Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL ROLE PLAY KEGIATAN DISKUSI REFLEKSI KASUS

PENGOBATAN PADA TB MDR DI RUANG AL HAKIM


RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

Tanggal
5 Maret 2020

Oleh Kelompok Al Hakim :

Nurhaliza, S.Kep NIM.1930913320002


St.Aisyah Fitriah, S.Kep NIM.1930913320010
Elsa Monica Rahman, S.Kep NIM.1930913320009
Muhammad Bayu Ihsan, S.Kep NIM.1930913310030
Susi Lestari, S.Kep NIM.1930913320003
Syahidah, S.Kep NIM.1830913320024
Amalia Septiani, S.Kep NIM.1830913320031
Senna Virgandiri, S.Kep NIM.1930913320026
Ifdy Patmindry, S.Kep NIM.1930913310029

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2020
LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL ROLE PLAY KEGIATAN DISKUSI REFLEKSI KASUS


PENGOBATAN PADA TB MDR DI RUANG AL HAKIM
RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

Tanggal
5 Maret 2020

Oleh Kelompok Al Hakim :

Nurhaliza, S.Kep NIM.1930913320002


St.Aisyah Fitriah, S.Kep NIM.1930913320010
Elsa Monica Rahman, S.Kep NIM.1930913320009
Muhammad Bayu Ihsan, S.Kep NIM.1930913310030
Susi Lestari, S.Kep NIM.1930913320003
Syahidah, S.Kep NIM.1830913320024
Amalia Septiani, S.Kep NIM.1830913320031
Senna Virgandiri, S.Kep NIM.1930913320026
Ifdy Patmindry, S.Kep NIM.1930913310029

Martapura, Maret 2020

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Herry Setiawan, S.Kep., Ns., M.Kep Setiawan, S.Kep., Ns


NIP. 19860311 200904 1 002
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri berbentuk batang yang dikenal dengan nama Mycobacterium
Tuberculosis. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatanya tidak
tuntas dapat menimbulkan kematian. TB diperkirakan ada didunia sejak
5000 tahun sebelum masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan
pengendalian penyakit TB baru dalam 2 abad terakhir. TB MDR (Multi
Drug Resitance) adalah salah satu TB yang resisten dengan OAT dengan
resisten terhadap 2 obat anti tuberculosis yang paling ampuh yaitu
rifampicin dan isoniazid. (Pusadatin, 2015)
Pengobatan TB membutuhkan waktu lama, terbatasnya informasi
mengenai TB dan masih adanya stigma tentang TB di masyarakat, efek
samping obat, sehingga ada kemungkinan pasien tidak patuh dalam
menelan obat. Untuk mengatasi masalah tersebut peran keluarga sebagai
pengawas menelan obat sangat penting dalam hal pendampingan di
masyarakat untuk menurunkan angka putus berobat dan meningkatkan
kesembuhan serta penemuan kasus TB di wilayahnya. Menurut Murtiwi
(2012). Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang buruk harus menjadi
perhatian utama karena hal ini akan memicu munculnya penderita TB
yang tidak patuh meminum obat namun tidak semua pasien yang
mempunyai PMO diingatkan minum obat atau diingatkan control kembali
ke pusat pelayanan kesehatan. Akibatnya 2 pengobatan TB tidak maksimal
sehingga mempunyai resiko terjadinya TB MDR Sebagian besar pasien
yaitu 69,9% menyatakan tidak mempunyai keluarga yang mendampingi
sebagai pengawas minum obat. Pasien yang mempunyai PMO hanya
30,1%. Tidak semua pasien yang mempunyai PMO diingatkan minum
obat atau diingatkan control kembali ke pusat pelayanan kesehatan.
Akibatnya pengobatan TB tidak maksimal sehingga mempunyai resiko
terjadinya TB-MDR.
Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi
obat akan mengalami kasus baru penderita TB di beberapa wilayah di
dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi obat ini belum di pandang
sebagai masalah yang utama. Penyebaran TB MDR telah meningkat oleh
karena lemahnya progam pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan
isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan
keterlambatan dalam menegakkan diagnosis TB MDR.
Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR TB) adalah salah satu jenis
resistensi bakteri TB terhadap minimal dua obat anti TB lini pertama, yaitu
Isiniazid dan rifampicin yang merupakan dua obat TB yang paling efektif.
TB MDR menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena
penegakan diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi dan
kematian. Penyakit TB setiap tahunnya menginfeksi sekitar 9.000.000
orang dan hampir membunuh 1.400.000 orang di seluruh dunia. Di
wilayah asia timur dan juga selatan merupakan penyumbang kasus terbesar
yaitu 40% atau 3.500.000 kasus setiap tahunnya, diperkirakan dengan
angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26 orang per 100.000 penduduk.
Secara 3 global diperkirakan terdapat 630.000 kasus multidrug resistance
tuberculosis. Diperkirakan prevalensi TB MDR di Indonesia pada tahun
2014 adalah sebesar 8900 kasus. 2% kasus TB MDR diperkirakan berasal
dari kasus TB baru dan 14,7% dari kasus TB yang mendapat pengobatan
ulang (WHO, 2012).
Program pengobatan pasien TB MDR dilaksanakan melalui kegiatan
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan OAT (Kemenkes RI
direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan,
2013) Resistensi Obat Tuberculosis (OAT) sangat erat hubungannya
dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pasien yang pernah diobati
sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan
untuk 4 TB MDR 10 kali lebih tinggi dari pada pasien yang belum pernah
menjalani pengobatan. harus diakui bahwa pengobatan terhadaP
tuberculosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu
yang lama bahkan sampai 24 bulan. Faktor ketidak patuhan pasien TB
dalam pengobatan diyakini menjadi faktor utama dan pengobatan tidak
adekuat juga menjadi penyebab terjadinya TB MDR. Dampak terjadinya
TB MDR adalah terdapat penyakit penyerta yang berat (ginjal, hati,
epilepsy dan psikosis), kelainan fungsi hati terjadi kenaikan SGOT/SGPT
> 3 kali dari nilai normal, kelainan fungsi ginjal terdapat kadar kreatinin
>2,2 mg/dl.
Tuberculosis membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai kesembuhan. Tipe pengobatan jangka panjang yang
menyebabkan pasien tidak patuh dalam mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis. Perilaku yang tidak patuh dalam menjalani pengobatan TB
paru membuat bakteri TB paru menjadi resisten pada tubuh. Maka
dibutuhkan dukungan dari keluarga untuk dapat mendukung ketaatan
dalam program pengobatan. Diharapkan partisipasi keluarga, masyarakat,
kader kesehatan dapat peranan sebagai PMO dalam pengawasan minum
obat yang akan meningkatkan kepatuhan minum obat pasien TB paru.
Sehingga resiko terjadinya TB MDR dapat diminimalkan (Rahmawati,
2013). Penanggulangan TB bukan saja tanggung jawab pemerintah perlu
dukungan dan keterlibatan semua elemen masyarakat termasuk tokoh
masyarakat, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Untuk mencegah
terjadinya TB-MDR juga di perlu kan adanya petugas Pengawasan Minum
Obat (PMO). Karena salah satu faktor resiko dari TB-MDR adalah ketidak
5 patuhan penderita TB dalam mengkonsusmsi Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Maka diperlukan adanya PMO untuk para penderita TB, agar
penderita lebih disiplin dalam mengkonsumsi obat dan mencegah
terjadinya TB-MDR. Selain itu dilakukan pelatihan-pelatihan bagi PMO
agar bisa meningkatkan peran PMO dalam melakukan tugasnya. Dan
diharapkan petugas kesehatan yang ada di puskesmas dapat memberikan
pengertian akan pentingnya minum obat secara lengkap kepada pnderita
maupun PMO sehingga tidak terjadi TB-MDR.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan TB MDR?
2. Bagaimana penatalaksanaan TB MDR ?
3. Bagaimana klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB MDR?
4. Bagaimana pengobatan pasien TB MDR?
5. Apa saja tahapan pengobatan TB MDR?
6. Apa yang dimaksud dengan PMO (Pengawas Minum Obat)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari TB MDR?
2. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan TB MDR ?
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB
MDR?
4. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan pasien TB MDR?
5. Untuk mengetahui apa saja tahapan pengobatan TB MDR?
6. Untuk mengetahui pengertian PMO (Pengawas Minum Obat)?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Resistansi M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana


bakteri tersebut sudah tidak dapat lagi dimusnakan dengan OAT. TB
resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun
penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB resistan OAT
lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak dari pada
penatalaksanaan TB yang tidak resistan. Penerapan Manajemen Terpadu
Pengendalian TB Resistan Obat menggunakan kerangka kerja yang sama
dengan strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap
komponennya (Kemenkes RI, 2013).

B. Penatalaksanaan TB MDR
1. Penemuan Pasien
Penemuan pasien TB Resistan Obat adalah suatu rangkaian kegiatan
yang dimulai dengan penemuan suspek TB Resistan Obat
menggunakan alur penemuan baku dilanjutkan proses penegakan
diagnosis TB Resistan Obat dengan pemeriksaan dahak selanjutnya
didukung juga dengan kegiatan edukasi pada pasien dan keluarganya
supaya penyakit dapat dicegah penularannya kepada orang lain.
Semua kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan penemuan pasien TB
Resistan Obat dalam Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan
Obat harus dicatat dalam buku bantu rujukan suspek TB MDR,
formulir rujukan suspek TB MDR dan formulir register suspek TB
MDR (TB 06 MDR) sesuai dengan fungsi fasyankes (WHO, 2013).
a. Resistansi terhadap obat anti TB (OAT)
Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan
dimana bakteri sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT.
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT yaitu:
1) Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya
resistan isoniazid (H)
2) Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan
isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol
(RE),isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin
ethambutol dan streptomisin (RES)
3) Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES
4) Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistansi
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan
salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin, dan amikasin) 10
5) Total Drug Resistan (Total DR). Resistansi terhadap semua
OAT (lini pertama dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.
b. Suspek TB Resistan Obat
Suspek TB Resistan Obat adalah semua orang yang mempunyai
gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah
ini:
1) Pasien TB kronik
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non
DOTS
4) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah
pemberian sisipan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7) Pasien TB yang kembali setelah lalai berobat/default
8) Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB MDR i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon
terhadap pemberian OAT Definisi kasus TB tersebut di atas
mengacu kepada Buku Pedoman Nasional
C. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR
Klasifikasi TB MDR (berdasarkan lokasi)
1. Paru Apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.
2. Ekstra Paru Apabila kelainan ada di luar parenkim paru.
Bila dijumpai kelainan di paru maupun di luar paru maka pasien di
registrasi sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru.
Pasien TB MDR diregistrasi sesuai dengan klasifikasi pasien berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya sebagai berikut :
Tipe Pasien Keterangan
Pasien Baru Pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau pernah di obati
menggunakan OAT kurang dari 1 bulan
Pengobatan Ulangan Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang
karena : • Kasus Kambuh (relaps): Yaitu
pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB lini pertama atau
lini kedua dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
dan biakan positif.
• Pasien kembali setelah putus berobat (loss to
follow up) Yaitu pasien yang kembali berobat
setelah putus berobat paling sedikit 2 bulan
dengan pengobatan TB lini pertama atau lini
kedua serta hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan BTA positif.
• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 2: Yaitu
pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada
pengobatan dengan OAT lini pertama kategori
2. Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan
atau riwayat pengobatan TB sebelumnya.
• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 1 : Yaitu
pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada
pengobatan dengan OAT lini pertama kategori
1.
Transfer in Pasien TB Resistan Obat yang sudah diobati
dan sudah diregister di RS Rujukan/Sub
Rujukan lain.
Lain-lain Pasien TB yang riwayat pengobatan
sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat
dipastikan

D. Pengobatan Pasien TB MDR


Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada
strategi DOTS.
1. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat
mengakses pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
2. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan
bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan
paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

E. Tahap Pengobatan TB MDR


1. Tahap Awal
Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat
suntikan (kanamisin atau kapreomisin) yang diberikan
sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
a. Tahap rawat inap di Rumah Sakit
TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau tidak. Bila memang
diperlukan, rawat inap akan dilaksanakan maksimal 2 minggu
dengan tujuan untuk mengamati efek samping obat dan KIE yang
intensif. Pada pasien yang menjalani rawat inap, TAK
menenentuan kelayakan rawat jalan berdasarkan:
- Tidak ditemukan efek samping pengobatan atau efek samping
yang terjadi dapat ditangani dengan baik.
- Keadaan umum pasien cukup baik.
- Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadwal suntikan
sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR.
b. Tahap rawat jalan
Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat minum diberikan
oleh petugas kesehatan di hadapan Pengawas Menelan Obat
(PMO) kepada pasien. Pada tahap rawat jalan obat oral ditelan
dihadapan petugas kesehatan/ kader kesehatan yang berfungsi
sebagai PMO.
1) Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7 hari seminggu (Senin
s/d Minggu) Suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (Senin
sd Jumat). Pasien menelan obat di hadapan petugas
kesehatan/PMO. 2)
2) Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di
fasyankes untuk berkonsultasi dan pemeriksaan fisik.
3) Pasien yang diobati di fasyankes satelit akan berkonsultasi
dengan dokter di fasilitas rujukan minimal sekali dalam sebulan
(jadwal kedatangan disesuaikan dengan jadwal pemeriksaan
dahak atau pemeriksaan laboratorium lain).
4) Dokter fasyankes satelit memastikan:
- Pasien dirujuk ke fasyankes rujukan TB MDR untuk
pemeriksaan dahak follow up sekali setiap bulan. Tim Ahli
Klinis fasyankes rujukan TB MDR akan mengirim sampel
dahak ke laboratorium rujukan. Pasien 25 mungkin juga
dirujuk ke laboratorium penunjang untuk pemeriksaan rutin
lain yang diperlukan.
- Upayakan agar spesimen dahak atau pemeriksaan lain diambil
di poli TB MDR untuk lebih mempermudah pasien dan
mengurangi risiko penularan.
- Mencatat perjalanan penyakit pasien dan melaporkan kepada
TAK di fasyankes rujukan TB MDR bila ada keadaan/kejadian
khusus.
c. Tahap lanjutan
1) Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai
pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan dihentikan.
2) Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali setiap
bulan.
3) Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan mengunjungi
fasyankes Rujukan TB MDR setiap 2 bulan untuk berkonsultasi
dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak dan
biakan).
4) Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum obat setiap hari
di bawah pengawasan petugas kesehatan yang bertindak
sebagai PMO.
5) Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan
berdasarkan adanya kasus kronik dengan kerusakan paru yang
luas.

F. PMO (Pengawas Minum Obat)


Pasien TB MDR memulai pengobatan bila sudah terkonfirmasi TB
MDR dengan pemeriksaan uji kepekaan M. tuberkulosis. Keteraturan
berobat dapat mencegah resistensi obat yang digunakan sehingga
meningkatkan respon pengobatan. Indikator respon pengobatan adalah
konversi dahak dan biakan.
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Pengawas Menelan Obat adalah
salah satu faktor keberhasilan program DOTS dan keberhasilan terapi
karena mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga penderita rajin dan
termotivasi untuk meminum obat. Seorang PMO harus dikenal, dipercaya
dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan, maupun pasien, selain itu harus
disegani dan dihormati oleh pasien, seseorang yang tinggal dekat dengan
pasien, bersedia membantu pasien dengan sukarela dan bersedia dilatih
dan atau mendapat penyuluhan.
Tugas seorang PMO adalah :
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Kemenkes, 2013).

G. Dukungan emosi pada pasien dengan MDR


Untuk meningkatkan kedisiplinan dan kepatuhan pasien dalam
program pengobatan perlu adanya dukungan dari keluarga. Bentuk
dukungan yang diberikan kepada anggota keluarga yang menderita TB
paru dalam bentuk psikososial support yang bisa berupa dukungan positif
pada setiap aktivitas yang dikerjakan. Pemberian informasi kepada
keluarga tentang penyakit dan menyarankan tentang mekanisme koping
yang efektif dapat mengurangi kecenderungan pasien untuk putus obat.
Pemberian infomasi kepada keluarga juga dapat meningkatkan
kemampuan keluarga baik secara psikomotor maupun kognitif dalam
merawat pasien dengan penyakit TB MDR. Contohnya keluarga dapat
membagi tugas apabila salah satu anggota keluarga tidak dapat mengawasi
pasien dalam pengobatan. Dengan demikian pasien senantiasa dapat
terkontrol.
Dukungan keluarga dapat bersifat internal seperti dukungan dari
suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung dan dukungan
eksternal misalnya dukungan dari sanak keluarga dan masyarakat.
Keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan
dengan menurunnya mortalitas serta dapat meningkatkan tingkat
kepatuhan pasien dalam pengobatan. Dukungan keluarga mempunyai
peran penting bagi kehidupan individu dalam berbagai situasi, salah satu
diantaranya dapat meringankan beban individu apabila individu berada
dalam situasi yang sulit. House dan Kahn, 1985 (dalam Astuti, 2000)
menyatakan bahwa dukungan keluarga menolong individu mengurangi
pengaruh yang merugikan dalam kehidupan, menambah kesehatan fisik,
dan individu dapat mempertahankan diri dari pengaruh stressor.
BAB III
RENCANA KEGIATAN

A. Topik
Pengobatan pada TB MDR

B. Waktu
Kamis, 5 Maret 2020

C. Tempat
Ruang Al Hakim RSUD Ratu Zalecha Martapura

D. Pengorganisasian
Moderator : St Aisyah Fitriyah, S. Kep
Penyaji : Senna Virgandiri, S.Kep
Ifdy Patmindry, S. Kep
Fasilitator : Syahidah , S.Kep
Notulen : Elsa Monica Rahman, S. Kep
Peserta : Amalia Septiani S.Kep
Muhammad Bayu Ihsan, S. Kep
Susi Lestari, S.Kep
Nurhaliza, S.Kep

Peran Personal, sebagai berikut:


1. Peran penyaji
a. Menyiapkan kasus klinis keperawatan yang pernah dialami atau
pernah terlibat didalamnya, merupakan kasus menarik baik kasus
yang lalu maupun kasus kasus terkini. Menjelaskan kasus yang
sudah disiapkan, alokasi waktu 10 s.d 20 menit.
b. Menyimak pertanyaan yang disampaikan.
c. Memberikan jawaban sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman
nyata yang telah dilakukan
2. Peran peserta
a. Setiap peserta mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan
minimal satu pertanyaan dengan alokasi waktu keseluruhan 20 s.d 30
menit.
b. Dalam mengajukan pertanyaan agar merujuk pada standar.
c. Tidak dibenarkan mengajukan pertanyaan/ pernyataan yang sifatnya
menyalahkan atau memojokkan.
d. Tidak di benarkan mendominasi pertanyan.
e. Pertanyaan berupa klarifikasi dan tidak bersifat menggurui.
3. Peran fasilitator
a. Mempersiapkan ruangan diskusi dengan mengatur posisi tempat
duduk dalam bentuk lingkaran sehingga peserta dapat saling bertatap
muka dengan leluasa
b. Membuka pertemuan
1) Mengucapkan selamat datang
2) Menyampaikan tujuan pertemuan
3) Membuat komitmen bersama dengan seluruh anggota diskusi
tentang lamanya waktu diskusi (kontrak waktu)
4) Menyampaikan tata tertip diskusi
c. Mempersiapkan penyajian untuk menyampaikan kasus selama 10 s.d
20 menit
d. Memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya selama DRK
berlangsung
4. Peran notulen
Mencatat hal hal penting selama proses DRK.

D. Metode
1. Diskusi
2. Refleksi diri
E. Media
Laptop (PPT), Lembar Pengkajian

E. Kegiatan DRK

Tahap Waktu Kegiatan Tempat Pelaksana


Pembukaa 5 menit 1. Mengucapkan salam Ruang Al Moderator
n 2. Memperkenalkan diri Hakim
3. Menyampaikan
tujuan
4. Membuat kontrak
waktu
5. Menjelaskan tentang
topik kasus DRK,
yaitu cara menghitung
cairan infus
6. Menjelaskan tata
tertib DRK
Penyajian 20 menit Menjelaskan materi Ruang Al Penyaji
tentang topik DRK Hakim
1. Pengertian
2. Penatalaksanaan TB
MDR ?
3. Klasifikasi penyakit
dan tipe pasien TB
MDR?
4. Pengobatan pasien
TB MDR?
5. Tahapan pengobatan
TB MDR?
6. PMO (Pengawas
Minum Obat)?
Diskusi 30 menit 1. Fasilitator membuka Ruang Al Penyaji,
dan sesi diskusi Hakim Moderator
Tahap Waktu Kegiatan Tempat Pelaksana
Refleksi 2. Moderator dan peserta
Diri memfasilitasi peserta
untuk refleksi diri
terhadap topik yang
dibahas
Penutup 5 menit 1. Menyimpulkan materi Ruang Al Notulen
yang telah Hakim
disampaikan
2. Memberikan
kesempatan bertanya
kembali jika kurang
jelas
3. Menyampaikan
rencana tindak lanjut,
pelaksanaan kegiatan
DRK minimal 1 bulan
sekali
4. Menutup kegiatan
DRK (salam)

F. Setting
Keterangan gambar:

= Layar

= Fasilitator

= Penyaji

= Notulen

= Peserta

Catatan: Posisi tempat duduk dalam bentuk lingkaran sehingga peserta dapat
saling bertatap muka dengan leluasa dan peserta terdiri dari 5-8
orang.

G. Lampiran
1. Jadwal kegiatan DRK
2. Daftar hadir
3. Laporan kegiatan DRK
Lampiran 1

JADWAL KEGIATAN DISKUSI REFLEKSI KASUS (DRK)


RUANG AL HAKIM RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

NO TOPIK WAKTU/ PENYAJI FASILITATOR NOTULEN KETERANGAN


. BAHASA BULAN
N
1.  DRK Kamis ,  Senna  Syahidah,  Elsa
 Pengobat 5 Maret Virgandiri, S.Kep Monica
an pada 2020 S.Kep Rahman
TB MDR  Ifdy , S.Kep
Patmindry,
S. Kep
Lampiran 2
DAFTAR HADIR DISKUSI REFLEKSI KASUS (DRK)
NO. NAMA KETERANGAN TANDA TANGAN
1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

9. 9.

10. 10.

11. 11.

12. 12.

13. 13.

14. 14.

15. 15.

Martapura,
Mengetahui, Kepala Ruangan
Setiawan, S.Kep., Ners
NIP. 19860311 200904 1 002
Lampiran 3
FORMAT LAPORAN DISKUSI REFLEKSI KASUS
RUANG PERAWATAN AL HAKIM

Nama Ruangan :
Hari, Tanggal Pelaksanaan :
Topik Diskusi Kasus :

A. MASALAH ISU YANG MUNCUL


1.
2.
3.
4.
5.
Dst.

B. PEMBAHASAN

C. RENCANA TINDAK LANJUT


NO ISSU KEGIATAN INDIKATOR
.
1.

2.

3.

4.

5.
Dst.
Lampiran 4

1. PENGERTIAN
Diskusi Refleksi Kasus (DRK) adalah suatu metode pembelajaran dalam
merefleksikan pengalaman perawat dan bidan yang aktual dan menarik dalam
memberikan dan mengelola asuhan keperawatan dan kebidanan di lapangan
melalui suatu diskusi kelompok yang mengacu pada pemahaman standar yang
ditetapkan.

2. TUJUAN
Diskusi Refleksi Kasus (DRK) mempunyai tujuan sebagai berikut:
A. Mengembangkan profesionalisme perawat dan bidan.
B. Meningkatkan aktualisasi diri.
C. Membangkitkan motivasi belajar.
D. Wahana untuk menyelesaikan masalah dengan mengacu pada standar
keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan.
E. Belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar, lebih banyak
mendengarkan, tidak menyalahkan, tidak memojokkan dan meningkatkan
kerja sama.

3. LANGKAH LANGKAH
A. Memilih/Menetapkan Kasus Yang Akan Didiskusikan
Topik–topik bahasan yang ditetapkan untuk didiskusikan dalam DRK
antara lain:
 Pengalaman pribadi perawat/bidan yang aktual dan menarik dalam
menangani kasus/pasien di lapangan baik di rumah sakit/puskesmas.
Pengalaman dalam mengelola pelayanan keperawatan/kebidanan dan
isu-isu strategis.
 Pengalaman yang masih relevan untuk dibahas dan akan memberikan
informasi berharga untuk meningkatkan mutu pelayanan.
B. Menyusun Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan DRK adalah daftar kegiatan yang harus dilaksanakan
dalam kurun waktu yang telah ditetapkan dan disepakati. Kegiatan DRK
disepakati dalam kelompok kerja, baik di puskesmas maupun di rumah
sakit (tiap ruangan). Kegiatan DRK dilakukan minimal satu kali dalam
satu bulan dan sebaiknya jadwal disusun untuk kegiatan satu tahun.
Dengan demikian para peserta yang telah ditetapkan akan mempunyai
waktu yang cukup untuk mempersiapkannya.

C. Waktu Pelaksanaan
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tersebut minimal 60
menit, dengan perincian sebagai berikut:
• Pembukaan : 5 menit
• Penyajian : 15 menit
• Tanya jawab : 30 menit
• Penutup/rangkuman : 10 menit

D. Peran Masing-Masing Personal Dalam DRK


1) Penyaji
 Menyiapkan kasus klinis keperawatan/kebidanaan yang pernah
dialami atau pernah terlibat didalamnya yang merupakan kasus
menarik baik kasus yang lalu maupun kasus-kasus saat ini. Selain
kasus klinis dapat pula dipilih kasus manajemen dan pengalaman
keberhasilan dalam pelayanan.
 Menjelaskan kasus yang sudah disiapkan. Alokasi waktu 10 – 20
menit.
 Menyimak pertanyaan yang disampaikan.
 Memberikan jawaban sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman nyata yang telah dilakukan dan merujuk pada standar
yang relevan atau SOP yang berlaku.
 Mencatat hal-hal penting selama proses DRK.
2) Moderator / fasilitator
 Mempersiapkan ruangan diskusi dengan mengatur posisi tempat
duduk dalam bentuk lingkaran sehingga peserta dapat saling
bertatap muka dengan leluasa.
 Membuka pertemuan:
- Mengucapkan selamat datang.
- Menyampaikan tujuan pertemuan.
- Membuat komitmen bersama dengan seluruh anggota diskusi
tentang lamanya waktu diskusi (kontrak waktu).
- Menyampaikan tata tertib diskusi.
 Mempersilahkan penyaji untuk menyampaikan kasusnya selama 10
– 20 menit.
 Memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan
pertanyaan secara bergilir selama 30 menit.
 Mengatur lalu lintas pertanyaan–pertanyaan yang diajukan oleh
peserta dan klarifkasi bila ada yang tidak jelas.
 Merangkum hasil diskusi.
 Melakukan refleksi terhadap proses diskusi dengan meminta
peserta untuk menyampaikan pendapat dan komentarnya tentang
diskusi tersebut.
 Membuat kesimpulan hasil refleksi dan menyampaikan isu-isu
yang muncul.
 Meminta kesepakatan untuk rencana pertemuan berikutnya.
 Menutup pertemuan dengan memberikan penghargaan kepada
seluruh peserta dan berjabat tangan.
 Membuat laporan hasil diskusi sesuai format dan menyimpan
laporan DRK pada arsip yang telah ditentukan bersama.

3) Peserta

E. Penulisan Laporan
Setelah melakukan kegiatan, langkah berikutnya adalah menyusun laporan
DRK. Agar kegiatan DRK dapat diketahui dan dibaca oleh pimpinan,
anggota kelompok maupun teman sejawat lainnya maka kegiatan tersebut
harus dicatat/didokumentasikan sebagai laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2013. Rencana Aksi Nasional (Progamatic Manajemen Of Drug


Resistance Tuberculosis Pengendalian Tuberculosis). Jakarta: Kemenkes RI
Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.

Depkes RI. 2003. Pedoman Penyakit Tuberculosis dan Penanggulangannya


ditjen
PPM dan PLP . Jakarta: kemenkes RI
Kemenkes RI . 2013. Petunjuk Teknik Manajemen Terpadu pengendalian
Tuberculosis Multidrug Resistance. Jakarta: Kemenkes RI Jenderal
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. .

Kemenkes RI. 2015. Buku saku pasien TB MDR. Jakarta: Kemenkes RI

Murtiwi. 2012. Keberadaan Pengawas Menelan Obat dalam Pencegahan TB


Paru. Jakarta : Rineka cipta

Anda mungkin juga menyukai