Disusun oleh:
Sarah Marsa Tamimi
NIM. 132011101012
Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
0
BAB I
PENDAHULUAN
Demam telah dikenal sebagai suatu manifestasi penting pada infeksi masa kanak –
kanak sejak zaman dahulu kala. Demam seringkali merupakan gejala pertama yang disadari
orang tua, tanda bahwa anak mereka sakit. Demam juga merupakan salah satu alasan utama
mencari bantuan medis.(2)
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua yang
dapat ditemukan mulai dari praktik dokter mandiri sampai Unit Gawat Darurat (UGD),
meliputi 19-30% dari jumlah kunjungan pada anak.(3) Penyakit infeksi terbanyak dengan
gejala disertai demam adalah pneumonia dengan angka kematian sebesar 23,8% dari total
angka kematian pada anak.(5)
Demam membuat orang tua atau pengasuh menjadi risau. Sebagian besar anak-anak
mengalami demam sebagai respon terhadap infeksi virus yang bersifat self limited atau
infeksi bakteri yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Akan tetapi sebagian kecil
demam tersebut merupakan tanda infeksi yang serius dan mengancam jiwa seperti
pneumonia, meningitis, dan sepsis. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter untuk
mengidentifikasi penyebab demam tersebut.(2)
Pendekatan penatalaksanaan demam pada anak bersifat age dependent karena infeksi
yang terjadi tergantung dengan maturitas sistem imun di kelompok usia tertentu. Penilaian
awal pada saat anak dibawa ke rumah sakit akan membantu menentukan beratnya penyakit
anak dan urgensi pengobatannya.(4) Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam referat ini
akan membahas tentang penanganan demam pada anak yang meliputi definisi, epidemiologi,
patofisiologi, cara pengukuran, penilaian awal, penatalaksaan demam dan keadaan khusus
anak dengan demam.
1
BAB II
PENATALAKSANAAN DEMAM PADA ANAK
2.2 Epidemiologi
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua yang
dapat ditemukan mulai dari praktik dokter mandiri sampai Unit Gawat Darurat (UGD),
meliputi 19-30% dari jumlah kunjungan pada anak.(3) Sedangkan penyakit infeksi dengan
angka kematian terbanyak pada kelompok usia >5 tahun yang disertai demam adalah TB
(7,5%), pneumonia (3,8%) dan diare (3,5%). Sedangkan pada kelompok usia balita (12-59
bulan) adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%). Dan pada kelompok usia 29 hari- 11
bulan yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%). (5)
2
Pengukuran suhu melalui ketiak (axilar) hanya dapat dilakukan
pada anak besar yang mempunyai daerah aksila cukup lebar. Pada anak
kecil ketiaknya sempit sehingga terpengaruh suhu luar. Pastikan puncak
ujung termometer tepat pada tengah aksila dan pengukuran dilakukan
selama 5 menit. Hasil pengukuran aksila akan lebih rendah 0,5-1ºC
dibandingkan dengan hasil pengukuran melalui dubur. Pengukuran suhu
dengan cara meraba kulit, daerah yang diraba adalah daerah yang
pembuluh darahnya banyak seperti di daerah pipi, dahi, tengkuk.
Meskipun cara ini kurang akurat (tergantung kondisi tangan ibu), namun
perabaan ibu cukup bisa dipercaya dan digunakan sebagai tanda demam
pada program MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit ).(2)
Pada beberapa sumber, kelompok ini dibagi lagi menjadi beberapa kelompok berdasar
usia, yaitu neonatus, bayi usia 1-3 bulan dan anak usia 3-36 bulan.(7)
4
Apakah ibu menderita demam saat hamil, swab test positif atau mengalami ketuban
pecah dini.
Apakah bayi lahir premature.
Gejala sepsis pada bayi tidak jelas, hanya menunjukkan gejala demam dan asupan minum
yang sulit tanpa menunjukkan tanda fokal suatu infeksi. Sehingga, apabila dicurigai adanya
infeksi, sebaiknya bayi dirawat inapkan dan dilakukan pemeriksaan penunjang yang lengkap.
(7)
Dikutip dari: Niehues, T. 2013. The febrile child: diagnosis and treatment. (8)
5
Terdapat empat kategori utama bagi anak demam: (12)
Demam karena infeksi tanpa tanda lokal
Dikutip dari: World Health Organization. 2005. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
(12)
6
Dikutip dari: World Health Organization. 2005. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
(12)
Dikutip dari: World Health Organization. 2005. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
(12)
7
Dikutip dari: World Health Organization. 2005. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
(12)
8
Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada
set-point sekitar 36,6ºC-37,2 oC (jika diukur pada aksila). Ketika terjadi demam maka yang
terjadi adalah peningkatan set-point akibat kelainan dalam otak sendiri atau oleh karena
bahan-bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Pada kondisi demam, yang
terjadi pada tubuh adalah: (1)
Pengurangan pengeluaran panas melalui penurunan aliran darah (vasokontriksi) ke
kulit sehingga kulit menjadi dingin (perasaan dingin) dan mengurangi sekresi keringat
di kulit.
Peningkatan produksi panas yaitu dengan cara meningkatkan metabolisme basal
tubuh serta tubuh merangsang kontraksi otot dengan cara menggigil.
Keadaan ini berlangsung terus sampai nilai sebenarnya mendekati set-point yang baru
pada saat demam. Apabila demam turun, sekali lagi set-point juga akan turun sehingga
sekarang nilai sebenarnya menjadi terlalu tinggi. Pada keadaan ini, aliran darah ke kulit
meningkat sehingga orang tersebut akan merasa kepanasan dan mengeluarkan keringat
banyak.(1)
9
Sehingga secara umum, demam memiliki 3 fase, yaitu: (3)
a. Fase kedinginan
Fase peningkatan suhu tubuh akibat peningkatan set-point. Ditandai dengan
vasokontriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk
memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil.
b. Fase demam
Fase tubuh mencapai set-point suhu saat demam. Sehingga yang tampak adalah,
suhu anak yang meningkat dari normal.
c. Fase kemerahan
Fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas akibat set-point turun
menjadi normal. Sehingga yang tampak adalah tubuh yang kemerahan.
Demam terutama biasa terjadi pada infeksi sebagai reaksi fase akut. Pada keadaan ini,
zat yang menimbulkan demam (pirogen) menyebabkan perubahan pada set-point. Pirogen
eksogen merupakan bagian dari patogen, diantaranya yang paling aktif adalah kompleks
lipopolisakarida (endotoksin) bakteri gram negatif. Patogen atau pirogen seperti itu
diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh makrofag, misalnya sel kupffer di hati.
Proses ini melepaskan sejumlah sitokin, diantaranya pirogen endogen interleukin 1α, 1β, 6,
8 dan 11, interferon α2 dan γ, tumor necrosis factor TNF α (kahektin) dan TNF β
(limfotoksin), macrophage-inflamatory protein MIP 1, dll. Sitokin ini diduga mencapai organ
sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Oleh karena itu, sitokin dapat
menyebabkan reaksi demam pada organ-organ ini atau yang berdekatan dengan area pre-
optik dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT) melalui prostaglandin PGE2. Obat
penurun panas (antipiretik) bekerja secara efektif didaerah ini. Jadi, asam asetil salisilat,
misalnya, menghambat enzim yang membentuk PGE2 dari asam arakhidonat
(siklooksigenase 1 dan 2). (1)
Akibat yang ditimbulkan oleh demam adalah peningkatan frekuensi denyut jantung
dan metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri sendi dan sakit kepala,
peningkatan gelombang tidur lambat (yang berperan dalam perbaikan fungsi otak) dan pada
keadaan tertentu bisa menimbulkan gangguan kesadaran dan persepsi (delirium karena
demam) serta kejang. (4)
Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh karena aliran
darah makin cepat sehingga makanan dan oksigenasi makin lancar serta akan menghambat
10
pertumbuhan beberapa patogen oleh panas yang dihasilkan. Selanjutnya, sel yang rusak
karena virus juga dimusnahken sehingga replikasi virus dihambat.(2)
Namun jika suhu terlalu tinggi (di atas 38ºC) pasien mulai merasa tidak nyaman,
aliran darah cepat, jumlah darah untuk mengaliri organ vital (otak, jantung, paru) bertambah,
sehingga volume darah ke ekstremitas dikurangi, akibatnya ujung kaki/tangan teraba dingin.
Demam yang tinggi memacu metabolisme yang sangat cepat, jantung dipompa lebih kuat dan
cepat, frekuensi napas lebih cepat. Dehidrasi terjadi akibat penguapan kulit dan paru dan
disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit, yang mendorong suhu makin tinggi. Kerusakan
jaringan akan terjadi bila suhu tubuh lebih tinggi dari 41ºC, terutama pada jaringan otak dan
otot yang bersifat permanen. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak,
terjadinya kejang, koma sampai kelumpuhan. Kerusakan otot yang terjadi berupa
rabdomiolisis dengan akibat terjadinya mioglobinemia.(2) Karena alasan inilah maka
antipiretik hanya digunakan apabila demam berisiko menyebabkan kejang demam atau pada
suhu >38 - 39ºC.(4)
12
Cairan keluar dari telinga atau gendang telinga merah pada pemeriksaan otoskopi
Pucat pada telapak tangan, bibir dan konjungtiva
Nyeri sendi atau anggota gerak
Nyeri tekan lokal
Pemeriksaan fisik berulang dalam interval singkat oleh seorang atau beberapa dokter
akan menegakkan diagnosis lebih objektif. Pemeriksaan fisik secara subjektif dapat diukur
dengan menggunakan tabel YOS (Yale Observation Scale).(10) Tabel YOS ini dipakai untuk
penilaian anak toksis. Adanya toksis mengindikasikan infeksi yang serius.(4)
Hasil studi prospektif penggunaan skala tersebut diatas, pada anak usia < 2 tahun
sebanyak 312 anak yang mengalami demam, anak yang mempunyai nilai lebih dari 16
ternyata menderita penyakit yang serius.(10)
14
Dikutip dari: Niehues, T. 2013. The febrile child: diagnosis and treatment. (8)
2.7 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada
tingkat tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain daya fagositosis
meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga merugikan jika demam terlalu
tinggi karena anak menjadi gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak dapat tidur dan
menimbulkan kejang demam. Semua anak dengan demam harus diperiksa apakah ada tanda
atau gejala yang melatar belakanginya dan hal ini harus ditangani sebagaimana mestinya.(4)
Hasil penelitian ternyata 80% orangtua mempunyai fobia demam. Orang tua mengira
bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. Kepercayaan tersebut tidak
terbukti berdasarkan fakta. Karena konsep yang salah ini banyak orang tua mengobati demam
ringan yang sebetulnya tidak perlu diobati. Demam < 39 oC pada anak yang sebelumnya
sehat pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik > 39 oC, anak cenderung
15
tidak nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih
baik. Pada dasarnya menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara fisik, obat-obatan
maupun kombinasi keduanya. (6)
16
2.7.2. Medikamentosa
a) Anak yang tidak tampak sakit, tidak perlu dirawat dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan
lab serta tidak perlu diberikan antibiotik.(10)
b) Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, laboratorium menunjukkan hasil resiko
tinggi untuk terjadinya bakteremia tersembunyi maka dapat diberikan antibiotik setelah
pengambilan sediaan untuk biakan (catatan : terutama bila hitung leukosit > 15.000 dan
hitung total neutrofil absolut > 10.000).(10)
c) Pemberian antibiotik secara empirik harus memperhitungkan kemungkinan terjadinya
peningkatan resistensi bakteri. Secara empirik antibiotik yang diberikan adalah antibiotik
yang sesuai dengan etiologi dari penyakit yang diderita. (11) Sedangkan antibiotik yang
diberikan pada anak dengan demam tanpa diketahui penyebab yang jelas adalah
amoksisilin : 60-100 mg/kgBB/hari atau seftriakson 50-75 mg/kgBB/hr (maks 2 gr/hr).
Bila didapatkan alergi dari kedua obat tersebut, maka dapat dipilih obat lain sesuai hasil
uji resistensi dan bila perlu dapat dikonsulkan kepada konsultan infeksi dan penyakit
tropis.(10)
Sedangkan antibiotik untuk bayi <2 bulan diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kultur
darah (jika tersedia) dan apabila didapatkan tanda-tanda infeksi bakteri berat yang positif.
Yaitu dengan diberikan ampisilin 50mg/kgBB setiap 12 jam (atau penisilin) dan
gentamisin 5 mg/kgBB 1 kali sehari. Sebagian besar infeksi bakteri yang berat pada
kelompok usia ini harus diobati dengan antibiotik sekurangnya 10 hari. Jika tidak
membaik dalam waktu 2-3 hari, ganti antibiotik dengan sefalosporin generasi ke-3
(sefotaksim) atau rujuk bayi ke fasilitas yang lebih lengkap.(12)
d) Bila kultur darah positif dan demam menetap 5 hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan
ulang untuk kemungkinan bakteremia oleh fokal infeksi yang tidak terdeteksi sebelumnya
(misal meningitis).(10)
e) Antipiretik
Pemberian antipiretik pada bayi <2 bulan misal parasetamol tidak diperbolehkan. Jika
diperlukan untuk mengontrol demam pada bayi, maka yang dilakukan adalah atur suhu
lingkungan. Jika perlu, buka baju bayi tersebut.(12)
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama pada anak >2 bulan dalam
menurunkan demam dan sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan
kelainan kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang
berisiko kejang demam. Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan antipiretik terdiri dari
17
golongan yang bermacam-macam dan sering berbeda dalam susunan kimianya tetapi
mempunyai kesamaan dalam efek pengobatannya. Tujuannya menurunkan set point
hipotalamus melalui pencegahan pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat
enzim cyclooxygenase.(9)
Asetaminofen atau paracetamol bekerja menekan pembentukan prostaglandin yang
disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik antara 10-15 mg/kgBB/kali tiap 4-6
jam maksimal 6 kali sehari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis
besar jangka lama dapat menyebabkan hepatotoksik. Pemberiannya dapat secara per oral
maupun rektal atau intravena.(9)
Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja menekan pembentukan
prostaglandin. Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping yang
timbul berupa mual, muntah, nyeri epigastrik, dan tukak peptik. Dosis terapeutik untuk
antipiretik yaitu 5-10 mg/kgBB/hari.(9)
Aspirin atau asam salisilat adalah obat yang digunakan sebagai antipiretik-analgetik.
Aspirin memiliki kekuatan antipiretik yang sama dengan parasetamol namun memiliki
kekuatan analgetik yang lebih efektif. Akan tetapi aspirin memiliki efek samping yang lebih
banyak disbanding parasetamol. Pemakaian aspirin ada keterkaitannya pada pasien dengan
infeksi virus dan efek sampingnya berupa sindrom reye. Pemberian aspirin untuk analgetik-
antipiretik yaitu 10-15mg/ kgBB/ kali setiap 4-6 jam. Akan tetapi pemakaian aspirin tidak
lagi direkomendasikan. Efek samping yang ditimbulkan aspirin pada tubuh adalah
bronkospasme, mual, perdarahan gastrointestinal dan subkonjungtiva. Efek samping yang
ditimbulkan biasanya ringan dan tidak sering terjadi pada dosis rendah.(11)
Steroid mempunyai efek antipiretik, pasien yang mendapat pengobatan steroid jangka
panjang akan mengalami penurunan demam atau bebas demam dalam respons terhadap
infeksi, seperti sepsis. Umumnya penekanan demarn berlagsung sampai 3 hari setelah
penghentian steroid. Efek antipiretik disebabkan pengurangan produksi Interleukin-1 (IL-1)
oleh makrofag (menyebabkan terhambatnya respons fase akut proses infeksi yang sedang
berjalan), supresi aktivitas limfosit dan respons inflamasi lokal, serta menghambat pelepasan
prostaglandin. (11)
Metamizole (antalgin) bekerja menekan pembentukkan prostaglandin. Mempunyai
efek antipiretik, analgetik dengan antiinflamasi yang lemah. Efek samping pemberiannya
berupa agranulositosis, anemia aplastik dan mual, muntah, perdarahan lambung serta anuria.
18
Dosis terapeutik 10 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam dan tidak dianjurkan untuk anak kurang dari 6
bulan. Pemberiannya secara per oral, intramuskular atau intravena.(9)
Asam mefenamat suatu obat golongan fenamat. Khasiat analgetiknya lebih kuat
dibandingkan sebagai antipiretik. Efek sampingnya berupa dispepsia dan anemia hemolitik.
Dosis antipiretik 10 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Pemberiannya secara per oral dan tidak
boleh diberikan anak usia kurang dari 6 bulan.(9)
Antipiretik Lain(12)
1. Indometasin tidak digunakan sebagai antipiretik pada anak oleh karena ketersediaan obat-
obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Reaksi samping indometasin berupa gejala
gastrointestinal dan susunan saraf pusat, seperti sakit kepala, pusing, dan bingung. Obat
ini lebih efektif untuk mengobati demarn pada anak dengan keganasan, setara dengan
naproksen.
2. Dipiron adalah derivat lain pirazolon, berbeda dengan parasetamol, efek toksisitasnya
lebih tinggi, terutama agranulositosis sehingga tidak diperbolehkan beredar di pasar
Amerika sejak tahun 1997. Obat ini tidak direkomendasikan lagi untuk digunakan pada
anak.
3. Salisilamid saat ini sudah jarang digunakan sebagai antipiretik. Dibandingkan dengan
parasetamol atau aspirin efektivitasnya lebih rendah.
4. Aminopirin pernah digunakan secara luas di dunia sebagai antipiretik tetapi tidak dipakai
lagi oleh oleh karena toksisitasnya terutama agranulositosis.
5. Nirnesulid adalah suatu NSAID (non-steroid anti inflammatory drug) baru dengan
aktivitas antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. Dosis 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis.
6. Klorpromazin menurunkan suatu tubuh melalui efek sentral melalui hipotalamus dan efek
perifer (vasodilatasi). Teknik surface cooling mempunyai efek potensiasi dengan
klorpromazin yang berakibat hipoterrnia dan hipotensi postural.
19
2.7.4 Algoritma Tatalaksana demam pada Anak
20
parasetamol untuk mencegah kejang demam. Dari penelitian pada 104 anak, dimana satu
kelompok diberikan profilaksis parasetamol dan kelompok lain diberikan parasetamol secara
sporadis didapatkan hasil pemberian parasetamol profilaksis tidak efektif bila dibandingkan
kelompok lainnya dalam mencegah kejang demam yang rekuren. Sedangkan penelitian Uhari
dkk. menunjukkan pemberian asetaminofen dan diazepam per oral pada saat demam
menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah rekurensi kejang demam.(4)
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A. C., dan J. E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC.
2. Ismoedijanto. 2000. Demam pada anak. Sari Pediatri. 2 (2): 103-108.
3. Ismoedijanto, dan D. Puspitasari. 2014. Fever in child: The basic pathophysiology.
Fever in Pediatrics. 1 (1): 1-25.
21
4. Kania, N. 2007. Penatalaksanaan demam pada anak. Kejang Pada Anak. 1 (1): 1-7.
5. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesi. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan.
6. Lubis, I. N. D., dan C. P. Lubis. 2011. Penanganan demam pada anak. Sari Pediatri.
12 (6): 409-418.
7. Mardante, K. J., R. M. Kliegman, H. B. Janson dan R. E. Behrman. 2013. Nelson
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 6. Jakarta: EGC.
8. Niehues, T. 2013. The febrile child: Diagnosis and treatment. Deutsches Arzteblatt
International. 110 (45): 764-774.
9. Noer, M. S., M. R. Kurniawan, R. V. Prasetyo, dan N. A. Soemiarso. 2014. The use of
antipyretics in children: Tata laksana demam pada anak. Fever in Pediatrics. 1 (2):
27-51.
10. Pudjiadi, A.,B. Hegar, S. Hanryastuti, N. S. Idris, E. P. Gandaputra, dan E. D.
Harmoniati. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid 1.
Jakarta: Pengurus Pusat IDAI.
11. Soedarmo, S. S. P., H. Gama, S. R. S. Hadinegoro dan H. I. Satari. 2008. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: IDAI.
12. World Health Organization (WHO). 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: Depkes RI dan WHO.
22