengobatan, perawatan dan rehabilitasi tenaga kerja dan lain sebagainya.

4. SYARAT PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA


a. Syarat kelembagaan pelayanan kesehatan kerja :
1) Pelayanan kesehatan kerja dapat berupa :
 Unit pelayanan kesehatan di perusahaan (misalnya poliklinik atau rumah
sakit perusahaan)
 Unit pelayanan kesehatan di luar perusahaan, baik milik pemerintah
(misalnya rumah sakit, poliklinik, puskesmas dll.) maupun milik swasta
(misalnya rumah sakit, poliklinik, balai pengobatan dll.)
 Pengurus dari beberapa perusahaan secara bersama-sama
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Kerja (Pusat kesehatan kerja
gabungan) yang sering dibentuk pada kawasan-kawasan industri, misalnya:
Rumah sakit pekerja,Poliklinik pekerja, dan lain-lain

16
2) Pelayanan kesehatan kerja baik yang ada di perusahaan maupun di luar
perusahaan berbentuk lembaga yang mendapat pengesahan berupa Surat
Keterangan dari instansi di bidang ketenagakerjaan sesuai wilayah
kewenangannya.
3) Struktur lembaga pelayanan kesehatan kerja minimal meliputi :
 Penanggung jawab pelayanan kesehatan kerja,
 Pelaksana pelayanan kesehatan kerja,
 Petugas pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan kerja
4) Lembaga pelayanan kesehatan kerja yang ada di perusahaan menjadi bagian
atau terintegrasi dengan struktur kelembagaan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) yang ada di perusahaan misalnya Departemen K3, P2K3 atau
lembaga sejenis lainnya;

b. Syarat Personil Dalam Pelayanan Kesehatan Kerja


Personil pelayanan kesehatan kerja sekurang-kurangnya terdiri dari
penanggung jawab dan pelaksana pelayanan kesehatan kerja.
1) Semua personil pelayanan kesehatan kerja baik yang ada di perusahaan,
maupun di instansi kesehatan di luar perusahaan wajib memiliki sertifikat
pelatihan hiperkes dan keselamatan kerja, sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2) Dokter penanggung jawab Pelayanan Kesehatan Kerja baik yang ada di
perusahaan, maupun di instansi kesehatan di luar perusahaan, ditunjuk oleh
pimpinan perusahaan/kepala unit atau intsansinya dan wajib memiliki
lisensi/Surat Keputusan Penunjukan (SKP) sebagai Dokter Pemeriksa
Kesehatan Tenaga Kerja dari Dirjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
3) Personil kesehatan kerja (dokter perusahaan, dokter pemeriksa kesehatan
tenaga kerja, perawat/paramedis perusahaan dll.) harus memenuhi
persyaratan profesi kesehatan dari instansi berwenang sesuai peraturan
perundangan yang berlaku;
4) Hal-hal yang menyangkut etika profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya
mengacu pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

17
c. Syarat sarana dan prasarana penyelenggaraan pelayanan kesehatan Kerja
Sarana penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja disesuaikan dengan
jumlah tenaga kerja dengan sarana minimal sebagaimana tabel 1;
Tabel 1 : Sarana Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja di Perusahaan

SARANA DASAR : SARANA PENUNJANG :

1. Perlengkapan umum: 1) Alat Pelindung Diri (APD)


a. Meja dan kursi 2) Alat evakuasi :
- tandu,
b. Tempat tidur
- ambulance/kendaraan
pasien pengangkut korban dll.
c. Wastafel 3) Peralatan penunjang diagnosa :
- spirometer,
d. Timbangan badan
- audiometer dll.
e. Meteran/pengukur 4) Peralatan pemantau/ pengukur
tinggi badan lingkungan kerja :
a. sound level meter,
f. Kartu status
b. lux meter,
g. Register pasien c. gas detector dll.
berobat

2. Ruangan :
a. Ruang tunggu
b. Ruang periksa
c. Ruang/almari obat
d. Kamar mandi dan
WC

3. Peralatan medis :
a. Tensimeter dan
stetoskop
b. Termometer
c. Sarung tangan
d. Alat bedah ringan
(minor set)
e. Lampu senter
f. Obat-obatan

18
g. Sarana/Perlengkapan
P3K
h. Tabung oksigen dan
isinya

Catatan :
Sarana Dasar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja adalah sarana
minimal yang harus dipenuhi, sedangkan sarana penunjang dapat disediakan sesuai
kebutuhan perusahaan.

5. TATA CARA PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA


Bentuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dapat berupa :
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dapat dilakukan dalam bentuk
salah satu dari 3 (tiga) pola sebagai berikut :
1) Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan sendiri di dalam perusahaan
(berupa klinik atau rumah sakit perusahaan);
2) Pelayanan kesehatan kerja melalui ikatan kerja sama dengan fasilitas
kesehatan di luar perusahaan/PROVIDER. Dibuat MOU antara perusahaan
dg unit pelayanan kesehatan di luar perusahaan (misalnya rumah sakit,
klinik, praktek dokter dll.). Dalam hal ini upaya kesehatan preventif dan
promotifnya dilakukan melalui kunjungan dokter ke perusahaan;
3) Pelayanan kesehatan kerja yang diselenggarakan secara bersama. Dalam
hal ini beberapa perusahaan (pada suatu kawasan industri) bersama-sama
menggunakan satu klinik di kawasan tersebut.

Terdapat perbedaan ketentuan antara bentuk penyelenggaraan


pelayanan kesehatan kerja yang diselenggarakan di dalam perusahaan dengan
bentuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja melalui kerjasama dengan
pihak di luar perusahaan.

19
 Ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja yang
diselenggarakan di dalam perusahaan :

a. Berbentuk klinik perusahaan atau rumah sakit perusahaan;


b. Memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
bagi tenaga kerja;
c. Wajib bagi perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1.000 orang atau lebih
atau jumlah tenaga kerja kurang dari 1.000 orang tetapi memiliki tingkat
potensi bahaya tinggi (penentuan tingkat risiko suatu perusahaan/tempat
kerja mengacu pada standar atau peraturan perundangan yang berlaku).

Tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja


yang dilaksanakan sendiri oleh perusahaan

No Jenis Pelayanan Bentuk Kegiatan

1. Pelayanan kesehatan  Pembinaan kesehatan kerja kepada tenaga kerja


preventif dan promotif minimal 1 bulan sekali
 Pengawasan dan pembinaan lingkungan kerja
minimal 2 bulan sekali

2. Pelayanan kesehatan  Memberikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif


kuratif dan rehabilitatif selama hari kerja dan selama ada shift kerja dengan
500 orang tenaga kerja atau lebih
 Pelayanan oleh dokter perusahaan setiap hari kerja
 Pelayanan oleh paramedis/perawat dapat
dilakukan untuk shift kerja ke 2 dan seterusnya.

3. Pelayanan kesehatan  Dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih


rujukan lengkap apabila ada kasus kesehatan yang tidak
dapat ditangani di dalam perusahaan

20
 Ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja di luar perusahaan.

Pelayanan kesehatan kerja dapat diselenggarakan melalui kerja sama dengan


pihak penyelenggara pelayanan kesehatan di luar perusahaan, dengan ketentuan:
a) Dapat dalam bentuk kerjasama dengan :
 Sarana pelayanan kesehatan pemerintah (Puskesmas, rumah sakit dan
poli klinik/ balai pengobatan dan lain-lain),
 Sarana pelayanan kesehatan swasta (rumah sakit, poli klinik, dokter
praktek swasta, dan lain-lain),
 Perusahaan Jasa K3 (PJK3) bidang kesehatan kerja.
b) Dapat dilaksanakan untuk perusahaan dengan jumlah tenaga kerja kurang
dari 1.000 orang dengan potensi bahaya rendah.
c) Memberikan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif bagi tenaga kerja.
d) Memberikan pelayanan kesehatan preventif dan promotif dengan ketentuan:
 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 500 s.d 1000 orang
dilakukan kunjungan perusahaan sekurang-kurangnya setiap 1 bulan
sekali;
 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 200 s.d 500 orang dilakukan
kunjungan perusahaan sekurang-kurangnya setiap 3 bulan sekali;
 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 200 orang dilakukan
kunjungan perusahaan minimal setiap 6 bulan sekali.

Tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja melalui kerja sama dengan
pihak di luar perusahaan

No. Kriteria perusahaan Cara Pelayanan

Kuratif,
Perusahaan dengan
A Preventif dan Promotif Rehabilitatif &
tingkat risiko tinggi
Rujukan

1. Jumlah tenaga kerja  pembinaan dan


200 s.d 500 orang pengawasan kesehatan  diberikan
kerja dan lingkungan kerja selama jam
minimal setiap 2 bulan kerja
sekali

21
2. Jumlah tenaga kerja  pembinaan dan
< 200 orang pengawasan kesehatan  diberikan
kerja dan lingkungan kerja selama jam
minimal setiap 3 bulan kerja
sekali

Kuratif,
Perusahaan dengan
B Preventif dan Promotif Rehabilitatif &
tingkat risiko rendah
Rujukan

1. Jumlah tenaga kerja  pembinaan dan  diberikan


> 500 s.d 1.000 orang pengawasan kesehatan selama jam
kerja dan lingkungan kerja kerja dan
minimal setiap 2 bulan selama ada
sekali shift kerja
dengan 500
orang
tenaga kerja
atau lebih

2. Jumlah tenaga kerja  pembinaan dan


 diberikan
200 s/d 500 orang pengawasan kesehatan
minimal
kerja dan lingkungan kerja
setiap 2 hari
minimal setiap 3 bulan
sekali
sekali

3 Jumlah tenaga kerja  pembinaan dan


 diberikan
s.d 200 orang pengawasan kesehatan
minimal
kerja dan lingkungan kerja
setiap 3 hari
minimal setiap 6 bulan
sekali
sekali

Catatan :
*) Bentuk kegiatan pembinaan kepada tenaga kerja :
pendidikan/pelatihan/penyuluhan tentang kesehatan kerja kepada tenaga kerja agar
memahami masalah kesehatan kerja khususnya yang berkaitan dengan risiko
kesehatan yang dialami terkait dengan pekerjaannya.
**)Pengawasan dan pembinaan lingkungan kerja :
melihat secara langsung kondisi lingkungan kerja dan memberikan masukan-masukan
dalam rangka perbaikan lingkungan kerja khususnya dalam rangka menurunkan risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

22
Apabila dilihat dari fungsi dan manfaatnya, maka penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja yang dilaksanakan sendiri oleh pengurus dalam bentuk poliklinik
perusahaan atau rumah sakit perusahaan merupakan cara yang lebih tepat, karena
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pihak luar kebanyakan hanya berupa
pengobatan (kuratif) saja, sedangkan fungsi preventif & promotif sering tidak
dilaksanakan.

Keterkaitan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja di Era SJSN/BPJS:


 Dasar Hukum
 UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
 PP No.86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada
Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi
Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran dlm Penyelenggaraan Jaminan
Sosial.
Sanksi yang diberikan perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerjanya
dalam kepesertaan BPJS akan mendapat sanksi administratif berupa teguran
tertulis; denda (dilakukan oleh BPJS); dan tidak mendapat layanan publik tertentu
seperti : perizinan terkait usaha, izin mengikuti tender proyek, izin
memperkerjakan TKA, perusahaan penyedia jasa pekerja, dll (dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah atas permintaan BPJS)

 BPJS Kesehatan memberikan pelayanan kuratif sebagaimana pelayanan JPK


Jamsostek sebelumnya melalui layanan kesehatan yg ditunjuk/provider.
Perusahaan yang memiliki klinik atau RS sendiri dapat sekaligus menjadi mitra
BPJS1 (ditunjuk sbg provider/Faskes tingkat 1)

 BPJS Ketenagakerjaan membiayai kasus kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat


kerja (pengobatan, perawatan, rehabilitasi dll pada Trauma Center) termasuk
memberikan kompensasi JKK

6. MEKANISME MENDAPATKAN SURAT KETERANGAN PELAYANAN KESEHATAN


KERJA
a. Pimpinan perusahaan atau kepala instansi yang menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan Kerja mengajukan surat permohonan kepada kepala instansi di bidang

23
ketenagakerjaan sesuai wilayah kewenangannya (Disnakertrans
Provinsi/UPTD/Korwil Pengawasan Ketenagakerjaan) dengan melampirkan :
1) Data perusahaan/instansi, personil dan sarana/prasarana penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja;
2) Struktur organisasi pelayanan kesehatan kerja;
3) Surat Penunjukan dokter penanggung jawab Pelayanan Kesehatan Kerja dari
perusahaan/instansi yang bersangkutan,
4) Surat pernyataan dokter penanggung jawab yang menyatakan akan mematuhi
peraturan perundangan di bidang kesehatan kerja (di atas materai Rp. 6.000,-
;
5) Salinan Surat Keputusan Penunjukan (SKP) Dokter Pemeriksa Kesehatan
Tenaga Kerja (yang dikeluarkan oleh Dirjen Binwasnaker) bagi dokter
penanggung jawab pelayanan kesehatan kerja;
6) Persyaratan lain sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan administratif dan
pemeriksaan lapangan untuk membuat laporan sebagai bahan pertimbangan
kepala dinas/instansi ketenagakerjaan dalam menerbitkan surat keputusan
pengesahan Pelayanan Kesehatan Kerja.
c. Pelayanan kesehatan kerja yang telah memenuhi persyaratan diberikan Surat
Keterangan oleh kepala dinas/instansi ketenagakerjaan.

7. PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA


a. Pelaksanaan program dan kegiatan kesehatan kerja terutama ditujukan untuk
pencegahan penyakit akibat kerja (PAK), peningkatan derajat kesehatan tenaga kerja
dan peningkatan kapasitas kerja melalui program/kegiatan utama berupa :
1) Pemeriksaaan kesehatan tenaga kerja;
2) Penempatan tenaga kerja disesuaikan dengan status kesehatannya;
3) Promosi/peningkatan kesehatan tenaga kerja;
4) Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK) melalui perbaikan lingkungan kerja
(program higiene industri);
5) Pencegahan PAK melalui perbaikan kondisi kerja (program ergonomi kerja);
6) Pengembangan organisasi, program dan budaya kesehatan kerja;
7) P3K, medical emergency respon, pengobatan, rehabilitasi, rujukan kesehatan,
pemberian kompensasi akibat kecelakaan dan PAK.

24
b. Program dan kegiatan pelayanan kesehatan kerja meliputi :
1) Upaya kesehatan promotif, misalnya :
- Pembinaan kesehatan kerja
- Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan kerja
- Pembinaan dan perbaikan gizi kerja
- Program olahraga di tempat kerja
- Penerapan ergonomi kerja
- Pembinaan gaya hidup sehat
- Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba di
tempat kerja
- Penyebarluasan informasi kesehatan kerja melalui penyuluhan dan media
KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi), dengan topik yang relevan.
2) Upaya kesehatan preventif, misalnya :
- Melakukan penilaian terhadap faktor risiko kesehatan di tempat kerja
(health hazard risk assesment) yang meliputi :
 Identifikasi faktor bahaya kesehatan kerja melalui : pengamatan, walk
through survey, pencatatan/pengumpulan data dan informasi
kesehatan kerja
 Penilaian/pengukuran potensi bahaya kesehatan kerja
 Penetapan tindakan pengendalian faktor bahaya kesehatan kerja
- Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala dan khusus)
- Survailans dan analisis PAK dan penyakit umum lainnya
- Pencegahan keracunan makanan bagi tenaga kerja
- Penempatan tenaga kerja sesuai kondisi/status kesehatannya
- Pengendalian bahaya lingkungan kerja
- Penerapan ergonomi kerja
- Penetapan prosedur kerja aman (SOP)
- Penggunaan APD yang sesuai
- Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi, pengurangan jam kerja terpapar
faktor risiko dll);
- Program imunisasi
- Program pengendalian binatang penular (vektor) penyakit.

25
3) Upaya kesehatan kuratif, misalnya :
- Pengobatan dan perawatan
- Tindakan P3K dan kasus gawat darurat lainnya
- Respon tanggap darurat
- Tindakan operatif,
- Merujuk pasien dll.
4) Upaya kesehatan rehabilitatif, misalnya :
- Fisio therapi
- Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental)
- Orthose/prothese (pemberian alat bantu misalnya : alat bantu dengar,
tangan/kaki palsu dll)
- Penempatan kembali dan optimalisasi tenaga kerja yang mengalami
cacat akibat kerja disesuaikan dengan kemampuannya.
- Rehabilitasi kerja.

Selain upaya-upaya tersebut di atas, Pelayanan Kesehatan Kerja juga


harus dapat menganalisa permasalahan K3 di perusahaan dan
mendiskusikannya dengan unit terkait untuk dirumuskan solusinya dan dilaporkan
ke pimpinan perusahaan (melalui forum P2K3) agar dilakukan upaya tindak lanjut.

c. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dan rujukan :


1) Program/kegiatan pelayanan kesehatan kerja lebih menitikberatkan pada upaya
kesehatan preventif dan promotif;
2) Upaya kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif minimal berupa
pelayanan kesehatan kerja yang bersifat dasar misalnya pemberian Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan pengobatan (rawat jalan tingkat pertama).
3) Untuk kasus/permasalahan kesehatan kerja yang tidak dapat dilayani
sepenuhnya di pelayanan kesehatan kerja di tingkat perusahaan, dilakukan
sistem rujukan ke pelayanan kesehatan kerja yang lebih lengkap.

d. Agar fungsi dan peranan Pelayanan Kesehatan Kerja optimal maka :


1) Pengurus wajib memberikan kebebasan profesional kepada dokter yang
menjalankan Pelayanan Kesehatan Kerja.
2) Dokter dan tenaga kesehatan kerja lainnya dalam melaksanakan Pelayanan
Kesehatan Kerja diberikan kebebasan profesional untuk mendiagnosis PAK

26
dan melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya, termasuk
dalam memasuki tempat-tempat kerja untuk melakukan pemeriksaan-
pemeriksan dan mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan.

8. PELAPORAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA


Pelaporan hasil pelaksanaan program dan kegiatan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui
kondisi kesehatan kerja di suatu perusahaan.
Bagi perusahaan, data laporan pelayanan kesehatan kerja menjadi masukan yang
sangat berharga untuk mengevaluasi upaya dan program kesehatan kerja yang sudah
dilakukan dan kaitannya dengan produktifitas kerja.
Bagi pemerintah, data dari laporan tersebut akan menjadi masukan dalam
membuat kebijakan dan program di tingkat pusat dalam pengawasan ketenagakerjaan
umumnya dan kesehatan kerja khususnya.
Bentuk dan tata cara pelaporan penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja
mengacu pada pedoman dan peraturan perundangan yang berlaku.
a. Isi laporan pelayanan kesehatan kerja meliputi :
1) Jumlah kunjungan pasien yang berobat, terdiri dari :
 Kunjungan baru
 Kunjungan lama (ulang)
 Diagnosa penyakit
 Data penyakit akibat kerja dan penyakit diduga akibat kerja
2) Data kecelakaan kerja
3) Data hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja:
 Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja (pemeriksaan kesehatan awal),
Pemeriksaan kesehatan berkala dan Pemeriksaan kesehatan khusus
4) Data hasil pemantauan/pengukuran/pengujian lingkungan kerja
5) Data kegiatan kesehatan kerja lainnya

b. Cara dan Alur Pelaporan


Pelaporan hasil penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja harus dibuat
oleh dokter penanggung jawab dan dilaporkan oleh pengusaha kepada Dinas
Ketenagakerjaan setempat dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal
Pembinaaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan & K3 Kementerian
Ketenagakerjaan.

27
C. PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA
1. DASAR HUKUM.
Peraturan perundangan yang terkait dengan pemeriksaan kesehatan tenaga
kerja adalah :
a. pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1970
b. Permennakertrans No. Per. 02/Men/1980
c. Permennakertrans No. Per. 03/Men/1982.

2. PENGERTIAN-PENGERTIAN:
a. Pemeriksaan kesehatan awal (sebelum kerja) adalah pemeriksaan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja
diterima untuk melakukan pekerjaan.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala (periodik) adalah pemeriksaan kesehatan
pada waktu-waktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh
dokter.
c. Pemeriksaan kesehatan khusus adalah pemeriksaan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu.

3. TUJUAN PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA.


a. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja awal (sebelum kerja) ditujukan agar
tenaga kerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-
tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga
kerja lainnya dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan dan tenaga
kerja lainnya dapat dijamin.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala (periodik) dimaksudkan untuk
mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam
pekerjaannya, serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari
pekerjaan sedini mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha
pencegahan.
c. Pemeriksaan kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya
pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau
golongan-golongan tenaga kerja tertentu.

28
Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dilakukan untuk memenuhi 2 kebutuhan
:
a. Untuk mendiagnosa dan memberikan terapi bagi tenaga kerja yang
menderita penyakit umum. Bagi negara-negara yang sudah maju, hal seperti
ini dilakukan oleh asuransi.
b. Untuk mengadakan pencegahan dan mendiagnosa penyakit akibat kerja serta
menentukan derajat kecacatan. Hal tersebut dilakukan oleh dokter pemeriksa
kesehatan tenaga kerja atau dokter yang mempunyai keahlian dibidang
kesehatan/kedokteran kerja.

4. PROSEDUR DAN MEKANISME PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA


a. Pelaksana
Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dilaksanakan oleh lembaga dan
personil yang mempunyai kompetensi. Sesuai dengan pasal 8 Undang-undang
No. 1 tahun 1970, Permennakertrans No. Per. 02/Men/1980 dan
Permennakertrans No. Per. 03/Men/1982, diatur mengenai pelaksana
pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yaitu dilakukan oleh dokter yang
dibenarkan oleh Direktur. Dokter yang dimaksud adalah dokter pemeriksa
kesehatan tenaga kerja. Dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja adalah
dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan telah memenuhi syarat sesuai dengan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Trankop No. Per. 01/Men/1976 dan syarat-
syarat lain yang dibenarkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjan – Depnakertrans.
Sedangkan lembaga pemeriksa kesehatan tenaga kerja dapat
dilaksanakan oleh pelayanan kesehatan kerja di dalam perusahaan atau di luar
perusahaan yaitu oleh Perusahaan Jasa bidang pemeriksaan/pengujian dan
atau pelayanan kesehatan kerja, yang telah mendapatkan pengesahan sesuai
dengan Permennaker No. Per. 04/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

b. Prosedur dan Mekanisme pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.


Sebelum dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja melaksanakan
pemeriksaan kesehatan maka harus membuat perencanaan dan pedoman
pemeriksaan. Perencanaan pemeriksaan kesehatan diharapkan dalam
pelaksanaan tidak mengganggu kelancaran proses produksi. Sedangkan

29
pedoman pemeriksaan kesehatan berkaitan dengan jenis pemeriksaan kesehatan
yang harus didasarkan pada unit kerja dan faktor risiko yang ada di tempat kerja,
sehingga akan diketahui jenis pemeriksaan dan jumlah yang diperiksa.

1) Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja awal (sebelum kerja)


Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja awal (sebelum kerja)
dilaksanakan sebelum diterima untuk melaksanakan pekerjaan dan data hasil
pemeriksaan merupakan data dasar atau awal. Pemeriksaan ini meliputi :

Anamnese (interview).
Didalam anamnese perlu ditanyakan tentang :
 riwayat penyakit, ditanyakan tentang semua penyakit yang diderita, kondisi
kesehatan yang dirasakan, riwayat perawatan di rumah sakit, riwayat
operasi, dan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, minuman keras dan
sebagainya
 riwayat pekerjaan, ditanyakan tentang semua pekerjaan yang pernah
dilakukan dibagain apa saja, berapa lama dan apakah pernah diperiksa
kesehatannya
 kecelakaan yang pernah diderita
 umur
 pendidikan
 keadaan keluarga dan lain-lain.

Anamnesa (interview) khusus untuk penyakit-penyakit :


 alergi
 epilepsi
 kelaianan jantung
 tekanan darah (tinggi/rendah)
 TBC
 kencing manis
 asma, bronchitis, pneumonia
 gangguan jiwa
 penyakit kulit
 penyakit pendengaran

30
 panyakit pinggang
 hernia
 hepatitis/penyakit hati
 ulkus peptikum
 anemia, dll.

Pemeriksaan klinis :
Seperti pemeriksaan klinis untuk penyakit umum, hanya lebih
memperhatikan kemungkinan adanya pengaruh dari faktor-faktor dalam
lingkungan kerja.
 pemeriksaan mental
keadaan kesadaran, sikap dan tingkah laku, kontak mental, perhatian,
inisiatif, intelegensia dan proses berfikir.
 pemeriksaan fisik
fisik diagnostik dari seluruh bagian badan dengan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi, pengukuran tekanan darah, nadi, pernafasan, tinggi badan,
berat badan, pemeriksaan ketajaman penglihatan, pendengaran,
perabaan, refleks, kesegaran jasmani.
 Pemeriksaan Laboratorium rutin dan Rongent dada.
Untuk membantu menegakkan diagnosis (darah, urine, faeces).
 Pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaan.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melihat dan menilai kondisi
kesehatan tenaga kerja dikaitkan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang
akan dikerjakannya, misalnya; alergi test, spirometri test, buta warna dan
lain-lain.

Hasil Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Awal


 Sehat (tidak didapat kelainan) boleh bekerja tanpa syarat :
- boleh bekerja berat
- boleh bekerja ringan
- boleh bekerja di berbagai bagian.

31
 Menderita sakit/ada kelainan :
- boleh bekerja pada kondisi kerja tertentu, seperti; kerja ringan saja,
kerja ditempat tak berdebu, tak ada kontak dengan bahan kimia dan
lain-lain.
- ditolak untuk bekerja :
ditolak permanen (tetap) atau ditolak sementara menunggu proses
pengobatan.

2) Pemeriksaan Kesehatan Berkala/Periodik dan Khusus.

Pemeriksaan kesehatan berkala/periodik dan khusus menurut ketentuan


dalam Peraturan Perundangan harus dilaksanakan paling tidak setahun sekali,
sesuai dengan faktor tingkat bahaya yang mengancam terhadap kesehatan
tenaga kerja, dokter perusahaan/dokter pemeriksaan dapat menentukan
lamanya diadakan pemeriksaan kesehatan berkala (lebih dari satu kali dalam
setahun).Data-data hasil pemeriksaan kesehatan berkala/periodik dan khusus
dapat digunakan untuk menemukan/menentukan adanya kapasitas kerja dan
menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja.

Pemeriksaan ini meliputi :


Anamnesa (interview) :
 nama
 umur
 jenis kelamin
 unit kerja
 lama kerja
 gambaran tentang : yang dikerjakan, faktor-faktor bahaya di lingkungan
kerja, keluhan-keluhan yang diderita, kondisi kesehatan yang dirasakan.

Pemeriksaan klinis :
Pemeriksaan klinis pada pemeriksaan kesehatan berkala, sama dengan
pemeriksaan kesehatan awal, dimana harus lebih memperhatikan
kemungkinan adanya pengaruh dari faktor-faktor dalam lingkungan kerja.

32
 Pemeriksaan mental
Keadaan kesadaran, sikap dan tingkah laku, kontak mental, perhatian,
inisiatif, intelegensia dan proses berfikir.
 Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik diagnostik dari dari seluruh bagian badan, khususnya
bagian badan yang mengalami kelainan/keluhan dengan metode inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi, pengukuran tekanan darah, nadi,
pernafasan, tinggi badan, berat badan, pemeriksaan ketajaman
penglihatan dan pendengaran.
 Pemeriksaan laboratorium rutin (darah, urin dan faeces) dan rongent Dada.
 Pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaan.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai pekerja setelah melakukan
pekerjaan dan untuk menilai kemungkinan pemajanan faktor berbahaya di
lingkungan kerja. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti seperti;
spirometri test, pemeriksaan fungsi organ khusus, pemeriksaan
laboratorium khusus.

Hasil Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Periodik/Berkala:


 sehat
 sakit :
 penyakit umum
 penyakit akibat kerja
 diduga penyakit akibat kerja, yang perlu dilakukan pemeriksaan khusus
lanjutan berupa pemeriksaan lingkungan kerja, laboratorium khusus dan
biological monitoring.

Jika ditemukan adanya penyakit akibat kerja perlu diberikan saran-saran


pengendalian.

3) Pemeriksaan Kesehatan Khusus.


Pemeriksaan kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya
pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu aterhadap tenaga kerja atau
golongan tenaga kerja tertentu. Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan pula
terhadap :

33
1) tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang
memerlukan perawatan yang lebih 2 (dua) minggu.

2) Tenaga kerja yang berusia diatas 40 tahun (empat puluh) tahun atau
tenaga kerja wanita dan tenaga kerja cacat serta tenaga kerja muda yang
melakukan pekerjaan tertentu.

3) Tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai gangguan-


gangguan kesehatan perlu dilakukan pemeriksaan khusus sesuai
kebutuhan.

Pemeriksaan kesehatan khusus diadakan pula apabila terdapat keluhan-


keluhan diantara tenaga kerja atau atas pengamatan pegawai pengawas
keselamatan dan kesehatan kerja atau atas penilaian Pusat Bina Hyperkes
dan Keselamatan Kerja dan Balai-balainya atau atas pendapat umum di
masyarakat.

D. PENYAKIT AKIBAT KERJA


1. PENGERTIAN / DEFINISI
Kondisi lingkungan kerja, pemakaian mesin-mesin dan bahan-bahan berbahaya,
zat kimia beracun, tuntutan pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik dan psikis, telah
menjadikan seseorang yang bekerja berhadapan dengan kemungkinan yang makin
besar terkena resiko penyakit yang disebabkan pekerjaan dan jabatannya. Faktor
bahaya di tempat kerja dapat menyebabkan penyakit pada tenaga kerja secara langsung
maupun secara tidak langsung. Selain itu sebagai masyarakat, tenaga kerja juga dapat
menderita penyakit yang didapat di luar tempat kerja.
Terdapat 2 (dua) istilah terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan
hubungan kerja yaitu : penyakit akibat kerja (PAK) atau occupational diseases dan
penyakit akibat hubungan kerja (PAHK) atau Work related diseases.

a. Penyakit Akibat Kerja (Occupational diseases)


Penyakit akibat kerja (occupational diseases) yang sering disingkat dengan PAK,
adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. PAK
memiliki hubungan yang kuat dan spesifik dengan pekerjaan, pada umumnya
disebabkan oleh agen tunggal yang selama ini telah dikenal oleh praktisi di bidang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sesuai Protokol 2002 Konvensi ILO No. 155
Tahun 1981 tentang K3 (Occupational Safety and Health Convention), terminologi

34
“occupational diseases” mencakup penyakit yang diakibatkan sebagai akibat pajanan
faktor risiko yang timbul dari aktivitas pekerjaan (International labour organization
(ILO), 2010)
Dalam peraturan perundangan di Indonesia, terdapat 2 (dua) pengertian dari penyakit
akibat kerja, yaitu :
1) Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja:
”Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
dan/atau lingkungan kerja”
2) Permennaker No. 01/Men/1981 tentang kewajiban melapor penyakit akibat
kerja : ”Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja".
Pengertian PAK secara murni disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan
kerja, dapat disebabkan oleh faktor tunggal dan dapat disebabkan oleh faktor
ganda dimana faktor-faktor penyebabnya semua berasal dari pekerjaan dan atau
lingkungan kerja (E.-A. Kim & Kang, 2013; Szeszenia-Da̧ browska & Wilczyńska,
2013)

b. Penyakit akibat hubungan kerja (PAHK) atau Work related diseases


Adapun untuk kategori work related diseases (WRD) atau penyakit terkait kerja, tidak
dikategorikan PAK, karena WRD adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa
faktor penyebab dimana faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memberikan
peranan bersama faktor lain dari luar tempat kerja. Dalam hal ini faktor gabungan
tersebut saling bepengaruh untuk mempermudah kejadian, kekambuhan dan atau
memperberat/memperparah gangguan kesehatan atau penyakit pada pekerja. Oleh
karena itu, penyebabnya sering terdiri dari beberapa faktor (multi faktor).
Contoh : Penyakit asma akibat faktor keturunan yang kemunculan dan atau
kekambuhannya dipicu oleh faktor di tempat kerja seperti iritasi debu, uap bahan
kimia dan stress.
Selaras dengan difinisi ILO tentang PAK (occupational diseases), regulasi di
Indonesia juga mendifinisikan atau mengkategorikan PAK sebagai penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. Definisi PAK ini juga dipakai
dalam pemberian kompensasi JKK untuk kasus PAK. Penyakit yang tidak murni
akibat kerja atau penyakit terkait kerja tidak termasuk yang mendapatkan
kompensasi JKK, sehingga kompenssinya diberikan melalui Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sebagaimana penyakit pada umumnya.

35
2. JENIS PENYAKIT AKIBAT KERJA
a. Penyakit yang disebabkan pajanan faktor yang timbul dari aktivitas
pekerjaan
1) Faktor fisik
Faktor fisik misalnya karena suara yang tinggi/bising bisa menyebabkan
ketulian. Gangguan pendengaran sering terjadi akibat paparan kebisingan yang
tinggi. Kebisingan sangat tinggi dalam waktu singkat dapat memecahkan selaput
pendengaran (membrana tymphani), sedangkan paparan kebisingan dalam
jangka lama sering mengakibatkan kehilangan pendengaran (noise induced
hearing loss). Kehilangan pendengaran akibat bising dapat bersifat sementara
(temporary) yang masih dapat disembuhkan, dan dapat bersifat permanen yang
tidak dapat disembuhkan. Gangguan pendengaran lain akibat bising dapat berupa
telinga terasa berdenging (tinitus). Gangguan pendengaran yang belum
permanen dapat disembuhkandengan memindahkan pekerja ke tempat kerja
yang tidak/kurang bising. Tanda-tanda gangguan pendengaran akibat bising
antara lain dini ialah kesulitan untuk mengikuti percakapan di tempat yang ramai
dan tidak menyukai percakapan orang banyak.
Temperatur/suhu yang tinggi (ekstrim) dapat menyebabkan berbagai keluhan
dan penyakit mulai dari yang ringan sampai berat misalnya; hyperpireksi, heat
cramp, heat exhaustion, heat stroke, yang hal ini diakibatkan oleh keluarnya cairan
tubuh dan elektrolit yang berlebihan dari tubuh tenaga kerja. Faktor fisik lain
adalah radiasi sinar elektromagnetik (visible light, infra merah, termasuk laser)
misalnya; sinar infra merah menyebabkan katarak, ultra violet menyebabkan
conjungtivitis. Udara bertekanan atau udara yang didekompresi menyebabkan
Caisson's Disease, penerangan mempengaruhi daya penglihatan dan penyakit
yang disebabkan oleh getaran antara 20 - 400 Hz atau kelainan pada otot, tendon,
tulang, sendi, pembuluh darah tepi atau saraf tepi misalnya Reynaud's disease
atau vibration white finger (penyempitan pembuluh darah). Penyakit yang
disebabkan oleh faktor fisika lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada
hubungan langsung antara paparan faktor fisika yang muncul akibat aktivitas
pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.

36
2) Faktor Kimia
Penyakit yang disebabkan oleh faktor kimia, mencakup 38 jenis PAK akibat
bahan kimia spesifik, ditambah dengan penyakit yang disebabkan oleh bahan
kimia lain di tempat kerja di luar 38 jenis tersebut, di mana ada hubungan langsung
antara paparan bahan kimia dan penyakit yang dialami oleh pekerja yang
dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.
Di dalam berbagai jenis industri misalnya industri pupuk, pestisida, kertas,
pengolahan minyak, gas bumi, obat-obatan dan lain sebagainya, banyak
mempergunakan bahan kimia sebagai bahan baku maupun bahan pembantu dan
atau memproduksi bahan kimia yang langsung dipakai oleh masyarakat.
Penggunaan bahan kimia tersebut berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan
misalnya iritasi dan keracunan. Dilaporkan terdapat 70% penyakit akibat kerja
disebabkan oleh bahan kimia yang yang masuk melalui pernafasan, kulit maupun
termakan. Bahan kimia tersebut dapat berupa zat padat, cair, gas, uap maupun
partikel. Masuknya bahan kimia ke dalam tubuh dapat secara akut maupun kronis.
Keracunan akut sebagi akibat absorbsi bahan kimia yang dalam jumlah besar dan
waktu yang pendek dapat berupa keracunan gas, karbon monoksida (CO), asam
cianida (HCN). Reaksi iritasi non-alergi dapat ditimbulkan oleh chlor dan
formaldehid.
Gagal ginjal akut dapat terjadi akibat paparan dengan uap logam (cadmium,
merkury, timah hitam), pelarut organik dan pestisida. Carbon tetrachloride dan
berbagai bahan pelarut lainnya dapat menimbulkan kerusakan jaringan ginjal
(nefron) dan gagal ginjal kronik.
Gangguan kesuburan (infertilitas), keguguran dan kelainan janin/fetus kadang
dapat terjadi oleh bahan dalam lingkungan kerja. Kerja fisis selama hamil, paparan
radiasi mengion, timah hitam (pada pria dan wanita), merkuri organik (pada
wanita) dapat menimbulkan gangguan reproduksi.
Meskipun jarang, bahan toksik di lingkungan kerja dapat menimbulkan
berbagai gangguan hematologik. Kolik abdominal (kejang perut), paralisis saraf
motoris (kelumpuhan) dan anemia dapat terjadi oleh paparan uap Pb di atas 40ug/
100 ml.
Pada pekerja yang terpapar dengan karbon disulfida dan viscose rayon,
ditemukan peningkatan kematian oleh penyakit jantung koroner. Resiko tinggi
nyeri dada akibat jantung (angina) dan kematian jaringan jantung (infark myocard)
ditemukan pada pekerja yang terpapar dengan nitrat seperti gliceryl trinitrat dan

37
ethyline glycol dinitrate, misalnya pada manufaktur bahan peledak dan obat-
obatan. Paparan dengan bahan pelarut organik halogen seperti trichloroethyline
dapat menimbulkan kematian mendadak akibat fibrilasi ventrikel.
3) Faktor Biologi.
Berbagai Faktor biologi misalnya virus, bakteri, parasit, cacing, jamur dan lain-
lain, dapat menyebabkan penyakit akibat kerja. Dilaporkan adanya pekerja yang
menderita penyakit malaria, filariasis pada pekerja di lapangan, penyakit hepatitis.
Tuberkulosis, virus hepatitis dan Human Immunodeficiency Virus pada petugas
kesehatan dan lain-lain. PAK akibat faktor biologi antara lain brucellosis pada
peternak dan dokter hewan, tetanus, sindrom toksik atau inflamasi yang berkaitan
dengan kontaminasi bakteri atau jamur, anthrax, leptospira.
Penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi lain di tempat kerja yang tidak
disebutkan di atas, di mana ada hubungan langsung antara paparan faktor biologi
yang muncul akibat aktivitas pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja
yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat, misal :
Covid-19 dan infeksi kuman Legionella. Covid-19 termasuk salah satu potensi
PAK akibat faktor biologi yang dapat dibuktikan dengan tes PCR dan tracking
riwayat kontak dan jenis pekerjaannya. Pekerja di ruangan ber AC dilaporkan
dapat menimbulkan infeksi kuman Legionella yang dapat menimbulkan
pneumonia (radang paru-paru). Infeksi kuman leptospira dapat terjadi pada petani
dan sering menimbulkan kematian akibat gagal hepatorenal

b. Penyakit berdasarkan sistem target organ


1) Penyakit saluran pernafasan
a) pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk jaringan
parut, meliputi silikosis, antrakosilikosis, dan asbestos;
b) siliko tuberkulosis;
c) pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral nonfibrogenic;
d) siclerosis;
e) penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu logam keras;
f) penyakit bronkhopulmoner yang disebabkan oleh debu kapas, meliputi
bissinosis, vlas, henep, sisal, dan ampas tebu;
g) asma yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi atau zat iritan yang dikenal
yang ada dalam proses pekerjaan;

38
h) alveolitis alergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik atau aerosol yang terkontaminasi dengan mikroba,
yang timbul dari aktivitas pekerjaan;
i) penyakit paru obstruktif kronik yang disebabkan akibat menghirup debu batu
bara, debu dari tambang batu, debu kayu, debu dari gandum dan pekerjaan
perkebunan, debu dari kandang hewan, debu tekstil, dan debu kertas yang
muncul akibat aktivitas pekerjaan;
j) penyakit paru yang disebabkan oleh aluminium;
k) kelainan saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh sensitisasi atau iritasi
zat yang ada dalam proses pekerjaan; dan
l) penyakit saluran pernafasan lain yang tidak disebutkan di atas, di mana ada
hubungan langsung antara paparan faktor risiko yang muncul akibat aktivitas
pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.

2) Penyakit kulit
a) Dermatosis kontak alergika dan urtikaria yang disebabkan oleh faktor
penyebab alergi lain yang timbul dari aktivitas pekerjaan yang tidak termasuk
dalam penyebab lain;
b) Dermatosis kontak iritan yang disebabkan oleh zat iritan yang timbul dari
aktivitas pekerjaan, tidak termasuk dalam penyebab lain; dan
c) Vitiligo yang disebabkan oleh zat penyebab yang diketahui timbul dari aktivitas
pekerjaan, tidak temasuk dalam penyebab lain.

3) Gangguan otot dan kerangka (Faktor Fisiologi/Ergonomi)


a) radial styloid tenosynovitis karena gerak repetitif, penggunaan tenaga yang
kuat dan posisi ekstrim pada pergelangan tangan;
b) tenosynouitis kronis pada tangan dan pergelangan tangan karena gerak
repetitif, penggunaan tenaga yang kuat dan posisi ekstrim pada pergelangan
tangan;
c) olecranon bursitis karena tekanan yang berkepanjangan pada daerah siku;
d) prepatellar bursitis karena posisi berlutut yang berkepanjangan;
e) epicondilitis karena pekerjaan repetitif yang mengerahkan tenaga;
f) meniscus lesions karena periode kerja yang panjang dalam posisi berlutut atau
jongkok;

39
g) carpal tunnel syndrome karena periode berkepanjangan dengan gerak repetitif
yang mengerahkan tenaga, pekerjaan yang melibatkan getaran, posisi ekstrim
pada pergelangan tangan, atau 3 (tiga) kombinasi di atas; dan
h) penyakit otot dan kerangka lain yang tidak disebutkan diatas, dimana ada
hubungan langsung antara paparan faktor yang muncul akibat aktivitas
pekerjaan dan penyakit otot dan kerangka yang dialami oleh pekerja yang
dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat.

4) Gangguan mental dan perilaku (Faktor Psikososial)


a) gangguan stres pasca trauma; dan
b) gangguan mental dan perilaku lain yang tidak disebutkan diatas, dimana ada
hubungan langsung antara paparan terhadap faktor risiko yang muncul akibat
aktivitas pekerjaan dengan gangguan mental dan perilaku yang dialami oleh
pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang
tepat.
Berbagai keadaan misalnya suasana kerja yang monoton, hubungan kerja yang
kurang baik, upah yang kurang, tempat kerja yang terpencil dapat berpengaruh
terhadap pekerja yaitu menimbulkan stress yang manifestasinya antara lain
berupa perubahan tingkah laku, tidak bisa membuat keputusan, tekanan darah
meningkat, yang selanjutanya dapat mengakibatkan timbulnya penyakit lain atau
terjadinya kecelakaan kerja.

c. Penyakit kanker akibat kerja


Meskipun jarang dilaporkan, berbagai penyakit hati dapat ditimbulkan akibat
kerja misalnya kanker hati akibat uap vinilklorid. Prevalensi kanker lambung dan
oesofagus meningkat pada karyawan vulkanisasi karet dan tambang batu bara.
Hati berfungsi dalam transformasi bahan kimia yang larut dalam lipid dan
menjadikannya bahan yang larut dalam air. Proses ini biasanya menghasilkan
bahan yang kurang toksik, tetapi dapat terjadi sebaliknya.
Kanker vesika urinaria (kandung kemih) dapat ditemukan pada pekerja industri
karet dan pekerja manufaktur dan penggunaan bahan pewarna organik misalnya
benzidin. Benzidin dan 2-naphthylamin oleh hati dikonversi menjadi bahan
karsinogen yang dikeluarkan melalui urin dan dapat menimbulkan keganasan
pada kandung kemih.

40
Keracunan kronis adalah absorbsi zat kimia dalam jumlah sedikit tetapi dalam
waktu yang lama, dapat berupa keracunan benzene, uap Pb yang dapat berakibat
leukemia. Keracunan zat karsinogenik dapat menyebabkan kanker. Daftar zat
karsinogenik yang dapat menyebabkan PAK dapat dilihat melalui Perpres No.7
Tahun 2019.

d. Penyakit spesifik lainnya, yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh


pekerjaan atau proses kerja, dimana penyakit tersebut ada hubungan langsung
antara paparan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat. Contoh penyakit spesifik lainnya
yaitu nystagmus pada penambang.

Selain faktor penyebab sebagaimana tersebut di atas, terdapat faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya PAK, yaitu :
 Kerentanan Individu
 Adanya kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition)
 Adanya tindakan tidak aman (unsafe action)
 Manajemen K3 yang kurang baik.

3. DETEKSI PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK)


Penyakit akibat kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
atau lingkungan kerja. Oleh karena itu, untuk mendeteksi atau mendiagnosa PAK
perlu dilakukan 2 hal yaitu monitoring kesehatan tenaga kerja melalui pemeriksaan
kesehatan dan pemantauan/monitoring lingkungan kerja terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan tenaga kerja. Pemantauan lingkungan kerja dapat
dilengkapi dengan pemeriksaan kadar pajanan di dalam tubuh tenaga kerja yang
dapat diukur dari sampel darah, urine, rambut dan kuku.
Pemantauan lingkungan kerja harus dilakukan melalui pengukuran kuantitatif
dengan peralatan lapangan atau analisa laboratorium agar diperoleh data yang
obyektif. Kadang kala pemantauan lingkungan kerja dapat dilakukan secara subyektif.
Berdasarkan Perpres No.7 Tahun 2019 pasal 3 yaitu diagnosis PAK berdasarkan
Surat keterangan dokter atau dokter spesialis yg berkompeten di bidang Kesehatan
Kerja. Berikut 7 (Tujuh) Langkah Diagnosis PAK, antara lain :
a. Menegakkan diagnosis klinis
b. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja

41
c. Menentukan hubungan pajanan dengan diagnosis klinis
d. Menentukan besarnya pajanan
e. Menentukan faktor individu yang berperan
f. Menentukan pajanan di luar tempat kerja
g. Menentukan diagnosis PAK

4. DAMPAK PAK
a. Bagi tenaga kerja :
1) Akibat langsung :
 Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB)
 Cacat sebagian atau cacat total untuk selama-lamanya fisikatau mental.
 Meninggal dunia
2) Akibat tidak langsung :
 Kehilangan/menurunnya kemampuan kerja
 Kehilangan pekerjaan
b. Bagi pengusaha :
1) PAK yang tidak terdeteksi sering dianggap penyakit umum sehingga :
 memerlukan biaya pengobatan yang tinggi
 mengurangi banyak waktu kerja
 kegiatan lebih banyak kuratif
2) Kasus PAK terdeteksi mengakibatkan :
 Terbuangnya waktu untuk mengurus pengobatan dan pembayaran
kompensasi
 Meningkatnya waktu kerja yang hilang
 Menurunkan image perusahaan
 Menurunkan motivasi kerja

5. PENCEGAHAN PAK
Pencegahan PAK dilakukan melalui berbagai upaya mulai dari perencanaan
pembuatan tempat kerja,pengukuran faktor bahaya, pembuatan sistim
pengendalian pengaman terhadap faktor bahaya, penggunaan sistem pengaman
dan alat perlindung diri (APD) dan program program K3 lainnya. menurut organisasi
perburuhan international (ILO) pencegahan PAK dan kecelakaan kerja dapat
dilakukan melalui :

42
a. Peraturan-perundangan
b. Standarisasi
c. Pengawasan
d. Penelitian teknis
e. Riset Medik
f. Penilitian Psikologik
g. Penelitian secara statistik
h. Pendidikan
i. Pelatihan
j. Persuasi
k. Asuransi
l. Penerapan/sosialisasi (a) sampai dengan (k)

6. TINDAK LANJUT KASUS PAK


a. Pelaporan
Penyakit akibat kerja yang diderita oleh tenaga kerja merupakan suatu
kecelakaan yang harus dilaporkan. Jika terdapat penyakit akibat kerja yang diderita
oleh tenaga kerja dalam suatu perusahaan, maka pengusaha atau dokter perusahaan
harus melaporkan kepada dinas atau instansi ketenagakerjaan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pelaporan
Penyakit Akibat Kerja adalah :
1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 01/Men/1981
tentang kewajiban melapor Penyakit Akibat Kerja.
Pasal 2:
 Apabila dalam pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan
kesehatan khusus sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980 di temukan penyakit
akibat kerja yang diderita oleh tenaga kerja, pengurus dan badan yang
ditunjuk wajib melaporkan secara tertulis kepada Kantor Direktorat
Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga
Kerja setempat.
 Penyakit akibat kerja yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pasal ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran peraturan
ini.

43
Pasal 3 :
 Laporan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) harus dilakukan dalam
waktu paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya.
 Bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan
Perlindungan Tenaga Kerja.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kpts 333/Men/1989 tentang Diagnosis
dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Pasal 3 ayat (3):
 Setelah ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa
maka dokter pemeriksa wajib membuat laporan medik.
Pasal 4:
 Penyakit akibat kerja yang ditemukan sebagaimana dimaksudkan pasal 2
harus dilaporkan oleh pengurus tempat kerja yang bersangkutan bekerja,
selambat-lambatnya 2 x 24 jam kepada kepala Kantor Wilayah
Departemen Tenaga Kerja melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja
setempat.
 Laporan medik tentang penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud ayat
1 disampaikan oleh pengurus kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja
setempat dalam amplop tertutup dan bersifat rahasia untuk dievaluasi oleh
dokter penasehat sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 2 tahun
1951.

b. Kompensasi akibat PAK


Sebagai salah salah satu bentuk perlindungan K3 yang wajib diberikan oleh
pengusaha terhadap tenaga kerjanya pengusaha diwajibkan untuk mengikutkan
tenaga kerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kompensasi PAK
adalah :
1) UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU 13 Tahun 2003, UU No
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP 50 tahun 2012 tentang Penerapan
SMK3, PP 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja, setiap pengurus/pimpinan
perusahaan/tempat kerja atau pemberi kerja wajib melindungi semua pekerja
dan orang lain yang berada di tempat kerja dari bahaya kecelakaan kerja (KK)
dan penyakit akibat kerja (PAK);

44
2) Perpres No 7 Tahun 2019 tentang PAK, PAK berhak atas Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) sesuai regulasi.
3) UU No 40/2004 ttg SJSN, UU No. 24/2011 tentang BPJS dan peraturan
pelaksanannya, setiap orang bekerja (PNS. TNI/POLRI, dan pekerja penerima
upah dan pekerja bukan penerima upah/mandiri) wajib diikutsertakan dalam 5
(lima program Jaminan sosial) yaitu program BPJS Kesehatan (JKN/KIS) dan
Program BPJS Ketenagakerjaan/BPJamsostek (Program Jaminan
Kecelakaan Kerja/JKK, Jaminan Kematian/JKM, Jaminan Hari Tua/JHT, dan
Jaminan Pensiun/JP) sesuai pentahapan yang diatur dalam regulasi.

Setiap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja termasuk di dalamnya


penyakit akibat kerja yang bersangkutan atau ahli warisnya harus mendapatkan
jaminan sosial tenaga kerja yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berupa biaya
pengobatan, perawatan, rehabilitasi dan santunan cacat tetap.
Kompensasi JKK sesuai regulasi (untuk PNS JKKnya dari Taspen sesuai PP
70/2015), Tentara/Anggota POLRI JKK nya dari ASABRI, untuk pekerja/pegawai
swasta JKKnya dari BPJSTK dan kalau belum mjd peserta maka wajib dibayar oleh
pemberi kerja (sesuai PP 44/2015 dan perubahannya yaitu PP 82/2019).
Sesuai PP 44/2015 dan perubahannya (PP 82/2019) tentang Program JKK
dan JKM, dalam hal pekerja mengalami kasus KK/PAK, selain berhak atas pengganti
upah selama tidak mampu bekerja (STMB) yaitu 100 % upah selama 1 tahun pertama
dan seterusnya (berkurang secara bertahap), seluruh biaya pengobatan dan
perawatan ditanggung sesuai kebutuhan medis, apabila sembuh dengan cacat, misal
cacat fungsi paru-paru, berhak atas kompensasi cacat (% cacat sesuai tabel X 80
gaji/bln), bantuan biaya rehabilitasi, pemberian alat bantu apabila diperlukan
(protese/orthose), bantuan perawatan di rumah (homecare) apabila memenuhi
kriteria, serta program kembali bekerja atau return to work (RTW). Apabila pekerja
meninggal karena KK/PAK maka keluarga/ahli warisnya berhak atas kompensasi
santunan kematian sebesar 60 % X 80 upah/bulan (48Xupah) plus tunjangan berkala
atau sekaligus (Rp. 12 Juta), biaya pemakaman (Rp. 10 Juta), dan beasiswa sp
perguruan tinggi untuk 2 anak yg ditinggalkan.
Semua manfaat JKK tersebut termasuk biaya pelayanan kesehatan tidak
menjadi tanggung jawab atau tidak diberikan melalui program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) BPJS Kesehatan, tetapi melalui BPJS Ketenagakerjaan (untuk
pegawai swasta yang telah menjadi peserta) atau melalui PT TASPEN (untuk PNS)

45
dan melalui PT ASABRI untuk TNI/POLRI. Adapun untuk pekerja swasta yang belum
menjadi peserta, maka semua jenis dan besarnya manfaat JKK tersebut wajib
diberikan oleh pemberi kerja.

E. GIZI KERJA DAN PENYELENGGARAAN MAKAN BAGI TENAGA KERJA


1. Dasar Hukum
a. Undang – Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
b. Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Lingkungan Kerja
c. Instruksi Mennaker No. Ins. 03/M/BW/1999 tentang Pengawasan Terhadap
Pengelolaan Makanan di Tempat Kerja
d. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE. 01/Men/1979
tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan
e. SE Dirjen Binwasnaker No. 86 tahun 1989 tentang Perusahaan Katering
Pengelola Makanan Bagi Tenaga Kerja.

2. Pengertian / Definisi
a. Gizi adalah kesehatan seseorang yang dihubungkan dengan makanan yang
dikonsumsinya sehari-hari.
b. Gizi kerja adalah penyediaan dan pemberian masukan zat gizi kepada tenaga
kerja sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan selama berada di tempat
kerja guna mendapatkan tingkat kebutuhan dan produktivitas kerja setinggi-
tingginya.
c. Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan yang
meliputipenyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu,
pengadaan atau pembuatan bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan
bahan makanan, persiapan dan pemasakan makanan, penilaian, pengemasan,
distribusi dan penyajian makanan bagi tenaga kerja.

3. GIZI KERJA
a. Jenis-Jenis Zat Gizi dan Fungsinya
1) Hidrat arang (Karbohidrat) adalah zat gizi sebagai sumber tenaga utama.
Hidrat arang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan seperti padi-padian,
umbi-umbian seperti padi, gandum, jagung, ubi, singkong, kentang, sagu
dan lain-lain serta hasil olahannya.

46
2) Lemak adalah zat gizi yang selain sebagai sumber tenaga juga sebagai
pelarut vitamin yang diperlukan tubuh. Lemak dapat berasal dari tumbuh-
tumbuhan disebut lemak nabati dan dari hewan disebut lemak hewani serta
hasil olahannya seperti minyak goreng, margarin, keju dan mentega.
3) Protein adalah zat gizi yang berfungsi sebagai pembangun tubuh dan selain
itu dapat berfungsi sebagai sumber tanaga. Protein dapat berasal dari
tumbuh-tumbuhan disebut protein nabati dan dari hewan disebut protein
hewani. Protein tersusun dari 22 (duapuluh dua) macam asam amino yang
dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu :
 Asam amino esensiel yaitu asam amino yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh, sehingga harus diperoleh dari makanan sehari-hari;
 Asam amino non esensiel yaitu asam amino yang dapat dibentuk oleh
tubuh sesuai dengan kebutuhan.
Mutu protein ditentukan oleh jumlah asam amino esensial yang terkandung
di dalamnya. Dikenal 3 macam protein :
 Protein sempurna yang mengandung semua asam amino esensial
yang diperlukan oleh tubuh, terdapat pada bahan makanan yang
berasal dari hewan seperti; daging, susu, ikan, telur dan hasil
olahannya.
 Protein setengah sempurna mengandung sebagian saja asam amino
esensial yang diperlukan tubuh, terdapat pda bahan makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti; kacang-kacangan, biji-bijian
dan hasil olahannya.
 Protein tidak sempurna yang tidak mengandung asam amino
esensial, terdapat pada bahan makanan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan.
4) Vitamin adalah suatu zat yang senantiasa diperlukan setiap saat untuk
metabolisme tubuh, oleh karena harus selalu ada dalam makanan yang
dimakan setiap hari. Vitamin berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan dan
dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu :
 Vitamin yang larut dalam air tetapi tidak larut dalam lemak seperti
vitamin B komplek dan vitamin c.
 Vitamin yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak seperti
vitamin A, D, E dan K.

47
5) Mineral adalah suatu zat yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pengatur
dalam tubuh. Mineral berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan maupun alam
sekitar yang diperlukan tubuh dalam jumlah banyak maupun sedikit.
 Diperlukan dalam jumlah banyak seperti Ca, P, Mg, Na, K, Cl, S.
 Diperlukan dalam jumlah sedikit tetapi mutlak harus ada seperti Cu,
Co, Mn, Zn dan Y.
 Diperlukan dalam jumlah sedikit sekali, seperti Al, As dan Br.
6) Air adalah salah satu unsur yang sangat diperlukan oleh tubuh dalam jumlah
besar, lebih kurang 60% berat badan manusia adalah air. Oleh karena itu
masalah penyediaan air minum penting pula diperhatikan disamping
makanan.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat gizi


1) Ukuran tubuh (tinggi badan dan berat badan). Makin besar ukuran tubuh
seseorang makin besar pula kebutuhan kalorinya, sebaliknya makin kecil
ukuran tubuhnya makin rendah pula kebutuhan kalorinya. Kebutuhan kalori
yang ditentukan oleh oleh ukuran tubuh ini disebut kebutuhan dasar.
2) Usia yang dinyatakan dengan tahun, dimana makin tua usia makin
berkurang kebutuhan kalori dan zat gizi lainnya. Anak-anak memerlukan
kalori yang relatif lebih besar karena selain untuk memberikan tenaga juga
diperlukan untuk pertumbuhan.
3) Jenis kelamin yang dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan dimana laki-
laki memerlukan kalori dan zat gizi lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan karena laki-laki mempunyai otot lebih besar dan lebih aktif.
4) Kondisi tubuh tertentu misalnya baru sembuh dari sakit, baru operasi,
sedang hamil dan menyusui memerlukan gizi lebih besar dibanding dengan
kondisi biasa.
5) Iklim dan kondisi lingkungan kerja berpengaruh terhadap kebutuhan gizi.
Tempat kerja yang dingin memerlukan zat gizi lebih besar dari tempat kerja
yang panas. Di musim hujan diperlukan kalori lebih besar dibanding di
musim panas karena diperlukan tambahan kalori untuk mempertahankan
suhu tubuh.
6) Tingkat aktivitas yang dilakukan digolongkan dalam tiga tingkatan yaitu :
kerja berat, kerja sedang dan kerja ringan. Makin berat tingkat aktivitas kerja
makin besar kebutuhan kalorinya.

48
4. PENYELENGGARAAN MAKAN BAGI TENAGA KERJA
Penyelenggaraan makan di tempat kerja bertujuan untuk meningkatkan keadaan
kesehatan dan gizi tenaga kerja, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja. Yang dimaksud penyelenggaraan makanan adalah semua
proses, dimulai dari merencanakan anggaran belanja sampai ke makanan
dikonsumsi oleh tenaga kerja.
Penyelenggaraan makan bagi tenaga kerja dapat diselenggarakan sendiri
oleh perusahaan atau dengan cara kerjasama/kontrak dengan perusahaan
catering pengelola makanan bagi tenaga kerja. Untuk menyelenggarakan makan
tenaga kerja secara umum diperlukan persyaratan minimal yang meliputi :
a. Mempunyai dapur
b. Mempunyai tenaga gizi
c. Mempunyai tenaga pelaksana
d. Mematuhi peraturan perundangan yang berlaku

Pemberian Makan Bagi Tenaga Kerja memberikan keuntungan baik bagi tenaga
kerja maupun perusahaan, antara lain yaitu :
a. Meningkatkan dan mempertahankan kemampuan kerja
b. Meningkatkan produktivitas
c. Meningkatkan derajat kesehatan
d. Menurunkan absensi
e. Terciptanya hubungan timbal balik pengusaha dan pekerja maupun antar
pekerja
f. Suasana kerja menyenangkan dan meningkatkan motivasi dan gairah kerja
g. Mengatasi kelelahan dan persiapan tenaga untuk kerja kembali
h. Pengawasan relatif lebih mudah

a. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Makanan bagi Tenaga Kerja


Peraturan perundangan terkait gizi kerja dan penyelenggaraan makan bagi
tenaga kerja antara lain :
1) Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Lingkungan Kerja;
2) Permennaker No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;
3) Instruksi Mennaker No. Ins. 03/M/BW/1999 tentang Pengawasan Terhadap
Pengelolaan Makanan di Tempat Kerja;

49
4) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.
01/Men/1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan;
5) Surat Edaran Direktur Jenderal Binawas No. SE. 86/BW/1989 tentang
Perusahaan Catering yang mengelola Makanan bagi Tenaga Kerja.
Sesuai dengan ketentuan Permenaker No. 5 Tahun 2018, bahwa higiene
dan sanitasi harus diterapkan pada setiap bangunan tempat kerja, termasuk
diantaranya kantin, ruang makan di tempat kerja dan perusahaan catering
pengelola makanan bagi tenaga kerja.
Sesuai Permennakertrans No. Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan
Kesehatan Kerja, diatur mengenai tugas pokok pelayanan kesehatan, yang
salah satunya adalah mengenai gizi dan penyelenggaraan makanan di tempat
kerja.
Persyaratan tenaga kerja dalam penyelenggaraan makan bagi tenaga
kerja (food handler) :
1. Semua pegawai yang mengerjakan dan melayani makanan dan minuman
bagi tenaga kerja harus :
a) bebas dari penyakit menular (seperti TBC, typhus, cacingan) dan harus
selalu menjaga kebersihan badannya;
b) disediakan pakaian (schort) dan tutup kepala untuk digunakan sewaktu
melayani makanan;
c) telah mendapat pelatihan tentang kebersihan dan kesehatan
khususnya yang berkaitan dengan penyelengaraan makan bagi tenaga
kerja;
d) Sebelum bekerja harus diperiksa kesehatan badannya minimal satu
tahun sekali disertai dengan pemeriksaan rontgent paru-paru dan
dinyatakan dengan surat keterangan dokter ;
e) Tidak boleh melayani makanan selama menderita suatu penyakit
sampai dinyatakan oleh dokter bahwa ia sudah sehat kembali
(khususnya infeksi pada kulit, mata, telinga, hidung dan tenggorokan).

2. Selain syarat-syarat tersebut, sebaiknya petugas pengelola makanan bagi


tenaga kerja sebaiknya :
a) Mendapat pelatihan tentang cara penggunaan alat pemadam api ringan
(APAR);

50
b) Tidak mempunyai kebiasaan buruk yang tidak sehat dalam bekerja,
misalnya; bicara waktu menyediakan makanan, bersin/batuk di depan
makanan, menggaruk bagian tubuh tertentu, merokok, mabuk dll.
c) Tidak mengunakan perhiasan selama mengolah makanan;
d) Disiplin memakai Alat pelindung (pakaian kerja, celemek, sarung
tangan, tutup kepala, masker, topi);
e) Segera melapor kepada supervisor apabila yang bersangkutan muntah
dan diare di tempat kerja, di rumah atau di tempat lain dan menderita
infeksi.

b. Ketentuan Pengadaan Kantin dan Ruang Makan


Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE. 01/Men/1979
tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan, menyatakan :
1) Semua perusahaan yang mempekerjakan buruh antara 50 sampai 200
orang supaya menyediakan ruang tempat makan di perusahaan yang
bersangkutan.
2) Semua perusahaan yang mempekerjakan buruh lebih dari 200 orang
supaya menyediakan kantin di perusahaan yang bersangkutan.

c. Ketentuan Dapur dan Ruang Makan


Untuk dapat berjalannya fungsi dapur dengan baik, maka perlu diperhatikan
beberapa hal antara lain :
1) Letak dapur tidak jauh dari ruang makan dan tidak berhubungan langsung
dengan tempat kerja.
2) Fasilitas dapur dan ruang makan cukup memadai
3) Keadaan/kondisi dapur dan ruang makan mudah dibersihkan,
penerangan cukup,ventilasi memadai, tidak menyebarkan
panas/bau/uap, lantai tidak licin, ruangan cukup dan bebas dari serangga
dan binatang mengerat.

d. Syarat Perusahaan Catering yang mengelola Makanan bagi Tenaga Kerja


Sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Binawas No. SE. 86/BW/1989
tentang Perusahaan Catering yang mengelola Makanan bagi Tenaga Kerja,
perusahaan catering pengelola makanan bagi tenaga kerja, harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

51
1) Setiap perusahaan catering yang mengelola makanan pada perusahaan-
perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari
Depnaker.
2) Rekomendasi diberikan berdasarkan persyaratan-persyaratan kesehatan,
hygiene dan sanitasi.
Setiap Kantor Departemen Tenaga Kerja agar melaksanakan
pembinaan/penataran kepada perusahaan-perusahaan catering yang
beroperasi di daerahnya, khususnya mengenai hygiene, sanitasi dan
penanggulangan keracunan makanan.
Persyaratan untuk mendapatkan rekomendasi perusahaan katering pengelola
makanan bagi tenaga kerja:
1. Mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota c.q. Kepala Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat.
2. Permohonan dibuat rangkap 2 (dua) disertai lampiran:
◦ Salinan akte perusahaan
◦ Salinan Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP)
◦ Salinan surat keterangan domisili perusahaan
◦ Salinan bukti NPWP perusahaan
◦ Salinan wajib lapor ketenagakerjaan
◦ Daftar peralatan yang dimiliki sesuai jenis usahanya
◦ Struktur organisasi perusahaan
◦ Pernyataan pengelola catering untuk mentaati peraturan perundangan
ketenagakerjaan
◦ Salinan surat keterangan sehat bagi petugas penjamah makanan,
untuk penyakit menular; infeksi kulit, thypoid, TBC, Cacing.
◦ Salinan bukti telah mengikuti pelatihan pengelolaan makanan bagi
tenaga kerja untuk pengelola dan petugas penjamah makanan.
◦ Pas foto penanggung jawab/ pengelola catering

F. PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) DI TEMPAT KERJA


1. DASAR HUKUM
Pelaksanaan pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja telah
telah diatur dalam ketentuan-ketentuan Peraturan perundangan dalam rangka

52
penanggulangan kecelakaan termasuk sakit di tempat kerja dengan pelaksanaan
P3K, antara lain :
a. Undang-undang No. 1 tahun 1970:
Di dalam Pasal 3 diatur mengenai syarat-syarat Keselamatan Kerja untuk
memberikan P3K. Begitu juga di dalam Pasal 9 ayat (3) diatur mengenai
kewajiban pengurus untuk membina tenaga kerja dalam pemberian P3K
b. Permenakertrans No.Per.03/Men/1982:
Di dalam pasal 2 yang mengatur tentang tugas pokok pelayanan kesehatan
kerja, dimana salah satu tugasnya adalah dalam pelaksanaan P3K dan
pendidikan petugas P3K.
c. Undang-undang No. 3 tahun 1969:
Pada pasal 19 mengatur tentang kewajiban setiap badan, lembaga atau dinas
pemberi jasa, atau bagiannya yang tunduk kepada konvensi ini, dengan
memperhatikan besarnya dan kemungkinan bahaya untuk:
- Menyediakan Apotik atau pos P3K sendiri atau
- Memelihara apotik atau pos P3K bersama-sama dengan badan, lembaga
atau kantor pemberi jasa atau bagiannya.
- Mempunyai satu atau lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K
d. Permenakertrans No. Per. 15/Men/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama
Pada Kecelakaan di Tempat Kerja
Di dalam Peraturan Menteri ini berisi ketentuan umum yaitu :
- Pengusaha wajib menyediakan petugas dan fasilitas P3K di tempat kerja
- Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja.
Persyaratan petugas dan fasilitas di atur dalam pasal-pasal peraturan menteri
ini.
2. PENGERTIAN-PENGERTIAN
a. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja selanjutnya disebut
dengan P3K di tempat kerja adalah upaya memberikan pertolongan pertama
secara cepat dan tepat kepada pekerja dan atau orang lain yang berada di
tempat kerja, yang mengalami sakit//cidera di tempat kerja.
b. Petugas P3K di tempat kerja adalah pekerja yang ditunjuk oleh
pengurus/pengusaha dan diserahi tugas tambahan untuk melaksanakan P3K di
tempat kerja.
c. Fasilitas P3K adalah semua peralatan, perlengkapan dan bahan yang
digunakan dalam pelaksanaan P3K di tempat kerja.

53
3. MAKSUD DAN TUJUAN
Pertolongan pertama tersebut dimaksudkan untuk memberikan perawatan
darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih lengkap diberikan oleh dokter
atau petugas kesehatan lainnya.
P3K diberikan dengan tujuan untuk:
a. Menyelamatkan nyawa korban
b. Meringankan penderitaan korban
c. Mencegah cedera/penyakit menjadi lebih parah
d. Mempertahankan daya tahan korban
e. Mencarikan pertolongan yang lebih lanjut.

4. PETUGAS PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT


KERJA.
Dalam pelaksanaan P3K di tempat kerja harus ditunjuk Petugas P3K dengan
memperhatikan jumlah, seleksi, pelatihan / training dan tanggung jawab
personil/petugas.
a. Jumlah petugas/personil yang dibutuhkan :
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan jumlah personil atau
petugas P3K adalah
 Rasio jumlah petuga P3K dengan jumlah TK;
 Potensi bahaya di perusahaan;
 Adanya pekerjaan yang memerlukan waktu Shift kerja; dan
 Layout tempat kerja.
Sebagai pedoman, rasio jumlah Petugas P3K di tempat kerja dengan jumlah
pekerja berdasarkan faktor risiko di tempat kerja adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Rasio Petugas P3K di Tempat Kerja


Jumlah pekerja Jumlah petugas P3K

Tempat kerja dengan Kurang dari 150 1


potensi bahaya rendah >150 1 untuk setiap 150 orang
(2 untuk 300 orang, dst)
Tempat kerja dengan Kurang dari 100 1
potensi bahaya tinggi.. >100 1 untuk setiap 100 orang
(2 untuk 200 orang, dst)

54
Apabila tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih, masing-
masing unit kerja harus terdapat Petugas P3K di tempat kerja sesuai jumlah pekerja
dan tingkat faktor risiko di tempat kerja. Apabila tempat kerja pada lantai yang
berbeda di gedung bertingkat, maka masing-masing unit kerja harus terdapat
Petugas P3K di tempat kerja sesuai jumlah pekerja dan faktor risiko di tempat kerja.
Apabila tempat kerja dengan jadwal kerja shif, maka masing-masing unit kerja tiap
shif harus terdapat Petugas P3K di tempat kerja sesuai jumlah pekerja dan tingkat
faktor risiko di tempat kerja
Pada suatu tempat kerja bila ada pekerja yang bersama-sama bekerja dengan
pekerja lain yang pengusahanya berbeda, seperti; kontruksi, maka mereka dapat
membuat perjanjian dimana salah satu dari mereka dapat menggunakan fasilitas,
personel maupun obat-obat dari yang lain. Perjanjian tersebut seharusnya ditulis
dan salinannya dimiliki oleh semua pihak yang bersangkutan. Pimpinan
perusahaan harus memasang pemberitahuan pada tempat yang mudah terlihat
tentang nama dan lokasi petugas P3K.

b. Seleksi/Pemilihan
Pengusaha harus mengadakan seleksi atau pemilihan petugas P3K yang cakap
untuk dilatih P3K. Pengusaha harus selektif dalam memilih untuk ditunjuk sebagai
petugas P3K di tempat kerja.
Penunjukan Petugas P3K di tempat kerja harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
- Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan
- Berbadan sehat
- Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K
- Memiliki pengetahuan dan ketrampilan melaksanakan P3K di tempat kerja
yang dibuktikan dengan sertifikat pembinaan P3K di tempat kerja.

c. Latihan/Training
Seseorang dikatakan terlatih bila dia sudah selesai mengikuti kursus/ latihan
yang dilakukan oleh pelatih dan atau lembaga pelatihan yang memenuhi kualifikasi
dan kompetensi. Materi pelatihan P3K minimal meliputi :
- Peraturan Perundangan P3K di Tempat Kerja dan Dasar-dasar Kesehatan Kerja
- Dasar-dasar P3K di tempat kerja

55
- Anatomi dan Fisiologi Manusia
- Bahaya dan Penanganan Terhadap Kejang, Pajanan Suhu Lingkungan dan
Bahan Kimia.
- Gangguan Lokal (Luka, Perdarahan, Luka Bakar, Patah Tulang) dan praktek
- Evakuasi Korban dan Praktek
- P3K Keadaan Tertentu (di Ruang Terbatas/Confined Space dan Cedera Akibat
Sengatan Listrik)
- Gangguan umum (kesadaran, pernafasan, peredaran darah ) dan praktek
- Resusitasi Jantung Paru dan praktek

d. Tugas dan tanggung jawab


Petugas P3K di tempat kerja mempunyai tugas dan tanggung jawab :
- Melaksanakan tindakan P3K setiap terjadi kecelakaan di tempat kerja.
- Merawat fasilitas P3K di tempat kerja
- Mencatat semua kegiatan P3K di tempat kera
- Melaporkan kegiatan P3K di tempat kerja

5. FASILITAS P3K DI TEMPAT KERJA


Fasilitas P3K di tempat meliputi; ruang P3K, kotak P3K dan isi dan alat evakuasi
dan alat transportasi.

a. Ruang P3K
Tempat kerja dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih, atau tenaga kerja
kurang dari 100 tetapi dengan potensi bahaya tinggi wajib mempunyai ruang P3K
di tempat kerja.
Hal-hal yang perlu diperhataikan dalam penyediaan Ruang P3K :
(1) Lokasi Ruang P3K harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut :
- Dekat dengan toilet/kamar mandi
- Dekat dengan jalan keluar
- Mudah dijangkau dari area kerja.
- Dekat dengan tempat parkir kendaraan
(2) Luas ruang P3K minimal cukup untuk menampung satu tempat tidur pasien
dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta
penempatan fasilitas P3K lainnya.

56
(3) Ruang P3K harus bersih dan terang, ventilasi yang baik, memiliki pintu dan
jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban

(4) Ruang P3K diberi tanda yang jelas dengan papan nama yang jelas dan
mudah dilihat

(5) Ruang P3K sekurang-kurangnya dilengkapi dengan :


- wastafel dengan air mengalir
- kertas tisue/ lap
- usungan/ tandu
- bidai/spalk
- thermometer/alat pengukur suhu badan
- kotak P3K dan isi
- tempat tidur dengan bantal dan selimut
- tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti: tandu dan kursi roda
- sabun dan sikat
- pakaian bersih untuk penolong
- tempat sampah
- kursi tunggu bila diperlukan.

b. Kotak P3K
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Kotak P3K adalah sebagai
berikut :
(1) Rancangan kotak P3K terbuat dari bahan yang kuat, mudah dipindah dan
diberi label P3K.
(2) berwarna dasar putih dengan label P3K berwarna hijau.
(3) ditempatkan pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau, diberi tanda
arah yang jelas, cukup cahaya serta mudah diangkat apabila akan
digunakan.
(4) Kotak P3K tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan P3K di tempat kerja.
(5) Isi kotak P3K sebagai berikut :

57
Tabel 2. Isi Kotak P3K di Tempat Kerja
KOTAK A KOTAK B KOTAK C
(untuk 25 (untuk 50 (untuk 100
No ISI
pekerja atau pekerja atau pekerja atau
kurang) kurang) kurang)
1. Kasa steril terbungkus 20 40 40
2. Perban (lebar 5 cm) 2 4 6
3. Perban (lebar 10 cm) 2 4 6
4. Plester (lebar 1,25 cm) 2 4 6
5. Plester Cepat 10 15 20
6. Kapas (25 gram) 1 2 3
7. Kain segitiga/mittela 2 4 6
8. Gunting 1 1 1
9. Peniti 12 12 12
10. Sarung tangan sekali pakai (pasangan) 2 3 4
11. Masker 2 4 6
12. Pinset 1 1 1
13. Lampu senter 1 1 1
14. Gelas untuk cuci mata 1 1 1
15. Kantong plastik bersih 1 2 3
16. Aquades (100 ml lar. Saline) 1 1 1
17. Povidon Iodin (60 ml) 1 1 1
18. Alkohol 70% 1 1 1
19. Buku panduan P3K di tempat kerja 1 1 1
20. Buku catatan 1 1 1
21. Daftar isi kotak 1 1 1

(6) Penempatan kotak P3K harus memenuhi ketentuan :


- Jumlah dan tipe kotak P3K disesuaikan dengan jumlah pekerja, jumlah
unit kerja dan tata letak / lay out, sebagai berikut :

Tabel 3. Jumlah dan Tipe Kotak P3K di Tempat Kerja


Jumlah Pekerja Tipe Kotak Jumlah Kotak Tiap 1 Unit
Kerja
Kurang 25 Pekerja A 1 kotak A
26 s.d 50 pekerja B/A 1 kotak B, atau 2 kotak A
51 s.d 100 pekerja C/B/A 1 kotak C, atau 2 kotak B, atau
4 kotak A, atau 1 kotak B dan
2 kotak A
Setiap 100 pekerja C/B/A 1 kotak C, atau 2 kotak B, atau
4 kotak A, atau 1 kotak B dan
2 kotak A

Catatan :
- 1 kotak B setara dengan 2 kotak A.
- 1 kotak C setara dengan 2 kotak B

58
- Apabila tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih
masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah
tenaga kerja.
- Apabila tempat kerja pada lantai yang berbeda di gedung bertingkat,
maka masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai
jumlah tenaga kerja.

Gambar 1. Contoh kotak P3K di tempat kerja

c. Tandu :
Tandu atau alat lain untuk memindahkan korban ke tempat yang aman atau
rujukan.

d. Mobil Ambulance
Mobil Ambulance atau kendaraan yang dapat digunakan untuk pengangkutan
korban.
e. Fasilitas P3K tambahan
Bagi tempat kerja yang memiliki potensi bahaya khusus harus menyediakan
fasilitas P3K tambahan meliputi alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus.
Alat Pelindung Diri disesuaikan dengan faktor risiko yang ada di tempat kerja,
yang diperlukan untuk melakukan pertolongan. Peralatan khusus meliputi safety
shower dan eye shower yang diperlukan untuk melakukan pertolongan apabila
korban terpajan oleh bahan kimia, atau peralatan lain disesuaikan dengan
potensi bahaya yang ada di tempat kerja.

59
G. PENCEGAHAN PENYAKIT DI TEMPAT KERJA
1. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS DI TEMPAT
KERJA.

Program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja


merupakan upaya agar seluruh pelaku di tempat kerja baik pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan seluruh tenaga kerja yang didukung oleh personil K3
dapat mengetahui dan memahami tentang HIV dan AIDS dan dapat melaksanakan
program pencegahan dan penanggulangan di tempat kerja.

Pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di tempat kerja telah diatur di dalam


Kepmennakertrans No. Kep. 68/Men/IV/2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

a. Pengetahuan Dasar HIV - AIDS dan Dampaknya di Dunia Kerja


Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun
1983 oleh Dr. Luc Montagnier dari institut Pasteur Prancis. Namun diperkirakan
pada akhir tahun 1970 virus ini sudah berkembang dan meluas didaerah Sub
Sahara Afrika. HIV adalah virus yang sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh
manusia. HIV bersifat tropisma yaitu spesifik dan selektif tinggi terhadap sel limfosit
T-Helper (Gschmait & Dresin, 1985). Virus HIV dapat diinaktivasi dengan cara
menghangatkannya pada suhu 560C selama waktu 30 menit. HIV juga dapat
diinaktivasi oleh deterjen, pemanasan dan pengeringan rendah, serta cairan
dengan kadar pH rendah (Borucki, 1997).

b. Perjalanan Infeksi HIV


Apabila HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus
mulai memperbanyak diri (replikasi) dalam sel darah putih (leukosit) terutama dalam
sel Limfosit T-Helper atau T4+ - CD4 dan makrofag. HIV mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi khas untuk HIV. Limfosit T-Helper
atau T4+ adalah salah satu jenis sel leukosit yang terdapat pada darah putih dan
berperan dalam pertahanan tubuh terhadap serangan virus yang masuk ke dalam
tubuh. Di dalam sel limfosit tersebut, HIV bereplikasi dan merusak jaringan sel
limfosit. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan fungsi limfosit T4+
sekaligus CD4. CD4 adalah reseptor glikoprotein untuk HIV. Pada pemeriksaan tes
HIV, keberadaan antibodi merupakan petunjuk bahwa seseorang pernah terpapar
HIV (Tjokronegoro, Djoerban and Matondang, 1992).

60
Masa antara masuknya virus sampai terbentuknya antibodi tersebut disebut
window periode yang diperkirakan 0 bulan – 3 bulan yang belum terdeteksi pada
pemeriksaan laboratorium. Selama window periode atau periode jendela tersebut,
seseorang dengan HIV sangat infeksius, sangat mudah menularkan kepada orang
lain meskipun hasil pemeriksaan laboratoriumnya negatif.

Terjadinya penurunan jumlah dan fungsi limfosit T4+ menyebabkan penurunan


daya tahan tubuh sehingga seseorang menjadi mudah terserang infeksi
oportunistik. Menurunnya jumlah CD4 di dalam darah kemudian dijadikan sebagai
ukuran untuk mendefinisikan status HIV seseorang. Seseorang dengan kadar CD4
di dalam darahnya dibawah 200 sel per mikroliter maka akan rentan terhadap
serangan infeksi oportunistik dan selanjutnya membawanya pada fase keadaan
AIDS (Tjokronegoro, Djoerban and Matondang, 1992). Sebagai informasi, jumlah
CD4 pada tubuh orang dewasa sehat berkisar antara 500 hingga 1.600 sel/mm3
darah.

Orang yang terinfeksi HIV (HIV +) sering tidak memberikan gejala dan tanda
untuk jangka waktu cukup lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Jangka waktu
HIV positif ini bervariasi pada setiap orang, dimana virus bereplikasi dengan sangat
cepat dan diikuti oleh perusakan Limfosit T-CD4 dan sel kekebalan lainnya
sehingga terjadi sindroma penurunan daya tahan tubuh yang progresif yang
merupakan awal proses terjadinya AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Orang dengan AIDS akan memiliki gejala :

- Demam
- Penurunan berat badan secara drastis
- Pembengkakan kelenjar getah bening
- Bercak-bercak putih di rongga mulut
- Batuk dan sesak napas
- Diare berkepanjangan
- Hilangnya nafsu makan
- Gangguan pada susunan saraf berupa lamban berpikir, pelupa, pusing, sakit
kepala, kejang, libido menurun, dll.
Proses selanjutnya akan bermunculan infeksi oportunistik seperti infeksi jamur,
infeksi saluran napas termasuk TBC, infeksi saluran cerna, dll. Infeksi tersebut
merupakan penyakit umum yang biasanya memperberat ODHA akibat sangat

61
menurunnya daya tahan/kekebalan tubuh. Pada tahap ini seseorang hanya dapat
bertahan hidup paling lama 2 (dua) tahun.

c. Cara Penularan HIV & AIDS


Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Penularan virus HIV tidak mudah, ada
prinsip yang harus diketahui yaitu ESSE (Exit, Survive, Sufficient, Enter). Dari
empat prinsip, satu saja tidak terpenuhi, proses penularan itu tidak bisa ditularkan
dari satu orang ke orang lain. Pertama, E berarti Exit yaitu adanya jalan keluar
cairan tubuh seseorang dengan virus HIV, misalnya penggunaan narkoba jarum
suntik secara bergantian dari ODHA ke orang yang tidak terkena sebelumnya,
kecelakaan kerja yang menyebabkan suntikan bekas pasien HIV malah tertusuk ke
seseorang yang tidak terkena sebelumnya. Kedua, S berarti Survive artinya cairan
tubuh pada ODHA harus tetap mengandung virus yang bisa mendorong untuk
bertahan hidup. Ketiga adalah Sufficient yang berarti kandungan dalam virus HIV
yang berada di tubuh seseorang yang terinfeksi harus dalam kandungan yang
cukup. Jumlah kandungan tersebut mempengaruhi proses inkubasi pada tubuh
seseorang lainnya. Selanjutnya adalah Enter adalah proses masuknya cairan yang
mengandung virus HIV masuk ke tubuh seseorang. Salah satunya terjadi ketika
ada kontak hubungan seksual dianjurkan untuk menggunakan pengaman (kondom)
agar meminimalisir jalur masuk tersebut.

1. Penularan secara seksual


Penularan melalui hubungan seksual baik secara heteroseksual maupun
homoseksual adalah cara paling dominan dari semua cara penularan. Penularan
dapat terjadi selama sanggama antara laki-laki dengan perempuan ataupun laki-
laki dengan laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual dengan
penetrasi vaginal, anal, oral seksual antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
Kontak seksual langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) masuk dalam
kategori risiko rendah tertular HIV. Risiko tertular akan meningkat bila terdapat
luka dalam mulut, perdarahan gusi dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat
kelamin (genital).

62
2. Pajanan darah terinfeksi, produk darah atau transplantasi organ dan
jaringan.
Penularan melalui darah dapat terjadi jika darah donor tidak diuji saring untuk
antibodi HIV. Penggunaan ulang jarum dan spuit suntikan, alat medik lainnya
yang terkontaminasi HIV dapat terjadi di tempat layanan kesehatan seperti
rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat tajam/jarum, juga
pada Injection Drug Users (IDU). Pajanan HIV pada organ dapat terjadi dalam
proses transplantasi jaringan/ organ di tempat layanan kesehatan.

3. Penularan dari ibu ke anak


HIV dapat ditularkan melalui seorang ibu yang terinfeksi HIV kepada janin
yang dikandung atau dilahirkan. Selama kehamilan virus dapat masuk melalui
aliran darah dari plasenta, pada persalinan darah ibu atau air ketuban dapat
terminum oleh bayi.

HIV tidak ditularkan melalui aktifitas kegiatan sehari-hari seperti berpelukan,


berjabat tangan, atau bersentuhan. Sampai saat ini belum ada data yang
menyatakan bahwa HIV & AIDS ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam
renang, alat makan dan minum secara bersama-sama serta melalui gigitan
nyamuk atau serangga.

d. Cara Pencegahan HIV-AIDS


Pencegahan HIV/AIDS di Indonesia dikenal dengan konsep ABCD. Konsep ini
menjadi metode sederhana bagi bagi masyarakat untuk memahami pencegahan
dari infeksi HIV/AIDS. Konsep ABCD merupakan singkatan dari Abstinence, Be
faithful, use Condoms, dan avoid Drugs.

Abstinence adalah tidak melakukan hubungan seks baik secara oral, vaginal,
dan anal. Kemudian, be faithful adalah prinsip seseorang untuk tetap setia pada
satu pasangan. Sebab, risiko mendapatkan HIV/AIDS lebih besar pada mereka
yang kerap berganti pasangan. Use condoms juga diperlukan untuk mencegah
penularan HIV/AIDS saat berhubungan seksual. Terakhir, hindari penggunaan
narkoba terutama yang menggunakan injeksi (avoid Drugs) karena acapkali
penggunaan narkoba dengan injeksi melibatkan satu jarum suntik yang digunakan

63
beramai-ramai sehingga risiko penularan HIV/AIDS diantara kelompok ini pun
menjadi besar meski tidak berhubungan seksual.

Prinsip Kewaspadaan Universal mulai diberlakukan oleh Center for Disease


Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada tahun 1985. Tujuan prinsip
tersebut adalah membangun kesadaran terhadap pentingnya melindungi diri
pekerja dari berbagai infeksi melalui produk darah. Di tempat kerja, penerapan
prinsip Universal Precautions menjadi standar baku untuk pencegahan penularan
HIV/AIDS terutama di kalangan petugas kesehatan setiap saat mereka bekerja
(ILO, 2003). Selain itu, penerapan prinsip ini juga berlaku bagi penanganan korban
kecelakaan, khususnya kecelakaan di tempat kerja. Melalui konsep ini,
kewaspadaan terhadap produk darah maupun cairan tubuh lainnya dilaksanakan
secara universal, terhadap seluruh orang, tidak peduli status infeksinya (ILO, 2003).
Hal-hal yang diatur di dalam Universal Precautions meliputi:

- Penanganan hati-hati terhadap pengumpulan dan pembuangan berbagai


benda tajam (jarum suntik atau benda tajam lainnya), sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.

- Cuci tangan sebelum dan sesudah setiap prosedur kegiatan di air mengalir
dengan memakai detergen atau sabun atau alkohol 70%.
- Penggunaan berbagai pelindung seperti sarung tangan, jubah, masker, setiap
kali kontak langsung dengan darah atau berbagai cairan tubuh.
- Membuang sisa darah atau sisa cairan tubuh yang tercemar secara aman.
- Semua peralatan yang tercemar dilakukan sterilisasi dengan menggunakan
disinfektan yang tepat secara khusus.
- Kain-kain kotor dilakukan pencucian dengan detergen dan bahan disinfektan
dengan temperatur 800C.

e. HIV - AIDS dan Ketenagakerjaan

International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa paling sedikit 25


juta pekerja/ buruh berumur 15 – 49 tahun yang merupakan kelompok angkatan
kerja yang paling produktif telah terinfeksi HIV-AIDS. Kelompok angkatan kerja
produktif adalah kelompok kerja yang rentan tertular HIV-AIDS disebabkan karena
:

64
- Usia produktif merupakan usia dimana secara hormonal merupakan periode
active sexually.

- Banyak pekerja dalam usia produktif tersebut merupakan migrant workers


yang menjadi perantau dan terpisah jauh dari istri dan keluarga.

- Maraknya bisnis-bisnis hiburan yang timbul di sekitar industri/pabrik tempat


kerja.

- Seks merupakan salah satu kegiatan refreshing dari pekerja setelah


melakukan aktivitas pekerjaan di tempat kerja.

- Informasi dan sosialisasi tentang infeksi menular seksual yang sangat minim
sehingga pekerja tidak memiliki pengetahuan tentang IMS sebagai pintu
masuk HIV & AIDS.

- Adanya fenomena 3 M (Man, Mobile, Money) dimana pekerja laki-laki yang


memiliki pekerjaan dengan mobilitas tinggi dan mempunyai uang sangat
rentan untuk melakukan perilaku berisiko.

Berdasarkan hal-hal diatas, dapat dilihat bahwa sektor ketenagakerjaan sangat


rentan terhadap penularan HIV-AIDS. Oleh karena itu sangat diperlukan program
pencegahan dan penanggulangan HIV- AIDS di sektor ketenagakerjaan dengan
alasan :

- Lebih dari 85% kasus pada kelompok usia produktif (tulang punggung
pembangunan dan bisnis)

- Tempat kerja adalah tempat strategis untuk melakukan intervensi, untuk


menjangkau usia kerja.

- Epidemi AIDS berdampak terhadap dunia bisnis (produktivitas dan biaya


tenaga kerja).

- Banyak pekerja yang bekerja dengan situasi dan pola kerja yang berisiko
tinggi terhadap terjangkitnya HIV-AIDS.

- Banyak pekerja berisiko terinfeksi HIV dalam pekerjaan yang dilakukan,


misalnya pada institusi pelayanan kesehatan.

- Pengetahuan tentang HIV/AIDS masih rendah sehingga menimbulkan tindak


dan sikap stigma dan diskriminasi (mengancam prinsip dasar dan hak bekerja,
dan mengurangi upaya untuk pencegahan dan perawatan).

65
Tempat kerja mempunyai berbagai sumber daya (sumber daya manusia,
sistem organisasi dan teknologi, jumlah pekerja). Hal ini memungkinkan
dilaksanakannya upaya pencegahan HIV-AIDS di tempat kerja yang mendukung
tujuan nasional upaya pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS yaitu target Three
Zero pada 2030, antara lain tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV, tidak ada lagi
kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS
di tempat kerja dapat dilaksankan secara terstruktur, sistematik, masif dan
berkelanjutan untuk mencapai target STOP (Suluh, Temukan, Obati, Pertahankan)
dan strategi Fast Track 90-90-90. Strategi Fast Track 90-90-90 yang dicanangkan
pemerintah pada tahun 2017 meliputi percepatan pencapaian 90% orang
mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini; 90% dari ODHA yang
mengetahui status HIV memulai terapi ARV, dan 90% ODHA dalam terapi ARV
berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan
HIV, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi ODHA. Suluh dilaksanakan melalui
edukasi hendak dicapai 90% masyarakat paham HIV, Temukan dilakukan melalui
percepatan tes dini akan dicapai 90% ODHA tahu statusnya, Obati dilakukan untuk
mencapai 90% ODHA segera mendapat terapi ARV, Pertahankan yakni 90%
ODHA yang ART tidak terdeteksi virusnya.

f. Peraturan perundangan yang terkait program pencegahan dan


penanggulangan HIV - AIDS di tempat kerja adalah :

(1) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


Syarat-syarat keselamatan kerja sesuai dengan Bab III pasal 3 huruf c dalam
peraturan perundangan ini menyatakan bahwa pencegahan dan
penanggulangan terhadap timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun
psikis, peracunan, infeksi dan penularan. Ini menunjukkan bahwa HIV - AIDS
yang merupakan penyakit infeksi menular wajib dicegah dan dikendalikan
sebagai salah satu perlindungan tenaga kerja yang terintegrasi dalam program
K3.

(2) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Di dalam undang-undang ini pada pasal 86 mengatur hak pekerja/buruh
untuk memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Untuk

66
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja
diantaranya program pencegahan dan penanggulangan HIV - AIDS di Tempat
Kerja.

(3) Kepmennakertrans No. Kep. 68/Men/IV/2004 tentang Pencegahan dan


Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja
Kepmennakertrans ini mengatur tentang kewajiban untuk melakukan upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, baik kepada
pengusaha, pekerja dan pemerintah. Selain itu mengatur mengenai tes HIV dan
pelayanan kesehatan kerja bagi pekerja/buruh dengan HIV/AIDS.

(4) Keputusan Dirjen PPK No. 20/DJPPK/VI/2005 tentang Petunjuk Teknis


Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja
Keputusan ini bertujuan sebagai Pedoman Bagi Pengusaha dan
Pekerja/Buruh Dalam Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS di Tempat Kerja melalui Program K3.
Adapun dampak penyebaran HIV & AIDS terhadap dunia kerja adalah :
- menurunnya produktifitas yang terlihat dengan meningkatnya absensi kerja,
tingginya absensi kerja dan berkurangnya pekerja/ buruh yag
berpengalaman.
- Munculnya konflik di tempat kerja yang menurunkan moral pekerja/ buruh.
- Stigma dan diskriminasi terhadap pekerja/ buruh dengan HIV & AIDS.
- Meningkatnya pengeluaran untuk biaya perawatan kesehatan dan
pengobatan, jaminan asuransi, biaya hidup, penguburan dan pensiun dini.
- Waktu yang terbuang untuk merekrut dan melatih karyawan pengganti
hingga mencapai kompetensi yang diperlukan.

(5) Keputusan Dirjen PPK No. Kep. 44/PPK/VIII/ 2012 tentang Pedoman
Pemberian Penghargaan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV-
AIDS di tempat kerja.

67
g. Konseling dan Testing HIV Sukarela

Kaidah ILO menekankan bahwa perawatan dan dukungan yang menyeluruh


meliputi jangkauan layanan yang luas untuk memenuhi kebutuhan pekerja dengan
HIV-AIDS akan perawatan, dukungan material, psikosial dan perlindungan
terhadap stigma dan diskriminasi antara lalin adalah layanan konseling dan tes HIV
secara sukarela. Pendekatan layanan VCT yang baik harus memenuhi syarat
minimal sebagai berikut :
- Informed Consent (persetujuan tertulis)
- Kerahasiaan (anonymous)
- Penyuluhan Hukum untuk mencegah diskriminasi dan stigmatisasi
- Jaminan mutu (Quality Assurance and Quality Control)
Konseling merupakan bagian pokok dari program perawatan dan dukungan
bagi pekerja dengan HIV-AIDS. Pihak pengusaha dan pekerja/buruh harus
dimotivasi untuk melakukan pendekatan proaktif terhadap kebutuhan konseling.
Pelayanan konseling harus dilaksanakan secara profesional dan dapat diakses
oleh semua pekerja. Proses konseling sendiri terdiri dari konseling pra-tes dan
konseling pasca-tes. Konseling juga bertujuan memberikan informasi tentang
fasilitas pelayanan kesehatan dan kelompok dukungan di luar tempat kerja.
Tujuan umum konseling adalah :
- Menyediakan dukungan psikologis, yang berkaitan dengan kestabilan emosi,
psikologi, sosial dan spiritual.
- Menyediakan informasi tentang perilaku berisiko seperti seks yang tidak aman
atau penggunaan jarum suntik bersama.
- Menjamin efektifitas rujukan kesehatan, pengobatan dan perawatan.
BerdasarkanKeputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 68
Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat Kerja,
dinyatakan bahwa pekerja/buruh berhak atas kebebasan pribadi dalam konteks HIV
& AIDS, yaitu terdapat hak untuk tidak mau mengikuti tes HIV yang sifatnya wajib.
Keputusan untuk tes dapat didasarkan atas berbagai pertimbangan, dimana tes
sukarela harus dilakukan mutlak bersifat rahasia dan disertai konseling profesional.
Tes ini merupakan komponen penting dari strategi menyeluruh untuk
menanggulangi HIV & AIDS, sebab setelah orang mengetahui status HIV-nya,
orang tersebut dapat dibantu untuk melakukan perubahan perilaku dari berisiko

68
menjadi tidak berisiko. Adapun tes HIV tersedia bermacam-macam tes antibodi
yaitu : ELISA Test, Western Blot Test dan Rapid Test.

h. Penghargaan program Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS (P2


– HIV dan AIDS) di Tempat Kerja.

Penghargaan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS (P2-HIV


& AIDS) di Tempat Kerja merupakan salah satu bentuk program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) yang bertujuan untuk melindungi pekerja dari HIV dan AIDS.
Sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 Tahun 2004, pengusaha wajib
melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat
Kerja antara lain melaluipenyusunan kebijakan, penunjukan personil dan
pelaksanaan kegiatan sosialisasi, edukasi, tidak melakukan stigma dan diskriminasi
tetapi memberi dukungan terhadap pekerja dengan HIV-AIDS. Program ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS
pada kalngan pekerja melalui program di tempat kerja.

Sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap para pengusaha dan pemangku


kepentingan terkait dalam pelaksanaan program P2-HIV dan AIDS di Tempat Kerja,
maka Kementerian Tenaga Kerja dan Tramigrasi mengeluarkan Keputusan Dirjen
Binwasnaker No. Kep. 44/PPK/VIII/2012 tentang Pedoman Pemberian
Penghargaan Program P2-HIV dan AIDS (AIDS Award) di Tempat Kerja.

Tata cara untuk memperoleh penghargaan adalah sebagai berikut :

A. Pengajuan dan Proses Administrasi

Pengajuan usulan pemberian penghargaan dilakukan secara berjenjang


dengan urutan sebagai berikut :

Perusahaan dan pihak terkait/pemeduli mengajukan permohonan untuk


mendapatkan penghargaan kepada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi.
Instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengawasan
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi melakukan penilaian dan uji petik,
dan hasil penilaian yang memenuhi syarat diusulkan kepada Direktur Jenderal
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.

69
Kelengkapan dokumen pengajuan usulan meliputi :

(1) Surat permohonan pemberian penghargaan;

(2) Data pendukung sesuai format (dalam bentuk hard copy atau soft copy);
dan

(3) Hasil penilaian lapangan atau uji petik bila ada.

B. Indikator dan Kriteria Penilaian Penghargaan

Kriteria Penilaian Nila HASIL PENILAIAN


Bo- (Pilih Salah Satu i/
No. Indikator Penilaian Bobo Skor Bx
bot sesuai dengan Sko
t (B) (S) S
kondisi perusahaan) r
1 Memiliki dokumen 15 a) Kebijakan 100
tertulis kebijakan % dicantumkan dalam
Program P2-HIV dan PP/PKB
AIDS di Tempat Kerja. b) Kebijakan 60
belum dicantumkan
dalam PP/PKB
2 Mensosialisasikan isi 5% Ada 100
kebijakan program P2-
HIV dan AIDS di Tempat
Kerja kepada seluruh
karyawan
3 Melakukan program 15 a) Perusahaan 100
pendidikan dan % telah melakukan poin
sosialisasi : 3.a s.d 3.c
a) Melakukan b) perusahaan 60
program sosialisasi atau telah melakukan poin
pelatihan 3.a dan 3.b atau poin
3.a dan 3.c
b) Mempunyai c) perusahaan 30
petugas/ personil yang telah melakukan poin
dilatih sebagai penyuluh/ 3.a
peer educator/ trainer/
petugas K3 HIV dan
AIDS, dll.
c) Membentuk sub
komite khusus HIV dan
AIDS dalam
kepengurusan P2K3

70
4 Melakukan upaya untuk 15 a) Perusahaan 100
menghindari sikap dan % dengan ODHA telah
tindakan stigma dan melakukan poin 4.a
diskriminasi yang s.d. 4.d atau
dibuktikan dengan : perusahaan tanpa
ODHA telah
melakukan poin 4.a
dan 4.b
a) Tidak b) Perusahaan 60
melakukan test HIV yang dengan ODHA telah
bertentangan dengan melakukan tindakan
prinsip VCT atau poin 4.a s.d. 4.c atau
Konsutasi dan Tes HIV perusahaan tanpa
Sukarela*) untuk tempat ODHA telah
kerja Layanan Kesehatan melakukan poin 4.a
/Rumah Sakit termasuk saja
terhadap c) Perusahaan 30
pasien/masyarakat dengan ODHA telah
b) Memiliki sistem melakukan poin 4.a
atau prosedur baku untuk dan 4.c
menjaga kerahasiaan
(confidentiality) status HIV
pekerja
c) Pekerja dg HIV
dan AIDS diperlakukan
sama**) untuk tempat
kerja Layanan
Kesehatan/Rumah Sakit
tidak pernah melakukan
penolakan terhadap
pasien ODHA
d) Pekerja dg HIV
dan AIDS diberi dukungan
& difasilitasi untuk
mendapatkan
pengobatan/perawatan***)
untuk tempat kerja
Layanan
Kesehatan/Rumah Sakit
memberikan pelayanan
gratis terhadap
pekerja/karyawan yang
mengidap HIV dan AIDS
5 Memiliki program 15 a) Memiliki 100
dukungan dan % fasilitas VCT lengkap
perawatan (support and atau memiliki fasilitas
care) untuk VCT terbatas dan
pekerja/karyawan sistem rujukan
dengan HIV dan AIDS, b) VCT 60
seperti dukungan sosial, dilakukan dengan
konseling atau VCT, rujukan
pengobatan, sistem

71
rujukan, dll.*) Untuk
tempat kerja Layanan
Kesehatan/Rumah Sakit
telah ditunjuk sebagai
layanan kesehatan
rujukan VCT dan
perawatan ODHA (CST)
6 Telah mengalokasikan 10 a) Sudah ada 100
anggaran untuk % secara khusus
program P2-HIV AIDS b) Sudah ada 60
dan AIDS di tempat tetapi belum secara
kerja khusus
7 Jumlah karyawan yang 5% a) > 75 % 100
pernah diberi b) 50 – 75 % 60
penyuluhan/mengikuti
c) < 50 % 30
diskusi tentang HIV dan
AIDS di tempat kerja
dalam 1 tahun terakhir
8 Melakukan evaluasi 5% a) Dilakukan 1(satu) 100
secara regular terhadap tahun sekali terhadap
kebijakan dan efektifitas poin a, b, c
pelaksanaan program
melalui kuesioner
perilaku berisiko terkait
HIV dan AIDS terhadap
karyawan di perusahaan
untuk mengetahui : b) Dilakukan lebih
a) Tingkat dari 1 tahun sekali 60
pengetahuan tentang cara terhadap poin a, b, c
pencegahan dan
penularan HIV c) Dilakukan
b) Tingkat 30
terhadap hanya satu
pemahaman tentang atau dua poin a atau
larangan stigma dan b atau c
diskriminasi terkait HIV &
AIDS
c) Tingkat
perubahan perilaku
berisiko terkait HIV dan
AIDS
9 Memiliki prosedur K3 5% Ada 100
khusus dalam
pencegahan penularan
HIV di tempat kerja*)
Untuk tempat kerja
Layanan
Kesehatan/Rumah Sakit
telah memliki :
a) Prosedur dan
menyediakan obat untuk
Profilaksis Pasca Pajanan

72
atau Post Exposure
Prophylaxtic (PEP)
b) Prosedur baku
pencegahan kontaminasi
atau penularan HIV bagi
pasien dan pekerjanya.
c) Prosedur baku
penanganan limbah yang
dapat menularkan HIV.
10 Pelaporan kegiatan 5% Ada 100
kepada instansi yang
membidangi
ketenagakerjaan
setempat.
11 Memiliki 5% a) > 2 kali/tahun 100
program/kegiatan P2- b) 1 - 2 kali/tahun 60
HIV dan AIDS terhadap
c) Pernah dalam 3 30
masyarakat di luar
tahun terakhir
perusahaan (sekolah,
tempat ibadah,
posyandu, lokalisasi)
NILAI TOTAL

Kriteria Pencapaian Penghargaan Perusahaan dengan Program P2-HIV dan AIDS


(AIDS Award) Di Tempat Kerja

Catatan : bagi calon penerima penghargaan yang nilai totalnya masih < 56, maka perlu
dibina lebih intensif oleh pengawas ketenagakerjaan setempat bersama pihak terkait.

2. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN


DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA PSIKOTROPIKA DAN BAHAN
ADIKTIF LAINNYA (P4GN) DI TEMPAT KERJA

Kasus penyalahguanaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan


bahan adiktif lainnya (NARKOBA) lebih dari 70 % adalah usia produktif atau usia

73
kerja yang dapat memepengaruhi tingkat kecelakaan dan produktivitas. Untuk
mengantisipasi hal tersebut semua pelaku di tempat kerja perlu mengetahui dan
memahami dampak buruk narkoba dan upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangganya.

a. Dampak Penyalahgunaan Narkoba Pada Sektor Ketenagakerjaan

Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah


permasalahan seluruh umat manusia, yang penanggulangannya memerlukan
kerjasama antar negara dan penanganannnya memerlukan pendekatan
komprehensif, terpadu dan berkelanjutan serta partisipasi semua pihak, terutama
di dalam dunia kerja. Di Indonesia, ancaman narkoba dewasa ini sudah sangat
serius dan memprihatinkan dilihat dari jumlah dan proporsi penyalahgunanya,
peredaran gelap, penyelundupan, dan produksi.

Dengan perkembangan penyalahgunaan, peredaran, penyelundupan dan


produksi gelap narkoba di tanah air menunjukkan bahwa tempat kerja pun
terancam dari permasalahan penyalahgunaan narkoba. Hasil penelitian
Epidemiologi menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahguna narkoba adalah
pada umumnya berusia di atas 25 tahun, 80% laki-laki dan 20% perempuan, di usia
produktif dan bekerja. Penyalahgunaan narkoba di tempat kerja merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan hasil interaksi tiga faktor yaitu faktor
ketersediaan Narkoba; faktor individu; faktor pekerjaan dan lingkungan kerja dan
zat yang ada di dalam narkoba itu sendiri.

b. Penerapan Kepmenakertrans No. Per. 11/Men/VI/2005.

Sebagaimana tercantum dalam Permenakertrans No. Per. 11/MEN/VI/2005


tantang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya di tempat Kerja,

(1) Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan penanggulangan


penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotoka, psikotropika dan zat adiktif
lainnya, melalui :

- Penetapan kebijakan;

- Penyusunan dan pelaksanaan program.

74
(2) Dalam melaksanakan upaya pencegahan tersebut, pengusaha melibatkan
pekerja/buruh, Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, ahli dibidang tersebut.

(3) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengusaha, pekerja/buruh, Serikat


Pekerja/ Serikat Buruh Dapat berkonsultasi dengan instansi pemerintah terkait.

(4) Tes Penyalahgunaan Narkoba,

- Pengusaha dapat meminta pekerja/buruh yang diduga menyalahgunakan


narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya untuk melakukan tes dengan
biaya ditanggung perusahaan.

- Tes harus dilaksanakan oleh sarana pelayanan kesehatan atau laboratorium


yang berwenang sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

- Hasil tes harus dijaga kerahasiaannya.

- Berdasarkan hasil tes tersebut, dokter yang telah mendapatkan pelatihan


dibidang narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dapat menetapkan
apakah pekerja/ buruh tersebut harus mengikuti perawatan dan atau
rehabilitasi.

(5) Pengusaha dapat menjatuhkan tindakan disiplin kepada pekerja/ buruh dalam
hal pekerja/ buruh tidak bersedia untuk mengikuti program pencegahan,
penanggulangan, perawatan dan atau rehabilitasi akaibat penyalahgunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

(6) Pengusaha atau pekerja/ buruh harus segera melaporkan kepada Kepolisian
Negara RI apabila ditemukan seseorang atau lebih memiliki atau mengedarkan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja.

3. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TB DI TEMPAT KERJA


a. Informasi Umum Tuberkulosis

Tuberculosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan kuman


Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman ini menyerang paru-paru
(TB paru), dan dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar, tulang, kulit dll. TB dapat disembuhkan dengan berobat secara
tepat dan teratur minimal 6 bulan. Kuman TB menular dari seseorang pasien TB

75
menular (BTA positif) yang batuk dan menyebabkan basil melalui udara yang
terhirup orang sehat.

Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet ada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah droplet, sementara cahaya
atau sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Droplet dapat bertahan
beberapa jam dalam kondisi gelap dan lembab.

Daya penularan dari seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan oleh parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin infeksius pasien tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman TB ditentukan oleh


konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko
tertular tergantung dari tingkat terpapar dengan droplet nuclei dan kerentanan
terhadap penularan. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan
reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi pasien TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi
akan menjadi pasien TB. Faktor risiko yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh, malnutrisi, silikosis,
merokok dan infeksi. Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi
yang terinfeksi TB untuk berkembang menjadi pasien TB. Bila jumlah orang yang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat juga.

Tenaga kerja merupakan aset atau modal dari unsur SDM (human capital)
yang sangat vital bagi kelancaran proses produksi dan berjalannya suatu
organisasi atau perusahaan sekaligus merupakan aktor penting dalam
pembangunan nasional. Untuk itu, maka tenaga kerja harus senantiasa
ditingkatkan kualitas kesehatan dan poduktivitasnya sehingga dapat mendukung
kemajuan dan daya saing perusahaan tempatnya bekerja dan meningkatkan daya
saing di pasar global.

Tenaga kerja di tempat kerja senantiasa berhadapan dengan berbagai potensi


bahaya (hazard), baik bahaya terhadap keselamatan kerja (safety hazard)
maupun bahaya terhadap kesehatan kerjanya (health hazard), sehingga berisiko
mengalami kecelakaan kerja (occupational accident) dan penyakit akibat
kerja/PAK (occupational diseases). Di sisi lain, pekerja juga merupakan bagian
dari masyarakat pada umumnya, sehingga risiko penyakit umum (general

76
diseases) pada masyarakat juga merupakan risiko pada pekerja termasuk
penyakit infeksi yang masih menjadi masalah nasional di Indonesia seperti ISPA,
Hepatitis, TB, HIV, Malaria dan Iain-Iain.

Program nasional penanggulangan TB merupakan strategi DOTS (Directly


Observed Treatment Short-course chemotherapy) sesuai dengan rekomendasi
WHO. DOTS saat ini merupakan strategi yang cost effective, dan hal ini sudah
terbukti dalam program nasional maupun di beberapa negara lainnya.

b. Dampak TB di Sektor Ketenagakerjaan

Penyakit TB merupakan penyakit infeksi kronis yang memerlukan pengobatan


minimal 6 bulan. Penyakit ini mempunyai dampak akibat tenaga kerja terinfeksi,
antara lain:

1) Penularan antar pekerja


2) Biaya pengobatan meningkat
3) Penurunan kualitas sumber daya manusia
4) Motivasi kerja menurun
5) Absenteisme meningkat
6) Turn over pekerja meningkat
7) Kematian
Selain itu akibat para pekerja terinfeksi TB maka akan berdampak terhadap
sosial ekonomi, antara lain :

1) Diskriminasi
2) Kehilangan pekerjaan/PHK/pengangguran
3) Kemiskinan/kerugian ekonomi (20-30% pendapatan RT pertahun)
4) Terganggunnya pembangunan sektor ketenagakerjaan pada umumnya
Dampak lebih lanjut akibat TB di tempat kerja adalah penurunan produktifitas
bagi tenaga kerja, perusahaan dan nasional.

c. Program Pencegahan dan Penanggulangan TB di Tempat Kerja.

(6) Penerapan Pengendalian TB di Tempat Kerja


A. Kebijakan dan Strategi Pengendalian TB di Tempat Kerja
o Kebijakan Pengendalian TB di Tempat Kerja mengacu pada
Kebijakan Nasional Pengendalian TB;

77
o Pengendalian TB di tempat kerja diintegrasikan dengan program K3
(Keselamatan & Kesehatan Kerja)
o Penyelenggaraan pengendalian TB (Tim TB DOTS) di tempat kerja
ditetapkan langsung oleh pimpinan tertinggi di tempat kerja dan atau
pimpinan puskesmas wilayah tempat kerja untuk skala usaha kecil
dan rumah tangga;
o Memberdayakan unit dan personil K3 di tempat kerja;
o Pengendalian TB di tempat kerja merupakan bagian dari kegiatan
surveilans nasional tuberculosis;
o Pengendalian TB di tempat kerja merupakan satu kesatuan
pengendalian TB di wilayah tempat kerja berada.

B. Komitmen Pimpinan Tempat Kerja


Untuk membangun komitmen perlu dilakukan advokasi oleh
Tim/Koordinasi, yang terdiri dari:
 Dinas Ketenagakerjaan Provinsi dan atau Kabupaten/Kota
 Dinas Kesehatan Provinsi dan atau Kabupaten/Kota
 Puskesmas di wilayah tempat kerja berada
 Lembaga Swadaya Masyarakat, praktisi, perguruan tinggi dll.
 Perwakilan asosiasi pengusaha/APINDO
 Perwakilan serikat pekerja
Untuk menjamin terselenggaranya pengendalian TB di tempat kerja
sesuai standar diperlukan komitmen para pengambil keputusan antara
lain untuk menyediakan & mengembangkan sumber daya di tempat kerja,
memfasilitasi pembentukan Tim TB DOTS,cdan ketersedian OAT,
meningkatkan peran serta pekerja dan masyarakat dalam pencegahan,
penemuan dini kasus dan PMO(pengawas menelan obat), dan lain-lain.

C. Penerapan Strategi dan DOTS di Tempat Kerja


. Kegiatan DOTS TB di tempat kerja memerlukan komitmen yang
berkesinambungan dan kebijakan yang konsisten. Untuk itu diperlukan
usaha prakondisi untuk keberhasilan program DOTS yaitu :

- Menjamin bahwa program dikembangkan menjangkau seluruh pekerja

- Menjamin bahwa program dilaksanakan bekerjasama dengan Dinas


Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan pihak-pihak terkait setempat.

78
- Menyepakati garis besar tujuan program dan komit terhadap
pelaksanaan jangka panjang.

- Menjamin bahwa manajemen perusahaan memahami, respek dan


berperan terhadap pentingnya program

D. Dukungan Sumber Daya


 Sumber Dana
 Sumber Daya Manusia
 Sarana dan Prasarana
 Kebutuhan Logistik
E. Jejaring TB
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila
penemuan pasien dan pengobatan berjalan dengan baik di tempat kerja

(7) Bentuk Program/Kegiatan Penanggulangan TB di Tempat kerja


Dalam kegiatan penanggulangan TB di tempat kerja, hendaknya
bersifat komprehensif yaitu meliputi kegiatan :

Promotif :
 Sosialisasi/workshop tentang “Penerapan buku Pedoman
Penanggulangan TB di Tempat Kerja” bagi stake holder terkait
 Pelatihan program DOTS bagi dokter dan paramedis perusahaan
 Sosialisasi program TB di tempat kerja bagi pekerja (penyuluhan &
KIE) sebagai bagian dari promosi gaya hidup sehat
 Advokasi program terhadap pengusaha
 Peningkatan gizi kerja, olahraga dan program bebas rokok di tempat
kerja.

Preventif :
 Penemuan kasus/suspek TB melalui pemeriksaan kesehatan tenaga
kerja (Awal, Berkala, Khusus)
 Pengendalian lingkungan kerja
 Penggunaan APD
 Imunisasi pada anak2 pekerja

79
 Petugas pengelola makan bagi tenaga kerja dipersyaratkan tidak
mengidap penyakit menular (TB, Typhoid, Cacingan).

Kuratif :
 Pengobatan dan perawatan bagi pekerja yang mengidap TB harus
adekuat yang memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat..
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan. Di
tempat kerja PMO dapat dilakukan oleh TIM DOTS atau sesama
pekerja yang terlatih.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan.
- Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan
pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara
efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien
dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu. Pada tahap awal pengobatan pekerja dengan TB
dianjurkan untuk istirahatkan di rumah.
- Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap
yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Tempat kerja
diharapkan dapat memfasilitasi pekerja dengan TB dengan
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan
DOTS baik di klinik perusahaan maupun diluar klinik perusahaan.

80
- Rujukan pasien ke layanan kesehatan (laboratorium, diagnosis dan
pengobatan).

Rehabilitasi kerja :
Penyesuaian pekerjaan (jenis pekerjaan, beban kerja, lama kerja dan
kondisi lingkungan) pada pekerja yang sakit / dalam pengobatan TB.

(8) Prinsip Pencegahan dan Penanggulangan TB di Tempat Kerja


Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TB di tempat kerja pada
dasarnya sama dengan pencegahan dan pengendalian di Fasilitas
Kesehatan, yang terdiri dari 4 pilar yaitu:

1. Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan tempat kerja dan pimpinan
fasilitas kesehatan tempat kerja. Dukungan manajemen yang efektif
berupa komitmen dan kepemimpinan merupakan penguatan upaya
manajerial untuk pencegahan TB.

Perusahaan memiliki kemampuan manajemen untuk melaksanakan


kegiatan program pencegahan dan penanggulangan TB, karena
perusahaan mempunyai kemampuan dalam proses analisa dan
manajemen proyek, kemampuan dibidang pengadaan dan hal-hal
lain terkait masalah kebutuhan dan suplai, serta dalam mencapai
hasil/ target. Beberapa keuntungan penanggulangan TB di tempat
kerja adalah pekerja berkumpul secara reguler pada waktu yang
pasti, komunikasi yang relatif mudah dan beberapa tempat kerja
memiliki sistem pelayanan dan fasilitas kesehatan kerja sehingga
dapat digunakan untuk keperluan pencegahan, penanganan pasien
dan dukungan lainnya.

2. Administratif
Pencegahan dan pengendalian administratif adalah upaya yang
dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan Mycobacterium
Tuberculosis kepada pekerja, petugas kesehatan dan lingkungan.

81
3. Lingkungan Tempat Kerja
Pengaturan aliran udara/ventilasi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi/ menurunkan kadar percik renik (droplet) di udara

4. Alat Pelindung Diri (APD)

Dalam penerapan program pencegahan dan penanggulangan TB di


tempat kerja, sangat penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip yang
dapat dijadikan pedoman oleh pemangku kepentingan (stakeholder)
khususnya bagi tenaga kesehatan yang terlibat langsung. Adapun prinsip-
prinsip tersebut adalah :

Perlindungan pasien, keluarga dan orang lain di tempat kerja.


 Selalu berpihak kepada pasien, menjaga kerahasiaan kondisi medis
dan catatan medik pasien.
 Memberikan manfaat kesejahteraan sosial bagi pasien dan
keluarganya.
 Memberikan perlindungan kepada orang lain yang berada di tempat
kerja untuk tidak tertular oleh pasien TB di tempat kerja.
 Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan kondisi
kesehatannya.

Menjamin lingkungan tempat kerja yang aman


 Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma
 Mengembangkan dan menerapkan kebijakan manajemen yang jelas.
 Menerapkan pengawasan lingkungan fisik.
 Pengendalian lingkungan fisik di tempat kerja merupakan cara yang
efektif dalam mengendalikan penyebaran TB.

Pengembangan kemitraan
Kemitraan dilakukan sejak persiapan, pelaksanaan sampai dengan
monitoring dan evaluasi program. Tujuan kemitraan adalah untuk
meningkatkan komitmen, koodinasi, komunikasi, sumber daya dan
kemampuan serta terbukanya peluang untuk saling membantu.

82
(9) Penilaian Status Laik Kerja (Fit to Work)

Adalah suatu asesmen medis untuk menentukan apakah seseorang dapat


melakukan pekerjaannya secara efektif, tanpa membahayakan dirinya
sendiri atau lingkungannya
Hasil penilaian:
a. Laik Kerja
b. Laik kerja dengan catatan
c. Tidak laik kerja sementara
d. Tidak laik kerja untuk pekerjaan tertentu
e. Tidak laik kerja untuk semua pekerjaan

(10) Program kembali kerja (Return to Work) Pekerja dengan


Tuberkulosis

o Pekerja dengan TB aktif sangat menular, hal ini ditandai dengan


ditemukannya hasil pemeriksaan BTA sputum (+). Pekerja dengan
TB aktif disarankan untuk diberikan cuti selama 2 (dua) minggu
pada tahap awal pengobatan sampai klinis yang lebih baik dan
pekerja tidak lagi menular.

o Pekerja dengan TB harus mendapat pengobatan yang optimal


sehingga pekerja dengan pemeriksaan BTA sputum (-) dapat
bekerja secara normal karena, mereka bukan ancaman bagi pekerja
lain.

o Pekerja dengan TB MDR tidak diperbolehkan untuk kembali bekerja


sampai mereka telah telah melakukan pemeriksaan konversi kultur
sputum atau dikonfirmasi tidak memiliki TB yang resistan. Cuti sakit
harus diberikan pada pekerja dengan TB MDR untuk waktu yang
lebih lama karena memerlukan rawat inap selama beberapa bulan.

o Pekerja dengan TB diusahakan segera mungkin aktif kembali


bekerja, gejala ikutan dan atau squele ikutan pengobatan
memerlukan kajian kelaikan kerja yang disesuaikan dengan
penyakitnya, selanjutnya bila memerlukan tatalaksana kembali kerja
(return to work) dirujuk ke Spesialis Okupasi (SpOk).

83
(6). Monitoring dan Evaluasi
Diperlukan sumber data valid dengan sistem pencatatan dan pelaporan yg
baik sehingga data yang dikumpulkan dapat diolah, dianalisis dan
diinterpretasikan.
• Untuk mengukur kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB,
digunakan beberapa indikator, yaitu :

(1) Indikator penemuan


 Proporsi pasien dengan Basil Tahan Asam (BTA) Positif di
antara Suspek
 Proporsi pasien TB BTA Positif diantara semua pasien TB
paru yang diobati

(2) Indikator Pengobatan TB


 Angka konversi dari BTA (+) menjadi BTA (-)
 Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate)
 Angka kesembuhan (Cure Rate)
 Angka putus berobat

4. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PANDEMI


INFLUENZA DI TEMPAT KERJA

Salah satu permasalah K3 saat ini adalah adanya penyebaran virus Infulenza
type A dengan sub type H1N1 yang lebih dikenal dengan Flu Baru H1N1 dan sub
type H5N1 yang lebih dikenal dengan Avian influenza atau flu burung yang akan
berdampak terhadap sektor ketenagakerjaan. Badan Kesehatan Dunia WHO telah
menetapkan penyakit Flu Baru H1N1 sebagai Pandemi Influenza pada tanggal 11
Juni 2009. Data WHO pada tanggal 15 Juli 2009 kasus Flu Baru H1N1 telah
mencapai 94.512 kasus dengan 429 orang diantaranya meninggal dunia. Di
Indonesia berdasarkan data departemen Kesehatan kasus Flu Baru H1N1
sebanyak 157 kasus.

Tenaga kerja dengan kondisi kerja dan lingkungan kerja melalui pajanan di
tempat kerja dapat berdampak kepada kesehatan tenaga kerja termasuk pajanan
virus influenza termasuk flu burung maupun virus A H1N1. Pandemi Influenza

84
adalah wabah raya yang disebabkan oleh virus influenza dan mempunyai
kemampuan menyebar dengancepat antar manusia ke seluruh dunia.

Berdasarkan kondisi tersebut, sektor ketenagakerjaan harus mengantisipasi


dampak pandemi influenza di Indonesia secara serius dan tepat, serta
meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit influenza tersebut.

Pandemi influenza merupakan masalah kita bersama dan salah satu tantangan
bagi pembangunan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan, karena
dikhawatirkan penyebaran virus tersebut merambah ke tempat kerja yang dapat
berakibat buruk terhadap dunia kerja.

 Dampak Influenza Pada Sektor Ketenagakerjaan Dan Upaya


Pencegahannya

(1) Dampak Flu Burung dan Pandemi Influenza.

Pandemi influenza termasuk avian flu burung dapat berdampak buruk


terhadap sektor ketenagakerjaan. Pandemi dapat menyebabkan absenteisme
dan biaya pengobatan meningkat serta penurunan produktivitas kerja, di
samping itu pandemi influenza secara tidak langsung dapat memicu
bertambahnya angka kemiskinan dan terganggunnya pembangunan sektor
ketenagakerjaan pada umumnya.

(2) Upaya pencegahan.

Upaya pencegahan pandemi influenza termasuk avian influenza pada sektor


ketenagakerjaan dapat dilakukan melalui,

- Penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja. UU No. 1 tahun 1970


telah mengatur atas keselamatan dan kesehatan kerja dengan upaya-upaya
identifikasi sumber bahaya yang merupakan potensi terjadinya kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja. Selain itu diatur juga mengenai upaya dan
syarat pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang berisi
aspek teknis, medis, prosedural dan kompetensi sumber daya manusia.
Secara teknis, syarat kesehatan kerja diatur melalui peraturan
pelaksanaannnya.

Dalam implementasinya pelaksanaan syarat-syarat keselamatan kerja


diselenggarakan melalui Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK) yang diatur
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.

85
03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja sebagai sarana perlindungan tenaga kerja dapat
merupakan salah satu upaya pencegahan yang cukup efektif bila
dilaksanakan secara optimal. Melalui pelayanan kesehatan kerja, dapat
dilakukan sosialisasi, informasi dan edukasi kepada tenaga kerja serta
pengawasan terhadap setiap kasus influenza sehingga penyebaran
influenza di tempat kerja dapat diketahui secara dini.

- Upaya pencegahan yang efektif melalui penyelenggaraan Pelayanan


Kesehatan Kerja perlu melibatkan lembaga dan SDM K3 di tempat kerja
antara lain dokter perusahaan, dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja,
paramedis perusahaan, ahli K3, petugas K3.

- Upaya lain dapat dilakukan dengan meningkatkan peran serta organisasi


pengusaha dan serikat pekerja/buruh sehingga upaya pencegahan dan
kesiapsiagaan pandemi influenza dapat diimplementasikan di setiap
tempat kerja.

- Segera menyusun rencana tanggap darurat pandemi influenza di tempat


kerja.

- Menerapkan jejaring program dan berkoordinasi dengan instansi terkait.

Upaya-upaya tersebut dapat menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman,


sehat, nihil kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sehingga dapat
meningkatkan daya saing perusahaan baik di tingkat lokal, regional maupun
global

 Bentuk Program/Kegiatan Pencegahan Pandemi Influenza Di Tempat Kerja

Bentuk program pencegahan flu burung dan pandemi influenza di tempat


kerja dapat bersifat promotif berupa kegiatan pembinaan dan
sosialisasi/workshop/ seminar. Program yang bersifat preventif antara lain
pengendalian lingkungan kerja, penggunaan Alat Pelindng Diri (APD) yang
sesuai secara tepat dan benar, Imunisasi dan Isolasi penderita/suspect.
Sedangkan program yang bersifat kuratif antara lain pengobatan dan observasi
bagi pekerja yang mengidap influenza, perawatan dan rujukan pasien ke
layanan kesehatan yang lebih lengkap bagi pekerja yang mengidap atau
suspect Flu Burung serta rehabilitasi kerja/ penyesuaian pekerjaan (jenis

86
pekerjaan, beban kerja, lama kerja dan kondisi lingkungan) pada pekerja
setelah perawatan/pengobatan Flu Burung.

Pelaksanaan program pencegahan flu burung dan pandemi influenza dapat


dilakukan berkoordinasi dengan pihak terkait dan lintas sektor serta mendorong
peran unsur tripartit.

Disamping program-program tersebut di atas, mendorong


pengusaha/pengurus perusahaan untuk segera menyusun rencana tanggap
darurat pandemi influenza dengan tujuan memperkecil risiko terhadap pekerja
dan keberlangsungan usaha dengan tingkat absensi pekerja mencapai 30%.
Selain itu dapat juga dilakukan antara lain peningkatan kesadaran level manajer
agar menerapkan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya pandemi,
mengantisipasi terjadinya tingkat absensi sebesar 30% untuk periode minimal 3
(tiga) bulan dengan menyelesaikan matriks persentase absensi untuk
menentukan titik-titik rawan, menentukan pihak-pihak terpenting serta kegiatan
usaha yang vital dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dalam kondisi
pandemi serta mempersiapkan proses pendelegasian sederhana dalam
pemberian persetujuan di perusahaan.

87
BAB III

PENUTUP

Demikian, modul ini dibuat agar dapat meningkatkan pemahaman pengawasan di


bidang kesehatan kerja dan diharapkan calon Ahli K3 nantinya di tempat kerja dalam
pembinaan dan pengawasan kesehatan kerja dapat dilaksanakan dengan baik dan upaya
kesehatan kerja secara aplikasi dapat dilaksanakan secara optimal di tempat kerja,
sehingga kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah.

Selain membaca buku ini diharapkan dapat menambah wawasan dengan


membaca refensi lain yang bekaitan dengan kesehatan kerja.

88
DAFTAR PUSTAKA

1. Suma’mur PK, MSc.DR (1993) Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja edisi ke IX,
Jakarta PT Gunung Agung

2. Training material K3 bidang kesehatan kerja, Depnaker RI Ditjen Binawas (1996/1997)

3. Himpunan Peraturan perundangan Keselamatan dan Kesehatan kerja, Dit. PNK3 -


Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan. Program perlindungan dan
Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja – Depnakertrans RI Tahun Anggaran 2006.

4. Standar pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial


dan Pengawasan Ketenagakerjaan, TA 1993/1994.

5. Pedoman Gizi kerja, Depnaker RI

6. Pedoman pengelolaaan makanan bagi pekerja, Depnakertrans, Ditjen Binawas, 1999

7. Bag. Gizi RSCM & Persatuan Ahli Gizi Indonesia , 1986, Penuntun Diit, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama .

8. Dit. PNKK, 1999, Pedoman Pengelolaan Makanan Bagi Pekerja, Jakarta,


Depnakertrans.

9. Depnaker, 1995, Standar Gizi Kerja, Jakarta, Proyek Pengembangan Kondisi


Lingkungan Kerja dan Perlindungan Tenaga Kerja TA. 1994/1995

10. Sumakmur PK. : Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta, 1981.
11. ( _________ ) (1983) Ergonomi dan produktivitas, Pusat Hiperkes dan Keselamatan
Kerja, Jakarta.
12. Pedoman Pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, Palang Merah
Indonesia (PMI), Jakarta 1999.
13. Pedoman praktis Ergonomik, ILO Jenewa Terjemahan DK3N
14. Barry S.L., David H. W.: Occupional Health, 4 th Ed., Lippincott W & W., Philadelphia
USA, 2000.
15. PT. Jamsostek (Persero) (1996) Kumpulan Peraturan Perundangan Pemerintah
Mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

89
Lampiran 1

FORMULIR PERMOHONAN PENGESAHAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN


KESEHATAN KERJA

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Pengesahan Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Kerja

Yth. *)
1. Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans RI
2. Kepala Dinas (Ketenagakerjaan) Provinsi................................
3. Kepala Dinas (Ketenagakerjaan) Kab/Kota..............................

Yang bertandatangan di bawah ini, kami pengurus dari :


Perusahaan/Instansi : ..................................................................
Alamat Perusahaan/Instansi : ..................................................................
Jenis Usaha : ..................................................................
Mengajukan permohonan pengesahan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja di
perusahaan/instansi kami. Bersama ini terlampir persyaratan yang diperlukan :
1. Data Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja Perusahaan/ Instansi
2. Data Cabang-cabang Pelayanan Kesehatan Kerja dalam satu manajemen perusahaan (untuk
skala provinsi atau nasional)
3. Pernyataan dokter penanggung jawab untuk mematuhi peraturan perundangan di bidang
kesehatan kerja
4. Salinan surat izin praktek dokter penanggung jawab
5. Salinan SKP dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja sebagai penanggung jawab pelayanan
kesehatan kerja
6. Pas foto dokter penanggung jawab pelayanan kesehatan kerja (ukuran 4x6) sebanyak 2 lembar
Demikian pengajuan permohonan kami, mohon untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Atas
perhatian diucapkan terima kasih
*) sesuai wilayah operasional perusahaan/instansi
………, ……..., 20……
Tanda tangan
Cap Perusahaan/Instansi

(NAMA JELAS)

Tembusan :
1. Dirjen Binwasnaker Depnakertrans RI (bila permohonan diajukan ke Disnaker Provinsi)
2. Kepala Dinas ketenagakerjaan Provinsi (bila permohonan diajukan ke Disnaker Kab/kota)
3. Arsip

90
A. DATA PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA

I. Data Perusahaan
1. Nama Perusahaan Induk :
2. Alamat Perusahaan :
3. Bidang Usaha : Nomor KLUI
4. Nama Perusahaan Cabang (bila ada)
a. Nama Perusahaan :
Alamat :
b. Nama Perusahaan :
A. Alamat :

II. Jumlah Tenaga Kerja : Pria .......................................orang


Wanita .......................................orang
Jumlah ....................................... orang
III. Bentuk Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

1. Diselenggarakan sendiri oleh Pengurus dalam bentuk :

a. Rumah Sakit perusahaan b. Klinik perusahaan


2. Diselenggarakan oleh Pengurus melalui kerja sama dengan pelayanan kesehatan di luar
perusahaan

3. Diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa perusahaan

IV. Tenaga Medis


1. Dokter
a. Dokter Umum : ...................... orang
b. Dokter dengan sertifikat Hiperkes : ...................... orang
c. Dokter Spesialis : …................... orang
Jumlah : …................... orang
2. Dokter Penanggung jawab

Memiliki SKPdokter pemeriksa Belum memiliki SKP dokter pemeriksa


3. Paramedis perusahaan
a. Memiliki sertifikat hiperkes ............. orang
b. Belum memiliki sertifikat hiperkes ............. orang
Jumlah .............. orang

91
V. Sarana Pelayanan Kesehatan Kerja :
Nomor Jenis Sarana Keterangan
(beri tanda V bila sudah ada
A. SARANA DASAR :
1. Ruangan :
a. Ruang tunggu ..........................................
b. Ruang periksa ..........................................
c. Ruang/almari obat ..........................................
d. Kamar mandi dan WC ..........................................

2. Perlengkapan umum:
a. Meja dan kursi ..........................................
b. Tempat tidur pasien ..........................................
c. Wastafel ..........................................
d. Timbangan badan ..........................................
e. Meteran/pengukur tinggi badan ..........................................
f. Kartu status ..........................................
g. Register pasien berobat ..........................................

3. Peralatan medis :
a. Tensimeter dan stetoskop ..........................................
b. Termometer ..........................................
c. Sarung tangan ..........................................
d. Alat bedah ringan (minor set) ..........................................
e. Lampu senter ..........................................
f. Obat-obatan ..........................................
g. Sarana/Perlengkapan P3K ..........................................
h. Tabung oksigen dan isinya ..........................................
B. SARANA PENUNJANG :
1. Alat Pelindung Diri (APD) ..........................................
2. Alat evakuasi : tandu, ..........................................
ambulance/kendaraan pengangkut
korban dll.
3. Peralatan penunjang diagnosa :
a. spirometer, audiometer ..........................................
b. Peralatan pemantau/pengukur ..........................................
lingkungan kerja : sound level
meter, lux meter, gas detector

.............................. 20…..

Tanda tangan
Cap Perusahaan/Instansi

(NAMA JELAS)

92
B. BENTUK PERNYATAAN DOKTER PENANGGUNG JAWAB

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : .......................................................................
Tempat/tanggal lahir : .......................................................................
Jenis Kelamin : .......................................................................
Alamat Rumah : ........................................................................
Alamat Praktek : ........................................................................
Surat Izin Praktek No : .......................................................................
Kursus Hiperkes dan KK : Sudah/ Belum *)

Nomor Reg. SKP dokter pemeriksa bila sudah ada : .....................................


menyatakan bersedia menjadi penanggung jawab Pelayanan Kesehatan Kerja di Perusahaan/Instansi
...................................................... dan bersedia memenuhi semua ketentuan peraturan perUndang-
Undangan K3 bidang kesehatan kerja.

*) Coret yang tidak perlu


........................, ......................20….

Mengetahui, Yang membuat pernyataan,


Pimpinan Perusahaan/Instansi
Td tangan

Td tangan dan cap


(NAMA JELAS)
(NAMA JELAS)

93
LAMPIRAN 2

BENTUK SURAT KEPUTUSAN PENGESAHAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN


KESEHATAN KERJA
KOP DINAS/INSTANSI KETENAGAKERJAAN
SURAT KEPUTUSAN
KEPALA DINAS/INSTANSI KETENAGAKERJAAN
PUSAT/PROVINSI/KAB/KOTA
……………...................…….
NOMOR KEP. ………………………………..
TENTANG
PENGESAHAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA
DI PERUSAHAAN
KEPALA DINAS KEPALA DINAS/INSTANSI KETENAGAKERJAAN
PUSAT/PROVINSI/KAB/KOTA
..............................................
Menimbang : 1. bahwa keselamatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya dapat
dicapai bila kesehatan tenaga kerja berada dalam kondisi yang
sebaik-baiknya
2. bahwa untuk mencapai taraf kesehatan tenaga kerja yang sebaik-
baiknya perlu diselenggarakan Pelayanan Kesehatan Kerja

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1818);
2. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.


01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat
Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja;
Memperhatikan : Surat Permohonan Pengesahan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Kerja dari :

Perusahaan :
Nomor :
Tanggal :

94
Menetapkan :
KESATU : Pengesahan Penyelenggaraan Pelayan Kesehatan Kerja di
Perusahaan/Instansi ........................................................................
Dengan dokter perusahaan/Instansi yang bertanggung jawab dalam
Pelayanan Kesehatan Kerja,
Nama :
No Reg SKP Dokter Pemeriksa :
KEDUA : Pelayanan Kesehatan Kerja tersebut amar Pertama mempunyai tugas
memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan
lingkungan kerja baik fisik maupun mental dan mencegah serta mengobati
penyakit akibat kerja dan penyakit lainnya demi meningkatkan kesehatan
kondisi mental dan kemampuan fisik tenaga kerja serta wajib melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada :
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.
03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja

MEMUTUSKAN :
KETIGA : Pelayanan Kesehatan Kerja segera dapat melakukan tugas dan kegiatannya
sejak tanggal pengesahannya.
KEEMPAT : Pengurus wajib menyampaikan laporan Teknis Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja kepada Dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat
dengan tembusan kepada Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan
Depnakertrans RI
KELIMA : Semua pembiayaan yang berhubungan dengan kegiatan pelayanan
Kesehatan kerja dibebankan pada perusahaan/instansi yang bersangkutan
KEENAM : Surat Keputusan ini berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak tanggal
ditetapkannya dan apabila terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.

Tembusan:
1. Dirjen Binwasnaker Depnakertrans RI
2. Gubernur/Bupati/Walikota .................... Ditetapkan Di :
3. Arsip. Pada tanggal :

KEPALA DINAS/INSTANSI
KETENAGAKERJAAN
……………………………

………………………………………
NIP……………………

95
LAMPIRAN 3

FORMULIR PELAPORAN
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA

(KOP PERUSAHAAN/INSTANSI)

…………………, …………….20…
Nomor :
Lamp. : Kepada Yth :
Perihal. : 1. Kepala Dinas Tenaga Kerja …........
Laporan Penyelenggaraan 2. Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan
Pelayanan Kesehatan Kerja Kesehatan Kerja, Ditjen Binwasnaker
DEPNAKERTRANS RI
Bulan......... sd ......... Th.......
Jl Gatot Subroto Kav 51 Jaksel
di-
A. Jakarta
Yang bertanda tangan dibawah ini kami selaku pimpinan perusahaan/Instansi
Nama Perusahaan/Instansi :
Alamat Perusahaan/Instansi :
Jenis Perusahaan :
Jumlah Tenaga Kerja
a. Laki-laki ` : ...................... orang
b. Perempuan : ....................... orang

a. Jumlah : ....................... orang

Dengan ini menyampaikan laporan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja Triwulan


....... bulan ......... sd. ........... Tahun ..........
Demikian disampaikan, atas perhatian diucapkan terima kasih.

Pimpinan Perusahaan/Instansi

( ...................................... )

= ……………….=
96
I. DATA PENYAKIT YANG DIDERITA OLEH TENAGA KERJA YANG BERKUNJUNG KE
PELAYANAN KESEHATAN KERJA MAUPUN DARI HASIL PEMERIKSAAN
KESEHATAN BERKALA DAN KHUSUS

Jumlah Kasus Keterangan


No. (ditulis untuk
Jenis Penyakit Jumlah
Lama Baru yang
diduga PAK)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. SALURAN PERNAFASAN
1.1. Infeksi saluran pernafasan bagian atas
termasuk influensa, Tonsilitis, Pharingitis,
Laringitis, Sinusitis, Rhinitis dan lain–lain.
Infeksi saluran pernafasan lain termasuk
1.2. Bronchitis, Pleuritis, Pneumonia, Asma dan
lain-lain.
Tuberkulosa (TB)
1.3.
2. SALURAN PENCERNAAN
2.1. Gastritis/Tukak Lambung
2.2. Kolera
2.3. Diare, Dysentri
2.4. Typus Abdominalis, paratyphus
2.5. Radang hati
2.6. Lainnya sebutkan ...........................
3. GINJAL DAN SALURAN KEMIH
3.1. Radang ginjal dan saluran kencing
3.2. Batu ginjal dan saluran kencing
3.3. Lainnya sebutkan ...........................
4. PENYAKIT JANTUNG DAN
TEKANAN DARAH
4.1. Hypertensi
4.2. Hypotensi
4.3. Penyakit Jantung
4.4. Lainnya sebutkan ...........................
5. KELAINAN PEMBULUH DARAH
5.1. Wasir
5.2. Varises
5.3. Phlebitis
Lainnya sebutkan ...........................

97
6. KELAINAN DARAH
6.1. Anemia
6.2. Kelainan darah lainnya sebutkan
.................
PENYAKIT OTOT DAN KERANGKA
Myalgia, athralgia
(1) Arthitis, Rhematoid termasuk Gout
Hernia Nukleus Pulposus
Lainnya sebutkan ...........................
8. PENYAKIT KANDUNGAN DAN ALAT
KANDUNGAN
8.1. Kehamilan, persalinan dan nifas normal.
8.2. Kehamilan, persalinan dan nifas dengan
kelainan termasuk pendarahan toxemia dan
lain-lain.
8.3. Keguguran/abortus
8.4. Infeksi/tumor alat kandungan dan lain-lain
termasuk fluor albus.
8.5. Lainnya sebutkan ...........................
9. PENYAKIT INFEKSI PARASIT
9.1. Malaria
9.2. Cacing
9.3. Schistozomiasis, Filariasis
9.4. Lainnya sebutkan ...........................
10. PENYAKIT/GANGGUAN GIZI
10.1 Kekurangan Kalori & Protein (KKP)
10.2 Defisiensi vitamin lain
10.3 Over weight/obesitas
11. PENYAKIT/GANGGUAN ENDOKRIN DAN
METABOTIK
11.1 Gondok Endemik
11.2 Hypertyroid
11.3 Kencing Manis (Diabetes Mellitus)
11.4 Lainnya sebutkan ...........................
.
12. PENYAKIT KELAMIN
12.1 Infeksi Gonokokus
12.2 Syphilis
12.3 Non Gonokokus Urethritis (NGU)
12.4 Lainnya sebutkan ...........................
.
13. PENYAKIT KULIT DAN JARINGAN
DIBAWAH KULIT
13.1 Dermatitis Kontak
13.2 Dermatitis Alergi
13.3 Kelainan Jaringan Dibawah kulit
13.4 Lainnya sebutkan ...........................
.
14. PENYAKIT MATA
14.1 Conjungtivitis, Keratitis, Skleritis.
14.2 Katarak
14.3 Glaukoma
14.4 Gangguan tajam penglihatan/Visus
14.5 Lainnya sebutkan ..........................
15. PENYAKIT PADA TELINGA DAN
MASTOID

98
15.1 Radang telinga luar
15.2 Radang telinga tengah dan dalam
15.3 Penurunan pendengaran/tuli
15.4 Lainnya sebutkan ...........................
.
16. PENYAKIT GIGI DAN RONGGA MULUT
16.1 Stomatitis
16.2 Caries, Pulpitis
16.3 Gingivitis
16.4 Lainnya sebutkan ...........................

17. PENYAKIT SUSUNAN SYARAF


17.1 Gangguan syaraf tepi
17.2 Gangguan syaraf pusat
17.3 Lainnya sebutkan ...........................
18. GANGGUAN JIWA
18.1 Psikosis
18.2 Gangguan kepribadian/tingkah laku
18.3 Lainnya sebutkan ...........................
.
19. NEOPLASMA
19.1 Tumor Jinak
19.2 Tumor Ganas
20. Kelompok penyakit lainnya sebutkan
a. ..........
b. ..........
c. dst.
21. Penyakit yang diperberat atau diperparah oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja, sebutkan
diagnosisnya (ICD10 code) :
a. ..................
b. ..................
c. dst.
22. Penyakit yang diduga akibat kerja (diduga
PAK), sebutkan diagnosisnya (ICD10 code) :
a. ...................
b. ...................
c. dst.

23. Penyakit akibat kerja (PAK), sebutkan


diagnosisnya (ICD10 code)
a. ..................
b. ..................
c. dst.
JUMLAH KESELURUHAN

99
II. DATA KECELAKAAN KERJA

Jumlah Keterangan
Jumlah
Kasus (Penyebab
NOMOR Data Kecelakaan
utama
Laki-laki Wanita
kecelakaan)
A. BAGIAN TUBUH YANG CIDERA
1 Kepala
2 Mata
3 Telinga
4 Badan
5 Lengan
6 Tangan
7 Telapak dan jari tangan
8 Paha
9 Kaki
10 Telapak dan jari kaki
11 Organ tubuh bagian dalam

B. CORAK KECELAKAAN
1 Terbentur, tertusuk, tersayat
2 Terpukul
3 Terjepit, tertimbun, tenggelam
4 Jatuh dari ketinggian yang sama dan tergelincir
5 Jatuh dari ketinggian berbeda
6 Keracunan
7 Tersentuh arus listrik
8 Lain-lain

C. AKIBAT KECELAKAAN
1 Jumlah korban yang meninggal
2 Jumlah korban yang cacat tetap
Jumlah korban sementara tidak
3 mampu bekerja
4 Jumlah hari kerja yang hilang
Jumlah korban yang langsung
5 mampu bekerja kembali
JUMLAH SELURUH KECELAKAAN

100
III. DATA KEGIATAN KESEHATAN KERJA LAINNYA :

Nomor Nama Kegiatan Jenis Kegiatan Keterangan


1 Pemeriksaan Kesehatan ................ orang
Tenaga Kerja a. Pemeriksaan Kesehatan Awal ................ orang
b. Pemeriksan Kesehatan Berkala ................ orang
c. Pemeriksaan Kesehatan Khusus

2 Pengukuran/pengujian a. Faktor bahaya fisik : ......... <, = / > NAB


b. Faktor bahaya kimia : ........
lingkungan kerja
c. Faktor bahaya biologi : .......
(hasil pengukuran d. Faktor bahaya psikologi : .......
e. Faktor bahaya ergonomi/fisiologi :
dilampirkan)
....
3 Monitoring biologis Jenis bahan kimia/sampel yang diukur : <, = / > standar
(hasil pemeriksaan a. ......
dilampirkan) b. .......
4 Penyediaan APD a. Pelindung kepala (..........) ............... buah
b. Sepatu keselamatan
c. dst.
5 Penyelenggaraan makan di a. Pemeriksaan penjamah makanan ............. orang
tempat kerja (petugas pengelola makanan yang .............. kali
menangani secara langsung proses
dari penerimaan bahan makanan
sampai dengan penyajian)
b. Pengawasan
6 P3K a. Pelatihan petugas P3K .............. orang
b. Pengawasan fasilitas P3K .............. kali
c. ......
7 Penyuluhan dan pelatihan Topik penyuluhan :
kesehatan kerja bagi a. .......... ............. orang
tenaga kerja b. .
8 Pelayanan Kontrasepsi a. Suntik ............. orang
b. Pil ............. orang
c. IUD ............. orang
d. Implant ............. orang
e. Sterilisasi ............. orang
f. Lain-lain ............. orang
9. Lain-lain sebutkan
a. .............
c. .............
d. dst
……………., ………, 20…….
Mengetahui, Penyusun,
Pimpinan Perusahaan/Instansi Penanggung Jawab
Pelayanan Kesehatan Kerja

*****

101

Anda mungkin juga menyukai