Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal,
terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar adrenal yang terletak di puncak
ginjal menghasilkan hormone kortisol, adrenalin dan nonadrenalin di bawah
pengendalian saraf simpatis. Dalam keadaan emosi, marah, takut,kelaparan,
keluarnya hormone bertambah yang akan menaikan tekanan darah untuk
melawan kelainan situasi (shock). Adrenallin membantu metabolisme
karbohidrat dengan jalan menambah pengeluaran glukosa dalam hati,
sedangkan nonadrenalin menaikan tekanan darah dengan merangsang otot
dinding pembuluh darah.
Kekurangan hormone adrenal menyebabkan orang menjadi kurus, lemah,
nampak seperti sakit, ginjal gagal menyimpan natrium dikarenakan telah
mengeluarkan natrium terlalu banyak, disebut sakit Addison. Kalau hormone
adrenalin keluar berlebihan, badan berubah gemuk, wajah seperti bengkak,
bulat, kaki tangan kurus, tekanan darah tinggi, kerena ada gangguan
metabolisma karbohidrat dan protein, disebut sindrom Cushing.
Namun disini penulis hanya membahas salah satu penyakit hiperfungsi
kelenjar adrenal.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah

1. Bagaimana anatomi fisiologi kelenjar adrenal ?


2. Bagaimna definisi dari hipraldosteronisme ?

3. Bagaimana etiologi dari hiperaldosteronisme ?

4. Bagaimana patofisiologi dari hiperaldosteronisme ?

5. Bagaimana manifestasi klinik dari hiperaldosteronisme ?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari hiperaldosteronisme ?

7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari hiperaldosteronisme ?

8. Bagaimana komplikasi akibat hiperaldosteronisme ?

9. Bagaimana asuhan keperawatan teori dari hiperaldosteronisme ?

10. Bagaimana aplikasi asuhan keperawatan dari hiperaldosteronisme ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Mengetahui anatomi fisiologi kelenjar adrenal


2. Mengetahui definisi dari hipraldosteronisme.

3. Mengetahui etiologi dari hiperaldosteronisme.

4. Mengetahui patofisiologi dari hiperaldosteronisme.

5. Mengetahui manifestasi klinik dari hiperaldosteronisme.

6. Mengetahui penatalaksanaan dari hiperaldosteronisme.

2
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari hiperaldosteronisme.

8. Mengetahui komplikasi akibat hiperaldosteronisme.

9. Mengetahui asuhan keperawatan teori dari hiperaldosteronisme .

10. Mengetahui aplikasi asuhan keperawatan dari hiperaldosteronisme .

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi fisiologi kelenjar adrenal


Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal,
terbenam dalam jaringan lemak. Kelenjar ini ada 2 buah, berwarna
kekuningan serta berada di luar (ekstra) peritoneal. Bagian yang sebelah kanan
berbentuk pyramid dan membentuk topi (melekat) pada kutub atas ginjal
kanan. Sedangkan yang sebelah kiri berbentuk seperti bulan sabit, menempel
pada bagian tengah ginjal mulai dari kutub atas sampai daerah hilus ginjal kiri.
Kelenjar adrenal pada manusia panjangnya 4-6 cm, lebar 1-2 cm, dan tebal 4-6
mm. Bersama-sama kelenjar adrenal mempunyai berat lebih kurang 8 g, tetapi
berat dan ukurannya bervariasi bergantung umur dan keadaan fisiologi
perorangan. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat padat kolagen yang
mengandung jaringan lemak. Selain itu masing-masing kelenjar ini dibungkus
oleh kapsul jaringan ikat yang cukup tebal dan membentuk sekat/septa ke
dalam kelenjar.
Bagian Kelenjar Adrenal
Kelenjar supraneralis jumlahnya ada 2, terdapat pada bagian atas dari ginjal
kiri dan kanan. Ukurannya berbeda-beda, beratnya rata-rata 5-9 gram. Fungsi
kelenjar suprarenalis terdiri dari : Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan

3
garam-garam, mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang
dan protein, serta mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid.
Kelenjar suprarenalis ini terbagi atas 2 bagian, yaitu :
1. Medula Adrenal
Medula adrenal berfungsi sebagai bagian dari system saraf otonom.
Stimulasi serabut saraf simpatik pra ganglion yang berjalan langsung ke
dalam sel-sel pada medulla adrenal akan menyebabkan pelepasan hormon
katekolamin yaitu epinephrine dan norepinephrine. Katekolamin mengatur
lintasan metabolic untuk meningkatkan katabolisme bahan bakar yang
tersimpan sehingga kebutuhan kalori dari sumber-sumber endogen
terpenuhi.
Efek utama pelepasan epinephrine terlihat ketika seseorang dalam
persiapan untuk memenuhi suatu tantangan (respon Fight or Fligh).
Katekolamin juga menyebabkan pelepasan asam-asam lemak bebas,
meningkatkan kecepatan metabolic basal (BMR) dan menaikkan kadar
glukosa darah.
2. Korteks Adrenal
Korteks adrenal tersusun dari 3 zona yaitu:
a. Zona glomerulosa,
Zona Glomerulosa terdapat tepat di bawah simpai, terdiri atas sel
polihedral kecil berkelompok membentuk bulatan, berinti gelap dengan
sitoplasma basofilik. Zona glomerulosa pada manusia tidak begitu
berkembang. Dan merupakan penghasil hormon mineralokortikoid.
Hormon Mineralokortikoid
Hormon ini pada dasarnya bekerja pada tubulus renal dan epitelgastro
intestinal untuk meningkatkan absorpsi ion natrium dalam proses
pertukaran untuk mengeksresikan ion kalium atau hydrogen. Sekresi
aldesteron hanya sedikit dipengaruhi ACTH. Hormon ini terutama
disekresikan sebagai respon terhadap adanya angiotensin II dalam
aliran darah.
Kenaikan kadar aldesteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi
natrium oleh ginjal dan traktus gastro intestinal yang cederung

4
memulihkan tekanan darah untuk kembali normal. Pelepasan
aldesteron juga ditingkatkan oleh hiperglikemia. Aldesteron
merupakan hormon primer untuk mengatur keseimbangan natrim
jangka panjang.
b. Zona fasikulata
Zona fasikulata merupakan sel yang lebih tebal, terdiri atas sel
polihedral besar dengan sitoplasma basofilik. Selnya tersusun berderet
lurus setebal 2 sel, dengan sinusoid venosa bertingkap yang jalannya
berjajar dan diantara deretan itu. Sel-sel mengandung banyak tetes
lipid, fosfolipid, asam lemak, lemak dan kolesterol. Sel ini juga banyak
mengandung vitamin C dan mensekresikan kortikosteroid. Dan
merupakan penghasil hormon glukokortikoid.
Hormon Glukokortikoid
Hormon ini memiliki pengaruh yang penting terhadap metabolisme
glukosa ; peningkatan hidrokortison akan meningkatan kadar glukosa
darah. Glukokortikoid disekresikan dari korteks adrenal sebagai reaksi
terhadap pelepasan ACTH dari lobus anterior hipofisis. Penurunan
sekresi ACTH akan mengurangi pelepasan glukokortikoid dari korteks
adrenal.
Glukokortikoid sering digunakan untuk menghambat respon inflamasi
pada cedera jaringan dan menekan manifestasi alergi. Efek samping
glukokortikoid mencakup kemungkinan timbulnya diabetes militus,
osteoporosis, ulkus peptikum, peningkatan pemecahan protein yang
mengakibatkan atrofi otot serta kesembuhan luka yang buruk dan
redistribusi lemak tubuh. Dalam keadaan berlebih glukokortikoid
merupakan katabolisme protein, memecah protei menjadi karbohidrat
dan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif.
c. Zona Retikularis
Lapisan ini terdiri atas deretan sel bulat bercabang – cabang
berkesinambungan. Sel ini juga mengandung vitamin C. Sel-selnya
penghasil hormon kelamin (progesteron , estrogen & androgen).
Hormon-hormon seks adrenal (Androgen)

5
Androgen dihasilkan oleh korteks adrenal, serta sekresinya didalam
glandula adrenalis dirangsang ACTH, mungkin dengan sinergisme
gonadotropin. Kelompok hormon androgen ini memberikan efek yang
serupa dengan efek hormon seks pria. Kelenjar adrenal dapat pula
mensekresikan sejumlah kecil estrogen atau hormon seks wanita.
Sekresi androgen adrenal dikendalikan oleh ACTH. Apabila
disekresikan secara berlebihan, maskulinisasi dapat terjadi seperti
terlihat pada kelainan bawaan defisiensi enzim tertentu. Keadaan ini
disebut Sindrom Adreno Genital.

d. Disfungsi Kelenjar Adrenal


Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang
menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo
Hotma, 1999). Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal.
1. Hiperfungsi Kelenjar Adrenal
a. Sindrom Cushing
Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid
adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga
ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid
sintetik.
b. Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian atau
menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk
sintesis steroid.
c. Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn)
Kelaianan yang disebabkan karena hipersekresi aldesteron
autoimun
Aldosteronisme sekunder
Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer,
ini disebabkan oleh hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal.
2.1 Definisi Hipraldosteronisme

6
Hipraldosteronisme merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan
kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal. Sindrom Cushing adalah keadan klinik
yang terjadi akibat dari paparan terhadap glukokortikoid sirkulasi dengan
jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama. Syndrome cushing
merupakan gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid
plasma jangka panjang dalam dosisi farmakologik (latrogen). Syndrome
cushing di sebabkan oleh skresi berlebihan steroid adrenokortial terutama
kortisol.
Syndrome Cuhsing merupakan akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang
tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan
Anak, Edisi 15 Hal 1979).
Syndrome cuhsing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic
gabungan dari peninggian kadar glikokortikoid dalam darah yang menetap.
( patofisiologi, hal 1089 )
Penyakit Cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik tumor hipofisis yang
berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan.

Hipraldosteronisme (kelebihan produksi mineral)

Hipraldosteronisme primer terjadi akibat sekresi aldosteron yang berlebihan


dan tak terkendali oleh korteks adrenal. Penyakit ini kini dianggap sebagai
kausa tersering hipertensi yang dapat disembuhkan dan ditanganin secara
spesifik. Hiperaldosteronisme sekunder terjadi karena sekresi aldosteron
dirangsang oleh sekresi aparatus jukstaglomerulus ginjal. Gambaran klinis
hipersldosteromi dapat juga disebabkan oleh kelebihan mineralokortiroid
selain aldosteron.

a. Hipraldosteronisme primer
Hipraldosteronisme primer biasanya terjadi akibat tumor penghasil
aldosteron dikorteks adrenal, terutama edenoma soliter. Tumor bilateral
jarang terjadi. Adenoma-adenoma satelit kecil terkadang ditemukan.
Adenoma mudah didentifikasi oleh warna khasnya yang kuning keemasan.
Korteks adrenal sekitar mungkin tertekan. Adeoma yang menghasilkan
aldosteron yang berlebian tidak dapat dibedakan dari adenoma yang

7
menghasilkan krtisol berlebihan kecuali bahwa tumor ini cenderung lebih
kecil (biasanya berdiameter <2cm). Hipraldosteronisme primer biasanya
dianggap sebagai kausa hipertensi yang jarang dijumpai dan tidak perlu
ditelusuri tanpa adanya hipokalemia. Namun, perkembangan dan aplikasi
rasio dan konsentrasi aldosteron plasma terhadap aktivitas renin plasma
sebagai uji penyaringn pada populasi pada pengidap hipertensi
menghasilkan peningkatan angka deteksi yang mengisyaratkan bawha
Hipraldosteronisme primer sebenarnya cukup sering terjadi pada pasien-
pasien dengan hipertensi; sebagian besar memilki kadar kalium serum
yang normal. Hingga 15% pasien yang didiagnosis mengalami hipertensi
esensial mengidap Hipraldosteronisme primer.
Hiperplasia adrenal bilateral membentuk sebagian besar kasus
Hipraldosteronisme primer sisanya (hiperoldosteronisme idiopatik). Pasien
mengalami hperplasia non-adenomatosa zona glomerulosa bilateral. Cara
yang paling handal untuk membedakan adenoma unilateral penghasil
aldosteron dari hiperplasia adrenal bilateral adalah dengan mengambil
selektif sampel vena adrenal untuk mencari lateralisasi sekresi aldosteron.
Hiperplasia adrenal unilateral adalah penyebab Hipraldosteronisme yang
jarang dijumpai. Pengambilan selektif sampel vena adrenal untuk
menentukan kadar aldosteron plasma dapat membantu mengetahui
kelainan unilateral.
b. Hipraldosteronismesekunder
Hipraldosteronisme sekunder sering terjadi. Keadaan ini terjadi akibat
produksi renin yang berlebihan oleh aparatus juksstaglomerolus ginjal.
Pengeluaran renin yang tinggi terjadi sebagai respons terhadap :
1. Iskemia ginjal (mis., stenosis a. Renalis atau hipertensi maligna).
2. Penurunan volume intravaskler (mis., gagal jantung kongestif, sirosis,
sindrom nefrotik, penyalahgunaan pencahar atau diuretik).
3. Penyakit boros N+ (mis., gagal ginjal kronik atau sidosis tubulus
ginjal).
4. Hiperplasia aparatus jukstaglomerolus oleh sistem renin angiotensin
menyebabkan peningkatan produksi aldosteron.

8
Secara patologis, pada Hipraldosteronisme sekunder, adrenal mungkin
secara kasar tampak normal tetapi secara mikroskopis mungkin terdapat
hiperplasia zona glumerulosa.

2.2 Etiologi

Insufisiensi adrenokortikal akut dan kronik telah dibahas sebelumnya,


Pada hipopituitarisme kronik terjadi atrofi zona glomerulosa dan tidak terjadi
peningkatan produksi aldosteron yang biasanya dipicu oleh pembedahan atau
stres lain. Hipoaldosteronisme hiporeninemik (asidosis tubulus ginjal tipe IV)
adalah suatu penyakit yang ditandai oleh hiperkalemia dan asidosis yang
disertai oleh insufiensi (biasanya ringan) ginjal kronik.Biasanya orang yang
terkena adalah pria berusia 5—70 tahun yang sudah mengidap
pielonefritis,diabetes mellitus,gout,atau sindrom nefrotik.Insufisiensi ginjal
kronik biasanya belum cukup parah untuk menjadi penyebab
hiperkalemia.Kadar aldosteron plasma dan urine serta aktifitas rennin plasma
selalu rendah dan tidak responsive terhadap rangsangan oleh posisi
tegak,restriksi Na+ dalam makanan,atau pemberian furosemid.Sindrom ini
diperkirakan disebabkan oleh gangguan apparatus jugstaglomerulus yang
berkaitan dengan penyakit ginjal yang mendasari. Hipoaldostreronisme
hiporeninemik juga pernah dilaporan terjadi secara transien pada pasien-
pasien yang sakit kritis,misalnya mereka yang mengalami syok septic.Dua
penyakit genetic dapat menimbulkan gejala dan tanda hipoaldosstrerinisme.
Pada hipoplasia adrenal congenital terdapat kelainan enzimatik dalam
biosintesis mineralokortikoid.

a. Glukokortikoid yang berlebih


b. Aktifitas korteks adrenal yang berlebih
c. Hiperplasia korteks adrenal
d. Pemberian kortikosteroid yang berlebih
e. Sekresi steroid adrenokortikal yang berlebih terutama kortisol
f. Tumor-tumor non hipofisis
g. Adenoma hipofisis
h. Tumor adrenal

9
2.2 Patofisologi

Pada Hipraldosteronisme primer, terjadi peningkatan primer (otonom)


produksi aldosteron oleh jaringan zona glomerulosa yang abnormal (adenoma
atau hiperplasia). Namun, kadar aldosteron dalam darah sedikit banyak masih
dimodulasi oleh variasi sekresi ACTH. Kelebihan aldosteron kronik
menyebabkan ekspansi volume cairan ekstrasel dan volume plasma. Pada
giliranya, ekspansi ini dideteksi oleh resptor-reseptor renggang aparatus
jukstaglomerulus dan aliran N+ dimavula densa, yang menyebabkan suspresi
produksi renin dan penurunan aktivitas renin plasma.

Pasien dengan Hipraldosteronisme sekunder juga menghasilkan aldosteron


dalam jumlah berlebihan tetapi, berbeda dari pasien dengan
Hipraldosteronisme primer, aktitas renin plasma mereka meningkat.

2.4 Menifestasiklinis

Hausakan air, polyuria, nokyuria, polidipsi, hipertensi, kelemahan, paralisis


periodic, konvulsi otot-otot dan tetani seperti biasanya tidak disertai edema
keadaan ini sering disebut sebagai hiperaldosterinisme sekunder yang adalah
suatu mekanisme kompensatoir pada beberapa keadaan edema dan pada salt-
losing nephritis. Beberapa kasus yang terjadi di diagnosis sebagai potassium
losing nephritis kemudian ternyata aldoteronisme primer.Biasanya juga
ditandai dengan:

1. Azotemia
2. Letih

10
3. Sakitkepala
4. Paralisisintermitendansamar
5. Pelemahanotot
6. Parestesia
7. Polipdisia

2.5 Penatalaksanaan

Adrenalektomi unilateral dibutuhkan untuk adenoma yang memproduksi


aldosteron. Diuretic penyerap kalium mengontrol hiperaldosterenisme.
Penanganan sebaiknya juga mengoreksi penyebab ( hiperaldosteronisme
sekunder)

1. Bedah mikro transfenoid


2. Radiasi
3. Radiasi konvensional
4. Gamma knife radiosurgery
5. Implantasi radioaktif dalam sela tursika

Obat obatan

1. Mengendalikan sekresi ACTH seperti siproheptadin


2. Hambat sekresi glukokortikoid adrenal seperti ketokonazol, metirapon,
aminoglutetimid

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Adenoma hipofisis berupa MRI dan CT scan kepala
Mempunyai kemampuan diagnostic sangat besar. Serial dan pasca kontras
harus didapatkan termasuk tampilan aksial dan koronal dari selia.
Mikroadenoma yang hanya 3-4mm diameternya dapat dilihat sebagai
massa hipodenst didalam kelenjar pitutari. Peninggian tinggi kelenjar
melebihi 9 mm juga menunjukkan adanya tumor. Lesi yang lebih besar

11
tampak berakibat erosi sella. Perluasan intra dan suppraseller dari
mikroadenoma dapat ditentukan dengan tepat seperti hal nya hubungannya
dengan tangkai pitutari.
Ct- scan definisi yang lebih tinggi memberikan arti yang lebih banyak
informasi. Apapun dapatdilihat melalui aksial atau koroner baik dengan
pelacakan langsung maupun rekontruksi. Mikroadenoma diperlihatkan
pada “slice” berdensititas rendah didalam jaringan grandula atau
meningkatkan devisiasi tangkai pitutari dari garis tengah .
MRI juga berguna dan memberikan keuntungan tampilan sagital yang
istimewa pada daerah ini.
2. Sindroma ACTH ektopik berupa CT scan toraks dan abdomen
3. Kelainan adrenokortikal berupa CT scan adrenal
2.7 Komplikasi
1. Adenoma hipofisis
2. Sindrom ACTH ektopik
3. Tumor adrenokortikal
4. Hyperplasia adrenal nodular
5. Latrogenik

12
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
a) Lebih lazim sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dan mempunyai
insiden puncak antara usia 20 dan 30 tahun.
b) Riwayat Keperawatan

Keluhan Utama

a) Adanya memar pada kulit, pasien. Mengeluh lemah, terjadi kenaikan berat
badan.
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan ada memar pada kulit.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan kartekosteroid dalam
jangka waktu yang lama.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji apakah keluarga pernah menderita penyakit cushing sindrom.
4. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernapasan
a. Inspeksi : Pernapasan cuping hidung kadang terlihat, tidak terlihat
retraksi intercouste hidung, pergerakan dada simetris
b. Palpasi : Vocal premilis teraba rate, tidak terdapat nyeri tekan
c. Perkusi      : Suara sonor

13
d. Auskultasi :Terdengar bunyi nafas normal, tidak terdengar bunyi
nafas tambahan ronchi wheezing
2) Sistem Kardiovaskuler
a. Inspeksi            : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 mid klavikula
c. Perkusi             : Pekak
d. Auskultasi         : S1 S2 Terdengar tunggal

3) Sistem Pencernaan
Mulut                : Mukosa bibir kering
Tenggorokan     : Tidak dapat pembesaran kelenjar tiroid
Limfe                : Tidak ada pembesaran vena jugularis
Abdoment        :
a. Inspeksi       : Simetris tidak ada benjolan
b. Palpasi         : Tidak terdapat nyeri tekan
c. Perkusi         : Suara redup
d. Auskultasi    : Tidak terdapat bising usus
4) Sistem Eliminasi
Tidak ada gangguan eliminasi
5) Sistem Persyarafan
Composmentis (456)
6) Sistem Integument / ekstrimitas
Kulit, Adanya perubahan-perubahan warna kulit, berminyak, jerawat,
petekie, penipisan kulit, hiperpigmentasi, hirsutisme, moon face.
7) Sistem Muskulus keletal
Tulang              :Terjadi osteoporosis
Otot                 :Terjadi kelemahan

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan
retensi cairan

14
2) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme
protein
3) Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
4) Resiko cidera b.d kelemahan
5) Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan, penipisan
dan kerapuhan kulit
6) Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi sexual
7) Perubahan proses piker b.d sekresi kortisol berlebih
8) Defisit perawatan diri b.d penurunan masa otot
9) Kurang pengetahuan b.d kurang informasi mengenai pengobatan, proses
penyakit dan perawatan
3.3 Intervensi Keperawatan
Dx 1 
Kelebihan volume cairan b.d sekresi kortisol berlebih karena sodium dan
retensi cairan
Tujuan
Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil :
a. TD : 100/60 – 120/80 mmHg
b. N : 60 – 100 x/mnt
c. RR : 16 – 24 x/mnt
d. Edema (-)
e. Intake output seimbang
f. BB dalam batas normal
g. Hasil lab : Na: 138-145 mEq
h. K : 3,4-4,7 mEq
i. Cl: 98-106 mEq
Intervensi
1. Ukur intake output
R/ Menunjukkan status volume sirkulasi terjadinya perpindahan cairan dan
respon terhadap nyeri

15
2. Hindari intake cairan berlebih ketika pasien hipernatremia
R/ Memberikan beberapa rasa kontrol dalam menghadapi upaya
pembatasan
3. Ukur TTV (TD, N, RR) setiap 2 jam
R/ TD meningkat, nadi menurun dan RR meningkat menunjukkan
kelebihan cairan
4. Timbang BB klien
R/ Perubahan pada berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan
cairan
5. Monitor ECG untuk abnormalitas (ketidakseimbangan elektrolit
R/ Hipernatremi dan hipokalemi menunjukkan indikasi kelebihan cairan
6. Lakukan alih baring setiap 2 jam
R/ Alih baring dapat memperbaiki metabolisme
7. Kolaborasi hasil lab (elektrolit : Na, K, Cl
R/ Menunjukkan retensi cairan dan harus dibatasi
8. Kolaborasi dalam pemberian tinggi protein, tinggi potassium dan rendah
sodium
R/ Menurunkan retensi cairan

Dx 2
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan perubahan metabolisme protein
Tujuan   
Klien menunjukkan aktifitaskembali normal setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil       :
a. Menunjukkan peningkatan kemampuan dan berpartisipasi dalam aktivitas
b. Kelemahan (-)
c. Kelelahan (-)
d. TTV dbn saat / setelah melakukan aktifitas
e. TD : 120/80 mmHg
f. N : 60-100 x/mnt
g. RR : 16-20 x/mnt

16
Intervensi :
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
R/ Mengetahui tingkat perkembangan klien dalam melakukan aktivitas
2)   Tingkatkan tirah baring / duduk
R/ Periode istirahat merupakan tehnik penghematan energi
3)   Catat adanya respon terhadap aktivitas seperti :takikardi, dispnea, fatique
R/ Respon tersebut menunjukkan peningkatan O2, kelelahan dan
kelemahan

4)   Tingkatkan keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya


R/ Menambah tingkat keyakinan pasien dan harga dirinya secar baik
sesuai dengan tingkat aktivitas yang ditoleransi
5)   Berikan bantuan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
R/ Memenuhi kebutuhan aktivitas klien
6)   Berikan aktivitas hiburan yang tepat seperti : menonton TV dan
mendengarkan radio
R/ Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali
perhatian dan meningkatkan koping

Dx 3.
Resiko infeksi b.d penurunan respon imun, respon inflamasi
Tujuan
Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil
a. Tanda-tanda infeksi (tumor, calor, dolor, rubor, fungsio laesa) tidak
ada
b. Suhu normal : 36,5-37,1 C
c. Hasil lab : Leukosit : 5000-10.000 gr/dL
Intervensi :
1)   Kaji tanda-tanda infeksi
R/ Adanya tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, dolor, calor, fungsio
laesa) merupakan indicator adanya infeksi

17
2)   Ukur TTV setiap 8 jam
R/ Suhu yang meningkat merupan indicator adanya infeksi
3)   Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
R/ Mencegah timbulnya infeksi silang
4)   Batasi pengunjung sesuai indikasi
R/ Mengurangi pemajanan terhadap patogen infeksi lain
5)   Tempatkan klien pada ruang isolasi sesuai indikasi
R/ Tehnik isolasi mungkin diperlukan untuk mencegah penyebaran /
melindungi pasien dari proses infeksi lain
6)   Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/ Terapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi
nosokomial
7)   Kolaborasi pemeriksaan lab (Leukosit)
R/ Leukosit meningkat indikasi terjadinya infeksi
Dx 4 
Resiko cedera b.d kelemahan
Tujuan
Klien tidak mengalami cidera setelah dilakukan intervensi
Kriteria Hasil       :
a. Cedera jaringan lunak (-)
b. Fraktur (-)
c. Ekimosis (-)
d. Kelemahan (-)
Intervensi          
1)   Ciptakan lingkungan yang protektif / aman
R/ Lingkungan yang protektif dapat mencegah jatuh, fraktur dan
cedera lainnya pada tulang dan jaringan lunak
2)   Bantu klien saat ambulansi
R/ Kondisi yang lemah sangat beresiko terjatuh / terbentur sat
ambulasi
3)   Berikan penghalang tempat tidur / tempat tidur dengan posisi yang
rendah

18
R/ Menurunkan kemungkinan adanya trauma
4)   Anjurkan kepada klien untuk istirahat secara adekuat dengan aktivitas
yang sedang
R/ Memudahkan proses penyembuhan
5)   Anjurkan klien untuk diet tinggi protein, kalsium dan vitamin D
R/ Untuk meminimalkan pengurangan massa otot
6)   Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti sedative
R/ Dapat meningkatkan istirahat

Dx 5
Gangguan integritas kulit b.d kerusakan proses penyembuhan,
penipisan dan kerapuhan kulit
Tujuan
Klien menunjukkan integritas kulit kembali utuh setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Kriteria Hasil     
a. Penipisan kulit (-)
b. Petechie (-)
c. Ekimosis (-)
d. Edema pada ekstremitas (-)
e. Keadaan kulit baik dan utuh
f. Striae (-)
Intervensi
1)   Kaji ulang keadaan kulit klien
R/ Mengetahui kelaianan / perubahan kulit serta untuk menentukan
intervensi selanjutnya
2)   Ubah posisi klien tiap 2 jam
R/ Meminimalkan / mengurangi tekanan yang berlebihan didaerah
yang menonjol serta melancarkan sirkulasi
3)   Hindari penggunaan plester
R/ Penggunaan plester dapat menimbulkan iritasi dan luka pada kulit
yang rapuh

19
4)   Berikan lotion non alergik dan bantalan pada tonjolan tulang dan kulit
R/ Dapat mengurangi lecet dan iritasi

Dx 6
Gangguan body image b.d perubahan integumen, perubahan fungsi
sexual
Tujuan  
Klien menunjukkan gambaran diri yang positif setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil :
a) Klien dapat mengekspresikan perasaanya terhadap perubahan
penampilannya
b) Klien dapat mengutarakan perasaannya tentang perubahan sexual
c) Klien dapat menyebutkan tanda dan gejala yang terjadi selama
pengobatan
d) Klien dapat melakukan personal hygine setiap hari
Intervensi
1)  Ciptakan lingkungan yang kondusif dengan klien mengenai perubahan
body image yang dialami
R/ Lingkungan yang kondusif dapat memudahkan klien untuk
mengungkapkan perasaannya
2)   Beri penguatan terhadap mekanisme koping yang positif
R/ Membantu klien dalam meningkatkan dan mempertahankan
kontrol dan membantu mengembangkan harga diri klien
3)   Berikan informasi pada klien mengenai gejala yang berhubungan
dengan pengobatan

20
R/ Dengan diberikan penjelasan tersebut, klien dapat menerima
perubahan pada dirinya
4)   Diskusikan dengan klien tentang perasaan klien karena perubahan
tersebut
R/ Mendiagnosa perubahan konsep diri didasarkan pada pengetahuan
dan persepsi klien
5)   Jaga privacy klien
R/ Meningkatkan harga diri klien

6)   Beri dukungan pada klien dan jadilah pendengar yang baik
R/ Memberikan dukungan dapat memotivasi klien untuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar
7)   Kolaborasi dengan ahli psikolog
R/ Pasien mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan
dengan proses jangka panjang ketidakmampuan

Dx. 7
Perubahan proses pikir berhubungan dengan sekresi cortisol berlebih.
Tujuan
Klien menunjukkan Tidak terjadi perubahan proses pikir.
Kriteria Hasil       :
a. Klien mempraktekkan teknik relaksasi.
b. Klien mendiskusikan perasaannya dengan mudah.
c. Klien dapat berorientasi terhadap lingkungan.
Intervensi       
1)   Orientasikan pada tempat, orang dan waktui.
R/ Dapat memolong mempertahankan orientasi dan menurunkan
kebingungan.
2)   Tetapkan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu istirahat
yang teratur.
R/ Menaikkan orientasi dan mencegah kelelahan yang berlebihan.

21
3)   Anjurkan klien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai
kemampuan.
R/ Mempertahankan orientasi pada lingkungan.
4)   Ajarkan teknik relaksasi.
R/ Teknik relaksasi dapat mempengaruhi proses pikir, sehingga klien
dapat lebih tenang.
5)   Berikan tindakan yang stabil, terang dan tidak menimbulkan stress.
R/ Tindakan yang stabil, tenang dan tidak menimbulkan stress
memperbaiki proses pikir.

Dx. 8 
Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan masa otot
Tujuan :
Klien menunjukkan perawatan diri yang maksimal.
Kriteria Hasil       :
a. Kelemahan (-)
b. Keletihan (-)
c. Klien ikut serta dalam aktivitas perawatan diri.
d. Klien mengalami peningkatan dalam perawatan diri.
e. Klien bebas dari komplikasi imobilitas.
Intervensi   
1)   Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Dapat mengetahui kemampuan klien dan memudahkan intervensi
selanjutnya.
2)   Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
3)   Libatkan keluarga dalam aktivitas perawatan diri klien.
R/ Keluarga merupakan orang terdekat dalam pemenuhan kebutuhan
perawatan diri klien.
4)   Rencanakan aktivitas dan latihan klien.
R/ Istirahat klien tidak terganggu dengan adanya aktivitas dan latihan
yang terencana.

22
5)   Berikan dorongan untuk melakukan perawatan diri kepada klien dan
atur aktivitasnya.
R/ Dapat mencegah komplikasi imobilitas.
6)   Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
R/ Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat menaikan istirahat dan
tidur
Dx. 9  
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan.

Tujuan  
Pengetahuan klien bertambah
Kriteria Hasil       :
a. Klien mengatakan pemahaman penyebab masalah.
b. Klien mendemonstrasikan pemahaman tentang pengertian, etiologi,
tanda dan gejala serta perawatannya.
c. Klien mau berpartisipasi dalam proses belajar.
Intervensi
1) Kaji pengetahuan klien tentang etiologi, tanda dan gejala serta
perawatan
R/ Membuat data dasar dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap
informasi.
2) Identifikasi data dasar / gejala harus dilaporkan dengan segera pada
pemberi pelayanan kesehatan
R/ Evaluasi dan intervensi yang segera dapat mencegah terjadinya
komplikasi.
3) Berikan informasi tentang perawatan pada klien dengan sindrom
cushing
R/ Mempermudah dalam melakukan intervensi dan menaikan
pengetahuan klien.
4) Berikan perlindungan (isolasi) bila diindikasikan.

23
R/ Teknik isolasi mungkin diperlukan unutk mencegah penyebaran /
melindungi pasien dari proses infeksi lain.
5) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ Therapi antibiotik untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
6) Kolaborasi pemeriksaan lab (leukosit)
R/ Leukosit yang meningkat indikasi terjadinya infeksi.

BAB IV
APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS

Ny. Z 45 Tahun dating ke RS dengan keluhan selama 10 hari sulit beraktifitas


bahkan terasa otot ototnya melemah, mudah sakit kepala, cepat haus dan cepat
pula kencing. Beliau mengatakan selama itu mengonsumsi mixagrib obat
andalannya disetiap saat namun rasa sakit itu tidak kunjung reda. Tidak ada
riwayat hiperaldosterotisme ataupun penyakit serius lainnya. Riwayat DM
terkontrol, hasil pemeriksaan fisik TD: 180/90, N: 72x/menit, R: 20x/menit, BB :
80 kg. Pemeriksaan penunjang

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Identitas pasien
Nama : Ny Z
Umur : 45 Tahun
Alamat : Jln. B desa B
Pendidikan : S1
Jenis Kelamin : Perempuan

24
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Tanggal Masuk : 16 maret 2015
Tanggal Pengkajian : 16 Maret 2015
No. Register : 27.06.9495
Diagnosa Medis : Hiperaldosteronisme
Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn J
Umur : 55 Tahun
Hub. Dengan Pasien : Suami
Pekerjaan : Pegawai
Alamat : Jl. B desa B

1. Status Kesehatan
a) Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Sulit beraktifitas bahkan terasa otot ototnya melemah, mudah sakit
kepala, cepat haus dan cepat pula kencing.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh hal itu dirasakan selama 10 hari dengan kondisi semakin
tidak nyaman
3) Riwayat penyakit terdahulu
Klien mengatakan tidak ada riwayat hiperaldosteronisme ataupun
penyakit serius lainnya
4) Riwayat keluarga
-
5) Riwayat pekerjaan
Klien bekerja sebagai PNS di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota
tempat tinggalnya.
6) Riwayat geografi
Klien tinggal di daerah perumahan
7) Riwayat alergi

25
Klien mengatakan tidak memiliki alergi
8) Kebiasaan sosial
Klien mengatakan sering bersosialisasi sosial dengan masyarakat
sekitarnya
9) Kebiasaan merokok
-
2. Pemeriksaan Fisik
B 1 (Breathing)
RR: 20x/menit

B2 (Blood)
TD :180/90 mmHg
N : 72x/menit

B3 (Brain)
Kesadaran umum : Komposmetis.

B4 (Bladder)
-
B5 (Bowel)
-
B6 (Bone)
-
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium

ANALISA DATA

No Data Etiologi Problem


1 DS: klien mengatakan selama Kelemahan otot Intoleransi
10 hari sulit beraktifitas bahkan dan perubahan aktivitas

26
terasa otot ototnya melemah, metabolism
mudah sakit kepala. protein
DO: TD: 180/90,
N: 72x/menit,
R: 20x/menit,
BB : 80 kg.
2 DS: klien mengatakan bahwa Retensi cairan Kelebihan volume
dirinya mudah haus dan cairan
mudah pula kencing.
DO: Klien terlihat menahan
ingin ke toilet
3 DS: Klien mengatakan terasa Kelemahan Resiko cidera
otot ototnya melemah, mudah
sakit kepala.
DO: Klien terlihat pucat pasi,
meringis, dan memegang
kepalanya terus menerus
4 DS: klien mengatakan kurang Kurang informasi Kurang
memahami tentang mengenai pengetahuan
hiperaldosteronisme pengobatan,
DO: klien terlihat gelisah. proses penyakit
dan perawatan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot dan
perubahan metabolism protein
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan
3. Resiko cidera berhubungan dengan kelemehan
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan

B. INTERVENSI

27
No Tujuan Rencana keperawatan Rasional
dx
2 Setelah dilakukan 1. Ukur intake output 1. Menunjukkan
tindakan status volume
keperawatan selama sirkulasi
3x24 jam: terjadinya
Klien menunjukkan perpindahan
keseimbangan cairan
volume cairansetelah 2. Ukur TTV setiap 2 2. TD meningkat,
dilakukan tindakan jam nadi menurun
keperawatan dan RR
meningkat
Kriteria hasil menunjukkan
TD normal 120/80 kelebihan cairan
mmHg 3. Timbang BB klien 3. BB yang berubah
N 60-100x/menit menunjukkan
RR 16-24x/menit keseimbangan
Intake output cairan
seimbang 4. Lakukan alih baring 4. Alih baring dapat
BB dalam batas setiap 2 jam memperbaiki
normal metabolism
5. Kolaborasi hasil lab 5. Menunjukkan
(elektrolit : Na,K, Cl) retensi cairan
dan harus
dibatasi
3 Setelah dilakukan 1. Kaji fungsi 1. Agar mengetahui
tindakan neuromuscular lebih awal
keperawatan selama setiap 2-8 jam terhadap
3x24 jam: terjadinya
Klien menunjukkan kelemahan otot
aktifitas kembali 2. Bantu dan berikan 2. Agar klien tidak
normal setelah dorongan untuk merasa lelah dan

28
dilakukan tindakan melakukan bosan dalam
keperawatan ambulasi posisi yang sama
pada proses
Kriteria hasil penyembuhannya
1. Menunjukkan 3. Pertahankan tempat 3. Untuk
peningkatan tidur dalam posisi menghindari
kemampuan dan rendah dan pagar terjadinya cidera
berpartisipasi tempat tidur tetap aau trauma yang
dalam aktifitas terpasang akan terjadi saat
2. Kelemahan (-) klien menjalani
3. TD normal 120/80 proses
mmHg penyembuhan
N 60-100x/menit 4. Singkirkan benda 4. Menjaga hal hal
RR 16-24x/menit benda dan objek yang
lain yang secara membahayakan
potensial bagi klien
membahayakan diri
lingkungan pasien

C. IMPLEMENTASI

No Tanggal Tindakan Respon Paraf


dx

29
2 16 Maret 2015 1. Mengukur intake 1. Intake dan Fiana
Pukul : 08.00 output output tidak
seimbang
Pukul : 09.00 2. mengukur TTV setiap 2. TD: 140/80 Fiana
2 jam mmHg, N:
88x/menit.
Pukul : 10.00 3. Menimbang BB klien 3. BB klien tidak Fiana
mengalami
peningkatan.

Pukul : 11.00 4. Melakukan alih baring 4. Pasien nyaman Fiana


setiap 2 jam dengan posisi
tersebut.

Pukul : 12.00 5. Mengkolaborasi hasil 5. Elektrolit : Fiana


lab (elektrolit : Na,K, intake output
Cl urin tidak
seimbang

3 16 Maret 2015
Pukul: 13.00 1. Mengkaji fungsi 1. Klien bisa Fiana
neuromuscular setiap berjalan
2-8 jam walupun
ototnya sedikit
kaku.
Pukul: 14.00 2. Membantu dan berikan 2. Klien mampu Fiana
dorongan untuk melakukannya
melakukan ambulasi dan kooperatif
Pukul : 15.00 3. Mempertahankan 3. Klien merasa Fiana
tempat tidur dalam nyaman
posisi rendah dan dengan posisi
pagar tempat tidur tersebut.

30
tetap terpasang.
Pukul : 16.00 4. Menyingkirkan benda 4. Klien merasa Fiana
benda dan objek lain sedikit nyaman
yang secara potensial karena tidak
membahayakan diri ada benda-
lingkungan pasien benda asing di
dekatnya.

D. EVALUASI

No Tanggal Evaluasi Paraf


2 18 maret 2015 S : intake output tidak seimbang Fiana
08.00 O : klien terlihat lemas
A : masalah sebagian teratasi
P : tindakan 1, 3 dan 5 di lanjutkan, tindakan
2 dan 4 dihentikan.
3 18 maret 2015 S : klien merasa lebih nyaman Fiana
13.00 O : klien tampak lebih tenang tidak gelisah
A : masalah sebagian teratasi
P : tindakan 1 dilanjudkan tindakan 2,3 dan 4
dihentikan

31
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Hipraldosteronisme merupakan gangguan metabolic yang
menunjukkan kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal.
2. Penyakit ini kini dianggap sebagai kausa tersering hipertensi yang
dapat disembuhkan dan ditanganin secara spesifik.
Hiperaldosteronisme sekunder terjadi karena sekresi aldosteron
dirangsang oleh sekresi aparatus jukstaglomerulus ginjal.
3. Hipraldosteronisme sekunder sering terjadi. Keadaan ini terjadi akibat
produksi renin yang berlebihan oleh aparatus juksstaglomerolus ginjal.

5.2 Saran

32
Dari penjelasan yang telah diterangkan penulis dapat menyarankan:
1. Perawat hendaknya melibatkan keluarga dalam melakukan asuhan
keperawatan.
2. Pendidikan kesehatan pada pasien sangat dianjurkan untuk
meningkatkan pengetahuan pasien dan mencegah komplikasi lebih
lanjut.
3. Sebagai tenaga kesehatan dapat melakukan asuhan keperawatan
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat, R, Wim de Jong 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah_Ed.2.


Jakarta : EGC

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Saputra, Lyndon dr. 2002. Kapita selekta kedokteran jilid 1. Batam :


Binapura Aksara

33

Anda mungkin juga menyukai