Anda di halaman 1dari 53

BAB III

PEMBAHASAN

Pelaksanaan praktik Profesi Ners secara umum berjalan dengan lancar, ada

beberapa hal yang menjadi faktor pendukung dan beberapa yang lain menjadi

faktor penghambat. Namun semua faktor penghambat dapat diatasi dengan baik,

sehingga kompetensi selama praktik profesi baik kompetensi akademik maupun

kompetensi individu dapat dicapai secara keseluruhan. Adapun penjelasan dari

faktor pendukung dan faktor penghambat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

A. Area Ketrampilan Dasar Profesi I

Ketrampilan dasar profesi adalah langkah awal bagi praktikan untuk memulai

praktik di lapangan. Praktikan diharapkan mampu menentukan gangguan

kebutuhan dasar yang terjadi pada pasien dan melaksanakan tindakan-

tindakan dasar keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.

Praktikan juga diharapkan mampu menggunakan pendekatan proses

keperawatan sebagai dasar analisis kegiatan yang dilakukan disetiap tindakan.

Keterampilan dasar profesi difokuskan untuk mengasah kemampuan

praktikan agar mampu bersikap dan bertindak sebagai perawat profesional.

Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan melakukan analisis

gangguan kebutuhan dasar pasien dan keluarga, bersikap caring disetiap

kesempatan memberikan asuhan keperawatan, membina hubungan

interpersonal kepada pasien dan keluarga, memberikan asuhan saat pasien

dan keluarga mengalami gangguan fisik dan emosional (AIPNI, 2014).

34
35

Praktik klinik area kebutuhan dasar manusia bertujuan supaya praktikan

mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan

kebutuhan dasar secara komprehensif yang meliputi asuhan keperawatan pada

pasien dengan gangguan istirahat tidur, personal hygiene, gangguan

oksigenasi, gangguan nutrisi, gangguan cairanan dan elektrolit, gangguan

eliminasi, gangguan mobilisasi dan aktivitas fisik, gangguan kenyamanan

(nyeri), serta gangguan psikososial dan spiritual.

Kompetensi khusus yang dicapai pada praktik kebutuhan dasar manusia yaitu

asuhan keperawatan pasien yang membutuhkan bantuan dalam hal kebutuhan

dasar manusia. Asuhan keperawatan pada praktik klinik area kebutuhan dasar

ini pratikan mendapatkan beberapa kasus pasien di Ruang Teratai (anak)

RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo dan IGD RSUD H. Koesnadi

Bondowoso. Pada KDP I praktikan melaksanakan praktik kebutuhan dasar

manusia di Ruang Teratai RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo. Praktikan

mendapatkan kasus seminar tentang asuhan keperawatan pada An. L dengan

Ileus Obstruksi, masalah keperawatan utama adalah nyeri akut berhubungan

dengan adanya obstruksi usus ditandai dengan nyeri tekan perut bagian

bawah (skala 4) dan distensi abdomen, yang merupakan masalah gangguan

kenyamanan (nyeri).

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat

sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal

skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan

atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, A., 2006).


36

Berdasarkan teori dan fakta diatas bahwa nyeri yang dialami pasien karena

mengalami obstruksi pada usus. Dimana sumbatan usus dan distensi usus

yang menyebabkan rangsangan terjadinya hipersekresi kelenjar pencernaan.

Dengan demikian akumulasi cairan dan gas makin bertambah yang

menyebabkan distensi usus yang meningkat (hiperperistaltik) sebagian usaha

alamiah. Sebaliknya juga terjadi gerakan anti peristaltik. Hal ini

menyebabkan terjadi serangan nyeri kolik abdomen dan muntah-muntah.

Menurut praktikan hal tersebut membutuhkan tindakan keperawatan yang

dikolaborasikan karena melihat kondisi keparahan pasien yaitu tindakan

dekompresi lambung dengan pemasangan NGT dan menganjurkan pasien

melakukan teknik relaksasi nafas dalam dan distraksi kompres air hangat.

Penerapan terapi NGT tersebut menurut praktikan membutuhkan

pendampingan dari perawat rumah sakit yang menjadi lahan praktik, sehingga

pada waktu praktikan dapat melaksanakan NGT secara baik dan benar. Hasil

evaluasi dari praktikan setelah dilakukan kompres air hangat dan nafas dalam

serta pemasangan NGT tersebut dapat memenuhi beberapa dari kriteria hasil

yang telah ditentukan yaitu berkurangnya tanda-tanda terjadinya nyeri.

Selama melakukan praktik KDP I praktikan menemui banyak kendala karena

praktik KDP I ini merupakan pengalaman pertama bagi praktikan dalam

menjalankan kegiatan praktik klinik. Kendala yang dilalui pada saat KDP I

yaitu praktikan sedikit canggung karena baru pertama kali masuk dalam lahan

praktik. Banyak kesulitan yang dihadapi terutama pada saat melakukan

tindakan keperawatan sehingga praktikan dibatasi dalam melakukan tindakan

keperawatan di ruangan oleh pembimbing klinik karena sebelumnya


37

praktikan di kampus hanya diajarkan cara-cara tindakan melalui manequen,

hal itu membuat praktikan belum optimal dalam mendapatkan perasat di

ruangan. Serta kurangnya pengetahuan praktikan tentang pendokumentasian

asuhan keperawatan karena area KDP I merupakan praktik klinik awal

mahasiswa dan dalam proses pre post conference praktikan merasa

kebingungan.

Dukungan proses bimbingan dari pembimbing akademik yang dilakukan

sebanyak 2 kali dalam seminggu sehingga praktikan lebih banyak memahami

tentang asuhan keperawatan dan cara mengakji pasien mulai dari analisa data,

penegakkan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi sampai dengan

evaluasi dan pembimbing klinik sangat membantu dan mampu memberikan

pengetahuan kepada praktikan.

B. Area Ketrampilan Dasar Profesi II

Kompetensi khusus yang harus dicapai dalam praktik KDP II sama dengan

praktik KDP I, namun kasus yang diambil adalah masalah kebutuhan dasar

yang belum diambil di praktik KDP I. Pada KDP II praktikan mendapatkan

kasus seminar tentang asuhan keperawatan pada Ny. A diagnosa medis CVA

Infark masalah kebutuhan aktivitas dengan masalah keperawatan utama

gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparase dextra ditandai

dengan pemenuhan ADL dibantu dan kekuatan otot ekstremitas atas dan

bawah bagian kanan 3 sedangkan ekstremitas atas dan bawah bagian kiri 5.
38

Aktivitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian

bagi seseorang (Ansari, 2011). Aktivitas diperlukan untuk meninngkatkan

kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif

dan untuk aktualisasi. Aktivitas menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat

nafas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal

(Mubarak & Chayatin, 2008). Penanganan pasien CVA Infark tersebut

dilakukan latihan mobilisasi atau rehabilitasi dini di tempat tidur yang

bertujuan untuk mencegah terjadinya kekakuan (kontraktur) dan kemunduran

pemecahan kekakuan (dekondisioning), mengoptimalkan pengobatan

sehubungan masalah medis dan menyediakan bantuan psikologis pasien dan

keluarganya (Junaidi, 2006). Latihan mobilisasi Range Of Motion (ROM)

merupakan latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi

dan pergerakan otot, dimana pasien menggerakkan masing-masing

persendiannya sesuai gerkan normal baik secara aktif ataupun pasif. ROM

baik pasif maupun aktif memberikan efek pada fungsi motorik pada anggota

ekstremitas atas pada pasien pasca stroke (Chaidir & Ilma, 2014).

Pasien dengan masalah aktivitas khususnya pada pasien CVA Infark dengan

kondisi mengalami hemiparase yang terjadi akibat ketidakefektifan perfusi

jaringan yang disebabkan oleh trombus dan emboli yang menyebabkan

iskemik pada jaringan yang tidak dialiri oleh darah, jika hal ini berlanjut

terus-menerus maka akan mengganggu sistem persyarafan sehingga tubuh

akan mengalami gangguan mobilisasi fisik. Hal tersebut menurut praktikan

membutuhkan tindakan keperawatan yang dikolaborasikan karena melihat

kondisi keparahan pasien yaitu tindakan latihan mobilisasi Range Of Motion


39

(ROM) yang paling efektif. Penerapan ROM tersebut menurut praktikan

membutuhkan pendampingan dari perawat rumah sakit yang menjadi lahan

praktik, sehingga pada waktu praktikan dapat melaksanakan latihan ROM

secara baik dan benar. Hasil evaluasi dari praktikan setelah dilakukan latihan

ROM tersebut dapat memenuhi beberapa dari kriteria hasil yang telah

ditentukan yaitu tidak terjadinya kekakuan sendi.

Kendala yang dihadapi praktikan selama menjalani praktik di area kebutuhan

dasar manusia ini muncul baik dari instansi tempat praktik, praktikan itu

sendiri dan dari dosen pembimbing akademik. Adanya ketidakseragaman

presepsi terkait penentuan diagnosa keperawatan yang baku berdasarkan

beberapa referensi panduan yang berbeda menjadi masalah kami dalam

menjalankan praktik area ketrampilan dasar profesi.

Masalah yang muncul tersebut tidaklah berarti karena adanya faktor

pendukung yaitu komunikasi yang baik antara praktikan dengan pihak

instansi tempat praktik maupun dosen pembimbing akademik sehingga

masalah perbedaan persepsi dapat teratasi. Selain itu pembimbing klinik juga

mendukung praktikan dalam memberikan bimbingan secara teoritis yang

dikombinasikan dengan bukti dalam kasus nyata sehingga praktikan mampu

menyerap informasi dengan baik sebagai bekal praktikan dalam

pendokumentasian yang baik dan benar.


40

C. Area Keperawatan Anak

Keperawatan anak merupakan suatu asuhan keperawatan yang unik dimana

kompetensi yang harus dicapai adalah memberikan asuhan keperawatan

sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya pada anak yang sakit akut, sakit

kronis dan sakit yang mengancam kehidupan. Keperawatan anak dilakukan

dengan mengaplikasikan berbagai konsep, prinsip, teori dan model

keperawatan anak dalam berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan

mengintegrasikan berbagai ilmu dasar keperawatan terkait lainnya,

menampilkan teknik komunikasi terapeutik pada anak dan keluarga,

menerapkan konsep perawatan anak yang berfokus pada Family Centred,

menerapkan konsep atraumatic care dalam melakukan intervensi (misal

terapi bermain), serta mampu memberikan pendidikan kesehatan pada anak

dan keluarga (Wong, 2005).

Prinsip dasar keperawatan anak meliputi anak bukan miniature orang dewasa.

Berdasarkan tumbuh kembang anak, bersifat holistik, asuhan keperawatannya

menggunakan pendekatan per sistem. Fokus keperawatan anak bukan hanya

ditujukan pada anak yang sakit namun juga keluarganya. Atraumatic care

atau asuhan yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarga

merupakan asuhan yang terapeutik karena bertujuan untuk terapi bagi anak

(Rohmah, 2014).

Selama praktik keperawatan anak kompetensi yang telah dilaksanakan oleh

praktikan adalah melakukan asuhan keperawatan pada By. Ny. S dengan

Asfiksia Neonatorum masalah keperawatan utama ketidakefektifan pola nafas


41

yang berhubungan dengan disfungsi neuromuscular ditandai dengan

respiratori 62 kali per menit, retraksi dinding dada ringan, score down 2 dan

terpasang oksigen nasal canul 1 liter per menit.

Stres hipoksia mengakibatkan fetus yang telah mencapai masa matur dimana

saluran gastrointestinalnya juga matur. Terstimulasi vagal dari kepala atau

penekanan pusat menyebabkan peristalsis dan relaksasi sfingter ani, sehingga

menyebabkan keluarnya mekonium. Mekonium dapat mengiritasi kulit fetus,

kemudian meningkatkan insiden eritema toksikum. Bagaimanapun,

komplikasi yang paling berat dari keluarnya mekonium dalam uterus adalah

aspirasi cairan amnion yang tercemar mekonium sebelum, selama, maupun

setelah kelahiran (Manuaba, 2010).

Aspirasi cairan amnion mekonial ini akan menyebabkan hipoksia melalui 4

efek utama pada paru, yaitu obstruksi jalan nafas (total maupun parsial),

disfungsi surfaktan, pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal. Mekonium

menonaktifkan surfaktan dan juga menghambat sintesis surfaktan. Beberapa

unsur mekonium, terutama asam lemak bebas (seperti asam palmitat, asam

oleat), memiliki tekanan permukaan minimal yang lebih tinggi dari pada

surfaktan dan melepaskannya dari permukaan alveolar, menyebabkan

atelektasis yang luas (Manuaba, 2010).

Teori diatas menunjukkan bahwa masalah ketidakefektifan pola nafas pasien

muncul akibat cairan ketuban mekoneal yang teraspirasi oleh pasien sehingga

menurunkan fungsi surfaktan, dimana fungsi surfaktan membantu paru tetap

berkembang, saat fungsi surfaktan terganggu akan muncul tanda pernapasan


42

pasien yang cepat artinya pasien sesak dengan tampak retraksi dada oleh

karena itu pasien perlu dilakukan sniffing position untuk memperlancar

oksigen masuk ke paru-paru selain itu pasien juga perlu diberikan tindakan

kolaborasi yaitu pemberian terapi oksigen. Setelah dilakukan tindakan dalam

2 x 24 jam pasien menunjukkan pemulihan yang ditandai dengan nilai

respiration rate dalam batas normal antara 40-60 kali per menit dan tidak ada

retraksi dada, namun masih perlu pengawasan ketat dari nilai score down

sehingga terapi masih dilanjutkan sampai klien menunjukkan kondisi yang

stabil.

Pada area ini praktikan juga melakukan presentasi jurnal dan menilai jurnal

tersebut tentang tingkat kevaliditas atau tingkat kelayakan berdasarkan level

evidence nya. Tema judul yang dipresentasikan yaitu “The Effect of

Acupressure On Cancer-Related Fatigue Among School-Aged Children With

Acute Lymphoblastic Leukemia”. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa

akupresur dapat mengurangi intensitas kelelahan di antara anak-anak dengan

Leukemia Limfoblastik Akut (ALL) pada 1 hari paska perawatan. Sesuai

dengan hasil penelitian, bahwa akupresur merupakan metode non-

farmakologis yang efektif untuk mengontrol CRF, sehingga perawat dapat

menerapkan satu waktu tehnik akupresur dimana tehnik ini tidak memiliki

efek jangka panjang.

Kendala yang dialami oleh praktikan adalah di Ruang Perinatologi banyak

kompetensi yang diwajibkan namun sedikit waktu yang bisa dilakukan

praktikan untuk mencapainya dikarenakan praktikan dalam praktiknya


43

diberikan tugas sebagai pembuat susu yang sebenarnya adalah tugas dari juru

rawat yang sudah ada, namun juru rawat kurang maksimal dalam bertugas

dan melimpahkan tugas tersebut kepada praktikan sehingga praktikan

kesulitan mengatur waktu untuk mengejar target kompetensi dikarenakan

kewalahan mengerjakan kompetensi yang tidak seharusnya. Dan praktikan

tidak diperbolehkan memberikan terapi injeksi intravena pada bayi serta

sulitnya mendapatkan informasi tentang kondisi awal pasien terutama saat

berada di ruang perinatologi. Selain itu di area keperawatan anak praktikan

juga tidak diperbolehkan melakukan tindakan memasang infuse khususnya

pada bayi sehingga praktikan tidak memiliki skill untuk memasang infuse

pada bayi. Hambatan lainnya adalah praktikan sulitnya mendapatkan

persetujuan pada lembar pengesahan dari pembimbing akademik, sehingga

ujian gerbong departemen anak tidak dapat dilaksanakan susuai jadwal yang

sudah ditentukan oleh akademik atau fakultas.

Faktor pendukung pada area keperawatan anak adalah memiliki pembimbing

akademik dan pembimbing klinik yang kompeten dibidangnya, kesediaan

perawat ruangan untuk bekerja sama dengan praktikan, kesempatan untuk

memberikan tindakan keperawatan oleh praktikan, serta kerja sama dari para

keluarga yang kooperatif sehingga pelaksanaan praktik dapat berjalan dengan

lancar. Penerapan asuhan keperawatan kepada pasien anak yang dilaksanakan

sesuai dengan standar yang berlaku atau secara kreatif dan inovatif sangat

bermanfaat bagi praktikan saat menemukan kasus yang sama. Selain itu di

Ruang Poli Anak disediakan fasilitas KPSP dan sarana penyuluhan yang

memadai. Di Ruang Anak terdapat ruangan khusus untuk terapi bermain yang
44

bisa dimanfaatkan praktikan untuk memberikan terapi bermain kepada anak

yang dirawat di Ruang Anak. Pembimbing resusitasi BBL dan pengukuran

Ballard Score benar-benar dilakukan dengan support penuh oleh kepala ruang

Perinatologi sehingga praktikan memahami dan bisa mempraktikan secara

langsung.

D. Area Manajemen Keperawatan

Fokus praktik manajemen keperawatan pada pengelolaan praktik klinik

kepemimpinan dan manajemen keperawatan di ruang rawat untuk memenuhi

pencapaian kompetensi melalui aplikasi mengintegrasikan fungsi-fungsi

kepemimpinan dan manajemen pada lingkup manajemen pelayanan dan

manajemen asuhan keperawatan pada ruang rawat yang merupakan tatanan

pelayanan kesehatan yang nyata (Asmuji, 2012). Tujuan pada area ini adalah

diharapkan praktikan mampu mengelola manajemen asuhan dan manajemen

pelayanan keperawatan tingkat dasar secara profesional dengan

pengintegrasian kemampuan kepemimpinan secara efektif.

Praktikan menerapkan konsep, teori dan prinsip-prinsip manajemen

keperawatan dan mengintegrasikan konsep kepemimpinan dalam pengelolaan

manajemen asuhan keperawatan pada pasien di ruang rawat di suatu tatanan

pelayanan kesehatan secara profesional dengan menjalankan peran (role play)

sebagai kepala ruangan, ketua tim atau perawat pelaksana sehingga mampu

melakukan kegiatan-kegiatan timbang terima (operan) pasien dengan perawat

antar shift, melaksanakan pre and post conference asuhan keperawatan

dengan sesama perawat, melaksanakan ronde keperawatan dengan anggota


45

tim.

Kompetensi akademik yang telah dicapai pada area manajemen keperawatan

adalah penerapan model asuhan keperawatan profesional dengan 6 kegiatan

meliputi timbang terima, supervisi, case conference, audit dokumentasi, role

play. Dalam praktik keperawatan manajemen ini praktikan melakukan Grand

Kegiatan tentang Upaya Optimalisasi Manajemen Keperawatan dengan

Pendekatan MPKP di Ruang Dahlia RSD Balung Jember. Grand kegiatan

dilakukan dalam bentuk Workshop penyusunan SAK 10 masalah keperawatan

terbanyak di Ruang Dahlia dan SOP sebanyak 15. Penerapan Model Praktek

Keperawatan Profesional di Ruang Dahlia telah berjalan dengan baik namun

dalam berjalannya kegiatan tersebut terdapat beberapa kekurangan dan

masalah, hal tersebut dijadikan diagnosa oleh praktikan yang mencoba

menyelesaikannya melalui kegiatan role play dan grand kegiatan sehingga

tercipta pelaksanaan model konsep keperawatan yang sesuai dengan yang

diharapkan yakni menjalankan 4 pilar utama yakni manajemen,

compensatory and rewards, hubungan profesional dan asuhan keperawatan

pada tiap pemegang jabatan.

Mutu pelayanan keperawatan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan

kesehatan, bahkan menjadi salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan

kesehatan (rumah sakit) di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena

keperawatan merupakan kelompok profesi dengan jumlah terbanyak, paling

depan dan terdekat dengan pasien. Salah satu indikator mutu layanan

keperawatan adalah kepuasan pasien yang salah satunya ditentukan oleh


46

peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien

(Adeline, 2010). Untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan yang

berkualitas sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, berbagai upaya telah

dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Dalam pencapaian

tujuan tersebut salah satunya adalah peningkatan mutu keperawatan di rumah

sakit, dimana dalam penerapan peningkatan mutu perlu adanya manajemen

keperawatan (Asmuji, 2012)

Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang

secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang

berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya

hidup berubah. Menurut praktikan unsur penting dalam sistem keperawatan

adalah model praktik keperawatan profesioanal yang dapat diterapkan dalam

pemberian asuhan keperawatan. Perawat memberi asuhan keperawatan

kepada pasien termasuk individu, keluarga dan masyarakat. Perawat

menerima tanggung jawab untuk membuat keadaan lingkungan fisik, sosial

dan spiritual yang memungkinkan untuk penyembuhan dan menekankan

pencegahan penyakit, serta meningkatkan kesehatan dengan penyuluhan

kesehatan. Oleh karena itu wajib diketahui oleh seorang perawat yang

profesional, sehingga profesi keperawatan mampu memilih dan menerapkan

Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) yang paling tepat bagi

pasien. Sehingga diharapkan nilai profesional dapat diaplikasikan secara

nyata, sehingga meningkatkan mutu asuhan dan pelayanan keperawatan.


47

Berdasarkan teori dan aplikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa praktik

manajemen keperawatan dilakukan supaya praktikan mampu menerapkan

Model Praktik Keperawatan Profesional dengan metode tim secara langsung

di lapangan dengan mempraktikkan masing-masing peran secara merata bagi

masing-masing praktikan. Dengan praktik secara langsung praktikan

memperoleh pengalaman nyata sekaligus ilmu sehingga praktikan mampu

memahami kondisi kepemimpinan di suatu ruangan dan membandingkannya

dengan konsep teori yang seharusnya.

Hambatan untuk melakukan praktik manajemen keparawatan di Ruang

Dahlia adalah kurangnya koordinasi antara praktikan dengan perawat ruangan

dalam pelaksanaan role play hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan role play

tidak maksimal karena perawat ruangan belum bisa membiasakan alur operan

yang benar sesuai MPKP, minimnya bimbingan yang intensif dari

pembimbing klinik sehingga praktikan mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan tugas–tugas yang diberikan serta minimnya pengetahuan

tentang analisis SWOT terhadap suatu ruangan dan tidak ada bimbingan

intensif tentang hal tersebut sehingga praktikan mengubah metode analisis

SWOT menjadi analisis prosentase yang lebih mudah.

Faktor pendukunya adalah adanya kerja sama yang baik antara praktikan

dengan kepala ruangan, perawat serta dengan staf ruangan lainnya dan klien

atau keluarga dalam pelaksanaan kebutuhan sarana prasarana ataupun dalam

kegiatan-kegiatan yang lain, sehingga semua proses dapat dilalui dengan baik.

Faktor pendukung lainnya yaitu adanya bimbingan yang intensif dari


48

pembimbing klinik terkait dengan penyusunan laporan serta langkah-langkah

dilakukannya beberapa kegiatan pada saat role play sehingga semua proses

dapat dilalui dengan baik.

E. Area Keperawatan Komunitas

Keperawatan komunitas dalam praktiknya terbagi menjadi dua, praktik di

Puskesmas dan praktik di masyarakat secara langsung. Kompetensi khusus

yang harus dicapai pada praktik puskesmas yaitu mampu mengidentifikasi

masalah dan kendala setiap program yang ada di puskesmas. Puskesmas

adalah upaya meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan

penyakit serta memulihkan kesehatan. Program yang dilaksanakan dalam

puskesmas sesuai dengan program Dinas Kesehatan yaitu program KIA atau

KB, program Gizi, promosi kesehatan, pelayanan pengobatan, program

pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan (Depkes, 2011).

Sedangkan program pengembangan yang telah dilakukan yaitu program

UKS, pelayanan lansia, kesehatan jiwa, PHN dan program kesehatan gigi dan

mulut.

Pelayanan kesehatan dan keperawatan pertama masyarakat adalah puskesmas.

Praktikan memiliki kesempatan menggali informasi melalui praktik

komunitas puskesmas ini bertujuan agar praktikan memiliki keterampilan dan

kemampuan yang siap menjalankan tugas-tugas dalam praktik puskesmas

secara nyata di masa mendatang. Kompetensi dalam praktik area keperawatan

puskesmas adalah praktikan mampu menerapkan konsep tugas pokok dan

pengembangan puskesmas. Praktikan diharapkan juga mampu menerapkan


49

konsep dan teori komunitas (puskesmas). Dalam praktik komunitas

puskesmas ini praktikan melakukan beberapa tugas pokok pengembangan

puskesmas yang dilaksanakan di Puskesmas Jember Kidul. Praktikan

mengikuti beberapa kegiatan yang sudah diterapkan di puskesmas seperti

kegiatan pelayanan kesehatan KIA atau KB mulai dari kesehatan ibu hamil,

ibu menyusui, ibu nifas, anak sehat dan anak sakit. Selain itu dilaksanakan

pula kegiatan penyuluhan gizi, promosi kesehatan diare, DBD, penggunaan

KB bahaya merokok dan rumah sehat, pelayanan pengobatan pasien TB Paru,

kegiatan surveilence penyakit menular dan kesehatan lingkungan

pemberantasan jentik nyamuk serta kunjungan rumah teradap pasien TB Paru

dan ibu post natal.

Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling

dekat dengan masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit

pelayanan kesehatan lainnya (Rumah Sakit). Puskesmas adalah

pengembangan pelayanan kesehatan yang menyeluruh seiring dengan

misinya. Pelayanan kesehatan tersebut harus bersifat menyeluruh atau yang

disebut dengan Comprehensif Health Care Service yang meliputi aspek

promotif, preventif, curatif dan rehabilitatif. Prioritas yang harus

dikembangkan oleh puskesmas harus diarahkan kebentuk pelayanan

kesehatan dasar (Basif Health service) lebih mengedepankan upaya promosi

dan pencegahan (Public Health Service). Tujuan pembangunan kesehatan

yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan

pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di
50

wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat (Notoatmodjo, 2010).

Pengembangan puskesmas selaras dengan tujuan dari pencapaian program

studi ners dimana untuk menghasilkan lulusan yang memiliki semangat yang

ditanamkan dalam hati untuk mewujudkan Indonesia Sehat dengan

melaksanakan beberapa kegiatan dalam program puskesmas. Dalam wadah

layanan kesehatan masyarakat puskesmas lulusan ners dapat menjadi pihak

pertama yang memberi layanan kepada masyarakat akan kebutuhan

kesehatannya sehingga sikap profesional lulusan ners dalam memberikan

asuhan keperawatan di wilayah kerja suatu puskesmas akan mencerminkan

kondisi kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.

Pelaksanakan pelayanan asuhan keperawatan komunitas (puskesmas)

memiliki masalah mulai dari masalah sederhana sampai yang kompleks.

Masalah tersebut muncul ketika program praktikan kurang diterima oleh

beberapa kelompok masyarakat, namun masalah tersebut dapat diatasi secara

tuntas melalui pendekatan proses keperawatan baik bersifat promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai batas kewenangan, tanggung jawab

dan kemampuan berlandaskan etika profesi keperawatan.

Faktor pendukung pada area keperawatan komunitas (puskesmas) adalah

kerja sama yang baik antara pihak puskesmas Jember Kidul serta

pembimbing akademik yang memberikan arahan dan bimbingannya dalam

penyusunan laporan sehingga maksud dan tujuan program yang dibentuk oleh

praktikan dapat tersampaikan dengan baik ke masyarakat yang merupakan


51

pasien bagi praktikan.

Praktikan juga melaksanakan praktik komunitas di Desa Pakis Kecamatan

Panti Kabupaten Jember selama satu bulan dengan kompetensi yang

didapatkan adalah mengelola masyarakat sebagai individu, keluarga ataupun

komunitas. Program-program pengembangan kesehatan di lingkungan

masyarakat di lahan praktik tersebut sangat memberikan manfaat bagi

masyarakat dan mampu terus dilanjutkan oleh masyarakat setelah masa

praktik selesai. Masalah yang didapatkan di desa tersebut mayoritas

pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Jadi praktikan menyusun agenda

untuk melakukan penyuluhan-penyuluhan di lingkungan sekolah, lingkungan

masyarakat seperti pengajian, ibu-ibu PKK dan posyandu. Praktik komunitas

yang telah dilaksanakan praktikan terbagi dalam dua pokok kerja yaitu Pokja

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta Pokja Rumah Sehat.

Teori yang menjelaskan tentang komunitas adalah sekelompok masyarakat

yang mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang

merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan

norma dan nilai yang telah melembaga (Sumijatun dkk, 2006). Keperawatan

komunitas adalah bidang keperawatan yang merupakan perpaduan antara

keperawatan dan kesehatan masyarakat (public health) dengan dukungan

peran serta masyarakat secara aktif serta mengutamakan pelayanan promotif

dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan kuratif

dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada

individu, keluarga, kelompok serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui


52

proses keperawatan (nursing process) untuk meningkatkan fungsi kehidupan

manusia secara optimal, sehngga mampu mandiri dalam upaya kesehatan

(Mubarak, 2006).

Keperawatan kesehatan komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional

yang ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada kelompok risiko

tinggi, dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui

pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan dengan menjamin

keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan pasien

sebagai mitra dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan

keperawatan (Clark, 2009).

Perawat lulusan ners tidak hanya berperan secara profesional dalam tatanan

klinik tetapi juga dalam masyarakat untuk memberikan asuhan keperawatan.

Asuhan keperawatan di masyarakat dilakukan perawat ners dalam lingkup

komunitas dengan berbagai ras dan budaya. Kita sebagai perawat tidak boleh

menghapus budaya tersebut tetapi harus menghargai budaya yang ada di

masyarakat dengan mendukung selama budaya tersebut masih sesuai dengan

tujuan kesehatan masyarakat. Dalam hal ini perawat ners memiliki

keterampilan yang profesional untuk menghadapi tantangan pola kesehatan di

komunitas.

Hambatan pada area komunitas adalah mengalami kesulitan dalam

melakukan pendekatan pada masyarakat sekitar dan sulitnya menyamakan

persepsi antara visi misi praktikan dengan masyarakat. Serta kinerja anggota

kelompok yang kurang maksimal, sehingga pembagian kerja dalam kelompok


53

menjadi kurang efektif dan wilayah praktek profesi area ini yang kurang

efektif dan efisien. Alternatif pemecahan masalahnya adalah meningkatkan

solidaritas anggota kelompok dengan pembagian tugas yang jelas sehingga

program dapat dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan pembagian tugas

setiap individu dan sebaiknya pihak akademik dapat memilihkan wilayah

praktek profesi komunitas yang dekat sesuai dengan target kurikulum yang

harus dicapai oleh praktikan.

Faktor pendukung pada area keperawatan komunitas adalah kebijakan dari

pihak Kepala Puskesmas Panti dan petugas kesehatan penanggung jawab

wilayah yang menempatkan praktik komunitas ini di Desa Pakis merupakan

wilayah yang mudah dijangkau. Kerjasama dengan staf desa, tokoh

masyarakat, tokoh agama dan penduduk yang ramah mau menerima

kehadiran ikanprakt.

F. Area Keperawatan Keluarga

Fokus praktik profesi keperawatan keluarga adalah memberikan layanan atau

asuhan pada tiap tahapan tumbuh kembang keluarga meliputi pasangan

keluarga baru menikah, keluarga baru dan balita, keluarga dengan anak usia

sekolah, keluarga dengan remaja, keluarga dengan ibu hamil dan menyusui,

keluarga dengan lansia, serta masalah keluarga terkait dengan masalah

kesehatan.

Tujuan akhir setelah menyelesaikan cabang ilmu ini praktikan mampu

menerapkan konsep keluarga sejahtera dan adaptasi keluarga sesuai tahapan


54

tumbuh kembang keluarga dalam pelayanan atau asuhan keperawatan

keluarga dengan mengembangkan rasa percaya diri dalam melakukan asuhan

keperawatan keluarga. Praktikan diharapkan juga mampu menerapkan konsep

teori, prinsip ilmu perilaku, ilmu sosial, ilmu biomedik dan ilmu keperawatan

dalam melaksanakan pelayanan dan atau asuhan keperawatan kepada

keluarga, melaksanakan asuhan keperawatan keluarga sesuai dengan tahapan

tumbuh kembang keluarga, melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan

keluarga dari masalah sederhana sampai yang kompleks secara tuntas melalui

pendekatan proses keperawatan baik bersifat promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif.

Praktik area keperawatan keluarga berlangsung bersamaan dengan praktik

area keperawatan komunitas. Kompetensi yang dicapai pada area ini adalah

asuhan keperawatan pada kasus Ny. M dengan hipertensi. Dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan keluarga ditemukan diagnosis keperawatan keluarga

yaitu masalah risiko ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan yang

berhubungan dengan sumber daya tidak cukup. Pengkajian yang mendukung

terjadinya kasus penyakit pasien dalam keluarga dikarenakan kurangnya

keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang dikarenakan letak geografis

yang cukup jauh dan minimnya penghasilan yang membuat pasien

mengkonsumsi obat warung sehingga praktikan memberikan pendidikan

kesehatan tentang hipertensi dan penatalaksaaannya serta pentingnya

pemeriksaan kesehatan di pelayanan kesehatan bagi kesehatan individu dan

keluarga dan juga memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk meringankan

atau mengatasi hipertensi seperti konsumsi mentimun setiap hari.


55

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di

bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Fungsi perawatan

kesehatan pada keluarga adalah kemampuan keluarga untuk merawat anggota

keluarga yang mengalami masalah kesehatan (Depkes RI, 2016). Berdasarkan

fungsi keluarga tersebut kasus pada pasien yang menderita hipertensi

memerlukan manajemen kesehatan yang baik karena setiap anggota keluarga

pasti membutuhkan perlindungan dari penyakit. Oleh karena itu pelaksanaan

asuhan keperawatan keluarga dapat terlaksana dengan baik apabila keluarga

ikut serta dalam meningkatkan kesehatan masing-masing anggotanya dengan

saling memperhatikan kesehatan dan merawat anggota keluarga apabila ada

yang sedang sakit.

Keefektifan manajemen kesehatan keluarga berhasil diterapkan apabila proses

pemberian asuhan berjalan dengan baik dan keluarga sangat antusias

mendengarkan dan memahami masalah hipertensi dan penatalaksaannya serta

pentingnya pemeriksaan kesehatan di pelayanan kesehatan, walaupun mereka

belum bisa melaksanakan karena terbentur dengan masalah perhatian

kesehatan keluarga yang kurang baik dan minimnya penghasilan, solusi yang

coba praktikan tawarkan adalah dengan membiasakan pola makan sesuai diet

hipertensi serta mengoptimalkan pemanfaatan sarana kesehatan terdekat

seperti posyandu lansia dan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan

mengkonsumsi mentimun yang berfungsi untuk meringankan atau mengatasi

hipertensi.
56

Pelaksanaan praktik di area ini pernah mengalami hambatan ketika proses

melakukan identifikasi masalah pada beberapa anggota keluarga. Pada waktu

itu penyebaran dalam proses pengidentifikasian dan penyuluhan kurang

merata diseluruh tempat karena kondisi fisik lokasi yang kurang

memungkinkan untuk sampai kesana. Serta kurangnya bimbingan akademik

sehingga mengalami kesulitan dalam proses pengakajian sampai evaluasi.

Faktor pendukung dalam praktik di area keperawatan keluarga ini adalah

kooperatifnya beberapa keluarga dalam mengisi angket identifikasi masalah

keluarga yang diberikan oleh praktikan kepada beberapa keluarga di desa

tempat praktikan survei. Sikap warga yang kooperatif sangat membantu

warga yang lain dalam kesanggupannya untuk ikut berpartisipasi dalam

program kesehatan yang diperuntukkan untuk asuhan keperawatan pada

keluarga yang telah dibuat oleh praktikan. Pelaksanaan praktik di area ini

terfokus pada keluarga yang memang membutuhkan asuhan keperawatan

karena perangkat desa di tempat praktik tersebut memberikan kemudahan

dalam mengarahkan keluarga yang bermasalah sehingga praktikan dapat

mencapai target kompetensi dengan lancar untuk memberikan asuhan

keperawatan keluarga.

G. Area Keperawatan Gawat Darurat

Keperawatan gawat darurat ditujukan pada pemberian pelayanan asuhan

keperawatan pasien yang mempunyai masalah aktual dan potensial yang

mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak

dapat diperkirakan dan tanpa atau disertai lingkungan yang tidak dapat
57

dikendalikan. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dan dikembangkan

untuk mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi menggunakan

pendekatan sistem, holistik dan penggunaan teknologi maju (Hudak & Gallo,

2005).

Tujuan akhir setelah menyelesaikan praktik profesi ini mahasiswa mampu

memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan kondisi kedaruratan dan

kegawatdaruratan dengan menggunakan peralatan khusus untuk melakukan

tindakan yang spesifik pada pengelolaan kasus kegawatan berdasarkan inti

keilmuan keperawatan gawat darurat. Selain itu mahasiswa diharapkan

mampu melakukan resusitasi, melakukan triase pada kasus-kasus gawat

darurat, melakukan prosedur diagnostik, melakukan asuhan keperawatan

sesuai dengan tahap-tahap proses keperawatan pada beberapa kasus

kegawatdaruratan serta mampu menerapkan tindakan pencegahan risiko

penyebaran infeksi nosokomial di rumah sakit.

Kompetensi individu yang ditetapkan adalah kasus trauma dan non trauma.

Pada kasus trauma yaitu melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. T

dengan Cedera Otak Berat (COB) sedangkan pada kasus non trauma adalah

asuhan keperawatan pada Tn. D dengan Chronic Kidney Disease (CKD).

Pasien dengan COB tersebut mengalami kondisi gawat darurat yang

membutuhkan resusitasi segera sehingga pasien dikategorikan dalam triage

merah (P1). Pasien dengan CKD tersebut akan menjadi darurat bila

mengalami Ensefalopati Uremikum sehingga klien dikategorikan dalam

triage kuning (P2).


58

Berdasarkan beratnya cedera, pasien termasuk mengalami cedera kepala berat

dimana GCS 1-1-1 (koma), sehingga cedera otak berat merupakan kerusakan

neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi

secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. Trauma pada

kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang

terjadi tergantung pada besarnya getaran, makin besar getaran makin besar

kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju galia

aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak,

hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan

hematoma epidural, subdural maupun intracranial, perdarahan tersebut juga

akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai

oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan yang menyebabkan odema

cerebral. Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,

karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada

kenaikan TIK (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan

steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul

rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang

(Hickey, 2003 dalam Irwan, 2009).

Berdasarkan klasifikasinya dan setelah dilihat dari hasil pemeriksaan

radiologi CT-scan, pasien mengalami lesi fokal, yaitu terdapat perdarahan di

intrakranial yang lebih tepatnya di subarachnoid space. Perdarahan

subaraknoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan otak pecah,

sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid. Perdarahan

subaraknoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau


59

perdarahan dari arteriovenous malformation. Pada gambaran radiologi,

gambaran perdarahan subaraknoid terdapat di cavum subaraknoid.

Pendarahan masuk ke dalam sulcus dan memberikan gambaran hyperdense

sulcus (Rabinstein dkk, 2005 dalam Clarinta dkk, 2016).

Masalah keperawatan utama pada kasus tersebut adalah ketidaefektifan

perfusi jaringan serebral akibat terjadinya perdarahan. Masalah perdarahan

merupakan suatu masalah dalam sistem sirkulasi yang artinya organ paru-

paru pasien tidak cukup oksigen dalam sirkulasinya karena terhambatnya oleh

jumlah oksigen yang dibawa oleh darah yang kurang dalam sirkulasi.

Teori pada kasus non trauma yaitu CKD. Kasus CKD (Chronic Kidney

Disease) merupakan kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel

dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan

keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolik yang mengakibatkan uremia

atau azotemia (Muttaqin & Sari, 2011). Keluhan utama yang paling sering

dirasakan oleh penderita gagal ginjal kronik adalah sesak nafas, nafas tampak

cepat dan dalam atau yang disebut pernafasan kussmaul. Hal tersebut dapat

terjadi karena adanya penumpukan cairan di dalam jaringan paru atau dalam

rongga dada, ginjal yang terganggu mengakibatkan kadar albumin menurun.

Selain disebabkan karena penumpukan cairan, sesak nafas juga dapat

disebabkan karena pH darah menurun akibat perubahan elektrolit serta

hilangnnya bikarbonat dalam darah (Firdaus, 2016).

Berdasarkan teori di atas sesuai dengan kondisi pasien yang mengeluh sesak

nafas dengan nilai respiratori 28 x/menit dan hemoglobin 10,5 g/dL yang
60

menunjukkan kadar hemoglobin kurang dari normal serta eritropoitin yang

diproduksi ginjal semakin berkurang yang menyebabkan penurunan kadar

hemoglobin. Sehingga prioritas masalah keperawatan yang dialami pasien

yaitu ketidakefektifan pola nafas dengan fokus penatalaksaannya

mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan memposisikan pasien semi

fowler serta pemberian terapi oksigen dengan dosis 10 liter per menit dengan

masker non rebreathing. Selain itu pasien masih direncanakan hemodialisis

dan akan dilakukan jika tekanan darah pasien normal, karena kondisi pasien

saat itu mengalami hipertensi dengan tekanan darah 180/100 mmHg. Menurut

Dharma, dkk (2015) penyakit gagal ginjal kronis dapat berkomplikasi kepada

hipertensi karena ginjal mempunyai fungsi yaitu menyaring dan membuang

kelebihan air dan limbah dalam darah yang dijalankan oleh pembuluh darah kecil

yang ada pada ginjal. Hipertensi menyebabkan tertekannya pembuluh darah kecil

yang ada dalam ginjal, sehingga dapat merusak pembuluh darah dan nefron yang

ada didalam ginjal. Keadaan tersebut berdampak pada tugas yang dilakukan

nefron yaitu, tidak dapat menyaring limbah, natrium dan kelebihan cairan dalam

darah. Selain itu ginjal juga berfungsi memproduksi enzim angiotensin yang

selanjutnya diubah enjadi angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah

menjadi mengkerut serta mengeras sehingga penderita akan mengalami

hipertensi.

Pada area ini kompetensi sudah dicapai secara keseluruhan yaitu mengelola

asuhan keperawatan dan resume keperawatan pada pasien trauma dan non

trauma. Hambatan padaarea ini adalah terbatasnya waktu praktik (10 hari).

Praktikan dipadatkan oleh tugas baik individu maupun kelompok dengan


61

waktu jam jaga di ruang IGD, selain itu praktikan juga dalam proses

bersamaan dengan rencana pengambilan tema untuk seminar yang kasus

pasiennya diambil dari kasus yang sedang ada di ruang IGD RSSA pada

waktu itu, namun praktikan bisa membagi tugas dengan kelompok gelombang

berikutnya untuk melanjutkan rencana tersebut.

Faktor pendukung pada area ini adalah diskusi-diskusi dengan bed side

teaching yang selalu diadakan di akhir shift oleh dokter PPDS pembimbing,

dengan mengacu pada satu kasus yang dianggap sulit oleh kelompok, dimana

kasus tersebut sebelumnya sudah disiapkan oleh ketua kelompok masing-

masing shift untuk didiskusikan. Hal ini membuat masalah yang ada selama

pelaksanaan praktik dalam satu shift dapat diselesaikan dengan baik sebelum

mahasiswa mengakhiri praktik pada shift tersebut.

H. Area Keperawatan Jiwa

Fokus praktik profesi keperawatan jiwa ditujukan pada upaya pemberian

asuhan keperawatan untuk usaha preventif primer, sekunder dan tersier

terhadap pasien dengan masalah bio-psiko-sosial-spritual dan gangguan

kesehatan jiwa. Pelaksanaan hubungan terapeutik akan dilakukan secara

individu dan melibatkan peran serta keluarga dalam perawatan pasien serta

melaksanakan terapi keperawatan (Nasir, 2011).

Tujuan tahap profesi adalah mempersiapkan praktikan agar mampu berperan

profesional dalam hal menerapkan komunikasi terapeutik dalam membina

dan memelihara hubungan interpersonal dengan pasien, mengidentifikasi


62

perasaan dan reaksi diri sendiri dan bagaimana pengaruh perasaan dan reaksi

tersebut terhadap individu, keluarga dan kelompok, sehingga memungkinkan

penggunaan diri sendiri secara terapeutik ketika berhubungan dengan pasien,

mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien, merumuskan rencana

keperawatan dalam meningkatkan kesehatan jiwa individu dan keluarga,

melaksanakan tindakan keperawatan dan berbagai terapi keperawatan,

mengevaluasi proses, hasil implementasi keperawatan serta melakukan tindak

lanjut serta mampu membuat catatan dan melaporkan proses keperawatan

yang dilakukan (Nasir, 2011).

Keperawatan jiwa ditempuh pada lahan praktik Ruang Parkit RS Jiwa dr.

Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Kompetensi yang telah dicapai

oleh praktikan pada area ini antara lain asuhan keperawatan pada asuhan

keperawatan pada Tn. T dengan masalah keperawatan Risiko Perilaku

Kekerasan, dalam melaksanakan intervensi keperawatan berdasarkan TUM

dan TUK, analisa proses interaksi (API) dan terapi aktifitas kelompok (TAK).

Selain itu, keperawatan jiwa komunitas dilakukan bersamaan dengan kegiatan

komunitas yaitu asuhan keperawatan pada Ny. S dengan masalah

keperawatan Perilaku Kekerasan di Dusun Kemundungan Desa Pakis

Kecamatan Panti Kabupaeten Jember. Kegiatan keperawatan jiwa komunitas

dilaksanakan kegiatan evaluasi hasil pengkajian asuhan keperawatan jiwa

pada suatu keluarga dengan memberikan pendidikan kesehatan mengenai

kesehatan jiwa.
63

Selama praktik di RS Jiwa dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, bukan

hanya mendapat kompetensi asuhan keperawatan jiwa secara individu, namun

juga terdapat kompetensi kelompok yang juga dilaksanakan yaitu melakukan

study literatur review dan menerapkannya dalam bentuk TAK dengan tema

okupasi aktivitas. TAK okupasi aktivitas dilakukan juga secara kelompok di

Ruang Parkit pada pasien-pasien yang mengalami halusinasi dan dilakukan

dalam beberapa sesi dihadiri peserta yang sama yang sudah ditentukan di

awal. Hasil TAK cukup bagus, karena dari dari 10 pasien yang telah kita teliti

atau kita berikan intervensi 3 pasien masih mengalami halusinasi yang kuat

dan 7 pasien yang halusinasinya berkurang saat melakukan aktivitas.

Pelaksanaan praktik keperawatan jiwa sangat menarik karena berbeda dengan

praktik di area lainnya, di area ini ketrampilan komunikasi terapeutik sangat

diperlukan untuk menggali informasi dari pasien, disamping itu praktikan

mengalami berbagai macam kesulitan saat berhubungan dengan pasien yang

mengalami ganguan psikososial. Asuhan keperawatan jiwa dalam

pelaksanaannya lebih ditekankan pada faktor psikologis dan sosial. Selain itu

diperlukan teknik pendekatan yang luar biasa membutuhkan kesabaran.

Pengalaman praktikan selama 2 minggu di RSJ Lawang membuktikan bahwa

waktu 2 minggu belum cukup untuk menggali pengalaman masa lalu pasien

yang menjadi predisposisi atau presipitasi timbulnya masalah kejiwaan. Tidak

ada data satupun tentang masa lalu pasien yang berhasil didapatkan.

Termasuk juga pasien yang diasuh di komunitas, selama lebih dari 1 minggu

interaksi pasien belum mau bercerita tentang pengalaman masa lalu yang

menjadi pemicu gangguan jiwa. Implementasi yang dilakukan pun sekedar


64

mengatasi masalah yang ditemukan saat itu tanpa mengetahui penyebab

sehingga inti permasalahn belum terselesaikan dan bisa memicu kembali

terjadinya gangguan jiwa tanpa adanya intervensi yang berarti.

Hambatan yang muncul dalam praktik jiwa yang dilaksanakan oleh praktikan

adalah kesulitan dalam membina hubungan saling percaya dengan pasien

yang mengalami gangguan kejiwaannya karena penerapan BHSP pada

mereka membutuhkan waktu yang cukup lama dalam masa perkenalan

sampai mereka berkenan untuk melakukan instruksi yang diberikan. Selain

itu adalah pihak rumah sakit atau pembimbing klinik mengharuskan penulisan

laporan asuhan keperawatan jiwa dengan tulis tangan sehingga harus bekerja

2x untuk mengetik ulang.

Faktor pendukung selama praktik keperawatan jiwa di rumah sakit adalah

adanya pembimbing keperawatan jiwa yang sangat kompeten di bidangnya

baik pembimbing klinik maupun pembimbing akademik. Praktikan juga

difasilitasi tinggal di asrama yang cukup nyaman sehingga praktik profesi di

RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat berjalan lancar.

Hambatan selama praktik keperawatan jiwa di komunitas adalah adanya

ketidaksesuaian data pasien gangguan jiwa atau risiko gangguan jiwa yang

tertulis di Puskesmas dengan yang ditemukan di masyarakat. Bahkan pasien

aktual gangguan jiwa masih ada yang belum tertangani sama sekali dan tidak

didokumentasikan dilaporan puskesmas Kecamatan Panti. Sedangkan

hambatan pada asuhan keperawatan individu adalah kurang perhatian kader

jiwa dan petugas jiwa di wilayah terhadap pasien gangguan jiwa di wilayah
65

tersebut terutama pada folow up atau kontrol minum obat pada pasien post

perawatan di rumah sakit sehingga sangat memungkinkan pasien tidak

meminum obat dan akan memperpanjang masa gangguan jiwa

Faktor pendukung selama praktik keperawatan jiwa di komunitas adalah

dukungan keluarga dalam pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa. Keluarga

terbuka dengan senang hati memberikan informasi yang dibutuhkan praktikan

bahkan praktikan dibantu melakukan pendekatan pada pasien yang belum

pernah praktikan kenal atau temui sebelumnya, sehingga mudah terbina

hubungan saling percaya antara praktikan dengan pasien dan keluarga.

I. Area Keperawatan Medikal bedah

Fokus asuhan keperawatan medikal bedah merupakan penerapan dari konsep

dan prinsip asuhan keperawatan pasien dewasa yang mengalami gangguan

fisiologis serta gangguan struktur anatomi tubuh akibat trauma atau penyakit

yang sering terjadi menggunakan proses keperawatan. Kompetensi asuhan

keperawatan individu yang telah dilaksanakan praktikan adalah asuhan

keperawatan pada Tn. M dengan Diabetes Militus, Ulkus Pedis Sinistra dan

Sepsis, masalah keperawatan utama adalah ketidakstabilan kadar glukosa

darah berhubungan dengan kurang kepatuhan diet diabetus.

Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan

hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi

insulin atau penurunan sensivitas insulin (Amin et al, 2013). Seiring dengan
66

peningkatan jumlah penderita DM maka komplikasi yang terjadi juga

semakin meningkat, salah satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai

tungkai bawah dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan

jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetik. Proses

terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati dan infeksi.

Neuropati menyebabkan gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan

sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki,

sehingga ulkusdapat terjadi tanpa terasa. Sedangkan gangguan motorik

menyebabkan atrofu otot tungkai sehingga mengubah titik tumpu yang

menyebabkan ulsetrasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah ke

kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar

maka penderita akan merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak

tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat berupa ujung

kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri hilang, kaki

menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan

terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam) serta antibiotika

sehingga menyebabkan luka sulit sembuh (Desalo dkk, 2011 dalam Kartika,

2017).

Menurut praktikan diabetes melitus dengan ulkus pedis sinistra dan sepsis

memerlukan penanganan yang berfokus pada masalah menstabilkan kadar

glukosa darah namun perlu juga mengatasi masalah penyerta yang timbul dari

penderita. Penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah manajemen

kepatuhan diet diabetes dan pencegahan komplikasi. Kadar gula darah yang

tidak stabil menyebabkan pasien mengalami ulkus pedis. Pasien ulkus pedis
67

berisiko tinggi untuk amputasi dan kematian. Balutan yang efektif dan tepat

membantu penanganan optimal. Keadaan sekitar luka harus dijaga kebersihan

dan kelembapannya. Diagnosis dini dan penanganan tepat merupakan hal

yang penting untuk mencegah amputasi dan menjaga kualitas hidup pesien.

Pada departemen ini praktikan juga melakukan presentasi jurnal yang

berjudul “Maitland’s Mobilization Versus Closed Kinetic Chain Exercises

After Colle’s Fracture Fixation”. Latihan maitland excercise dan close

kinetic chain exercises membantu dalam meningkatkan kepadatan mineral

tulang dari situs fraktur, mengalami penurunan periode imobilisasi

mengurangi kekakuan sendi dan mengurangi penurunan kekuatan otot.

Rehabilitasi awal fraktur ini berguna dalam memperbaiki fungsi gerak dan

mempercepat dalam hal melakukan kemampuan aktivitas sehari-hari (ADL).

Kendala yang dialami oleh praktikan selama praktik pada area ini adalah

masih kurangnya kesempatan bagi praktikan dalam melakukan prasat akibat

kurangnya sarana proteksi diri. Kendala tersebut dapat berkurang jika pihak

akademik atau rumah sakit dapat memberikan fasilitas proteksi diri tersebut

dengan baik. Selain itu juga praktikan yang mendapat kesempatan untuk

melakukan prasat hanya yang membawa sendiri sarana tersebut.

Faktor pendukung pada area keperawatan medikal bedah adalah bimbingan

dan pendampingan yang baik dari akademik dan rumah sakit, kesediaan

perawat ruangan untuk bekerja sama dan berdiskusi dengan praktikan,

memberikan kesempatan untuk melakukan tindakan keperawatan yang


68

merupakan hal baru bagi praktikan sehingga pelaksanaan praktik dapat

berjalan dengan lancar.

J. Area Keperawatan Maternitas

Fokus asuhan keperawatan maternitas adalah mengaplikasikan konsep-

konsep dan teori keperawatan yang terkait dengan kesehatan wanita dengan

atau tanpa masalah kesehatan reproduksi yang telah dipelajari pada

perkuliahan tahap program akademik. Fokus asuhan keperawatan diberikan

kepada wanita dalam masa ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan bayi baru

lahir (BBL) sampai usia 40 hari beserta keluarganya baik dalam kondisi

normal maupun risiko tinggi (Prawirohardjo, 2010).

Kompetensi yang harus dicapai praktikan di area keperawatan maternitas ini

adalah kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan maternitas

meliputi antenatal, intranatal, postnatal, gynecology dan oncology sesuai

dengan pendokumentasian proses keperawatan. Praktikan telah menempuh

semua kompetensi tersebut dan kasus yang ditetapkan saat ujian gerbong

keperawatan maternitas adalah asuhan keperawatan pada Ny. R P4004 dengan

riwayat Sectio Caesarea dan Metode Operatif Wanita (MOW) hari kedua atas

indikasi Letak Sungsang dan KPD >24 jam di Ruang Dahlia RSD dr.

Soebandi Jember. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien tersebut

difokuskan pada masalah keperawatan ketidakcukupan ASI karena data yang

diperoleh payudara pasien lembek, ASI hanya keluar sedikit dan intake cairan

ibu kurang adekuat.


69

Sectio caesarea merupakan tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi

dengan melakukan insisi pada kulit, otot perut, serta rahim ibu (Suririnah,

2008). Sectio caesarea umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal

melalui vagina tidak memungkinkan atau karena adanya indikasi medis

maupun non medis. Tindakan medis hanya di lakukan jika ada masalah pada

proses kelahiran yang bisa mengancam nyawa ibu dan janin (Judhita &

Cythia, 2009). Karena pasien tersebut mengalami KPD > 24 jam dan letak

sungsang maka dilakukan tindakan sectio caesarea dan menempatkan

bayinya dirawat di Ruang Perinatologi sehingga ibu tidak dapat memberikan

ASI yang menyebabkan produksi ASI sedikit. Kesulitan pada awal menyusui

anak pertama mempengaruhi keputusan ibu untuk melanjutkan menyusui atau

tetap menyusui pada anak selanjutnya, maka dari itu diperlukan support atau

dukungan dalam menyusui (Andrew & Harvey, 2011). Sesuai dengan teori

bahwa Disamping ASI merupakan makanan utama bayi yang tidak ada

bandingannya, menyusui bayi sangat baik untuk menjelmakan rasa kasih

sayang antara ibu dan anak. Umumnya produksi ASI berlangsung betul pada

hari ke 2-3 post partum.

Menurut praktikan pasien dengan masalah ketidakcukupan ASI

membutuhkan penatalaksanaan yang universal karena ASI yang tidak cukup

memiliki gejala yang berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologis.

Perencanaan dan pelaksanaan yang dapat dilakukan yaitu menjelaskan kepada

pasien tentang manfaat menyusui dan manfaat perawatan payudara,

mendemonstrasikan tentang cara menyusui dan perawatan payudara,

memotivasi pasien untuk memberikan ASInya secara teratur, mereview


70

kembali pemahaman pasien tentang cara menyusui dan perawatan payudara.

Aplikasi model konsep Weidenbach juga dilaksanakan di area keperawatan

maternitas pada Ny. S Inpartu G3P2002 pada usia kehamilan 37-38 minggu

dengan Pre Eklampsia Berat dan KPD di Ruang Bersalin RSUD dr. Soebandi

Jember. Pendekatan model konsep Weidenbach lebih tepat untuk kasus

intranatal karena berdasarkan konsep “need for help” yang dalam

kegiatannya perawat langsung memberi bantuan, dukungan dan

mengantisipasi kebutuhan pasien agar meningkatkan kemampuannya dalam

mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhannya baik secara individu

maupun keluarga.

Need for help menunjukkan suatu kegiatan dimana individu atau pasien

menerima bantuan dari tenaga kesehatan yang profesioal sehingga pasien

merasa nyaman (comfortable) dan mampu (capable) dalam mengatasi

kesehatannya. Model ini menunjukkan suatu tindakan yang dapat diukur agar

pasien mampu meningkatkan koping adaptasi dalam mengatasi masalah atau

situasinya. Bantuan perawat ini muncul karena adanya stimulus yaitu semua

perilaku yang ditampilkan pasien, kemudian dikomunikasikan kepada pasien

tentang harapan pasien dan persepsi perawat. Perawat mendampingi ibu saat

intranatal dan mampu menentukan tindakan yang tepat yang akan diberikan

kepada ibu yang bukan hanya saat ibu meminta tapi berdasarkan respon ibu

yang mampu diamati. Wiedenbach menuliskan proses keperawatan dalam

rumusan SOAPIER. Pendokumentasian ini sejalan dengan pencatatan dan

pelaporan di area kebidanan.


71

Kompetensi khusus secara berkelompok yang dicapai dalam area

keperawatan maternitas adalah asuhan keperawatan menggunakan intervensi

keperawatan dari suatu penelitian terdahulu yang terbaru sesuai dengan

Evidence Based Practice (EBP). Praktikan menempuh kompetensi EBP yaitu

“Pengaruh Terapi Relaksasi Benson terhadap Penurunan Intensitas Nyeri

pada Post Sectio Caesarea di Ruang Dahlia RSD dr. Soebandi Jember”.

Sampel yang digunakan sebanyak 10 responden. Hasil yang diperoleh adalah

setelah dilakakukan terapi relaksasi Benson didapatkan data bahwa sebagian

besar (60%) responden menyatakan nyerinya berkurang menjadi skala nyeri

numerik berada di angka 6 yaitu nyeri sedang.

Teknik relaksai Benson merupakan salah satu metode non farmakologis yang

efektif untuk mengatasi nyeri adalah teknik relaksasi. Kelebihan latihan

teknik relaksasi dibandingkan dengan teknik lain adalah teknik relaksasi lebih

mudah dilakukan bahkan dalam kondisi apapun serta tidak memiliki efek

samping apapun (Daelon, 1999 dalam Novitasari & Aryana, 2013). Relaksasi

Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi pernafasan

dengan melibatkan faktor keyakinan pasien yang dapat menciptakan suatu

lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi

kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi. Cara kerja teknik relaksasi Benson

ini adalah berfokus pada kata atau kalimat tertentu yang diucapkan berulang

kali dengan ritme teratur yang disertai sikap pasrah pada Tuhan Yang Maha

Esa sambil menarik nafas dalam (Benson & Proctor, 2000). Teknik relaksasi

nafas Benson juga dapat merangsang tubuh menghasilkan endorphin dan

enfikelin. Hormon endorphin dan enfikelin ini adalah zat kimiawi endogen
72

yang berstruktur seperti opioid, yang mana endorphin dan enfikelin dapat

menghambat imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls di dalam otak

dan medulla spinalis (Smaltzer & Bare, 2002).

Praktikan berpendapat bahwa nyeri yang dialami setiap orang berbeda-beda

sesuai dengan kemampuan dalam beradaptasi dengan nyerinya. Terapi yang

diberikan kepada pasien post sectio caesarea dalam menurunkan intensitas

nyeri sangat beragam namun dalam penelitian berdasarkan EBP teknik

relaksai Benson ini pasien di lahan praktik RSD dr. Soebandi ini sangat

efektif dan cocok untuk diterapkan.

Kompetensi kelompok yang dicapai selain EBP adalah praktikan melakukan

asuhan keperawatan dengan kasus pasien yang dikelola bersama dalam ronde

keperawatan. Pasien yang dijadikan sebagai kasus kelolaan dalam ronde

keperawatan adalah Ny. S dengan diagnosis medis Ca Serviks, Anemis dan

Diabetes Melitus. Setiap praktikan melakukan analisa terhadap pasien

sehingga ditemukan masalah keperawatan dan dilakukan beberapa perlakuan

yang berbeda dari lima praktikan, selain itu melibatkan pasien atau keluarga

pasien untuk membahas dan melakukan asuhan keperawatan. Diagnosis yang

didapatkan antara lain masalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral,

nyeri akut, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, hambatan

mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit, ansietas dan risiko infeksi.

Penatalaksanaan dari beberapa diagnosis tersebut saling berkaitan sehingga

setiap individu dalam kelompok saling bekerja sama dalam hal tindakan

keperawatannya.
73

Ca Serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks, dimana

di dalam keadaan ini terdapat sekelompok sel abnormal terbentuk dari sel

jaringan yang tumbuh terus menerus tidak terbatas, tidak terkoordinasi atau

tidak berguna, bagi tubuh sehingga sel-sel sekitarnya tidak dapat

melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, keadaan tersebut biasanya

disertai dengan adanya perdarahan atau pengeluaran cairan vagina yang

abnormal. Terjadinya perdarahan atau pengeluaran cairan vagina yang terus

menerus akan membuat kondisi tubuh menjadi anemis sehingga oksigen atau

nutrisi dalam darah berkurang dan tidak sampai pada otak yang akhirnya

terjadi gangguan pada serebral (Purwanto, 2002).

Gejala yang timbul dari ca serviks adalah nyeri. Gejala tersebut muncul saat

ca serviks telah mencapai stadium dua. Ca serviks stadium dua menunjukkan

gejala yang khas seperti sakit pada area vulva sehingga sulit bergerak,

keputihan dan perdarahan serta kecemasan yang mendalam akan keparahan

penyakitnya (Purwanto, 2002).

Penyakit terminal yang dialami pasien tersebut berdasarkan teori

menunjukkan mengalami masalah keperawatan yang kompleks. Oleh karena

itu tujuan dari tindakan dalam ronde keperawatan adalah meredakan gejala

yang dialami pasien disertai dengan pendekatan secara psikologi untuk

memberikan motivasi kepada pasien supaya memiliki keinginan sembuh dan

semangat untuk hidup sehat. Hasil dari ronde keperawatan ini praktikan

memperoleh pengalaman bekerja di dalam tim untuk bertanggungjawab atas

keberhasilan asuhan keperawatan.


74

Selain EBP dan Ronde Keperawatan kompetensi kelompok yang dicapai

yaitu Tutorial Keperawatan pada Ny. A post natal P1001 dengan riwayat Sectio

Caesarea hari pertama atas indikasi kala I memanjang di Ruang Dahlia

RSUD dr. Soebandi Jember. Setiap individu dalam kelompok mengkaji

pasien dan memperoleh analisa data dengan diagnosis keperawatan berbeda

antara individu satu dengan yang lain. Dalam memberikan perlakuan di

kompetensi ini, praktikan bukan hanya sekedar memberikan perlakuan

melainkan memberikan pendidikan kesehatan dan mengajari pasien sesuai

perlakuan yang diberikan sehingga mencapai pasien yang mandiri. Diagnosis

yang didapatkan antara lain masalah ketidakefektifan pemberian ASI,

intoleransi aktivitas, kesiapan meningkatkan konsep diri, nyeri akut dan risiko

infeksi.

Sectio caesarea dilakukan pada ibu yang mengalami masalah persalinan yaitu

biasa disebut dengan partus lama. Partus lama adalah persalinan yang

berlangsung lebih dari 24 jam pada primigradiva, dan lebih dari 18 jam pada

multigradiva. Partus lama mempunyai banyak faktor penyebab sehingga

dapat dilakukan tindakan SC (Sectio caesarea).

Tindakan sectio caesarea membuat anak terpisah dengan ibunya, sehingga

ibu tidak bisa memberikan ASI. Payudara yang tidak dirangsang akan

mengalami masalah dalam menghasilkan produksi ASI ditambah dengan

pertama kali menjalani peran seorang ibu. Kesulitan pada awal menyusui

anak pertama mempengaruhi keputusan ibu untuk melanjutkan menyusui atau

tetap menyusui pada anak selanjutnya, maka dari itu diperlukan support atau
75

dukungan dalam menyusui (Andrew & Harvey, 2011).

Sesuai dengan teori bahwa disamping ASI merupakan makanan utama bayi

yang tidak ada bandingannya, menyusui bayi sangat baik untuk

menambahkan rasa kasih sayang antara ibu dan anak. Umumnya produksi

ASI berlangsung betul pada hari ke 2-3 post partum. Perencanaan dan

pelaksanaan yang dapat dilakukan yaitu menjelaskan kepada pasien tentang

manfaat menyusui dan manfaat perawatan payudara, mendemonstrasikan

tentang cara menyusui dan perawatan payudara, memotivasi pasien untuk

memberikan ASInya secara teratur, mereview kembali pemahaman pasien

tentang cara menyusui dan perawatan payudara. Oleh karena itu tujuan dari

tindakan dalam tutorial keperawatan adalah meningkatkan pengetahuan

pasien disertai dengan pendekatan secara edukasi untuk memberikan

pengetahuan serta motivasi kepada pasien sehingga mencapai pasien yang

mandiri. Hasil dari tutorial keperawatan ini praktikan memperoleh

pengalaman bekerja di dalam tim untuk bertanggungjawab atas keberhasilan

asuhan keperawatan.

Hambatan praktik di area ini adalah saat di Ruang Bersalin, dimana praktikan

tidak diperbolehkan melakukan tindakan mandiri menolong persalinan spontan,

selain itu juga tidak diperbolehkan melakukan VT (vaginal toucher) dikarenakan

kekhawatiran ruangan akan kompetensi praktikan keperawatan yang

dikhawatirkan akan membahayakan pasien.

Selain itu hambatan yang terjadi di Ruang Nifas yaitu sulitnya ibu post sectio

caesarea yang terpisah dengan bayi yang dirawat di ruangan Perinatologi yang
76

letaknya berjauhan, sehingga program laktasi terhambat sampai hari kedua post

partum. Alternatif pemecahan masalahnya adalah rawat gabung dimulai segera

setelah partus sectio caesarea maupun spontan dengan kondisi ibu stabil. Bayi

dan ibu diletakkan di ruang yang sama sejak awal. Bila kebijakan tersebut belum

bisa dilakukan, maka pihak keluarga diperbolehkan membawa bayi ke ibu saat di

ruang observasi agar merangsang pengeluaran produksi ASI.

Faktor pendukung pada area maternitas adalah bimbingan dari pembimbing

akademik yang sangat jeli dalam tahap pengkajian sampai evaluasi sehingga

praktikan lebih memahami tugas dan kewajiban selama diruangan. Selain itu

adanya sikap ramah tamah, saling menghormati dan kerja sama yang baik

dari CI ruangan atau bidan yang lain, serta terjalin kerja sama yang baik

antara pasien atau keluarga dalam pelaksanaan bimbingan maupun

pelaksanaan kegiatan yang lain selama menjalankan pratik, sehingga semua

proses dapat berjalan dengan baik.

K. Area Keperawatan Gerontik

Praktik profesi keperawatan gerontik adalah merupakan pelayanan asuhan

keperawatan lanjut usia diberbagai tatanan pelayanan kesehatan khususnya

pelayanan sosial lanjut usia di berbagai tatanan pelayanan kesehatan dan

berkesinambungan dengan penekanan pada upaya pemeliharaan kesehatan,

peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit lanjut usia. Tujuan akhir

praktik profesi keperawatan gerontik adalah praktikan mampu memberikan

pelayanan dan asuhan keperawatan gerontik pada lanjut usia baik di keluarga

dan diinstitusi atau panti secara komprehensif (Kushariyadi, 2010).


77

Kompetensi khusus di keperawatan gerontik adalah mampu memberikan

asuhan keperawatan dan mampu menyelesaikan masalah akibat proses menua

melalui penelitian atau mini riset area gerontik. Kompetensi mini riset yang

dilaksanakan adalah pengaruh terapi kompres hangat memakai parutan jahe

terhadap penurunan skala nyeri pada lansia penderita gout artritis di Wisma

Flamboyan UPT PSTW Bondowoso.

Penyakit artritis gout adalah salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling

sering ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di

dalam ataupun disekitar persendian (Sholihah, 2014). Penumpukan inilah

yang membuat sendi sakit, nyeri dan meradang. Pada kasus yang parah,

penderita penyakit ini tidak bisa berjalan, persendian terasa sangat sakit jika

bergerak, mengalami kerusakan sendi dan cacat (Sutanto, 2013 dalam

Sofiyullah, 2015). Angka prevalensi gout di dunia secara global belum

tercatat, namun di Amerika Serikat angka prevalensi gout pada tahun 2010

sebanyak 0,27%. Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara

dengan angka prevalensi 0,27% (Riskesdas, 2013). Data awal yang diperoleh

dari peneliti 7 dari 14 lansia di wisma Flamboyan mengalami gout artritis.

Analgesik merupakan zat-zat yang dapat mengurangi atau menghilangkan

rasa nyeri dengan aksi sentral atau perifer tanpa mengganggu kesadaran.

Mekanisme kerja obat golongan NSAIDs ini adalah menghambat enzim

siklooksigenase (COX) sehingga menyebabkan perubahan asam arakidonat

menjadi prostaglandin terganggu. Sebagai tambahan terhadap COX, 5-

lipoksigenase (5-LO) adalah enzim penting lainnya yang terlibat dalam


78

pembentukan asam arakidonat (Almasirad et al., 2005, dalam Wilmana &

Gan, 2007). Pemilihan obat-obatan anti nyeri saat ini banyak mengalami

perubahan, karena perlu mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkan,

pemakaian jangka panjang dan nilai ekonomisnya. Obat yang sering di

konsumsi oleh lansia yang menderita nyeri gout artritis di Wisma Flamboyan

adalah mengkonsumsi analgetik berupa meroksikam dan ibuprofen dan jarang

ditemui lansia yang menggunakan obat herbal, khususnya jahe untuk

menurunkan rasa nyeri.

Efek farmakologi pada jahe adalah jahe memiliki rasa pedas dan panas,

berkhasiat sebagai antihelmitik, antirematik dan pencegah masuk angin

(Utami, 2015 dalam Purnamasari, dkk., 2015). Efek panas pada jahe inilah

yang meredakan nyeri, kaku dan spasme otot pada asam urat atau terjadinya

vasodilatasi pembuluh darah. Terapi ini bertujuan untuk membantu

meredakan atau menurunkan skala nyeri pada penyakit asam urat atau nyeri

sendi (Paimin, 2006 dalam Purnamasari, dkk., 2015).

Potensi penyedian tanaman herbal salah satunya penyediaan tanaman jahe di

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Bondowoso dapat menjadi salah satu upaya

peningkatan kesehatan lansia. Berbagai macam manfaat yang terkandung

dalam tanaman jahe dapat mengobati berbagai macam keluhan kesehatan

khususnya menurunkan rasa nyeri. Hasil mini riset yang dilakukan pada 7

responden lansia adalah tingkat nyeri sebelum dan sesudah dilakukan

kompres hangat dengan menggunakan parutan jahe terdapat perbedaan yang

sangat signifikan. Hal ini dapat memastikan bahwa terdapat pengaruh


79

kompres hangat dengan menggunakan parutan jahe dapat menurunkan skala

nyeri yang dirasakan lansia dengan gout artritis.

Hasil penelitian ini memberikan manfaat dalam menurunkan skala nyeri pada

lansia dengan melakukan kompres hangat menggunakan parutan jahe secara

rutin, hal ini merupakan sebuah aplikasi peran perawat sebagai pembaruan

dan pemberian metode pelayanan keperawatan yang khususnya dalam

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup lansia.

Dalam segi keperawatan gerontik dan bidang kesehatan ini sangat diperlukan

untuk melakukan kompres hangat menggunakan parutan jahe pada lansia

karena membantu memberikan masukan bagi pengembang ilmu keperawatan

gerontik, terutama dalam memberikan ASKEP (asuhan keperawatan) gerontik

pada kelompok lansia. Hal ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam

upaya meningkatkan fungsi fisiologis tubuh.

Penelitian mini riset tersebut juga dilaksanakan bersamaan dengan

pelaksanaan kompetensi individu kasus keperawatan gerontik dimana asuhan

yang telah dilaksanakan oleh praktikan adalah asuhan keperawatan pada

lansia Ny. S dengan gout artritis. Kondisi gout artritis menyebabkan pasien

rentan mengalami jatuh sehingga pasien memiliki masalah keperawatan risiko

jatuh berhubungan dengan menurunnya fungsi muskuloskeletal.

Jatuh didefinisikan sebagai suatu kejadian yang menyebabkan subjek yang

sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja dan tidak termasuk

jatuh akibat pukulan kekerasan, kehilangan kesadaran, kejang, atau awitan

secara paralisis secara mendadak. Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis


80

cedera dan kerusakan fisik, serta psikologis (Stanley & Beare, 2007).

Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang

panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur

pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak.

Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah

jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi

termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan dalam aktivitas

sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Stanley & Beare, 2006).

Kasus risiko pada lansia merupakan kasus yang sering terjadi. Menurut

praktikan pelaksanaan asuhan keperawatan pada lansia yang memiliki risiko

jatuh tidak hanya berfokus pada penyebab secara fisik namun lingkungan

lansia juga perlu diperhatikan. Segala sesuatu yang dapat mengakibatkan

lansia jatuh harus dijauhkan atau dimodifikasi menjadi tidak membahayakan

bagi lansia.

Praktik area keperawatan gerontik pernah mengalami hambatan. Hambatan

yang dialami praktikan selama praktik di area keperawatan gerontik di UPT

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Bondowoso yaitu tidak adanya pembimbing

klinik yang bisa membantu mengarahkan atau memberikan pertimbangan

praktikan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan gerontik. Dan pemberian

bimbingan dari pembimbing akademik kurang maksimal dan terlalu singkat.

Selain itu hambatan lain yang muncul ketika ada beberapa lansia yang tidak

kooperatif dalam mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh

praktikan. Hambatan tersebut tidaklah menjadi masalah yang serius karena


81

terjalinnya komunikasi yang baik antara praktikan dan pihak UPT PSTW

Bondowoso dalam bekerja sama mengajak para lansia untuk aktif di kegiatan

yang sudah diselengagarakan praktikan.

Dukungan selama praktik pada area ini adalah kerja sama pihak manajemen

UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Bondowoso, pembimbing wisma dan

pasien lansia dengan praktikan terjalin dengan baik. Selain itu, kesediaan

teman-teman praktikan untuk terlibat dalam kegiatan dinamika kelompok

pada pasien kelolaan dan tersedianya sarana prasarana baik dari pihak UPT

Pelayanan Sosial Tresna Werdha Bondowoso maupun pihak akademik dalam

melaksanakan kegiatan praktikan.

L. Area Praktika Senior

Praktik pada kompetensi praktika senior merupakan proses kegiatan

pembelajaran lapangan yang bersifat komprehensif (PBLK). Melalui kegiatan

ini diharapkan mahasiswa sebagai praktikan akan mampu mengaplikasikan

beberapa keilmuan mulai pemahaman terhadap manajemen keperawatan,

metodologi penelitian, ketrampilan klinik, ilmu klinik, ilmu dasar yang

menunjang secara terintegrasi. Fokus kegiatan ini diarahkan untuk

mengidentifikasi fenomena yang terjadi di klinik, hingga metode

penyelesaian masalahnya (problem solving). Sehingga pembelajaran akan

mampu terfasilitasinya kompetensi praktikan kearah berfikir kritis (critical

thinking) melalui metode pembelajaran dengan menggunakan Evidence

Based Practice (EBP) maupun Evidence Based Nursing (EBN). Melalui

kegiatan ini diharapkan praktikan mampu membuat suatu proyek inovasi


82

(Innovation Project) di area yang menjadi peminatan. Hal ini sekaligus dapat

diatakan bahwa praktikan mencoba untuk belajar menerapakan salah satu

peran perawat sebagai pembaharuan (Change Agent) (Indriyani, 2008).

Pada area ini praktikan mempunyai kompetensi kelompok dimana praktikan

beserta kelompok diharapkan mampu membuat suatu proyek inovasi dari

sebuah program rumah sakit yang sudah ada ataupun program yang masih

belum berjalan maupun inovasi terbaru. Praktika senior dilaksanakan

praktikan pada lahan praktik di Ruang Melati RS Paru Jember. Kompetensi

program inovasi yang telah dilaksanakan yaitu Optimalisasi Perilaku

Personal Precaution Sebagai Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial.

Kegiatan praktika senior diawali dengan pengambilan data dengan melakukan

wawancara dan penyebaran kuesioner pada petugas kesehatan di ruangan,

keluarga pasien dan pasien. Kemudian hasil data ditabulasi dan dianalisa

dengan menggunakan analisa SWOT. Setelah ditemukan prioritas masalah,

mahasiswa menyusun rencana kegiatan yang akan dilakukan yaitu kegiatan

penyegaran ilmu dalam bentuk seminar, kegiatan diskusi ilmiah guna

persamaan persepri dan kegiatan role play.

Hasil evaluasi pelaksanaan praktika senior yaitu terlaksananya seminar yang

berjudul “Peningkatan Mutu Pelayanan Melalui Optimalisasi Program

PKMRS, Personal Precaution dan Penerapan Metode ISE di Rumah Sakit”

sebagai permulaan dalam menambah wawasan perawat yang sebelumnya

telah dilakukan diskusi ilmiah tentang “Persiapan Perangkat dalam Aplikasi

Manajemen Personal Precaution di Ruang Melati RS Paru Jember” sebagai


83

prmulaan dalam persamaan persepsi perawat. Setelah dilaksanakan seminar

dan diskusi ilmiah didapatkan hasil evaluasi bahwa seminar yang telah

dilakukan berdasarkan hasil evaluasi menggunakan uji wilcoxon didapatkan

hasil negative rank antara hasil seminar PPI untuk untuk pre-post test adalah

0, ini menunjukkan tidak adanya penurunan (pengurangan) dari nilai pre test

ke nilai post test. Sedangkan positive rank antara hasil seminar PPI untuk

pre-post test, disini terdapat 43 data positif yang artinya ke 43 peserta

mengalami peningkatan hasil seminar PPI dari nilai pre test ke nilai post test.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penggunaan metode

seminar, yang artinya para peserta undangan sebelumnya telah memiliki

pengetahuan yang cukup, hanya saja perlu adanya penyegaran dan sedikit

pengetahuan tentang upaya personal precaution. Adapun evaluasi yang

didapatkan dari diskusi ilmiah yang telah dilakukan dengan para perawat

ruangan hasilnya juga masih kurang karena yang hadir hanya kepala ruangan

sehingga dalam menyatukan persamaan persepsi tidak dapat berjalan dengan

lancar dimana praktikan harus bersosialisasi kesetiap perawat di Ruang

Melati.

Pemasangan etiket warna guna mencegah terjadinya phlebitis sudah

dilaksankan di dalam role play selama 2 minggu. Hasil evaluasi dalam

pelaksanaan pemasangan etiket warna sangat efektif yang dibuktikan dengan

hasil observasi sebelum dilakukan role play didapatkan 13 pasien mengalami

phlebitis selama seminggu dan setelah dilakukan role play dari hasil

observasi didapatkan 7 pasien yang mengalami phlebitis selama 2 minggu.


84

Praktik area ini juga dilaksanakan kompetensi individu yaitu memberikan

asuhan keperawatan dengan membandingkan respon hasil evaluasi tindakan

keperawatan pada tiga pasien berbeda dengan diagnosis medis dan

keperawatan yang sama. Kasus asuhan keperawatan tersebut adalah pasien

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dengan masalah keperawatan

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.

Masalah ketidakefektifan pola nafas merupakan kondisi dimana seseorang

mengalami kesulitan saat bernafas, sesak di dada dan tidak bisa leluasa

menghirup udara. Sesak nafas terbagi menjadi dua bagian, yaitu akut dan

kronis. Penyebab sesak nafas tiba-tiba (akut) dan tak terduga sering

diakibatkan oleh adanya penyakit masalah jantung, asma, pneumonia dan

PPOK. Sedangkan sesak nafas jangka panjang (kronik) biasanya disebabkan

oleh adanya penyakit TB Paru, gagal jantung, anemia, PPOK, asma menahun

dan obesitas (Umroni, 2016). PPOK mencakup dua penyakit utama yaitu

emfisema dan bronkitis kronis atau gabungan keduanya. Emfisema adalah

kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal

bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Sedangkan bronkitis

kronis didefinisikan sebagai produksi sputum dan batuk yang berlebihan

hampir setiap hari selama sekurang-kurangnya 2 tahun yang berurutan. Gejala

utamanya adalah sesak nafas, batuk, wheezing dan peningkatan produksi

sputum (Smeltzer & Bare, 2006). Keluhan sesak yang muncul merupakan

proses penyakit PPOK yang meningkatkan produksi lendir dan dapat

menyebabkan penyempitan saluran nafas, serta merusak jaringan paru.

Dengan demikian, kondisi sesak ini dapat muncul dan meningkat pada
85

kondisi tertentu, seperti stres atau kelelahan fisik. Kondisi ini akan membaik

seiring berjalannya proses pengobatan (Umroni, 2016).

Pemberian tindakan keperawatan pada ketiga pasien adalah memposisikan

pasien semi fowler, melatih pasien mengatur nafas dengan latihan pernafasan

yoga (pranayama), serta memberikan terapi oksigen. Latihan pernafasan yoga

(pranayama) dapat membuat otot inspirator menjadi terlatih. Kekuatan otot

inspirator yang terlatih akan meningkatkan compliance paru dan mencegah

alveoli menjadi kolaps (atelektasis). Compliance dada yang baik

memungkinkan ventilasi oksigenasi menjadi adekuat yang digambaran

adanya keseimbangan pertukaran gas dalam alveoli (Black & Hawk, 2014

dalam Sokarno dkk, 2017). Dimana pemberian latihan pernafasan yoga

(pranayama) difungsikan untuk mengendalikan pernafasan dan pikiran.

Mekanisme latihan pernafasan yoga (pranayama) dengan teknik bernafas

secara perlahan dan dalam dengan menggunakan otot diafragma

memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang dengan

penuh (Sindhu, 2015; Ruprai dkk, 2013 dalam Sukarno dkk, 2017).

Pengembangan paru yang maksimal akan membuat oksigen yang masuk

kedalam tubuh menjadi meningkat yang ditunjukkan dengan perubahan

kapasitas vital paru yang lebih baik serta nilai pengukuran FEV 1 dan FVC

menjadi lebih baik (Sherwood, 2004 dalam Sukarno dkk, 2017).

Hasil evaluasi pada ketiga pasien yang diberi perlakuan sama adalah sama-

sama sesaknya berkurang namun perbedaannya hanya berada pada

peningkatan saturasi oksigennya karena setiap pasien memiliki tingkat


86

keparahan yang berbeda, pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi

memiliki nilai saturasi lebih kecil daripada yang tingkat keparahannya

rendah.

Hambatan dalam praktik area ini timbul karena ada beberapa perawat ruangan

yang tidak memiliki waktu luang untuk berkesempatan mengikuti semua

rangkaian kegiatan praktika senior kami, sehingga kami melaksanakan

kegiatan apa adanya namun tepat waktu dan terlaksana cukup baik.

Faktor pendukung dalam memberikan solusi dari hambatan yang praktikan

hadapi saat praktik area praktika senior adalah dukungan dari pihak kepala

ruangan yang selalu memberikan masukan, membimbing dan berantusias

untuk ikut berpartisipasi terlaksananya kegiatan kelompok praktikan.

Pelaksanaan proyek inovasi ini dilaksanakan bertepatan dengan peraturan

rumah sakit dalam proses akreditasi sehingga sangat mendukung sekali dalam

hal pengoptimalan dari perilaku persanal precaution dengan tambahan

beberapa inovasi yaitu pemasangan etiket berwarna guna mencagah

terjadinya phlebitis tentunya atas persetujuan bersama dengan pihak ruangan

Melati RS Paru Jember.

Anda mungkin juga menyukai