Anda di halaman 1dari 2

 Strategi Pembelajaran Aktif

Sebagaimana ditegaskan oleh para teoritisi belajar seperti Crow and Crow (1963), Gagne (1965), dan Hilgard and
Bower (1966) dalam Knowles (1990), inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu dalam aspek-aspek
pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungannya. Atau bila
kita ambil  Kolb (1986), mengatakan bahwa: “belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi
pengalaman”. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk
pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses
belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau
sengaja dirancang.
Jenis model-model pembelajaran interaktif  Prof. Dr. Atwi Suparman, M.Sc. (1997:12) menjelaskan antara lain:
1)      Model berbagai informasi yang tujuannya menitikberatkan pada proses komunikasi dan diskusi melalui
interaksi argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini Model Orientasi, Model Sidang Umum,
Model Seminar, Model Konferensi Kerja, Model Simposium, Model forum, dan Model Panel.
2)      Model Belajar melalui pengalaman yang tujuannya menitikberatkan pada proses perlibatan dalam situasi
yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini Model
Simulasi, Model Bermain Peran, Model Sajian Situasi, Model Kelompok Aplikasi, Model Sajian Konflik, Model
Sindikat, dan Model Kelompok “T”.
3)      Model pemecahan masalah yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah
melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke dalam rumpun ini Model Curah
Pendapat, Model Riuh Bicara, Model Diskusi Bebas, Model Kelompok Okupasi, Model Kelompok Silang, Model
Tutorial, Model Studi Kasus, dan Model Lokakarya.
Perguruan Tinggi:

Penyelenggaraan program pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan akademis (S1, S2, S3) dan profesional (D1,
D2, D3, D4) ditangani oleh Depdiknas c.q. Ditjen Dikti. Sementara itu, pendidikan profesi dan sertifikasi profesi
(yang berupa lisensi) ditangani oleh asosiasi profesi yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan ke Depdiknas.
Misalnya, pendidikan kedokteran dan kedokteran spesialis akan ditangani olek Ikatan Kedokteran Indonesia (IDI)
akan memilih anggota kolokium pendidikan profesi kedokteran yang pantas dan layak untuk menyelenggarakan
pendidikan kedokteran dan dokter spesialis. Anggota kolokium adalah fakultas-fakultas kedokteran yang ada, baik
negeri maupun swasta. Pendidikan kedokteran dan dokter spesialis bekerja sama dengan Departemen Kesehatan,
karena fakultas kedokteran tidak mampu menyelenggarakan rumah sakit yang memerlukan biaya operasional yang
sangat mahal. Praktik kedokteran harus didukung oleh fasilitas rumah sakit dan puskesmas.
Kurikulum pendidikan tinggi tahun 2000 dikembangkan berdasarkan paradigma kompetensi. Seperti halnya Prof.
Dr. Suprodjo Pusposutardjo, M.Eng. (2002:31) mengatakan bahwa: “kompetensi adalah hak seseorang untuk
melaksanakan suatu karya atas dasar pengakuan masyarakat terhadap kemampuan dan kepatutannya secara
keilmuan, keterampilan, cara menyikapi pekerjaan, dan cara bermasyarakat dengan profesi yang bersangkutan”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60/1999 pasal 13 ayat (1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan
dalam program-program studi atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi; dan ayat (2)
Kurikulum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada kurikulum yang berlaku secara nasional
(Kurnas) dengan penjelasan bahwa Kurnas merupakan rambu-rambu untuk menjamin mutu dan kemampuan
penyelenggaraan dalam bentuk proporsi terhadap kelompok mata kuliah. Pada saat Kurnas sudah terbentuk,
penyelenggaraan Kurnas tersebut ditangani oleh program studi yang bersangkutan. Dalam hal ini, program studi
akan menentukan kurikulum sesuai dengan kelompok-kelompok mata kuliah.
Kurikulum pendidikan tinggi 2000 didasarkan pada paradigma content based approach. Penggantian paradigma itu
berimplikasi pada: (1) penguasaan aspek kognitif dari instrumental diubah ke bentuk kemampuan, (2) penguasaan
aspek afektif dari pragmatis diubah ke komprehensif, dan (3) penguasaan aspek psikomotorik dari adaptif diubah
ke profesional.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 menyebutkan kurikulum pendidikan tinggi terdiri dari
kelompok –kelompok mata kuliah. Pilar pengelompokan ilmu terdiri atas: (1) Mata kuliah Keilmuan dan
Keterampilan (MKK), (2) Mata kuliah Keahlian Berkarya (MKB), (3) Mata kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (4)
Mata kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB), tanpa disertai dengan rincian mata kuliah dan beban SKS masing-
masing. Mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata
kuliah wajib sebagai landasan pengembangan kepribadian (MPK).
Kurikulum yang disusun berdasarkan KepMen No. 232/U/2000 adalah kurikulum yang dilaksanakan apda suatu
program studi yang ditempuh oleh peserta didik yang setelah lulus dapat mencari pekerjaan yang tidak
memerlukan sertifikasi. Namun bagi lulusan yang ingin bekerja pada lembaga profesi mereka harus menempuh
pendidikan profesi dan  ujian profesi. Misalnya sarjana ekonomi bila ingin bekerja sebagai akuntan, mereka harus
menempuh pendidikan akuntan dan ujian akuntan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Penyelenggaraan perguruan tinggi berkaitan dengan aspek kultural dan aspek struktural. Permasalahan kultural
meliputi demokratisasi equility dan equality antar bidang ilmu, kesempatan belajar, mutu, akses sumber daya,
penyelenggaraan pendidikan, dan lain-lain, relevansi pendidikan, akuntabilitas, profesionalisme dan efisiensi
ketergunaan yang rendah, adanya kecenderungan uniformitas, dan ketergantungan pada pemerintah sehingga
mengurangi kebebasan ilmu dan mimbar akademis, kejujuran dan ketulusan penyelenggaraan. Sedangkan
permasalahan struktural penyelenggaraan pendidikan meliputi tatanan SDM, pendidik, lingkungan akademis, sistem
pendanaan, tatanan lalu lintas pertukaran mahasiswa, tatanan keserasian penyelenggaraan pendidikan antar
lembaga, dan ketersediaan fasilitas. Sejalan dengan hal di atas menurut PP No. 25/2000 pasal (3) butir 11
memuat, kewenangan pemerintah di bidang pendidikan dan kebudayaan; penetapan standar materi pelajaran
pokok kurikulum yang berlaku secara nasional; penetapan persyaratan pedoman pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan; penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan dan sertifikasi mahasiswa; dan pengaturan dan
pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah (perguruan tinggi)
internasional.

Anda mungkin juga menyukai