Anda di halaman 1dari 8

KESANTUNAN DAN KEKUASAAN

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas


mata kuliah Sosiolinguistik yang dibina oleh
Hety Diana Septika, M.Pd.

Oleh
Prasetya (120211538561)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PROGRAM SARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEPTEMBER 2017
1

I. PENDAHULUAN
Sekilas tidak ada hubungan sama sekali antara kesantunan (politeness) dengan
kekuasaan (power). Ini tentu tidak salah jika kesantunan dan kekuasaan dimaknai secara
konvensional. Kesantunan menurut Frasher (1978) adalah properti yang diasosiasikan
dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur
tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya.
Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan
terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Kontrak percakapan
tersebut sangat ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat dalam
kegiatan bertutur tersebut. Singkatnya, Frasher (1990) memandang kesantunan sebagai
pertimbangan etiket berbahasa.
Brown dan Levinson (1987) berpendapat dalam teorinya bahwa kekuasaan
merupakan komponen penting dalam beberapa cara dalam hubungan bertindak tutur
untuk meminta. Terdapat kaitan sangat erat diantara kesantunan dan kekuasaan. Dalam
kegiatan bertindak tutur, terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan skala tingkat
kesantunan yang berkaitan dengan kekuasaan, antara lain jarak sosial diantara penutur
dan petutur, kekuasaan relatif antara penutur dan petutur, serta kedudukan relatif dari
sebuah tindak tutur yang disesuaikan dengan konteks.
Jauh sebelumnya, Robin Lakoff (1973, 1989) adalah orang pertama yang
memunyai pendapat eksplisit mengenai kaitan erat antara kesantunan dan kekuasaan.
Dalam pendapatnya, jika teori kesantunan diperluas lagi dengan melihat konteks
profesional dan institusional maka kita bisa melihat kesantunan dari perspektif yang
berbeda, karena banyak konteks dalam pertuturan yang melibatkan hubungan kekuasaan
dan status sosial. Pengamatan terhadap kaitan antara kesantunan dan kekuasaan pernah
dilakukan oleh Perez de Ayala dan Harris pada tahun 2001 mengenai wacana politik.
Penelitian lain oleh Penman pada tahun 1990 mengenai wacana ruang sidang juga
mencoba untuk mencari hubungan terkait kesantunan dengan kekuasaan meskipun
belum secara rinci. Namun, Fairclough (2001) dalam bukunya Language and Power
mendapati sebuah latar peran kesantunan dalam berbagai pengaturan kelembagaan
(kekuasaan) karena kesantunan tersebut terwujud dalam setiap pengaturan dalam
kelembagaan tersebut.
2

II. PEMBAHASAN
Ahli bahasa menandai bahwa artikel dari Robin Lakoff (1973) sebagai awal
perkembangan bidang penelitian mengenai kesantunan linguistik terutama dalam bidang
sosiolinguistik dan pragmatik. Dalam perkembangan selanjutnya, Brown dan Levinson
(1978, 1987) meneliti mengenai kesantunan yang lebih bersifat universal dan berfokus
pada notion of face and face-threatening act. Penelitian terhadap konsep wajah dalam
serangkaian kesantunan negatif positif memiliki pengaruh besar dan masih menjadi
model literatur mengenai kesantunan linguistik sampai sekarang meskipun melalui
banyak kritikan. Aspek terpenting dalam setiap penelitian yang sudah disebutkan di atas
adalah berpusat pada hubungan antara kesantunan dengan kekuasaan.
Berangkat dari banyaknya teori dan literatur mengenai kesantunan dan
kekuasaan, tidak mengejutkan untuk menerima kenyataan bahwa kedua hal tersebut
merupakan masalah yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Brown dan Levinson
(1987) menilai bahwa semakin besar jarak sosial dan hierarki kekuasaan penutur
terhadap petuturnya, semakin berat pula tindakan mengancam wajahnya (face-
threatening act). Misalnya, semakin besar jarak sosial penutur akan semakin
memperbanyak upaya permintaan, tuduhan, dan menawarkan sesuatu terhadap petutur.
Lebih lanjut, Brown dan Levinson berpendapat bahwa dimensi sosial dapat
menggolongkan semua faktor yang relevan dalam konteks pertuturan tersebut, sehingga
bisa diprediksi lebih lanjut bahwa setiap individu akan memilih tingkat yang lebih
tinggi dalam sebuah jarak sosial untuk meningkatkan bobot face-threatening act yang
dimilikinya. Tujuan formula dari Brown dan Levinson memungkinkan kita untuk
memprediksi skala variabel jarak sosial dan kekuatan relatif peserta tutur dengan
pembobotan FTA (face-threatening act). Salah satu aspek penting dalam penelitian
Brown dan Levinson adalah prediksi terhadap kekuasaan. Semakin besar kekuasaan dan
jarak sosial antara penutur dan petutur, strategi yang lebih menutupi sebuah permintaan
akan digunakan ketika akan membuat sebuah permintaan yang berat.
Untuk menjelaskan pola variasi dalam data bahasa kesantunan positif dalam
Brown dan (1987) teori kesantunan Levinson, taktik bahwa penutur menggunakan cara
untuk menarik wajah positif penerima, menggunakan keramahan dan penghargaan.
3

Kesantunan negatif dalam Brown dan Levinson (1987) adalah model, taktik


yang digunakan penutur dalam rangka untuk menarik wajah negatif penerima,
menggunakan strategi yang meminimalkan pengenaan yang dibuat pada otonomi si
pendengar. Wajah positif dan wajah negatif sendiri adalah citra diri untuk selalu ingin
diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, dan acuan diri rasional yang berkeinginan
agar dihargai dengan jalan membiarkan bebas dari keharusan melakukan sesuatu.

Konseptualisasi Kekuasaan
Penelitian terhadap kesantunan saat ini sudah menjadi bidang kajian yang sangat
luas dengan menciptakan beberapa multidisiplin ilmu penelitian yang baru. Selain itu,
permasalahan yang diangkat adalah masalah kompleks yang menarik konsep dan
pemahaman dari displin ilmu lain. Semua penulis baru yang mengangkat tema
kesantunan dan kekuasaan berusaha menampilkan bahwa sebuah kekuasaan tidak selalu
berkaitan dengan situasi interaktif tertentu atau sebagai sebuah atribut yang melekat
pada seseorang, melainkan suatu hal yang orang lakukan untuk orang yang lain. Salah
satu fokus dalam penelitian kesantunan dan kekuasaan adalah mengenai wacana tempat
bekerja dan kajian mengenai bagaimana seseorang melakukan kekuasaan dan
kesantunan dalam setiap pembicaraan mereka.
Seorang bawahan melakukan sebuah penghormatan kepada atasan karena letak
subordinat mereka menuntut adanya sebuah penghormatan dari bawahan. Kekuasaan
tidak selalu menentukan perilaku selanjutnya, tetapi sebuah hubungan relatif terhadap
perilaku atau justru penghormatan itu sendiri adalah sebuah bentuk perilaku. Sifat
kekuasaan adalah sebuah proses, praktik sosial, dan konsep mengenai hubungan dalam
masyarakat dimana setiap orang yang berinteraksi menegosiasikan sebuah hubungan
melalui interaksi dalam sebuah konsep tertentu.

Konseptualisasi Kesantunan

Kesantunan telah terbukti sulit didefinisikan sebagai sebuah kekuatan. Apabila


kesantunan digabungkan dengan sebuah kekuasaan maka kesantunan akan dianggap
sebagai sebuah konsep yang diperebutkan daripada hanya sebuah tindakan normatif
(sebaiknya). Eelen (2001) berpendapat bahwa kesantunan akan sangat produktif apabila
4

dianalisis bukan sebagai sebuah sistem norma, tetapi sebagai praktik sosial yang baik,
dinamis, dan interaktif dengan berbagai variabel sebagai sebuah komponen positif.
Kesantunan sangat membangun sebuah komunikasi manusia dalam hal sosial dan
budaya.
Salah satu konsekuensi dari cara pendekatan sebuah kesantunan adalah menolak
gagasan Brown dan Levinson mengenai pidato tindakan yang bertujuan meminta,
memerintah, menuduh, dan menawarkan suatu hal dengan mengancam muka lawan
tutur. Sebagai akibatnya adalah motivasi utama dari penutur adalah memilih strategi dan
bentuk linguistik yang berfungsi mengurangi ancaman terhadap muka lawan tuturnya,
terutama apabila pendengar memunyai jarak sosial lebih tinggi daripada pembicara.
Penulis dan peneliti mengenai teori kesantunan dan kekuasaan lebih
berkonsentrasi terhadap permasalahan kesantunan (politeness) daripada impoliteness.
Impoliteness tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai kebalikan dari kesantunan. Brown
dan Levinson meneliti impoliteness lebih sedikit dibandingkan dengan politeness, tetapi
tetap menyiratkan sebuah makna bahwa impoliteness merupakan serangan terhadap
muka (attack to face). Ketidaksantunan harus dilihat sebagai penilaian dan interpretasi
perilaku seseorang daripada kualitas makna yang tersirat dalam sebuah ucapan. Jadi
baik kesopanan dan ketidaksopanan yang paling krusial melibatkan penilaian dan
interpretasi pendengar yang bisa dikatakan tentang dan diperdebatkan. Suatu bentuk
yang mungkin dianggap sopan dalam satu konteks (bahkan bentuk seperti yang
konvensional terkait dengan kesopanan seperti tolong dan terima kasih) dapat diartikan
berbeda di negara lain.
Kesantunan sebagai sebuah praktik sosial menempatkan dirinya sebagai sebuah
penekanan dalam konteks interaksi. Sebagian besar wilayah kerja dari kesantunan dan
kekuasaan melibatkan konteks yang berlaku dalam sebuah analisis, termasuk jenis acara
pidato, sosial budaya peserta tutur, jenis kelamin, usia, pendidikan, status, dan jarak
sosial.

Negosiasi Status dan Identitas


Locher (2004) menunjukkan bahwa dalam sebuah konteks situasi formal dan
informal, penggunaan kesantunan dan kekuasaan cenderung melibatkan negosiasi status
5

dan identitas. Jelas, tingkat negosiasi dibatasi dalam konteks kelembagaan, namun
Locher berpendapat bahwa dalam sebuah kasus wawancara radio dengan Presiden
Amerika terdapat sejumlah negosiasi dari kedua kekuasaan (kekuatan) dan identitas.
Harris (2003) juga berpendapat bahwa orang-orang yang relatif kuat dalam kekuasaan
seperti hakim, dokter, dan polisi bahkan dalam konteks kelembagaan dimana kekuasaan
mereka dibangun ke hierarki struktur, masih sering bersikap santun dan menggunakan
strategi menutupi dan mengurangi bentuk tuturan. Kesantunan dan kekuasaan masih
sering muncul dalam sifat struktur sebuah konteks tempat kerja. Kesantunan dan
kekuasaan konsisten muncul sebagai sebuah dimensi penting untuk membatasi cara
peserta tutur bernegosiasi dan menyelesaikan sebuah miskomunikasi di tempat kerja
terutama apabila terjadi perbedaan status relatif antara makna.

Kesantunan dan Etika


Sebuah komunikasi akan terjalin dengan baik apabila memenuhi beberapa
prinsip dalam berkomunikasi, antara lain prinsip kerjasama dan kesopanan. Dalam
memenuhi prinsip kerja sama dan kesopanan, seorang penutur harus memerhatikan
kesantunan dan etika dalam berkomunikasi. Kesantunan dalam berbahasa seseorang
tidak ditentukan oleh tingkat kedudukan atau jabatan, melainkan ditentukan oleh tingkat
budaya seseorang (Pranowo, 2009: 33). Jadi kita tidak bisa mengharapkan adanya
seorang yang secara sosial berkedudukan tinggi akan berbicara secara santun kalau
budinya rendah. Sebaliknya, kita akan menemukan seseorang yang secara sosial
berkedudukan rendah, tetapi berbicara santun karena budinya tinggi.
Kesantunan berbahasa seseorang erat hubungannya dengan kebudayaan yang
melekat pada penutur bahasa tersebut. Beberapa definisi mengenai budaya itu sendiri
adalah (1) sebagai pengatur dan pengikat masyarakat, (2) hal-hal yang diperoleh melalui
belajar atau pendidikan, (3) kebiasaan dalam perilaku manusia, (4) kerja sama
masyarakat. Dalam kaitannya dengan berbahasa, ada norma atau aturan yang harus
ditaati mengenai bagaimana cara berbahasa dengan santun.
Jika kesantunan berbahasa lebih berkenaan dengan substansi bahasanya, maka
etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku dalam bertutur. Dengan pengertian
lain, dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai dengan norma-norma yang berlaku
6

dalam budaya. Etika berbahasa mengatur manusia dalam hal (1) apa yang harus
dikatakan dalam waktu dan keadaan tertentu berkenaan status sosial dan budaya dalam
masyarakat itu, (2) ragam bahasa yang wajar, (3) kapan dan bagaimana kita
menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan, (4) kapan kita diam dan
mendengar, (5) kualitas suara (Chaer, 2010: 7). Seseorang baru dikatakan pandai
berbahasa kalau dia menguasai tata cara berbahasa tersebut.

Kesimpulan
Eelen (2001) dan Watts (2003) membuat sebuah pernyataan mengenai
perpindahan perspektif mengenai kesantunan dalam linguistik yaitu sebagai daerah
negosiasi sebuah penalaran dalam praktik sosial dibandingkan dengan nonlinguistik
populer yang melihat kesantunan sebagai sopan santun atau tata krama. Tujuan dari
teori kesantunan linguistik mengambil kesantunan sebagai titik awal, tidak boleh
menjelaskan mengenai alasan penutur mengatakan apa yang mereka katakan dan untuk
memberikan prediksi efek yang mungkin muncul dari ucapan-ucapan kepada penerima
tuturan. Semua harus bertujuan untuk menjelaskan bagaimana negosiasi makna terlibat
dalam interaksi verbal yang sedang berlangsung. Kesantunan kemudian menjadi bagian
dari praktik penalaran sosial melalui sesuatu yang kita ciptakan, produksi, dan
mengubah dunia sosial kita.
Penelitian kesantunan telah lama didominasi oleh model muka yang berorientasi
terhadap teori dari Brown dan Levinson. Dominasi teori muka tersebut memiliki alasan
utama karena didukung oleh periode teori yang panjang, tingkat detail, seta didukung
oleh lintas budaya dari bukti-bukti empiris. Selanjutnya, penutur bahasa di Asia
menciptakan kritikan terhadap teori muka dengan mebuat literatur mengenai
permasalahan kesantunan negatif yang berbanding dengan kesantunan positif,
individualisme dengan kolektivisme, penghormatan dibandingkan dengan relativitas
kemauan, serta universalisme dengan budaya. Selain itu, tampaknya konsep penulisan
kesantunan dilihat dari pediktabilitas atau kenormatifan tidak terlalu bisa diyakini jika
mengingat berbagai versi kesantunan yang disesuaikan dengan konteksnya.
7

DAFTAR RUJUKAN

Brown, P. and Levinson, S. (1987) Politeness: Some Universals in Language Usage,


Cambridge: Cambridge University Press

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Leech, G. N. 1993. Principles of Pragmatics. New York : Longman.

Llamas, C., Mullany, L., dan Stockwell, P. 2007. The Routledge Companion to
Sosiolinguistics. New York: Routlege.

Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahardi, Kunjana. 2008. Pragmatik. Jakarta: Erlangga

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thomas dan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai