Anda di halaman 1dari 5

Karakteristik Bawang Merah Palu

Pada dasarnya, bawang merah terbagi atas beberapa jenis yang dapat dibedakan berdasarkan
karakteristik atau kekhasan yang dimilikinya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa jenis bawang
merah yang memiliki kekhasan, salah satunya yang terdapat di Palu, Sulawesi Tengah. Komoditas ini
dikembangkan oleh petani di Kabupaten Donggala terutama di Lembah Palu, sehingga biasa disebut
dengan “Bawang Merah Palu”. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi
Tengah pada perayaan Hari Krida Pertanian tahun 2000 di Palu.

Bawang merah varietas Lembah Palu merupakan bahan baku industri pengolahan bawang goreng serta
telah menjadi “brand lokal” Palu. Salah satu keunikan bawang ini yang membedakan dengan bawang
merah lainnya adalah umbinya mempunyai tekstur yang padat sehingga menghasilkan bawang goreng
yang renyah dan gurih serta aroma yang tidak berubah walaupun disimpan lama dalam wadah yang
tertutup.[7]

Usaha pertanian Bawang Merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di sekitar
Lembah Palu, Tinombo, Gontarano, dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Donggala. Bawang ini
beradaptasi cukup baik pada daerah dataran rendah beriklim kering. Meskipun bawang merah Palu
memiliki cita rasa yang khas, ciri-ciri morfologinya tidak banyak berbeda dengan bawang merah lainnya.

Potensi lahan di Sulawesi Tengah masih cukup luas untuk pengembangan bawang merah yang didukung
oleh curah hujan, suhu udara dan tanah yang sesuai serta sarana dan prasarana yang memadai. Khusus
untuk Lembah Palu yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan bawangmerah Palu,
potensi lahan tersedia 2.608 ha.

Tipe iklim di daerah tersebut termasuk E1, E2, dan E3 (menurut klasifikasi Oldeman), bulan kering lebih
dari empat bulan, curah hujan rendah (400−1.000 mm/tahun), dan suhu udara tergolong panas (rata-
rata 30–35o C). Kondisi ini menurut Rismunandar (1988) sangat cocok untuk pembentukan umbi (suhu
32–34o C).[8]

Bawang Goreng Palu


Pengolahan bawang goreng Palu terutama di sekitar Lembah Palu sudah mulai berkembang dari industri
rumah tangga menjadi industri menengah dengan menggunakan mesin pengupas, pencuci, pengiris, dan
pengepak. Berkembangnya industri pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan
produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan karena aromanya yang khas.
Bawang merah Palu sebagian besar dibuat bawang goreng karena bawang goreng yang dihasilkan
memiliki cita rasa yang khas dan tetap kering walaupun disimpan lama dalam kemasan yang tertutup
rapat. Rasa khas dan kekeringan bawang merah Palu yang tidak sama dengan bawang lainnya
menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen.

Bawang goreng khas Palu memang sangat berbeda dengan bawang goreng pada umumnya.
Perbedaannya terletak pada jenis bawangnya sendiri, yaitu dikenal dengan bawang batu. Bentuknya
kecil dan warnanya tidak semerah bawang merah pada umumnya, namun lebih keras. Menurut
beberapa sumber, bawang jenis ini tidak bisa tumbuh di daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, dari
seluruh wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, hanya tanah di daerah Palu yang cocok untuk bawang
jenis ini. Kontur tanah di daerah Palu yang berpasir membuat bawang batu ini dapat tumbuh dengan
subur dan berproduksi dengan baik. Selain itu, pemerintah setempat juga bekerjasama dengan
perguruan tinggi dan kelompok tani setempat untuk menjadikan bawang ini sebagai komoditas
unggulan dan sekaligus mempermudah para pengusaha untuk mendapatkan bahan baku pembuatan
bawang goreng.

Pada tahun 2011, tercatat sekitar 38 industri bawang goreng yang tersebar di Kota Palu dengan berbagai
macam merek seperti Garuda Jaya, Cendana, Sri Rejeki, Mustika, Raja, Bunga Kaili, Mahkota Palu, dan
sebagainya. Beberapa dari mereka sudah memiliki distributor yang tersebar di seluruh Nusantara,
bahkan hingga luar negeri. Selain itu, ada juga yang memasarkan produknya melalui jaringan internet,
baik melalui website, blog, ataupun melalui jejaring sosial facebook dan twiter.[9]

Bawang goreng khas Palu memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bawang goreng lainnya.
Aroma bawang goreng ini khas dan lebih gurih jika dibandingkan dengan bawang goreng pada
umumnya. Selain itu, teksturnya yang renyah membuat makanan ini dapat dimakan seperti
mengonsumsi keripik. Bawang goreng khas Palu juga diproduksi secara higienis dari bawang pilihan yang
bermutu, tanpa bahan pengawet, pewarna, maupun bahan perenyah.
Keunggulan lain dari bawang goreng khas Palu adalah dapat bertahan hingga dua tahun karena dikemas
dengan menggunakan alumunium foil yang dapat menahan perubahan suhu dari luar sehingga
kestabilan humidity atau kelembabannya tetap terjaga. Meskipun disimpan dalam waktu yang lama,
bahkan di dalam kulkas sekalipun, bawang goreng khas Palu ini tetap tahan lama, aroma, dan
kerenyahannya tetap tidak berkurang. Bagi Anda yang mengidap penyakit kolestrol, tidak perlu khawatir
karena bawang goreng khas Palu digoreng dengan menggunakan minyak goreng nonkolestrol. Tidak
hanya itu, bawang goreng ini juga sudah mendapatkan sertifikasi dari badan Pengawas Obat dan
Makanan (POM) sehingga aman untuk dikonsumsi.[10]

Bawang merah Palu dipanen setelah berumur 65−70 hari. Setelah dipanen sebaiknya bawang langsung
diolah menjadi bawang goreng karena bila ditunda, mutu bawang goreng yang dihasilkan akan
menurun. Menurut Hartuti dan Sinaga (1995), penyimpanan dalam bentuk umbi menyebabkan
terjadinya berbagai perubahan akibat proses fisiologis, biologis, fisik, kimia, dan mikrobiologis. Selama
penyimpanan, senyawa yang menentukan bau dan cita rasa terutama senyawa sulfida akan menguap
dari umbi.

Pada awalnya, pengolahan umbi menjadi bawang goreng masih dilakukan dalam skala rumah tangga.
Dengan semakin berkembangnya berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng,
maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin meningkat, sehingga para pengusaha mulai
mengembangkan usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala besar. Beberapa
perusahaan mengolah bawang merah Palu menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin
pemotong dan penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah per hari.

Bawang goreng Palu juga diekspor ke Singapura dan Malaysia serta dipasarkan ke daerah-daerah lain di
Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Harga bawang merah Palu
sekitar Rp 6.000/kg, sedangkan harga bawang goreng kemasan sekitar Rp 50.000/kg.[11]

Perlindungan Hukum "Indikasi Geografis" Bawang Goreng Palu

Indikiasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang uang dikaitkan dengan
kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut. Indikasi
Geografis adalah indikasi-indikasi atau tanda yang karena faktor lingkungan geografis, faktor alam,
faktor manusia atau kombinasinya, dapat mengidentifikasikan bahwa suatu barang berasal dari suatu
daerah, di mana mutu yang dihasilkan, reputasi atau sifat-sifat lain barang tersebut dapat dicirikan
secara mendasar terhadap asal geografisnya.
Perlindungan terhadap Indikasi Geografis merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual di Indonesia. Sistem perlindungan terhadap indikasi geografis diatur dalam Perjanjian TRIPs
yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan
tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktik atau tindakan persaingan tidak sehat.[12]

Perlindungan hukum Indikasi Geografis terhadap tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara atau
kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan
karakterisitik barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis. Indonesia merupakan negara
mega diversity, negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alam. Banyak produk unggulan
dihasilkan di Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional. Sebagai contoh, Kopi Arabika
Kintamani Bali, Java Coffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok, dan tentunya Bawang Merah
“Goreng” Palu, serta masih banyak lainnya.[13]

Produk tersebut telah lama dikenal oleh konsumen di berbagai negara. Sejak dahulu hingga sekarang
produk tersebut masih diperdagangkan. Dengan semakin ketatnya persaingan, perdagangan suatu
produk akan tetap mendapat permintaan tinggi apabila ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta
dijaga konsistensinya. Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu produk
akan tetap bertahan di pasar, tetapi juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar sehingga
eksistensi mutu produk dapat dipertahankan.[14]

Suatu produk yang bermutu khas dan terkenal tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan
perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Dalam beberapa kasus telah terbukti
bahwa nama produk Indonesia seperti Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper telah banyak
digantikn dengan produk serupa dari Vietnam, China, atau daerah lain yang diperdagangkan dengan
nama Muntok White Pepper. Contoh lainnya adalah Kopi Arabika Gayo telah didftarkan sebagai merek
dagang oleh pihak asing dan akibtnya eksportir asal Gayo yaitu Aceh dilarang memasukkan produknya
ke Eropa dengan nama Gayo. Demikian pula yang terjadi dengan Kopi Toraja, yang mana Key Coffee
Corporation dari Jepang mendaftarkan merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722..
[15]

Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari
Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan
hukum Hak Kekayaan Intelektual bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia wilayah geografis dari
mana Kopi Toraja itu berasal, manakala pihak asing justru berebut karena nilai aset dan peluang
bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya
mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan. Tentunya pada
saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di Jepang,
perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan
Indikasi Geografis.[16]

Secara spesifik, indikasi geografis[17] perlu mendapatkan perlindungan, karena:

Indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari wilayah tertentu atau
nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa dipergunakan
untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.

Indikasi geografis merupakan indikator kualitas yang menginformasikan kepada konsumen bahwa
barang tersebut dihasilakan dari suatu lokasi tertentu di mana pengaruh alam sekitar menghasilkan
kualitas barang dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya.

Indikasi geografis memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena keoriginalitasannya
dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi di daerah lain.

Berdasarkan perjanjian TRIPs, indikasi geografis ditetapkan sebagai bagian dari hak milik intelektual
yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan melawan hukum dan persaingan
yang tidak sehat.

Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus dari seluruh pihak termasuk pemerintah dan seluruh lapisan
masyarakat agar kejadian sebagaimana dijelaskan di atas tidak terulang. Salah satu yang perlu mendapat
perlindungan saat ini adalah “Bawang Goreng Palu” yang telah lama di kembangkan di Lembah Palu,
Sulawesi Tenggara.

Anda mungkin juga menyukai