Anda di halaman 1dari 24

Hukum Mengucapkan dan Menjawab

Selamat Natal
Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para
sahabatnya.

Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sudah sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall
dan pusat perbelanjaan menggelar event-event bertemakan natal. Semua itu untuk memeriahkan
hari crismash yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al Masih atau Jesus yang
diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan.

Dalam akidah Islam Isa putera Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta’ala. Dia bukan anak
Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya
bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,

‫حبَ ًة َواَل َولَ ًدا‬


ِ ‫صا‬
َ ‫خ َذ‬ َ ‫َوأَنَّ ُه تَ َعالَى‬
َ َّ‫ج ُّد َرِبِّ َنا َما ات‬
“Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula)
beranak.” (QS. al-Jin: 3)

َ َ‫خل‬
‫ق‬ َ ‫ة َو‬
ٌ َ‫حب‬ َ ‫ُن لَ ُه‬
ِ ‫صا‬ ْ ‫م تَك‬ ُ ‫ض أَنَّى يَك‬
ْ َ‫ُون لَ ُه َولَ ٌد َول‬ ِ ‫ما َواتِ َواأْل َ ْر‬
َ ‫الس‬
َّ ‫يع‬
ُ ‫بَ ِد‬
‫م‬
ٌ ‫ي ٍء َعلِي‬
ْ ‫ش‬َ ‫ُِل‬ِّ ‫ه َو بِك‬
ُ ‫ي ٍء َو‬ ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬ َّ ‫ُك‬
“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai
istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am:
101)

Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh
mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.

‫ما َواتِ َو َما فِي‬ َ ‫الس‬


َّ ‫ي لَ ُه َما فِي‬
ُّ ِ‫ه َو ا ْل َغن‬
ُ ‫حانَ ُه‬ ُ ‫خ َذ اللَّ ُه َولَ ًدا‬
َ ‫س ْب‬ َ َّ‫َقالُوا ات‬
ُ َ‫ه َما اَل تَ ْعل‬
َ‫مون‬ ِ َّ‫ن بِ َهذَا أَتَ ُقولُونَ َعلَى الل‬ ٍ ‫س ْلطَا‬ ُ ‫ن‬ ْ ‫ُم ِم‬
ْ ‫ع ْن َدك‬ ِ ‫ض إِ ْن‬ِ ‫اأْل َ ْر‬
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci
Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah
mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya.
Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.

"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'.
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-
hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena
mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan
Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di
bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS.
Maryam: 88-93)

Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-
Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang
mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi
pecah karenanya.

Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung,
mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut
yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan
peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua
itu:

َ ‫َوالَّ ِذ‬
ْ َ‫ين اَل ي‬
‫ش َه ُدونَ ال ُّزو َر‬
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) Makna al
Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas,
Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.

Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400
tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, menghormati
perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam
ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka
dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang
berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.

Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama
dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan
Doktor.

Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI
Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010),
menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah,
dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah,
non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash
ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits
pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti
di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)

Prof DR HM Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah,
mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.

"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di
hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di
Surabaya (10/10/2005).

Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta,
mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-
perayaan hari raya Natal yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan.

Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan
selamat natal kepada orang kafir.

“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana
kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-
tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah
satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau
karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?

Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir
dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama
mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim
rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:

“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.
Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak
'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan
semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman,
statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya
lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat
membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus
kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang
mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya
berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.

Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana
dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar
kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya.
Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau
mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa
ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,

ْ َ‫ضى لِ ِعبَا ِد ِه ا ْل ُك ْف َر َوإِ ْن ت‬


‫شك ُُروا‬ َ ‫ُم َواَل يَ ْر‬
ْ ‫ي َع ْنك‬ َّ ‫إِ ْن تَ ْك ُف ُروا َف ِإ‬
ٌّ ‫ن اللَّ َه غَ ِن‬
ْ ‫ض ُه لَك‬
‫ُم‬ َ ‫يَ ْر‬
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu
kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)

ُ ‫يت لَك‬
‫ُم‬ ُ ‫ض‬ِ ‫متِي َو َر‬ ْ ‫ت َعلَ ْيك‬
َ ‫ُم نِ ْع‬ ُ ‫م‬ َ ‫ُم َوأَ ْت‬
ْ ‫م‬ ْ ‫ت لَك‬
ْ ‫ُم ِدي َنك‬ ُ ‫م ْل‬ َ ‫م أَ ْك‬
َ ‫ا ْليَ ْو‬
‫م ِدي ًنا‬ َ ‫ساَل‬ ْ ِ ‫اإْل‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan
mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di
dalamnya ataupun tidak.”

Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan
kesepakatan.

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak
menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut,
baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya
itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang
agama Islam,

‫ن‬ ِ َ ‫ه َو فِي اآْل‬


َ ‫خ َر ِة ِم‬ ُ ‫ل ِم ْن ُه َو‬ ْ َ‫ساَل ِم ِدي ًنا َفل‬
َ َ‫ن ُي ْقب‬ ْ ِ ‫ن يَ ْب َتغِ غَ ْي َر اإْل‬
ْ ‫َو َم‬
‫ين‬
َ ‫س ِر‬ ِ ‫خا‬ َ ‫ا ْل‬
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran:
85).

Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar
dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan
mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan
mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan
permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam,
ْ ‫شبَّ َه بِ َق ْو ٍم َف ُه َو ِم ْن ُه‬
‫م‬ َ َ‫ن ت‬
ْ ‫َم‬
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud
dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim
Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik
mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil
mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan
kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.

Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya
sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan
tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan
teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh
Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com) [PurWD/voa-islam.com]

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2011/12/25/12415/hukum-mengucapkan-


dan-menjawab-selamat-natal/#sthash.lOxXiXqq.dpuf
Tanggapan Kyai NU Jawa Timur Soal
Hukum Ucapkan Selamat Natal
JEMBER (voa-islam.com) - Semoga masih belum terlambat demi menyampaikan sebuah
kebenaran, kami menilai perlunya penjelasan KH.Muhammad Idrus Ramli (Pengus Lajnah wan
Nasyr PWNU Jawa Timur & Sekertaris LBM NU Jember) soal ucapan selamat natal

HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL

Oleh : KH.Muhammad Idrus Ramli

(Pengus Lajnah wan Nasyr PWNU Jawa Timur & Sekertaris LBM NU Jember)

Sebelum menjelaskan hukum ucapan selamat natal, ada beberapa pertimbangan yang perlu
dipikirkan; 

Pertama, ucapan selamat biasanya diucapkan ketika seseorang bersuka cita atau menerima
kesenangan yang dibenarkan dalam agama seperti ketika hari raya idul fitri, kelahiran anak,
pernikahan dan lain-lain. Hal ini seperti kita baca dalam kitab Wushul al-Amani fi Ushul al-
Tahani, karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, dalam himpunan kitabnya al-Hawi lil-Fatawi juz
1.

Kedua, ucapan selamat juga diucapkan ketika seseorang bersuka cita karena menerima
kenikmatan atau terhindar dari malapetaka, seperti dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Aqalani dalam kitabnya, Juz’ fi al-Tahni’ah bil-A’yad.

Dalam konteks ini beliau berkata:

‫ﻳﺴﺘﺪﻝ ﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﻟﻤﺎ ﻳﺤﺪﺙ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻌﻢ ﺍﻭ ﻳﻨﺪﻓﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻘﻢ ﺳﺠﻮﺩ ﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ‬
‫ ﺟﺰﺀ ﻓﻲ‬،‫ )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ‬. ‫ﺑﻪﻭﻫﻮ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﺰﻳﺔ ﻟﻤﻦ ﺃﺻﻴﺐ ﺑﺎﻹﺧﻮﺍﻥ‬
46 ‫ ﺹ‬،‫) ﺍﻟﺘﻬﺌﺔﻓﻲ ﺍﻷﻋﻴﺎﺩ‬

“Keumuman ucapan selamat terhadap kenikmatan yang terjadi atau malapetaka yang terhindar
menjadi dalil sujud syukur bagi orang yang berpendapat demikian, yaitu mayoritas ulama dan
dianjurkannya bertakziyah bai orang-orang yang ditimpa malapetaka.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar,
Juz’ fi al-Tahni’ah fil-‘Id, hal. 46).

Ketiga, para ulama menganggap hari raya non Muslim, bukan termasuk hari raya yang baik dan
mendatangkan kebaikan bagi umat Islam. Dalam konteks ini al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi
berkata dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘anin al-Ibtida’ sebagai berikut:
‫ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﻣﺸﺎﺑﻬﺔ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺃﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﻣﻮﺍﺳﻤﻬﻢ ﺍﻟﻤﻠﻌﻮﻧﺔ‬
‫ﻛﻤﺎﻳﻔﻌﻠﻪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻣﺸﺎﺭﻛﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﺘﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻮﻧﻪ ﻓﻲ‬
‫ ﺍﻷﻣﺮ‬،‫ﺧﻤﻴﺲﺍﻟﺒﻴﺾ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺍﻛﺒﺮ ﺍﻋﻴﺎﺩ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ‬
141 ‫ﺑﺎﻻﺗﺒﺎﻉ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲﻋﻦ ﺍﻻﺑﺘﺪﺍﻉ ﺹ‬ 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka selayaknya ucapan selamat natal dihukumi haram dan
harus dihindari oleh umat Islam. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali
berkata:

‫ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺑﺸﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻟﻤﺨﺘﺼﺔ ﺑﻪ ﻓﺤﺮﺍﻡ ﺑﺎﻻﺗﻔﺎﻕ ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻬﻨﺌﻬﻢ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ‬
‫ﻭﺻﻮﻣﻬﻢﻓﻴﻘﻮﻝ ﻋﻴﺪ ﻣﺒﺎﺭﻙ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻭ ﺗﻬﻨﺄ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻓﻬﺬﺍ ﺇﻥ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ‬
‫ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻭﻫﻮ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺃﻥ ﻳﻬﻨﺌﻪ ﺑﺴﺠﻮﺩﻩ ﻟﻠﺼﻠﻴﺐ ﺑﻞ ﺫﻟﻚ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﻪﻠﻟﺍ‬ ‫ﻓﻬﻮ ﻣﻦ‬
‫ ﻭﺇﻥ‬... ‫ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺑﺸﺮﺏ ﺍﻟﺨﻤﺮ ﻭﻗﺘﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﺍﺭﺗﻜﺎﺏ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﻧﺤﻮﻩ‬ ‫ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻘﺘﺎ‬
‫ﺑﻠﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞﺑﺬﻟﻚ ﻓﺘﻌﺎﻃﺎﻩ ﺩﻓﻌﺎ ﻟﺸﺮ ﻳﺘﻮﻗﻌﻪ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻤﺸﻰ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﺇﻻ ﺧﻴﺮﺍ ﻭﺩﻋﺎ‬
‫ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺃﻫﻞ‬،‫ ) ﺍﺑﻦ ﻗﻴﻢ ﺍﻟﺠﻮﺯﻳﺔ‬.‫ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖﻭﺍﻟﺘﺴﺪﻳﺪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺑﺎﻪﻠﻟ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ‬
1/442 ‫) ﺍﻟﺬﻣﺔ‬

“Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah
haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi
dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, hari raya berkah buat Anda, atau
Anda selamat dengan hari raya ini dan sesamanya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari
kekufuran, maka termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat
dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan
lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan
zina yang haram dan sesamanya. ..

Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari
keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak
mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan
benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz
1 hal. 442).

Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa ucapan selamat natal, hukumnya haram dilakukan oleh
seorang Muslim, karena termasuk mengagungkan simbol-simbol kekufuran menurut agamanya.
Lalu bagaimana, jika sekelompok umat Islam berpartisipasi menghadiri acara natal dengan
tujuan mengamankan acara natalan??? Tentu saja, hukumnya juga haram. Al-Imam Abu
al-Qasim Hibatullah al-Thabari al-Syafi’i, seorang ulama fiqih madzhab Syafi’i berkata:

‫ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﻫﺒﺔ ﻪﻠﻟﺍ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻻ‬
‫ﻳﺠﻮﺯﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﻀﺮﻭﺍ ﺃﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻷﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻜﺮ ﻭﺯﻭﺭ ﻭﺇﺫﺍ ﺧﺎﻟﻂ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ‬
‫ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺑﻐﻴﺮ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻛﺎﻟﺮﺍﺿﻴﻦ ﺑﻪ ﺍﻟﻤﺆﺛﺮﻳﻦ ﻟﻪ ﻓﻨﺨﺸﻰ ﻣﻦ ﻧﺰﻭﻝ ﺳﺨﻂ‬
‫ﻪﻠﻟﺍ ﻋﻠﻰ‬
‫ﺟﻤﺎﻋﺘﻬﻢ ﻓﻴﻌﻢ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﻧﻌﻮﺫ ﺑﺎﻪﻠﻟ ﻣﻦ ﺳﺨﻄﻪ‬
“Telah berkata Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin anshur al-Thabari, seorang faqih
bermadzhab Syafi’i: “Kaum Muslimin tidak boleh (haram) menghadiri hari raya non Muslim,
karena mereka melakukan kemunkaran dankebohongan. Apabila orang baik bercampur dengan
orang yang melakukan kemungkaran, tanpa melakukan keingkaran kepada mereka, maka berarti
mereka rela dan memilih (mendahulukan) kemungkaran tersebut., maka dikhawatirkan turunnya
kemurkaan Allah atas jamaah mereka (non-Muslim), lalu menimpa seluruhnya, kita berlindung
dari murka Allah.”

Bagaimana jika ada orang berkata, tidak apa-apa mengucapkan selamat natal, dengan tujuan
selamat atas lahirnya Nabi Isa ‘alaihissalam? Ucapan orang ini perlu dipertanyakan. Kepada
siapa Anda memberikan fatwa tersebut? Kepada orang yang bershalawat kepada
Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wasallam dan nabi-nabi lainnya yang iducapkan di
rumahnya dan bukan pada hari natal? Secara jujur saja, kepada siapa dia mengucapkan selamat
natal? Apakah kepada Isa ‘alaihissalam, secara khusus, tanpa diucapkan kepada non-Muslim???
Atau selamat natal diucapkan kepada non-Muslim pada hari raya mereka???

Tulisan ini perlu disempurnakan oleh para pembaca.

Wallahu a’lam.

Wassalam

Muhammad Idrus Ramli,

Alhamdulillah masih ada NU yg masih lurus

[abdurrachim/abdullah/voa-islam.com]

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/12/28/28384/tanggapan-kyai-


nu-jawa-timur-soal-hukum-ucapkan-selamat-natal/#sthash.98BHqgG3.dpuf
Bantahan terhadap Fatwa Qardhawi yang
Bolehkan Ucapan Selamat Natal
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi berfatwa membolehkan ucapan selamat hari raya agama non Islam,
apabila orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya adalah orang-orang yang cinta damai
terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus seperti: kerabat, tetangga
rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang
tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT mencintai berbuat adil.

Artikel ini adalah bantahan dari Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman, pimpinan Majelis
Ilmu Ar-Royyan, yang kami sadur dari website abujibriel.com:

SETIAP akhir tahun Masehi, isu natalan dan hukum mengucapkan selamat hari natal dan tahun baru
kepada kaum Nasrani senantiasa muncul. Pertanyaan yang dimunculkan tidak jauh berbeda, dan
berkisar seputar dua pertanyaan berikut.

Pertanyaan pertama, Bagaimana hukumnya dalam Islam mengucapkan selamat natal. Apakah
haram hukumnya? Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dengan teman-teman
ataupun relasi?

Pertanyaan kedua, Bagaimana hukumnya seorang pegawai supermarket yang diminta atasan
untuk mengenakan topi Sinterklas dalam rangka memeriahkan natal.

JAWABAN:

Sebelum menjawab pertanyaan di atas mari kita mengenali Isa Al-Masih ’Alaihi Salam terlebih
dahulu berdasarkan Al-Qur’anul Karim, agar kita mampu memposisikan beliau sebagai hamba
Allah yang terpuji dan terpilih, bukan sebagai salah seorang Tuhan dari berbagai macam tuhan
yang disembah:

1. Al-Masih Isa Ibnu Maryam adalah makhluk Allah SWT.

Allah berfirman dalam surat Ali Imran: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah,
adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), Maka jadilah Dia (apa yang telah Kami
ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu
Termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (Qs Ali Imran 59-60)

2. Al-Masih adalah seorang Rasul dan ibunya adalah seorang yang benar.

“Al-masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang Sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, Kedua-duanya biasa
memakan makanan[1]. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab)
tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Qs Al-Ma’idah 75).

3. Nabi Isa tidak mengajarkan Allah mempunyai anak.

Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, Adakah
kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?”.
Isa menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku
(mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada
pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau
Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka
kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya Yaitu: “Sembahlah Allah,
Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan
Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu” (Qs Al-Ma’idah 116-117)

4. Orang yang mengatakan Allah punya anak adalah Kafir.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya


Allah ialah Al-masih putra Maryam”, Padahal Al-masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-
orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, Padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka
katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?. dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Al-Ma’idah 72-74).

5. Langit, bumi dan gunung murka karena Yahudi dan Nashara berkata Allah punya
Anak.

Allah SWT berfirman: “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang
Nasrani berkata: “Al-masih itu putra Allah”. Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut
mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka ,
bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-masih putera
Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs At
Taubah 30-31).

“Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”.
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir
langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka
menda’wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan yang
Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi,
kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Qs Maryam
88-93)

6. Isa Al-Masih sejak dalam buaian mengatakan dirinya hamba Allah sampai beliau
wafat.

“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: “Bagaimana Kami akan berbicara
dengan anak kecil yang masih di dalam buayan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba
Allah, Dia memberiku Al-kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, dan Dia
menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan
kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada
ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan Kesejahteraan
semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari
aku dibangkitkan hidup kembali.” Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan Perkataan yang
benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah
mempunyai anak, Maha suci Dia. apabila Dia telah menetapkan sesuatu, Maka Dia hanya
berkata kepadanya: “Jadilah”, Maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan
Tuhanmu, Maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. ini adalah jalan yang lurus.” (Qs Maryam
30-36).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, sebagai seorang Muslim/Muslimah tidak selayaknya mengikuti


budaya orang-orang kafir dari ahli kitab dan kaum musyrikin yang mendakwa Allah mempunyai
anak. Itu adalah perbuatan kafir dan syirik, yang menyebabkan seseorang dijerumuskan ke dalam
neraka Jahanam. Demikian pula mengucapkan selamat hari natal kepada mereka yang meyakini
Isa Al-Masih sebagai  anak Allah atau salah satu tuhan dari tiga tuhan (Allah bapa, Bunda Maria
dan Yesus Kristus), menunjukkan keridhaan kepada mereka dan merupakan perbuatan yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan perbuatan itu akan menjerumuskan ke neraka karena
mereka  menolak beriman kepada Rasulullah Saw. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang
bersumber dari Abu Hurairah Ra. ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

ْ َ‫وت َول‬
‫م‬ ُ ‫م‬ُ َ‫م ي‬
َّ ‫ي ُث‬ ْ َ‫ي َوال َ ن‬
ٌّ ِ‫ص َران‬ ِ ‫ه ِذ ِه األُ َّم‬
ٌّ ‫ة يَ ُهو ِد‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ح ٌد ِم‬َ َ‫م ُع بِي أ‬ ْ َ‫م ٍد بِيَ ِد ِه ال َ ي‬
َ ‫س‬ َّ ‫ح‬َ ‫س ُم‬ ُ ‫َوالَّ ِذي نَ ْف‬
‫ار‬
ِ ‫حابِ ال َّن‬َ ‫ص‬ َ
ْ ‫نأ‬ْ ‫ه إِال َّ َكانَ ِم‬ِ ِ‫ت ب‬ُ ‫س ْل‬ ُ
ِ ‫ن بِالَّ ِذي أ ْر‬
ْ ‫ُي ْؤ ِم‬
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tiada seorang pun di kalangan ummat
ini yang mendengar (ajaran)ku baik dari golongan Yahudi maupun Nashrani kemudian ia mati
sementara ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa (Islam) kecuali ia akan mati menjadi
penghuni neraka.” (HR Muslim, no.153) Imam Al-Qurthuby, Al-Jaami’ li ahkaamil Qur’an,
3/18.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL

Setidaknya ada dua pendapat yang muncul di dalam memposisikan halal haramnya
mengucapkan Selamat Natal dan Tahun baru oleh kaum Muslimin. Kelompok Pertama
mengaitkannya sebagai bagian dari aqidah atau dengan ungkapan lain masuk di dalam wilayah
aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam,
penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’iy. Dan kelompok kedua tidak
mengaitkannya dengan aqidah, tetapi masuk di dalam wilayah fiqhiyyah.

Berikut adalah penjelasan masing-masing kelompok:

Kelompok Pertama ialah Pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan para pengikutnya
seperti Syaikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin-semoga Allah merahmati mereka-serta yang
lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad Al-Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan
selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar
agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya.
Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai)
dengan mereka dan ini diharamkan.

Di antara bentuk-bentuk tasyabbuh adalah:

a. Ikut serta di dalam hari raya tersebut.

b. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke negeri-negeri islam.

Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari
sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk
menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan
hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan
berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah mereka.

Maka memberi ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman
kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-
prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak
meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (Qs Az Zumar 7)

Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat,
teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya,
sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya).

Kelompok Kedua ialah Pendapat ulama kontemporer (ulama Moderat)

Di antaranya Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi globallah
yang menjadikanku berbeda dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam mengharamkan
pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf Al-
Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non
muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi
apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti:
kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam
berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia SWT
mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT:

“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah 8 )

Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah
SWT:

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah


penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu
(dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs An Nisa’
86)

Itulah perbedaan pandangan antara Dr Yusuf Al-Qardhawi dengan gurunya Imam Ibnu Taimiyah
dan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, karena beliau lebih mendahulukan logika dengan wahyu.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT  DR YUSUF  AL-QARDHAWI

Tidak lama setelah Dr Yusuf Al-Qaradhwi membuat fatwa tentang halalnya mengucapkan
selamat Natal, tampillah seorang syaikh  bernama: As Syaikh Abdullah bin Umar Al-Adni
menjawab secara panjang lebar fatwa sesat itu di dalam: 
http://www.olamayemen.com/show_art4.html

Inilah ucapan beliau setelah membuka jawaban beliau dengan tahmid dan bacaan shalawat.

Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang-
orang yang berlebih-lebihan dan pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Semoga
Allah menyanjung dan memberi keselamatan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
seluruh para sahabatnya. Beliau adalah sebaik-baik orang yang mengajak kepada hidayah dan
membantah kebatilan yang hina. Beliaulah yang mengatakan:

‫يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل‬
‫الجاهلين‬

“Ilmu agama ini akan selalu dipikul oleh orang-orang yang terbaik dari setiap generasi. Mereka
mengingkari otak-atik yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas, kepalsuan yang
dibuat oleh para pembela kebatilan dan tafsir asal-asalan yang dilakukan oleh orang-orang yang
bodoh.”

Hadits ini derajatnya hasan dan disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdad dalam buku beliau
Syaraf Ashhabul Hadits dari sejumlah sahabat.

Mereka orang-orang yang berlebih-lebihan, pembela kebatilan dan orang-orang bodohlah yang
mengibarkan bendera bid’ah dan menebar kesesatan. Mereka sendiri berselisih pendapat dalam
memahami Al-Qur’an, menyelisihi ajaran Al-Qur’an dan bersepakat untuk meninggalkan ajaran
Al-Qur’an. Mereka berkata-kata tentang Allah dan atas nama Allah serta tentang kitab Allah
tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat rancu dan mereka menipu manusia yang
bodoh dengan kerancuan pemahaman yang mereka sisipkan dalam kata-kata mereka.

Kita berlindung kepada Allah dari penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat dan
menyesatkan.

‫ إن هللا ال يقبض هذا العلم انتزاعاً ينتزعه من‬ ‫وصدق النبي صلى هللا عليه وسلم إذ يقول‬
‫يبق عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهاال ً فأفتوا‬
ِ ‫صدور الناس ولكن بقبض العلماء حتى إذا لم‬
‫بغير علم فضلوا وأضلوا‬

“Sungguh benar yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Sesungguhnya Allah itu tidak
akan mencabut ilmu agama dengan seketika dari dada manusia, namun dengan cara mematikan
orang-orang yang berilmu. Sehingga jika Allah tidak lagi menyisakan seorang pun yang berilmu
maka manusia mengangkat para pemimpin dalam agama dari kalangan orang-orang yang bodoh.
Para pemimpin tersebut mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan orang
lain” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr)

Di antara yang menyesatkan banyak manusia adalah Yusuf Al-Qardhawi yang memiliki banyak
fatwa yang menyelisihi dalil dari Al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman salaf. Silih berganti
munculnya pendapat-pendapatnya yang lebih mengedepankan akal dan tersebarlah berbagai
sikap-sikapnya yang malah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin dan menghilangkan
indah dan jernihnya agama ini.

DI ANTARA KESESATAN DR YUSUF AL-QARDHAWI

Pertama: Adalah fatwanya yang memperbolehkan mengucapkan selamat hari raya kepada orang
kafir baik Yahudi ataupun Nasrani.

Fatwa tersebut muncul ketika beliau menjawab sebuah pertanyaan sebagai berikut:

‫ماهي حدود التعامل مع النصارى وما حكم تهنئتهم في أعيادهم ؟‬

“Apa saja batasan interaksi dengan orang-orang Nasrani dan apa hukum mengucapkan selamat
hari raya kepada mereka?.”

Dengan penuh kelancangan beliau memberi jawaban yang bertolak belakang dengan berbagai
dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang
demikian banyak dari ahli tafsir, hadits dan fiqh. Sungguh tidak ada rasa malu terhadap Allah
dan terhadap manusia.

(‫ ( ولذلك ال مانع من تهنئتهم بأعيادهم ) بل ويستدل على ذلك كذباً وزوراً ( ويراجع‬ ‫فيقول‬
‫فتواه في موقع إسالم أون الين‬
Jawaban beliau, “Oleh karena itu tidak mengapa mengucapkan selamat hari raya kepada
mereka”. Bahkan lebih parah lagi beliau mencari-cari dalil untuk mendukung pernyataan tersebut
dengan kedustaan dan kepalsuan. Fatwa beliau bisa dilihat di situs Islamonline.

Perhatikanlah, kewajiban seorang muslim adalah tunduk terhadap aturan Allah yang telah Allah
turunkan kepada makhluknya dan Allah perintahkan makhluk untuk mengamalkannya. Allah
tidak menerima agama selain agama tersebut. Itulah agama Islam sebagaimana firman Allah:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs Ali Imran, 3:
85)

Para ulama Salaf ummat ini berkata:Islam adalah segala yang didakwahkan kepada manusia dan
hal tersebut ada dalam Al-Qur’an atau terdapat dalam hadits yang shahih dengan pemahaman
salaf shalih sebagaimana firman Allah,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”
(Qs Al-A’raf 3)

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Qs Al-Baqarah 137)

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs Al-Ma’idah 3)

‫فال عقيدة إال عقيدة اإلسالم وال عبادة إال عبادة اإلسالم وال منهاج إال منهاج اإلسالم وال‬
‫ فال يجوز لمسلم بعد ذلك المعارضة بعاطفة أو عقل أو ذوق أو رأي‬, ‫خلق اإلسالم‬ ُ ‫خلق إال‬ ُ
‫ج َر‬َ ‫ش‬
َ ‫ما‬َ ‫ك فِي‬
َ ‫مو‬
ُ ِّ‫حِك‬
َ ‫ى ُي‬ َ َ‫ك ال َ ُي ْؤ ِم ُنون‬
َ ‫ح َّت‬ َ ِّ‫بل الواجب االستسالم التام كما قال تعالى َفال َ َو َرِب‬
‫ما‬ ْ َ‫مو ْا ت‬
ً ‫سلِي‬ ُ ِّ‫سِل‬
َ ‫ت َو ُي‬ َ ‫ض ْي‬ َ ‫ما َق‬
َّ ‫جا ِِّم‬
ً ‫ح َر‬
َ ‫م‬ ِ ‫م ال َ يَجِ ُدو ْا فِي أَن ُف‬
ْ ‫س ِه‬ َّ ‫م ُث‬
ْ ‫بَ ْي َن ُه‬
Tidak ada akidah yang benar melainkan akidah Islam. Tidak ada ibadah yang benar melainkan
ibadah yang diajarkan oleh Islam. Tidak ada jalan hidup yang benar melainkan jalan yang
diajarkan oleh Islam. Tidak ada akhlak mulia melainkan akhlak yang diajarkan oleh Islam. Tidak
boleh bagi seorang muslim untuk membantah ajaran Islam dengan perasaan, akal pikiran, rasa
dan pendapat siapapun. Kewajiban seorang muslim adalah tunduk total kepada ajaran Islam
sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs An Nisa’ 65)

Janganlah kita meniru orang-orang munafik yang memiliki karakter berpaling dari agama Allah
sebagaimana firman Allah:
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (Qs An Nisa’ 61)

Kedua: Menentang syariat dengan akal.

Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentang syariat dengan akal dan pendapatnya karena
sikap inilah yang menyebabkan rusaknya agama dan dunia.

‫قال ابن القيم رحمه هللا ( وكل من له مسكة من عقل يعلم أن فساد العالم وخرابه إنما‬
‫نشأ من تقديم الرأي على الوحي ومن أعظم معصية العقل اعراضه عن كتاب هللا ووحيه‬
‫الذي هدى به رسله والمعارضة بينه وبين كالم غيره فأي فساد أعظم من فساد هذا‬
‫( العقل‬

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan semua orang yang masih memiliki sedikit akal sangat sadar
bahwa kerusakan dan kehancuran alam semesta itu disebabkan mendahulukan akal pikiran dari
pada wahyu. Di antara maksiat terbesar yang dilakukan oleh akal adalah berpalingnya akal dari
kitab Allah dan wahyu-Nya padahal wahyu adalah alat yang dipergunakan oleh para rasul untuk
membimbing manusia. Demikian pula termasuk maksiat akal adalah mempertentangkan wahyu
dengan ucapan manusia. Kerusakan apakah yang lebih parah dibandingkan kerusakan akal
semacam ini.”

‫وعن ابن عباس إنما هو كتاب هللا وسنة رسوله فمن قال بعد ذلك برأيه فال ندري أفي‬
‫حسناته يجد ذلك ام في سيئاته‬

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunah Rasul-
Nya. Barang siapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya dalil maka kami tidak tahu
apakah hal tersebut akan dia jumpai dalam catatan kebaikannya atau dalam catatan dosanya.”

Di antara orang yang mempertentangkan agama dengan akal adalah Al-Qardhawi dan guru-
gurunya yang merupakan rangkaian guru-guru ahli bid’ah dan orang-orang yang mendahulukan
akal pikirannya. Sebagian mereka sekedar mengutip pendapat yang lain.

Di antara penyimpangannya adalah sikap berpalingnya dari hadits,

‫ بعده في كتابه ” كيف نتعامل‬:‫ أبي وأبوك في النار(رواه مسلم) قال القرضاوي‬:‫قال النبي‬
‫ (ما ذنب عبدهللا بن عبد المطلب حتى يكون في النار ) وقال عنده (ما‬″98-97 ‫مع السنة‬
‫ذنب أبي الرجل السائل والظاهر أن أباه مات قبل اإلسالم لهذا …) توقفت في الحديث‬
‫حتى يظهر لي شيء يشفي الصدر أما شيخنا الشيخ محمد الغزالي فقد رفض الحديث‬
‫صراحة‬

“Ayahku dan ayahmu itu di neraka” (HR Muslim dari Anas). Setelah membawakan hadits ini di
bukunya “Kaifa Nata-’amal Ma’as-Sunnah” hal 97-98 beliau mengatakan, “Apa dosa Abdullah
bin Abdul Muthallib sehingga dia di neraka?”. Beliau juga mengatakan, “Apa dosa yang dimiliki
oleh ayah si penanya padahal kemungkinan besar ayahnya itu meninggal sebelum datangnya
Islam. Oleh karena itu aku tidak berani mengambil sikap terhadap hadits tersebut sampai
kujumpai penjelasan yang memuaskan. Sedangkan guru kami Syaikh Muhammad Al-Ghazali
telah menolak hadits tersebut dengan terang-terangan”.

‫فانظر رحمك هللا إلى هذه العقيدة الصوفية والطريقة البدعية فقد جعل العقل هو األصل‬
‫فما قبله فهو مقبول وما لم يقبله فهو مردود وال يخفى على مسلم فساد هذا القول‬

Perhatikanlah- semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu- akidah Sufi dan cara
beragama bid’ah yang ada dalam sikap beliau terhadap hadits ini yaitu menjadikan akal sebagai
tolak ukur. Semua yang diterima akal itulah perkataan yang diterima. Sedangkan segala yang
ditolak oleh akal maka itulah perkataan yang tertolak. Setiap muslim tentu sadar betapa
berbahayanya prinsip beragama semacam ini.

Semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada Ali yang pernah mengatakan,

‫عن علي ورضي هللا إذ يقول لو كان الدين بالرأي لكان مسح أسفل الخف أولى من أعاله‬

“Seandainya dasar dalam beragama adalah akal pikiran tentu lebih layak mengusap bagian
bawah sepatu dari pada bagian atasnya”.

Di antara perkataan Al-Qardhawi yang menyimpang adalah fatwa beliau yang menyimpang
tentang bolehnya memberikan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir. Dengan fatwa ini,
beliau tidak ambil pusing dan tidak peduli dengan berbagai dalil yang banyak berupa ayat Al-
Qur’an, sunnah, perkataan para ulama salaf dan perkataan para ulama yang sangat banyak baik
dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fiqih. Bahkan hal ini telah menjadi ijma ulama yang
kita tidak boleh keluar dan menyelisihinya.

Di antara dalil berupa ayat Al-Qur’an yang sebenarnya banyak adalah firman Allah yang   
berbunyi:

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan jika mereka melewati sesuatu yang sia-
sia mereka lewat sebagaimana layaknya orang-orang yang mulia.” (Qs Al-Furqan 72)

Ibnu Abbas, Mujahid, Ar-Rabi’ bin Anas, Ikrimah dan Ad-Dhahhak mengatakan bahwa:

‫ أعياد المشركين‬ ‫قالوا هو‬

Yang dimaksud dengan “az-zuur” atau kebatilan adalah hari raya orang-orang musyrik.

Keterangan para pakar tafsir di atas diriwayatkan dengan bersanad oleh Al-Khallal dalam
kitabnya Al-Jami’. Riwayat-riwayat serupa juga dibawakan oleh Ibnu Jarir dan Al-Qurthubi
dalam kitab tafsir keduanya. Demikian pula Abu Syaikh Al-Ashfahani.

Dari Amr bin Murrah tentang makna ayat,


‫ال يشهدون الزور قال ال يمالئون أهل الشرك على شركهم وال يخالطونهم‬

“Mereka itu tidak ikut menyaksikan kebatilan” adalah “Mereka tidak memberi dukungan kepada
pelaku kemusyrikan ketika mereka melakukan kemusyrikan dan tidak pula berbaur bersama
mereka ketika itu.”

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Atha bin Yasar. Ucapan selamat hari raya itu termasuk
dukungan.

Di antara dalil dari sunnah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya
dengan sanad yang berkualitas hasan dari Anas. Anas mengatakan bahwa ketika Rasulullah tiba
di kota Madinah penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka isi dengan berbagai
permainan. Nabi bertanya, “Dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, “Kami biasa bermain pada
dua hari ini di masa jahiliyah.”

‫إن هللا قد أبدلكم بهما خيراً منهما يوم األضحى ويوم الفطر‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua
hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.”

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghapus semua bentuk hari raya
selain dua hari raya Islam lalu bagaimana mungkin diperbolehkan mengucapkan selamat hari
raya kepada orang kafir berkenaan dengan hari raya mereka yang telah dihapus oleh Islam.

‫ومن كالم السلف ما سبق من تفسير اآلية وفي كتاب عمر إلى أهل الذمة الذي تلقته‬
‫األمة بالقبول فهو إجماع المسلمين األولين واآلخرين وهو قول الخليفة الثاني من الخلفاء‬
‫الراشدين وفيه‬

Ulama salaf dalam masalah ini adalah para salaf yang menafsirkan ayat di atas. Demikian pula
surat Umar untuk para kafir dzimmi yang telah diterima oleh seluruh umat Islam sehingga isi
surat Umar tersebut adalah ijma seluruh kaum muslimin baik yang hidup di masa silam ataupun
masa sesudahnya. Surat tersebut adalah perkataan khalifah kedua dari empat Khulafaur-
Rasyidin. Di antara isi surat tersebut adalah

‫نهي أهل الذمة عن إظهار شيء من أعيادهم وانظر إلى تعليق وشرح اإلمام ابن القيم‬
‫رحمه هللا له في أحكام أهل الذمة‬

Larangan bagi kafir dzimmi untuk menampakkan syiar hari rayanya. Bacalah penjelasan dan
komentar Imam Ibnul Qoyyim untuk surat Umar tersebut di buku beliau, Ahkam Ahli Dzimmah
2/659.

Umar berkata:
( ‫ (رواه البيهقي باب كراهة الدخول على أهل الذمة في‬ ‫اجتنبوا أعداء هللا في عيدهم‬
‫عيد القبط في مصر وهو أول يوم في السنة القبطية ويسمى بيومشم‬: ‫كنائسهم والنيروز‬
‫النسيم‬

“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di bawah
judul bab ‘terlarangnya menemui orang kafir dzimmi di gereja mereka dan larangan menyerupai
mereka pada hari Nairuz dan perayaan mereka’ Nairuz adalah hari raya orang-orang qibthi yang
tinggal di Mesir. Nairuz adalah tahun baru dalam penanggalan orang-orang qibthi. Hari ini
disebut juga Syamm an Nasim)

Jika kita diperintahkan untuk menjauhi hari raya orang kafir dan dilarang mengadakan perayaan
hari raya mereka lalu bagaimana mungkin diperbolehkan untuk mengucapkan selamat hari raya
kepada mereka.

‫وأما كالم أهل العلم المتواتر فقد سبق بعض ذلك ونحوه كثير في كتب التفسير والفقه‬
‫والحديث مما يصعب جمعه خصوصاً في تفسيرهم وشرحهم وتعليقهم على األدلة‬
‫الكثيرة في هذا الباب‬

Sedangkan penjelasan para ulama yang demikian banyak, sebagian perkataan mereka telah
dikutip di atas. Perkataan yang senada sangat banyak, terdapat di buku-buku tafsir, fiqh dan
hadits sehingga tidaklah mudah mengumpulkannya terutama ketika para ulama menjelaskan,
menafsirkan dan memberi komentar terhadap berbagai dalil yang ada dalam masalah ini.

Sebagai penguat tambahan adalah judul bab yang dibuat oleh Al-Khalal dalam kitabnya Al-Jami.
Beliau mengatakan, “Bab terlarangnya kaum muslimin untuk keluar rumah pada saat hari raya
orang-orang musyrik…”. Setelah penjelasan di atas bagaimana mungkin kita diperbolehkan
untuk mengucapkan selamat kepada orang-orang musyrik berkaitan dengan hari raya mereka
yang telah dihapus oleh Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya, Al-Iqtidha’ 1/454 menukil adanya kesepakatan
para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi.

“Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain

‫ال يظهرون أعيادهم … فإذا كان المسلمون قد اتفقوا على منعهم من إظهارها فكيف‬
‫يسوغ للمسلمين فعلها فإن فعل المسلم أشد من فعل الكافر … أهـ‬

Tidak boleh menampakkan hari raya mereka… Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk
melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim
diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim
dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir…

Sedangkan murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah 2/722 ketika
membahas hari raya orang-orang musyrik mengatakan,
‫وكما أنهم ال يجوز لهم إظهاره فال يجوز للمسلمين مماالتهم عليه وال مساعدتهم وال‬
‫الحضور معهم بإتفاق أهل العلم الذين هم أهله وقد صرح به الفقهاء من أتباع األئمة‬
‫األربعة في كتبهم‬

“Sebagaimana mereka tidak diperbolehkan menampakkan (baca: menyemarakkan) hari rayanya


maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menyokong dan membantu mereka, tidak pula
menghadiri perayaan hari raya mereka. Ini adalah kesepakatan para ulama yang merekalah pakar
dalam masalah ini. Hal ini pun telah ditegaskan oleh para ulama empat mazhab dalam buku-buku
mereka.”

Di antara perkataan para ulama dalam masalah ini adalah perkataan penulis kitab Ad-Durr Al-
Mukhtar yaitu ‘Ala-uddin Al-Hashkafi 6/754,

“‫واإلعطاء باسم يعظمه المشركون يكفر” ثم ذكر نقال ً عن أبي حفص الكبير في عدم جواز‬
‫األخذ والعطاء واإلهداء والشراء باسم أيام المشركين فإنه قد يوقع في الكفر بتعظيم هذا‬
‫العيد” أهـ بمعناه‬

“Memberi sesuatu dengan atas nama sesuatu yang diagungkan oleh orang-orang musyrik itu
merupakan perbuatan kekafiran”. Kemudian beliau menyampaikan perkataan Abu Hafsh Al-
Kabir yang “tidak membolehkan mengambil atau memberi suatu barang, demikian pula
menghadiahkan atau membeli atas nama hari raya orang musyrik. Seorang muslim yang
melakukannya boleh jadi terjerumus dalam kekafiran karena mengagungkan hari raya orang
musyrik”.

Dalam kitab Al-Bahr Al-Ra-iq 8/55

َّ ‫أن من أهدى بيض ًة في أعياد المشركين تعظيماً للعيد كفر باهلل ج‬


‫ل وعال‬

“Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seseorang pada hari raya orang musyrik karena
mengagungkan hari raya orang kafir maka dia telah kafir kepada Allah”.

‫) ” عن القاضي أبي المحاسن الحسن بن منصور‬3/341( ‫”وذكر صاحب عون المعبود‬

Penulis kitab ‘Aun Al-Ma’bud 3/341 menyebutkan dari “Al-Qadhi Abul Mahasin Al-Hasan bin
Manshur Al-Hanafi bahwa

‫أن من اشترى فيه شيئاً لم يكن يشتريه في غيره أو أهدى فيه هدية فإن أراد بذلك‬
‫تعظيم اليوم كما يعظمه الكفره فقد كفر وإن أراد بالشراء التنعم والتنزه وفي اإلهداء‬
‫التحاب جرياً على العادة لم يكن كفراً لكنه كان مكروه كراه التشبه بالكفرة فحينئ ٍذ يحترز‬
‫عنه‬

Siapa saja yang pada saat hari raya orang kafir membeli sesuatu yang biasanya tidak dia beli di
hari-hari yang lain atau memberikan hadiah pada hari tersebut maka jika maksudnya dengan hal
tersebut adalah mengagungkan hari raya orang kafir sebagaimana pengagungan orang-orang
kafir maka dia menjadi kafir karenanya. Namun jika maksudnya dengan membeli barang
tersebut pada waktu itu adalah ingin mengambil manfaat barang tersebut dan maksud hatinya
dengan memberi hadiah adalah mewujudkan rasa cinta sebagaimana biasanya maka tidak kafir
akan tetapi terlarang karena menyerupai orang kafir. Karenanya hal ini harus dijauhi.”

‫ونقل شيخ اإلسالم عن عبد الملك بن حبيب أن اإلمام مالك رحمه هللا كره وحرم األكل‬
‫من ذبائح أعياد المشركين من النصارى وغيرهم‬

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membawakan perkataan Abdul Malik bin Habib bahwa Imam
Malik membenci dan mengharamkan memakan sembelihan dalam rangka hari raya orang
musyrik baik Nasrani ataupun yang lainnya.

Ibnu Taimiyah juga mengutip perkataan Ibnul Qosim yang melarang seorang muslim satu kapal
dengan orang-orang musyrik yang akan mengantarkan mereka ke tempat perayaan hari raya
mereka. Demikian pula seorang muslim dilarang memberikan bantuan apapun untuk kegiatan
hari raya orang musyrik. Kata Ibnul Qosim hal ini adalah pendapat Imam Malik. Sekian kutipan
dari kitab Al-Iqtidha dengan sedikit peringkasan.

Al-Baihaqi dalam kitabnya As Sunan mengatakan ‘bab terlarangnya menemui orang kafir
dzimmi atau yang lain saat hari raya mereka’. Beliau lantas menyebutkan beberapa perkataan
ulama salaf yang telah disebutkan di atas.

Al-Hafiz Ibnu Hajar setelah menyebutkan hadits dari Anas di atas tentang mencukupkan diri
dengan dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha dan setelah mengatakan bahwa sanad hadits
tersebut berkualitas shahih beliau mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan
merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu.
Bahkan Syeikh Abu Hafsh Al-Kabir Al-Nasafi seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-
lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada
orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada
Allah” (Fathul Bari 2/442).

Dalam Faidh Al-Qadir 4/551, setelah Al-Munawi menyebutkan hadits dari Anas kemudian
beliau menyebutkan terlarangnya mengagungkan hari raya orang musyrik dan barang siapa yang
mengagungkan hari tersebut karena hari itu adalah hari raya orang musyrik maka dia telah kafir.

penjelasan di atas, bagaimana mungkin boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan bolehnya
mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang kafir terlebih-lebih seorang muslim yang
dinilai berilmu semisal Al-Qardhawi. Tidak ada setelah kebenaran melainkan kesesatan.

Waspadalah saudaraku dengan dai jahat yang mendakwahkan kesesatan. Nabi telah
mengingatkan kita dengan adanya orang-orang semacam itu di akhir zaman nanti sebagaimana
dalam hadits dari Hudzaifah yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Sadarilah bahwa para penyeru kesesatan tentu membawakan berbagai alasan dan mengaburkan
permasalahan dengan berbagai kerancuan pemikiran. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk
menjauhi mereka bukan karena pembela kebenaran tidak mampu memberikan bantahan akan
tetapi dalam rangka menjaga keselamatan agama umumnya kaum muslimin. Hati itu lemah
sedangkan kerancuan pemahaman itu demikian kuat menyambar.

SECARA UMUM DALAM FATWANYA AL-QARDHAWI MEMBAWAKAN TIGA


JENIS ALASAN

Pertama, Dalil-dalil yang bersifat umum dan global padahal tidak boleh beralasan dengan dalil
yang bersifat umum dan global ketika ada dalil khusus yang membatasi dalil yang umum dan
menjelaskan dalil yang masih global. Itulah dalil-dalil yang telah kita sebutkan di atas berupa
dalil Al-Qur’an, sunnah, perkataan salaf dan perkataan para ulama yang demikian banyak baik
dari kalangan pakar tafsir, hadits maupun fikih.

Bahkan metode ini adalah metode yang ditempuh oleh ahli bid’ah. Merekalah orang yang suka
mempertentangkan dalil-dalil khusus dan tegas dengan dalil-dalil yang bersifat umum dan global
sebagaimana yang dikatakan dan diingatkan oleh Imam Ahmad.

“Di antara dalil umum dan global yang beliau gunakan adalah firman Allah, “Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs Al-Mumtahanah, 60: 8)

Al-Qardhawi menjadikan ucapan selamat hari raya sebagai bagian dari berbuat baik dengan
orang kafir padahal Allah berfirman di awal surat yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu…” (Qs Al-Mumtahanah 1).

Dalam Fathul Qadir 5/207 Al-Syaukani mengatakan, “Ayat ini menunjukkan larangan
memberikan loyalitas kepada orang kafir dengan bentuk apapun.”

‫وقال ابن كثير رحمه هللا تعالى ( نهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين وأن‬
‫ فكيف‬.“ ‫ سورة آل عمران‬28 ‫يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين “آية‬
‫إذا أضيف ما سبقت اإلشارة إليه‬

Ketika menjelaskan Qs Ali Imran: 28, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah melarang hamba-hamba-
Nya yang beriman untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka
sebagai teman dekat, tempat menceritakan berbagai rahasia karena mencintai mereka dengan
meninggalkan orang-orang yang beriman”. Bagaimana jika kita tambah dengan dalil-dalil di
atas.

Kedua, Al-Qardhawi beralasan dengan analog yang lemah dan analog yang bertolak belakang
dengan berbagai dalil dari Al-Qur’an, sunnah, perkataan para Salaf dan perkataan para ulama
yang demikian banyak baik pakar tafsir, hadits maupun fikih.
Di antaranya beliau menganalogikan ucapan selamat hari raya orang kafir dengan bolehnya
menikahi wanita ahli kitab padahal Allah telah berfirman,

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka…” (Qs Al-
Mujadilah 22).

Para ulama telah mengingatkan bahwa rasa cinta itu ada beberapa macam. Yang dimaksud
dengan diperbolehkannya menikahi wanita ahli kitab bukanlah karena adanya rasa cinta kepada
orang kafir yang mengorbankan hukum-hukum syariat. Bagaimana jika ditambah berbagai dalil
tentang tidak bolehnya mengucapkan selamat untuk hari raya orang kafir sebagaimana telah
disebutkan di atas.

Analog (Qiyas) itu seperti tayamum, hanya dipakai jika tidak diketahui adanya dalil dalam
masalah tersebut. Oleh karena itu Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada analog dalam sunnah
dan tidak boleh membuat berbagai permisalan untuk membantah sunnah. Sunnah tidaklah bisa
dipahami dengan akal dan hawa nafsu namun hanya bisa dipahami dengan mengikuti sunnah dan
meninggalkan hawa nafsu”.

‫ يجتنب المتكلم في الفقه ه ذين األص لين المجمل‬ ‫وفي رواية الميم وني عن اإلم ام أحمد رحمه هللا‬
‫والقياس‬

Dalam riwayat dari Al-Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Seorang yang hendak bicara
tentang hukum fikih hendaknya menjauhi dua hal ini yaitu dalil global dan analog (Qiyas)”.

Dalam riwayat dari Abu Al-Harits, Imam Ahmad mengatakan, “Apa yang akan kau lakukan
dengan akal pikiran dan analog padahal hadits sudah mencukupimu.” (Kutipan-kutipan ini ada di
kitab Al-Muswaddah hal 328)

Dalam kitab Shahihnya Al-Bukhari membuat judul ‘Bab Celaan terhadap Akal Pikiran dan
Analog yang Dipaksa-paksakan’.

Bukhari lantas membawakan firman Allah,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (Qs Al-Isra, 17: 36)

Al-Bukhari juga menyebutkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr tentang matinya para ulama dan
munculnya para ulama yang jahat. Semoga Allah lindungi kita dari bahaya mereka.

Demikianlah perkataan para ulama tentang berdalil dengan analog padahal ada dalil yang
menyelisihi kesimpulan analog tersebut lalu bagaimana jika analog yang dipakai adalah analog
yang paling lemah. Analog yang dipakai oleh Al-Qardhawi itu mirip dengan qiyas syabah
(analog karena sekedar ada kemiripan). Qiyas syabah adalah jenis qiyas yang paling lemah
karena di sini qiyas yang terjadi adalah qiyas tanpa ‘illah atau dalil ‘illah. Silakan telaah Al-
I’lam karya Ibnul Qoyyim 1/148.

Ketiga, terdapat beberapa cara berdalil yang aneh yang keluar dari koridor ilmiah dan tentu
sangat jauh dari kaidah syariat. Di antaranya beliau mengatakan, “Ucapan selamat hari raya
orang kafir itu mirip dengan firman Allah tentang bukit Shafa dan Al-Marwa…”

Subhanallah, bagaimana beliau berupaya untuk menyerupakan dua hal yang tidak mungkin
serupa dalam rangka untuk memperbanyak kerancuan pemahaman, merespons hawa nafsu dan
agar seiring dengan realita. Jika bukan karena motivasi tersebut lalu apa hubungan antara
pernyataannya di atas dengan ucapan selamat hari raya orang kafir. Perkataan seorang yang
tulus, menyambut seruan Allah dan seorang yang memiliki kecemburuan dengan agamanya
berikut ini.

Ibnu Qayyim mengatakan:

 ( ‫معلوم أن التقاة ليست بمواالة ولكن لما نهاهم عن مواالة الكفار اقتضى ذلك معاداتهم‬
‫والبراء منهم ومهاجرتهم بالعدوان في كل حال إال إذا خافوا من شرهم فأباح لهم التقية‬
‫ فكيف بعد هذا يستدل بهذه االستدالالت“ ) وليست التقية مواالة لهم‬″3/69 ‫بدائع الفوائد‬
‫ لهم هللا هؤالء المتالعبون بدين هللا‬, ‫العجيبة بما ينافي العقل والدين‬

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Taqiyah dengan orang kafir itu tidak termasuk loyal dengan orang
kafir. Akan tetapi ketika Allah melarang memberikan loyalitas dengan orang kafir maka
konsekuensinya adalah memusuhi dan berlepas tangan dari orang kafir serta meninggalkan
mereka karena semangat permusuhan dalam setiap keadaan kecuali jika khawatir dengan
gangguan orang kafir maka Allah bolehkan taqiyah kepada orang kafir pada saat itu. Taqiyah itu
bukanlah loyal dengan orang kafir” (Badai Al-Fawaid 3/69).

Setelah penjelasan di atas sebagaimana mungkin orang-orang yang mempermainkan agama


Allah masih saja nekad menggunakan cara-cara berdalil yang aneh tersebut…..? [voa-islam.com]

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2011/12/23/17155/bantahan-terhadap-fatwa-


qardhawi-yang-bolehkan-ucapan-selamat-natal/;#sthash.Fu2JLV3S.dpuf

Anda mungkin juga menyukai