Anda di halaman 1dari 89

ASKEP PADA PADA PENYAKIT ADDISON

(KRISIS ADRENAL)
Posted by nurse87 on 9 Mei 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Medikal Bedah. Tinggalkan sebuah Komentar

A. Konsep Dasar Medis

1. 1. Definisi

Penyakit Addison adalah suatu kelainan endokrin atau hormon yang terjadi pada semua kelompok
umur dan menimpa pria dan wanita sama rata. Penyakit ini di karakteristikan oleh kehilangan berat
badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah rendah dan adakalanya penggelapan kulit pada
kedua bagian-bagian tubuh yang terbuka dan tidak terbuka. (http:/www.total kesehatan
nanda.com/Addison 4html)

Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan pasien akan hormon – hormon korteks adrenal (Soediman, 1996)

Penyakit Addison adalah lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau atrofik, biasanya auto
imun atau tuberkulosa. (Baroon, 1994)

Penyakit Addison terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
pasien akan kebutuhan hormon – hormon korteks adrenal. (Bruner, dan Suddart Edisi 8 hal
1325)

Penyakit Addison ialah kondisi yang terjadi sebagai hasil dari kerusakan pada kelenjar adrenal
(Black, 1997). Penyakit Addison (juga dikenal sebagai kekurangan adrenalin kronik,
hipokortisolisme atau hipokortisisme) adalah penyakit endokrin langka dimana kelenjar adrenalin
memproduksi hormon steroid yang tidak cukup.

1. 2. Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal

Gambar 1. Kelenjar Adrenal (Sumber: Anatomi Fisiologi Sistem Endokrin)

Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal, terbenam dalam
jaringan lemak. Kelenjar ini ada 2 buah, berwarna kekuningan serta berada di luar (ekstra)
peritoneal. Bagian yang sebelah kanan berbentuk pyramid dan membentuk topi (melekat) pada
kutub atas ginjal kanan. Sedangkan yang sebelah kiri berbentuk seperti bulan sabit, menempel pada
bagian tengah ginjal mulai dari kutub atas sampai daerah hilus ginjal kiri. Kelenjar adrenal pada
manusia panjangnya 4-6 cm, lebar 1-2 cm, dan tebal 4-6 mm. Kelenjar adrenal mempunyai berat
lebih kurang 8 gr, tetapi berat dan ukurannya bervariasi bergantung umur dan keadaan fisiologi
perorangan. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat padat kolagen yang mengandung jaringan
lemak. Selain itu masing-masing kelenjar ini dibungkus oleh kapsul jaringan ikat yang cukup tebal
dan membentuk sekat/septa ke dalam kelenjar.

Kelenjar adrenal disuplai oleh sejumlah arteri yang masuk pada beberapa tempat di sekitar bagian
tepinya. Ketiga kelompok utama arteri adalah arteri suprarenalis superior, berasal dari arteri
frenika inferior; arteri suprarenalis media, berasal dari aorta ; dan arteri suprarenalis inferior,
berasal dari arteri renalis. Berbagai cabang arteri membentuk pleksus subkapsularis yang
mencabangkan tiga kelompok pembuluh: arteri dari simpai; arteri dari kortex, yang banyak
bercabang membentuk jalinan kapiler diantara sel-sel parenkim (kapiler ini mengalir ke dalam
kapiler medulla); dan arteri dari medulla, yang melintasi kortex sebelum pecah membentuk bagian
dari jalinan kapiler luas dari medulla. Suplai vaskuler ganda ini memberikan medulla dengan darah
arteri (melalui arteri medularis) dan darah vena (melalui arteri kortikalis). Endotel kapiler ini
sangat tipis dan diselingi lubang-lubang kecil yang ditutupi diafragma tipis. Di bawah endotel
terdapat lamina basal utuh. Kapiler dari medulla bersama dengan kapiler yang mensuplai kortex
membentuk vena medularis, yang bergabung membentuk vena adrenal atau suprarenalis.

Fungsi kelenjar suprarenalis terdiri dari:

1) Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam-garam

2) Mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang dan protein

3) Mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid

Kelenjar suprarenalis ini terbagi atas 2 bagian, yaitu :

1. Medula Adrenal

Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom. Stimulasi serabut saraf
simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke dalam sel-sel pada medulla adrenal akan
menyebabkan pelepasan hormon katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine. Katekolamin
mengatur lintasan metabolic untuk meningkatkan katabolisme bahan bakar yang tersimpan
sehingga kebutuhan kalori dari sumber-sumber endogen terpenuhi.
Efek utama pelepasan epinephrine terlihat ketika seseorang dalam persiapan untuk memenuhi
suatu tantangan (respon Fight or Fligh). Katekolamin juga menyebabkan pelepasan asam-asam
lemak bebas, meningkatkan kecepatan metabolic basal (BMR) dan menaikkan kadar glukosa
darah.

2. Korteks Adrenal

Korteks adrenal tersusun dari zona yaitu zona glomerulosa, zona fasikulata dan zona retikularis.
Korteks adrenal menghasilkan hormon steroid yang terdiri dari 3 kelompok hormon:
a. Glukokortikoid

Hormon ini memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme glukosa; peningkatan
hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks
adrenal sebagai reaksi terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan sekresi
ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal.
Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi pada cedera jaringan dan
menekan manifestasi alergi. Efek samping glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya
diabetes militus, osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang
mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan redistribusi lemak tubuh. Dalam
keadaan berlebih glukokortikoid merupakan katabolisme protein, memecah protein menjadi
karbohidrat dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.

b. Mineralokortikoid

Mineralokortikoid pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro intestinal untuk
meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium
atau hydrogen. Sekresi aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama
disekresikan sebagai respon terhadap adanya angiotensin II dalam aliran darah. Kenaikan kadar
aldesteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal
yang cenderung memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan aldesteron juga
ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron merupakan hormon primer untuk mengatur
keseimbangan natrium jangka panjang.

c. Hormon-hormon seks Adrenal (Androgen)

Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam glandula adrenalis dirangsang
ACTH, mungkin dengan sinergisme gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan
efek yang serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula mensekresikan
sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita. Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh
ACTH. Apabila disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti terlihat pada
kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini disebut Sindrom Adreno Genital.

1. 3. Etiologi
2. Tuberculosis
1. Histoplasmosis (penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur
histoplasma capsulatum, yang terutama menyerang paru-paru)
2. Koksidiodomikosis (penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur Coccidioides
immitis, yang biasanya menyerang paru-paru.
3. Kriptokokissie
4. Pengangkatan kedua kelenjar adrenal
5. Kanker metastatik (Ca. Paru, Lambung, Payudara, Melanoma, Limfoma)
6. Adrenalitis auto imun

1. 4. Patofisiologi

Penyebab terjadinya Hipofungsi Adrenokortikal mencakup operasi pengangkatan kedua kelenjar


adrenal atau infeksi pada kedua kelenjar tersebut. Tuberkulosis (TB) dan histoplasmosis
merupakan infeksi yang paling sering ditemukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar
adrenal. Meskipun kerusakan adrenal akibat proses autoimun telah menggantikan tuberculosis
sebagai penyebab penyakit Addison, namun peningkatan insidens tuberculosis yang terjadi akhir-
akhir ini harus mempertimbangkan pencantuman pemyakit infeksi ini kedalam daftar diagnosis.
Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis juga akan menimbulkan insufisiensi
adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.

Gejala insufisiensi adrenokortikal dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi hormon
adrenokortikal yang akan menekan respon normal tubuh terhadap keadaan stres dan mengganggu
mekanisme umpan balik normal. Terapi dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2-4
minggu dapat menekan fungsi korteks adrenal. Oleh sebab itu kemungkinan Addison harus di
anitsipasi pada pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid.

1. 5. Tanda dan Gejala


1. Gejala awal : kelemahan, fatique, anoreksia, nausea, muntah, BB menurun,
hipotensi, dan hipoglikemi.
2. Astenia (gejala cardinal) : pasien kelemahan yang berlebih
3. Hiperpiqmentasi : menghitam seperti perunggu, coklat seperti terkena sinar
matahari, biasanya pada kulit buku jari, lutut, siku
4. Rambut pubis dan aksilaris berkurang pada perempuan
5. Hipotensi arterial (TD : 80/50 mmHg/kurang)
6. Abnormalitas fungsi gastrointestinal

1. 6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah

1) Penurunan konsentrasi glukosa dan natrium (hipoglikemia dan hiponatrium)

2) Peningkatan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia)

3) Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)

4) Penurunan kadar kortisol serum

5) Kadar kortisol plasma rendah

6) ADH meningkat

7) Analisa gas darah: asidosis metabolic

8) Sel darah merah (eritrosit): anemia numokronik, Ht meningkat (karena


hemokonsentrasi) jumlah limfosit mungkin rendah, eosinofil meningkat.

1. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya klasifikasi di adrenal.


2. CT Scan
Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya dengan insufisiensi pada
tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi malignan dan non malignan dan hemoragik adrenal

1. Gambaran EKG

Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat
adanya abnormalitas elektrolik

1. Tes stimulating ACTH

Cortisol darah dan urin diukur sebelum dan setelah suatu bentuk sintetik dari ACTH diberikan
dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendekcepat. Penyukuran cortisol dalam darah di
ulang 30 sampai 60 menit setelah suatu suntikan ACTH adalah suatu kenaikan tingkatan –
tingkatan cortisol dalam darah dan urin.

1. Tes Stimulating CRH

Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, suatu tes stimulasi CRH “Panjang”
diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidak cukupan adrenal. Pada tes ini, CRH sintetik di
suntikkan secara intravena dan cortisol darah diukur sebelum dan 30, 60 ,90 dan 120 menit setelah
suntikan. Pasien – pasien dengan ketidak cukupan adrenal seunder memp. Respon kekurangan
cortisol namun tidak hadir / penundaan respon – respon ACTH. Ketidakhadiran respon – respon
ACTH menunjuk pada pituitary sebagai penyebab ; suatu penundaan respon ACTH menunjukan
pada hypothalamus sebagai penyebab.

1. 7. Penatalaksanaan Medik
1. Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis
12,5 – 50 mg/hr
2. Hidrkortison (solu – cortef) disuntikan secara IV
3. Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol
4. Pemberian infus dekstrose 5% dalam larutan saline
5. Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral

1. 8. Komplikasi
1. Syok, (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
2. Kolaps sirkulasi
3. Dehidrasi
4. Hiperkalemiae
5. Sepsis
6. Ca. Paru
7. Diabetes melitus

1. B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a) Identitas

Penyakit Addison bisa terjadi pada laki – laki maupun perempuan yang mengalami krisis adrenal

b) Keluhan Utama

Pada umumnya pasien mengeluh kelemahan, fatique, nausea dan muntah.

c) Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu dikaji apakah klien pernah menderita tuberkulosis, hipoglikemia maupun Ca paru, payudara
dan limpoma

d) Riwayat Penyakit Sekarang

Pada pasien dengan penyakit Addison gejala yang sering muncul ialah pada gejala awal :
kelemahan, fatiquw, anoreksia, nausea, muntah, BB turun, hipotensi dan hipoglikemi, astenia
(gejala cardinal). Pasien lemah yang berlebih, hiperpigmentasi, rambut pubis dan axila berkurang
pada perempuan, hipotensi arterial (TD : 80/50 mm/Hg)

e) Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama / penyakit
autoimun yang lain.

2. Pemeriksaan Fisik ( Body Of System)

a) Sistem Pernapasan

I : Bentuk dada simetris, pergerakan dada cepat, adanya kontraksi otot bantu pernapasan (dispneu),
terdapat pergerakan cuping hidung

P : Terdapat pergesekan dada tinggi

P : Resonan

A : Terdapat suara ronkhi, krekels pada keadaan infeksi

b) Sistem Cardiovaskuler

I : Ictus Cordis tidak tampak

P : Ictus cordis teraba pada ICS 5-6 mid clavikula line sinistra

P : Redup
A : Suara jantung melemah

c) Sistem Pencernaan

Mulut dan tenggorokan : nafsu makan menurun, bibir kering

Abdomen : I : Bentuk simetris

A: Bising usus meningkat

P : Nyeri tekan karena ada kram abdomen

P : Timpani

d) Sistem muskuluskeletal dan integumen

Ekstremitas atas : terdapat nyeri

Ekstremitas bawah : terdapat nyeri

Penurunan tonus otot

e) Sistem Endokrin

Destruksi kortek adrenal dapat dilihat dari foto abdomen, Lab. Diagnostik ACTH meningkat

Integumen Turgor kulit jelek, membran mukosa kering, ekstremitas dingin, cyanosis, pucat, terjadi
hiperpigmentasi di bagian distal ekstremitas dan buku – buku pad ajari, siku dan mebran mukosa

f) Sistem Eliminasi Uri

Diuresis yang diikuti oliguria, perubahan frekuensi dan krakteristik urin

Eliminasi Alvi

Diare sampai terjadi konstipasi, kram abdomen

g) Sistem Neurosensori

Pusing, sinkope, gemetar, kelemahan otot, kesemutan terjadi disorientasi waktu, tempat, ruang
(karena kadar natrium rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsangan, cemas, koma ( dalam
keadaan krisis)

h) Nyeri / kenyamanan

Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala, nyeri tulang belakang, abdomen, ekstremitas
i) Keamanan

Tidak toleran terhadap panas, cuaca udaha panas, penngkatan suhu, demam yang diikuti hipotermi
(keadaan krisis)

j) Aktivitas / Istirahat

Lelah, nyeri / kelemahan pada otot terjadi perburukan setiap hari, tidak mampu beraktivitas /
bekerja. Peningkatan denyut jantung / denyut nadi pada aktivitas yang minimal, penurunan
kekuatan dan rentang gerak sendi.

k) Seksualitas

Adanya riwayat menopouse dini, aminore, hilangnya tanda – tanda seks sekunder (berkurang
rambut – rambut pada tubuh terutama pada wanita) hilangnya libido

l) Integritas Ego

Adanya riwayat – riwayat fasctros stress yang baru dialami, termasuk sakit fisik atau pembedahan,
ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil.

3. Diagnosa Keperawatan

a) Kekurangan volume cairan b/d kekurangan natrium dan kehilangan cairan melalui ginjal,
kelenjar keringat, saluran GIT ( karena kekurangan aldosteron)

b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake tidak adekuat (mual, muntah,
anoreksia) defisiensi glukontikord

c) Intoleransi aktivitas b/d penurunan produksi metabolisme, ketidakseimbangan cairan


elektrolit dan glukosa

d) Gangguan harga diri b/d perubahan dalam kemampuan fungsi, perubahan karakteristik tubuh

e) Anxietas b/d kurangnya pengetahuan

f) Defisit perawatan diri b/d kelamahan otot

g) Ganguan eliminasi uri b/d gangguan reabsorbsi pada tubulus

4. Rencana Keperawatan

a) Kekurangan volume cairan b/d ketidakseimbangan input dan

output Kriteria hasil :


 Pengeluaran urin adekuat (1 cc/kg BB/jam)
 TTV dbn N : 80 – 100 x/menit S : 36 – 37oC TD : 120/80 mmHg
 Tekanan nadi perifer jelas kurang dari 3 detik
 Turgor kulit elastis
 Pengisian kapiler naik kurang dari 3 detik
 Membran mukosa lembab
 Warna kulit tidak pucat
 Rasa haus tidak ada
 BB ideal (TB 100) – 10% (TB – 100) – H

Hasil lab

 Ht : W = 37 – 47 %
 L = 42 – 52 %
 Ureum = 15 – 40 mg/dl
 Natrium = 135 – 145 mEq/L
 Calium = 3,3 – 5,0 mEq/L
 Kretanium = 0,6 – 1,2 mg/dl

Intervensi

1) Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pada perubahan posisi, kekuatan dari nadi
perifer

R/ Hipotensi postural merupakan bagian dari hiporolemia akibat kekurangan hormon


aldosteron dan penurunan curah jantung sebagai akibat dari penurunan kolesterol

2) Ukur dan timbang BB klien

R/ Memberikan pikiran kebutuhan akan pengganti volume cairan dan keefektifan pengobatan,
peningkatan BB yang cepat disebabkan oleh adanya retensi cairan dan natrium yang berhubungan
dengan pengobatan strois

3) Kaji pasien mengenai rasa haus, kelelahan, nadi cepat, pengisian kapiler memanjang, turgor
kulit jelek, membran mukosa kering, catat warna kulit dan temperaturnya

R/ mengidentifikasi adanya hipotermia dan mempengaruhi kebutuhan volume pengganti

4) Periksa adanya status mental dan sensori

R/ dihidrasi berat menurunkan curah jantung, berat dan perfusi jaringan terutama jaringan otak

5) Auskultasi bising usus ( peristaltik usus) catat dan laporkan adanya mual muntah dan diare

R/ kerusakan fungsi saluran cerna dapat meningkatkan kehilangan cairan dan elektrolit dan
mempengaruhi cara untuk pemberian cairan dan nutrisi
6) Berikan perawatan mulut secara teratur

R/ membantu menurunkan rasa tidak nyaman akibat dari dehidrasi dan mempertahankan kerusakan
membrane mukosa

7) Berikan cairan oral 1500 cc – 2000 cc / hr sesegera mungkin, sesuai dengan kemampuan
klien

R/ adanya perbaikan pada saluran cerna dan kembalinya fungsi cairan cerna tersebut
memungkinkan cairan dana elektrolit melalui oral

Kolaborasi

8) Berikan cairan, antara lain :

1. Cairan Na Cl 0,9 %

R/ mungkin kebutuhan cairan pengganti 4 – 6 liter, dengan pemberian cairan Na Cl 0,9 % melalui
IV 500 – 1000 ml/jam, dapat mengatasi kekurangan natrium yang sudah terjadi

1. Larutan glukosa

R/ dapat menghilangkan hipovolemia

9) Berikan obat sesuai dosis

1. Kartison (ortone) / hidrokartison (cortef) 100 mg intravena setiap 6 jam untuk 24 jam

R/ dapat mengganti kekurangan kartison dalam tubuh dan meningkatkan reabsorbsi natrium
sehingga dapat menurunkan kehilangan cairan dan mempertahankan curah jantung

1. Mineral kortikoid, flu dokortisan, deoksikortis 25 – 30 mg/hr per oral

R/ di mulai setelah pemberian dosis hidrokortisol yang tinggi yang telah mengakbatkan retensi
garam berlebihan yang mengakibatkan gangguan tekanan darah dan gangguan elektrolit

10) Pasang / pertahankan kateter urin dan selang NGT sesuai indikasi

R/ dapat menfasilitasi pengukuran haluaran dengan akurat baik urin maupun lambung, berikan
dekompresi lambung dan membatasi muntah

11) Pantau hasil laboratorium

1. Hematokrit ( Ht)
R/ peningkatan kadar Ht darah merupakan indikasi terjadinya hemokonsentrasi yang akan kembali
normal sesuai dengan terjadinya dehidrasi pada tubuh

1. Ureum / kreatinin

R/ peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah merupakan indikasi terjadinya kerusakan tingkat
sel karena dehidrasi / tanda serangan gagal jantung

1. Natrium

R/ hiponatremia merupakan indikasi kehilangan melalui urin yang berlebihan katena gangguan
reabsorbsi pada tubulus ginjal

1. Kalium

R/ penurunan kadar aldusteron mengakibatkan penurunan natrium dan air sementara itu kalium
tertahan sehingga dapat menyebabkan hiperkalemia.

b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake tidak adekuat (mual, muntah,
anoreksia) defisiensi glukortikoid

Kriteria hasil :

- Tidak ada mual mutah - Nyeri kepala


- BB ideal (TB-100)-10%(TB-100) - Kesadaran kompos mentis
- Hb : W : 12 – 14 gr/dl - TTV dalam batas normal
L : 13 – 16 gr/dl (S : 36 – 372 oC)
Ht : W : 37 – 47 % (RR : 16 – 20 x/menit)
L : 42 – 52 % -
Albumin : 3,5 – 4,7 g/dl

Glebulin : 2,4 – 3,7 g/dl

Bising Usus : 5 – 12 x/menit


Intervensi

1) Auskultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual muntah
R/ Kekurangan kartisol dapat menyebabkan fejala intestinal berat yang mempengaruhi pencernaan
dan absorpsi makanan

2) Catat adanya kulit yang dingin / basah, perubahan tingkat kesadaran, nyeri
kepala, sempoyongan

R/ Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin perlu pemberian glukosa dan
mengindikasikan pemberian tambahan glukokortikad

3) Pantau pemasukan makanan dan timbang BB tiap hari

R/ anoreksi, kelemahan, dan kehilangan pengaturan metbolisme oleh kartisol terhadap makanan
dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan terjadinya mal nutrisi

4) Berikan atau bantu perawatan mulut

R/ mulut yang bersih dapat meningkatkan nafsu makan

5) Berikan lingkungan yang nyaman untuk makan contoh bebas dari bau yang tidak sedap,
tidak terlalu ramai

R/ Dapat meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki pemasukan makanan

6) Pertahankan status puasa sesuai indikasi

R/ mengistirahatkan gastro interstinal, mengurangi rasa tidak enak

7) Berikan Glukosa intravena dan obat – obatan sesuai indikasi seperti glukokortikoid

R/ memperbaiki hipoglikemi, memberi sumber energi pemberian glukokertikoid akan merangsang


glukoogenesis, menurunkan penggunaan mukosa dan membantu penyimpanan glukosa sebagai
glikogen

8) Pantau hasil lab seperti Hb, Hi

R/ anemia dapat terjadi akibat defisit nutrisi / pengenceran yang terjadi akibat reterisi cairan
sehubungan dengan glukokortikoid.

c) Intoleransi aktivitas b/d penurunan O2 ke jaringan otot kedalam metabolisme,


ketidak seimbangan cairan elektrolit dan glukosa

Kriteria hasil :

- menunjukan peningkatan klien dan partisipasi dalam aktivitas setelah dilakukan tindakan

- TTV N : 80 – 100 x/menit RR : 16 – 20 x/menit TD : 120/80 mmHg


Intervensi

1) Kaji tingkat kelemahan klien dan identifikasi aktivitas yang dapat dilakukan oleh klien

R/ pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga kelemahan otot, menjadi terus memburuk
setiap hari karena proses penyakit dan munculnya ketidakseimbangan natrium kalium

2) Pantau TTV sebelum dan sesudah melakukan aktivitas

R/ kolapsnya sirkulasi dapat terjadi sebagai dari stress, aktivitas jika curah jantung berkurang

3) Sarana pasien untuk menentukan masa atau periode antara istirahat dan melakukan

aktivitas R/ mengurangi kelelahan dan menjaga ketenangan pada jantung

4) Diskusikan cara untuk menghemat tenaga misal : duduk lebih baik dari pada berdiri
selama melakukan aktivitas

R/ pasien akan dapat melakukan aktivitas yang lebih banyak dengan mengurangi pengeluaran
tenaga pada setiap kegiatan yang dilakukan

d) Nyeri akut b/d diskontinuitas sistem konduksi spasme otot

abdomen Kriteria hasil :

 Klien mengatakan nyeri berkurang


 Klien tidak menyeringai kesakitan
 TTV dalam batas normal

S : 36 – 372 oC

N : 80 – 100 x/menit

RR: 16 – 20 x/menit

Intervensi

1) Beri penjelasan pada klien tentang penyebab nyeri dan proses penyakit

R/ Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga, serta agar klien lebih kooperatif terhadap
tindakan yang akan dilakukan

2) Kaji tanda – tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0
– 10) dan lamanya
R/ Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektifitas
terapi

3) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, misal musik yang
lembut, relaksasi

R/ Membantu untuk menfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi nyeri /
rasa tidak nyaman secara lebih efektif

4) Kolaborasi

Berikan obat analgetik dan atau analgetik sprei tenggorok sesuai dengan kebutuhannya.

R/ menurunkan nyeri dan rasa tidak nyaman, meningkatkan istirahat.

e) Gangguan harga diri b/d perubahan dalam kemampuan fungsi, perubahan karakteristik tubuh

Kriteria hasil :

- Menunjukan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada tubuhnya

- Dapat beradaptasi dengan orang lain

- Dapat mengungkapkan perasaannya tentang

dirinya. Intervensi

1) Dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang keadaannya misal : perubahan


penampilan dan peran

R/ Membantu mengevaluasi berapa banyak masalah yang dapat diubah oleh pasien

2) Sarankan pasien untuk melakukan manajemen stress misal :

- Teknik relaksasi

- Visualisasi

- Imaginasi

R/ Meminimalkan perasaan stress, frustasi, meningkatkan kemampuan koping.

3) Dorongan pasien untuk membuat pilihan guna berpartisipasi dalam penampilan diri

sendiri R/ dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki harga diri


4) Fokus pada perbaikan yang sedang terjadi dan pengobatan misal menurunkan pigmentasi

kulit R/ ungkapkan seperti ini dapat mengangkat semangat pasien dan meningkatkan harga diri

pasien

5) Sarankan pasien untuk mengunjungi seseorang yang penyakitnya telah terkontrol dan gejalanya
telah berkurang

R/ dapat menolong pasien untuk melihat hasil dari pengobatan yang telah dilakukan

6) Kolaborasi

Rujuk kepelayanan sosial konseling, dan kelompok pendukung sesuai pendukubg

R/ pendekatan secara koprehensif dapat membantu memnuhi kebutuhan pasien untuk memelihara
tingkah laku pasien.

f) Cemas b/d kurangnya pengetahuan

Kriteria hasil :

- Pasien akan menyatakan pemahaman, kebutuhan untuk mengatasi kurangnya percaya diri

- Pasien akan menunjukan pemahaman program medis dan gejala untuk dilaporkan ke dokter

- Pasien akan menunjukan perubahan poal hidup / perilaku untuk menurunkan terjadinya masalah

Intervensi

1) Bantu Px dalam membuat metode untuk menhindari atau mengubah episode stres, diskusi teknik
relaksasi

R/ Penurunan stress dapat membatasi pengeluaran katekolamin oleh sistem saraf simatis, sehingga
membatasi / mencegah respon vasokonstriksi

2) Diskusikan tujuan, dosis, efek samping obat

R/ Informasi perlu bagi pasien untuk mengikuti program terapi dan mengevaluasi keefektifan

3) Kaji skala anxietas

R/ Mengetahui derajad kecemasan klien

4) Sarankan klien tetap menetapkan secara aktif, jadwal yang teratur dalam makan, tidur dan
latihan
R/ Membantu meningkatkan perasaan menyenangkan sehat, dan untuk emmahami bahwa aktivitas
fisik yag tidak teratur dapat meningkatkan kebutuhan hormon

5) Diskusikan perasaan pasien yang berhubungan dengan pemakaian obat untuk sepanjang
kehidupan Px.

R/ Dengan mendiskusikan fakta – fakta tersebut dapat membantu Px untuk memasukkan


perubahan perilaku yang perlu ke dalam gaya hidup

6) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian anti depresan, diazepam

g) Gangguan eliminasi uri b/d Gx reabsorbsi

Kriteria hasil : - Klien tidak lagi mengeluh BAK sedikit / kencing tidak lancar

Intervensi

1) Anjurkan pada Klien agar diet tinggi garam

R/ menambah retensi Na+

2) Anjurkan pada klien untuk minum

banyak R/ melancarkan aliran kencing

lancar

3) Pemasangan kateter

R/ Agar klien dapat BAK dengan lancar

4) Obs. Input dan output

R/ Mengetahui keseimbangan cairan

5) Kolaborasi pemberian diuretik

R/ meningkatkan kerja ginjal untuk melancarkan BAK

DAFTAR PUSTAKA

Doenges Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : ECG

Http://wwww.total kesehatan nanca.com/Addison4.html

Price, Sylvia. 2005. patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC

ASKEP OSTEOMIELITIS
Posted by nurse87 on 9 Mei 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Medikal Bedah. Tinggalkan sebuah Komentar

1. A. Konsep Dasar Medis


2. 1. Definisi

Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi
jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya
tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan
tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup
atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. (Brunner, suddarth. (2001). Beberapa ahli
memberikan defenisi terhadap osteomyelitis sebagai berkut :

- Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang


disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes
RI, 1995).

- Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).

- Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan
oleh staphylococcus (Henderson, 1997)

- Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang


disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus influenzae, infeksi
yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus.

Klasifikasi Osteomielitis

Dari uraian di atas maka dapat diklasifikasikan dua macam osteomielitis, yaitu:

1. Osteomielitis Primer.

Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan
beredar melalui sirkulasi darah.

2. Osteomielitis Sekunder.

Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.

Berdasarkan lama infeksi, osteomielitis terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Osteomielitis akut
Yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 2 minggu sejak infeksi pertama atau sejak penyakit
pendahulu timbul. Osteomielitis akut ini biasanya terjadi pada anak-anak dari pada orang dewasa
dan biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi di dalam darah. (osteomielitis hematogen)

Osteomielitis akut terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Osteomielitis hematogen

Merupakan infeksi yang penyebarannya berasal dari darah. Osteomielitis hematogen akut
biasanya disebabkan oleh penyebaran bakteri darah dari daerah yang jauh. Kondisi ini biasannya
terjadi pada anak-anak. Lokasi yang sering terinfeksi biasa merupakan daerah yang tumbuh
dengan cepat dan metafisis menyebabkan thrombosis dan nekrosis local serta pertumbuhan bakteri
pada tulang itu sendiri. Osteomielitis hematogen akut mempunyai perkembangan klinis dan onset
yang lambat.

b. Osteomielitis direk

Disebabkan oleh kontak langsung dengan jaringan atau bakteri akibat trauma atau pembedahan.
Osteomielitis direk adalah infeksi tulang sekunder akibat inokulasi bakteri yang menyebabkan oleh
trauma, yang menyebar dari focus infeksi atau sepsis setelah prosedur pembedahan. Manifestasi
klinis dari osteomielitis direk lebih terlokasasi dan melibatkan banyak jenis organisme.

2. Osteomielitis sub-akut

Yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 1-2 bulan sejak infeksi pertama atau sejak penyakit
pendahulu timbul.

3. Osteomielitis kronis

Yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 2 bulan atau lebih sejak infeksi pertama atau sejak penyakit
pendahulu timbul. Osteomielitis sub-akut dan kronis biasanya terjadi pada orang dewasa dan
biasanya terjadi karena ada luka atau trauma (osteomielitis kontangiosa), misalnya osteomielitis
yang terjadi pada tulang yang fraktur.

Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang paling sering :

1. Staphylococcus (orang dewasa)

2. Streplococcus (anak-anak)

3. Pneumococcus dan Gonococcus


1. 2. Etiologi
2. 3. Patofisiologi

1. Staphylococcus aureus hemolitikus (koagulasi positif) sebanyak 90% dan jarang oleh
streptococcus hemolitikus.
2. Haemophylus influenza (50%) pada anak-anak dibawah umur 4 tahun. Organism yang
lain seperti : bakteri coli, salmonella thyposa dan sebagainya.
3. Proses spesifik (M.Tuberculosa)
4. Penyebaran hematogen dari pusat infeksi jauh (tonsilitis, bisul atau jerawat, ISPA)

1. Proses penyakit

Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme
patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan
Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram
negative dan anaerobik. Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3
bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma
atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah
pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan
terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan. Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu
dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada
pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang
sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke
kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di
sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses
tulang. Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus
dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk
daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat
mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak lainnya. Terjadi
pertumbuhan tulang baru(involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi
proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan
abses kambuhan sepanjang hidup penderita. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.

1. 4. Manifestasi klinis

1. Fase akut

Fase sejak infeksi sampai 10-15 hari. Makin panas tinggi, nyeri tulang dekat sendi, tidak dapat
menggerakan anggota tubuh.

b. Fase kronik
Rasa sakit tidak begitu berat, anggota yang terkena merah dan bengkak dengan pus yang selalu
mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, dan pengeluaran pus.
Infeksi derajat rendah dapat terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.

1. 5. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan darah

Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endap darah

2. Pemeriksaan titer antibody – anti staphylococcus

Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji
sensitivitas

3. Pemeriksaan feses

Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri
salmonella

4. Pemeriksaan biopsy tulang

Merupakan proses pengambilan contoh tissue tulang yang akan digunakan untuk
serangkaian tes.

5. Pemeriksaan ultra sound

Yaitu pemeriksaan yang dapat memperlihatkan adannya efusi pada sendi.

6. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik. Setelah 2
minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus dan kerusakan tulang dan
pembentukan tulang yang baru.

Pemeriksaan tambahan :

1. Bone scan : dapat dilakukan pada minggu pertama


2. MRI : jika terdapat fokus gelap pada T1 dan fokus yang terang pada T2,
maka kemungkinan besar adalah osteomielitis.

1. 6. Penatalaksanaan medis
1. Terapi

Osteomielitis hematogen akut paling bagus di obati dengan evaluasi tepat terhadap
mikroorganisme penyebab dan kelemahan mikroorganisme tersebut dan 4-6 minggu terapi
antibiotic yang tepat.

Debridement tidak perlu dilakukan jika telah cepat diketahui. Anjuran pengobatan sekarang jarang
memerlukan debridement. Bagaimana jika terapi antibiotic gagal, debridement dan pengobatan 4-6
minggu dengan antibiotic parenteral sangat diperlukan. Setelah kultur mikroorganisme dilakukan,
regimen antibiotic parenteral (nafcillin[unipen] + cefotaxime lain [claforan] atau ceftriaxone
[rocephin]) diawali untuk menutupi gejala klinis organism tersangka. Jika hasil kultur telah
diketahui, regimen antibiotic ditinjau kembali. Anak-anak dengan osteomielitis akut harus
menjalani 2 minggu pengobatan dengan antiniotik parenteral sebelum anak-anak diberikan
antibiotic oral.

Osteomielitis kronis pada orang dewasa lebih sulit disembuhkan dan umumnya diobati dengan
antibiotic dan tindakan debridement. Terapi antibiotik oral tidak dianjurkan untuk digunakan.
Tergantung dari jenis osteomielitis kronis. Pasien mungkin diobati dengan antibiotik parenteral
selama 2-6 minggu. Bagaimanapun,tanpa debridement yang bagus, osteomielitis kronis tidak akan
merespon terhadap kebanyakan regiment antibiotic, berapa lama pun terapi dilakukan. Terapi
intravena untuk pasien rawat jalan menggunakan kateter intravena yang dapat dipakai dalam
jangka waktu lama (contohnya : kateter hickman) akan menurunkan masa rawat pasien di rumah
sakit.

Terapi secara oral menggunakan antibiotic fluoroquinolone untuk organism gram negative
sekarang ini digunakan pada orang dewasa dengan osteomielitis. Tidak ada fluoroquinolone yang
tersedia digunakan sebagai antistaphylococcus yang optimal, keuntungan yang paling penting dari
insidensi kebalnya infeksi nosokomial yang didapat dengan bakteri staphylococcus. Untuk lebih
lanjutnya, sekarang ini quinolone tidak menyediakan pengobatan

Daerah yang terkana harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidak nyamanan dan mencegah
terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari
untuk meningkatkan aliran darah.

Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi, Kultur darah dan swab
dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang
terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu patogen.

Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika intravena, dengan
asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau
sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut
menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu
sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi.
Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui
biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral
dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum
bersama makanan.

Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus
dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara
langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibitika dianjurkan.

Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuran terhadap debridemen bedah. Dilakukan
sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat
sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam
menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan
mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.

Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat
diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase
berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin
normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.

Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang
penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang
berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun
dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah;
perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi.
Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan.
Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong
dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

Pemberian antibiotic dapat dilakukan :

1. Melalui oral (mulut)


2. Melalui infuse : jika diberikan melalui infus, maka diberikan selama 2 minggu, kemudian
diganti menjadi melalui mulut. Jika dalam 24 jam pertama gejala tidak membaik, maka
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan operasi untuk mengurangi tekanan yang
terjadi dan untuk mengeluarkan nanah yang ada. Etelah itu dilakukan irigasi secara
kontinyu dan dipasang drainase. Teruskan pemberian antiniotik selama 3-4 minggu
hingga nilai laju endap darah (LED) normal.

1. 7. Komplikasi

1. Dini :

1) Kekakuan yang permanen pada persendian terdekat (jarang terjadi)


2) Abses yang masuk ke kulit dan tidak mau sembuh sampai tulang yang
mendasarinya sembuh

3) Atritis septik

2. Lanjut :

1) Osteomielitis kronik ditandai oleh nyeri hebat rekalsitran, dan penurunan fungsi tubuh yang
terkena

2) Fraktur patologis

3) Kontraktur sendi

4) Gangguan pertumbuhan

1. B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis
dalam pengumpulan data dari beberapa sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien (Nursalam, 2001).

Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan osteomielitis meliputi:

a) Identifikasi klien

Terdiri dari nama, jenis kelamin, usia, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan,bahasa
yang digunakan, pekerjaan dan alamat.

b) Riwayat keperawatan

1) Riwayat kesehatan masa lalu

Identifikasi adanya trauma tulang, fraktur terbuka,atau infeksi lainnya (bakteri


pneumonia,sinusitis,kulit atau infeksi gigi dan infeksi saluran kemih) pada masa lalu. Tanyakan
mengenai riwayat pembedahan tulang.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Apakah klien terdapat pembengkakan,adanya nyeri dan demam.

3) Riwayat kesehatan keluarga


Adakah dalam keluarga yang menderita penyakit keturunan.

4) Riwayat psikososial

Adakah ditemukan depresi, marah ataupun stress.

5) Kebiasaan sehari-hari

a) Pola nutrisi : anoreksia, mual, muntah.

b) Pola eliminasi : adakah retensi urin dan konstipasi.

c) Pola aktivitas : pola kebiasaan

6) Pemeriksaan fisik

a) Kaji gejala akut seperti nyeri lokal, pembengkakan, eritema, demam dan keluarnya pus
dari sinus disertai nyeri.

b) Kaji adanya faktor resiko (misalnya lansia, diabetes, terapi kortikosteroid


jangka panjang) dan cedera, infeksi atau bedah ortopedi sebelumnya.

c) Identifikasi adanya kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi. (pada


osteomielitis akut)

d) Observasi adanya daerah inflamasi, pembengkakan nyata, dan adanya cairan purulen.

e) Identisikasi peningkatan suhu tubuh

f) Area sekitar tulang yang terinfeksi menjadi bengkak dan terasa lembek bila di palpasi.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan tentang respon manusia dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akountabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan.

Diagnosa pada pasien dengan osteomielitis adalah sebagai berikut (Marlyn E. Doengoes :
hal ) :

a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.


b) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

c) Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan efek pembedahan ; imobilisasi.

d) Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang,


kerusakan kulit

3. Rencana Keperawatan

1. a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri dan ketidaknyamanan
berkurang, serta tidak terjadi kekambuhan nyeri dan komplikasi

Kriteria hasil :

Tidak ada nyeri, klien tampak rileks, tidak ada mengerang dan perilaku melindungi bagian yang
nyeri, frekuensi pernapasan 12-24 per menit, suhu klien dalam batas normal (36ºC-37ºC) dan tidak
adanya komplikasi.

Intervensi :

1) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring

2) Tinggikan ekstermitas yang mengalami nyeri

3) Hindari penggunaan sprei atau bantal plastic dibawah ekstermitas yang mengalami nyeri

4) Evaluasi keluhan nyeri atau ketidak nyamanan. Perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk
intensitas (skala nyeri 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri perubahan pada tanda vital dan emosi atau
perilaku.

5) Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan infeksi pada tulang.

6) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau akfif

7) Beri alternative tindakan kenyamanan seperti pijatan, punggung atau perubahan posisi.

8) Dorong menggunakan tehnik managemen stress, seperti relaksasi progresif, latihan napas
dalam, imajinasi visualisasi, dan sentuhan terapeutik.

9) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba, lokasi progresif atau buruk
tidak hilang dengan analgesik.
10) Jelaskan prosedur sebelum melakukan tindakan keperawatan.

11) Lakukan kompres dingin 24-48 jam pertama dan sesuai kebutuhan.

Kolaborasi :

12) Berikan obat analgesik seperti hidroksin,siklobenzaprin sesuai indikasi.

13) Awasi analgesic yang diberikan.

1. b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam, diharapkan mobilitas fisik yaitu klien mampu
beradaptasi dan mempertahankan mobilitas fungsionalnya

Kriteria hasil :

Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas, mempertahankan posisi fungsional, meningkatkan


kekuatan atau fungsi yang sakit dan mengkompensasikan bagian tubuh.

Intervensi :

1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan adalah cedera atau pengobatan dan perhatikan persepsi
pasien terhadap mobilisasi

2) Bantu atau dorong perawatan diri atau keberihan diri (mandi,mencukur)

3) Awasi tekanan darah klien dengan melakukan aktivitas fisik, perhatikan keluhan pusing

4) Tempatkan dalam posisi terlentang atau posisi nyaman dan ubah posisi secara periodic

5) Awasi kebiasaan eliminasi dan berikan ketentuan defekasi rutin

6) Berikan atau bantu mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat sesegera mungkin

7) Konsul dengan ahli terapi fisik atau rehabilitasi spesialis

8) Rujuk ke perawat spesialis psikiatrik klinik atau ahli terapi sesuai indikasi

1. c. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan efek pembedahan ; imobilisasi.


Tujuan :

setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan masalah gangguan infeksi kulit
teratasi dan kembali dalam batas normal.

Kriteria hasil :

Klien tampak rileks dank lien menunjukan perilaku atau tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit,
memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

Intervensi :

1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing kemudian perdarahan dan perubahan warna kulit

2) Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan

3) Tempatkan bantalan air atau bantalan lain dibawah siku atau tumit sesuai indikasi

4) Perawatan, bersihkan kulit dengan sabun air, gosok perlahan dengan alcohol atau bedak
dengan jumlah sedikit berat

5) Gunakan telapak tangan untuk memasang, mempertahankan atau lepaskan gips, dan dukung
bantal setelah pemasangan

6) Observasi untuk potensial area yang tertekan, khususnya pada akhir dan bawah beban
atau gips.

1. d. Resiko terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan pembentukan


abses tulang, kerusakan kulit

Tujuan :

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, maka diharapkan penyembuhan luka
sesuai waktu yang dicatat dan tidak terjadinya infeksi yang berkelanjutan.

Kriteria hasil :

Penyembuhan luka sesuai waktu yang dicatat, bebas drainase purulen dan demam dan juga tidak
terjadinya infeksi yang berkepanjangan

Intervensi :

1) Inspeksi kulit atau adanya iritasi atau adanya kontinuitas

2) Kaji sisi kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri atau rasa terbakar atau adanya edema
atau eritema atau drainase atau bau tidak sedap
3) Berikan perawatan luka

4) Observasi luka untuk pembentukan bula, perubahan warna kulit kecoklatan bau drainase
yang tidak enak atau asam

5) Kaji tonus otot, reflek tendon

6) Selidiki nyeri tiba-tiba atau keterbatasan gerakan dengan edema lokal atau
enterna ekstermitas cedera

Kolaborasi :

7) Lakukan pemeriksaan lab sesuai indikasi dokter

8) Berikan obat atau antibiotik sesuai indikasi

J. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan perencanaan berhasil di capai.

Ada dua komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan :

1. Proses ( sumatif )

Fokusnya adalah aktifitas dari proses keperawatan dan kualitas tindakan evaluasi dilaksanakan
sesudah perencanaan keperawatan.

2. Hasil ( formatif )

fokusnya adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir tindakan keperawatan.

Evaluasi yang dilakukan pada klien dengan osteomielitis meliputi :

a. Mengalami peredaan nyeri

1) Melaporkan berkurangnya nyeri

2) Tidak mengalami nyeri tekan di tempat terjadinya infeksi

3) Tidak mengalami ketidak nyamanan bila bergerak

b. Peningkatan mobilitas fisik


1) Berpartisipasi dalam aktifitas perawatan diri

2) Mempertahankan fungsi penuh ekstermitas yang sehat

3) Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman

c. Tidak terjadi perluasan infeksi

1) Memakai antibiotic sesuai resep

2) Suhu badan normal

3) Tidak ada pembengkakan

4) Tidak ada pus

5) Angka leukosit dan laju endap darah (LED) kembali normal

d. Integritas kulit membaik

1) Menyatakan kenyamanan

2) Mempertahankan intergritas kulit

3) Mempertahankan proses penyembuhan dalam batas normal

e. Mematuhi rencana terapeutik

1) Memakai antibiotic sesuai resep

2) Melindungi tulang yang lemah

3) Melakukan perawatan luka yang benar

4) Melaporkan bila ada masalah segera

YANG HARUS ANDA TAHU TENTANG FLORENCE


NIGHTINGALE (PELOPOR PERAWAT MODERN) 4
Posted by nurse87 on 9 Mei 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan. Tinggalkan sebuah Komentar
Pulang ke Inggris

Florence Nightingale kembali ke Inggris sebagai pahlawan pada tanggal 7 Agustus


1857, semua orang tahu siapa Florence Nightingale dan apa yang ia lakukan ketika ia
berada di medan pertempuran Krimea, dan menurut BBC, ia merupakan salah satu tokoh
yang paling terkenal setelah Ratu Victoria sendiri. Nightingale pindah dari rumah
keluarganya di Middle Claydon, Buckinghamshire, ke Burlington Hotel di Piccadilly.
Namun, ia terkena demam, yang disebabkan oleh Bruselosis (“demam Krimea”) yang
menyerangnya selama perang Krimea. Dia memalangi ibu dan saudara perempuannya dari
kamarnya dan jarang meninggalkannya.
Sebagai respon pada sebuah undangan dari Ratu Victoria – dan meskipun terdapat
keterbatasan kurungan pada ruangannya – Nightingale memainkan peran utama dalam
pendirian Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris, dengan Sidney Herbert
menjadi ketua. Sebagai wanita, Nightingale tidak dapat ditunjuk untuk Komisi Kerajaan, tetapi ia
menulis laporan 1.000 halaman lebih yang termasuk laporan statistik mendetail, dan ia merupakan
alat implementasi rekomendasinya. Laporan Komisi Kerajaan membuat adanya pemeriksaan
tentara militer, dan didirikannya Sekolah Medis Angkatan Bersenjata dan sistem rekam medik
angkatan bersenjata.

Karir selanjutnya
Ketika ia masih di Turki, pada tanggal 29 November 1855, publik bertemu untuk
memberikan pengakuan pada Florence Nightingale untuk hasil kerjanya pada perang yang
membuat didirikannya Dana Nightingale untuk pelatihan perawat. Sidney Herbert menjadi
sekretaris honorari dana, dan Adipati Cambridge menjadi ketua. Sekembalinya Florence ke
London, ia diundang oleh tokoh-tokoh masyarakat. Mereka mendirikan sebuah badan bernama
“Dana Nightingale”, dimana Sidney Herbert menjadi Sekertaris Kehormatan dan Adipati
Cambridge menjadi Ketuanya. Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana yang besar sekali
sejumlah 45.000 sebagai rasa terima kasih orang-orang Inggris karena Florence Nightingale
berhasil menyeamatkan banyak jiwa dari kematian.
Florence menggunakan uang itu untuk membangun sebuah sekolah perawat khusus
untuk wanita yang pertama, saat itu bahkan perawat-perawat pria pun jarang ada yang
berpendidikan.
Florence berargumen bahwa dengan adanya sekolah perawat, maka profesi perawat
akan menjadi lebih dihargai, ibu-ibu dari keluarga baik-baik akan mengijinkan anak-anak
perempuannya untuk bersekolah disana dan masyarakat akan lain sikapnya menghadai seseorang
yang terdidik.
Sekolah tersebut pun didirikan di lingkungan rumah sakit St. Thomas Hospital, London.
Dunia kesehatan pun menyambut baik pembukaan sekolah perawat tersebut.
Saat dibuka pada tanggal 9 Juli 1860 berpuluh-puluh gadis dari kalangan baik-baik
mendaftarkan diri, perjuangan Florence di Semenanjung Krimea telah menghilangkan
gambaran lama tentang perempuan perawat. Dengan didirikannya sekolah perawat tersebut telah
diletakkan dasar baru tentang perawat terdidik dan dimulailah masa baru dalam dunia perawatan
orang sakit. Kini sekolah tersebut dinamakan Sekolah Perawat dan Kebidanan Florence
Nightingale (Florence Nightingale School of Nursing and Midwifery) dan merupakan bagian dari
Akademi King College London.
Sebagai pimpinan sekolah Florence mengatur sekolah itu dengan sebaik mungkin.
Tulisannya mengenai dunia keperawatan dan cara mengaturnya dijadikan bahan pelajaran
disekolah tersebut.
Saat tiba waktunya anak-anak didik pertama Florence menamatkan sekolahnya,
berpuluh-puluh tenaga pemudi habis diambil oleh rumah sakit sekitar, padahal rumah sakit yang
lain banyak meminta bagian.
Perawat lulusan sekolah Florence pertama kali bekerja pada Rumah Sakit Liverpool
Workhouse Infirmary. Ia juga berkampanye dan menggalang dana untuk rumah sakit Royal
Buckinghamshire di Aylesbury dekat rumah tinggal keluarganya.
Dengan perawat-perawat terdidik, era baru perawatan secara modernpun diterapkan
ditempat-tempat tersebut.
Dunia menjadi tergugah dan ingin meniru. Mereka mengirimkan gadis-gadis
berbakat untuk dididik di sekolah tersebut dan sesudah tamat mereka diharuskan mendirikan
sekolah serupa di negerinya masing-masing.
Pada tahun 1882 perawat-perawat yang lulus dari sekolah Florence telah tumbuh dan
mengembangkan pengaruh mereka pada awal-awal pengembangan profesi keperawatan.
Beberapa dari mereka telah diangkat menjadi perawat senior (matron), termasuk di rumah sakit-
rumah sakit London seperti St. Mary’s Hospital, Westminster Hospital, St Marylebone Workhouse
Infirmary dan the Hospital for Incurables (Putney); dan diseluruh Inggris, seperti: Royal Victoria
Hospital, Netley; Edinburgh Royal Infirmary; Cumberland Infirmary; Liverpool Royal Infirmary
dan juga di Sydney Hospital, di New South Wales, Australia. Orang sakit menjadi pihak yang
paling beruntung di sini, disamping mereka mendapatkan perawatan yang baik dan memuaskan,
angka kematian dapat ditekan serendah mungkin. Buku dan buah pikiran Florence Nightingale
menjadi sangat bermanfaat dalam hal ini.
Pada tahun 1860 Florence menulis buku Catatan tentang Keperawatan (Notes on
Nursing) buku setebal 136 halaman ini menjadi buku acuan pada kurikulum di sekolah
Florence dan sekolah keperawatan lainnya. Buku ini juga menjadi populer di kalangan
orang awam dan terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia.
Pada tahun 1861 cetakan lanjutan buku ini terbit dengan tambahan bagian tentang
perawatan bayi. Pada tahun 1869, Nightingale dan Elizabeth Blackwell mendirikan Universitas
Medis Wanita.
Pada tahun 1870-an, Linda Richards, “perawat terlatih pertama Amerika”,
berkonsultasi dengan Florence Nightingale di Inggris, dan membuat Linda kembali ke
Amerika Serikat dengan pelatihan dan pengetahuan memadai untuk mendirikan sekolah
perawat. Linda Richards menjadi pelopor perawat di Amerika Serikat dan Jepang.
Pada tahun 1883 Florence dianugrahkan medali Palang Merah Kerajaan (The Royal
Red Cross) oleh Ratu Victoria.
Pada tahun 1907 pada umurnya yang ke 87 tahun Raja Inggris, di hadapan beratusratus
undangan menganugerahkan Florence Nightingale dengan bintang jasa The Order Of
Merit dan Florence Nightingale menjadi wanita pertama yang menerima bintang tanda jasa ini.
Pada tahun 1908 ia dianugrahkan Honorary Freedom of the City dari kota London.
Nightingale adalah seorang universalis Kristen. Pada tanggal 7 Februari 1837 – tidak
lama sebelum ulang tahunnya ke-17 – sesuatu terjadi yang akan mengubah hidupnya: ia
menulis, “Tuhan berbicara padaku dan memanggilku untuk melayani-Nya.”

Meninggal dunia
Florence Nightingale meninggal dunia di usia 90 tahun pada tanggal 13 Agustus
1910. Keluarganya menolak untuk memakamkannya di Westminster Abbey, dan ia
dimakamkan di Gereja St. Margaret yang terletak di East Wellow, Hampshire, Inggris.

PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL


Posted by nurse87 on 20 April 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Medikal Bedah. Tinggalkan sebuah Komentar

A. DATA SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
1.1. Persendian
1.1.1. Nyeri
Nyeri adalah masalah yang paling umum dari gangguan muskuloskeletal. Penting untuk
mengetahui lokasi dari nyeri, kualitas maupun tingkat keparahannya dan waktu terjadinya nyeri.
Disamping itu perlu diperoleh informasi mengenai kondisi yang memperberat maupun yang
meringankan keluhan. Termasuk juga apakah ada keluhan lain yang menyertai nyeri seperti
demam dan sakit tenggorokan.
2. Kekakuan
Pada penyakit rheumatoid arthritis, kekakuan pada persendian biasanya terjadi pada pagi hari dan
setelah periode istirahat.
1.1.3. Pembengkakan, panas dan kemerahan pada sendi
Keluhan ini dikaji untuk mengetahui apakah terdapat inflamasi akut
1.1.4. Keterbatasan gerak
Penurunan rentang gerak biasanya muncul pada masalah persendian
1.2.Otot
1. Nyeri
Nyeri pada otot biasanya dirasakan seperti “KRAM” atau kejang pada otot
.2.2. Kelemahan Otot
Perlu diketahui lama terjadinya keluhan, lokasi apakah terdapat distropi pada otot tersebut.
Kelemahan Otot dapat diindikasikan sebagai adanya gangguan muskuloskeletal atau neurology.
1.3. Tulang
1.3.1. Nyeri
Pada fraktur karakteristik nyeri tajam dan keluhan semakin parah jika ada pergerakan. Meskipun
demikian keluhan nyeri pada tulang biasanya tumpul dan dalam yang juga mengakibatkan
gangguan pergerakan.

1.3.2. Deformitas
Keluhan ini dapat terjadi karena trauma dan juga mempengaruhi rentang gerak. Ini perlu dikaji
dengan lebih teliti dan data yang terkait dengan waktu terjadinya trauma serta penanganan yang
dilakukan perlu diidentifikasi secara cermat.

1.4. Pengkajian Fungsional


Pengkajian ini terkait dengan kemampuan pasien dalam melakukana aktivitas sehari-hari ( ADL).
Yang meliputi personal hygiene, eliminasi berpakaian dan berhias, makan kemampuan mobilisasi
serta kemampuan berkomunikasi.

2. Riwayat Kesehatan dan Pengobatan


2.1.Tanyakan pada klien mengenai masalah kesehatan yang pernah dialaminya, khususnya yang
terkait dengan ganguan muskuloskeletal. Informasi ini akan memberi data dasar pada saat
pemeriksaan fisik. Misalnya cedera yang pernah dialami klien mungkin akan mempengaruhi
nilai rentang gerak pada persendian dan ekstremitas pada saat dilakukan pemeriksaan fisik.
Demikian juga nyeri persendian yang terjadi setelah menderita penyakit kerongkongan yang
mungkin mengindikasikan adanya demam rhematik
2.2. Data tentang imunisasi juga diperlukan ( tetanus dan polio ), karena kekakuan pada
persendian maupun kejang pada otot dapat juga disebabkan oleh tetanus dan polio. Kondisi seperti
ini hampir mirip dengan arthritis.
2.3. Pada wanita paruh baya perlu juga ditanyakan mengenai riwayat menopause serta apakah
pasien tersebut mendapat terapi estrogen pengganti atau tidak. Wanita yang mengalami menopause
lebih awal biasanya berisiko menderita osteoporosis karena penurunan kadar estrogen dalam tubuh
yang mengakibatkan penurunan kepadatan tulang.
2.4. Selain penyakit muskuloskeletal, adanya penyakit lain seperti DM, anemia dan sistemik lupus
eritematosus, juga perlu dikaji. Karena hal ini juga dapat menjadi resiko terjadinya masalah
muskuloskeletal seperti osteoporosis dan osteomyelitis.
3. Riwayat Keluarga
Dapatkan informasi mengenai penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga seperti riwayat
rheumatoid arthritis, gout atau osteoporosis. Kondisi ini cenderung terjadi pada hubungan
keluarga.
4. Riwayat Sosial
Hal- hal yang dikaji disini meliputi pekerjaan yang berisiko terhadap terjadinya gangguan
muskuloskeletal. Termasuk juga aktivitas yang rutin dilakukan, pola diet/ kebiasaan
mengkonsumsi makanan maupun minuman keras, berat badan, serta penanganan yang biasanya
dilakukan jika terdapat keluhan.
Overfield (1995) dalam Weber menyatakan bahwa pria memiliki tulang yang lebih padat setelah
pubertas dan orang kulit hitam mempunyai tulang yang lebih padat dari orang kulit putih. Ia juga
menyebutkan bahwa orang Cina, Jepang, dan Eskimo memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah
dari pada orang kulit putih, tetapi pada wanita Polynesia kepadatan tulangnya 20 % lebih tinggi
dari wanita kulit putih.
B. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
1. 1. Persiapan klien
Persiapkan ruangan senyaman mungkin. Berikan informasi yang jelas kepada klien tentang
prosedur tindakan yang akan dilakukan, bila perlu didemonstrasikan terlebih dulu mengenai
gerakan yang akan dilakukan. Beberapa posisi mungkin mengakibatkan ketidaknyamanan pada
klien, oleh karena itu hindarkan aktivitas yang tidak perlu dan berikan periode istirahat pada
waktu pemeriksaan jika diperlukan. Pencahayaan yang baik pada di ruangan pemeriksaan juga
sangat penting.

1.2. Inspeksi
Observasi kulit dan jaringan terhadap adanya perubahan warna, pembengkakan, massa, maupun
deformitas. Catat ukuran dan bentuk dari persendian. Pembengkakan yang terjadi dapat
dikarenakan adanya cairan yang berlebih pada persendian, penebalan lapisan sinovial, inflamasi
dari jaringan lunak maupun pembesaran tulang. Deformitas yang terjadi termasuk dislokasi,
subluksasi, kontraktur ataupun ankilosis. Perhatikan juga postur tubuh dan gaya berjalan klien,
misalnya gaya berjalan spastik hemiparese ditemukan pada klien stroke, tremor pada klien
parkinson, dan gaya berjalan pincang. Jika klien berjalan pincang, maka harus diobservasi apakah
hal tersebut terjadi oleh karena kelainan organik pada tubuh sejak bayi atau oleh karena cedera
muskuloskeletal. Untuk dapat membedakannya dengan melihat bentuk kesimetrisan pinggul, bila
tidak simetris artinya gaya berjalan bukan karena cedera muskuloskeletal.
Gambar 1. Gambaran Postur Tubuh Abnormal

A. Kiposis B. Skoliosis C. Lordosis


1.3. Palpasi
Lakukan palpasi pada setiap sendi termasuk keadaan suhu kulit, otot, artikulasi dan area pada
kapsul sendi. Normalnya sendi tidak teraba lembek pada saat dipalpasi, demikian juga pada
membran sinovial. Dan dalam jumlah yang sedikit, cairan yang terdapat pada sendi yang normal
juga tidak dapat diraba. Apabila klien mengalami fraktur, kemungkinan krepitasi dapat ditemukan,
tetapi pemeriksaan ini tidak dianjurkan karena dapat memperberat rasa nyeri yang dirasakan klien.

1.4. Rentang Gerak ( ROM )


o Buatlah tiap sendi mencapai rentang gerak normal penuh ( seperti pada tabel 2 ). Pada
kondisi normal sendi harus bebas dari kekakuan, ketidakstabilan, pembengkakan, atau
inflamasi.
o Bandingkan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh terhadap keselarasan.
o Uji kedua rentang gerak aktif dan pasif untuk masing-masing kelompok sendi otot mayor
yang berhubungan.
o Jangan paksa sendi bergerak ke posisi yang menyakitkan.
o Beri klien cukup ruang untuk menggerakkan masing-masing kelompok otot sesuai rentang
geraknya.
o Selama pengkajian terhadap rentang gerak, kekuatan dan tegangan otot , inspeksi juga memgenai
adanya pembengkakan, deformitas, dan kondisi dari jaringan sekitar, palpasi atau observasi
terjadinya kekakuan, ketidakstabilan, gerakan sendi yang tidak biasanya, sakit, nyeri, krepitasi dan
nodul-nodul.
o Bila sendi tampak bengkak dan inflamasi, palpasilah kehangatannya.
o Selama pengukuran rentang gerak pasif, minta klien agar rilek dan memungkinkan pemeriksa
menggerakkan sendi secara pasif sampai akhir rentang gerak terasa. Pemeriksa membandingkan
rentang gerak aktif dan pasif yang harus setara untuk masing-masing sendi dan diantara sendi-
sendi kontralateral. Dalam keadaan normal dapat bergerak bebas tanpa sakit atau krepitasi.
o Bila diduga terjadi penurunan gerakan sendi, gunakan sebuah goniometer untuk pengukuran
yang tepat mengenai derajat gerakan. (Caranya tempatkan goniometer pada tengah siku
dengan lengan melebar disepanjang lengan bawah dan lengan atas klien. Setelah klien
memfleksikan lengan, goniometer akan mengukur derajat fleksi sendi).
o Ukur sudut sendi sebelum rentang gerak sendi secara penuh atau pada posisi netral dan ukur
kembali setelah sendi bergerak penuh. Bandingkan hasilnya dengan derajat normal gerakan sendi.
o Tonus dan kekuatan otot dapat diperiksa selama pengukuran rentang gerak sendi.
o Tonus dideteksi sebagai tahanan otot saat ekstremitas rilek secara pasif digerakkan melalui
rentang geraknya. Tonus otot normal menyebabkan tahanan ringan dan data terhadap gerakan pasif
selamanya rentang geraknya.
o Periksa tiap kelompok otot untuk mengkaji kekuatan otot dan membandingkan pada kedua
sisi tubuh. Caranya minta klien membentuk suatu posisi stabil. Minta klien untuk
memfleksikan otot yang akan diperiksa dan kemudian menahan tenaga dorong yang dilakukan
pemeriksa terhadap fleksinya . Periksa seluruh kelompok otot mayor. Bandingkan kekuatan
secara bilateral, dalam keadaan normal kekuatan otot secara bilateral simetris terhadap tahanan
tenaga dorong, lengan dominan mungkin sedikit lebih kuat dari lengan yang tidak dominan.
o Bersamaan dengan tiap manuver : minta klien membentuk suatu posisi kuatnya. Berikan
peningkatan tenaga dorong secara bertahap terhadap kelompok otot.
o Klien menahan dorongan dengan usaha untuk menggerakkan sendinya berlawanan dengan
dorongan tersebut.
o Klien menjaga tahanan tersebut agar tetap ada sampai diminta untuk menghentikannya.
o Sendi seharusnya bergerak saat pemeriksa memberi variasi kekuatan tenaga dorong terhadap
kelompok otot tersebut.
o Bila kelemahan otot terjadi, periksa ukuran otot dengan menempatkan pita pengukur di sekitar
lingkar otot tubuh tersebut dan membandingkannya dengan sisi yang berlawanan.

Gambar 2. Teknik penggunaan Goniometer

Tabel 1. Terminologi untuk posisi rentang gerak sendi normal


Istilah Rentang Gerak Contoh Sendi
Fleksi Gerakan memperkecil sudut antara dua tulang yang menyatu ; penekukan ekstremitas Siku,
jari dan lutut
Ekstensi Gerakan mempesar sudut antara dua tulang yang menyatu Siku, jari dan lutut
Hiperekstensi Gerakan bagian-bagian tubuh melebihi batas normal posisi ekstensinya Kepala
Pronasi Permukaan depan atau ventral bagian tubuh menghadap ke bawah Tangan dan lengan
bawah
Supinasi Permukaan depan atau ventral bagian tubuh menghadap ke atas Tangan dan lengan bawah
Abduksi Gerakan ekstremitas menjauh dari garis tengah tubuh Tungkai, lengan dan jari
Adduksi Gerakan ekstremitas ke arah garis tengah tubuh Tungkai, lengan dan jari
Rotasi internal Rotasi sendi ke arah dalam Lutut dan panggul
Rotasi eksternal Rotasi sendi ke arah luar Lutut dan panggul
Eversi Pembalikan bagian tubuh menjauh dari garis tengah Telapak kaki
Inversi Pembalikan bagian tubuh ke arah garis tengah Telapak kaki
Dorsifleksi Fleksi dari telapak kaki dan jari-jarinya ke atas Telapak kaki
Plantar fleksi Penekukan telapak kaki dan jari-jarinya ke bawah Telapak kaki
Sumber : Potter, Patricia A, Pocket guide to health assessment, hal.345.

Tabel 2. Rentang Gerak Sendi Normal


Anggota Tubuh Gerakan Pengukuran
Rahang Membuka dan menutup rahang

Gerakkan rahang dari sisi ke sisi

Gerakkan rahang ke depan Mampu memasukkan


tiga jari
Sisi dasar gigi tumpang tindih dengan puncak sisi gigi.
Puncak gigi jatuh di belakang gigi bawah

Leher Menyentuh dagu ke sternum


Ekstensi leher dengan dagu mengarah ke atas
Menekuk leher secara lateral
Rotasi leher dengan telinga mengarah ke dada Fleksi 70o – 90o
Hiperekstensi 55o
Penekukan lateral 35o
Rotasi 70o ke kiri dan ke kanan.
Tulang Belakang Menekuk ke depan pada pinggang
Menekuk ke belakang
Menekuk ke tiap sisi Fleksi 75o
Ekstensi 30o
Penekukan lateral 35o

Bahu Abduksi lengan lurus ke atas


Adduksi lengan ke arah garis tengah tubuh
Abduksi lengan secara horizontal lurus dengan lantai ; tarik lengan ke belakang ke arah tulang
belakang dan ke depan menyilang terhadap dada
Fleksi ke depan atau elevasi dengan lengan lurus
Ekstensi ke belakang dengan lengan lurus Abduksi 180o
Adduksi 45o
Ekstensi horizontal 45o
Fleksi horizontal 130o

Fleksi 180o
Ekstensi 60o
Siku Ekstensi lengan bawah ke batas terjauh normal
Fleksi lengan bawah ke arah bisep
Hiperekstensi lengan di luar batas normalnya
Supinasi lengan bawah
Pronasi lengan bawah Ekstensi 150o
Fleksi 150o
Hiperekstensi 0o – 10o
Supinasi 90o
Pronasi 90o
Pergelangan
Tangan Fleksi pergelangan ke arah lengan bawah
Fleksi pergelangan ke arah belakang
Simpangkan secara lateral pergelangan ke arah radial

Simpangkan lateral pergelangan ke arah ulnar Fleksi 80o – 90o


Ekstensi 70o
Penyimpangan ke arah radial 20o
Penyimpangan ke arah ulnar 30o – 50o
Jari-jari Fleksikan jari-jari membentuk sebuah kepalan kemudian

Ekstensikan sampai datar


Buka jari-jari sampai terpisah
Silangkan jari-jari bersamaan

Oposisi – setiap jari mampu menyentu ibu jari Fleksi 80o- 100o
( bervariasi tergantung pada sendinya )
Ekstensi 0o – 45o
Abduksi antara jari-jari 20o
Abduksi ( jari-jari bersentuhan )
Meliputi abduksi, rotasi dan fleksi.
Panggul Naikkan tungkai dengan lutut lurus
Naikkan tungkai dengan lutut fleksi
Berbaring tengkurap, ekstensikan tungkai lurus ke belakang
Abduksi sebagian tungkai yang fleksi ke arah luar
Adduksi sebagian tungkai yang fleksi ke arah dalam
Fleksi lutut dan ayunkan kaki menjauhi garis tengah
Fleksi lutut dan ayun kaki ke arah garis tengah Fleksi 90o
Fleksi 110o – 120o
Ekstensi 30o

Abduksi 45o – 50o


Adduksi 20o – 30o
Rotasi internal 35o- 40o
Rotasi eksternal 45o
Lutut Fleksi lutut dengan betis menyentuh paha
Ekstensikan lutut di luar batas normal ekstensinya
Putar lutut dan tungkai bawah ke arah garis tengah Fleksi 130o
Hiperekstensi 15o
Rotasi internal 10o
Tumit Dorsifleksikan kaki dengan ibu jari mengarah ke kepala
Plantar kaki fleksi dengan ibu jari mengarah ke bawah
Putar balik kaki menjauh dari garis tengah
Putar balik kaki mengarah ke garis tengah Dorsifleksi 20o
Plantar fleksi 45o
Eversi 20o
Inversi 30o
Ibu Jari Lekukan ibu jari kaki di bawah telapak kaki
Angkat ibu jari ke atas
Ibu jari kaki diregangkan Fleksi 35o-60o
Ekstensi 0o- 90o
Bervariasi
Sumber : Potter, Patricia A, Pocket guide to health assessment, hal.346-348.

1.5. Tes kekuatan otot


Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggerakkan tiap ekstremitas ( pergerakan
penuh ) dalam menahan tahanan. Lakukan tindakan ini dengan menggunakan beberapa tahanan
yang bervariasi. Apabila klien tidak mampu melakukan gerakan untuk melawan tahanan yang
diberikan pemeriksa, maka klien untuk meggerakan ekstremitas dalam melawan gravitasi. Jika hal
ini tidak dapat dilakukan, usahakan/ bantu klien untuk melakukan rentang gerak secara pasif.
Apabila cara ini juga tidak berhasil, maka perhatikan dan rasakan (palpasi) kontraksi otot pada saat
klien berusaha menggerakkannya.

Gambar 3. Teknik Pemeriksaan Kekuatan Otot

Dokumentasikan skala ini dengan menggunakan skala berikut :


Tabel 3. Skala kekuatan otot
Skala Gambaran Persentasi
normal Klasifikasi
5 Gerakan aktif, dapat melawan tahanan penuh 100 Normal
4 Gerakan aktif, hanya dapat menahan sebagian tahanan 75 Kelemahan ringan
3 Gerakan aktif, dapat melawan gravitasi 50 Cukup/ kelemahan sedang
2 Rentang gerak ( ROM ) pasif 25 Buruk
1 Hanya terdapat kontraksi otot 10 Sangat buruk
( Kelemahan berat )
0 Tidak terdapat kontraksi otot 0 Paralisis

Umumnya penulisan kekuatan otot di institusi kesehatan menggunakan tanda atau symbol : 4444
3333
5555 2222
Arti tanda tersebut adalah :
o Nilai kekuatan otot yang berada di sebelah kanan atas garis ( 4444) menunjukkan kekuatan otot
ekstremitas kanan bagian atas, sedangkan yang di sebelah kiri atas (3333) menunjukan kekuatan
otot ekstremitas kiri bagian atas.
o Nilai kekuatan otot yang berada di sebelah kanan bawah garis (5555) menunjukkan kekuatan otot
ekstremitas kanan bagian bawah, sedangkan yang di sebelah kiri bawah (2222) menunjukan
kekuatan otot ekstremitas kiri bagian bawah.
o Nilai horizontal yang terjauh dengan garis menunjukkan kekuatan otot dari persendian yang
terdistal dari organ yang diuji.
Pada beberapa klien biasanya mengalami pergerakan yang lebih lambat dan penurunan kekuatan
otot yang diakibatkan oleh degenerasi serabut otot dan sendi serta penurunan elastisitas dari
tendon.
Hal yang perlu diperhatikan :
- Jangan paksa organ tubuh/ ekstremitas untuk melakukan gerakan normal. Hentikan gerakan pasif
apabila klien merasa nyeri atau tidak nyaman. Lakukan pemeriksaan dengan hati-hati khususnya
pada pasien lanjut usia.
- Pada saat membandingkan kekuatan otot dengan ekstremitas lainnya, biasanya otot
ekstremitas yang lebih dominan cenderung lebih kuat.

1.6. Pemeriksaan Phalen ( Phalen’s test )


Minta klien untuk melakukan fleksi 90o pada kedua pergelangan tangan, dan kedua punggung
tangan saling merapat ( bersentuhan ). Pertahankan posisi ini selama 60 detik. Normal tidak ada
keluhan, tetapi pada “ Carpal Tunnel Syndrome “, tangan akan kebas dan terasa seperti terbakar.
Carpal Tunnel syndrome adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan / penekanan
saraf pada pergelangan tangan.

1.7. Tanda Tinel ( Tinel’s Sign )


Lakukan perkusi langsung pada nervus yang berada di bagian tengah dari pergelangan tangan. “
Tinel’s Sign “ positif apabila sewaktu perkusi dilakukan klien merasa seperti terbakar ataupun
merasa geli pada area pergelangan tangan, dan sekitarnya. Ini juga dapat ditemukan pada “ Carpal
Tunnel Syndrome “.

1.8. Tanda bulge ( Bulge Sign )


Lakukan gerakan (seperti masase) dengan agak kuat pada bagian medial paha bagian dalam ke
arah lutut lebih kurang 2-3 kali, kemudian tahan. Tangan yang lain menahan pada sisi yang
berlawanan. Perhatikan bagian tengah dari lutut pada daerah yang agak cekung terhadap adanya
tonjolan yang jelas dari gelombang cairan. Normalnya tonjolan tersebut tidak ada ( “Bulge Sign”
negative ).

1.9. Pemeriksaan ballotemen


Pemeriksaan ini dapat digunakan apabila terdapat sejumlah cairan pada area patela. Gunakan
tangan kiri untuk menekan rongga suprapatelar. Dengan jari tangan kanan dorong patella dengan
tajam ke arah femur. Apabila tidak terdapat cairan maka patella yang terdorong akan kembali ke
posisi semula.

1.10. Pemeriksaan McMurray ( McMurray’s test )


Pemeriksaan ini dilakukan apabila klien melaporkan adanya riwayat trauma yang diikuti dengan
rasa nyeri pada lutut dan kesulitan dalam menggerakkannya. Klien dibaringkan dengan posisi
supine, dan pemeriksa berdiri di sisi klien pada bagian yang akan diperiksa. Sokong tumit kaki
dan fleksikan lutut dan pinggul. Tangan yang lain memegang lutut. Kemudian rotasikan kaki dari
dalam ke luar dan sebaliknya, lalu sambil menahan tumit kaki dan memegang lutut dorong tumit
tersebut kea rah kepala. Setelah itu secara perlahan lutut diluruskan. “McMurray’s test” positif
apabila terdengar atau terasa bunyi “klik“ pada lutut. Normalnya kaki dapat diluruskan kembali
dengan lembut tanpa kekakuan dan tanpa nyeri.
Gambar 4. Teknik Pemeriksaan McMurray’s

1.11. Pemeriksaan LaSegue ( LaSegue’s test )


Berikan posisi supine pada klien, kemudian angkat salah satu tungkai bawah dan tungkai yang lain
tetap lurus di atas tempat tidur. Lalu dorsofleksikan telapak/ pergelangan kaki. Dilakukan pada
kedua kaki secara bergantian. Hasilnya positif apabila klien mengeluhkan nyeri sewaktu
pemeriksaan. Keluhan ini biasanya terjadi pada hernia nucleus pulposus ( HNP )

2 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium


2.1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada sistem musculoskeletal dapat digunakan sebagai pendukung untuk
menegakkan diagnosa penyakit pasien. Adapun pemeriksaan ini meliputi:

2.1.1. Bone X-Ray


X-Ray merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran kondisi keadaan
tulang sesorang, apakah ada fraktur, infeksi tulang seperti osteomiletis, kelainan bawaan, destruksi
sendi pada klien arthritis, osteoporosis tahap lanjut atau tumor baik fase awal atau yang telah
metastase.

Gambaran X-Ray pada klien osteoporosis tampak terjadi dimineralisasi yang ditunjukkan dengan
adanya radiolusensni tulang, vertebra torakalis berbentuk baji sedangkan vertebra lumbalis menjadi
bikonkaf.
Selain itu, dengan X-Ray juga dapat memonitor perkembangan penyembuhan fraktur. Film
radiograpis dapat memperlihatkan adanya cairan sendi, pembengkakan dan kalsifikasi jaringan
lunak .

Bila ditemukan tanda kalsifikasi pada jaringan lunak dapat menunjukkan adanya peradangan
kronis yang merubah bursa atau tendon di area tersebut, karena X-Ray tidak mampu melihat
secara langsung keaadaan kartilago dan tendon, begitu juga fraktur kartilago, sprain, cedera
ligamentum. Umumnya untuk mendapatkan gambaran yang akurat diperlukan dua sudut yang
berbeda, yaitu anterior-posterior dan lateral.

Sebelum dilakukan pemeriksaan X-Ray ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang
perawat, antara lain :
• Menjelaskan tujuan dan gambaran prosedur tindakan.
• Tidak perlu puasa atau pemberian sedasi, kecuali bila diperlukan.
• Bagi anak-anak, umumnya merasa takut dengan peralatan yang besar dan asing serta ia
merasa terisolasi dari orang tuanya, pastikan pada bagian radiology kemungkinan orang tua
dapat mendampiringi anaknya pada saat prosedur.
• Informasikan pada klien, prosedur ini tidak menyebabkan rasa nyeri, tetapi mungkin
merasa kurang nyaman terhadap papan pemeriksaan yang keras dan dingin.
• Sokong dengan hati-hati bagian yang cidera dengan cara memegang ekstremitas dengan lembut
pada papan pemeriksaan.
• Lindungi testis, ovarium, perut ibu hamil dengan pelindung khusus terhadap radiasi
selama prosedur.
2.1.2. CT-Scan
Computed Tomography digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan luasnya cedera yang sulit
teridentifikasi oleh pemeriksaan lain. Sehingga CT Scan mempunyai tujuan untuk mengevaluasi
cedera ligament, tendon dan tulang serta dapat mengetahui adanya tumor secara spesifik.

Bagi klien yang diamputasi pemeriksaan ini berfungsi untuk mengidentifikasi lesi neoplastik ,
osteomielitis dan pembentukan hematoma.
Pemeriksaan ini dapat atau tidak menggunakan zat kontras. Waktu yang digunakan kurang lebih 60
menit.
Yang perlu diperhatikan oleh perawat selama prosedur pelaksanaan adalah :
 Jelaskan tujuan dan gambaran tindakan, seperti klien akan dibaringkan di medan magnet,
kemudian dimasukkan dalam sebuah tabung. Informasikan pada klien, prosedur ini tidak
menyebabkan rasa nyeri, tetapi mungkin merasa kurang nyaman terhadap papan pemeriksaan yang
keras dan dingin.
 Anjurkan klien melepas semua bahan metal seperti : ikat pinggang, arloji, kartu kredit, karena
ini akan mempengaruhi hasil scaning dan medan magnet dapat merusak fungsi benda-benda
tersebut.
 Informasikan bahwa perubahan posisi dapat menyebabkan perubahan hasil scan. Sehingga anak-
anak sering diberikan obat penenang sebelum prosedur dilakukan.

2.1.3. MRI ( Magnetic Resonance Imaging ).


MRI merupakan teknik scaning diagnostic yang non invasive dan menggunakan medan magnet.
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi tentang tulang, sendi , kartilago, ligament dan
tendon. Klien dengan keluhan nyeri leher dan pinggang dapat diketahui dengan MRI untuk melihat
kemungkinan adanya herniasi.
Kelebihan dari MRI adalah klien tidak terpapar oleh ion-ion radiasi. MRI penting dalam
pengkajian untuk mengetahui perbaikan dari suatu pembedahan ortopedik.
Hal yang perlu diperhatikan perawat pada pemeriksaan MRI ini adalah :
 Tidak ada pembatasan input baik makan maupun minum sebelum tindakan.
 Jelaskan tujuan dan gambaran tindakan, seperti klien akan dibaringkan di medan magnet,
kemudian dimasukkan dalam sebuah tabung.
 Kemungkinan klien merasakan keidaknyamanan seperti pusing, tingling pada gigi yang
mengandung tambalan metal. Sebenarnya klien yang menggunakan implant logam tidak
dianjurkan untuk MRI.
 Anjurkan klien melepas semua bahan metal seperti : ikat pinggang, arloji, kartu kredit, karena
ini akan mempengaruhi hasil scaning dan medan magnet dapat merusak fungsi benda-benda
tersebut.
 Bagi klien claustrophobia mungkin merasa takut berada di tabung yang tertutup oleh karena itu
perlu penjelasan dan bila memungkinkan mesin tidak ditutup.
 Informasikan bahwa perubahan posisi dapat menyebabkan perubahan hasil scan. Sehingga anak-
anak sering diberikan obat penenang sebelum prosedur dilakukan.
 Didalam tabung pemeriksaan, klien akan mendengarkan suara mesin yang mungkin membuat
rasa tidak nyaman atau takut. Sehingga salah satu solusinya
klien dapat mengunakan earplug atau di ruang tersebut diperdengarkan alunan
musik.
 Untuk kenyamanan, anjurkan klien mengosongkan bladder sebelum
pemeriksaan.
 Pemeriksaan ini memerlukan waktu 30 – 90 menit.

Kontraindikasi MRI adalah :


• Klien obesitas ( BB > 150 kg ) karena meja pemeriksaan tidak mampu menyokong berat badan
klien.
• Klien yang memakaki implant logam seperti : pacemaker, infuse pump, implant telinga
dalam, klien ortopedik dengan pemasangan screw dan plat, karena magnet logam tersebut dapat
memindahkan ion magnet ke tubuh klien dan dapat menimbulkan cedera.

2.1.4. Angiography
Merupakan teknik pemeriksaan untuk mengetahui kondisi struktur vaskuler. Arteriografi dilakukan
dengan cara memasukkan zat kontras radioopak melalui arteri. Setelah diinjeksi area tersebut di
foto rongent. Hal ini untuk mengetahui sirkulasi/ perfusi jaringan apakah masih baik atau buruk.
Biasanya dilakukan untuk mengetahui perfusi jaringan pada area yang akan diamputasi. Setelah
dilakukan tindakan klien dianjurkan untuk istirahat kurang lebih 12 – 24 jam dan dibebat
elastis guna mencegah terjadinya perdarahan paska injeksi.

2.1.5. Atroscopy
Dapat digunakan untuk mengetahui adanya robekan pada kapsul sendi atau ligament penyangga
lutut, bahu, tumit, pinggul, pergelangan tangan dan temporomandibular. Pemeriksaan ini
merupakan tindakan endoskopi yang memungkinkan pandangan langsung ke dalam ruang sendi.

Setelah dilakukan pemeriksaan ini, klien dianjurkan istirahat kurang lebih 12 – 24 jam dan
diberikan bebat elastis pada area pemeriksaan. Sebelum dilakukan prosedur ini, terutama bila
pemeriksaan pada bagian sendi ekstremitas bawah, pastikan klien mampu menggunakan alat Bantu
jalan seperti crucht. Crucht digunakan oleh klien hingga klien mampu menunjukkan kemampuan
berjalan tanpa pincang.

Setelah dilakukan pemeriksaan ini maka yang perlu diperhatikan perawat adalah pengkajian TTV,
status neurovaskuler pada area kaki : cek pulse, warna, temperature, dan sensasi serta observasi
tanda-tanda infeksi, termasuk panas, bengkak, nyeri, kemerahan dan pengeluaran cairan.
Potensial komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh pemeriksaan ini adalah:
• Infeksi (tindakan ini harus dilakukan dengan steril dan di kamar operasi).
• Tromboplebitis yang dapat disebabkan oleh karena immobilisasi yang lama.
• Hemartrosis (perdarahan dalam sendi) yang dapat disebabkan oleh aspirasi karena jarum.
• Cedera sendi oleh karena pembedahan.
• Rupture sinovial.
Hal-hal yang harus diketahui oleh perawat adalah :
• Klien sebaiknya tidak diberikan obat-obat peroral sampai tengah malam pada hari
dimana prosedur tindakan dilakukan.
• Pada umumnya tindakkan ini menggunakan anestesi spinal atau general anestesi. Khususnya
apabila pembedahan pada lutut diperlukan.
• Sebelum pemeriksaan pada lutut, rambut halus sekitar 6 inci di bawah dan di atas lutut harus
dibersihkan.
• Klien ditempatkan pada meja operasi dengan posisi supinasi. Kaki klien
ditinggikan kemudian dibalut dengan pembalut elastis dari ibu jari sampai ke paha bagian bawah
guna meminimalkan vaskularisasi ke bagian distal.
• Sebuah tourniquet ditempatkan pada tungkai proksimal klien. Kemudian kaki dibuat lebih
rendah, sehingga lutut membentuk sudut 45º.
• Pembalut elastis dilepas lalu segera buat incici kecil di lutut, kemudian alat atroskopi dimasukkan
di sela persendian lutut untuk melihat keadaan di dalam sendi lutut tersebut.
• Setelah pemeriksaan dilakukan atroskope dilepas dan dilakukan irigasi didaerah persendian, luka
dibersihkan dan ditutup dengan kassa steril.
• Prosedur ini dilakukan di ruang operasi oleh ahli ortopedik yang memerlukan waktu 30 menit –
2 jam.
Kontraindikasi ;
• Klien dengan ankylosis, karena tidak memungkinkan benda-benda untuk bergerak pada sendi
yang kaku oleh karena perlekatan.
• Klien dengan luka infeksi karena resiko sepsis.

2.1.6. Bone Densitometry


Merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kadar mineral dalam tulang dan kepadatannya untuk
mendiagnosa penyakit osteoporosis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi/ mengganggu hasil densitometri tulang adalah:
• Barium. Bila dilakukan pemeriksaan paska pemberia barium hasilnya tidak terlalu bermakna
kecuali setelah 10 hari dari waktu pemasukan zat kontras ini.
• Pengapuran pada vertebra posterior, arthritis sclerosis.
• Aneurisme pada aorta abdominal yang disebabkan oleh karena pengapuran.
• Penggunaan alat-alat metal, sehinga alat –alat ini harus dilepas sebelum pemeriksaan.
• Riwayat fraktur tulang yang mana telah mengalami proses penyembuhan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perawat adalah :


• Klien tidak perlu puasa atau diberikan sedasi.
• Pemeriksaan ini memerlukan waktu 30 – 40 menit.
• Jelaskan pada klien bahwa ia akan dibarinkan pada sebuah matras pemeriksaan dengan kaki yang
disokong dengan sebuah bantalan agar pelvis dan lumal tetap pada posisi datar.
• Sebuah alat “generator potton” akan ditempatkan didekat meja pemeriksaan yang nantinya
dimasukkan perlahan dibawah lumbal. Sedangkan X-Ray detector akan berada diatas area yang
akan diperiksa.
• Gambaran lumbal dan tulang pinggul dengan mengunakan kamera yang dihubungkan dengan
monitoring computer.
• Kaki atau tangan yang tidak dominant dimasukkan ke dalam penjepit dan hasilnya akan
diperlihatkan melalui computer baik hasil pada bagian paha, pinggul, lumbal atau bagian tangan
sendiri.
Komputer akan menghitung jumlah potton yang tidak dapat diserap oleh tulang. Ini disebut BMC
= Bone Mineral Content.
BMD ( Bone Mineral Density ) mempunyai rumus :
BMD = BMC (gm/ cm³) / permukaan area tulang.
Kemudian dari data tersebut akan dianlisa oleh ahli radiology.
Nilai Normal : – 1.0 )
Osteopenia : 1.0 –2,5 ( SD di bawah normal – 1.0 – 2.5 )
Osteoporosis : > 2,5 ( SD di bawah normal 12 mg/ dl

2 Asam urat urine 250 – 750 mg / hari atau


1,48 – 4,43 mmol/ hari Pada kasus Gout dan artritis akan megalami peningkatan dari nilai normal
3 SGOT / ml10 – 40
mol –1/ l( SI : 0,08 – 0,32 ) Meningkat akibat kerusakan otot.
4. Hb Darah LK : 13 – 18 mg/ dl
PR : 12 – 16 mg/ dl Menurun bila terjadi perdarahan akibat trauma.
5. Leukosit 4300 – 10.800/ mm3 Meningkat
6 Kalsium Serum 8,5 – 10,5 mg /dl Menurun pada Osteomalacia, Paget, tumor tulang yang
telah metastase serta klien yang immobilisasi lama,
7 Kreatinin Kinase ( CK ) < 100 mg/ hari Meningkat akibat kerusakan otot
8. Hormon Paratiroid < 10 l equiv /
ml ( SI : < 10 ml equiv/ l ) Meningkat
9. Tiroid ( TSH ) u / ml0,5 –
3,5 ( SI : 0,5 – 3,5 mU/l )
Meningkat
10. Fosfor 3,0 – 4,5 mg/ dl Meningkat

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GOUT


Posted by nurse87 on 20 April 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Medikal Bedah. Tinggalkan sebuah Komentar

Defenisi
Gout adalah peradangan akibat adanya endapan kristal asam urat pada sendi dan jari (depkes,
1992). Penyakit metabolik ini sudah dibahas oleh Hippocrates pada zaman Yunani kuno. Pada
waktu itu gout dianggap sebagai penyakit kalangan sosial elite yang disebabkan karena terlalu
banyak makan, anggur dan seks. sejak saat itu banyak teori etiologis dan terapeutik yang telah
diusulkan. Sekarang ini, gout mungkin merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling
banyak dimengerti dan usaha-usaha terapinya paling besar kemungkinan berhasil.

Etiologi dan Patofisiologi


Gambaran klasik artritis gout yang berat dan akut ada kaitan langsung dengan hiperurisemia (asam
urat serum tinggi). Gout mungkin primer atau sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung
pernbentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout
sekunder disebabkan an karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat
yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat tertentu.
Endapan urat dalam sendi atau traktus urinarius dialkibatkan: karena, asam urat yang rendah daya
larutnya dan akibat garam-garainnya. Asam. urat yang berlebihan dan garam-garam tersebut keluar
dari serum dan urin masing-masing mengendap dalam sendi dan traktus urinarius

Gambaran klinis
Gout akut biasanya terjadi pada pria sesudah lewat masa pubertas dan sesudah menopause pada
wanita, sedangkan kasus yang paling banyak diternui pada usia 50-60. Gout lebih banyak dijumpai
pada pria, sekitar 95 persen penderita gout adalah pria. Urat serum wanita normal jumahnya sekitar
1 mg per 100 mI, lebih sedikit jika dibandingkn dengan pria. Tetapi sesudah menopause perubahan
tersebut kurang nyata. Pada pria hiperurisemia biasanya tidak timbul sebelurn mereka mencapai
usia remaja.

Gout Akut biasanya monoartikular dan timbulnya tiba-tiba. Tanda-tanda awitan serangan gout
adalah rasa sakit yang hebat dan peradangan lokal. Pasien mungkin juga menderita demam dan
jumlah sel darah putih meningkat. Serangan akut mungkin didahului oleh tindakan pembedahan,
trauma lokal, obat, alkohol dan stres emosional. Meskipun yang paling sering terserang mula-mula
adalah ibu jari kaki, tetapi sendi lainnya dapat juga terserang. Dengan semakin lanjutnya penyakit
maka sendi jari, lutut, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan siku dapat terserang gout.
Serangan gout akut biasanya dapat sembuh sendiri. Kebanyakan gejala-gejala serangan Akut akan
berkurang setelah 10-14 hari walaupun tanpa pengobatan.

Perkembangan serangan Akut gout biasanya merupakan kelanjutan dari suatu rangkaian kejadian.
Pertama-tama biasanya terdapat supersaturasi urat dalam plasma dan cairan tubuh. Ini diikuti
dengan pengendapan kristal-kristal urat di luar cairan tubuh dan endapan dalarn dan seldtar sendi.
Tetapi serangan gout sering merupakan kelanjutan trauma lokal atau ruptura tofi (endapan
natrium urat) yang merupakan penyebab peningkatan konsentrasi asam urat yang cepat. Tubuh
mungkin tidak dapat menanggulangi peningkatan ini dengan memadai, sehingga mempercepat
proses pengeluaran asam urat dari serum. Kristalisasi dan endapan asam urat merangsang serangan
gout. Kristal-kristal asam urat ini merangsang respon fagositosis oleh leukosit dan waktu leukosit
memakan kristal-kristal urat tersebut maka respon mekanisme peradangan lain terangsang. Respon
peradangan mungkin dipengaruhi oleh letak dan besar endapan kristal asam urat. Reaksi
peradangan mungkin merupakan proses yang berkembang dan memperbesar diri sendiri akibat
endapan tambahan kristal-kristal dari serum.

Periode antara serangan gout akut dikenal dengan nama gout inter kritikal. Pada masa ini pasien
bebas dari gejala-gejala klinik.

Gout kronik timbul dalarn jangka waktu beberapa tahun dan ditandai dengan rasa nyeri, kaku dan
pegal. Akibat adanya kristal-kristal urat maka terjadi peradangan kronik, sendi yang bengkak
akibat gout kronik sering besar dan berbentuk nodular. Serangan gout Aut dapat terjadi secara
simultan diserta gejala-gejala gout kronik. Tofi timbul pada gout kronik karena urat tersebut relatif
tidak larut. Awitan dan ukuran tofi sebanding dengan kadar urat serum. Yang sering terjadi tempat
pembentukan tofi adalah: bursa olekranon, tendon Achilles, permukaan ekstensor dari lengan
bawah, bursa infrapatella dan helix telinga

Tofi-tofi ini mungkin sulit dibedakan secara klinis dari rheumatoid nodul. Kadang-kadang tofi
dapat membentuk tukak dan kemudian mengering dan dapat membatasi pergerakan sendi. Penyakit
ginjal dapat terjadi akibat hiperurisemia kronik, tetapi dapat dicegah apabila gout ditangani secara
memadai.

Kriteria diagnostik
gout harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mempunyai riwayat dan penernuan fisik
sesuai dengan apa yang telah Idta bahas sebelumnya, terutama gambaran klinik yang klasik.
Peningkatan kadar asam urat serum dapat membantu menentukan diagnosis. Tetapi harus diingat
bahwa banyak obat-obatan mempengaruhi kadar asam urat serum dan juga banyak orang normal
yang tidak memperlihatkan gejala-gejala mempunyai kadar asam urat yang tinggi.

Tes diagnostik lain yang dapat mendukung diagnosis gout adalah penentuan respon gejala-gejala
sendi terhadap kolkisin. Kolkisin merupakan obat yang dapat meringankan gejala-gejala serangan
gout akut secara dramatis. Sifat perubahan radiologis dapat membantu i sekali dalam penentuan
diagnosis gout, tetapi pada awitan penyakit inj biasanya belum ada perubahan yang menyolok.

Begitu diperkirakan diagnosis gout, maka dapat dipastikan dengan dua metoda: (1) menemukan
kristal urat dalam cairan sinovial dan (2) menermikan urat dalam endapan tofi.

Faktor-faktor yang berperanan


Ada faktor-faktor tertentu yang berperanan sebagai penyebab hiperurisemia. Diet tinggi purin
dapat merupakan salah satu faktor penyebab karena asam urat dibentuk dari purin, adenin dan
guanin. Kelaparan dan intake etil alkohol yang berlebilian juga dapat mengakibatkan
hiperurisemia. Peningkatan kadar asam keto akibat puasa yang berkepanjangan, dan asam-asam
keto ini mengganggu ekskresi asam urat oleh ginjal. Kadar laktat darah meningkat sebagai produk
samping darl metabolisme alkohol yang normal, dan peningkatan laktat ini juga mengganggu
ekskresi asam. urat oleh ginjal. Asam urat serum dapat meningkat pula akibat salisilat dosis
rendah (kurang dari 2-3 g per hari) dan beberapa obat diuretika, antihipertensi (klortiazid, asam
etakrinik).

Penatalaksanaan Pengobatan
Kolkisin adalah suatu agen anti radang yang biasanya dipakai untuk mengobati serangan gout
akut, dan unluk mencegah serangan gout Akut di kemudian hari. Obat ini juga dapat digunakan
sebagai sarana diagnosis. Pengobatan serangan akut biasanya tablet 0,5 mg setiap jam, sampai
gejala-gejala serangan Akut dapat dikurangi atau kalau ternyata ada bukti timbulnya efek samping
gastrointestinal. Dosis maksimurn adalah 4-8 rng, tergantung dari berat pasien bersangkutan.
Beberapa pasien mengalami rasa mual yang hebat, muntah-muntah dan diarhea, dan pada keadaan
ini pemberian obat harus dihentikan.

Gejala-gejala pada sebagian besar pasien berkurang dalam waktu 10-24 jam sesudah pemberian
obat. Kolkisin dengan dosis 0,5-2 mg per hari ternyata cukup efektif untuk mencegah serangan
gout berikutnya secara sempurna atau mendekati sempurna. Penggunaan kolkisin setiap hari
cenderung memperingan episode gout berikutnya, kalau memang serangan gout terjadi lagi.
Penggunaan kolkisin jangka panjang tak memperlihatkan efek samping yang berat.

Fenilbutazon, suatu agen anti radang, dapat juga digunakan unluk mengobati artritis gout akut.
Tetapi, karena fenilbutazon menimbulkan efek samping, maka kolkisin digunakan sebagai terapi
pencegahan. Indometasin juga cukup efektif.

Terdapat tiga obat lain yang berguna untuk terapi penunjang atau terapi pencegahan. Alopurinol
dapat mengurangi pembentukan asamb urat. Dosis 100-400 mg per hari dapat menurunkan kadar
asam urat serum. Probenesid dan Sulfinpirazin merupakan agen urikosurik, artinya mereka dapat
menghambat proses reabsorpsi urat oleh tubulus ginjal dan dengan dernikian meningkatkan
ekskresi asam urat. Pemeriksaan kadar asam urat serum berguna untuk menentukan etektivitas
suatu terapi.

Mungkin dianjurkan untuk menghindari makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi.
Di antara jenis makanan ini termasuk jerohan seperti hati, ginjal, roti manis dan otak. Sardin
dan anchovy (ikan kecfi semacarn haring) sebaiknya dibatasi.

Untuk membuang tofi yang besar, terutama kalau tofi mengganggu gerakan sendi, maka dilakukan
pembedahan.
PROSES KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

q Tanyakan keluhan nyeri yang terjadi, biasanya pada ibu jari kaki atau pada sendi-sendi lain.
Bagaimana gejala awalnya dan bagaimana klien menanggulanginya, adakah riwayat gout dalam
keluarga. Obat-obatan yang diperoleh

q Tentukan apakah ada nyeri saat digerakkan, bengkak, dan kemerahan, demam subfebris, periksa
adanya nodul diatas sendi.

q Kaji adanya kecemasan dan ketakutan dalam melakukan aktivitas dan masalah-masalah yang
terkait dengan psikososialnya.

q Pemeriksaan diagnostik

 Asam urat meningkat


 Sel darah putih dan sedimentasi eritrosit meningkat (selama fase akut)
 Pada aspirasi sendi ditemukan aam urat
 Pemeriksaan urin
 Rontgen

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit


2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri persendian
3. kurang pengetahuan tentang pengobatan dan perawatan dirumah

PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI

Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi dan Rasioanl
1 Nyeri b.d proses penyakitRasa nyaman 1. Berikan posisi yang nyaman,
klien terpenuhi sendi yang nyeri (kaki)
atau terhindar diistirahatkan dan diberikan
dari nyeri bantalan. Istirahat dapat
menurunkan metabolisme
setempat dan mengurangi
pergerakan sendi yang terjadi.
2. Berikan kompres hangat atau
dingin yang dapat memberikan
efek vasodilatasi . keduanya
mempunyai efek membantu
pengeluaran endorfin dan
dingindapat menghambat impuls-
impuls nyeri
3. Cegahlah agar tidak terjadi iritasi
pada tofi misal menghindari
penggunaan sepatu yang sempit,
terantuk pada benda yang keras.
Bila terjadi iritasi maka akan
semakin nyeri, apabila terjadi
luka akibat tofi yang pecah
maka rawatlah secara steril dan
juga perawatan drain yang
terpasang pada luka

4. Berikan obat-obatan sesuai


dengan resep dokter dan amati
efek samping obat-obatan
tersebut
2 Gangguan mobilitas fisik Klien akan 1. Tingkatkan aktivitas
b.d nyeri persendian meningkatkan
aktivitasnya klien bila nyeri dan
sesuai dengan bengkak telah berkurang
kemampuan
1. lakukan ambulasi dengan bantuan
misal dengan menggunakan
walker atau tongkat.
2. lakukan latihan ROM secara hati-
hati pada sendi yang terkena gout
karena bila dimobilisasi terus
menerus akan menurunkan fungsi
sendi.

3. usahakan untuk meningkatkan


kembali pada aktivitas yang
normal.
3 Kurang pengaetahuan Klien dan 1. Berikan jadwal obat
tentang pengobatan dan keluarga dapat
perawatan dirumah memahami yang harus digunakan
penggunaan meliputi nama obat,
obat dan
perawatan dosis, tujuan dan efek
dirumah samping. Penjelasan ini
dapat
meningkatkankoordinasi
dan kesadaran klien
terhadap pengobatan
yang teratur.
1. diskusikan tentang pentingnya
diit yang terkontrol, misal
dengan menghindari makanan
tinggi purin seperti hati, ginjal,
sarden. Program latihan dan
istirahat yang teratur perlu
dibicarakan

EVALUASI

1. Tidak terjadi komplikasi


2. Nyeri terkontrol
3. Tidak terjadi efek samping akibat obat-obatan yang digunakan
4. Memahami jadwal pengobatan dan perawatan di rumah

ASKEP GAWAT DARURAT KETOASIDOSIS DIABETIK


Posted by nurse87 on 20 April 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Gawat Darurat. Tinggalkan sebuah Komentar
KONSEP DASAR MEDIS

1. 1. Definisi

Keto asidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I , disebabkan oleh
meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton akibat kekurangan atau defisiensi insulin, di
karakteristikan dengan hiperglikemia, asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin ( Stillwell,
1992).
Keto Asidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai
oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut
atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya
mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan syok.

1. 2. Etiologi

Dalam 50% kejadian KAD, kekurangan insulin, peningkatan konsumsi atau produksi glukoasa,
atau infeksi adalah faktor pencetus. Stressor-stressor utama lain yang dapat mencetuskan diabetic
ketoasidosis adalah pembedahan, trauma, terapi dengan steroid dan emosional.

1. 3. Patofisiologi

Gejala dan tanda yang timbul pada KAD disebabkan terjadinya hiperglikemia dan ketogenesis.
Defisiensi insulin merupakan penyebab utama terjadinya hiperglikemia atau peningkatan kadar
glukosa darah dari pemecahan protein dan glikogen atau lipolisis atau pemecahan lemak.
Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dengan hipovolemia kemudian akan berlanjut
terjadinya dehidrasi dan renjatan atau syok. Glukoneogenesis menambah terjadinya
hiperglikemik.

Lipolisis yang terjadi akan meningkatkan pengangkutan kadar asam lemak bebas ke hati sehingga
terjadi ketoasidosis, yang kemudian berakibat timbulnya asidosis metabolik, sebagai kompensasi
tubuh terjadi pernafasan kussmaul.

1. 4. Tanda Dan Gejala

a) Poliuria

b) Polidipsi

c) Penglihatan kabur

d) Lemah

e) Sakit kepala

f) Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada saat berdiri)

g) Anoreksia, Mual, Muntah

h) Nyeri abdomen

i) Hiperventilasi

j) Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)


k) Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)

l) Terdapat keton di urin

m) Nafas berbau aseton

n) Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic

 o) Kulit kering

p) Keringat

q) Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic

1. 5. Pemeriksaan Diagnostik

a) Kadar glukosa darah: > 300 mg /dl tetapi tidak > 800 mg/dl

b) Elektrolit darah (tentukan corrected Na) dan osmolalitas serum.

c) Analisis gas darah, BUN dan kreatinin.

d) Darah lengkap (pada KAD sering dijumpai gambaran lekositosis), HbA1c, urinalisis (dan
kultur urine bila ada indikasi).

e) Foto polos dada.

f) Ketosis (Ketonemia dan Ketonuria)

g) Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok

h) Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330

mOsm/l Pemeriksaan Osmolalitas = 2[Na+K] + [GDR/18] + [UREUM/6]

i) Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir

j) Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH < 7,3 dan penurunan pada HCO3 250 mg/dl

1. 6. Penatalaksanaan

Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan ketidakseimbangan
elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.

Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU


Fase I/Gawat :

a) Rehidrasi

1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80
tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)

2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)

3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi

4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 – 48 jam).

5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%

6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)

7) Monitor keseimbangan cairan

b) Insulin

1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)

2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic

3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam sekali

4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L ³250mg%, Perbaikan
hidrasi, Kadar HCO3

c) Infus K (tidak boleh bolus)

ü Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L

ü Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L

ü Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L

ü Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam

d) Infus Bicarbonat

ü Bila pH 7,1, tidak diberikan

e) Antibiotik dosis tinggi


Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi

Fase II/Maintenance:

a) Cairan maintenance

ü Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian

ü Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU

b) Kalium

Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak.

c) Saat sakit, makanlah sesuai pengaturan makan sebelumnya. Bila tidak nafsu makan, boleh
makan bubur atau minuman berkalori lain.

d) Minumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi.

1. 7. Komplikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian akibat KAD adalah:

a) Terlambat didiagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma.

b) Pasien belum tahu bahwa ia menyandang DM.

c) Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat, seperti: renjatan (syok),
stroke, dll.

d) Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang suksesnya penatalaksanaan

KAD Komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD yaitu:

1. Edema paru
2. Hipertrigliserida
3. Infark miokard akut
4. Hipoglikemia
5. Hipokalsemia
6. Hiperkloremia
7. Edema otak
8. Hipokalemia

1. B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Anamnesis :

a) Riwayat DM

b) Poliuria, Polidipsi

c) Berhenti menyuntik insulin

d) Demam dan infeksi

e) Nyeri perut, mual, mutah

f) Penglihatan kabur

g) Lemah dan sakit kepala

2. Pemeriksan Fisik :

a) Ortostatik hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri)

b) Hipotensi, Syok

c) Nafas bau aseton (bau manis seperti buah)

d) Hiperventilasi : Kusmual (RR cepat, dalam)

e) Kesadaran bisa CM, letargi atau koma

f) Dehidrasi

3. Pengkajian gawat darurat :

a) Airways : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda asing
yang menghalangi jalan nafas

b) Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot
bantu pernafasan

c) Circulation : kaji nadi, capillary refill

4. Pengkajian head to toe

a) Data subyektif :

ü Riwayat penyakit dahulu


ü Riwayat penyakit sekarang

ü Status metabolik

Intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi atau penyakit-penyakit akut lain,
stress yang berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lain
yang mempengaruhi glukosa darah, penghentian insulin atau obat anti hiperglikemik oral.

b) Data Obyektif :

1) Aktivitas / Istirahat

Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan
istrahat/tidur

Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas, letargi /disorientasi, koma

2) Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas,
ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia.

Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak ada, disritmia,
krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung.

3) Integritas/ Ego

Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi

Tanda : Ansietas, peka rangsang

4) Eliminasi

Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar, kesulitan berkemih
(infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare.

Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi oliguria/anuria, jika terjadi
hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus
lemah dan menurun, hiperaktif (diare)

5) Nutrisi/Cairan

Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan masukan
glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan
diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah, pembesaran tiroid
(peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau
buah (napas aseton)

6) Neurosensori

Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesi, gangguan
penglihatan

Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan memori (baru, masa
lalu), kacau mental, refleks tendon dalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari
DKA).

7) Nyeri/kenyamanan

Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)

Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati

8) Pernapasan

Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya
infeksi/tidak)

Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan meningkat

9) Keamanan

Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit

Tanda : Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya kekuatan umum/rentang gerak,
parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).

10) Seksualitas

Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi)

Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita

11) Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang lambat,
penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan
kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan. Rencana
pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri,
pemantauan terhadap glukosa darah.

5. Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul

a) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas

b) Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebihan (diuresis


osmotic) akibat hiperglikemia

c) Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH menurun)
akibat hiperglikemia, glukoneogenesis, lipolisis

6. Rencana Keperawatan

a) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas

Kriteria Hasil :

- Pola nafas pasien kembali teratur.

- Respirasi rate pasien kembali normal.

- Pasien mudah untuk bernafas.

Intervensi:

1) Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal.

2) Berikan fisioterapi dada termasuk drainase postural.

3) Penghisapan untuk pembuangan lendir.

4) Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas.

5) Kolaborasi dalam pemberian therapi medis

b) Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebihan (diuresis osmotic)
akibat hiperglikemia

Kriteria Hasil :

ü TTV dalam batas normal

ü Pulse perifer dapat teraba


ü Turgor kulit dan capillary refill baik

ü Keseimbangan urin output

ü Kadar elektrolit normal

ü GDS normal

Intervensi :

1) Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan setiap jam

2) Observasi kepatenan atau kelancaran infus

3) Monitor TTV dan tingkat kesadaran tiap 15 menit, bila stabil lanjutkan untuk setiap jam

4) Observasi turgor kulit, selaput mukosa, akral, pengisian kapiler

5) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium :

ü Hematokrit

ü BUN/Kreatinin

ü Osmolaritas darah

ü Natrium

ü Kalium

6) Monitor pemeriksaan EKG

7) Monitor CVP (bila digunakan)

8) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam :

ü Pemberian cairan parenteral

ü Pemberian therapi insulin

ü Pemasangan kateter urine

ü Pemasangan CVP jika memungkinkan

c) Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH menurun)
akibat hiperglikemia, glukoneogenesis, lipolisis
Kriteria Hasil :

RR dalam rentang normal

AGD dalam batas normal :

pH : 7,35 – 7,45 HCO3 : 22 – 26

PO2 : 80 – 100 mmHg BE : -2 sampai +2

PCO2 : 30 – 40 mmHg

Intervensi :

1) Berikan posisi fowler atau semifowler ( sesuai dengan keadaan klien)

2) Observasi irama, frekuensi serta kedalaman pernafasan

3) Auskultasi bunyi paru

4) Monitor hasil pemeriksaan AGD

5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam :

ü Pemeriksaan AGD

ü Pemberian oksigen

ü Pemberian koreksi biknat ( jika terjadi asidosis metabolik)

Daftar Pustaka

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4, jilid III. (2006). Jakarta: FKUI

Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta

Corwin, Elizaeth J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC

Hall, Jasse B., Schmitt, Gregors A.( 2007). Critical Care: Just The Facts. USA: Mc Graw-Hill
Companies inc

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medical Bedah; Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. USA:
Mosby

Morton, patricia Gonce dkk. (2005). Critical Care Nursing A Holistik Approach.8th ed. USA:
Lippincot
Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta, Trans Info
Media, 2009.

ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA


Posted by nurse87 on 20 April 2012
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Gawat Darurat. Tinggalkan sebuah Komentar

A. Pengertian

Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus
berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan
penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth,
Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).

Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana peradangan ini
menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan menyebabkan kekambuhan.
(Lewis, 2000, hal. 660).

Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons terhadap terapi
konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Ini merupakan situasi yang
mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.

Jenis-jenis Asma :

a) Asma alergik

Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, marah, makanan dan
jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat medis masa lalu, iskemia
dan rhinita alergik.

b) Asma idiopatik atau non alergik

Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common cold, infeksi
traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan menjadi lebih
berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.

c) Asma gabungan

Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

Klasifikasi Asma:

1. Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa gejala, diantara
serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV dan PEF
diperkirakan lebih dari 80%.

1. Mid Persistent

Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam timbul lebih dari 2
kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar 80%.

1. Moderat Persistent

Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator serangan timbul 2
kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul gejala berat setiap minggu. Fungsi
paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.

1. Severe Persistent

Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan frekuensi serangan
dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.

Penyebab / Faktor resiko serangan asma

1. Faktor Ekstrinsik

Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena
kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang,
kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.

1. Faktor Intrinsik

Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik
seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih
biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan
yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronchial.

Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor
berikut ini.

1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.


2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.

Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan dan
alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.

Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho
spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal
melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan
nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan.
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.

Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang


pembentukan mediator kimiawi.

Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan hiperventilasi
untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan
dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga terjadi
alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus
tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak
mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan
produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2
dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal
dengan gagal nafas.

Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi jaringan
pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah
yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan
hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.

Tanda dan Gejala

- Batuk produktif

- Wheezing

- Dispnea

- Mengi

- Ekspirasi memanjang

- Barrel chest (dada tong)

- Orthopnea
- Berkeringat

- Tachypnea

- Tachycardia.

Pemeriksaan Diagnostik

a) Test Fungsi paru ( spirometri)

Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas
akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah ( respirasi asidosis)
, mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis,
adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun
kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien
dalam keadaan gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya
bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.

b) Pemeriksaan gas darah arteri

Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat
atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis
( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke
kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya
serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.

c) Arus puncak ekspirasi

APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif
dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau
nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat
pemeriksaan.

d) Pemeriksaan foto thoraks

Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau
komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan
pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu
hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang menurun. Semua gambaran ini akan
hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.

e) Elektrokardiografi

Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah
gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda
– tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
Penanganan Asma

1. Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan gerakan
sililaris. Contoh obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli isoetharine, dan
terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara parenteral dan inhalasi.
2. Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan gerakan
mukus dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin, diberikan secara IV dan
oral.
3. Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara inhalasi.
4. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh obat:
hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.
5. Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi untuk
bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6. Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7. Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan batuk
efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural drainage dilakukan
hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.

KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS

Pengkajian
a. Keluhan :
– Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
– Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
– Batuk dengan sekret lengket
– Berkeringat dingin
– Terdengar suara mengi / wheezing keras
– Terjadi berulang, setiap ada pencetus
– Sering ada faktor genetik/familier

AIRWAY

Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan nafas. Hal
ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini memperlihatkan kondisi
pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.

Diagnosa keperawatan :

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum

Intervensi :

a. Amankan pasien ke tempat yang aman

R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk pasien
b. Kaji tingkat kesadaran pasien

R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesadaran pasien

c. Segera minta pertolongan

R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang lebih intensif

d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien

R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya penumpukan sekret

e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien setengah telungkup dan
membuka mulutnya

R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas

BREATHING

Pengkajian :

Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk
memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami
nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha ventilasi pasien
tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak
mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak. Pada
pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau adanya mengi.

Diagnose keperawatan :

Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas

Intervensi :

a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien

R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien

b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta pipi ke
mulut pasien

R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien

c. Pantau ekspansi dada pasien


R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien

CIRCULATION

Pengkajian :

Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka jantung
berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan
denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu
inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang
pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan
sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.

Diagnosa Keperawatan :

Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen

Intervensi :

- pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi

jugularis R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba

DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001

2. Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998

3. Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001

4. Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates , 2000

5. Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta ,
EGC, 2002

6. Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta, Trans
Info Media, 2009.

Asuhan Keperawatan Anak dengan DHF


Posted by nurse87 on 28 Oktober 2011
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Anak. 2 komentar
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever ( DHF ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, sejenis
virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypty (betina). ( Effendy Christantie, 1995 ).
Dengue Haemorrhagic Fever ( DHF ) adalah penyakit yang terdapat pada anak dewasa dengan
gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji
tourniquet akan positif disertai ruam, tanpa ruam dan beberapa atau semua gejala perdarahan.
(Hendarwanto, IPD, 1999 )
Dengue Haemorrhagic Fever ( DHF ) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (betina). Penyakit ini dapat menyerang
semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak , serta sering menimbulkan
kejadian luar biaa atau wabah. ( Suroso Thomas, FKUI, 2002 )

2. Anatomi dan fisiologi darah


Darah adalah medium transport tubuh. Darah terdiri dari komponen cair dan komponen padat.
Komponen cair darah disebut plasma, berwarna kekuning-kuningan yang terdiri dari:
a. Air : terdiri dari 91 – 92 %
b. Zat padat yang terdiri dari 7 – 9 %. Terdiri dari :
1) Protein ( albumin, globulin, fibrinogen )
2) Bahan anorganik ( natrium, kalsium, kalium, fosfor, besi dan iodium )
3) Bahan organic ( zat-zat nitrogen non protein, urea, asam urat, kreatinin, xantin, asam
amino, fosfolipid, kolesterol, gluksa dll )
Komponen padat darah terdiri dari :
a. Sel darah merah
Eritrosit adalah cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 8,6 µm. eritrosit tidak memiliki nucleus.
Eritrosit terdiri dari membrane luar, hemoglobin ( ptotein yang mengandung besi ) dan karbon
anhidrase ( enzim yang terlibat dalam transport karbndioksida ). Pembentukan eritrosit
dirangsang oleh glikoprotein dan eritropoetin dari ginjal. Jumlah eritrosit nrmal yaitu : laki-laki :
4,5 – 5,5 106 / mm3 dan perempuan : 4,1 – 5,1 106 / mm3. funsi eritrosit adalah mengangkut dan
melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida. Pada orang dewasa umur eritrosit adalah 120
hari.

b. Sel darah putih


Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peranan utama sel darah putih. Jumlah normalnya adalah
4.000 – 11.000 / mm3. 5 jenis sel darah putih yaitu :
1) Neutrofil 55 %
2) Eosinofil 2 %
3) Basofil 0,5 – 1 %
4) Monosit 6 %
5) Limfosit 36 %
c. Trombosit
Trombosit bukan merupakan sel melainkan pecahan granular sel, berbentuk piringan dan tidak
berinti, berdiameter 1 – 4 mm dan berumur kira-kira 10 hari. Sekitar 30 – 40 % berada dalam
limpa sebagai cadangan dan sisanya berada dalam sirkulasi. Trombosit sangat penting peranannya
dalam hemostasis dan pembekuan. Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit
kurang dari 100.000 / mm3.
Fungsi darah secara umum yaitu :
a. Respirasi yaitu transport oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan
ke paru-paru
b. Gizi, transport makanan yang diabsorpsi
c. Ekskresi, transport sisa metablisme ke ginjal, paru-paru, kulit dan usus untuk dibuang
d. Mempertahankan keseimbangan asam basa
e. Mengatur keseimbangan air
f. Mengatur suhu tubuh
g. Transport hormon

Gibson, John 2002 : Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat Edisi . Jakarta : EGC.

3. Etiologi
Virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang terdiri dari 4 tipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4 (baca : virus dengue tipe 1-4). infeksi oleh satu tipe virus dengue akan
memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang bersangkutan pada masa yang
akan datang. Namun, hanya memberikan imunitas yang sementara dan parsial terhadap infeksi
virus lainnya. Wabah dengue juga telah dissertai Aedes albopictus, Aedess polinienssiss, Aedess
sscuttellariss tetapi vector tersebut kurang efektif dan kurang berperan karena nyamuk-nyamuk
tersebut banyak terdapat didaerah perkebunan dan semak-semak, sedangkan Aedes aegypti banyak
tinggal di sekitar pemukiman penduduk.
Adapun ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah
a. Berbadan kecil, warna hitam dan belang-belang
b. Menggigit pada siang hari, yaitu rentang waktunya antara Pkl 08.00 – 10.00 pagi.
c. Gemar hidup di tempat yang gelap dan lembab dan di baju-baju yang bergantungan
d. Badannya mendatar saat hinggap
e. Jarak terbangnya kurang dari 100 meter
f. Banyak bertelur di genangan air yang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan
air, bak mandi, ban bekas dan sebagainya.

4. Klasifikasi
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain tanpa perdarahan spontan, uji rumpeleede positf dan mudah
memar.
b. Derajat II
Tanda pada derajat I disertai perdarahan spontan pada kulit berupa ptekiae dan ekimosis,
epistaksis, muntah darah (hematemesis), melena, perdarahan gusi.
c. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dimana nadi tidak teraba, tekanan darah tidak dapat diukur, kulit lembab dan dingin,
tubuh berkeringat, kulit membiru. Merupakan manifestasi syok dan seringkali berakhir dengan
kematian.
5. Patofisiologi
Virus dengue ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti yang mempunyai 4 tipe yaiyu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4, dimana keempat jenis ini dapat menyebabkan manifestasi klinis yang
bermaca-macam dari asimptomatis sampai fatal. Dengue fever merupakan manifestasi klinis yang
ringan, sedang Dengue Haemorrhagic Fever merupakan manifestasi klinis yang berat.
Setelah virus masuk ke dalam tubuh, maka akan terjadi replikasi virus kemudian akan terjadi
viremia yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh , sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot dan
sendi, ruam atau bintik merah pada kulit, hiperemi tenggorokan dan pada keadaan yang lebih berat
mungkin akan terjadi pembesaran kelenjar getah bening, hepatomegali dan splenomegali.
Gigitan nyamuk yang pertama mungkin tidak menimbulkan gejala atau dapat juga terjadi dengue
fever yaitu reaksi tubuh ringan yang merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus.
Reaksi akan berat jika penderita mengalami infeksi berulang (ke-2) terutama jika oleh virus yang
berbeda pada infeksi yang pertama sehingga terjadi reaksi antigen-antibody dan akan menimbulkan
kompleks antigen-antibody (kompleks virus-antibody). Keadaan ini dapat menyebabkan beberapa
hal yaitu:
a. Aktivasi system komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilatoxin yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas dindingpembuluh darah dan terjadinya perembesan plasma dari ruang
intravascular ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini menyebabkan berkurangnya volume
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan (syok).
b. Timbulnya agregasi trombosit yang melepakan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosit
yang mengalami metamorfosis akan dimusnahkan oleh system retikuloendotel dengan akibat
trombositopenia hebat dan perdarahan
c. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadipembekuan
intravascular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini plasminogen akan menjadi plasmin yang
berperan dalam pembentukkan anafhilatoxin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation
product. Kemudian meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga terjadinya
perembesan plasma dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular
.
6. Tanda dan gejala
a. Demam tinggi dan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari
b. Manifestasi perdarahan : uji rumpeleede positif, ptekiae, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, melena
c. Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, nyeri ulu hati
d. Nyeri sendi , nyeri kepala, nyeri otot, rasa sakit di daerah belakang bola mata (retro
orbita), hepatomegali, splenomegali
e. Kadang ditemui keluhan batuk pilek dan sakit menelan.

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Labotatorium
1) Darah
a) Trombosit
b) Hemoglobin
c) Hematokrit
d) Elektrolit serum
e) Pemeriksaan gas darah
2) Urine
b. Pemeriksaan radiology
c. USG

8. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian minum 1- 2 liter per hari, pemberiaan oralit, jus buah juga baik untuk
mengatasi kekurangan volume cairan
b. Antipiretik
c. Kompres hangat
d. Monitor TTV dan tanda-tanda perdarahan
e. Antibiotic
f. Diazepam, jika kejang
g. Pemberian cairan intravena (Ringer Lactat, Nacl 0,9 %, Dextrose 5 %)
h. Bila hematokrit meningkat beri cairan plasma (Dekstran, albumin 5 %)
i. Pemberian tranfusi darah
j. Jika asidosis metabolic beri natrium Bikarbonat

9. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b. Anoksia jaringan
c. Asidosis metabolic

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat demam dengue, dengan minum penurun panas dan istirahat demam tidak dirasakan lagi
- Lingkungan rumah yang berdempet, banyak air tergenang, pembuangan barang-barang bekas dan
kaleng-kaleng bekas sembarangan
- Riwayat demam kembali dengan tanda-tanda perdarahan (tanda-tanda perdarahan yang khas dari
demam berdarah dengue)
b) Pola nutrisi metabolic
- Intake menurun karena mual dan muntah
- Adakah penurunan BB?
- Adakah kesulitan menelan?
- Demam tinggi yang tiba-tiba sampai kadang menggigil selama 2-7 hari
c) Pola eliminasi
- Konstipasi
- Diare
- Tinja berwarna hitam pada perdarahan hebat
- Produksi urine menurun (kurang dari 1cc/KgBb/jam) pada syok
d) Pola aktivitas dan latihan
- Badan lemah, nyeri otot dan sendi
- Tidak bisa beraktivitas, pegal-pegal seluruh badan
e) Pola istirahat dan tidur
- Istirahat dan tidur terganggu karena demam, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, gelisah
f) Pola persepsi kognitif
- Apakah yang diketahui klien dan keluarga tentang penyakitnya?
- Apakah yang diharapkan klien/keluarga terhadap sakitnya
g) Pola persepsi dan konsep diri
- Apakah klien merasa puas terhadap keadaan dirinya?
- Adakah perasaan malu terhadap penyakitnya?
h) Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
- Adanya perasaan cemas, takut terhadap penyakitnya
- Ingin ditemani orang tua atau orang terdekat saat sakit

i) Pola reproduksi seksual


- Pada anak perempuan apakah ada perdarahan pervagina (bukan menstruasi)?
j) Pola sistem kepercayaan
- Menyerahkan penyakitnya kepada Tuhan / pasrah
- Menyalahkan Tuhan kaerna penyakitnya
- Memanggil pemuka agama untuk mendoakan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang berhubungan dengan pindahnya
cairan dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular
c. Risiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat
e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
f. Kebutuhan pembelajaran mengenai kondisi, prognosis dan program pengobatan mengenai
penyakit DHF yang berhubungan dengan kurangnya pemajanan informasi

3. Rencana Keperawatan
a. Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Tujuan : hipertermi dapat teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Suhu tubuh normal (36-370 C)
2) Pasien mengatakan tidak panas
lagi Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
Rasional : TTV merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
2) Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh
Rasional : keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan pasien di rumah sakit
3) Beri kompres hangat di daerah ketiak dan dahi
Rasional : kompres hangat memberikan efek vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat
meningkatkan pengeluaran panas tubuh melalui pori-pori
4) Anjurkan klien banyak minum ± 1-2 liter / hari
Rasional : peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
5) Anjurkan klien untuk istirahat di tempat tidur / tirah baring
Rasional : mencegah terjadinya peningkatan metabolisme tubuh dan membantu proses
penyembuhan
6) Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap
keringat Rasional : pakaian yang tipis akan membantu mengurangi
penguapan tubuh
7) Monitor dan catat intake dan output dan berikan cairan intravena sesuai program medik
Rasional : karena IWL meningkat 10 %setiap peningkatan suhu tubuh 10C, maka peningkatan
intake cairan perlu untuk mencegah dehidrasi
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik
Rasional : antipiretik berfungsi dalam menurunkan suhu
tubuh

b. Risiko tinggi kekurangan volume cairan vascular yang berhubungan dengan pindahnya
cairan dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular
Tujuan : kekurangan volume cairan tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien tidak mengalami kekurangan volume cairan vaskuler yang ditandai dengan TTV
stabil dalam batas normal
2) Produksi urine 1 cc/KgBb/jam
3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
Rasional : TTV merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
2) Kaji tanda dan gejala kurang volume cairan (selaput mukosa kering, rasa haus dan
produksi urine menurun)
Rasional : deteksi dini kurang volume cairan
3) Monitor dan catat cairan yang masuk dan keluar
Rasional : mengetahui keseimbangan cairan yang masuk dan keluar
4) Beri minum yang cukup dan sesuaikan dengan jumlah cairan infuse
Rasional ; minum cukup untuk menambah volume cairan dan sesuaikan dengan cairan infuse untuk
mencegah kelebihan cairan
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan intravena
Rasional : program cairan intravena sangat penting bagi pasien yang mengalami deficit volume
cairan dengan keadaan umum yang jelek karena cairan yang masuk langsung ke pembuluh darah
6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit, hematokrit dan
hemoglobin
Rasional : mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah

c. Risiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan perdarahan


Tujuan : syok hipovolemik tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) TTV stabil dalam batas normal
2) Hematokrit dalam batas normal ( L : 40-52 %, P : 35-47 % )
3) Hemoglobin dalam batas normal ( L : 11,5-16,5 g/dL, P : 13-17,5 g/dL )
4) Trombosit dalam batas normal (150.000-400.000 /mm3 )
5) Tidak terjadi tanda-tanda
syok Rencana tindakan :
1) Observasi TTV : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
Rasional : TTV merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
2) Monitor tanda-tanda perdarahan
Rasional : perdarahan yang tepat diketahui dapat segera diatasi sehingga pasien tidak sampai ke
tahap hipovolemik akibat perdarahan hebat
3) Observasi perkembangan bintik-bintik merah di kulit, keringat dingin, kulit lembab dan
dingin serta tanda-tanda sianosis
Rasional : mengetahui tanda-tanda terjadinya syok sehingga dapat menentukan intervensi
secepatnya
4) Bila terjadi syok hipovolemik, baringkan pasien dalam posisi datar
Rasional : menghindari kondisi yang lebih buruk
5) Segera puasakan pasien bila terjadi perdarahan saluran pencernaan
Rasional : mengistirahatkan saluran pencernaan untuk sementara selama perdarahan dari saluran
cerna
6) Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk segera melapor jika ada tanda-tanda perdarahan
Rasional : keterlibatan keluarga sangat membantu tim perawatan untuk segera melakukan tindakan
yang tepat
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tranfusi dan cairan parenteral
Rasional : untuk menggantikan volume dan komponen darah yang hilang dan untuk memenuhi
keseimbangan cairan tubuh
8) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan trombosit, hematokrit dan
hemoglobin
Rasional : mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah

d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien mengalami peningkatan selera makan dan mampu menghabiskan 1 porsi makanan yang
disediakan
2) Mual, ¬muntah hilang
3) Berat badan dalam batas normal
Rencana tindakan :
1) Kaji keluhan mual, muntah dan anoreksia yang dialami pasien
Rasional : untuk menentukan intervensi yang sesuai dengan kondisi pasien
2) Kaji pola makan pasien, catat porsi makan yang dihabiskan setiap
hari Rasional : mengetahui masukan nutrisi pasien
3) Timbang berat badan pasien setiap hari
Rasional : mengetahui kecukupan nutrisi pasien
4) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makan dalam porsi kecil tetapi
sering Rasional : mencegah pengosongan lambung
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy antiemetik dan vitamin
Rasional : antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah, vitamin untuk meningkatkan selera
makan dan daya tahan tubuh pasien

e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : pasien mampu untuk beraktivitas setelah dilakukan tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Klien dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya
2) Klien dapat mandiri untuk mandi, makan, eliminasi dan berpakaian
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktivitas
Rasional : mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas
2) Libatkan keluarga/orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien
Rasional : memberikan dorongan kepada pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
3) Anjurkan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien
Rasional : agar klien berpartisipasi dalam perawatan diri
4) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari jika pasien belum mampu sendiri
Rasional : bantuan yang tepat perlu dilakukan agar pasien tidak memaksakan diri beraktivitas
sementara dirinya belum mampu sehingga kelelahan pasien dapat dihindari

f. Kebutuhan pembelajaran mengenai kondisi, prognosis dan program pengobatan mengenai


penyakit DHF yang berhubungan dengan kurangnya pemajanan informasi
Tujuan : pengetahuan pasien/ keluarga tentang penyakit DHF bertambah setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Sasaran :
1) Pasien/keluarga dapat mengerti mengena pengertian, penyebab, prose terjadinya penyakit, tanda
dan gejala, cara pencegahan dan pengobatan dan komplikasi DHF
Rencana tindakan :
1) Kaji tingkat pengetahuann pasien dan keluarga tentang penyakit DHF
Rasional : memberikan infrmasi kepada pasien / keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana
informasi atau pengetahuan tentang penyakit pasien serta kebenaran informasi yang telah
didapatkan pasien / keluarga sebelumnya
2) Kaji latar belakang pendidikan pasien dan keluarga
Rasional : agar perawat dapat memberikan penjelasan sesuai dengan tingkat pendidikan mereka
sehingga penjelasan dapat dipahami dan tujuan yang direncanakan tercapai
3) Jelaskan tentang pengertian, sebab, proses penyakit, tanda dan gejala, cara pencegahan dan
pengobatan serta komplikasi dengan menggunakan gambar dan leaflet dan dengan kata-kata yang
mudah dipahami
Rasional : agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dan dengan menggunakan leaflet dan gambar penjelasan yang diberikan dapat
dibaca dan dilihat berulang-ulang
4) Berikan kesempatan kepada pasien / keluarga untuk bertanya sehubungan dengan penyakit
yang dihadapinya dan jawab pertanyaannya
Rasional : mengurangi kecemasan dan memotivasi pasien untuk kooperatif selama masa perawatan
atau penyembuhan

4. Evaluasi
a. Suhu tubuh normal (36-370 C).
b. Kekurangan volume cairan vascular tidak terjadi dan pasien tidak mengalami kekurangan
volume cairan.
c. Syok hipovolemik tidak terjadi, pasien tidak mengalami perdarahan yang berlebihan seperti
hematemesis, melena, perdarahan gusi, epistaksis dan ptekiae.
d. Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
e. Aktivitas dan latihan pasien dapat dilakukan secara mandiri
f. pengetahuan pasien / keluarga tentang kondisi, prognosis dan program pengobatan penyakit
DHF bertambah

Patoflow
Infeksi virus dengue I
(tidak ada gejala , dengue fever ringan membaik)

Infeksi virus dengue berulang


(oleh tipe virus dengue yang berbeda dengan infeksi I)

Replikasi virus Kompleks antigen – antibody

Viremia
Aktivasi system agregasi Aktivasi faktor Hageman
Komplemen trombosit (faktor XII)
 Demam (Dp 1)
 Mual, muntah (Dp 4) Dikeluarkannya zat ADP Plasminogen
anafilatoxin dilepaskan menjadi plasmin
 Anoreksia (Dp 4)
 Lemah (Dp 5) Peningkatan permeabilitas metamorfosis Penghancuran fibrin
Kapiler trombosit dan pembentukan
 Nyeri otot anafilatoxin
 Nyeri kepala Perembesan plasma dari trombosit di
ruang intra ke ekstravaskular musnahkan oleh RES Peningkatan
 Hepatomegali permeabilitas
 Splenomegali kapiler
Trombositopenia
Perembesan plasma
 Kadang diare dari ruang intra
konstipasi, Tanda-tanda perdarahan ke ruang ektra
sakit menelan, ringan : ptekiae,perdarahan vascular (Dp 2)
batuk,pilek gusi, mimisan (Dp 3)

Tidak teratasi

Perdarahan hebat
( dapat terjadi di seluruh bagian tubuh)
Saluran pencernaan : hematemesis, melena
Saluran perkemihan : hematuri (Dp 3)

 Hemokonsentrasi
 Volume plasma berkurang
 Efusi
 Syok

 Anoksia jaringan
 Asidosis metabolic

Kematian

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Jual-Moyet.(2008). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC.
Effendi, Christantie. 1995. Perawatan Pasien DHF edisi 1. Jakarta : EGC
Ginanjar, Genis. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat Edisi 2. Jakarta ; EGC
Mansjoer, Arif et all. 2000. Kapita selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta : Media aesculapius
Monica, Ester. 1999. Demam Berdarah Dengue ( Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan
Pengendalian. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2001. Fisiologi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta : Widya Medika
Suyono, Slamet. 2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 3. Jakarta ; FKUI

Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Ca Mamae


Posted by nurse87 on 26 Oktober 2011
Posted in: Uncategorized. Tagged: Keperawatan Medikal Bedah. Tinggalkan sebuah Komentar

A. Konsep Dasar Medik


1. Defenisi
a. Neoplasma: kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus
secara terbatas, tidak berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh (dr.
Achmad Tjarta, pathologi, 1973).
b. Kanker adalah : Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan gangguan pertumbuhan
selular dan merupakan kelompok penyakit dan bukan hanya penyakit tunggal (Marilynn E.
Doenges, Rencana Askep, 1993)
c. Cancer : Istilah umum yang mencakup setiap pertumbuhan malignan dalam setiap bagian tubuh.
Pertmbuhan ini tidak bertujuan, bersifat parasit dan berkembang dengan mengorbankan manusia
yang menjadi hospesnya. Sedangkan Carsinoma adalah pertumbuhan kanker pada jaringan epitel.
(Sue Hinchliff, kamus Keperawatan, 1997).
d. Kanker payudara adalah tumor ganas pada payudara atau salah satu payudara (Rosa
Mariono, MA, Standart asuha Keperawatan St. Carolus, 2000)

2. Bermacam-macam bentuk tumor :


Perbedaan antara tumor ganas dan tumor jinak
Tumor ganas Tumor jinak
– Tumor infiltratif. Tumbuk berkembang menyerbuk kedalam jaringan sehat disekitarnya,
menyerupai jari-jari kepiting (cancer). Sukar digerakan dari dasarnya. – Tumbuh ekspansif.
Mendesak jaringan sehat sekitarnya dan jaringan sehat yang terdesak membentuk
simpai/kapsel.
Mudah digerakan dari dasarnya.
– Residif (kambuh) dengan bedah/therapi sinar dapat kambuh lagi karena ada sel-sel yang
tertinggal. – Karena bersimpai, maka mudah di keluarkan seluruhnya
– Terjadi metastase melalui :
pembuluh darah: Hematogen
Pembuluh limfe : limfogen – Tidak terjadi metastase
– Tumbuh cepat
Klinis : Tumor cepat membesar
Mikroskopik :
Mitosis bipolar (normal)
Mitosis (abnormal)
Satu sel dapat menjadi 3 atau 4 anak sel – Tumbuh lambat
Klinis : Tidak cepat membesar
Mikroskopik :
Mitosis bipolar (normal)
Satu sel membelah menjdi 2 anak sel.
– Kehilangan polaritas letak sel yang satu terhadap yang lain tidak teratur lagi. – Tidak
ditemukan “Loss of polarity”
– Jika tidak diobati, penderita bisa meninggal. – Biasanya tidak mengakibatkan kematian bila
tidak terletak pada alat tubuh yang vital.

3. Tipe-tipe kanker payudara


a. Paget’s disease adalah
Bentuk kanker yang dalam taraf permulaan manifestasinya sebagai ezema menahun dari puting
susu, yang biasanya merah dan menebal. Suatu tumor subareoler bisa teraba. Paget’s disease
mempunyai prognosis lebih baik. Sebenarnya penyakit ini adalah suatu kanker intraduktal yang
tumbuh dibagian terminal dari duktus laktiferus. Secara patologik cicir-cirinya ialah: sel-sel paget
(seperti pasir), hipertrofi sel epedermoi, infiltrasi sel-sel bunder di bawah epidermis. Paget’s
disease sangat jarang terdapat di negeri kita ini.
b. Kanker duktus laktiferus
Non infiltrating papillary karsinoma bisa berbentuk dalam tiap duktus laktiferus dari yang terbesar
sampai yang sekecil-kecilnya. Kadang-kadang sulit sekali dibedakan dari papilloma.
c. Comedo carsinoma
Terdiri dari sel-sel kanker non papillry dan intraduktal, seing dengan nekrosis sentral, sehingga
pada permukaan potongan terlihat seperti isi kelenjar. Jarang sekali comedo carsinoma terbatas
pada saluran saja; biasanya mengadkan infiltrasi ke sekitarnya, menjadi infiltrating comedo
carsinoma.
d. Adenokarsinoma dengan infiltrasi dan fibrosis. Ini aadlah kanker payudara yang lazim
ditemukan . 75% dari kanker payudara adalah tipe ini; oleh karena banyak fibrosis, dia
umumnya agak besar dan keras. Juga disebut kanker tipe scirrbus; tumor mengadakan infiltrasi
ke kulit dan ke dasar, yaitu fascia.
e. Medullary carsinoma.
Tumor ini biasanya sangat dalam di dalam mamma, biasanya tidak seberapa keras, dan kadang-
kadang disertai kista-kista dan mempunyai kapsul. Tumor ini kurang infiltratif dibanding dengan
tipe scirrbus tadi dan metastasis ketiak sangat lama. Maka prognosis tumor ini lebih baik daripada
tipe-tipe lain yang disebut diatas.
f. Kanker dari lobulus.
Ini yang timbul sering sebagai carsinoma in situ dengan lobulus yang membesar. Secara
mikroskopik, kelihatan lobulus atau kumpulan lobulus dengan berisi kelompok sel-sel asinus
dengan beberapa mitosis. Kalau mengadakan infiltrasi, hmpir tidak dapat dibedakan dari tipe
scirrbus.
g. Mastitis karsinoma
Suatu penyakit yangsangat ganas dan sangat cepat jalannya. Penyakit ini dapat timbul pada waktu
menyusui, akan tetapi juga di luar waktu tersebut. Dapat kita ketahui bahwa operasi akan
mengakibatkan penyebaran yang sangat cepat dan kematian. Pendapat umum ialah mastitis
karsinomatosa dibiopsi dan diradiasi saja dengan atau tanpa hormon.
4. Klasifiksi kanker menurut type jaringan :
a. Limfoma : Kanker dari organ perlawanan infeksi.
b. Leukemia : Kanker dari organ pembentukan darah.
c. Sarkoma : Kanker dari tulang, otot, jaringan penyambung.
d. Karsinoma : Kanker dari sel epitel.

5. Anatomi dan fisiologi

Payudara pada pria dan wanita adalah sama sampai mencapai tahap pubertas dimana payudara
wanita mengalami perkembangan.
Perkembangan payudara dipengaruhi oleh adanya hormon estrogen dan hormon lain, terjadi sekitar
usia 10 tahun dan terus berkembang sampai sekitar usia 16 tahun.
Adapun tahap perubahan payudara menurut (Tanner) adalah sebagai berikut :
a. Tahap 1 : Payudara pra pubertas.
b. Tahap 2 : Penonjolan payudara sebagi tanda pertama pubertas wanita.
c. Tahap 3 : Pembesaran lebih lanjut jaringan payudara dan areola.
d. Tahap 4 : Puting dan areola membentuk tonjolan kedua di atas jaringan payudara.
e. Tahap 5 : Payudara yang lebih besar dengan kontur tunggal
Payudara pada wanita dewasa terletak diantara iga ke-2 samapi iga ke-6 (vertikal) dan antara
sternum sampai linea mid axilaris (secara horizontal). Adapun berat payudara tiap-tiap orang
berbeda, pada wanita yang tidak sedang menyusui berat payudara antara 150-250 gr, sedangkan
pada wanita yang sedang menyusui berat payudara dapat mencapai 400-500 gr.
Bentuk payudara cembung ke depan dengan puting di tengahnya yang terdiri atas kulit dan
jaringan erektil yang berwarna tua. Puting dilingkari oleh daerah berwarna coklat yang disebut
areola. Didekat dasar puing terdapat kelenjar sebaseus, yaitu kelenjar montgomery yang
mengeluarkan zat lemak sehingga puting tetap lemas. Puting berlubang antara 15-20 buah yang
merupakan saluran dari kelenjar susu.
Struktur dasar payudara terdiri dari jarigan fibrosa dan lapisan lemak. Jaringan fibrosa akan
mengikat lobus-lobus yng dipisahkan oleh jaringan lemak yang ada. Lobus-lobus yang ada
berjumlah 12-20 buah. Setiap lobus terdiri atas sekelompok alveolus yang bermuara ke dalam
ductus lactiferus (saluran air susu) yang bergabung dengan duktus lainnya sehingga terbentuk
saluran yang lebih besar dan berakhir dalam saluran sekretorik. Ketika saluran ini mendekati
puting, kanker akan membesar dan membentuk wadah penampungan air susu yang disebut sinus
lactiferus, kemudian saluran akan menyempit lagi dan menembus puting sehingga akhirnya
bermuara di atas permukaannya.
Jaringan payudara terdapat diatas otot pektoralis mayor dari sternum menuju linea mid clavicularis,
masing-masing meluas ke axilla, suatu area jaringan payudara yang disebut tail of spence. Terdapat
pula ligamen cooper yang merupakan pita fasia yang menyangga payudara pada dinding dada.
Adapun sekitar 85% jaringan payudara adalah lemak.
Adapun fungsi dari payudara adalah sebagai organ untuk laktasi yang dipengaruhi hormon
prolakin dan corticotropin.
Laktasi dapat tejadi karena adanya persepsi subjektif dari ibu dan stimulasi dari isapan oleh bayi.
Isapan dapat merangsang pengeluaran oxitosin dari kelenjar pituitary yang terletak dilobus anterior
kelenjar hipofisis yang dialirkan melalui aliran darah.

6. Etiologi

Penyebab pasti tidak diketahui, adapaun fakto-faktor resiko dari kanker mammae antara lain :
a. Jenis kelamin.
Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Di Amerika serikat, kanker payudara
berjumlah 30% dari semua kanker invansive pada wanita dan kurang dari 1% dari kanker yang
ditemukan pada pria.
b. Usia
Sebagian besar kanker mammae ditemukan pada wanita berusia 40 tahun keatas, namun lebih
banyak ditemukan pada wanita setelah berusia 50 tahun.
c. Riwayat kanker sebelumnya, terutama kanker payudara atau tumor payudara.
Wanita yang mempunyai tumor payudara yang disertai perubahan epitel proliferatif mempunyai
resiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara.
Sedangkan pada wanita mempunyai riwayat kanker mammae beresiko terjadi kanker mammae
pada payudara di sebelahnya sebanyak 2 kali-4 kali kemungkinan terkena kanker.
d. Riwayat keluarga dengan kanker mammae dan genetik.
Resiko meningkat 2 kali- 4 kali. Jika salah satu anggota keluarga dekat kanker. Resiko akan
meningkat > 4 kali jika ada 2 orang anggota keluarga dekat yang mengidap kanker.
e. Riwayat menstruasi
Resiko payudara meningkat pada wanita yang mengalami menarche sebelum usia 12 tahun dan
mengalami menopause setelah 50 tahun.
Hal ini dapat dikarenakan total waktu dimana seseorang terekspose estrogen dan progesteron pada
payudaranya disertai dengan perkembangan sel dan perubahan jaringan payudara pada setiap siklus
ovulasi.
Bilateral Oophorectany (pengangkatan ovarium) diperkirakan dapat memperkecil resiko kanker
payudara dibandingkan menopause setelah 50 tahun.
f. Riwayat reproduksi .
Keaadaan dimana anak pertama lahir setelah ibu berusia 30 tahun dapat menjadi faktor resiko
terjadi kanker payudara.
Beberapa studi juga menyebutkan bahwa lamanya ibu memberikan ASI pada anaknya dapat
menurunkan resiko kanker payudara.
Wanita yang tidak mempunyai anak juga beresiko untuk terkena kanker payudara (Nulliparity)
g. Obesitas dan diit tinggi lemak
Obesitas juga menunjukan peningkatan resiko kanker payudara pada wanita post menopause.
Diperkirakan wanita dengan obesitas mengalami peningkatan sirkulasi estrogen yang dapat
mengakibatkan sel kanker mengalami ketergantungan hormon.
Selain itu, obesitas dapat menghambat diagnosa dari penyakit kanker payudara sehingga diagnosa
pada wanita dengan obesitas cenderung lebih lambat.
h. Paparan radiasi
Pemajanan terhadap radiasi ionisasi setelah pubertas dan sebelum usia 30 tahun beresiko
meningkatkan kemungkinan terkena kanker payudara sampai 2 kali lipat.
Pada saat berusia 10-14 tahun, jaringan-jaringan pada payudara sangat sensitif sehinga efek
pengrusakan dari radiasi meningkat.
i. Penggunaan hormon dari luar tubuh.
Hal ini meliputi penggunaan kontrasepsi oral maupun penggunaan therapi pengganti hormon
estrogen. Hal ini turut di pengaruhi oleh usia saat mulai menggunakan therapi, lama penggunaan
dan dosis yang digunakan. Beberapa studi menunjukan bahwa ada peningkatan resiko terhadap
kanker payudara saat hormon progestin diberi tambahan hormon estrogen maupun saat seseorang
menggunakan therapi jangkan panjang (lebih dri 5 tahun)
j. Penggunaan alkohol
Beberapa studi menyebutkan adanya peningkatan resiko terhadap kanker payudara pada orang
yang mengkonsumsi alkohol walau hanya 1 kali minum dalam sehari. Hal ini juga dipengaruhi
oleh usia seseorang saat mengkonsumsi alkohol, yang dikonsumsi, lamanya orang tersebut
mengkonsumsi alkohol maupun tipe alkohol yang dikonsumsi.
Adapun teori yang menyebutkan bahwa alkohol yang dikonsumsi saat premenopause dapat
menyebabkan injuri pada jaringan payudara.
Teori lain menyebutkan bahwa metabolisme alkohol dan kadar estrogen dapat menstimulasi
pertumbuhan sel kanker.
k. Faktor lainnya :
0) Tingkat ekonomi.
Tingkat ekonomi tinggi dapat dihubungkan dengan peningkatan resiko kanker.
Sedangkan tingkat ekonomi rendah dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh
kanker.
1) Etnis.
Wanita dengan kulit putih mempunyai resiko tinggi terkena kanker payudara sedangkan wanita
kulit hitam resikonya lebih kecil.
2) Merokok, stress, diagnosa psikiatri, kurang aktivitas, penggunaan protese pada mammae,
coffein.
Hal-hal tersebut diatas dapat meningkatkan resiko kanker payudara.
7. Patofisiologi
Sel tubuh yang normal mengalami degenerasi yang didukung oleh adanya faktor – faktor
karsinogenik seperti peningkatan paparan hormon estrogen dalam tubuh (menarche kurang dari 12
tahun, menopause lebih dari 50 tahun, penggunaan therapi estrogen, penggunaan kontrasepsi oral),
zat-za kimia radioaktif maupun adanya riwayat keluarga dengan kanker (genetik).
Sel yang bergenerasi tesebut mengalami perubahan struktur dan fungsinya, dapat menjadi sel yang
ganas maupun sel yang jinak (tumor). Sel-selyang ganas tersebutlah yang dinamakan kanker
dengan ciri khas bahwa sel tersebut berkembang lebih cepat dibanding sel normal maupun sel
abnormal yang jinak. Ciri khas lain dari kanker adalah ia dapat bermetastase melalui aliran darah
maupun aliran limfe kejaringan-jaringan lain disekitarnya seperti : paru, hepar, tulang, ovarium
bahkan dapat sampai ke otak.
Metastase juga dapat juga terjadi melalui transplantasi langsung maupun rongga permukaan tubuh.

8. Perjalanan metastase.
Stadium-stadium kanker :
a. Kalsifiksi TNM dari Ca mammae :
Tumor :
Tis Tumor sebelum invasi tanpa infiltrasi intra duktuel atau paget’s disease dari puting susu tanpa
tumor.
T1. Tumor berdiameter 2 cm atau kurang.
T2. Tumor berdiameter 2-5 cm.
T3. Tumor berdiameter lebih dari 5 cm.
T4 Tumor dengan infiltrasi kedinding thorax atau kulit.
Nodus limfe regional.
N0. Tidak teraba kelenjar limfe diketiak.
N1. Teraba di ketiak homolateral adanya kelenjar limfe yang dapat digerakkan
N2. Kelenjar limfe homolateral berlekatan satu sama lain atau melekat ke jaringan sekitarnya
N3. Kelenjar limfe infraklavikular dan supraklavikular homolateral
Metastase / anak sebar.
M0. Tidak ada metastase jauh.
M1. Tidak ada metasase ditambah infiltrasi kulit sekitar payudara.
b. Stadium O Tis N0
M0 Carsinoma in situ.
I. T1 N0 M0.
Tumor kurang dari 2 cm tanpa nodus
II.A. T0-N1 M0, T1 N1M0, T2 N0M0.
Tumor 0-2 cm dengan nodus atau. Ukuran 2-5 cm tanpa nodus.
II.B. T2N1M0, T3N0M0
Tumor 2-5 cm dengan nodus atau lebih dari 5 cm tanpa nodus.

III.A. T0N2M0, T1N2M0, T2N2M0,T3N1M0, T3N2M0


Tumor kurang dari 2 cm dengan nodus limfe yang terfiksasi atau tumor lebih dari 5 cm dengan
ndus terfiksasi/tidak tefiksasi.
Stadium IV T…N…M1
Semua tumor yang metastase
Perjalanan metastase tumor

9. Tanda dan gejala

a. Teraba massa atau benjolan di mammae, mayoritas ditemukan di kuadran atas terluar dari
payudara, sebagian besar terjadi pada payudara sebelah kiri.
b. Lesi tidak terasa nyeri, terfiksasi dan keras.
c. Batas benjolan tidak teratur.
d. Nyeri pada kanker payudara dapat ditemukan pada kasus yang lebih lanjut.
e. Tampak dimpling atau peau d’orange pada kulit payudara, dimana kulit tampak kerut
seperti kulit jeruk.
f. Retraksi puting susu.
g. Metastase ke kulit dapat di manifestasikan oleh lesi yang mengalami ulserasi.
h. Kulit berwarna merah, agak gelap, kadang edema.
i. Koping : menyangkal.
j. Pembesaran kelenjar getah bening setempat
10. Pemeriksaan diagnostik
a. BSE (Breast Self Examination)
Pemeriksaan payudara sendiri oleh orang yang bersangkutan. Pemeriksaan dilakukan pada hari
ke- 5 sampai hari ke-10 menstruasi. Sebaliknya pemeriksaan ini dilakukan setiap bulan setelah
berusia 20 tahun.
b. CBE (Clinical Breast Examination)
Pemeriksaan payudara oleh perawat yang sudah terlatih. Dilakukan setiap 3 tahun sekali untuk
usia 20 tahun sampai 39 tahun dan dilakukan lebih sering bila sudah berusia 40 tahun atau lebih.
c. Mammographi.
Sebaiknya dilakukan setiap tahun bila sudah berusia 40 tahun atau lebih.
Dengan foto rontgen mammography dapat di temukan adanya benjolan berukuran 1 mm.
d. Xeromammography
Pemotretan jaringan payudara dengan kontras dan sedikit dosis rendah.
e. Ultrasound
Perpaduan antara mammography dan ultrasound dapat membedakan cairan yang mengisi massa
yang ada.
f. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsi)
Dengan cara mengaspirasi jaringan massa dengan menggunakan syringe dan jarum 21-23. Hasil
aspirasi diletakan di objek glass dan diperiksa di laboratorium.
g. Core needle biopsi
Pengambilan jaringan inti dari masa, biasanya digunakan anastesi lokal karena cenderung lebih
berdarah dan lebih nyeri daripada FNAB.
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara kanker in situ dan kanker invasif.
h. Pemeriksaan darah : CEA, Ca 15-3 dan Ca 27.29.
Terjadi peningkatan CEA (lebih dari 5) dan peningkatan Ca 15-3, Ca 27. 29.
Kadar Ca 15-3 dan Ca 27.29 tidak akan mengalami peningkatan pada klien yang merokok.

11. Penatalaksanaan medik


a. Pembedahan.
1) Mastectomy radikal yang dimodifikasi
Pengangkatan payudara sepanjang nodu limfe axila sampai otot pectoralis mayor.
Lapisan otot pectoralis mayor tidak diangkat namun otot pectoralis minor bisa jadi diangkat atau
tidak diangkat.
2) Mastectomy total.
Semua jaringan payudara termasuk puting dan areola dan lapisan otot pectoralis mayor diangkat.
Nodus axila tidak disayat dan lapisan otot dinding dada tidak diangkat.
3) Lumpectomy/tumor
Pengangkatan tumor dimana lapisan mayor dri payudara tidak turut diangkat.
Exsisi dilakukan dengan sedikitnya 3 cm jaringan payudara normal yang berada di sekitar tumor
tersebut.
4) Wide excision/mastektomy parsial.
Exisisi tumor dengan 12 tepi dari jaringan payudara normal.
5) Ouadranectomy.
Pengangkatan dan payudara dengan kulit yang ada dan lapisan otot pectoralis mayor.
b. Radiotherapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula merupakan therapi
tunggal.
Adapun efek samping : kerusakan kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada
nervus atau otot pectoralis, radang tenggorkan.
c. Chemotherapy
Pemberian obat-obatan anti kanker yang sudah menyebar dalam aliran darah.
Efek samping : lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan, kerontokan membuat, mudah terserang
penyakit.
d. Manipulasi hormonal.
Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk kanker yang sudah bermetastase.
Dapat juga dengan dilakukan bilateral oophorectomy. Dapat juga digabung dengan therapi
endokrin lainnya.
12. Komplikasi
a. Metastase
Terjadi penyebaran sel kanker kejaringan sekitarnya seperti paru-paru, hepar, ovarium, tulang
maupun otak.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemiliharaan kesehatan.
1) Riwayat keluarga dengan kanker.
2) Terpapar radiasi berlebih.
3) Riwayat kanker rahim, kanker ovarium, kanker colon.
4) Penggunaan alkohol.
5) Rutin melakukan chek up, sarasi.
b. Pola nutrisi metabolik
1) Diit tinggi lemak.
2) Penurunan nafsu makan.
3) Muntah-muntah.
4) Penurunan berat badan.
5) Edema, ascites.
6) Obesitas.
c. Pola eliminasi.
1) Darah pada feses/urine.
2) Nyeri saat defekasi/berkemih.
3) Konstipasi/diare.
4) Distensi abdomen.
d. Pola aktivitas-latihan.
1) Kelelahan.
2) Aktivitas terbatas karena nyeri.
e. Pola tidur-isirahat.
1) Gangguan tidur karena nyeri.
f. Pola persepsi.
1) Nyeri.
2) Ketidaktahuan tentang proses penyakit.
3) Ansietas/ketakutan.
4) Rasa terbakar, gatas pada tulang.
5) Pola persepsi-konsep diri.
6) Malu, tidak percaya diri karena :
7) Lesi seperti cacat.
8) Jaringan peau d’orange pada payudara.
9) Scan pada post operasi.
10) Alopesia.
g. Pola peran-hubungan sesama.
1) Gangguan dalam melakukan perannya.
2) Gangguan dalam interaksi sosial.
h. Pola reproduksi-seksual.
1) Menarche sebelum 12 tahun.
2) Menopause setelah 50 tahun.
3) Therapi hormon.
4) Anak pertama lahir setelah 30 tahun.
5) Tidak memiliki anak.
6) Kontrasepsi oral.
i. Pola koping-toleransi terhadap stress.
1) Stress berlebih.
2) Cara mngatasi stress : minum alkohol, rokok.
3) Denial terhadap penyakit, putus asa.
4) Menarik diri.
j. Pola nilai kepercayaan.
1) Mempersalahkan Tuhan.
2) Lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan harga diri b.d. kecacatan bedah, efek samping khemotherapi, ragu mengenai
penerimaan orang lain.
b. Ketakutan b.d. Krisis situasi : Hospitalisasi, ketidak pastian hasil rasa tidak, berdaya, putus asa,
kurang pengethuan tentang kanker dan pengobatan.
c. Nyeri b.d. proses penyakit : destrukrif jaringan saraf, obstruksi jaras saraf, inflamasi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. status hipermetabolik berkenaan dengan
kanker, konsekuensi kemnotherapi, radiasi : mual-muntah, anoreksia.
e. Resiko tinggi terhadap kerusakan integrits kulit/jaringan b.d. efek radiasi dan kemotherapi,
penurunan imunologi.
3. Rencana Keperawatan
a. Gangguan harga diri b.d. kecacatan bedah, efek samping khemotherapi, ragu mengenai
penerimaan orang lain.
HYD : Klien dapat mengungkapkan pemahaman tentang perubahan tubuh, mengembangkan
koping yang efektif, ditandai dengan :
1) Partisipasi aktif dalam hubungan personal yang tepat.
2) Penggunaan koping yang
tepat Selama proses perawatan.
Rencana tindakan Rasional
1. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaanya, khususnya mengenai cara ia memandang
dirinya.
2. Dorong klien untuk bertanya mengenai masalah yang ia alami, penanganan perawatan yang
sesuai.
3. Kaji ada tidaknya dukungan dari keluarga.
4. Anjurkan klein untuk mengikuti kelompok dengan penyakit kanker payudara.  Mengetahui
bagaimana individu memandangi dirinya (konsep diri)

 Klien dapat peduli dengan dirirnya.

 Mengetahui apakah dukungan dari keluarga cukup membantu.


 Klien dapat menemukan wadah yang tepat untuk berbagai pengalaman.

b. Ketakutan b.d. Krisis situasi : Hospitalisasi, ketidak pastian hasil rasa tidak, berdaya, putus asa,
kurang pengethuan tentang kanker dan pengobatan
HYD : Klien dapat mengurangi ketakutan yang ia alami sesuai dengan mekanisme koping yang
tepat dan dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan yang ditandai dengan :
1) Dapat mengungkapkan perasaan.
2) Aktif dalam program pengobatan.
3) Klien tanpak rileks
Selama proses perawatan.
Rencana Tindakan Rasional
1. Kaji ulang tentang pemahaman kelurga-klien tentang kanker.
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman
3. Dorong klien untuk ungkapkan pikiran-perasaan.
4. Lakukan kontak sering mungkin dengan klien.
5. Waspadai gejala interaksi soial buruk, menarik diri, marah, percobaan bunuh diri.
6. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam.
7. Libatkan keluarga, orang terdekat dengan klien : Juga dalam hal mengambil keputusan utama.
8. Berikan penjelaan ulang mengenai therapi, tujuan, prosedur, efek samping setelah dokter
menjelaskan.
9. Beri support spiritual doa

 Memperbaiki konsep yang salah tentang kanker.


 Mengidentifikasi rasa takut.
 Klien dapat mengungkapkan apa saja yang ia rasakan tanpa merasa ditolak.
 Klien tidak merasa ditinggalkan.

 Informasi yang adequat dapat mengurangi kecemasan/ketakutan pada klien.


 Putus asa, perasaan bersalah, stres yang tinggi dengan koping yang tidak efektif dapat
mengakibatkan muncul ide untuk bunuh diri.
 Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang solid, klien tidak merasa terisolasi.
 Untuk mengurangi kecemasan.
 Doa dapat memberi ketenangan
1) Nyeri b.d. proses penyakit : destrukrif jaringan saraf, obstruksi jaras saraf, inflamasi.
HYD : Nyeri berkurang atau hilang ditandai dengan :
1) Keluhan nyeri berkurang-hilang.
2) Klien tanpak rileks.
Selama proses perawatan.

Rencana tindakan Rasional


1. Kaji lokasi, intensitas frekuesi, durasi.

2. Beri posisi yang nyaman.


3. Kaji koping yang digunakan klien untuk mengurangi nyeri dan hasilnya.

4. Anjurkan klien cara mengurangi nyeri dengan :


– Nafas dalam.
– Visualisasi, bimbingan imajinatif seperti menghitung jumlah benda yang ada, menghitung dalam
hati, dan sebagainya.
5. Kolaborasi untuk pemberian analgetik  Sebagai data dasar untuk mengevaluasi
kebutuhan intervensi .
 Mengurangi nyeri.
 Mengetahui apa saja yangsudah di coba oleh klien untuk mengurangi nyeri dan keefektifannya.
 Mengurangi nyeri dengan menurunkan ketegangan pada klien.

 Sebagai obat pengurang rasa sakit.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. status hipermetabolik berkenaan dengan
kanker, konsekuensi kemnotherapi, radiasi : mual-muntah, anoreksia.
HYD : Tidak terjadi kekurangan nutrisi yang ditandai dengan :
1) Hb : 12-18 mg/dl.
2) Tidak terjadi penurunan berat badan yang signifikan.
Selama proses perawat.

Rencana tindakan Rasional


– Pantau masukan makanan setiap hari.
– Ukur tinggi badan, berat badan, lipatan kuli bisep-trisep.
– Dorong klien untuk makan diit TKTP dengan asupan cairan yang adequat.
– Sajikan makanan porsi kecil tapi sering.
– Beri snack sebagai pengganti makan bila klien tidak mau makan.
– Perhatikan faktor lingkungan: bau, bising.
– Kaji hasil laboratorium : Hemoglobin, dll.
– Dorong keluarga untuk membawa makanan yang di sukai, ciptakan suasana makan yang
menyenangkan, misal dengan makan bersama  Mengetahui jumlah masakan yang dimakan oleh
klien.
 Mengetahui apakah terjadi penurunan berat badan.
 Untuk mengimbangi peningkatan metabolik sel.
 Mengurangi rasa mual.
 Untuk memenuhi asupan yang dibutuhkan walaupun tidak maksimal.
 Lingkungan yang bau dan bising dapat menurunkan nafsu makan.
 Mengetahui apakah klien mengalami penurunan jumlah asupan nutrisi.
 Meningkatkan nafsu makan.
e. Resiko tinggi terhadap kerusakan integrits kulit/jaringan b.d. efek radiasi dan kemotherapi,
penurunan imunologi.
HYD : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit yang ditandai oleh :
1) Membran mukosa utuh.
Rencana tindakan Rasional
1. Kaji kondisi kulit :
2. Warna,suhu, kelenturan, gatal-gatal, turgor kulit.
3. Perhatikan adanya kerusakan/ perlambatan penyembuhan luka akibat radiasi :
4. Kulit samak, deskuamasi kering/lembab, ulserasi, ruam alergi, hiperpigmentasi, alopesia.
5. Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan.
6. Anjurkan klien untuk tidak menggunakan krim kulit, salep, bedak kecuali di izinkan dokter.
7. Anjurkan klien untuk tidak menghapus tanda/tatto yang ada sebagai identifikasi area radiasi.
8. Anjurkan mengenakan pakaian yang lembut dan longgar.

9. Untuk kemotherapi :
10. Kaji lokasi pemasangan vena : gatal, nyeri tekan, rasa terbakar, ulserasi/nekrose jaringan.
11. Segera cuci kulit dengan sabun dan air bila agen antineoplastik tercecer pada kulit yang
tidak terlindungi.
 Mengetahui kondisi kulit.

 Untuk mengetahui intervensi yang akan dilakukan kemudian.

 Mempertahan kebersihan kulit tanpa mengiritasi kulit.


 Dapat meningkatkan iritasi, reaksi secara nyata.

 Dapat mempengaruhi proses pemberian radiasi.

 Dengan pengobatan, kulit menjadi sensitif sehingga semua iritasi harus dihindari.
 Bila terjadi tanda-tanda tersebut, maka segera lapor dokter untuk menghentikan intervensi medis
dari agen antineoplastik.

 Mengencerkan obat untuk menurunkan resiko iritasi kulit (kulit bakar kimia)

Daftar Pustaka
Doengoes, Marilyn, E (2000) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3, EGC, Jakarta
Pearse evelyn C, 2002, Anatomi Fisiologi untuk Paramedis PT Gramedia Jakarta
Mansjoer Arif M. ( 2000 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius.
Robbins Stanley L. ( 1995 ). Buku Ajar Patologi II. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga : EGC.
Sjamsuhidayat R.W. et . al. ( 1998 ). Buku Ajar ILmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC.
Sabition, David C. ( 1994 ) .Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Tamba Yong Jan. ( 2000 ). Patofisilogi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai