PENDAHULUAN
Demam adalah suatu tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi atau bakteri yang
berada di dalam tubuh. Demam juga biasanya menjadi pertanda bahwa sistem imunitas anak
berfungsi dengan baik. Demam bukan merupakan penyakit melainkan reaksi yang
menggambarkan adanya suatu proses dalam tubuh. Saat terjadi kenaikan suhu, tubuh bisa jadi
sedang memerangi infeksi sehingga terjadi demam atau menunjukan adanya proses inflamasi
yang menimbulkan demam[1].
American Academy of Pediatrics (AAP) menyebutkan bahwa demam sering terjadi pada
anak usia sekolah yaitu 5-11 tahun yang disebabkan oleh infeksi virus seperti batuk, flu, radang
tenggorokan, common cold (selesma) dan diare. Disamping itu juga anak usia sekolah
merupakan kelompok rentan untuk terjadinya kasus kesehatan gigi dan mulut. Karies gigi pada
anak usia sekolah menempati posisi cukup tinggi, yaitu dari 100 anak yang melakukan
pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, hanya 10 anak yang terbebas dari karies gigi yang
biasanya menyebabkan rasa sakit/nyeri serta demam.Penyakit menular yang biasanya terdapat di
lingkungan sekolah antara lain demam berdarah dengue, campak, rubella (campak jerman), cacar
air, gondongan dan demam thypoid (tifus abdomalin)[2].
Penyebab demam yaitu demam yang berhubungan dengan infeksi sekitar 29-52%
sedangkan 11-20% dengan keganasan, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan
penyakit lain[3].
1
Penyebab demam terbanyak di Indonesia adalah penyakit infeksi, dimana penyakit
infeksi menjadi penyebab demam sebesar 80%, yaitu infeksi saluran kemih, demam tifoid,
bakteremia, tuberkulosis serta otitis media. Penyebab tersebut akan menimbulkan dampak
apabila tidak diberikan penanganan yang tepat pada demam tersebut[1].
Peningkatan suhu tubuh pada anak sangat berpengaruh terhadap fisiologis organ tubuh
anak, karena luas permukaan tubuh anak relatif kecil dibandingkan pada orang dewasa, hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan organ tubuh pada anak. Peningkatan suhu tubuh yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan dehidrasi, letargi, penurunan nafsu makan sehingga asupan gizi
berkurang termasuk kejang yang mengancam kelangsungan hidup anak, lebih lanjut dapat
mengakibatkan terganggunya tubuh kembang anak. Banyaknya dampak negatif dari demam
tersebut maka demam harus segera ditangani. Dampak demam bagi anak usia sekolah jika tidak
mendapatkan penanganan lebih lanjut antara lain mengganggu proses belajar karena anak
biasanya tidak masuk sekolah, dampak klinis berupa dehidrasi sedang hingga berat, kerusakan
neurologis, kejang demam hingga kematian[4]
Pada dasarnya terdapat dua kondisi demam yang memerlukan pengelolaan yang berbeda.
Pertama adalah demam yang tidak boleh terlalu cepat diturunkan karena merupakan respon
terhadap infeksi ringan yang bersifat self limited. Kedua adalah demam yang membutuhkan
pengelolaan segera karena merupakan tanda infeksi serius dan mengancam jiwa seperti
pneumonia, meningitis, dan sepsis. Oleh karena itu pemahaman mengenai pengelolaan demam
pada anak yang baik menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami[3,4].
Pengukuran suhu tubuh dengan menggunakan termometer merupakan cara yang akurat
untuk mengetahui ada tidaknya demam, akan tetapi hal ini masih sangat jarang dilakukan ibu-ibu
di rumah. Pengukuran suhu tubuh yang paling sering dilakukan ibu adalah dengan perabaan.
Menurut Purwoko (2006), 94% ibu menggunakan perabaan untuk menilai suhu tubuh anaknya.
Hal ini menjadi kendala untuk mendapatkan data yang objektif mengenai demam. Banyak ibu
yang mengira bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. kondisi tersebut
mencerminkan bahwa pengetahuan tentang demam pada ibu masih kurang tepat, dengan
pengetahuan yang masih kurang menjadikan ibu terbatas dalam melakukan tindakan pengobatan
kepada anak secara rasional[1,2].
2
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua dimulai
dari ruang praktek dokter sampai Unit Gawat Darurat (UGD) anak, meliputi 10-30% dari jumlah
kunjungan. Demam membuat orang tua menjadi risau. Hasil penelitian menunjukan 80% orang
tua fobia terhadap demam pada anaknya. Kerisauan ibu terhadap kejadian demam pada anak bisa
disebabkan karena pengetahuan ibu yang minim tentang penanganan pada deman tersebut[2,3,4].
Menurut Notoadmojo orang dengan pengetahuan yang baik akan lebih memahami dan
bertindak secara rasional dalam menghadapi suatu masalah. termasuk pengetahuan ibu yang baik
dan melakukan tindakan perawatan saat anak mengalami demam. Kurangnya pengetahuan secara
baik tentang demam dapat mengakibatkan demam yang berlanjut seperti kejang demambahkan
kematian[4].
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang penatalaksanaan demam bayi dan
balita terhadap ibu di desa Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan.
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan
tindakan tentang penatalaksanaan demam bayi dan balita terhadap ibu di desa Pembuang Hulu II,
Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan.
3
b) Mengetahui sikap tentang penatalaksanaan demam bayi dan balita terhadap ibu di desa
Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan.
c) Mengetahui tindakan tentang penatalaksanaan demam bayi dan balita terhadap ibu di
desa Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat pada bidang-bidang sebagai
berikut:
Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk mengetahui hal-hal yang selama ini
keliru mengenai pengetahuan, sikap, dan tindakan tentang penatalaksanaan demam bayi dan
balita, sehingga dapat dilakukan edukasi yang lebih efektif mengenai demam, terutama dalam hal
penatalaksanaannya.
Penelitian ini dapat menjadi suatu pendahuluan dan bahkan rujukan bila topik yang
serupa ingin diteliti oleh penelitian-penelitian lainnya.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEMAM
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam tubuh
ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,5°C). Demam adalah proses alami
tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Demam terjadi pada suhu > 37, 5°C,
biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamu atau parasit), penyakit autoimun,
keganasan , ataupun obat – obatan[5].
Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat peningkatan
pusat pengatur suhu di hipotalamus. Sebagian besar demam pada anak merupakan akibat dari
perubahan pada pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus. Penyakit – penyakit yang ditandai
dengan adanya demam dapat menyerang sistem tubuh. Selain itu demam mungkin berperan
dalam meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan non spesifik dalam membantu
pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi[1].
5
Membrane Mudah diakses, Dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan
Timpani mencerminkan suhu beresiko terjadi perlukaan apabila termometer
inti, sangat cepat. diletakan terlalu dalam ke lubang telinga.
Pengukuran berulang dapat menunjukan hasil yang
berbeda. Adanya serumen dapat mempengaruhi
bacaan hasil.
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan dari Empat Lokasi Pengukuran Suhu Tubuh [6]
Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita anak yaitu demam
non-infeksi dan demam infeksi[5].
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam
non-infeksi timbul karena adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak
ditangani dengan baik. Contoh demam non-infeksi antara lain demam yang disebabkan oleh
adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres, atau
demam yang disebabkan oleh adanya penyakit penyakit berat misalnya leukimia dan kanker[5].
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan patogen, misalnya kuman,
bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh. Bakteri, kuman atau virus
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara,
atau persentuhan tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab demam infeksi karena saat
melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja memasukan bakteri, kuman atau
virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita dengan tujuan membuat balita menjadi kebal
terhadap penyakit tertentu. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya
6
menyebabkan demam pada anak antara lain yaitu tetanus, mumps atau parotitis epidemik,
morbili atau measles atau rubella, demam berdarah, TBC, tifus dan radang paru-paru[5].
a) Demam infeksi, antara lain infeksi virus (cacar, campak dan demam berdarah) dan infeksi
bakteri (demam tifoid dan pharingitis).
b) Demam non infeksi, antara lain karena kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun
(penyakit yang disebabkan sistem imun tubuh itu sendiri).
c) Demam fisiologis, bisa karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas dan
kelelahan setelah bermain disiang hari.
Dari ketiga penyebab tersebut yang paling sering menyerang anak adalah demam akibat infeksi
virus maupun bakteri[6].
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang. Sebagai respon
terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel kupfer mengeluarkan sitokin
yang berperan sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-α, IL-6, dan interferon) yang bekerja pada
pusat thermoregulasi hipotalamus. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis
prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur
siklooksigenase-2 (COX-2) dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Hipotalamus akan
mempertahankan suhu sesuai patokan yang baru dan bukan suhu normal[5,7].
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal
afferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage Inflammatory Protein-1
(MIP-1), suatu kemokin yang bekerja langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan
demam dari jalur prostaglandin, demam melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
7
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai
respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang dialami dan bukan disebabkan oleh
kerusakan mekanisme termoregulasi[7].
Tubuh akan memiliki mekanisme penurunan temperatur bila suhu terlalu panas. Sistem
pengaturan temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh
yaitu[7] :
2.1.4.1 Vasodilatasi.
Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah mengalami dilatasi dengan kuat. Hal ini
disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan
8
vasokonstriksi. Vasokontriksi penuh akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit
sebanyak delapan kali lipat[7].
2.1.4.2 Berkeringat.
9
2.1.5 Klasifikasi Demam
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun
kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga
demam hektik[8].
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal.
Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan
suhu yang dicatat demam septic[8].
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila
demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari terbebas
demam diantara dua serangan demam disebut kuartana[8,9].
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam
yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia[9].
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh beberapa periode
bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula[9].
Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan dengan suatu penyakit tertentu misalnya tipe
demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin dapat
dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jelas seperti : abses, pneumonia, infeksi saluran
kencing, malaria, tetapi kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab
10
yang jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan demam yang baru saja dialami, pada
dasarnya merupakan suatu penyakit yang self-limiting seperti influensa atau penyakit virus
sejenis lainnya. Namun hal ini tidak berarti kita tidak harus tetap waspada terhadap infeksi
bacterial[8,9].
Risiko antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius
bervariasi tergantung usia anak. Pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena infeksi bakteri yang serius dibandingkan dengan bayi dengan usia lebih tua.
Demam yang terjadi pada anak pada umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi
virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan
gejala demam seperti bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, dan
osteomyelitis[9].
Pada anak dengan usia di diantara dua bulan sampai dengan tiga tahun, terdapat
peningkatan risiko terkena penyakit serius akibat kurangnya IgG yang merupakan bahan bagi
tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang berfungsi mengatasi infeksi. Pada anak
dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena infeksi virus yang berakhir sendiri tetapi bisa
juga terjadi bakteremia yang tersembunyi (bakteremia tanpa tanda fokus). Demam yang terjadi
pada anak dibawah tiga tahun pada umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi
seperti influenza, otitis media, pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Bakteremia yang
tersembunyi biasanya bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat
menjadi pneumonia, meningitis, arthritis, dan pericarditis[9]
Pemeriksaan fisik pada anak demam secara kasar dibagi atas status generalis dan evaluasi
secara detil yang memfokuskan pada sumber infeksi. Pemeriksaan status generalis tidak dapat
diabaikan karena menentukan apakah pasien tergolong toksis atau tidak toksis. Penampakan
11
yang toksis mengindikasikan infeksi serius. McCarthy membuat Yale Observation Scale untuk
penilaian anak toksis. Skala penilaian ini terdiri dari enam kriteria berupa: evaluasi cara
menangis, reaksi terhadap orang tua, variasi keadaan, respon sosial, warna kulit dan status
hidrasi. Masing-masing item diberi nilai 1 (normal), 3 (moderat), 5 (berat). Interpretasi Yale
Observation scale adalah 6-10 tergolong baik; 11-15 tergolong moderate; dan lebih dari 15
tergolong toksik[10].
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak yang mengalami demam bila secara klinis
faktor risiko tampak serta penyebab demam tidak diketahui secara spesifik. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu[10]:
1) Pemeriksaan awal: Darah rutin, urin dan feses rutin, morfologi darah tepi, hitung jenis
lekosit
2) Pemeriksaan atas indikasi: Kultur darah, urin atau feses, pengambilan cairan serebro
spinal, toraks foto
12
2.1.8 Penatalaksanaan Demam
Penatalaksanaan demam atau demam menurut Shvoong (2010) untuk menurunkan suhu
tubuh dalam batas normal tanpa mengunakan obat yaitu dengan cara di kompres. Pertama
siapkan air hangat, selanjutnya mencelupkan waslap atau handuk kecil ke dalam baskom dan
mengusapnya ke seluruh tubuh, lakukan tindakan di atas beberapa kali (setelah kulit kering),
setelah itu keringkan tubuhdengan handuk dan hentikan prosedur bila suhu tubuh sudah
mendekati normal[11].
Menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara self management maupun non-self
management. Pengelolaan secara self management merupakan pengelolaan demam yang
dilakukan sendiri tanpa menggunakan jasa tenaga kesehatan. Pengelolaan secara self
management dapat dilakukan dengan terapi fisik, terapi obat, maupun kombinasi keduanya.
Sedangkan non-self management merupakan pengelolaan demam yang menggunakan jasa tenaga
kesehatan[12].
a) Terapi Fisik
Terapi fisik merupakan upaya yang dilakukan untuk menurunkan demam dengan cara
memberi tindakan atau perlakuan tertentu secara mandiri. Tindakan paling sederhana yang dapat
dilakukan adalah mengusahakan agar anak tidur atau istirahat supaya metabolismenya menurun.
Selain itu, kadar cairan dalam tubuh anak harus tercukupi agar kadar elektrolit tidak meningkat
saat evaporasi terjadi. Memberi aliran udara yang baik, memaksa tubuh berkeringat, dan
mengalirkan hawa panas ke tempat lain juga akan membantu menurunkan suhu tubuh. Membuka
pakaian/selimut yangtebal bermanfaat karena mendukung terjadinya radiasi dan evaporasi[13].
13
38,5°C dan telah mengkonsumsi antipiretik setengah jam sebelumnya. Mendinginkan dengan air
es atau alkohol kurang bermanfaat karena justru mengakibatkan vasokonstriksi, sehingga panas
sulit disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun radiasi. Selain itu, pengompresan
dengan alkohol akan diserap oleh kulit dan dapat menyebabkan koma apabila terhirup[14].
b) Terapi Obat
Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan demam anak adalah
pemberian antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin[15,16,17].
Parasetamol (Asetaminofen)
Ibuprofen
14
Aspirin
Aspirin atau asam asetilsalisilat sering digunakan sebagai analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi. Aspirin tidak direkomendasikan pada anak <16 tahun karena terbukti
meningkatkan risiko Sindroma Reye. Aspirin juga tidak dianjurkan untuk demam ringan karena
memiliki efek samping merangsang lambung dan perdarahan usus. Efek samping lain, seperti
rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila
dosis per hari tidak lebih dari 325 mg. Pengobatan pada anak dengan cara memberikan obat
penurun panas pada anak dilakukan apabila suhu tubuh mencapai 38°C atau lebih, anak dengan
riwayat pernah kejang demam harus diberikan obat penurunpanas secepatnya walaupun suhu
tubuh baru mencapai 37,5°C[17,18].
15
Demam naik-turun atau tak kunjung turun yang berlangsung lebih dari 3 hari (> 72 jam)
Demam yang baru terjadi satu hari tetapi dengan suhu 39°C yang menunjukan adanya
infeksi berat.
Demam baru sehari tapi suhu diatas 40°C disertai dengan keluhan sulit bernapas, kejang,
muncul bintik merah atau biru muncul di tangan, dibarengi dengan muntah, diare atau
radang tenggorokan
1) Berikan kompres air hangat di bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah besar seperti
leher, ketiak dan selangkangan/lipatan paha, juga di bagian luar dan terbuka seperti dahi
dan perut. Kompres hangat membuat pembuluh darah tepi di kulit melebar yang
selanjutnya membuat pori-pori terbuka sehingga memudahkan pengeluaran panas dari
tubuh. Hindari mengompres dengan menggunakan air dingin atau es batu karena tindakan
ini mengakibatkan pembuluh darah tepi mengecil sehingga panas yang seharusnya
dialirkan darah ke kulit agar keluar menjadi terhalang sehingga panas tubuh tidak
berkurang.
2) Saat mandi, gunakan air hangat. Selain membuat tubuh segar dan nyaman, air hangat juga
sangat baik untuk menghilangkan kuman dan bakteri di kulit. Setelah mandi segera
keringkan tubuh selanjutnya gunakan pakaian agar tidak kedinginan.
3) Kenakan pakaian tipis longgar, pilih yang bahannya menyerap keringat agar lebih
nyaman dan tidak kegerahan.
4) Perbanyak istirahat agar daya tahan tubuh cukup untuk melawan infeksi. Usahakan agar
sirkulasi udara kamar atau tempat istirahat baik sehingga kamar tetap bersuhu normal.
5) Perbanyak minum air mineral agar mencegah terjadinya Dehidrasi
16
2.1.8.4 Rujuk Ke Dokter
Mengetahui perlu atau tidaknya penanganan dokter jika anak mengalami demam dapat
dilihat dari tanda-tanda yang muncul, antara lain sebagai berikut[21]:
2.1.9.1 Hiperpireksia
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41ºC. Hiperpereksia sangat berbahaya
pada tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi dan akhirnya
kerusakan susunan saraf pusat. Pada awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala,
17
pusing, kejang serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >43º C dan kematian
terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43ºC sampai 45ºC[1,5,6].
Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan pada anak khususnya usia 6
bulan sampai 5 tahun. Insidensinya di Amerika sekitar 2-4% dari seluruh kelainan neurologis
pada anak. Walaupun 30% dari seluruh kasus kejang pada anak adalah kejang demam tetapi
masih banyak penyebab lain dari kejang sehingga kejang demam tidak dapat didiagnosis
sembarangan, karena penyebab lain demam dan kejang yang serius seperti meningitis harus
disingkirkan. Banyak klinisi yang mengobati demam dengan pemberian parasetamol untuk
mencegah kejang demam[20,21].
Dari penelitian pada 104 anak, dimana satu kelompok diberikan profilaksis parasetamol
dan kelompok lain diberikan parasetamol secara sporadis didapatkan hasil pemberian
parasetamol profilaksis tidak efektif bila dibandingkan kelompok lainnya dalam mencegah
kejang demam yang rekuren. Sedangkan penelitian Uhari dkk. menunjukkan pemberian
18
asetaminofen dan diazepam per oral menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah rekurensi
kejang demam[20].
2.1.9.3 Dehidrasi
Dehidrasi dapat terjadi akibat peningkatan suhu tubuh, dimana setiap kenaikan suhu 1ºC
dapat meningkatkan 10% kehilangan cairan insensible. Selain itu, dehidrasi dapat terjadi akibat
penggunaan obat antipiretik yang memicu terjadinya keringat berlebihan[20].
2.2 PENGETAHUAN
Menurut Potter & Perry (2005), pengetahuan merupakan hasil penginderaan yang berupa
fakta-fakta dan informasi yang mampu menarik atau mempengaruhi individu tersebut.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga[22].
Pengetahuan menjadi domain paling penting bagi terbentuknya tindakan dan perilaku
pada manusia. Perilaku yang didasari dengan pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari dengan pengetahuan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari berbagai macam hasil penginderaan yang mampu menarik
ataupun mempengaruhi seseorang[22].
a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
19
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
b) Memahami (comprehension)
c) Aplikasi (application)
d) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
e) Sintesis (synthesis)
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini berdasarkan suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada.
20
2.2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Informasi adalah jika seseorang yang mempunyai sumber informasi lebih banyak akan
memberikan pengetahuan yang lebih jelas. Budaya merupakan tingkah laku manusia atau
kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang memiliki sikap dan kepercayaan. Pengalaman
adalah sesuatu yang dialami seseorang dan akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang
bersifat non-formal. Sosial ekonomi merupakan tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidup seseorang yang mempunyai sumber informasi lebih banyak maka akan
memberikan pengetahuan yang lebih jelas[22].
2.3 SIKAP
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu: 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep
terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3.
Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)[22].
Sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: 1. Menerima (receiving), yakni mau dan
memperhatikan stimulus atau objek yang diberikan 2. Merespon (responding), yakni
memberikan jawaban apabula ditanya dan mengerjakan serta menyelesaikan tugas yang
diberikan 3. Menghargai (valuing), yakni mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan
masalah 4. Bertanggung jawab (responsible), yakni mempunyai tanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung
dan dapat juga tidak langsung[22].
21
2.4 TINDAKAN
Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk meweujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau
suatu kondisi yang memungkinkan[22].
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka dapat dibuat kerangka konsep penelitian
sebagai berikut:
Karakteristik ibu:
Gambaran Pengetahuan, Sikap,
Usia ibu dan Tindakan tentang
Pendidikan ibu Penatalaksanaan Demam Bayi
Pekerjaan ibu dan Balita pada Ibu
Penelitian ini dilakukan di desa Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau, Kabupaten
Seruyan, Kalimantan Tengah. Waktu Penelitian dilakukan pada 15 Juni – 30 Juni 2020.
23
b. Sampel
Sampel yang diambil adalah ibu yang memiliki balita yang datang tinggal di desa
Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Rumus jumlah sampel yg dibutuhkan untuk mengetahui proporsi :
n = Zα2 x P x Q
d2
α= 0,05 Zα= 1.96 (tabel kurva normal)
d = akurasi 10%, = presisi = tingkat ketelitian yaitu kesalahan maksimal yang dapat
ditolerir, pada umumnya diambil 5% atau 10%
P = persentase taksiran hal yang akan diteliti / proporsi variabel yang diteliti, diambil
dari referensi, bila tidak diketahui adalah 50%, dengan catatan tak akan kekurangan
jumlah sampel
Q=1–P
Besarnya Sampel
n = Zα2 x P x Q
d2
n = (1.96)2 . 0,5 . 0,5 = 98
(0,1)2
Berdasarkan rumus besar sampel di atas, maka jumlah sampel minimum yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 98 responden. Pada penelitian ini akan dilakukan
penelitian pada 100 responden.
a. Kriteria Inklusi:
Ibu yang berusia produktif (15-50 tahun) pada saat dilakukan penelitian.
Ibu yang memiliki bayi dan balita di desa Pembuang Hulu II, Kecamatan Hanau,
Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah pada saat dilakukan penelitian.
b. Kriteria Ekslusi:
Subjek yang menolak berpartisipasi dalam penelitian.
24
Subjek yang mengalami kelainan jiwa
3.6 Variabel Penelitian
a. Variabel terikat :
Pengetahuan, sikap, dan tindakan tentang penatalaksanaan demam pada ibu.
b. Variabel bebas :
Usia ibu, tingkat pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu.
Definisi operasional dari penelitian ini perlu dijelaskan dengan tujuan supaya tidak
mendapat perbedaan persepsi dalam mengiterpretasikan masing-masing variable. Dibawah ini
akan dijelaskan definisi operasional dari penelitian ini:
a. Ibu
Ibu adalah seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak yang tinggal
bersama-sama dalam satu keluarga
25
b. Balita
Balita adalah seorang anak lelaki atau perempuan yang berusia dibawah 5 tahun
pada saat penelitian.
c. Bayi
Bayi adalah seorang anak lelaki atau perempuan yang berusia dibawah 12 bulan
pada saat penelitian.
d. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah
diselesaikan responden (ibu) saat dilakukan wawancara. Tingkat pendidikan pada
penelitian ini dikategorikan dalam skala ordinal menjadi:
1) Pendidikan rendah, yaitu ibu dengan tingkat pendidikan hingga SD/Sederajat.
2) Pendidikan Menengah, yaitu ibu dengan tingkat pendidikan hingga
SMP/Sederajat.
3) Pendidikan tinggi yaitu ibu dengan tingkat pendidikan SMA/Sederajat atau
perguruan tinggi.
e. Usia ibu
usia adalah lamanya waktu hidup responden (ibu) yang dihitung sejak lahir
hingga ulang tahun terakhir saat dilakukan wawancara. Pada penelitian ini, usia
dikategorikan dengan skala ordinal, yaitu:
1) < 20 tahun
2) 20-35 tahun
3) 36-50 tahun
f. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan sehari-hari oleh ibu. Pada
penelitian ini pekerjaan dikelompokan dengan skala nominal yaitu:
1) Pegawai negeri sipil
2) Ibu rumah tangga
3) Wiraswasta
4) Buruh tani/perkebunan
5) Lain-lain
26
g. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala informasi yang diketahuai (hasil tahu) oleh ibu tentang
demam dan cara-cara penatalaksanaan demam pada bayi dan balita.
Pengukuran tingkat pengetahuan ibu dilakukan dengan cara wawancara dan
menggunakan alat berupa kuisioner. Kuisioner ini terdiri dari 15 pertanyaan. Ketentuan
nilai adalah bila benar diberi skor 1 dan bila jawaban salah diberi skor 0, sehingga jumlah
skor maksimal yang dapat diperoleh adalah 15 sedangkan jumlah skor minimal yang
dapat diperoleh adalah 0.
Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan dikategorikan dengan skala ordinal sesuai
dengan klasifikasi yang dibuat oleh Pratomo (1990), yaitu:
1) Pengetahuan baik, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 76%-100% (total
skor 11-15)
2) Pengetahuan sedang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 40%-75%
(total skor 6-10)
3) Pengetahuan kurang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara < 40% (total
skor 0-5)
h. Sikap
Sikap adalah sejauh mana ibu setuju untuk menerapkan pengetahuan yang
dimiliki mengenai penatalaksanaan demam pada bayi dan balita.
Pada penelitian ini, tingkat sikap dikategorikan dengan skala ordinal sesuai
dengan klasifikasi yang dibuat oleh Pratomo (1990), yaitu:
1) Sikap baik, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 76%-100% (total skor
7-8)
27
2) Sikap sedang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 40%-75% (total skor
4-6)
3) Sikap kurang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara < 40% (total skor 0-
3)
k. Tindakan
Tindakan adalah sejauh mana ibu menerapkan penatalaksanaan demam pada bayi
dan balita.
Pada penelitian ini, tingkat tindakan dikategorikan dengan skala ordinal sesuai
dengan klasifikasi yang dibuat oleh Pratomo (1990), yaitu:
1) Sikap baik, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 76%-100% (total
skor 8-10)
2) Sikap sedang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara 40%-75% (total
skor 4-7)
3) Sikap kurang, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara < 40% (total skor
0-3)
Langkah awal dimulai dengan editing, coding, data entry, dan dilanjutkan dengan tabulasi.
Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari tiap variabel yang diteliti,
yaitu variabel dependen dan independen, akan digunakan analisis univariat. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk diagram, tabular, dan penjelasan secara tekstular.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
29
No Lahan Luas (Ha)
1 Lahan pertanian Sawah tadah hujan 157
2 Lahan perkebunan Kelapa sawit, karet 11.885
3 Lahan darat Permukiman 36,10
Jumlah 12.042
Tabel 4.1 Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaan
4.1.3 Kependudukan
Berdasarkan data Administrasi Pemerintah Desa Tahun 2016 jumlah Penduduk Desa
Pembuang Hulu, antara lain sebagai berikut:
Tahun 2014 3100jiwa dengan 865KK
Tahun 2015 4757jiwa dengan 1108KK
Tahun 2016 4890jiwa dengan 1087KK
4.1.4 Kesehatan
Ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan merupakan salah satu factor penentu untuk
mewujudkan peningkatan derajat dan status kesehatan masyarakat secara berkesinambungan.
Prasarana dan sarana kesehatan di desa Pembuang Hulu II masih relative kurang, baik kuantitas
maupun kualitasnya bila dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk, yaitu kiranya masih
belum memadai untuk dapat melayani kesehatan masyarakat dengan baik
4.1.5 Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah investasi (modal) dasar pembangunan dimasa yang akan
datang. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan cukup tinggi, terbukti anak-anak usia sekolah
hamper seluruhnya mengikuti jenjang pendidikan yang telah tersedia.
Sarana dan prasarana pendidikan yang ada masih perlu peningkatan, baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas guna tercapainya mutu pendidikan anak didik yang lebih baik.
30
No Nama Sekolah Lokasi (RT/RW) Jumlah Status (Negeri/swasta)
1 TK/ PAUD/RA RT. 01, 02, 04, 06 6 Swasta
2 SD RT. 010, 04, 09 3 Negeri
3 MI RT. 01 1 Swasta
4 SMP RT. 10 1 Negeri
5 PKBM RT. 01 1 Swasta
Tabel 4.2 Data Sarana dan Prasarana Pendidikan
Penelitian ini dilakukan pada 100 responden yangmerupakan ibu yang memiliki bayi dan
balita di desa Pembuang Hulu II. Karakteristik yang diamati terhadap responden adalah desa
tempat tinggal, pendidikan, usia, dan pekerjaan.
31
TINGKAT PENDIDIKAN RESPONDEN
45
40
35
30
SD
Jumlah 25
SMP
Responden 20 42 SMA/PERGURUAN TINGGI
37
15
10 21
5
0
Pendidikan Responden
4.2.2 Usia
Umur responden dibagi berdasarkan tiga kategori yaitu dibawah 20 tahun, 20-35 tahun,
dan 36-50 tahun. Responden mayoritas berasal dari kelompok umur 20-35 tahun, yaitu sebesar
74 responden (74%) kemudian diikuti oleh kelompok umur 36-50tahun sebesar 17 responden
(17%) dan responden paling sedikit dari kelompok umur dibawah 20 tahun sebesar 9 responden
(9%)[23] (Diagram 4.2).
32
USIA RESPONDEN
80
70
60
50
<20tahun
Jmlah 40 20-35tahun
Responden 74 26-50tahun
30
20
10 17
9
0
Kelompok Usia Responden
Pekerjaan yang dilakukan responden pada penelitian dibagi atas pegawai negeri sipil
(PNS), Ibu rumah tangga (IRT), Wiraswasta, buruh tani/perkebunan, dan lain lain. Mayoritas
pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 71 responden (71%), selanjutnya
buruh tani/perkebunan 11 responden (11%), wiraswasta 8 responden (8%), PNS 6 responden
(6%), dan lainnya 4 responden (4%)[23] (Diagram 4.3).
33
PEKERJAAN RESPONDEN
80
70
60
Ibu Rumah Tangga
50
wiraswasta
Jumlah 40 Pegawai Negeri Sipil
Responden 71 Buruh Tani/Perkebunan
30 Pekerjaan Lain
20
10
8 11
6 4
0
Pekerjaan
Setelah dilakukan analisis univariat dari hasil penelitian pengetahuan, sikap, dan tindakan
tentang penatalaksanaan demam bayi dan balita pada ibu di Desa Pembuang Hulu II, diperoleh
gambaran sebagai berikut.
Pengetahuan responden tentang demam pada bayi dan balita dilihat dari beberapa
pertanyaan mengenai demam. Pertanyaan terdiri dari 15 pertanyaan. Skor nilai pertanyaan
responden tertinggi 15 (100%) dan nilai terendah 0(0%). Untuk pengolahan lebih lanjut, maka
skor nilai pengetahuan responden tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu baik,
sedang, dan kurang. Pengetahuan kategori baik, jika total skor yang diperoleh ibu berada diantara
76%-100% (total skor 11-15), Pengetahuan kategori sedang, jika total skor yang diperoleh ibu
berada diantara 40%-75% (total skor 6-10), dan Pengetahuan kategori kurang, jika total skor
34
yang diperoleh ibu berada diantara < 40% (total skor 0-5). Berdasarkan pembagian kategori
tersebut, maka dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini.
Dari tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa sebanyak 27 responden (27%) dari total
responden memiliki pengetahuan yang kategori kurang tentang demam, sedangkan yang
memiliki pengetahuan kategori baik sebanyak 18 orang (18%), dan pengetahuan kategori sedang
sebanyak 55 responden (55%).
Dari tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan jumlah
responden setelah dilakukan intervensi (penyuluhan) dari 18 responden (18%) menjadi 63
responden (63%) berpengetahuan kategori baik. Peningkatan yang tampak adalah sebesar 45
responden dari jumlah semula.
35
bila jumlah nilai skor 0 - 3. Berdasarkan kategori tersebut, maka dapat dilihat pada tabel 4.5 di
bawah ini.
Dari tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa sebanyak 51 responden (51%) dari total
responden memiliki sikap kategori sedang terhadap demam. Sedangkan yang memiliki sikap
kategori baik sebanyak 38 orang (38%), dan sikap kategori kurang sebanyak 11 responden
(11%).
Dari tabel 4.6 dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan sikap jumlah responden
terhadap demam setelah dilakukan intervensi (penyuluhan) dari 38 responden (38%) menjadi 77
responden (77%) dengan sikap kategori baik. Peningkatan yang tampak adalah sebesar 39
responden dari jumlah semula.
36
kurang dengan nilai skor yaitu 8 - 10 tindakan penatalaksanaan kategori baik, tindakan
penatalaksanaan kategori sedang bila jumlah nilai skor 4 – 7, tindakan penatalaksanaan kategori
kurang bila jumlah nilai skor 0 - 3. Berdasarkan kategori tersebut, maka dapat dilihat pada tabel
4.7 di bawah ini.
Dari tabel 4.7 dapat disimpulkan bahwa sebanyak 49 responden (49%) dari total
responden memiliki tindakan penatalaksanaan kategori sedang terhadap demam. Sedangkan yang
memiliki tindakan kategori baik sebanyak 39 orang (39%), dan tindakan kategori kurang sebanyak
12 responden (12%).
Dari tabel 4.8 dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan tindakan jumlah responden
terhadap penatalaksanaan demam setelah dilakukan intervensi (penyuluhan) dari 39 responden
(39%) menjadi 81 responden (81%) dengan tindakan kategori baik. Peningkatan yang tampak
adalah sebesar 42 responden dari jumlah semula.
4.4 PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian pada tanggal 15 Juni sampai dengan 30 Juni 2020 mengenai
tingkat pengetahuan, skap, tindakan tentang penatalaksanaan demam bayi dan balita pada ibu di
Desa Pembuang Hulu II, dimana secara keseluruhan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan
37
responden berada dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian Wati (2010) dimana
dijumpai tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan responden dalam kategori sedang. Namun
perlu diperhatikan bahwa persentase tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan kategori kurang
relative cukup besar (27%, 11%, dan 12%). Hal ini mungkin disebabkan karena sumber daya
manusia yang rendah yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu di Desa Pembuang Hulu II
secara umum tergolong rendah.[24].
Pada penelitian ini didapati sebagian besar responden dari masing-masing kategori
tingkat pendidikan memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan yang berbeda, dimana
dijumpai responden dengan pendidikan tinggi memiliki tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan
dengan kategori baik. Menurut Notoadmojo (2003), secara umum seseorang yang berpendidikan
lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang
dikemukanan Notoadmojo[22].
38
BAB V
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dilihat dari usia responden, pada umumnya berusia 20-35 tahun sebanyak 74 responden
(74%), responden yang berusia 36-50 tahun sebanyak 17 responden (17%), dan
responden yang berusia kurang dari 20 tahun sebanyak 9 responden (9%).
2. Dilihat dari pendidikan kebanyakan responden memiliki tingkat pendidikan rendah (SD)
yaitu sebanyak 42 responden (42%), tingkat pendidikan menengah (SMP) sebanyak 37
responden (37%), dan responden yang berpendidikan tinggi (SMA / Perguruan Tinggi)
sebanyak 21 responden (21%).
3. Dilihat dari pekerjaan, mayoritas responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu
sebanyak 71 responden (71%), buruh tani/perkebunan sebanyak 11 responden (11%),
wiraswasta sebanyak 8 responden (8%), pegawai negeri sipil sebanyak 6 responden (6%),
dan lain-lain sebanyak 4 responden (4%).
4. Sebelum diberikan intervensi, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang
sedang mengenai demam yaitu sebanyak 55 responden (55%).
5. Sebelum diberikan intervensi, sebagian besar responden memiliki sikap yang sedang
mengenai demam yaitu sebanyak 51 responden (51%).
6. Sebelum diberikan intervensi, sebagian besar responden memiliki tindakan
penatalaksanaan yang sedang mengenai demam yaitu sebanyak 49 responden (49%).
7. Setelah diberikan intervensi, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik
yaitu sebanyak 63 responden (63%), sebagian besar responden memiliki sikap yang baik
sebanyak 77 responden (77%), dan sebagian besar responden memiliki tindakan
penatalaksanaan yang baik sebanyak 81 responden (81%).
39
5.2 SARAN
Beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam
penelitian ini.
1. Bagi Puskesmas Pembuang Hulu diharapkan dapat melakukan program promotif dan
preventif secara rutin dan berkesinambungan agar dapat meningkatkan pengetahuan dan
sikap ibu terhadap demam bayi dan balita.
2. Diharapkan adanya sosialisasi kepada tenaga kesehatan betapa pentingnya penyuluhan
tentang penatalaksanaan demam pada bayi balita kepada ibu yang memadai dan merata
kesetiap desa.
3. Diharapkan kepada para ibu agar dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dan menambah
wawasan mengenai pengetahuan dan penatalaksanaan tentang demam yang tepat
sehingga angka kejadian kejang demam menurun.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Arvin, A. M., 1999. Demam. Dalam Wahab, S.A., editor. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Volume 2. Edisi 15. Jakarta: EGC, 854-855.
2. Crocetti M, Moghbelli N, Serwint J. Fever phobia revisited: Have parental
misconceptions about fever changed in 20 years. Pediatric 2001(107); 1241-6.
3. Finkelstein JA, Christiansen CL, Platt R. Fever in Pediatric primary care:Occurrence,
management and outcome. Pediatrics 2000(105);260-6
4. Plipat N. Hakim S, Ahrens WR. The febrile child. Dalam: Strange GR, Ahrens WR,
Lelyveld S, Schafermeger RW, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi ke-2.
New York:McGraw-Hill.2002; 315-24.
5. Guyton, A. C., Hall, J. E. 2006. Textbook Of Medical Physioloy. Edisi 11. Pennysilvania:
Elsevier Saunders, 889-895.
6. Fauci, S. A., et al., 2008. Harrison’s Principle Of Internal Medecine. Edisi 17. USA:
McGraw-Hill.
7. Sherwood, L., 2001. Keseimbangan Energi dan Pengaturan Suhu. Dalam: Santoso, B.I.,
Editor. Fisiologi Manusia dari Sel Ke Sistem. Edisi 4. Jakarta:EGC, 596-598.
8. Price, D.L., Gwin, J. F., 2008. Pediatric Nursing: An Introductory Text. Edisi 10.
Missouri: Saunders Elsevier, 34.
9. Dieckmann RA, Brownstein D, Gausche-Hill M. Dalam: Pediatric education for
prehospital professionals. American Acedemy of pediatric. Sudbury Massachusetts.
Jones and Bartlett Publihers. 2000;98-113
10. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr. Jun
2003 (42); 383
11. Peters MJ, Dobson S, Novelli V, Balfour J, Macnab A. Sepsis and fever. Dalam: Macnab
AJ, Macrae DJ, Henning R, penyunting. Care of the critically ill child.
Philadelphia:Churchill livingstone. 1999; 112-7.
12. Victor Nizet, Vinci RJ, Lovejoy FH. Fever in children. Pediatric Rev. 1994 (15); 127-34.
13. McCarthy PL. Fever in infants and children. Dalam: Mackowiak, penyunting. Fever:
basic mechanism and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven Publihers.
1997; 351-61.
41
14. Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious Diseases. Dalam: Rudolph AM, Kamei RK,
Overby KJ, penyunting. Rudolph’s fundamental of pediatrics. Edisi ke-2. New
York:McGraw-Hill. 2002;312-7.
15. Luszczak M. Evaluation and management of infants and young children with fever. Am
Fam Phys. 2001 (64); 1219-26
16. Paul A, Lusel. Analgesic, antipyretic and antiinflammatory agents and drugs employed
in the treatment of gout. Goodman and gilman’s the pharmacological basis of
theurepeutics. Edisi ke-9. Philadelphia:McGraw-Hill. 1996;617-32.
17. Shearn MA. Obat antiinflamasi non steroid; analgesik nonopiat;obat yang digunakan
dalam gout. Dalam: Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta:EGC. 1992;
47483.
18. Mortensen ME. Acetaminophen recommendation. Pediatric 2002;110:646.
19. Morriss FC. Abnormalities in temperature regulation. Dalam: Levin DL, Morris FC,
Moore GC, penyunting. A practical guide to Pediatric intensive care. St.Louis: Mosby
company. 1984; 120-3.
20. Offringa M, Moyer VA. Evidence based management of seizures associated with fever.
Br Med J 2001;323:1111-3.
21. Uhari M, Rantala H, Vainionpaa L, et al. Effect of acetaminophen and of low intermittent
doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr
1995;126:991-5.
22. Notoadmojo, S. 2003. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
23. Notoadmojo, S. 2005.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
24. Wati, C., 2010. Gambaran Pengetahuan Ibu dalam Penatalaksanaan Demam Pada Anak
Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kelurahan Pasar Merah Timur Medan Tahun 2010.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
42
LAMPIRAN
43
44
45