Anda di halaman 1dari 43

TUGAS REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

ACUTE KIDNEY INJURY

Oleh:
Dhuhita Ghassanizada
G4A018034

Pembimbing:
dr. Supriyanto, Sp.A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

ACUTE KIDNEY INJURY

Oleh:
Dhuhita Ghassanizada
G4A018034

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Jurusan Kedokteran UmumFakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, Mei 2020

Pembimbing

dr. Supriyanto, Sp. A


I. PENDAHULUAN

Acute Kidney Injury (AKI) dideskripsikan sebagai sindroma klinis


terganggunya struktur dan atau fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan
gangguan pada keseimbangan cairan, elektrolit, dan produk-produk sisa yang akan
dibuang. Istilah AKI menggantikan istilah Acute Renal Failure (ARF) sejak
tahun 2004. Insiden AKI pada anak meningkat secara global, yang diasosiasikan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan memiliki etiologi
multifaktorial. (Ciccia & Devarajan, 2017). Penyebab terjadinya AKI dapat dibagi
menjadi prarenal, intrinsik/renal, dan paskarenal (Andreoli, 2009). Onset
terjadinya AKI sering tidak dikenali pada derajatt awal di mana intervensi segera
merupakan tindakan efektif, sehingga apabila tidak segera diatasi dapat
menimbulkan bahaya (Fragasso & Goldstein, 2018).
Studi terkait insidensi AKI pada anak di dunia masih sangat terbatas.
Berdasarkan hasil meta-analisis tahun 2013 menggunakan sistem staging terbaru
dengan Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) , terdapat 43 studi
mengenai AKI pada anak. Studi yang dilakukan masih terbatas pada populasi
negara dengan pendapatan menengah hingga tinggi. Insidensi AKI pada anak
sebesar 33.7%, maka dapat disimpulkan bahwa 1 dari 3 anak di seluruh dunia
mengalami AKI. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan insidensi AKI pada
dewasa, yaitu sebesar 22.6%. Mortalitas AKI pada anak sebesar 13.8%
(Susantitaphong et al., 2013). Insidens di negara berkembang, khususnya di
komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah
sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka
yang tercatat (Triastuti&Sujana, 2017).
AKI merupakan masalah umum pada anak yang dirawat di rumah sakit,
khususnya yang membutuhkan ruang perawatan intensif. Pada studi lanjutan
terhadap anak yang dirawat di ruang intensif di Kanada, 46.8% telah diidentifikasi
memiliki resiko terjadinya Chronic Kidney Disease (CKD) pada anak yang
mengalami episode AKI dalam waktu 1-3 tahun setelahnya (McCaffrey et al.,
2016).
Pada tahun 2016, sebuah studi prospektif multisenter pertama kali dilakukan
untuk mengetahui epidemiologi AKI pada 4.683 pasien pediatri (rerata usia 3 – 25
bulan) yang dirawat di Perinatal Intensive Care Unit (PICU) selama 28 hari.
Hasilnya, 29.6% pasien mengalami AKI, dan 11.7% pasien mengalami AKI berat
dalam 7 hari perawatan. Sedangkan di Indonesia sendiri, dari 2.630 anak yang
dirawat di PICU RS Dr. Sardjito Yogyakarta selama minimal 24 jam tahun 2010-
2016, 152 anak didiagnosis AKI, 119 anak (78.3%) meninggal (Rakhmawati et
al., 2019). Terjadinya AKI berat juga dihubungkan dengan meningkatnya Renal
Replacement Therapy (RRT), lama perawatan di rumah sakit, dan durasi
penggunaan ventilasi mekanik (Fragasso & Goldstein, 2018).
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang
mendasari sangatlah penting pada pasien dengan AKI. Kerjasama tim medis,
pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini sangat
diperlukan. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan
komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil
pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup
penderita.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Ginjal


1. Anatomi
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting
dalam mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan
mempertahankan keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa
berupa urin akan meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk
dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang peritoneum sehingga
disebut organ retroperitoneal (Snell, 2006). Ginjal berada di sisi kanan
dan kiri kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3.
Ginjal dekstra terletak sedikit lebih rendah daripada sinistra karena
adanya lobus hepatis yang besar. Masing-masing ginjal memiliki fasies
anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo medialis, ekstremitas
superior dan ekstremitas inferior (Moore, 2002). Bagian luar ginjal
dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula adiposa, fasia renalis dan corpus
adiposum pararenal. Masing masing ginjal memiliki bagian yang
berwarna coklat gelap di bagian luar yang disebut korteks dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang. Medulla
renalis terdiri dari kira-kira 12 piramis renalis yang masing-masing
memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis renalis
terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis (Snell,
2006).
Gambar 2.1. Letak Anatomi Ginjal (Sumber : Fisiologi Ginjal
dan Cairan Tubuh, 2009)

Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang

membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui


hilum renalis. Secara khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri
menjadi lima cabang arteri segmentalis yang melintas ke segmenta
renalis. Beberapa vena menyatukan darah dari ren dan bersatu
membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk vena renalis.
Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan vena renalis
sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-masing
vena renalis bermuara ke vena cava inferior (Moore, 2002).

Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis


di mana masing-masing arteri lobaris berada pada setiap piramis renalis.
Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang
berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada perbatasan
korteks dan medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arkuata yang kemudian menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri
arkuata mempercabangkan arteri interlobularis yang kemudian menjadi
arteriol aferen (Snell, 2006).

Ginjal tersusun lebih dari 1 juta nefron. Nefron merupakan unit


fungsional terkecil dari ginjal yang melakukan fungsin filtrasi. Nefron
terdiri dari glomerulus dan tubulus yang nantinya bermuara ke kaliks
renalis untuk menghasilkan urin. Glomerulus merupakan bagian yang
terdiri dari kapsula Bowman, arteriol aferen, arteriol eferen, dan
bangunan yang disebut komplek jukstaglomerular. Pada bagain
glomerulus, darah akan disaring dan akan menghasilkan filtrat. Filtrat
akan dibawa menuju tubulus kontortus proksimal, ansa Henle, tubulus
kontortus distal, tubulus kolektivus dan akan berakhir pada kaliks renalis
untuk dikumpulkan pada pelvis renalis sebelum akhirnya dialirkan
melalui ureter ke dalam vesika urinaria (Martini, 2012)

2. Fisiologi
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta
nefron yang masing- masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk
membentuk urin. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab
itu, pada trauma, penyakit ginjal, atau penuaan ginjal normal akan terjadi
penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah
nefron biasanya menurun setiap 10 tahun. Berkurangnya fungsi ini
seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses adaptif tubuh
terhadap penurunan fungsi faal ginjal (Sherwood, 2001).
Pada saat bayi baru lahir, ginjal masih dalam keadaan belum matur
dan akan terus berkembang segera di awal kehidupan. Saat bayi lahir,
sudah memiliki nefron yang lengkap, namun hanya memiliki kemampuan
25% dari laju filtrasi glomerulus dewasa. Fungsi ginjal anak yang sehat
akan terus mengalami peningkatan progresif, mencapai laju filtrasi
glomerulus matur pada usia 2 tahun. Neonatus memiliki mekanisme
kompensasi immature untuk mengatasi perubahan aliran darah ginjal dan
belum memiliki kemampuan mengonsentrasikan urin
(Selewski&Symons, 2014).
Aliran darah ginjal membantu untuk menjalankan sejumlah proses
fisiologis, termasuk filtrasi glomerulus, penyampaian oksigen ke ginjal,
dan reabsorpsi cair atau zat terlarut. Aliran darah ginjal diatur oleh
kombinasi hormon dan mekanisme reflek. Arteriol aferen dan eferen
mengatur aliran darah dari dan menuju glomerulus. Peregangan dari
arteriol ini (umpanbalik negative) dan penyampaian NaCl disensitisasi
oleh apparatus juxtaglomerular yang akan mengantarkan sejumlah respon
hormonal local maupun sistemik terhadap aliran darah yang rendah. Pada
keadaan penurunan perfusi ginjal, terjadi vasodilatasi arteriol aferen yang
terjadi karena respon dari prostaglandin E dan I, nitrit oksida, dan
bradikinin untuk mempertahankan filtrasi glomerulus dan aliran darah
injal. Pada waktu yang sama, arteriol eferen akan mengalami
vaskonstriksi oleh aktivasi saraf simpatis, endothelin, dan aktivasi system
renin angiotensis, mengantarkan produksi dari angiotensin II. Mekanisme
ini bekerja untuk mempertahankan filtrasi glomerulus dan aliran darah
ginjal (Selewski&Symons, 2014).

Gambar 2.2 Komponen pengaturan filtrasi glomerulus (Martini, 2012)


Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan
tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang
difiltrasi dari darah sedangkan tubulus merupakan saluran panjang yang
mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan dialirkan menuju
keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler glomerulus
bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik
tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.

Gambar 2.3. Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)

Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh

glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi

dari kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian

masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari

tubulus proksimal kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of

Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang desenden dan asenden.

Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa. Makula densa

juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron. Setelah


itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes

modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan

kemudian bergabung membentuk struktur pelvis renalis (Berawi, 2009).

Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin

yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi

dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi

filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke kapsula

Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan

langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap hari terbentuk rata-rata

180 liter filtrat glomerulus. Dengan menganggap bahwa volume plasma

rata-rata pada orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh

volume plasma tersebut difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal

setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi menjadi urin, volume

plasma total akan habis melalui urin dalam waktu setengah jam. Namun,

hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus ginjal yang dapat

mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat dipergunakan oleh tubuh.

Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma

kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang

direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh

kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk

kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5

liter diserap kembali, dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui

pelvis renalis dan keluar sebagai urin.


Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan

direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap

bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi

tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah

kapiler peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute

kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal.

Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana hanya 20% dari

plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus mengalir

melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat,

mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus

melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal

tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi (Sherwood, 2001).

Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak

hanya dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa,

namun juga dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam

tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel

darah merah. Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah

cairan tubuh, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan

potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh.

Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh,

seperti urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA.

Dua produk sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea

Nitrogen (BUN) dan kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal,

sensor-sensor dalam ginjal memutuskan berapa banyak air dikeluarkan


sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit.

Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan olahraga

atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan

urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh,

urin jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh

renin, suatu hormon yang diproduksi dalam ginjal yang merupakan

sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan darah tubuh

(Ganong, 2009).

Gambar 2. Zat zat yang dapat terkandung dalam urun (Martini, 2012)

B. Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) dideskripsikan sebagai terganggunya
struktur dan atau fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan gangguan pada
keseimbangan cairan, elektrolit, dan produk-produk sisa yang akan dibuang.
Beberapa definisi terkait AKI telah digunakan. Beberapa diantaranya yaitu
menggunakan kriteria Rifle, Injury, Failure, Loss of kidney function, End-
stage renal disease (RIFLE) yang selanjutnya menjadi skor pediatric-RIFLE
(pRIFLE), dan kriteria Acute Kidney Injury Network (AKIN). Kedua kriteria
tersebut memiliki definisi dan derajat AKI sedikit berbeda, yang membuat
perbandingan studi dan rekomendasi standar terkait tatalaksana menjadi lebih
sulit (Ciccia & Devarajan, 2017).
Pada tahun 2012, Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) merumuskan kriteria dan derajat keparahan AKI, termasuk kriteria
pada anak dengan mempertimbangkan kriteria sebelumnya, yaitu pRIFLE dan
AKIN sehingga menjadi lebih selaras (Fragasso & Goldstein, 2018). Kriteria
KDIGO saat ini telah digunakan sebagai dasar konsensus terkini dan diterima
secara luas sebagai definisi dan sistem derajat keparahan AKI (Selewski et
al., 2014). AKI merupakan sindrom klinis luas yang mencakup bermacam
etiologi. (KDIGO, 2012)
Definisi berdasarkan kriteria KDIGO mengidentifikasi dan membagi
derajat AKI berdasarkan perubahan kreatinin serum dari baseline atau
keluaran urin, yang dijelaskan lebih lengkap pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kriteria KDIGO AKI (KDIGO, 2012)


Deraja Kreatinin Serum Keluaran Urin
t
1 Peningkatan 1.5-1.9 kali dari Kurang dari 0.5
baseline dalam 7 hari, mL/kg/jam selama 6-12
atau jam
Peningkatan ≥ 0.3 mg/dL (26.5
µmol/L) dalam 48 jam
2 Peningkatan 2-2.9 kali dari Kurang dari 0.5
baseline mL/kg/jam selama ≥ 12
jam
3 Peningkatan ≥ 3 kali dari Kurang dari 0.5
baseline, mL/kg/jam selama ≥ 24
atau jam, atau
Peningkatan ≥ 4 mg/dL (353.6 Anuria selama ≥ 12 jam
µmol/L),
atau
Inisiasi terapi pengganti ginjal
atau Renal Replacement
Therapy (RRT),
atau
Pada pasien usia < 18 tahun,
pengurangan estimated
Glomerular Filtration Rate
(eGFR) <35 mL/menit/ 1.73
m2
Kreatinin baseline didefinisikan sebagai nilai kreatinin serum terendah
dalam 3 bulan terakhir, dengan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR)
menggunakan perhitungan atau formula Schwartz. Formula ini menghitung
bersihan kreatinin atau Creatinine Clearence (CrCl) yang didapat dari
perkalian tinggi badan pasien dalam sentimeter dengan konstanta k, kemudian
dibagi dengan kreatinin serum dalam mg/dL. Formula terbaru dari Schwartz
menggunakana nilai tunggal konstanta k = 0.413 . Jika tidak ada pengukuran
serum kreatinin sebelumnya yang tersedia, direkomendasikan untuk
menggunakan baseline 120 mL/min/1.73 m2 (Schwartz et al., 1976).

C. Klasifikasi
Klasifikasi AKI terbaru mengunakan kriteria KDIGO yang dapat
digunakan untuk kelompok dewasa maupun pediatrik. Definisi dan klasifikasi
menggunakan KDIGO membagi klasifikasi berdasarkan kreatinin serum
(estimasi CrCl pada pasien usia <18 tahun) dan keluaran urin. Meskipun saat
ini definisi dan klasifikasi tersebut menjadi acuan terkini untuk kelompok
usia pediatrik, masih perlu dilakukan penyesuaian kriteria untuk fase
neonatus yang mana fisiologi renalnya memiliki sifat khas. Pada tahun 2015
dipublikasikan lah klasifikasi AKI KDIGO untuk neonatus. Klasifikasi dan
penyempurnaan definisi AKI lebih lengkap dijelaskan pada Tabel 2.2 (Cleto-
Yamane et al., 2018).

Tabel 2.2. Klasifikasi AKI (Cleto-Yamane et al., 2018).


AKI derajat berat didefinisikan sebagai AKI derajat 2 dan 3 dengan
kriteria KDIGO. Hal tersebut dikarenakan pada derajat 2 dan 3 diasosiasikan
dengan peningkatan mortalitas dalam studi yang melibatkan anak-anak
(Kaddourah et al., 2017).

D. Epidemiologi
Studi prospektif multisenter pertama kali (Assessment of Worlwide
Acute Kidney Injury, Renal Angina, and Epidemiology/AWARE) telah
dilakukan pada tahun 2016 untuk mengetahui epidemiologi AKI pada 4.683
pasien pediatri (rerata usia 3 – 25 bulan) yang dirawat di Perinatal Intensive
Care Unit (PICU) selama 28 hari. Hasilnya, 29.6% pasien mengalami AKI,
dan 11.7% pasien mengalami AKI berat (derajat 2 atau 3) dalam 7 hari
perawatan. Pasien yang meninggal yaitu sebanyak 60 dari 543 pasien dengan
AKI berat. Angka kematian ini lebih tinggi dibandingkan kematian pada
pasien tanpa AKI berat. Terjadinya AKI berat juga dihubungkan dengan
meningkatnya Renal Replacement Therapy (RRT), lama perawatan di rumah
sakit, dan durasi penggunaan ventilasi mekanik (Fragasso & Goldstein,
2018).
Studi retrospektif multisenter terhadap neonatus dengan AKI telah
dilakukan dalam studi “Assessment of Worldwide Acute Kidney Injury
Epideniology in Neonates (AWAKEN)”. Setelah dilakukan analisis terhadap
lebih dari 2000 neonatus yang dirawat di Neonatal Intensive Care Unit
(NICU), 30% dari seluruh kasus mengalami AKI (Jetton et al., 2017).
Berbagai studi epidemiologi dari tahun ke tahun telah dilakukan. Hasil studi
epidemiologi AKI pada anak dapat dilihat pada gambar 2.1 (Cleto-Yamane et
al., 2017). Sangat bervariasinya insidensi dan angka mortalitas pada AKI
kemungkinan disebabkan karena kasus yang beragam, penyakit yang
mendasari, derajat keparahan penyakit dan definisi yang diganakan
(Kaddourah et al., 2017).
Pada tahun 2016, dilakukan studi epidemiologi terkait insidensi AKI
pada anak tidak sakit kritis yang dirawat di rumah sakit. Hasilnya didapatkan
insidensi AKI pada anak tidak sakit kritis yang dirawat di rumah sakit sebesar
5% (McGregor et al., 2016).
Gambar 2.1. Epidemiologi AKI pada anak (Cleto-Yamane et al., 2017)

E. Etiologi dan Faktor Resiko


1. Etiologi
Pada negara berkembang, penyebab tersering dari AKI adalah
deplesi volume dan penyakit ginjal primer pada anak yang sebelumnya
sehat. Pada anak yang di rawat di rumah sakit negara berkembang,
khususnya pada rumah sakit tersier, ada perubahan etiologi AKI dari
penyakit ginjal primer menjadi penyebab sekunder, yaitu berasal dari
komplikasi suatu penyakit atau pengobatan. Infeksi adalah penyebab
yang paling umum dihubungkan dengan AKI berdasarkan diagnosis
departemen kegawatdaruratan pediatrik. Diikuti oleh etiologi prerenal
(Gangguan gastrointestinal, muntah, dan diare) dan glomerulonephritis
(Bernardo et al., 2018). Etiologi dari AKI dapat dibedakan menjadi 3,
yaitu prarenal, intrinsik (renal), dan pasca renal yang dijelaskan sebagai
berikut (Selewski & Symons, 2014). :
a. Prarenal
Cedera prarenal terjadi ketika aliran darah ke ginjal
berkurang yang akan menjadi hipoperfusi. Karena ginjal secara
intrinsik normal, cedera prarenal dapat reversible / kembali ke
normal begitu volume darah dan kondisi hemodinamik telah
dikembalikan normal. Cidera prarenal yang berkepanjangan dapat
menyebabkan AKI intrinsik karena nekrosis tubular akut hipoksik /
iskemik (ATN; Acute Tubular Necrosis). Perubahan cedera prarenal
menjadi cedera ginjal intrinsik tidak terjadi secara tiba-tiba, dan
terdapat beberapa mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
fungsi ginjal ketika hemodinamik ginjal tidak optimal (Andreoli,
2009).
Cedera prarenal terjadi akibat hipoperfusi ginjal karena
kontraksi volume yang disebabkan oleh perdarahan, dehidrasi,
penyakit adrenal, diabetes insipidus, luka bakar, sepsis, sindrom
nefrotik, jaringan trauma, dan sindrom kebocoran kapiler. Penurunan
volume darah terjadi ketika volume darah sebenarnya normal atau
meningkat, tetapi perfusi ginjal menurun karena penyakit seperti
gagal jantung kongestif, tamponade jantung, dan sindrom
hepatorenal. Apapun penyebabnya, dengan mengkoreksi gangguan
yang mendasari akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal
(Andreoli, 2009). Berbagai penyebab AKI prarenal pada anak
ditampilkan pada gambar 2.4.
Angka kejadian AKI pada infeksi malaria falsiparum masih
sangat tinggi pada Asia Tenggara dan India. Mekanisme pasti dari
keterlibatan ginjal belum sepenuhnya diketahui, namun beberapa
hipotesis diajukan, yaitu obstruksi mekanik oleh eritrosit yang
terinfeksi, kerusakan glomerulus yang dimediasi sistem imun,
kehilangan cairan, rendahnya intake oral, dan perubahan
mikrosirkulasi ginjal (Prasad&Mishra, 2015).

Gambar 2.4. Etiologi AKI prerenal pada anak (Selewski & Symons,
2014).
b. Intrinsik (Renal)

Gambar 2.5. Etiologi intrinsik (renal) AKI pada anak (Selewski & Symons,
2014)

c. Pascarenal
AKI pascarenal dihasilkan dari proses obstruksi yang
menutupi aliran urin. Obstruksi traktus urinarius yang didapat
biasanya karena pengaruh massa lokal, kalkulus ginjal, atau
sumbatan dalam kandung kemih. Obstruksi saluran kemih dapat
menyebabkan cedera ginjal akut jika obstruksi terjadi pada ginjal
soliter, jika melibatkan ureter secara bilateral, atau jika ada
obstruksi uretra. Obstruksi dapat terjadi akibat malformasi
kongenital seperti katup uretra posterior, obstruksi persimpangan
ureteropelvis bilateral, atau ureterokel obstruktif bilateral.
Obstruksi saluran kemih yang didapat dapat terjadi akibat
keluarnya batu ginjal atau, yang jarang terjadi, dari tumor. Penting
untuk mengevaluasi obstruksi, karena manajemen harus segera
dilakukan untuk mengatasi obstruksi (Andreoli, 2009).

Gambar 2.6 Etiologi AKI

2. Faktor Resiko
Disfungsi organ multipel merupakan salah satu penyebab AKI.
Ginjal seringkali menjadi korban dari masalah yang timbul karena
disfungsi pada jantung, paru dan hepar. Pasien dengan Sinusoidal
Obstruction Syndome (SOS) menjadi salah satu faktor resiko tertinggi
dalam perkembangan AKI, namun masih sedikit studi mengenai AKI
pada SOS ini (Humphreys, 2004).
Gagal jantung menjadi penyebab kedua tersering yang
dihubungkan dengan gangguan fungsi ginjal pada anak. Penyakit jantung
akut yang dihubungkan dengan AKI, atau disebut dengan Cardiorenal
Syndrome (CRS) tipe I, merupakan keadaan akut di mana gangguan
fungsi utama berasal dari jandung dan menyebabkan efek sekunder pada
ginjal. Insidensi AKI yang disebabkan karena operasi jantung pada anak
bervariasi mulai dari 11-80% (Kumar et al., 2016) . Secara umum, pasien
yang memiliki peningkatan resiko untuk berkembang menjadi AKI
disebabkan oleh efek sekunder dari cardiac output rendah dan beberapa
mekanisme cedera pada teknik bedah. (Web & Goldstein, 2016).
Pengaturan keseimbangan cairan menjadi mekanisme patogenik
yang berpengaruh dalam perkembangan AKI pada anak dengan atau
tanpa penyakit jantung kongenital. Kelebihan cairan pada pasien dengan
penyakit jantung yang disebabkan karena diuresis yang tidak adekuat
mapupun resusitasi cairan, telah seringkali dihubungkan dengan keluaran
yang buruk dan disfungsi renal (Web & Goldstein, 2016).
KDIGO 2012 menyarankan untuk menganalisis resiko penyebab
dari AKI berdasarkan resiko paparan dan kerentanan pada pasien yang
akan dirawat di rumah sakit, berikut dijelaskan pada gambar 2.7

Gambar 2.7. Faktor Resiko AKI (KDIGO, 2012)

Pada neonatus, paparan maternal dan kejadian fase perinatal dapat


mengantarkan pada kondisi AKI neonatal. Sebagai contoh, paparan
maternal yang berasal dari konsumsi OAINS, bayi lahir dari ibu dengan
diabetes, hipertensi, atau preeklamsia. Faktor resiko perinatal
dihubungkan dengan perkembangan AKI termasuk bayi berat lahir
ekstrem rendah (BBLER), skor APGAR rendah, intubasi, dan asistol
(Lee et al., 2017). Bayi yang lahir dengan Intra Uterine Growth
Restriction (IUGR), bayi berat lahir rendah, dan kelahiran prematur
memliki resiko tinggi terjadinya AKI. Kondisi bayi tersebut dipengaruhi
oleh faktor resiko gestasi maternal, yang secara lengkap ditampilkan
pada gambar 2.7 (Perico et al., 2018).

Gambar 2.7 Faktor resiko maternal perinatal terhadap AKI (Perico et al.,
2018)

Kondisi lainnya seperti sepsis dan medikasi nefrotoksik yang


ditampilkan lebih lengkap pada gambar 2.8. Sepsis menjadi penyebab
bermakna pada morbiditas dan mortalitas AKI melalui mekanisme
sistemik inflamasi sehingga terjadi hipotensi dan melalui efek perusakan
langsung terhadap mikrovaskuler ginjal (Selewski et al., 2015).

Gambar 2.8 Faktor resiko terjadinya AKI pada neonatus (Selewski et al., 2015).

F. Patofisiologi
AKI memiliki patofisiologi kompleks dan multifaktorial. Penyebab
paling umum adalah adanya iskemik dengan sejumlah penyebab yang
mendasari. Adaptasi fisiologis sebagai respon dari pengurangan aliran darah
dapat mengkompensasi pada derajat tertentu, namun ketika penyampaian
oksigen dan substrat metabolik menjadi tidak adekuat, akan menghasilkan
cedera seluler yang dapat menjadi disfungsi organ.
Ginjal adalah organ yang memiliki kerentanan tinggi terhadap cedera
yang dihubungkakn dengan iskemia, sehingga menyebabkan vasikonstriksi
cedera endotel, dan aktivasi proses inflamasi (Bonventre, 2007). Adanya
iskemia akan diikuti dengan berkurangnya perfusi efektif, sel epitel menjadi
tidak mampu untuk mempertahankan ATP intraseluler yang adekuat untuk
metabolisme sel. Deplesi ATP akan menyebabkan cedera sel, apabila pada
keadaan parah dapat menyebabkan kematian sel melalui nekrosis atau
apoptosis. Pada keadaan iskemik, bagian tubulus ginjal akan mengalami
cedera yang paling berat. Fungsi alamiah nefron akan terganggu sebagai
penyaring dan penyerap kembali substansi dari lumen tubulus, sehingga
konsentrasi suatu substrat akan mencapai level toksik bagi sel epitel di
sekitarnya. (Sharfuddin & Molitoris, 2011).
a. Pre Renal AKI
Prerenal AKI disebabkan oleh menurunnya aliran darah ginjal,
yang dapat menuju keadaan hipoperfusi. Patofisiologi keadaan tersebut
dapat dikarenakan adanya penurunan volume sirkulasi yang efektif,
hilangnya tonus vaskular, atau menurunnya cardiac output atau aliran
darah ke ginjal. Kerusakan pada ginjal, kerusakan pada saluran
gastrointestinal, atau perdarahan dapat menyebabkan reduksi secara
langsung pada volume dan penurunan perfusi ginjal. Redistribusi cairan
dapat terjadi karena penurunan tekanan onkotik dalam darah
(hipoalbuminemia dari penyakit hepar, sindrom nefrotik, atau protein
losing enteropathy) atau peningkatan kebocoran pembuluh darah
(systemic inflammatory response syndrome atau sepsis), dapat menuju ke
keadaan perfusi ginjal yang suboptimal.
Walaupun sepsis adalah faktor predisposisi atau penyebab yang
paling umum terjadinya AKI, AKI dengan penyebab apapun juga
dihubungkan dengan resiko tinggi terjadinya sepsis. Mekanisme sepsis
yang dapat menyebabkan cedera organ melalui 3 mekanisme: inflamasi,
disfungis mikrosirkulasi, dan reprogram metabolik (Peerapornratana et
al., 2019). Selama sepsis, mediator inflamasi termasuk molekul patogen
dilepaskan ke dalam kompartemen intravaskular. Molekul ini akan terikat
dengan reseptor membran Toll-like receptor, khususnya TLR2 dan
TLR4. Ketika terpapa damage- atau pathogen-associated molecular
pattern (DAMP atau PAMP) yang difiltrasi melalui glomerulus atau
melalui kapiler peritubuler, sel epitel tubuler proksimal akan
meningkatkan stres oksidatif, memproduksi reactive oxygen species
(ROS), dan cedera mitokondria. Sel epitel tubulus juga dapat
menginisiasi sinyal parakrin, yang akan memberi sinyal ke sel di
sekitarnya untuk deaktivasi dalam upaya untuk meminimalisir kematian
sel dengan mengorbankan fungsinya (Lerolle et al., 2010).

Gambar 2.9 Perubahan mikrosirkulasi dan inflamasi terkait S-AKI


(Peerapornratana et al., 2019)

Vasodilatasi sistemik atau tonus vaskuler yang buruk dapat


memperparah morbiditas pada anak yang sedang sakit kritis dan mungkin
dapat menyebabkan hipoperfusi pada ginjal. Pada akhirnya, mungkin
terdapat penuruna aliran darah menuju ginjal karena penurunan cardiac
output (dengan penyakit jantung yang mendasarinya atau miokarditis)
atau peningkatan resistensi pembuluh darah (sindrom kompartemen
abdominal atau stenosis arteri renalis). Secara praktis, anak yang
sebelumnya dalam keasaan sehat sering menunjukkan penurunan volume
sirkulasi secara efektif dikarenakan penyebab tunggal, sedangkan anak
dengan penyakit kronis atau dalam perawatan di rumah sakit mungkin
memiliki proses multifaktorial.
Telah disebutkan sebelumya, rendahnya aliran darah ginjal akan
memicu mekanisme kompensasi, termasuk peningkatan tonus simpatis,
aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA), pelepasan hormon
antidiuretik, dan aktivitas parakrin lokal (pelepasan prostaglandin). Pada
fase prerenal, arteriol aferen mengalami vasodilatasi dikarenakan efek
lokal prostaglandin dalam usahanya untuk mempertahankan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus. Oleh karena itu, obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) seperti ibuprofen, pada anak dengan deplesi volume
akan memperburuk AKI dengan mencegah mekanisme kompensasi dari
vasodilatasi arteriol aferen. Pada watu yang sama, angiotensin II
menyebabkan konstriksi arteriol eferen. Interupsi dari mekanisme
kompensasi oleh angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE-I)
menjadi fakror predisposisi terjadinya AKI prerenal. Efek dari aktivasi
sistem RAA dan pelepasan hormon antidiuretik menghasilkan
peningkatan reabsorbsi sodium, urea, dan air yang mengarahkan keadaan
oliguria dan penemuan karakteristik urin pada AKI prerenal.
Neonatus adalah kelompok khusus ketika membahas AKI prerenal.
Neonatus memiliki peningkatan kehilangan cairan yang tidak disadari
karena luasnya body surface area dibandingkan rasio massa, yang mana
dapat diperburuk dengan penggunaan radiant warmers pada bayi baru
lahir dengan sakit kritis. Neonatus memiliki resiko lebih tinggi
mengalami AKI prerenal dikarenakan mekanisme kompensasi yang
imatur, termasuk kemampuan mengkonsentrasikan urin. Ketidakampuan
ini menjelaskan mengapa AKI pada neonatus lebih sering non-oligurik,
sehingga lebih sulit untuk mengenalinya.
Pasien dengan penyakit sickle cell memiliki faktor resiko AKI
prerenal karena sejumlah mekanisme yang melekat pada penyakit yang
berefek pada ginjal. Medulla renal mempresentasikan sebuah area dari
ginjal yang beresiko pada penyakit sickle cell karena rendahnya
konsentrasi oksigen dan tingginya tonisitas. Berulangnya episode
sickling pada medullla renalis menghasilkan kongesti vaskuler dan
hilangnya vasa recta pada nefron juxtaglomerular, yang dapat memicu
fibrosis intersisial kronik dan gangguan pada konsentrasi urin.
b. AKI Intrinsik (Renal)
AKI intrinsik mengacu pada kerusakan atau disfungsi parenkim
ginjal. Kategori termasuk AKI yang dihubungkan dengan kerusakan
tubular, intersisial, glomerular, atau vaskular dan paparan nefrotoksin.
Penyebab AKI intrinsik yang paling umum pada pusat kesehatan tersier
adalah transformasi AKI pre renal menjadi Acute Tubular Necrosis
(ATN) setelah adanya hipoperfusi berkepanjangan. Daerah pada ginjal
yang paling rentan terhadap kerusakan karena hipoperfusi ginjal
berkepanjangan yaitu segmen ketiga dari tubulus proksimal dan regio
lengkung henle asenden bagian tebal. Kerusakan yang terlihat dari
hipoperfufsi berkepanjangan dapat bervariasi dari kerusakan tubulus
ringan hingga kematian sel. Sebagaimana nekrosis sel terjaid, debris
akan berada pada tubulus dan selanjutnya akan menghambat aliran
tubulus. Disfungsi dari tubulus inilah sebagai ciri khas yang sering pada
ATN.
Pada anak yang sehat sebelumnya, lebih seing ditemukan
glomerular dan vaskular sebagai penyebab AKI intrinsik. Nefritis akut
intersisial terjadi setelah paparan agen tertentu seperti medikasi termasuk
antibiotik, proton pump inhibitor, OAINS, dan diuretik. Tanda dan gejala
mungkin berkembang 3-5 hari setelah paparan kedua dalam hitungan
minggu atau bulan setelah paparan pertama. Obat dapat menyebabkan
AKI melalui mekanisme yang beda dengan nefritis intersisial akut.
Paparan nefrotoksin secara meningkat sebagai penyebab paling banyak
terjadinya AKI intrinsik, khususnya pada pasien yang dirawat di rumah
sakit. Seperti disebutkan sebelumnya, obat-obatan seperti OAINS dan
ACE-I dapat berkontribusi untuk menjadi AKI melalui inhibisi
autoregulasi ginjal. Obat obatan lain yaitu termasuk aminoglikosida,
amfoterisin, agen kemoterapi (cisplatin, ifosfamide, dan methotrexate),
dan calcineurin inhibitor (siklosporin dan takrolimus) (Yaseen et al.,
2017). Agen radiokontras juga sebagai penyebab yang berpengaruh
bermakna sebagai agen nefrotoksik penyebab AKI. Hemolisis atau
rhabdomyolisis, elemen endogen seperti myoglobin dan hemoglobin,
dapat menyumbat tubulus dan atau menyebabkan efek toksik secara
langsung pada ginjal.
c. AKI Pasca Renal
AKI pasca renal terjadi setelah obstruksi akut pada aliran urin yang
mana terjadi peningkatan tekanan intra tubular dan penurunan GFR
(Basile et al., 2012). Obstruksi saluran kemih akut dapat menyebabkan
gangguan aliran darah ginjal dan memicu proses inflamasi yang
menyebbakan terganggunya GFR (Hegarty et al., 2001). AKI pasca
renal dapat berkembang karena obstruksi pada semua bagian dalam
sistem saluran kemih (dari tubulus renalis hingga uretra). Obstruksi di
atas kandung kemih harus melibatkan kedua ginjal (atau satu ginjal pada
pasien yang memiliki 1 ginjal fungsional) untuk menimbulkan gangguan
ginjal yang bermakna (Dager&Hallilovic, 2011).

G. Manifestasi Klinis
Secara klinis, yang dapat diamati dari penderita sesuai dengan penyakit yang
mendasari, namun pada kasus yang sering ditemukan, manifestasi klinis
muncul seperti pada gambar 2.10
Gambar 2.10 Karakteristik klinis AKI pada anak ( Tresa et al., 2016; Esezobor, 2014)
H. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis, pasien dapat datang dengan keluhan lemah, pucat,
sakit kepala, edema. Dapat disertai produksi urin berkurang atau tidak
ada sama sekali, urin berwarna merah, kejang, atau sesak nafas (IDAI,
2009).
Anamnesis riwayat akan memberikan gambaran terkait penyebab
maupun faktor resiko terhadap AKI prerenal, termasuk berkurangnya
volume sirkulasi (gastroenteritis atau perdarahan), redistribusi volume
sirkulasi (edema, sindrom nefrotik, dan sepsis), penurunan curah jantung
(penyakit jantung), atau peningkatan resistensi aliran darah (sindrom
kompartemen abdomen dan stenosis arteri renalis). Pada anak yang
sebelumnya sehat, dapat ditelusuri kemungkinan penyebab AKI intrinsik,
seperti riwayat infeksi virus atau gangguan tenggorokan (berhubungan
dengan glomerulonefritis akut), kemerahan atau rash, pembengkakan
sendi (berhubungan dengan gangguan sistemik seperti lupus), hematuria,
paparan medikasi. Selain itu juga wajib ditelusuri Riwayat pemakaian
obat-obatan termasuk obat herbal, Riwayat terkena malaria, gigitan
hewan dan Riwayat penyakit lainnya. Pada bayi baru lahir curiga adanya
obstruksi, maka riwayat prenatal menjadi sangat penting. Sebagai contoh,
abnormalitas ultrasonografi fetal, yang berkaitan dengan pembesaran
ginjal, hidronefrosis, atau penurunan cairan amnion.
Pada pemeriksaan fisik, dapat didapatkan pernapasan kussmaul,
edema, dan hipertensi. Tanda overload cairan lain seperti edema paru,
gagal jantung, ensefalopati hipertensi, dan perdarahan saluran cerna.
Penurunan kesadaran juga dapat ditemukan (IDAI, 2009)

2. Pemeriksaan Penunjang
Penghitungan keluaran urin selama beberapa hari mungkin dapat
memberikan gambaran mengenai penyebab dan keparahan dari episode
AKI dan dapat dikategorikan sebagai keadan oligurik (<1mL/kgBB/jam)
atau non oligurik. Evaluasi sistematik terkait potensi penyebab AKI
prerenal, intrinsik, dan pascarenal merupakan kunci untuk menegakkan
diagnosis asal mula dari AKI.
Sebagai bagian dari evaluasi awal dari AKI, pasien harus dilakukan
pemeriksaan elektrolit, pengukuran serum kreatinin, urinalisis,
pengukuran sodium urin, pengukuran urea urin, pengukuran kreatinin
urin, dan pemeriksaan radiografi serta ultrasonografi ginjal. Pada
pemeriksaan penunjang, pada urinalisis, dapat ditemukan proteinuria,
hematuria, dan leukosituria. Osmolalitas urin <400 mOsm/L, berat jenis
urin <1,020, natrium urin >20 meq/L, serta FeNa >1% menunjukkan
adanya AKI renal. Pada pemeriksaan darah tepi, dapat ditemukan
anemia, trombositopenia, dan tanda hemolitik. Kadar ureum dan
kreatinin serum meningkat, analisis gas darah menunjukkan asidosis
metabolik dengan anion gap yang meningkat, pemeriksaan elektrolit
dapat menunjukkan hipo.hipernatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan
hiperfosfatemia. Foto toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya edema
paru. Ultrasonografi ginjal dan saluran kemih dan atau foto polos
abdomen untuk mendeteksi penyakit primer (IDAI, 2009)
Kriteria diagnosis AKI yang digunakan saat ini yaitu mengacu pada
kriteria KDIGO, yaitu berdasarkan perubahan kreatinin serum dan
penurunan volume/keluaran urin. Dalam perkembangannya, kreatinin
serum adalah biomarker yang kurang adekuat terhadap AKI karena
keterlambatan peningkatannya. Peningkatan kreatinin serum terjadi pada
48 jam setelah adanya cedera ginjal dan mungkin menggambarkan
kejadian yang terjadi 2 hingga 3 hari lebih awal. Kreatinin serum adalah
penanda fungsional dari laju filtrasi ginjal, yang baru terdeteksi
meningkat ketika telah terjadi kerusakan luas pada kapasitas. Kreatinin
serum juga dipengaruhi oleh faktor non renal seperti massa otot, diet,
medikasi dan sekresi tubular. Kelemahan lainnya, bahwa kreatinin tidak
dapat untuk membedakan antara perubahan fungsional dan kerusakan
struktural (Jetton et al., 2016).
Keterlambatan dalam mendiagnosis AKI pada pasien sakit kritis akan
meningkatan morbiditas dan mortalitas, pemanjangan lama perawatan,
dan biaya. Terdapat beberapa biomarker terkait dengan kerusakan
struktural ginjal yang dapat mendeteksi terjadinya AKI lebih dini. (Gorga
et al., 2018). Pada gambar 2.8 dijelaskan secara skematis terkait penanda
gangguan fungsional maupun structural yang terjadi pada AKI.
Selain itu, beberapa biomarker structural ginjal diantaranya adalah
neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL), cystatin C, Kidney
Injury Molecule-1 (KIM-1), interleukin-18 (IL-18), dan liver-type fatty
acid binding protein (L-FABP) ) (Hunt&Fergusson, 2018). Tiap
biomarker tersebut telah menunjukkan peningkatan pada 2-12 jam
setelah terjadinya cedera pada ginjal. Biomarker tersebut masih dalam
studi lebih lanjut dan membutuhkan validasi sebelum digunakan secara
luas (Jean&Devarajan, 2019).
NGAL akan meningkat segera pada trauma yang terjadi pada sel
tubulus yang dipicu oleh keadaan sepsis. NGAL dapat memprediksi
kematian atau dialysis pada pasien yang dating ke instalasi gawat darurat.
Peningkatan NGAL >104 ng/mL dan kreatinin serum >1.4 mg/dL
menunjukkan 15% angka kematian atau dialysis selama perawatan di
rumah sakit. Peningkatan salah satunya menunjukkan peningkatan 5%
insidensi kematian dan dialysis (Nickolas et al., 2012).
Gambar 2.11 Lokasi asal biomarker struktural pada AKI (Schrezenmier et al., 2019).

Gambar 2.12. Biomarker structural dan fungsional pada AKI


(Jean&Devarajan, 2019)

I. Identifikasi Faktor Resiko AKI


Meskipun biomarker sudah tidak diragukan lagi, sangat penting untuk
melakukan stratifikasi resiko pada pasien untuk mengoptimalkan adanya
biomarker. Upaya pertama untuk melakukan stratifikasi resiko sistematis
pada pasien anak yang menderita sakit kritis terwujud dalam bentuk Renal
Angina Index (RAI) (Gorga et al., 2018).
RAI menghasilkan startifikasi pasien menjadi resiko sedang, resiko
tinggi, dan resiko sangat tinggi. Nilai RAI didapatkan dari perkalian skor
karakteristik pasien dengan skor yang berasal dari kategori berdasarkan CrCl
dan persen kelebihan cairan yang dapat dilihat pada gambar 2.9. Skor RAI ≥
8 didefinisikan sebagai positif renal angina. Penilaian RAI pada 8 jam
pertama dirawat di PICU, akan dapat memprediksi AKI berat (derajat 2 atau
3) pada 72 jam setelah dirawat di PICU.

Gambar 2.13 Renal Angina Index (Gorga et al., 2018).

Selain RAI, dapat digunakan Furosemide Stress Test (FST) sebagai uji
fungsional untuk membantu memprediksi progress pasien menjadi AKI berat
dan konsekuensi dilakukannya Renal Replacement Therapy (RRT). Caranya
dengan pemberian Furosemid 1.5 atau 1 mg/kgBB dkemudian memonitor
keluaran urin selama 6 jam setelahnya. Pasien yang mungkin mengalami
progress menjadi AKI derajat 3 memiliki urin output rendah secara signifikan
mengikuti pemberian furosemide (Chawla et al., 2013).

J. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana AKI pada anak adalah pencegahan. Pada pasien rawat
jalan maupun rawat inap harus bisa dilakukan identifikasi faktor resiko
berkembangnya AKI. Pada pasien rawat jalan harus dipastikan hidrasi yang
adekuat dan berhati hati terhadap penggunaan obat yang meningkatkan resiko
AKI. Pada pasien rawat inap, perlu juga diperhatikan terkait volume harian,
medikasi nefrotoksik, atau paparan nefrotoksik.
1. Manajemen Cairan dan Elektrolit
Pasien yang memperlihatkan adanya oliguria, hipotensi, atau
ketidakstabilann dalam mempertahankan keseimbangan cairan, dapat
dilakukan terapi inisial. Cairan isotonis 20 ml/kgbb IV bolus dapat
diberikan secara cepat (sesuai tatalaksana algoritma syok). Aoabila pasien
memiliki penyakit dasar jantung, bolus cairan dapat diberikan 10 ml/kgbb.
Penggunaan cairan resusitasi dengan normal saline 0.9% dibandingkan
dengan kristaloid seperti Ringer Lactat, akan meningkatkan resiko asidosis
metabolic pada pasien AKI dengan sepsi (Romanovsky 2013).
2. Menghentikan dan menhindari agen nefrotoksik
3. Medikasi
Saat ini diuretik dan dopamin sering digunakan untuk mencegah atau
membatasi terjadinya AKI. Terdapat beberapa penelitian menggunakan
manitol, diuretik, dan dopamin untuk penanganan AKI. Pemantauan
pengeluaran urin membantu dalam penanganan dari AKI, namun perubahan
dari oliguria menjadi non-oliguria AKI hanya berpengaruh sedikit dalam
penanganan gagal ginjal. Furosemid dapat meningkatkan jumlah aliran urin
melalui penurunan obstruksi intratubular dan akan menghambat Na-K
ATPase, yang akan membatasi penggunaan oksigen pada kerusakan tubulus
(Andreoli, 2009). Furosemid yang dapat digunakan yaitu 1 mg/kg IV bolus 1-
2 menit dengan onset 5-30 menit. Jika terjadi kondisi asidosis metabolik
dapat digunakan Natrium bikarbonat 1-2 meq/kg/dosis IV bolus 2-5 menit
dapat diulang 5-10 menit (Daly&Farrington, 2013).
Penggunaan dari renal-dose dopamin (0.5 µg/kg/menit sampai 3-5
µg/kg/menit) untuk memperbaiki perfusi ginjal pada keadaan iskemia
dilakukan di unit perawatan intensif. Dopamin dapat meningkatkan aliran
darah ginjal melalui peningkatan vasodilatasi dan dapat memperbaiki
produksi urin melalui peningkatan natriuresis. Terdapat penelitian terkini
yang menyatakan bahwa dosis rendah dopamin efektif dalam menurunkan
kebutuhan dilaisis pada pasien dengan AKI (Andreoli, 2009)

4. Renal Replacement Therapy (RRT)


Terapi dialisis Indikasi dialisis pada anak dengan AKI : 1. Kadar
ureum darah > 200 mg%. Hiperkalemia > 7.4 mEq/L. Bikarbonas serum <
12 mEq/L. Adanya gejala-gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi
jantung dan hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan,
kesadaran menurun sampai koma (Esezobor , 2014)
5. Nutrisi
Dapat diberikan protein 1.5 mg/kg/hari dengan asupan secara enteral
diutamakan (Roy&Devarajan, 2019). Suplementasi yang direkomendasikan
adalah folat, Vit B12, piridoksin, tiamin, dan riboflavin (Duggan et al., 2016).

K. Komplikasi
AKI akan menyebabkan disfungi organ multipel terhadap paru, jantung,
hepar, usus halus, dan otak melalui mekanisme pro inflamasi yang meibatkan
migrasi neutrofil, ekspresi sitokin dan peningkatan stres oksidatif. Pada
gambar 2.14 merupakan mekanisme skematik cedera organ distal yang
disebabkan oleh AKI (Makris&Spanou, 2016).

Gambar 2.14. Komplikasi AKI (Makris&Spanou, 2016).


L. Prognosis
Prognosis AKI sangat bergantung pada etiologi penyebab yang
mendasari AKI. Anak-anak yang menderita AKI sebagai komponen dari
kegagalan multisistem memiliki tingkat mortalitas yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan anak dengan penyakit renal intrinsik seperti HUS
(Hemolytic Uremic Syndrome), RPGN (Rapidly Progressive
Glomerulonephiritis), dan AIN (Acute Interstitial Nephritis). Pemulihan dari
penyakit renal intrinsik juga sangat bergantung pada etiologi yang mendasari
AKI. Anak-anak dengan AKI nefrotoksik dan AKI hipoksik / iskemik
biasanya terjadi pemulihan fungsi ginjal ke normal. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa AKI nefrotoksik dan AKI hipoksik / iskemik dapat
menyebabkan perubahan fisiologis dan morfologis pada ginjal yang dapat
menyebabkan penyakit ginjal di kemudian hari. Dengan demikian, anak-anak
dengan riwayat AKI dari penyebab apa pun perlu pemantauan jangka Panjang
(Andreoli, 2009).
Pada studi lanjutan terhadap anak yang dirawat di ruang intensif di
Kanada, 46.8% telah diidentifikasi memiliki resiko terjadinya Chronic
Kidney Disease (CKD) pada anak yang mengalami episode AKI dalam waktu
1-3 tahun setelahnya (McCaffrey et al., 2016). Penyebab kematian terbanyak
pada negara berkembang yaitu sepsis (Esozobor, 2014)

III. KESIMPULAN
1. Acute Kidney Injury (AKI) dideskripsikan sebagai terganggunya struktur dan
atau fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan gangguan pada
keseimbangan cairan, elektrolit, dan produk-produk sisa yang akan dibuang,
yang ditandai dengan perubahan serum kreatinin dan penurunan keluaran urin.
2. Definisi dan kriteria diagnosis yang digunakan secara luas saat ini
menggunakan kriteria KDIGO untuk anak
3. Angka kejadian AKI pada anak masih tinggi terutama pada anak yang dirawat
di rumah sakit dengan etiologi pre renal, intrinsic (renal), maupun pasca renal
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada AKI berat (derajat 2
dan 3).
4. Penegakkan diagnosis harus dilakukan multisistem untuk mengetahui penyakit
yang mendasari terjadinya AKI, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
hingga pemeriksaan penunjang. Saat ini pengembangan biomarker terbaru
yang lebih spesifik dan lebih cepat dibandingkan serum kreatinin telah banyak
digunakan, seperti NGAL, KIM-1, IL-8, Cystatin C, dan L-FAPB. Deteksi
dini perkembangan AKI menjadi berat dapat digunakan skoring Renal Angina
Index
5. Prinsip tatalaksana adalah mencaga kestabilan untuk mencegah perburukan
dengan manajemen cairan dan elektrolit, medikasi, atau terapi RRT, serta
mengatasi penyakit yang mendasari,

DAFTAR PUSTAKA

Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatric nephrology. 2009 Feb
1;24(2):253.
Basile DP, Anderson MD, Sutton TA. Pathophysiology of acute kidney injury.
Compr Physiol. 2012;2:1303–53.
Bernardo, E. O., Cruz, A. T., Buffone, G. J., Devaraj, S., Loftis, L. L., & Arikan,
A. A. (2018). Community‐acquired Acute Kidney Injury Among Children
Seen in the Pediatric Emergency Department. Academic Emergency
Medicine, 25(7), 758–768. doi:10.1111/acem.13421 
Bonventre JV. Pathophysiology of acute kidney injury: roles of potential
inhibitors of inflammation. Contrib Nephrol. 2007;156:39–46.
Chawla LS, Davison DL, Brasha-Mitchell E, Koyner JL, Arthur JM, Shaw AD, et
al. Development and standardization of a furosemide stress test to predict
the severity of acute kidney injury. Crit Care. 2013;17:R207.
Ciccia E, Devarajan P. 2017. Pediatric acute kidney injury: prevalence, impact
and management challenges. International journal of nephrology and
renovascular disease.
Daly, K., & Farrington, E. (2013). Hypokalemia and Hyperkalemia in Infants and
Children: Pathophysiology and Treatment. Journal of Pediatric Health
Care, 27(6), 486–496. doi:10.1016/j.pedhc.2013.08.003
Dager W, Hallilovic J. Acute Kidney Injury. In: DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC,
et al., editors. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th
Edition. New York: McGraw-Hill; 2011. p. 746
Duggan, C., Watkins, J., Koletzko, B. and Walker, W., 2016. Nutrition In
Pediatrics. 5th ed. Boston.
Esezobor, C. I., Ladapo, T. A., & Lesi, F. E. (2014). Clinical Profile and Hospital
Outcome of Children with Severe Acute Kidney Injury in a Developing
Country. Journal of Tropical Pediatrics, 61(1), 54–60.
doi:10.1093/tropej/fmu066 
Fragasso, T., Ricci, Z., & Goldstein, S. L. (2018). Pediatric Acute Kidney Injury.
Acute Kidney Injury - Basic Research and Clinical Practice, 113–126.
doi:10.1159/000484968 
Gorga, S. M., Murphy, H. J., & Selewski, D. T. (2018). An Update on Neonatal
and Pediatric Acute Kidney Injury. Current Pediatrics Reports.
doi:10.1007/s40124-018-0184-5 
Hegarty NJ, Young LS, Kirwan CN, O’Neill AJ, Bouchier-Hayes DM, Sweeney
P, et al. Nitric oxide in unilateral ureteral obstruction: effect on regional
renal blood flow. Kidney Int. 2001;59:1059–65.
Humphreys BD: Renal failure associated with cancer and its treatment: an update.
J Am Soc Nephrol 2004; 16: 151–161.
Hunt, E. A. K., & Ferguson, M. A. (2018). Pediatric Acute Kidney Injury:
Diagnosis, Epidemiology, and Treatment. Core Concepts in Acute
Kidney Injury, 237–246. doi:10.1007/978-1-4939-8628-6_15 
Jetton JG, Selewski DT, et al: Incidence and outcomes of neonatal acute kidney
injury (AWAKEN): a multicentre, multinational, observational cohort
study. Lancet Child Ad-olesc Health 2017; 1: 184–194.
Jetton, J. G., Rhone, E. T., Harer, M. W., Charlton, J. R., & Selewski, D. T.
(2016). Diagnosis and Treatment of Acute Kidney Injury in Pediatrics.
Current Treatment Options in Pediatrics, 2(2), 56–68.
doi:10.1007/s40746-016-0047-7 
Kaddourah, A., Basu, R. K., Bagshaw, S. M., & Goldstein, S. L. (2017).
Epidemiology of Acute Kidney Injury in Critically Ill Children and
Young Adults. New England Journal of Medicine, 376(1), 11–20.
doi:10.1056/nejmoa1611391
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Acute Kidney Injury
Working Group. KDIGO clinical practice guideline for acute kidney
injury. Kidney Int Suppl. 2012;2(1):1–138
Kumar TK, Allen Ccp J, Spentzas Md T, Ber-rios Ccp L, Shah Md S, Joshi Md
VM, Ballweg Md JA, Knott-Craig CJ: Acute kidney injury following
cardiac surgery in neonates and young infants: experience of a single
center using novel perioperative strategies World J Pediatr Congenit Hear
Surg 2016; 7: 460–466.
Lee, C.-C., Chan, O.-W., Lai, M.-Y., Hsu, K.-H., Wu, T.-W., Lim, W.-H., …
Lien, R. (2017). Incidence and outcomes of acute kidney injury in
extremely-low-birth-weight infants. PLOS ONE, 12(11), e0187764.
doi:10.1371/journal.pone.0187764 
Lerolle N, Nochy D, Guerot E, et al. Histopathology of septic shockinduced acute
kidney injury: apoptosis and leukocytic infiltration.Intensive Care Med.
2010;36:471–478.
Makris, K., & Spanou, L. (2016). Acute Kidney Injury: Definition,
Pathophysiology and Clinical Phenotypes. The Clinical biochemist.
Reviews, 37(2), 85–98.
McCaffrey, J., Dhakal, A. K., Milford, D. V., Webb, N. J. A., & Lennon, R.
(2016). Recent developments in the detection and management of acute
kidney injury. Archives of Disease in Childhood, 102(1), 91–96.
doi:10.1136/archdischild-2015-309381
McGregor, T. L., Jones, D. P., Wang, L., Danciu, I., Bridges, B. C., Fleming, G.
M., … Van Driest, S. L. (2016). Acute Kidney Injury Incidence in
Noncritically Ill Hospitalized Children, Adolescents, and Young Adults:
A Retrospective Observational Study. American Journal of Kidney
Diseases, 67(3), 384–390. doi:10.1053/j.ajkd.2015.07.019 
Nickolas, T.L., Schmidt-Ott, K.M., Canetta, P., Forster, C., Singer, E., Sise, M.,
Elger, A., Maarouf, O., Sola-Del Valle, D.A., O’Rourke, M. et al. 2012.
Diagnostic and prognostic stratification in the emergency department
using urinary biomarkers of nephron damage: a multicenter prospective
cohort study. J Am Coll Cardiol 59, 246–255
Peerapornratana, S., Manrique-Caballero, C. L., Gómez, H., & Kellum, J. A.
(2019). Acute kidney injury from sepsis: current concepts, epidemiology,
pathophysiology, prevention and treatment. Kidney International.
doi:10.1016/j.kint.2019.05.026 
Perico, N., Askenazi, D., Cortinovis, M., & Remuzzi, G. (2018). Maternal and
environmental risk factors for neonatal AKI and its long-term
consequences. Nature Reviews Nephrology. doi:10.1038/s41581-018-
0054-y 
Prasad, R., & Mishra, O. P. (2015). Acute Kidney Injury in Children with
Plasmodium falciparum Malaria: Determinants for Mortality. Peritoneal
Dialysis International, 36(2), 213–217. doi:10.3747/pdi.2014.00254 
Rakhmawati, U., Murni, IK., Rusmawatiningtyas., D. 2019. Predictors of
mortality in children with acute kidney injury in intensive care unit.
Paediatrica Indonesiana. Vol. 59, No. 2. doi:
http://dx.doi.org/10.14238/pi59.2.2019.92-7
Ricci Z: Fluid overload after neonatal cardiac sdurgery is bad: keep the bottles on
the shelf, squeeze the patients...or both? Pediatr Crit Care Med 2016; 17:
463–465.
Roy, JP., Devarajan, P. 2019. Acute Kidney Injury: Diagnosis and Management.
The Indian Journal of Pediatrics. https://doi.org/10.1007/s12098-019-
03096-y
Schwartz GJ, Brion LP, Spitzer A. The use of plasma creatinine concentration for
estimating glomerular filtration rate in infants, children, and adolescents.
Pediatr Clin North Am 1987;34:571-90
Selewski DT, Cornell TT, Heung M, et al. Validation of the KDIGO acute kidney
injury criteria in a pediatric critical care population. Intensive Care Med.
2014;40(10):1481–1488
Selewski, D. T., Charlton, J. R., Jetton, J. G., Guillet, R., Mhanna, M. J.,
Askenazi, D. J., & Kent, A. L. (2015). Neonatal Acute Kidney Injury.
PEDIATRICS, 136(2), e463–e473. doi:10.1542/peds.2014-3819 
Sharfuddin AA, Molitoris BA. Pathophysiology of ischemic acute kidney injury.
Nat Rev Nephrol. 2011;7:189–200
Susantitaphong, P., Cruz, D. N., Cerda, J., Abulfaraj, M., Alqahtani, F., …
Koulouridis, I. (2013). World Incidence of AKI: A Meta-Analysis.
Clinical Journal of the American Society of Nephrology, 8(9), 1482–
1493. doi:10.2215/cjn.00710113
Tresa, V., Yaseen, A., Lanewala, A. A., Hashmi, S., Khatri, S., Ali, I., & Mubarak, M.
(2016). Etiology, clinical profile and short-term outcome of acute kidney injury
in children at a tertiary care pediatric nephrology center in Pakistan. Renal
Failure, 39(1), 26–31. doi:10.1080/0886022x.2016.1244074
Triastuti, I., Sujana, IBG. 2017. Acute Kidney Injury. Bagian Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif RSUP Sangral: FK Udayana.
Webb TN, Goldstein SL: Congenital heart surgery and acute kidney injury. Curr
Opin Anaesthesiol 2016; 30: 1.
Yaseen, A., Tresa, V., Lanewala, A. A., Hashmi, S., Ali, I., Khatri, S., &
Mubarak, M. (2017). Acute kidney injury in idiopathic nephrotic
syndrome of childhood is a major risk factor for the development of
chronic kidney disease. Renal Failure, 39(1), 323–327.
doi:10.1080/0886022x.2016.1277743

Anda mungkin juga menyukai