PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesulitan dalam belajar bahasa kedua yakni bahasa asing, dalam
penggunaannya secara umum masih menyebabkan dan mengalami kesulitan dan
tuntutan pedagogis bagi pengajar maupun pelajar. Selain pengaruh pada
penguasaan bahasa itu sendiri, tidak terpelas dari cara dan metode apa yang
digunakan dalam melakukan pembelajaran dan pengajaran bahasa asing, dan
faktor atau pengaruh yang menyebabkan kesulitan berbahasa asing.
Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua, pelajar sering
mengalami kesulitan dan kesalahan dikarenakan penggunaan dan pengetahuan
serta pengalaman berbahasa pertama lebih sering digunakan oleh pelajar. Di lain
sisi, pembelajar pun mempunyai karater masing-masing yang tentunya berbeda
sehingga mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam menguasai bahasa kedua
atau bahasa targetnya. Akibat unsur-unsur tersebut, penulis bermaksud
memaparkan faktor personalitas dalam pembelajaran bahasa yang bisa
menmpengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan siswa dalam melakukan
pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ranah afektif dalam pembelajaran dan pengajaran
bahasa kedua?
2. Apa saja faktor-faktor kepribadian yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua?
3. Bagaimana penjelasan faktor-faktor kepribadian tersebut?
4. Bagaimana hubungan dan implikasinya terhadap pengajaran dan pembalajaran
bahasa kedua?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui ranah afektif dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua,
2. Mengetahui faktor-faktor kepribadian dan penjelasannya yang mempengaruhi
keberhasilan pembelajaran bahasa kedua,
3. Mengetahui hubungan dan implikasinya
terhadap
pengajaran
dan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ranah Afektif
Bidang afektif dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua terbagi
menjadi dua ranah. Yang pertama adalah sisi intrinsik efektifitas di mana terdiri dari
2
faktor kepribadian orang yang berkontribusi dalam beberapa cara untuk keberhasilan
pembelajaran bahasa. Yang kedua, meliputi faktor-sosiokultural, yakni variabel
ekstrinsik yang muncul dari si pembelajar bahkan pengajar. Bukan hanya dua bahasa
yang terkadang menjadi campur kode, tetapi juga adanya kontak dua budaya yang
secara tidak langsung secara bersamaan mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua
atau bahasa target.
Afeksi merujuk pada emosi atau perasaan. Ranah efeksi adalah sisi emosinal
perilaku manusia, dan bisa disandingkan dengan sisi kognitif. Perkembangan
keadaan-keadaan afektif atau perasaan melibatkan beragam faktor kepribadian,
perasaan tentang diri kita mupun tentang orang lain yang berhubungan dengan kita.
Benjamin Bloom dan koleganya (Krathwohl, Bloom, & Masia, 1964)
mengemukakan sebuah teori tentang 5 wilayah afektif yang masih banyak dipakai
sampai dengan sekarang, antara lain :
1. Pada tataran pertama dan fundamental, perkembangan afeksi dimulai dengan
menerima. Orang per orang harus mengerti lingkungan sekitar mereka dan
menyadari situasi, fenomena, orang-orang, benda-benda yang ada di sekitar
mereka. Sehingga mereka harus bersedia menerima tenggang rasa dari sebuah
stimulus yang didapat, bukan malah menghindarinya. Selain itu juga harus
memberikan perhatian pada apa yang mereka kehendaki dan mereka pilih kepada
sebuah stimulus.
2. Kemudian, orang per orang harus beranjak menerima untuk menanggapi, dan
melakukan setidak-tidaknya suatu langkah kecil terhadap sebuah fenomena
ataupun seseorang. Tanggapan semacam itu pada satu tataran mungkin dilakukan
dengan sikap pasif, tetapi pada tataran yang lebih tinggi, orang itu bersedia
menanggapai secara sukarela tanpa paksaan, dan kemudian mendapatkan
kepuasaan dari tanggapan itu.
3. Tataran ketiga afektifitas melibatkan penilaian, yakni memberikan nilai baik pada
sesuatu, sebuah perilaku, ataupun pada seseorang. Penilaian memperlihatkan
keyakinan atau sikap sebagaimana nilai-nilai itu ditanamkan. Tiap individu tidak
semata-mata menerima sebuah nilai dan bersedia diidentifikasi dengan penilaian
itu, tetapi mereka mengupayakannya, mencarinya, dan menginginkannya sampai
akhirnya menjadikannya sebuah keyakinan.
4. Tataran keempat yakni pengorganisasian, di mana nilai-nilai sebelumnya menjadi
sebuah sistem kepercayaan yang menentukan hubungan timbal balik di antara
merekam dan membangun sebuah hirarki nilai dalam sistem tersebut.
3
5. Pada akhirnya, semua individu ddapat memahami diri sendiri dan selaras dengan
sistem nilai mereka. Individu-individu bertindak secara konsisten sesuai dengan
nilai-nilai yang mereka tanamkan dan menyatukan keyakinan, ide, dan sikap ke
dalam sebuah filosofi atau pandangan hidup.
Pemetaan Bloom sebetulnya dirancang bagi tujuan-tujuan pendidikan, tetapi
dipakai juga sebagai pemahaman umum tentang wilayah afektif dalam perilaku
manusia. Gagasan-gagasan dasar tentang menerima, menanggapi, dan menilai
adalah sebuah gagasan universal. Para pembelajar bahasa kedua harus reseptif
terhadap orang-rang yang berkomunikasi dengan mereka dan terhadap bahasa itu
sendiri, kemudia pembelajar juga harus responsive terhadap komunikasi yang
dilakukan dan bersedia serta mampu menempatkan nilai tertentu dalam
berkomunikasi dan mendapatkan timbal balik antar pribadi.
Dari pernyataan di atas, mungkin terdengar terlalu jauh apa yang
dipaparkan Bloom dari hakikat bahasa itu sendiri, namun hal ini sangat terkait
pada perilaku manusia di mana manusia punya jalinan yang kuat dalam berbahasa
dengan aspek perilakunya. Bahasa adalah sebuah fenomena yang selalu hadir
dalam kehidupan manusia, sehingga kita tidak bisa dipisahkan dari apa yang kita
lakukan sehari-hari. Kenneth Pike (1976:26) mengatakan bahwa bahasa adalah
perilaku, yakni sebuah fase aktivitas manusia yang pada dasarnya tidak boleh
diperlakukan sebagai hal yang terpisah dari struktur aktivitas nonverbal manusia.
B. Faktor Afektik Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
Memahami bagaimana manusia merasakan, menanggapi, meyakini, dan
menilai adalah aspek sangat penting dari teori pemerolehan bahasa kedua, pada
makalah ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang terkait antara perilaku
manusia dengan pemerolehan bahasa kedua.
1. Harkat
Harkat bisa jadi merupakan aspek paling universal dari semua perilaku
mausia. Dengan mudah bisa dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas kognitif
atau afektif yang sukses dilakukan tanpa adanya harkat, kepercayaan diri,
pengetahuan tentang diri sendiri, dan keyakinan pada kemampuan sendiri
untuk berhasil melakukan aktivitas tersebut. Malinowski (1923) mengatakan
bahwa semua orang membutuhkan komuni fatik (phatic communion) yang
faktor
tersebut.
Implikasinya,
ada
teori
sebab-akibat
dalam
3. Kesediaan Berkomunikasi
Satu faktor yang terkait dengan atribusi dan kelayan diri yang dipandang
sebagai hal yang mutakhir dalam literatur penelitian adalah sejauh mana para
pembelajar
menunjukkan
kesediaan
berkomunikasi
ketika
mereka
kecenderungan
menuju
atau
menjauhi
komunikasi
membongkar tatanan nilai dan keyakinan di mana harkat coba ditegakkan, dan
proses pertahanan ini berlanjut hingga dewasa.
Beberapa orang yang mempunyai harkat dan ego lebih tinggi, mereka
lebih mampu melawan ancaman terhadap eksistensi mereka, dan dengan
demikian pertahanan mereka lebih rendah. Orang dengan harkat lebih lebih
cenderung mempertahankan tembok pengahalang untuk melingungi apa yang
dianggap sebagai ago yang rapuh, atau tidak adanya kepercayaan diri dalam
suatu situasi atau kegiatan.
Ego manusia meliputi apa yang disebut dengan ego bahasa, yakni sifat
egoistis dan sangat personal pada pemerohan bahasa kedua. Pemerolahan pada
bahasa melibatkan konflik identitas ketika ego bahasa yang adaptif
memungkinkan
para
pembelajar
menurunkan
penghalang
uang
bisa
menghambat keberhasilan.
Siapapun yang pernah mempelajari bahasa asing akan sepenuhnya
mengerti bahwa pembelajaran bahasa kedua benar-benar menghendaki
dilakukannya kekeliruan. Banyak hasil pengujian hipotesis-hipotesis tentang
bahasa dengan mencoba dan menghasilkan banyak kesalahan, dari anak-anak
yang mempelajari bahasa pertama dan orang dewasa yang mempelajari bahasa
kedua di mana ternyata mereka bisa maju atau berhasil dengan belajar dari
kekeliruan atau kesalahan mereka. Apabila kita tidak pernah mau mencoba
berbicara satu kalimat saja sampai benar-benar meyakini ketepatannya,
agaknya kita tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara produktif.
Namun disatu sisi kekeliruan atau kesalahan ini dapat dipandang
sebagai sebuah ancaman bagi ego seseorang. Kekeliruan di sini merujuk pada
teori atribusi di mana bisa mendatangkan ancamana secara internal, maupun
eksternal. Secara internal, pembelajar bisa melakukan sesuatu kesalahan dan
menjadi kritis terhadap kekeliruannya sendiri. Secara eksternal, para
pembelajar menganggap bahwa orang lain akan kritis dan bahkan bisa
menghakimi pribadi mereka ketika mereka membuat kekeliruan dalam
pembelajaran bahasa kedua.
5. Pengambilan Risiko
Dalam bahasan sebelumnya bahwa adanya hambatan dalam
pembelajaran bahasa kedua memberikan satu ancaman dalam keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor tersebut menunjukkan
bahwa pengambilan risiko adalah karakteristik penting bagi kebehasilan dalam
8
mempelajari bahasa kedua. Dalam hal ini, pembelajar harus mampu atau
mempunyai firasat tentang bahasa dan berani mengambil risiko yang salah
sebagai bahan pembelajaran ke depannya.
Pengambilan risiko akan mendatangkan hal positif dalam pembelajaran
bahasa kedua. Variasi pengambilan risiko ini menjadi satu faktor dalam
pendidikan pedagogi khususnya pemerolehan bahasa kedua. Misalnya saja,
seorang murid pendiam di kelas adalah dia yang tidak mau terlihat bodoh di
depan teman-temannya ketika terjadi suatu kekeliruan. Dalam hal ini, harkat
sangat terkait erat dengan faktor pengambilan risiko di mana ketika
kekeliruan-kekeliruan fatal terjadi atau dilakukan oleh si pembelajar,
seseroang dengan harkat global tinggi, tidak akan takut dengan kemungkinan
ditertawakan oleh teman-teman lainnya ketia ia membuat kesalahan.
6. Kecemasan
Walaupun kita semua tahu apa itu kecemasan dan tentunya kita pasti
pernah mengalami rasa cemas, tetap saja kecemasan tidak mudah didefinisikan
dalam kalimat sederhana. Spielberger (1983:1) merumuskan kecemasan
sebagai perasaan subjektif mengenai ketegangan, ketakutan, kegelisahan, dan
kekhawatiran terkait dengan bangkitnya sistem syaraf otonom. Dalam bahasa
sederhana, kecemasan terkait dengan perasaan canggung, frustasi, keraguan
diri, ketakutan, atau kekhawatiran (Scovel, 1978:134).
Penelitian tentang kecemasan menunjukkan bahwa kecemasan itu
seperti harkat yang bisa dialami dalam berbagai tingkatan. Pada tingkatan
yang paling mendasar, kecemasaan bawaan adalah kecenderungan yang lebih
permanen untuk cemas, di mana sebagian orang bisa dipastikan dan memang
pada umumnya cemas tentang banyak hal. Pada tingkatan berikutnya atau
situasional, kecemasan situasional dialami berkenaan dengan peristiwa atau
perbuatan tertentu. Dalam hal ini, penting bagi seorang guru untuk berusaha
menentukan apakah kecemasan seorang murid berasal dari sifat bawaanya
atau dari situasi tertentu pada saat itu.
Pada perkembangannya, dalam kecemasan bahasa saat ini lebih terfokus
secara spesifik pada situasional tertentu. Horwitz dan Cope (1986), MacIntyre
& Gardner (1989,1991) membagi kecemasan menjadi tiga komponen dalam
mengidentifikasi keberhasilan pembelajaran bahasa asing, antara lain :
a. Ketakutan komunikasi, muncul dari ketidakmampuan pembelajar untuk
mengungkapkan secara memadai pemikiran dan ide-ide matang,
9
10
sangat
serius.
Bukan
saja
pembelajar
penutur
harus
justru
sebaliknya,
dianggap
pendiam
dan
kalem,
dengan
11
bicara, supel dan berpartisipasi aktif misal dalam diskusi di kelas. Sebaliknya,
orang introvert dianggap tidak secermelang mereka yang ekstrovert.
Sesungguhnya pandangan tentang ekstroversi semacam itu
menyesatkan. Ekstroversi adalah sejauh mana seseorang mempunyai
kebutuhan kuat untuk mendapatkan peningkatan ego, penghargaan diri, dan
kesan keutuhan dari orang lain sebagai kebalikan dari peneriman itu semua
dari diri sendiri. Orang-orang ekstrovert sesungguhnya membutuhkan orang
lain untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Tetapi orang ekstrovert tidak
selalu mesti bermulut besar dan suka bicara. Bisa saja mereka relative
pemalu, namun masih memerlukan peneguhan dari orang lain.
Introversi di lain pihak adalah sejauh mana seseorang mendapatkan
kesan keutuhan dan pemenuhan tanpa memerlukan orang lain untuk
mendapatkan refleksi diri seperti itu. Bertolak belakang dengan stereotype
kita, orang-orang introvert bisa mempunyai kekuatan karakter internal yang
tidak dipunyai oleh orang-orang ekstrovert. Namun dalam kenyataanya,
paradigma itu mempengharuhi persepsi guru tentang murid di mana sesuai
yang dikemukakan Ausubel (1986:413) bahwa introversi dan ekstroversi
adalah indeks penyesuaian sosial yang sangat menyesatkan, dan para ahli
pendidikan lain pun memperingatkan agar kita tidak berprasangka terhadap
murid berdasarkan anggapan tentang ekstroversi. Contohnya saja di kelas
bahasa, di mana partisipasi lisan sangat dihargai dan mudah sekali
mengistimewakan para peserta yang aktif dan mengasumsikan bahwa mereka
menonjol di kelas itu semua dikarekanan faktor ekstroversi. Dalam hal ini para
guru perlu memperhatikan norma-norma kultural dalam penilaian mereka
terhadap murid yang dianggap pasif.
Sehubungan dengan definisi di atas, ekstroversi dan introversi diyakini
sebagai faktor dalam perkembangan kompetensi komunikatif lisan umum yang
mensyaratkan interaksi tatap muka, tetapi tidak dalam mendengarkan,
membaca, ataupun menulis.
C. Motivasi
Motivasi adalah variable efektif lain yang harus dipertimbangkan , tetapi ia
begitu sentral dan memiliki fondasi-fondasi penelitian yang sedemikian universal
hingga layak dimasukkan dalam sebuah kategori tersendiri di sini. Sebagai istilah
serba guna yang paling sering dipakai untuk menjelaskan keberhasilan atau
12
imbalan
lebih
jauh.
Skinner,
Pavlov, dan
Thorndike
dan
menanamkan
dan
hasil-hasil
mempengaruhi-dalam
eksplorasi,
manipulasi,
istilah
Skinner-
aktivitas,
13
asing
karena
gagal
melihat
imbalannya,
menghubungakan
Behavioristik
Kognitif
Konstruktivis
Pengharapan imbalan
Konteks sosial
14
Keinginan untuk
komunitas
menerima penguatan
manipulasi, dll)
Keamanan
positif
Eksternal, kekuatan
dikeluarkan
individu dalam
kontrol
kelompok
individual
Ditentukan oleh
kekuatan internal
bagaimana
factor-faktor
kesungguhan
dan
motivasi
teknik,
penerjemahan,
dan
seterusnya.
Sisi
integratif
15
bahwa
kedua
orientasi
tersebut
tidak
mesti
saling
17
positif.
Perilaku-perilaku
yang
dilakukan
semata-mata
untuk
18
untuk
Ketidaksebangunan
tidak
menaklukkan
dengan
situasi-situasi
sendirinya
menantang.
memotivasi,
tetapi
dalam
peneliatian
Csikszentmihalu
(1990;
Egbert,
2003);
Penelitian aliran mendapati bahwa performa optimal semacam itu adalah hasil
dari factor-faktor seperti keseimbangan antara keterampilan dan tantangan,
kemampuan berfokus secara intensif pada tujuan-tujuan jelas kegiatan, dan
umpan balik positif bagi seseorang yang sedang melaksanakan suatu kegiatan.
Semua penelitian tersebut mendukung pentingnya keterlibatan intrinsic para
pembelajar dalam mencapai tujuan-tujuan kecakapan dalam sebuah bahasa
asing.
Jerome Bruner (1966b), yang memuji-muji otonomi imbalan-diri,
mengklaim bahwa salah satu cara palingefektif untuk membantu anak-anak
maupun orang dewasa berpikir dan belajar adalah membebaskan mereka dari
control imbalan dan hukuman. Salah satu kelemahan mendasar perilaku yang
terdorong secara ekstrinsik adalah sifat adiktifnya. Sekali terjerat, begitulah,
oleh umpan hadiah atau pujian seketika ketergantungan kita pada imbalanimbalan nyata itu meningkat, bahkan hingga titik di mana pembatalan
imbalan-imbalan itu bisa memadamkan hasrat belajar. Ramage (1990),
misalnya, mendapati bahwa murid-murid sekolah menengah bahasa asing
yang berminat melanjutkan studinya melampaui sekadar persyaratan masuk
perguruan tinggi termotivasi secara positif dan intrinsic. Sebaliknya, mereka
yang mengikuti pelajaran hanya untuk memenuhi persyaratan masuk
menunjukkan motivasi rendah dan performa yang lebih lemah.
Disini penting membedakan konsep intrinsic-ekstrinsik dari orientasi
integratif-instrumental Gardner. Meski banyak kejadian motivasi intrinsic
yang kemudian terbukti integratif, sebagian mungkin tidak. Misalnya, orang
bisa, karena tujuan-tujuan intrinsic yang sangat maju, berniat mempelajari
bahasa kedua untuk meningkatkan karier atau berhasil dalam sebuah program
akademis. Orang pun bisa mengembangkan emosi positif terhadap para
penutur sebuah bahasa kedua untuk alas an-alasan ekstrinsik, seperti dorongan
orang tua atau dukungan guru. Kathlees Bailey (1986) menggambarkan
hubungan antara dua dikotomi itu dengan diagram dalam table 6.2.
Rentangan intrinsic-ekstrinsik dalam motivasi bisa ditetapkan dalam
kelas-kelas bahasa asing di seluruh dunia (misalnya, Warden & Lin, 2000; Wu,
2003; Csizer & Dornyei, 2005). Terlepas dari keyakinan kultural dan sikap
para pembelajar dan guru, faktor-faktor intrinsic dan ekstrinsik bisa
diidentifikasi dengan mudah. Dornyei dan Csizer (1998), misalnya, dalam
sebuah survey terhadap guru-guru Hongaria yang mengajar bahasa Inggris,
20
ekstrinsik
Adanya
dorongan
terdorong atau
termotivasi untuk
mengintegrasikan dengan
(untuk
bahasa kedua
atau pernikahan).
alasan
pembelajar
integrative)
D. N
e
u
r
o
b
io
lo
Orang
mendorong
agar
pembelajar
memanfaatkan bahasa
kedua
misalnya,
(misalnya, untuk
mengirimkan karyawannya ke AS
berkarir)
gi
Jepang
Afeksi
Akan sia-sia membahas kepribadian dan pembelajaran bahasa tanpa
menyentuh landasan-landasan neurologis afeksi. Pada paruh terakhir abad kedua
puluh kita menyaksikan kemajuan signifikan dalam studi empiris otak melalui
teknik-teknik seperti positron emission tomography (PET) dan magnetic
resonance imaging (MRI). Menggunakan teknik-teknik semacam itu, beberapa
kaitan dibangun antara afektivitas dan pemrosesan mental/emosional pada
21
Neurologi,
neuropsikologi
termasuk
menerangkan
neuroanatomi,
beberapa
wilayah
neurochemistry
menarik
bagi
dan
kajian
jauh
tentang
landasan-landasan
neurobiologis
motivasi
sebagai
tertentu dan memilih di antara berbagai alternative. Kita punya, misalnya, apa
yang oleh Schumann dan Wood disebut sebagai nilai homeotatis yang
meningkatkan kemampuan bertahan sebuah organisme, dan nilai sosiostatis yang
menuntun kita berinteraksi dengan orang lain, dan mencari afiliasi sosial.
Penelitian dalam waktu dekat tentang neurobiology afeksi kemungkinan
besar akan meningkatkan pemahaman kita saat ini tentang fisiologi otak dan
efeknya terhadap perilaku manusia. Lebih spesifik lagi, bisa kita tunggu verifikasi
apa yang kini kita hipotesiskan sebagai kaitan-kaitan penting antara afeksi dan
pemerolehan bahasa kedua.
E. Jenis Kepribadian dan Pemerolehan Bahasa
Kaitannya pada pembealajaran bahasa kedua studi Ehrman dan Oxford
(1990) di mana mencoba menelaah tpe-tipe kepribadian yang dibuat oleh MyersBriggs di mna tipe ini dijadikan indicator dalam mengukur atau memahami jenis
kepribadian dan hubungan sifat-sifat tertentu dalam kesukesan pembelajaran
bahasa. Myers-Breggs menguji empat gaya dikotomis yakni (1) Introversi vs
Ekstroversi , (2) Penginderaan vs Intuisi, (3) Pikiran vs Perasaan, dan (4)
Penilaian vs Pemahaman. Semua dikotomi itu diuji melalui karakter mereka yang
kemudian dipahami dan dirumuskan di setiap dikotimi tersebut.
Dari pemahaman yang didapat, bahwa terdapat perbedaan dari subjeksubjek berdasarkan tipe Myers-briggs ini, misalnya saja mereka yang ekstrovert
(E) menggunakan strategi-strategi sosial secara konsisten dan mudah, sementara
yang introvert (I) menolak strategi-strategi itu . Pada penginderaan (S)
memperlihatkan kecondongan kuat pada strategi-strategi memori, dan mereka
yang mengandalkan intuisi (N) lebih baik dalam strategi-strategi kompensasi.
Kemudian perbedaan T/F (Pemikir dan Perasa) memberikan kontras yang paling
dramatis. Pemikir 9T) umumnya menggunakan strategi-strategi metakognitif dan
analisis, sedangkan perasa (F) menolak strategi semacam itu, mereka lebih
menggunakan strategi sosial. Yang terakhir, para penilai (J) jarang menggunakan
strategi-strategi afektif yang justru oleh para pemerhati (P) dianggap sangat
bermanfaat.
Tabel 6.1. Tipe karakter Myers-Briggs
Ekstroversi (E)
Introversi (I)
23
Sosialisasi
Teritorial
Interaksi
Konsentrasi
eksternal
internal
Keluasan
Kedalaman
Ekstensif
Intensif
Multipilitas Hubungan
Hubungan Terbatas
Pengeluaran energi
Penghematan energi
Penginderaan (S)
Intuisi (N)
Pengalaman
Firasat/Perasaan
masa lalu
Masa depan
Realistis
Spekulatif
Perspirasi
Inspirasi
Sebenarnya
Kemungkinan
Down-to-earth (Membumi)
Melangit (Ambisius)
Utilitas / Manfaat
Fantasy
Fakta
Fiksi
Kepraktisan
Orisinalitas
Imajinatif
Berpikir (T)
Merasa (F)
Objektif
subjektif
Prinsip
Nilai
Kebijakan
Nilai-nilai sosial
Hukum
Dalih
Kriteria
Keintiman
Keteguhan
Persuasi
Impersonal
Pribadi/Personal
Keadilan
Kemanusiaan
Kategori
Harmoni
Standar
Kritik
Apresiatif
Analisis
Simpati
24
Alokasi
Kesetiaan
Penilaian (J)
Pengamatan (P)
Menetap/Selesai
Menggantung
memutuskan
Tetap
Fleksibel
Rencanakan dahulu
Tertutup
Opsi-opsi terbuka
Pengambilan Keputusan
Terencana
Tidak terbatas
Muncul / Tumbuh
Tegas/ Pasti
Tentatif
Bungkuslah / Keputusan
Mendesak
Batas waktu!
Lakukan sekarang
Extraversion
Introversi
Penginderaa
dekat (cermat)
Pelatihan sendiri, konseptualisasi, memberikan model.
Intuisi
Berpikir
Perasaan
Penilai
Mengamati
pengalaman baru
25
Extraversion
Introversi
Penginderaa
Intuisi
berlebihan wacana
Kecemasan performa karena harga diri yang melekat pada prestasi,
Berpikir
Perasaan
Penilai
Mengamati
*catatan : Tidak semua murid menunjukkan kelemahan-kelemahan ini
Tampaknya keberhasilan dalam pembelajaran bahasa kedua tergantung pada
mobilisasi atau strategi-strategi yang terkait pada preferensi dan gata
pembelajaran seseorang. Dengan kata lain, pembelajar yang berhasil tahu
preferensi mereka, kekuatan mereka dan kelemahan mereka. Dan secara efetktif
menggunakan kekuatan mereka untuk mengimbangi kelemahan mereka tanpa
memandang preferensi alami yang mereka miliki.
F. Motivasi Intrinsik di Ruang Kelas
Ada begitu banyak aplikasi dan implikasi variabel-varibel afeksi dalam
pembelajaran. Pertama, adanya hubungan pengaruh-mempengaruhi di kelas antara
motif-motif instrinsik dan ekstrinsik. Setiap lembaga pendidikan membawa serta
faktor-faktor tertentu yang digerakan secara ekstrinsik, misalnya : kurikulum
sekolah yang sudah ditetapkan, tujuan dan sasaran pelajaran sang guru, harapanharapan orang tua (Jika para pembelajarnya anak-anak kecil), persyaratan
penilaian kelembagaan, dan bahkan barangkali berupa pesan dari masyarakat yang
meminta kita bersaing dengan pihak lain dan mengindari kegagalan. Misalnya saja
dalam lembaga kursus, tekanan-tekanan ekstrinsik sering diwujudkan dalam
26
persyaratan bahasa asing yang ditetapkan oleh lembaga dan dalam skor tes standar
yang harus dicapai.
Dalam kasus di atas, sebagai guru sebaiknya menganggap bawa tekanantekanan tersebut tidak selalu buruk atau berbahaya. Guru bisa memanfaatkan
faktor-faktor semacam itu dengan inovasi atau usaha-usaha kreatif. Contohnya
ketika guru dihadapkan oleh kebijakan sekolah yang mewajibkan buku teks
menjemukan yang memusat pada guru, di sini guru dituntut mampu berusaha
kreatif dan berinovasi untuk menambah aktifitas kelompok siswa yang menarik
sehingga siswa bisa mengambil pilihan topik pembahasan dan pendekatan yang
sesuai dengan mereka.
Kedua, meningkatkan motivasi intrinsik dengan memikirkan bagaimana
desain atau teknik mengajar di kelas agar bisa menambah motivasi intrinsik pada
siswa. Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan atas pemikiran teknik pengajaran
yang menambah motivasi siswa, antara lain :
a. Apakah aktivitas itu menarik minat murid? Apakah itu relewan dengan
kehidupan mereka?
b. Apakah guru menghadirkan aktifitas dengan cara positif dan penuh semangat?
c. Apakah siswa benar-benar mengerti maksud aktifitas itu?
d. Apakah para murid punya pilihan dalam memilih suatu aspek aktifitas dan
atau menentukan bagaimana mereka memenuhi tujuan aktifas tersebut?
e. Apakah aktifitas itu mendorong murid untuk menemukan sendiri prinsip atau
kaidah tertentu (bukan sekedar diberi tahu saja)?
f. Apakah aktifitas itu mendorong murid dalam suatu cara, mengembangkan atau
menggunakan strategi-strategi efektif pembelajaran dan komunikasi?
g. Apakah aktifitas itu memberikan kontribusi bagi murid dalam kebebasan
berekspresi dalam belajar?
h. Apakah aktifitas itu memupuk negosiasi kooperatif debfab murid-murid lain di
kelas? Apakah benar-benar interaktif?
i. Apakah aktifitas itu memberikan sebuah tantangan yang wajar?
j. Apakah murid menerima umpan balik atas performa mereka (sari sesama
siswa maupun siswa dan murid)?
Dengan mempetimbangkan 10 langkah di atas dalam memotivasi
pembelajar, Drnyei dan Csizr (1998:215) memberikan 10 saran berdasarkan
survey yang dilakukan pada guru-guru bahasa asing di Hongaria, yakni :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
BAB III
SIMPULAN
Dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa banyak sekali faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penguasaan bahasa target tersebut. Faktor-faktor tersebut
berkaitan dengan beberapa ranah, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Secara umum,
makalah ini membahas dalam ranah intrinsik di mana fokus pada ranah afeksi atau
kepribadian si pembelajar dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua. Faktorfaktor tersebut antara lain : Harkat, Atribusi dan Kelayakan Diri, Kesediaan
Berkomunikasi, Hambatan, Pengambilan Resiko, Kecemasan, Empati, Ekstroversi
dan Introversi, Motivasi, dan Tipe Kepribadian dalam pemerolehan bahasa kedua.
28
29