Anda di halaman 1dari 40

RESUME EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

REVIEW PENYAKIT HORMONAL


Dosen Pengajar : Lintang Dian Saraswati, S.KM, M.Epid

Disusun oleh :
Dian Dwi Restiani

25010115120003

Puspita Arum Sasi

25010115120009

Putri Balqish Ameilia

25010115120090

Kelas A-2015
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

Penyakit Hormonal Kelenjar Adrenal


CUSHING SINDROM
1. Pengertian kelenjar adrenal
Kelenjar adrenal adalah dua struktur kecil yang terletak di atas masing-masing
ginjal. Pada masing-masing kelenjar adrenal tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian luar (korteks) dan bagiantengah (medula). Bagian medula menghasilkan
hormon amina, sedangkan bagian korteks menghasilkanhormon steroid. Sepasang
organ yang menempel pada bagian cranial ginjal, terbenam dalam jaringan
lemak, berwarna kekuningan serta berada di luar (ekstra) peritoneal
tertutup fascia renalis
2. Fungsi kelenjar adrenal
Kelenjar Adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu :
a. Bagian yang berwarna kekuningan yang menghasilkan kortisol
disebut kortek.
b. Bagaian medulla yang menghasilkan adrenalain ( epineprin ) dan
non adrenalin (non epineprin ). Non adrenalin dapat menaikkan
tekanan darah dengan cara merangsang serabut otot di dalam
dinding pembuluh darah untuk berkontraksi, adrenalin membantu
metabolisme karbohidrat dengan cara menambah pengeluaran

glukosa dalam hati.


Adapun fungsi kelenjar adrenal bagian kortek adalah :
a. Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam.
b. Mempengaruhi metabolisme hidrat arang dan protein.
c. Mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid.
Sedangkan fungsi kelenjar adrenal bagian medulla adalah
a. Vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
b. Relaksasi bronkus.
Kelenjar ini merupakan bagian dari sistem endokrin karena kelenjar ini
mengeluarkan hormon. Kedua bagian utama dari kelenjar adrenal, yaitu
medula adrenal (dalam) dan korteks adrenal (luar), menghasilkan berbagai
jenis hormon, yang mungkin esensial atau non esensial. Hormon ini
termasuk:

a. Androgen adrenal: Hormon ini sering disebut hormon seks pria dan
terdapat pada pria dan wanita, meskipun jumlahnya berbeda. Wanita
membutuhkannya untuk reproduksi dan pertumbuhan rambut.
b. Glukokortikoid: Hormon seperti kortisol terkait dengan respon stres
tubuh bertarung atau berlari. Ketika tubuh mendeteksi stres atau
ancaman, kortisol dilepaskan, sehingga denyut jantung, kewaspadaan
mental, dan tekanan darah akan meningkat.
c. Mineralkortikoid: Hormon ini berperan untuk menjaga keseimbangan
natrium dan air. Terlalu banyak natrium dapat menyebabkan kerusakan
pada ginjal sementara sedikit air dapat menyebabkan dehidrasi.
3. Pengertian Sindrom Cushing
Sindrom Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek
metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah
yang menetap (Price, 2005). Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang
diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar
glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat
terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik senyawasenyawa glukokortikoid (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, hal. 1088). Disfungsi
kelenjar

adrenal

merupakan

gangguan

metabolic

yang

menunjukkan

kelebihan/defisiensikelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999). Terdapat dua


klasifikasi disfungsi Kelenjar Adrenal, yaitu: 1. Hiperfungsi kelenjar adrenala. Sindrom
CushingSindrom

Cushing

disebabkan

oleh

sekresi

berlebihan

steroid

adrenokortikal,terutama kortisol. Gejalaklinis bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis


farmakologis kortikosteroid sintetik b. Sindrom Adrenogenital Penyakit yang
disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim
yangdibutuhkan untuk sintesis steroid.
Gejala :

Infeksi kulit kronis

Mudah memar

Wajah bulat dan merah

Otot bahu dan pinggul melemah

Obesitas sentral (lemak menumpuk pada perut)

Akumulasi lemak dekat tulang selangka

Hirsutisme (pertumbuhan rambut yang berlebihan)

Menstruasi tidak teratur

Kemandulan

4. Etiologi

Sindroma Cushing terjadi akibat adanya hormon kortisol yang


sangat tinggi di dalam tubuh. Kortisol berperan dalam berbagai fungsi
tubuh, misalnya dalam pengaturan tekanan darah, respon tubuh terhadap
stress, dan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak dalam makanan.
Sindroma Cushing dapat diakibatkan oleh penyebab di luar maupun di
dalam tubuh. Penyebab sindroma Cushing dari luar tubuh yaitu sindroma
chusing latrogenik yaitu akibat konsumsi obat kortikosteroid (seperti

prednison) dosis tinggi dalam waktu lama. Obat ini memiliki efek yang
sama seperti kortisol pada tubuh. Penyebab sindroma Cushing dari dalam
tubuh yaitu akibat produksi kortisol di dalam tubuh yang berlebihan. Hal
ini terjadi akibat produksi yang berlebihan pada salah satu atau kedua
kelenjar adrenal, atau produksi hormon ACTH (hormon yang mengatur
produksi kortisol) yang berlebihan dari kelenjar hipofise. Hal ini dapat
disebabkan oleh :
1. Hiperplasia adrenal yaitu jumlah sel adrenal yang bertambah. Sekitar
70-80% wanita lebih sering menderita sindroma chusing.
2. Tumor kelenjar hipofise, yaitu sebuah tumor jinak dari kelenjar
hipofise yang menghasilkan ACTH dalam jumlah yang berlebihan,
sehingga menstimulasi kelenjar adrenal untuk membuat kortisol lebih
banyak.
3. Tumor ektopik yang menghasilkan hormon ACTH. Tumor ini jarang
terjadi, dimana tumor terbentuk pada organ yang tidak memproduksi
ACTH, kemudian tumor menghasilkan ACTH dalam jumlah
berlebihan. Tumor ini bisa jinak atau ganas, dan biasanya ditemukan
pada paru-paru seperti oat cell carcinoma dari paru dan tumor
karsinoid dari paru, pankreas (tumor pankreas), kelenjar tiroid
(karsinoma moduler tiroid), atau thymus (tumor thymus).
4. Gangguan primer kelenjar adrenal, dimana kelenjar

adrenal

memproduksi kortisol secara berlebihan diluar stimulus dari ACTH.


Biasanya terjadi akibat adanya tumor jinak pada korteks adrenal
(adenoma). Selain itu dapat juga tumor ganas pada kelenjar adrenal
(adrenocortical carcinoma).
5. Sindrom chusing alkoholik yaitu produksi alkohol berlebih, dimana
akohol mampu menaikkan kadar kortisol.
6. Pada bayi, sindrom cushing paling sering disebabkan oleh tumor
adrenokorteks yang sedang berfungsi, biasanya karsinoma maligna
tetapi kadang-kadang adenoma benigna
7. Patofisiologi dan patogenesis
a. Patofisiologi

Glukokortikoid meningkat karena berbagai faktor baik dari


luar maupun dalam tubuh, seperti yang sudah dijelaskan pada poin

etiologi chusing syndrome. Fungsi metabolik glukokortikoid atau


kortisol yang stabil dipengaruhi oleh jumlah sekresi glukokortikoid
atau kortisol.

Kelebihan

glukokortikoid dapat menyebabkan

perubahan berbagai kondisi di dalam tubuh khususnya fungsi


metabolik seperti dibawah ini:
1. Metabolisme protein
Efek katabolik dan antianabolik pada protein yang dimiliki
glukokortikoid menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel
pembentuk protein untuk mensistesis protein. Kortisol menekan
pengangkutan asam amino ke sel otot dan mungkin juga ke sel
ekstrahepatika seperti jaringan limfoid menyebabkan konsentrasi
asam amino intrasel menurun sehingga sintesis protein juga
menurun. Sintesis protein yang menurun memicu peningkatan
terjadinya proses katabolisme protein yang sudah ada di dalam sel.
Proses katabolisme protein ini dan proses kortisol memobilisasi
asam amino dari jaringan ekstrahepatik akan menyebabkan tubuh
kehilangan simpanan protein pada jaringan perifer seperti kulit, otot,
pembuluh darah, dan tulang atau seluruh sel tubuh kecuali yang ada
di hati. Oleh karena itu secara klinis dapat ditemukan kondisi kulit
yang mengalami atropi dan mudah rusak, luka-luka sembuh dengan
lambat. Ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan
tanda regang pada kulit berwarna ungu (striae). Otot-otot mengalami
atropi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah dan
melemahnya jaringan penyokong pembuluh darah menyebabkan
mudah timbul luka memar. Matriks protein tulang menjadi rapuh dan
menyebabkan osteoporosis, sehingga dapat dengan mudah terjadi
fraktur patologis. Kehilangan asam amino terutama di otot
mengakibatkan semakin banyak asam amino tersedia dalam plasma
untuk masuk dalam proses glukoneogenesis di hati sehingga
pembentukan glukosa meningkat.
2. Metabolisme karbohidrat
Efek kortisol terhadap metabolisme

karbohidrat untuk

merangsang glukoneogenesis yaitu pembentukan karbohidrat dari

protein dan beberapa zat lain oleh hati. Seringkali kecepatan


glukoneogenesis sebesar 6 sampai 10 kali lipat. Salah satu efek
glukoneogenesis yang meningkat adalah jumlah penyimpanan
glikogen dalam sel-sel hati yang juga meningkat. Kortisol juga
menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh
kebanyakan sel tubuh. Glukokortikoid menekan proses oksidasi
nikotinamid-adenin-dinukleotida (NADH) untuk membentuk NAD+.
Karena NADH harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek
ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian glukosa sel.
Peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan kecepatan pemakaian
glukosa oleh sel berkurang dapat meningkatkan konsentrasi glukosa
darah. Glukosa darah yang meningkat merangsang sekresi insulin.
Peningkatan kadar plasma insulin ini menjadi tidak efektif dalam
menjaga glukosa plasma seperti ketika kondisi normal. Tingginya
kadar glukokortikoid menurunkan sensitivitas banyak jaringan,
terutama

otot

rangka

dan

jaringan

lemak,

terhadap

efek

perangsangan insulin pada ambilan dan pemakaian glukosa. Efek


metabolik meningkatnya kortisol dapat menganggu kerja insulin
pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya penderita dapat mengalami
hiperglikemia. Pada seseorang yang mempunyai kapasitas produksi
insulin yang normal, maka efek dari glukokortikoid akan dilawan
dengan meningkatkan sekresi insulin untuk meningkatkan toleransi
glukosa. Sebaliknya penderita dengan kemampuan sekresi insulin
yang menurun tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan
tersebut, dan menimbulkan manifestasi klinik DM.
3. Metabolisme lemak
gliserofosfat yang berasal dari glukosa dibutuhkan untuk
penyimpanan dan mempertahankan jumlah trigliserida dalam sel
lemak. Jika gliserofosfat tidak ada maka sel lemak akan
melepaskan asam lemak. Asam lemak akan dimobilisasi oleh kortisol
sehingga konsentrasi asam lemak bebas di plasma meningkat. Hal ini
menyebabkan

peningkatan

pemakaian

untuk

energi

dan

penumpukan lemak berlebih sehingga obesitas. Distribusi jaringan

adiposa terakumulasi didaerah sentral tubuh menimbulkan obesitas


wajah bulan (moon face). Memadatnya fossa supraklavikulare dan
tonjolan servikodorsal (punguk bison), Obesitas trunkus dengan
ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atropi otot
memberikan penampilan klasik perupa penampilan Chusingoid.
4. Sistem kekebalan
Ada dua respon utama sistem kekebalan yaitu pembentukan
antibodi humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat ransangan
antigen yang lainnya tergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai
oleh limfosit T yang tersensitasi. Pemberian dosis besar kortisol akan
menyebabakan atrofi yang bermakna pada jaringan limfoid di
seluruh tubuh. Hal ini akan mengurangi sekresi sel-sel T dan
antibodi dari jaringan limfoid. Akibatnya tingkat kekebalan terhadap
sebagian besar benda asing yang memasuki tubuh akan berkurang.
Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibodi humoral dan
menghambat pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limpoid pada
respon primer terhadap anti gen. Gangguan respon imunologik dapat
terjadi pada setiap tingkatan berikut ini yaitu proses pengenalan
antigen awal oleh sel-sel sistem monosit makrofag, Induksi dan
proleferasi limfosit imunokompeten, produksi anti bodi, reaksi
peradangan,dan menekan reaksi hipersensitifitas lambat.
5. Elektrolit
Glukokortikoid memiliki efek minimal pada kadar elektrolit
serum. Glukokortikoid yang diberikan atau disekresikan secara
berlebih akan menyebabkan retensi natrium dan

pembuangan

kalium sehingga menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis


metabolik.
6. Sekresi lambung
Sekresi asam lambung dapat ditingkatkan sekresi asam
hidroklorida dan pepsin dapat meningkat. Faktor-faktor protekitif
mukosa

dirubah

oleh

steroid

mempermudah terjadinya tukak.


7. Fungsi otak

dan

faktor-faktor

ini

dapat

Perubahan psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid,


hal ini ditandai dengan oleh ketidak stabilan emosional, euforia,
insomnia, dan episode depresi singkat.
8. Eritropoesis
Kortisol mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit di dalam
darah. Involusi jaringan limfosit, menyebabkan rangsangan untuk
pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis
b. Pathogenesis

Hipothalamus menghasilkan CRH yang merangsang kelenjar


Pituitary untuk memproduksi ACTH. ACTH masuk ke dalam darah
menuju

ke

kelenjar

adrenal

dan

menstimulasi

adrenal

menghasilkan cortisol. Cortisol disekresi oleh korteks adrenal dari


area yang disebut Zona Fasikulata, kemudian terjadi kegagalan
pengaturan cortisol dalam darah sehingga sekresi cortisol menjadi
tinggi terus menerus, adapun karakteristik yang timbul adalah :
efek

glukokortikoid

berlebihan,

glukoneogenesis meningkat.

penumpukan

lemak

dan

8. Faktor risiko dan determinan


1. Gangguan hormonal yang disebabkan oleh paparan berkepanjangan
akibat hormone kotisol yang tinggi
2. Gaya hidup yng tidak baik yang mampu menyebabkan obesitas dan
menderita penyakit diabetes tipe 2 dengan hipertensi dan memiliki
control buruk akan kadar gula darah, memiliki peningkatan risiko yang
lebih besar pada gangguan tersebut (Sylvia, 2006).
9. Kelompok risiko
1. Riwayat keturunan/genetik
2. Kelompok obesitas dan diabetes tipe 2
3. Pada sindroma Cushing berupa sindroma ektopik ACTH lebih sering pada
laki-laki dengan rasio 3:1, pada insiden hiperplasia hipofisis adrenal adalah
lebih besar pada wanita daripada laki-laki, kebanyakan muncul pada usia
dekade ketiga atau keempat.
10. Distribusi geografis penyakit
Dalam penelitian secara global didapat hasil sedikitnya 1 dari tiap 5 orang
populasi dunia berkemungkinan terkena kelainan ini tanpa membedakan jenis
kelamin. Namun sumber lain mengatakan rasio kejadian antara wanita dan pria
untuk sindrom cushing adalah sekitar 5:1 berhubungan dengan tumor adrenal
atau pituitary.
11. Trend waktu terjadinya penyakit
Tidak ada trend waktu terjadinya penyakit ini. penyakit chusing syndrome
termasuk penyakit yang langka ditemukan.
12. Signifikansi
Perlu ditangani secara cepat, sebab jika tidak ditangani akan
menyebabkan :

Kulit tipis sehingga muka tampak merah, timbul strie dan ekimosi -

Otot-otot mengecil karena efek katabolisme protein. -

Osteoporosis yang dapat menimbulkan fraktur kompresi dan kifosis

13. Area penelitian dan pengembangan


Nama penyakit ini diambil dari Harvey Cushing seorang ahli bedah
yang pertama kali mengidentifikasi penyakit ini pada tahun 1912. Penyakit
ini disebabkan ketika kelenjar adrenal pada tubuh tarlalu banyak
memproduksi hormon kortisol, komplikasi yang menyebabkan kecacatan
pada penderita, yang akan mengakibatkan keterbatasan aktivitas, citra diri
yang kurang bahkan kematian. Maraknya penyakit ini semakin menambah
tantangan bagi tenaga kesehatan dan semakin meresahkan masyarakat.
Masyarakat merupakan sasaran utama bagi tim kesehatan, keresahan
masyarakat adalah keresahan tim kesehatan. Berdasarkan penelitian dan
survey terhadap rumah sakit di Indonesia tentang penyakit Cushings
Sindrom pada tahun 2000-2001, hasil menyebutkan bahwa kejadian
Cushings Sindrom terjadi pada 200 orang dewasa berusia antara 20-30
tahun. Pada kelompok usia 20-30 tahun, risiko terkena Cushings Sindrom
mencapai 10 persen.
14. Upaya pencegahan dan pengendalian
Disini peran perawat terhadap pasien dengan Cushings Sindrom meliputi
beberapa upaya yang terdiri dari:
1. Upaya Promotif, yaitu upaya peningkatan pengetahuan tentang
pencegahan dan cara pengobatan penyakit Cushings Sindrom melalui
pendidikan dan pelatihan petugas pelayanan kesehatan mengenai cara
pengobatan, penyuluhan, penyebarluasan informasi, peningkatan
kebugaran jasmani, peningkatan gaya hidup sehat dan peningkatan
gizi.
2. Upaya Preventif, adalah upaya untuk mencegah timbulnya penyakit
atau kondisi yang memperberat penyakit Cushings Sindrom yang

meliputi Pencegahan Primer dan Pencegahan Sekunder. Pencegahan


Primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya penyakit pada individu-individu yang sehat.
a. Pencegahan Primer adalah pengendalian melalui jalur kesehatan
(medical control), antara lain :
Pendidikan kesehatan : gaya hidup, gizi , faktor lingkungan,

cara pengobatan dll.


Pemeriksaan kesehatan awal, berkala & khusus (anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin).


Penelitian kesehatan.
b. Pencegahan Sekunder merupakan upaya perawat untuk menemukan
tanda dan gejala penyakit Cushings Sindrom sedini mungkin,
mencegah meluasnya penyakit, dan mengurangi bertambah beratnya
penyakit, diantaranya :
a. Pengawasan dan penyuluhan untuk klien Cushings Sindrom, agar
klien tersebut benar-benar mengetahui cara pengobatan dan cara
mengurangi gejala yang bisa dimunculkan dari penyakit

Cushings Sindrom ini.


Pengamatan langsung mengenai perawatan klien Cushings

Sindrom.
Case-finding secara aktif, mencakup indentifikasi Cushings
Sindrom pada orang yang dicurigai dan rujukan pemeriksaan
kadar kortisol yang tinggi dalam plasma darah. Up
Uaya kuratif dan rehabilitatif adalah upaya pengobatan penyakit
Cushings Sindrom yang bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, dan menurunkan tingkat kejadian
penyakit Cushings Sindrom.

Pengobatan
Cushings Sindrom tergantung pada ACTH tidak seragam dan
bergantung pada apakah sumber ACTH adalah hipofisis atau
ektopik. Beberapa pendekatan terapi digunakan pada kasus dengan
hipersekresi ACTH hipofisis. Jika dijumpai tumor hipofisis
sebaiknya diusahakan reseksi tumor transfenoidal. Tetapi jika
terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat

ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobalt


pada kelenjar hipofise. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi
dengan adrenalektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis
fisiologik atau dengan kimia yang mampu mrnghambat atau merusal
sel-sel korteks adrenal yangmensekresi kortisol. Berdasarkan angka
kejadian yang ada dan kegawatan yang dimunculkan oleh penyakit
Cushings Sindrom, perawat disini dituntut terutama untuk dapat
melakukan

tindakan

keperawatan

dalam

pencegahan,

penanggulangan maupun perawatan dalam proses penyembuhan


penyakit Cushings Sindrom.
a.

Neoplasma Adrenal
Obat

utama

untuk

pengobatan

karsinoma

kortikoadrenal adalah mitotan, isomer dari insektisida DDT.


Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar
kortisol plasma dan urin. Meskipun kerja sitotoksiknya relatif
selektif untuk daerah korteks adrenal yang memproduksi
glukokortikoid, zona glomerulosa bisa terganggu. Obat ini
biasanya diberikan dengan dosis terbagi tiga sampai empat kali
sehari, dengan dosis ditingkatkan secara bertahap menjadi 8
sampai 10g perhari. Semua pasien yang diobati dengan mitotan
harus menjalani terapi pemulihan jangka lama.
b.

Hiperplasia Bilateral
Terapi yang harus ditujukan untuk mengurangi
kadar ACTH, pengobatan ideal adalah pengangkatan dengan
menjalani eksplorasi bedah hipofisis via trans-sfenoidal dengan
harapan menemukan adenoma. Pada banyak keadaan dianjurkan
selective petrosal sinus venous sampling dan adrenalektomi
total. Penghambatan steroidogenesis juga bisa diindikasikan
pada subjek cushingoid berat sebelum intervensi pembedahan.
Adrenalektomi

kimiawi

mungkin

lebih

unggul

dengan

pemberian penghambat steroidogenesis ketokonazol (600-

1200mg/hari). Mitotan (2-3mg/hari) dan/atau penghambatan


sintesis sterooid aminoglutetimid (1g/hari) dan metiraponi (23g/hari). Mifeperistone, suatu inhibitor kompetitif ikatan
glukokortikoid terhadap reseptornya, bisa menjadi pilihan
pengobatan.
15. Follow up
Dilakukan monitoring terapi untuk para penderitanya dengan :

Kadar kortisol serum pada pemeriksaan urin 24 jam bebas kortisol


Perbaikan gejala & manifestasi klinik Cushingsyndrome

Risiko kekambuhan terutama untuk obat- obat dengan RR yang


rendah

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, & Arvin.2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15 vol
3.Jakarta: EGC.
J.Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta : EGC
Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta : EGC
Sylvia A. Price. 2005.Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta:
EGC.
Tjokroprawiro, Askandar.2000. Garis besar kuliah Adrenal: Patogenesis,
Diagnosis dan Terapi. Surabaya : Lab- SMF Penyakit Dalam FK UNAIRRSUD Dr. Soetomo.
Wilkinson, Judith M. Athern, Nancy R. 2013. Buku Saku Diagnosa
Keperawatan : Diagnosis Nanda, Intervensi Nic, Kriteria Hasil Noc. Ed.9.
Jakarta: Buku Kedokteran

SOAL
1.

Hormon yang dihasilkan kelenjar Adrenal, kecuali:


a. Androgen adrenal
b. Glikokortikoid
c. Mineralkortikoid
d. Glukokortikoid

2. Suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian
kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap disebut
a. Sindrom Andropause
b. Cushing Sindrom
c. Down Sindrom
d.Gigantisme
3. Berikut yang termasuk gejala Cushing Sindrom:
1. Wajah bulat dan merah
2. Otot bahu dan pinggul melemah

3. Obesitas sentral (lemak menumpuk pada perut)


4. Akumulasi lemak dekat tulang pipi
5. Batukterus menerus
a. 1,2,3
b. 1,3,4
c.1,3,5
d. 2,3,4
4. Faktor resiko dan determinan Cushing Sindrom
a. Gangguan hormonal yang disebabkan oleh paparan pendek akibat hormone
kotisol yang tinggi
b. Merokok
c. Kurang yodium
d. Gaya hidup yng tidak baik yang mampu menyebabkan obesitas dan menderita
penyakit diabetes tipe 2 dengan hipertensi dan memiliki control buruk akan kadar
gula darah, memiliki peningkatan risiko yang lebih besar pada gangguan tersebut .
5. Yang termasuk upaya pencegahan sekunder pada Cushing Sindrom, kecuali
a. Pengawasan dan penyuluhan untuk klien Cushings Sindrom, agar klien
tersebut benar-benar mengetahui cara pengobatan dan cara mengurangi gejala
yang bisa dimunculkan dari penyakit Cushings Sindrom ini.
b. Pengamatan langsung mengenai perawatan klien Cushings Sindrom.
c. Case-finding secara aktif, mencakup indentifikasi Cushings Sindrom pada
orang yang dicurigai dan rujukan pemeriksaan kadar kortisol yang tinggi
dalam plasma darah
d. Pendidikan kesehatan : gaya hidup, gizi , faktor lingkungan, cara pengobatan
dll.

Kelenjar Kelamin
ANDROPAUSE
A.

Pengertian Kelenjar Gonad


Kelenjar gonad adalah kelenjar endokrin yang terletak di dalam organ
kelamin baik wanita ataupun pria yang fungsinya adalah memproduksi sel-sel
kelamin dan mengeluarkan hormon-hormon yang mengendalikan karakteristik
seksual sekunder.
Hormon adalah zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, disekresikan
ke dalam darah, dan sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh tempat
hormone tersebut menimbulkan efek fisiologis, mencakup senyawa yang memiliki

B.

kerje autokrin atau parakrin.


Fungsi Hormon Kelenjar Gonad
Gonad (hormon kelamin) merupakan kelenjar endokrin yang dipengaruhi
oleh gonadotropin hormon (GtH) yang disekresikan kelenjar pituitari . Hipofisis
mengsilkan 2 jenis gonadotropin yang mengatur fungsi alat reproduksi yaitu
hormon pemacu folikel (FSH=folicle stimulating hormone dan LH= lutenizing
hormone). Pada setiap spesies tertentu hipofisis penting selama kehamilan,
sedangkan umumnya kehamilan dapat berjalan tanpa hipofisis.
Di dalam testis terdapat sel Leydig yang menghasilkan hormone
testosteron atau androgen. Hormon testosteron sangat berpengaruh terhadap
proses spermatogenesis (proses pembentukan sperma) dan pertumbuhan sekunder
pada laki-laki. Pertumbuhan sekunder pada anak laki-laki ditandai dengan suara
menjadi besar, bahu dan dada bertambah bidang, dan tumbuh rambut pada bagian
tubuh tertentu misalnya kumis, janggut, cambang, ketiak, dan sekitar kemaluan.

Sementara itu, hormon estrogen dan progesteron disekresikan oleh


ovarium. Estrogen dihasilkan oleh folikel de Graff dan dirangsang oleh hormon
FSH. Hormon estrogen berfungsi saat pembentukan kelamin sekunder wanita,
seperti bahu mulai berisi, tumbuhnya payudara, pinggul menjadi lebar, dan rambut
mulai tumbuh di ketiak dan kemaluan. Di samping itu, hormon enstrogen juga
membantu dalam pembentukan lapisan endometrium.
Bagi wanita, hormon progesteron berfungsi

menjaga

penebalan

endometrium, menghambat produksi hormon FSH, dan memperlan-car produksi


laktogen (susu). Hormon ini dihasilkan oleh korpus luteum dan dirangsang oleh
LH. FSH pada wanita menyebabkan perkembangan folikel primer menjadi folikel
graaf. Di bawah pengaruh LH, folikel yang telah berkembang mensekresi estrogen
dan

progesteron.

LH

menyebabkan

terjadinya

ovulasi

dan

juga

mempengaruhi korpus luteum untuk mensekresi estrogen dan progesteron. Proses


terakhir dikenal sebagai aktivitas laktogenik, yang pada beberapa spesies berada
dibawah pengaruh proklatin. Sedangkan FSH pada pria berfungsi menjamin
terjadinya spermatogenesis, antara lain dengan mempertahankan fungsi tubulus
C.

seminiferus, LH merangsang sel leydig mensekresi testoteron.


Pengertian Andropause
Istilah andropause berasal dari bahasa Yunani yang berarti pria dan
pause yang artinya penghentian. Jadi, andropause dapat diartikan sebagai
berhentinya proses fisiologis pada pria. Andropause merupakan sindrom pada
pria paruh baya atau lansia dimana terjadi penurunan kemampuan fisik, seksual
dan psikologi.
D. Besaran Masalah Penyakit Kelenjar Andropause Secara Umum
Male menopause atau late-onset hypogonadism dialami 2% pria setengah baya.
Pria yang mengalami menopause biasanya mempunyai kadar testosteron rendah
yang dikaitkan dengan ereksi pagi yang buruk, gairah seks rendah dan disfungsi
ereksi.Hormon testosteron pria menurun sekitar 1-15 % per tahun, dimulai pada
usia 45 tahun. Meski menopause pada pria bisa terjadi, menopause pada pria
bisa dibilang langka. Kadar testosteron rendah ini juga terkait dengan simptom
lain seperti depresi, lelah, dan tak bisa berhubungan intim. Selain itu juga
terdapat simptom yang tidak terkait dengan testosteron rendah. Simptom antara
lain terdiri dari gangguan pola tidur, konsentrasi buruk, merasa tidak berharga
dan merasa sangat cemas. Namun jangan salah mengistilahkan male menopause,

karena artinya bisa menyesatkan, menganggap bahwa semua pria akan


mengalaminya. Penurunan testosteron pada pria tua benar-benar alamiah dan
proses normal yang akan dialami pria ketika menua.
E. Etiologi

Andropause disebabkan oleh penurunan kadar testosteron dan penurunan


kadar testosteron ini terjadi gradual seiring dengan bertambahnya usia. Kadar
testosteron yang rendah dapat disebut sebagai hipogonadism, yang terjadi jika
kadar free testosteron dibawah normal. Etiologi hipogonadism dibagi menjadi 3,
yaitu:
1. Hipogonadism primer
kelainan testis (anorchia, tumor testis, hipoplasia set leydig, disgenesis
kelenjar

gonad)

kelainan

genetik

(sindrom

klincffelter,

male

pseudohermaprodith, mutasi reseptor gonadotropin) orchitis.


2. Hipogonadism sekunder
Idiopatik hypogonadotropic-hypogonadism, sindrom kallman, sindrom prade
3. Campuran
Paparan toksin pekerjaan, antara lain: radiasi ion, DES (diethylstillbestrol),
PCBs, dan narkoba. Penyakit sistematik kronis (gagal ginjal, sirosis hepatic,

PPOK). Penyakit non gonadal akut yang berat (infark miokard, trauma,
tindakan bedah besar) obat-obatan dan proses penuaan.
F. Patofisiologi dan pathogenesis

Produksi testosteron pada pria dikendalikan oleh hipotalamus hipofisis - gonad (HPG) axis. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
disekresikan dari hipotalamus, sehingga merangsang kelenjar hipofisis untuk
melepaskan hormon 9 luteinizing (LH), yang bekerja pada sel-sel testis Leydig
untuk memproduksi testosteron (Tunuguntla, 2005). Sembilan puluh delapan
persen dari testosteron dalam plasma terikat dengan protein, 65 % dengan sex
hormone binding globulin ( SHBG ) dan 33 % dengan albumin, hanya terdapat
2 % testosteron bebas dalam serum. Bentuk non SHBG terikat testosteron
bersama dengan testosteron bebas, merupakan fraksi aktif biologis testosteron.
Hipotalamus-Pituitari-Gonad

(HPG)

merupakan

sumbu

kompleks

dan

berinteraksi dengan sejumlah sistem endokrin lainnya, produksi hormon juga


dipengaruhi oleh penuaan. Sejumlah hormon mengalami penurunan akibat dari
proses penuaan, seperti halnya hormon androgenik (dehydroepiandrosterone
dan sulfatnya) yang dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon melatonin yang
disekresikan dari pineal juga berkurang jumlahnya dengan adanya penuaan,
dimana hormon ini bertanggung jawab untuk gangguan tidur dan biorhythms.
Level growth hormone juga mengalami penurunan dengan adanya proses

penuaan sehingga menurunkan massa dan kekuatan otot, hal ini terlihat juga
pada pria dengan keadaan hipogonadisme.
G. Faktor Resiko dan determinan
Hal-hal yang mempengaruhi kapan mulai terjadinya andropause dan
gejala-gejala yang muncul adalah:
Umur
Mulai sekitar umur 30-an, kadar testosteron menurun sekitar 10% tiap 10
tahun. Pada saat yang sama, faktor lain dalam tubuh yang disebut globulin
pengikat hormon seks (sex hormone binding globulin atau SHBG)
meningkat. SHBG mengikat lebih banyak testosteron yang beredar dalam
darah dan membuat testosteron tidak dapat mengeluarkan pengaruhnya
pada jaringan-jaringan tubuh. Akibatnya testosteron bebas yang tersisa
(bioavailable testosterone) semakin sedikit untuk menjalankan fungsi

fungsinya.
Rendahnya kadar hormon testosteron
Penurunan testosteron bebas sekitar 1,2% per tahun, sementara
bioavailabilitasnya turun hingga 50% pada usia 25-75tahun. Pria akan
mengalami penurunan kadar testosteron darah aktif sekitar 0,8-1,6% per
tahun ketika memasuki usia sekitar 40 tahun. Sementara saat mencapai
usia 70 tahun, pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah
sebanyak 35% dari kadar semula. Perubahan kadar hormon testosteron ini
sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan

biasanya tidak sampai menimbulkan hipogonadisme berat


Riwayat keluarga dengan osteoporosis
Pada pria, testosteron juga berperan untuk menjaga keseimbangan otot dan
tulang. Dengan bertambahnya usia dan menurunnya kadar testosteron,
kemampuan pembentukan kembali jaringan tulang semakin menurun
sehingga pria akan menunjukkan pola yang mirip pada risiko osteoporosis.
Sekitar 1 dari 8 pria di atas usia 50 tahun menderita osteoporosis.
Selain itu, antara usia 40-70 tahun densitas tulang pria menurun hingga
15%. Densitas tulang yang rendah menyebabkan risiko patah tulang lebih
sering, dan disertai nyeri. Pergelangan, pinggang, tulang punggung, dan
tulang rusuk adalah bagian yang paling sering berisiko patah. Kejadian
patah tulang pinggang pada pria usia lanjut meningkat eksponensial, sama
seperti yang terjadi pada wanita. Pada pasien osteoporosis, patah tulang

pinggang dapat membahayakan jiwa atau dapat menyebabkan 1/3 pasien

tidak dapat bergerak lagi seperti semula.


Perawakan kurus dan atau kecil
Konsumsi alkohol yang berlebihan
Merokok
Asap rokok banyak mengandung partikelpartikel yang berbahaya bagi
kesehatan dan dapat menekan kadar hormon testosteron sehingga
mempercepat terjadinya andropause. Perubahan yang terjadi pada
andropause tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga aspek psikis seperti
ketidakpuasan

seksual

dan

frekuensi

hubungan

terkait

dengan

ketidakbahagiaan bagi pasangan suami istri dalam perkawinan. dapat


disimpulkan bahwa angka kejadian andropause lebih tinggi dialami oleh
laki-laki perokok dibandingkan yang bukan perokok. Oleh sebab itu sudah
seharusnya upaya menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan
tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat
Kurang aktivitas
H. Kelompok risiko
1. Lanjut usia
2. Seorang perokok aktif
3. Kelompok yang memiliki gaya hidup yang tidak baik, seperti jarang
berolahraga dan lain seagainya
Gandaputra, 2001)
I. Distribusi geografis penyakit
Andropause seperti juga menopause pada perempuan usia senja, pada
kaum laki- laki juga ada istilah andropause yang belum populer di kalangan
masyarakat. Secara harfiah andropause diartikan sebagai kejantanan
(andro),istirahat(pause),secara awam boleh diartikan mulai istirahatnya
kelaki-lakian seseorang laki-laki usia senja, sedangkan secara umum diartikan
sebagai berkurangnya produksi hormon laki-laki (testosteron), ada yang
memberi istialah andropause sebagai klimakteriaum laki-laki. Seorang lakilaki sedang berada pada tingkat kritis fase kehidupannya, dimana terjadi
perubahan fisik, hormon, dan psikis, serta penurunan aktifitas seksual. Di
Inggris publikasi tentang andropause sudah sejak tahun 1952. Dalam
publikasi ini disebutkan bahwa andropause terjadi secara alami dan laki-laki

yang andropause akan mengalami penurunan kemampuan fisik dan gairah


seksual (Yatim, 2002).
Bedasarkan penelitian bahwa gejala andropause mulai dapat terjadi pada lakilaki saat memasuki usia 40 tahun. Penurunan kadar testosteron yang terus
menurun bertahap seiring usia yang terus menua. Kadar testosteron yang terus
menurun tersebut dapat menyebabkan kondisi fisik dan performa seksual lakilaki perlahan merosot. Hal ini akhirnya diikuti dengan keluhan psikis, meski
tidak khas gejala fisik misalnya mudah letih dan mengantuk berlebihan, rasa
sakit atau kaku pada otot, persendian dan tulang, penis mengecil, penurunan
tenaga, kekuatan otot, pertumbuhan kumis, janggut berkurang, dan penurunan
frekuensi ereksi pagi hari sehingga menurunnya gairah seksual, akibatnya laki
-laki mudah marah, depresi, panik, tegang, gelisah, sulit tidur juga merasa
tertekan (Setiawan, 2008).
Menurut para ahli lebih dari setengah laki-laki sehat usia >70 tahun
mempunyai kadar testosteon 300 mg/dl darah (batas ambang kadar testosteron
normal). Sayang sekali laki-laki yang mengalami penurunan gairah seksual
akibat penurunan hormon testosterone kebanyakan bersifat pasif (Yatim,
2004).
Prevalensi andropause dapat di duga berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
Jumlah pria yang mengalami andropause di Indonesia belum ada data resmi.
Di Amerika data menyebutkan bahwa sindroma andropause dialami oleh
sekitar 15% pria usia 40-60 tahun tetapi hanya sekitar 5% yang mendapat
pengobatan (Pangkahila, 2006). Sebagian pria bahkan telah mengalami
sindroma andropause sejak usia tiga puluhan tetapi dengan jumlah yang
relative kecil yaitu kurang lebih 5% (Wibowo, 2002). Jika dilakukan deduksi
berdasarkan kenyataan dan fakta bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya
andropause lebih banyak ditemui di Indonesia, antara lain: polusi lingkungan
kerja, beban lingkungan kerja dan gaya hidup maka sangatlah mungkin

andropause lebih banyak diderita oleh pria di Indonesia dibandingkan negara


barat (Wibowo, 2002).
J. Trend waktu terjadinya penyakit
Di seluruh dunia pada tahun 2000 jumlah pria yang masuk dalam
kategori usia andropause mencapai 1,5 miliar, dimana yang 1 miliar berada di
negara berkembang seperti Indonesia. Diperkirakan negara maju 15% pria
yang berusia 40 - 60 tahun serta 5% pria muda 30 tahunan tercatat menderita
andropause dan dari penelitian Profesor Susilo ditahun 2002 kira-kira 288
orang yang mengalami andropause mulai sadar memeriksakan dirinya
(Hutapea, 2005). Di Indonesia pada tahun 2000 jumlah pria yang berusia 55
tahun dan diperkirakan telah memasuki usia andropause adalah sebesar 14,25
juta orang pada tahun 2020 diperkirakan jumlah laki-laki andropause akan
mencapai 24,7 juta (Prawirohardjo, 2004).
K. Signifikansi
Andropause perlu ditangani karena penurunan hormon testosteron ini
akan terjadi secara bertahap dan akan menyebabkan perubahan sikap dan
suasana hati, mudah lelah dan mengantuk, kehilangan energi untuk
melakukan sesuatu, penurunan kondisi fisik dan performa seksual, dan
menurunnya ketahanan fisik. Akibatnya laki-laki enjadi mudah marah,
depresi, panik, tegang, gelisah, sulit tidur dan juga merasa tertekan. Studi juga
menunjukkan bahwa penurunan testosteron memperbesar risiko terjadinya
penyakit-penyakit tertentu, seperti penyakit jantung dan osteoporosis.
L. Area penelitian dan pengembangan
Beberapa

penelitian

pendahulu

menyebutkan

angka

kejadian

andropause di beberapa daerah. Penelitian yang dilaporkan Taher (2005)


menyebutkan bahwa 70,94% responden di Jakarta mengalami andropause.
Gunadarma (2005) juga melaporkan bahwa sebanyak 51,67% pria usia diatas
30 tahun di Kota Surakarta elah mengalami andropause.
M. Upaya pencegahan dan pengendalian
Menurut Saryono (2010) Terapi andropause dapat dilakukan secara
ilmiah. Kombinasi diet dan olahraga dengan tidur yang cukup dan tingkat
stress yang rendah membantu memperkuat produksi testosterone. Metode lain

termasuk mengkonsumsi suplemen ekstra tumbuhan yang dapat membantu


dalam engatasi masalah andropause. Terapi testosterone terdapat berbagai
sediaan termasuk di tempel di kulit (skin patches), kapsul, jel dan injeksi.
1) Skin Patches
Terapi ini yang berisi testosterone di tempelkan di kulit dimana
testosterone di lepaskan secara perlahan ke dalam darah untuk mencegah
munculnya gejala yang disebabkan oleh kekurangan testosterone. Terapi
ini dipasang di daerah yang kering seperti punggung, abdomen, lengan
atas atau paha.
2) Gel Testosterone
Terapi ini juga dipakai langsung di kulit misalnya pada lengan. Untuk
menghindari kontak dengan orang lain, seseorang yang melakukan terapi
gel dianjurkan mencuci tangan sesudah melakukan terapi ini.
3) Kapsul
Terapi dalam bentuk kapsul ini biasanya dikonsumsi 2 kali sehari setelah
makan. Pria yang menderita penyakit hati, penyakit jantung, penyakit
ginjal atau kelebihan kalsium didalam darah sebaiknya menghindari terapi
pemberian kapsul testosterone.
4) Injeksi Testosterone
Terapi injeksi testosterone (testosterone cypionate & testosterone
enanthate) diberikan setiap 3 sampai 4 minggu. Efek dari obat ini
menyebabkan suasana hati menjadi labil akibat perubahan hormone
testosterone. Bagi penderita penyakit jantung, penyakit ginjal, kelebihan
kalsium berlebihan dalam darah sebaiknya menghindari terapi testosterone
cypionate sedangkan bagi penderita penyakit ginjal sebaiknya mendapat
terapi testosterone enanthate. Tetosterone tidak boleh berikan oleh pasien
dengan kanker prostat atau payudara.
Dalam terapi testosteron yang perlu diperhatikan adalah efek
samping pemberian yang dapat muncul, baik itu yang ringan: jerawat dan
kulit berminyak, maupun yang berat: peningkatan hematokrit, eksaserbasi
sleep apnea, dan memicu pertumbuhan kanker prostat. Pemberian
testosteron eksogen juga dapat menekan spermatogenesis dan mungkin
menimbulkan infertilitas. Perlu dilakukan rectal touche dan memeriksa
kadar PSA (Prostat Spesific Antigen) sebelum memulai pengobatan,

kemudian memonitor kadar hematokrit dan PSA selama pengobatan (Zen,


2009).

N. Follow up dalam rangka mengendalikan masalah kesehatan


Menurut Saryono (2010) ada beberapa manfaat setelah terapi hormone
testosterone yaitu:
1. Emosi dan rasa penghargaan diri membaik
2. Energi secara fisik dan mental meningkat
3. Kemarahan, mudah tersinggung, kesedihan, kelelahan, dan rasa gugup
berkurang
4. Kualitas tidur membaik
5. Libido dan kemampuan seksual meningkat
6. Massa tubuh meningkat dan lemak berkurang
7. Kekuatan otot bertambah
8. Penurunan resiko penyakit jantung
Andropause biasanya diobati dengan pemberian hormon testosteron yang
dilakukan dengan hati-hati dan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan rectal
(anus) dan PSA (Prostat Spesific Antigent), karena dikhawatirkan akan
menimbulkan manifestasi seperti BPH (Benigna Prostat Hiperplasi) dan
Kanker Prostat. Pemeriksaan tersebut disarankan tiap tiga bulan selama
pengobatan testosteron.
Prinsip penatalaksanaan kadar testosterone adalah mempertahankan
kadar testosterone pada nilai normal, terapi diberikan jika kadar testosterone
cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosterone tersebut berada dibawah
nilai normal. Tujuan terapi adalah mempertahankan kadar testosterone tetap
pada rentang nilai normal.

DAFTAR PUSTAKA
Anita N, Moeloek N. 2002. Aspek Hormon Testosteron pada pria usia lanjut
(Andropause), MAI.
Gandaputra, Ellen P dan Raditya Wratsangka. 2001. Andropause :
kemungkinan terapi sulih testosteron pada pria lansia. Vol 20 no 1.
Jurusan Kedokteran Trisakti
Hutapea, Ronald. 2005. Sehat dan Ceria Diusia Senja. PT Rhineka Cipta:
Jakarta

Ilmu Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, hal 1989-1992
Pangkahila, Wimpie. 2006. Seks yang Membahagiakan . Jakarta: Penerbit
Buku
Prawairoharjo, (2004). Menopause dan Andropause., Yayasan Bina Pustaka,
Jakarta
Sarwono, (2003). Menopause dan Andropause. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Saryono, (2010) Andropause; Menopause Laki laki.Jakarta:Nuha Medika
Susilo W, (2002). Andropause, Pencegahan dan Pengobatan. Semarang
Susilo,

(1998).

Andropause/PADAM,

Pencegahan,

Badan

Pengenalan,

Penerbit

Pengobatan

Universitas

dan

Diponegoro,

Semarang,Indonesia.
Setiawan, (2006) Pria dan Andropause, http:// Bkkn.go.id/ Article Detail (15
Mei 2012)
Yatim, (2004) Pengobatan Penyakit Lansia, Andropause, Kelenjar Prostat,
Jakarta
Zen, N Fauziah, Thaib Siti Hildani. 2009. Testosteron dan Kesehatan Pria :
Majalah

Andrologi

Indonesia.

No.31/Th.6/September.

2009/ISSN025-429X, pp:1191-1197
https://www.tanyadok.com/artikel-kesehatan/laki-laki-pun-menopause
http://www.organ+reproduksi.comhttp://organreproduksipadapria.com
.

SOAL
1. Hormon Testosteron dan Androgen dihasilkan oleh
a. Sel Leydig
b. Testis
c. Kelenjar pituitari
d. Folikel de Graff
2. Andropouse disebabkan oleh
a. Penurunan kemampuan fisik
b. Penurunan kemampuan social
c. Penurunan kadar testosterone
d. Penurunan kemampuan seksual

3. Berikut ini yang merupakan faktor risiko sindrom Andropause:


1. Umur
2. Kurang aktivitas
3. Merokok
4. Riwayat Diabetes
5. Riwayat Osteoporosis
a. 1,2,3
b. 1,2,4
c. 1,4.5
d. 2.3,4
4. Terapi Andropause dapat dilakukan dengan cara berikut;
a. tempel di kulit (skin patches)
b. kapsul
c. jel
d. injeksi.
e. Benar semua
5. Kelenjar Kelamin adalah:
a. Kelenjar gonad adalah kelenjar endokrin yang terletak di dalam
organ kelamin baik wanita ataupun pria yang fungsinya adalah
memproduksi sel-sel kelamin dan mengeluarkan hormon-hormon
yang mengendalikan karakteristik seksual sekunder.
b. Zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, disekresikan ke
dalam darah, dan sampai ke sel sasaran di jaringan lain dalam tubuh
tempat hormone tersebut menimbulkan efek fisiologis, mencakup
senyawa yang memiliki kerje autokrin atau parakrin.
c. Zat yang dihasilkan oleh suatu kelenjar endokrin, disekresikan ke
dalam darah, dan sampai ke sel sasaran di jaringan wanita dan pria
tempat hormone tersebut menimbulkan efek fisiologis, mencakup
senyawa yang memiliki kerje autokrin atau parakrin.
d. Kelenjar gonad adalah kelenjar eksokrin yang terletak di dalam
organ kelamin baik wanita ataupun pria yang fungsinya adalah
memproduksi sel-sel kelamin dan mengeluarkan hormon-hormon
yang mengendalikan karakteristik seksual sekunder.

Kelenjar Hipofisis
GIGANTISME
A. Pengertian Kelenjar Hipofisis
Kelenjar Hipofisis merupakan kelenjar berdiameter kira-kira 1 cm dan
beatnya 0,5-1 gram. Hipofisis disebut juga master of glands karena
hipofisis dapat menyekresikan hormon yang dapat mengatur kerja tubuh.
Namun, kelenjar hipofisis juga dipengaruhi oleh hipotalamus. Mekanisme
yang terjadi adalah mekanisme umpan balik yang sangat mempengaruhi
kelenjar yang satu dengan kelenjar yang lain.
Kelenjar hipofisis terletak pada rongga tulang pada basis otak.
Hipofisis terhubung dengan hipotalamus dan dihubungkan dengan tangkai
hipofisis. Hipofisis terbagi menjadi dua bagian, yaitu hipofsis anterior dan
hipofisis posterior. Namun, memang terdapat bagian pars media (Lobus
intermedius) yang berada di antara hipofisis anterior dan posterior yang
pada manusia hampir tidak ada. Lobus anterior, intermedius, dan posterior
kelenjar hipofisis sebenarnya adalah tiga organ endokrin yang kurang lebih

terpisah satu sama lain dan, paling tidak pada beberapa spesies,
mengandung 14 atau zat hormonal aktif. Dipandang dari sudut embriologi,
kedua bagian hipofisis (anterior dan posterior) berasal dari sudut yang
berbeda, hipofisis anterior berasal dari kantong Rathke, dan hipofisis
posterior berasal dari penonjolan hipotalamus. Kedua bagian tersebut
mensekresikan hormon yang bebeda.
B. Fungsi Kelenjar Hipofisis

Produksi hormon pertumbuhan

Peraturan sistem endokrin

Produksi hormon yang mempengaruhi fungsi otot dan ginjal

Produksi hormon yang mengontrol kelenjar endokrin lain

Penyimpanan hormon yang diproduksi oleh hipotalamus

Fungsi Bagian yang berbeda dari hipofisis Gland

C. Besaran Masalah Penyakit Kelenjar Hipofisis secara Umum

Lebih dari 95% kasus, penyebab dari hipersekresi Growth Hormon adalah
adenoma dari hipofisis.

Namun, juga dapat disebabkan oleh lesi diluar hipofisis

yang

prevalensinya kurang dari 1 % antara lain


1. Tumor extra hipofise seperti Pancreatic isletcell tumor
2. Ekses sekresi GHRH central seperti hamartoma hipotalamus, choriostoma,
ganglioneuroma
3. Ekses sekresi GHRH perifer seperti bronchial carcinoid

D. Pengertian Gigantisme

Gigantisme adalah kelainan yang disebabkan oleh karena sekresi


hormone pertumbuhan (HP) atau Growth Hormon (GH) yang berlebihan.
Gigantisme dan akromegali merupakan peningkatan hormone protein
dalam banyak jaringan, meningkatkan penguraian asam lemak dan
jaringan adipose dan kadar glukosa darah.
Kelebihan GH pada masa kanak-kanak, dimana lempeng epifisis
(epiphyseal plate) pada ujung-ujung tulang panjang masih belum tertutup,
akan berakibat timbulnya tubuh raksasa (gigantisme). Apabila kelebihan
GH terjadi setelah dewasa, dimana lempeng epifisisnya sudah menutup
maka yang terjadi adalah akromegali. Pada umumnya pasien gigantisme
juga menunjukkan gambaran akromegali. Penyakit ini jarang sekali,
insiden pasien baru adalah 3-4/1 juta penduduk / tahun. Usia rata-rata pada
saat ditegakkannya diagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.
Peningkatan GH / IGF-1 biasanya akibat tumor hipofisis yang
menghasilkan GH (somatotroph tumor). Penyebab lain yang sangat jarang
adalah peningkatan GHRH (Growth Hormone Releasing Hormone) yang
dihasilkan oleh tumor-tumor hipotalamus dan GHRH / GH ektopik dari
tumor-tumor non endokrin.

E. Etiologi
Pelepasan

hormon

pertumbuhan

berlebihan

hampir

selalu

disebabkan oleh tumor hipofise jinak (adenoma). Dapat juga terjadi


kelainan

hipotalamus

yang

mengarah

pada

pelepasan

hormon

berlebihan. Pelepasan hormon pertumbuhan yang disebabkan tumor


hipofise jinak (adenoma). Dan dapat juga karena kelainan hipotalamus
yang mengarah pada pelepasan growth hormone berlebihan.
1. Kelenjar pituitari tidak memproduksi hormon pertumbuhan dalam
jumlah yang cukup
2. Pubertas
3. Adanya tumor dalam tubuh
4. Pola konsumsi makanan yang buruk sehingga terjadi malnutrisi
5. Genetik
6. Menurunnya kadar hormon tiroid dikarenakan kurangnya konsumsi
iodum
Penyebab gigantisme dan akromegali dapat digolongkan sebagai berikut:
a. GA (Gigantisme Akromegali) Primer atau Hipofisis, dimana
penyebabnya adalah adenoma hipofisis.
b. GA Sekunder atau Hipotalamik, disebabkan oleh karena hipersekresi
GHRH dari Hipotalamus.
c. GA yang disebabkan oleh karena tumor ektopik (paru, pancreas, dll)
yang mensekresi HP atau GHRH.
F. Patogenesis dan Patofisiologis
Sel asidofilik, sel pembentuk hormon pertumbuhan di kelenjar hipofisis
anterior menjadi sangat aktif atau bahkan timbul tumor pada kelenjar
hipofisis tersebut. Hal ini mengakibatkan sekresi hormone pertumbuhan
menjadi sangat tinggi. Akibatnya, seluruh jaringan tubuh tumbuh dengan
cepat sekali, termasuk tulang. Pada Gigantisme, hal ini terjadi sebelum masa

remaja, yaitu sebelum epifisis tulang panjang bersatu dengan batang tulang
sehingga tinggi badan akan terus meningkat (seperti raksasa).
Biasanya

penderta

Gigantisme

juga

mengalami

hiperglikemi.

Hiperglikemi terjadi karena produksi hormone pertumbuhan yang sangat


banyak menyebabkan hormone pertumbuhan tersebut menurunkan pemakaian
glukosa di seluruh tubuh sehingga banyak glukosa yang beredar di pembuluh
darah. Dan sel-sel beta pulau Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif akibat
hiperglikemi dan akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira
10 persen pasien Gigantisme menderita Diabetes Melitus.
Pada sebagian besar penderita Gigantisme, akhirnya akan menderita
panhipopitutarisme bila Gigantisme tetap tidak diobati sebab Gigantisme
biasanya disebabkan oleh adanya tumor pada kelenjar hipofisis yang tumbuh
terus sampai merusak kelenjar itu sendir. Melihat besarnya tumor adenoma
hipofisis dapat dibedakan dalam dua bentuk yakni, mikro adenoma dengan
diameter lebih kecil dari 10 mm dan makro adenoma kalau diameternya lebih
dari 10 mm. Adenoma hipofisis merupakan penyebab paling sering. Tumor
pada umumnya dijumpai disayap lateral sella tursica. Kadang-kadang tumor
ektopik dapat pula dijumpai digaris migrasi rathke pouch yaitu disinus
sfenoidalis dan di daerah para farings.
G. Faktor Resiko dan Determinan
1. Genetik
Munculnya tumor pada kelenjar hipofisis diakibatkan karena adanya
perubahan DNA dari salah satu sel yang mengakibatkan pertumbuhan sel
jadi terlalu cepat.
2. Tumor hipofisis
Pada penderita gigantisme akan merasa lebih nyaman ketika tumor yang
menetap di kelenjar hipofisisnya sudah diangkat tetapi mereka masih dapat
kambuh sewaktu waktu walaupun sudah dilakukan tetapi pembedahan.
H. Kelompok Resiko

Kadar GH meningkat dan kadang-kadang mencapai 400 ng/mL. Pola


sekresi episodik dan arus nokturna dapat terpelihara pada beberapa
penderita. Biasanya tidak ada supresi kadar GH oleh hiperglikemia uji
toleransi glukosa. Mugkin tidak ada respons, respons normal atau respons
paradoks terhadap berbagai rangsangan lain. Misalnya L-dopa dapat secara
paradoks menurunkan kadar GH. Pemberian hormon pelepas tirotropin
mengakibatkan peningkatan kadar GH 3 x lipat pada anak raksasa berusia
5 tahun.
I.

Distribusi Geografis Penyakit


Gigantisme sangat jarang dijumpai. Di Eropa, setiap tahunnya
hanya dilaporkan 3-4 kasus dari 1 juta penduduk. Kejadian antara wanita
dan laki-laki sama. Laporan adanya kasus ini di Indonesia juga sangat
jarang. Prognosis pada pasien gigantisme tergantung pada lamanya proses
kelainan berlangsung dan besarnya tumor.

J.

Trend Waktu terjadinya Penyakit


Angka kejadian gigantisme dan akromegali sekitar 3 permil untuk
semua umur, tetapi lebih banyak pada kelompok umur 30-50 tahun Tidak
jelas ada predisposisi seks ataupun suku. Pernah dilaporkan beberapa
kasus dalam satu keluarga, tetapi umumnya timbul secara sporadik.
K. Signifikansi
Insidensi Gigantisme cukup langka, dengan laporan kasus yang
amat sedikit sampai saat ini. Acromegaly lebih umum daripada giantism,
dengan insiden 3-4 kasus per satu juta orang per tahun dan prevalensi 4070 kasus per juta penduduk.
Peningkatan IGF-I sama pada pria dan wanita.Dalam serangkaian
12 anak-anak, adenoma sekresi GH terjadi dengan rasio perempuan-kelaki-laki dari 1:2. Mengingat ukuran kecil dari seri ini, gangguan ini tidak
akan menampilkan bias seks selama masa kanak-kanak. Gigantisme mulai

berkembang hingga sebelum penutupan epifisis atau sebelum masa


pubertas.
L. Area Penelitian dan Pengembangan
Kepastian diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan hormon
pertumbuhan. Sebagai uji penyaring pemeriksaan SM-G (IGF-1)
kemungkinan dianggap paling baik. CT-Scan kepala. MRI untuk
mengetahui adanya tumor hipofisis makro maupun mikro. Tes supresi
hormon pertumbuhan (GH supresin tes) dengan beban glukosa 100gr.
Dinilai abnormal kalau terdapat kegagalan penekanan sampai dibawah
2g/l.
M. Upaya Pengendalian Pencegahan
Pencegahan terhadap gigantisme tidak diketahui pasti sehingga
mendeteksi gejala sedini mungkin merupakan upaya pencegahan
timbulnya gejala berat dan komplikasi pada penderita.
Hormon pertumbuhan tidak bisa dihentikan tetapi hanya dapat
dikurangi

lalu

perkembanganya

dihambat

agar

kondisi

hormon

pertumbuhan tetap bisaa dalam keadaan yang stabil.


Penatalaksanaan
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah :
a. Menormalkan kembali kadar GH atau IGF-1.
b. Memperkecilkan tumor atau menstabilkan besarnya tumor
c. Menormalkan fungsi hipofisis
Dikenal 3 macam terapi, yaitu:
A.

Terapi pembedahan
Tindakan pembedahan adalah cara pengobatan utama. Dikenal dua
macam pembedahan tergantung dari besarnya tumor yaitu : bedah makro

dengan melakukan pembedahan pada batok kepala (TC atau trans kranial)
dan bedah mikro (TESH atau trans ethmoid sphenoid hypophysectomy).
Cara terakhir ini (TESH) dilakukan dengan cara pembedahan melalui
sudut antara celah infra orbita dan jembatan hidung antara kedua mata,
untuk mencapai tumor hipofisis
B. Terapi radiasi
Indikasi radiasi adalah sebagai terapi pilihan secara tunggal, kalau
tindakan

operasi

tidak

memungkinkan,

dan

menyertai

tindakan

pembedahan kalau masih terdapat gejala akut setelah terapi pembedahan


dilaksanakan.

Radiasi

memberikan

manfaat

pengecilan

tumor,

menurunkan kadar GH , tetapi dapat pula mempengaruhi fungsi hipofisis.


Penurunan kadar GH umumnya mempunyai korelasi dengan lamanya
radiasi dilaksanakan. Eastment dkk menyebutkan bahwa, terjadi
penurunan GH 50% dari kadar sebelum disinar (base line level), setelah
penyinaran dalam kurun waktu 2 tahun, dan 75% setelah 5 tahun
penyinaran.
C.

Pengobatan medis dengan menggunakan octreeotide


Suatu analog somatostatin, juga tersedia. Octreotide dapat
menurunkan supresi kadar GH dan IGF-1, mengecilkan ukuran tumor, dan
memperbaiki gambaran klinis.

DAFTAR PUSTAKA
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk.
Ed. 1. Jakarta : EGC; 2001
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono.
Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk.
Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001..
Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis,
And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998

SOAL
1. Yang merupakan fungsi kelenjar hipofisis adalah:
a. Produksi hormon pertumbuhan
b. Peraturan sistem eksokrin
c. Produksi hormon yang mempengaruhi fungsi jantung
d. Penyimpanan hormon yang diproduksi oleh kelenjar Pituitari
2. Gigantisme adalah
a. Kekurangan GH terjadi setelah dewasa, dimana lempeng epifisisnya
sudah menutup
b. Kelebihan Growth Hormon pada masa kanak-kanak, dimana lempeng
epifisis (epiphyseal plate) pada ujung-ujung tulang panjang masih
belum tertutup.
c. Kelebihan GH terjadi setelah dewasa, dimana lempeng epifisisnya
sudah menutup
d. Kekurangan Growth Hormon pada masa kanak-kanak, dimana lempeng
epifisis (epiphyseal plate) pada ujung-ujung tulang panjang masih
3.

belum tertutup
Faktor resiko dan determinan gigantisme
a. Genetik

b. Tumor Adrenal
c. Tumor Payudara
d. Kanker Tulango
4. Gigantisme jarang ditemui, dalam 1 tahunnya ada 3-4 kasus terjadi di
a. Indonesia
b. Eropa
c. Amerika
d. Asia
5. Terapi terhadap gigantisme dapat dilakukakan dengan 3 cara antara lain:
a. Terapi Pembedahan, Suntikan, Kapsul
b. Injeksi, Terapi Octreotide, Terapi pembedahan
c. Terapi Pembedahan, Terapi Octreotide, Terapi radiasi
d. Terapi Radiasi, Injeksi, Pil

Anda mungkin juga menyukai