Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesulitan dalam belajar bahasa kedua yakni bahasa asing, dalam
penggunaannya secara umum masih menyebabkan dan mengalami kesulitan dan
tuntutan pedagogis bagi pengajar maupun pelajar. Selain pengaruh pada
penguasaan bahasa itu sendiri, tidak terpelas dari cara dan metode apa yang
digunakan dalam melakukan pembelajaran dan pengajaran bahasa asing, dan
faktor atau pengaruh yang menyebabkan kesulitan berbahasa asing.
Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua, pelajar sering
mengalami kesulitan dan kesalahan dikarenakan penggunaan dan pengetahuan
serta pengalaman berbahasa pertama lebih sering digunakan oleh pelajar. Di lain
sisi, pembelajar pun mempunyai karater masing-masing yang tentunya berbeda
sehingga mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam menguasai bahasa kedua
atau bahasa targetnya. Akibat unsur-unsur tersebut, penulis bermaksud
memaparkan faktor personalitas dalam pembelajaran bahasa yang bisa
menmpengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan siswa dalam melakukan
pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ranah afektif dalam pembelajaran dan pengajaran
bahasa kedua?
2. Apa saja faktor-faktor kepribadian yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua?
3. Bagaimana penjelasan faktor-faktor kepribadian tersebut?
4. Bagaimana hubungan dan implikasinya terhadap pengajaran dan pembalajaran
bahasa kedua?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui ranah afektif dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua,
2. Mengetahui faktor-faktor kepribadian dan penjelasannya yang mempengaruhi
keberhasilan pembelajaran bahasa kedua,
3. Mengetahui hubungan dan implikasinya

terhadap

pengajaran

dan

pembalajaran bahasa kedua.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ranah Afektif
Bidang afektif dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua terbagi
menjadi dua ranah. Yang pertama adalah sisi intrinsik efektifitas di mana terdiri dari
2

faktor kepribadian orang yang berkontribusi dalam beberapa cara untuk keberhasilan
pembelajaran bahasa. Yang kedua, meliputi faktor-sosiokultural, yakni variabel
ekstrinsik yang muncul dari si pembelajar bahkan pengajar. Bukan hanya dua bahasa
yang terkadang menjadi campur kode, tetapi juga adanya kontak dua budaya yang
secara tidak langsung secara bersamaan mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua
atau bahasa target.
Afeksi merujuk pada emosi atau perasaan. Ranah efeksi adalah sisi emosinal
perilaku manusia, dan bisa disandingkan dengan sisi kognitif. Perkembangan
keadaan-keadaan afektif atau perasaan melibatkan beragam faktor kepribadian,
perasaan tentang diri kita mupun tentang orang lain yang berhubungan dengan kita.
Benjamin Bloom dan koleganya (Krathwohl, Bloom, & Masia, 1964)
mengemukakan sebuah teori tentang 5 wilayah afektif yang masih banyak dipakai
sampai dengan sekarang, antara lain :
1. Pada tataran pertama dan fundamental, perkembangan afeksi dimulai dengan
menerima. Orang per orang harus mengerti lingkungan sekitar mereka dan
menyadari situasi, fenomena, orang-orang, benda-benda yang ada di sekitar
mereka. Sehingga mereka harus bersedia menerima tenggang rasa dari sebuah
stimulus yang didapat, bukan malah menghindarinya. Selain itu juga harus
memberikan perhatian pada apa yang mereka kehendaki dan mereka pilih kepada
sebuah stimulus.
2. Kemudian, orang per orang harus beranjak menerima untuk menanggapi, dan
melakukan setidak-tidaknya suatu langkah kecil terhadap sebuah fenomena
ataupun seseorang. Tanggapan semacam itu pada satu tataran mungkin dilakukan
dengan sikap pasif, tetapi pada tataran yang lebih tinggi, orang itu bersedia
menanggapai secara sukarela tanpa paksaan, dan kemudian mendapatkan
kepuasaan dari tanggapan itu.
3. Tataran ketiga afektifitas melibatkan penilaian, yakni memberikan nilai baik pada
sesuatu, sebuah perilaku, ataupun pada seseorang. Penilaian memperlihatkan
keyakinan atau sikap sebagaimana nilai-nilai itu ditanamkan. Tiap individu tidak
semata-mata menerima sebuah nilai dan bersedia diidentifikasi dengan penilaian
itu, tetapi mereka mengupayakannya, mencarinya, dan menginginkannya sampai
akhirnya menjadikannya sebuah keyakinan.
4. Tataran keempat yakni pengorganisasian, di mana nilai-nilai sebelumnya menjadi
sebuah sistem kepercayaan yang menentukan hubungan timbal balik di antara
merekam dan membangun sebuah hirarki nilai dalam sistem tersebut.
3

5. Pada akhirnya, semua individu ddapat memahami diri sendiri dan selaras dengan
sistem nilai mereka. Individu-individu bertindak secara konsisten sesuai dengan
nilai-nilai yang mereka tanamkan dan menyatukan keyakinan, ide, dan sikap ke
dalam sebuah filosofi atau pandangan hidup.
Pemetaan Bloom sebetulnya dirancang bagi tujuan-tujuan pendidikan, tetapi
dipakai juga sebagai pemahaman umum tentang wilayah afektif dalam perilaku
manusia. Gagasan-gagasan dasar tentang menerima, menanggapi, dan menilai
adalah sebuah gagasan universal. Para pembelajar bahasa kedua harus reseptif
terhadap orang-rang yang berkomunikasi dengan mereka dan terhadap bahasa itu
sendiri, kemudia pembelajar juga harus responsive terhadap komunikasi yang
dilakukan dan bersedia serta mampu menempatkan nilai tertentu dalam
berkomunikasi dan mendapatkan timbal balik antar pribadi.
Dari pernyataan di atas, mungkin terdengar terlalu jauh apa yang
dipaparkan Bloom dari hakikat bahasa itu sendiri, namun hal ini sangat terkait
pada perilaku manusia di mana manusia punya jalinan yang kuat dalam berbahasa
dengan aspek perilakunya. Bahasa adalah sebuah fenomena yang selalu hadir
dalam kehidupan manusia, sehingga kita tidak bisa dipisahkan dari apa yang kita
lakukan sehari-hari. Kenneth Pike (1976:26) mengatakan bahwa bahasa adalah
perilaku, yakni sebuah fase aktivitas manusia yang pada dasarnya tidak boleh
diperlakukan sebagai hal yang terpisah dari struktur aktivitas nonverbal manusia.
B. Faktor Afektik Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
Memahami bagaimana manusia merasakan, menanggapi, meyakini, dan
menilai adalah aspek sangat penting dari teori pemerolehan bahasa kedua, pada
makalah ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang terkait antara perilaku
manusia dengan pemerolehan bahasa kedua.
1. Harkat
Harkat bisa jadi merupakan aspek paling universal dari semua perilaku
mausia. Dengan mudah bisa dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas kognitif
atau afektif yang sukses dilakukan tanpa adanya harkat, kepercayaan diri,
pengetahuan tentang diri sendiri, dan keyakinan pada kemampuan sendiri
untuk berhasil melakukan aktivitas tersebut. Malinowski (1923) mengatakan
bahwa semua orang membutuhkan komuni fatik (phatic communion) yang

didefinisakan bagaimana diri kita membutuhkan keberterimaan dalam


mengungkapkan diri sehubungan dengan penilaian orang lain.
Mengutip dari Coopersmith (1967:4-5) yang mendifiniskan harkat
secara luas, yakni :
Dengan harkat, kita merujuk pada evaluasi yang dilakukan individu
individu dan biasanya dipertahankan sehubungan dengan diri mereka
sendiri; harkat mengungkapkan sikap setuju atau tidak setuju, dan
mengindikasikan sejauh mana individu-individu meyakini diri sendiri
mampu, signifikan, berhasil, dan layak. Pendek kata, harkat adalah
penilaian personal atas kelayakan dan diungkapkan dalam sikap-sikap
yang dipunyai individu-individu terhadap diri mereka sendiri. Inilah
pengalaman subjektif yang disampaikan individu kepada orang lain
dengan pernyataan verbal dan perilaku terbuka ekspresif lainnya.
Harkat dipaparkan dalam beberapa dimensi, antara lain :
a. Harkat Global, di mana harkat ini dipandang relatif stabil dalam diri
seseorang yang sudah dewasa atau matang, dan tahan terhadap perubahan,
kecuali dengan terapi afktif dan panjang. Inilah yang dijadikan sebagai
penilaian umum atau yang lazim dilakukan orang tentang kelayakannya
sendiri sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
b. Harkat Situasional atau Spesifik, di mana merujuk pada penilaian diri
seseorang dalam situasi kehidupan tertentu seperti interaksi sosial,
pekerjaan, rumah, atau pada ciri-ciri yang didefinisikan relative terpisah
seperti kecerdasan, kemampuan komunikatif, kemampuan atletik; atau
ciri-ciri kepribadian seperi keramahan, empati, dan fleksibilitas. Tingkatan
harkat spesifik seseorang bisa bervariasi bergantung pada situasi atau ciri
yang akan dibahas.
c. Harkat Tugas, berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam situasisituasi spesifik. Misalnya, dalam wilayah pendidikan, harkat tugas
mungkin merujuk pada satu wilayah mata pelajaran. Misalnya saja pada
sebuah konteks atletik, keterampilan pada suatu cabang seperti permainan
net dalam tenis atau pitching dalam permainan bisbol akan dievaluasi
dalam tataran harkat tugas. Harkat ini merujuk pada evaluasi seseorang
dalam aspek khusus.
2. Teori Atribusi dan Kelayakan Diri
Melandasi isu dan persoalan tentang peran harkat dalam pembelajaran
bahasa adalah konsep-konsep dasar atribut bahasa dan kelayakan diri.
Berdasarkan penelitian Bernard Weiner (1986,1992,2000), teori atribusi
5

berfokus pada bagaimana orang menjelaskan sebab-sebab keberhasilan dan


kegagalan mereka. Ada empat penjelasan dalam pemaparan teori atribusi ini
terkait keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan, yakni adanya
kemampuan, usaha, kesulitan, dan keberuntungan. Dua dari empat faktor
tersebut bersifat internal, yakni kemampuan dan usaha. Dan dua faktor lainnya
dihubungkan dengan keadaan eksternal dari diri seseorang (pembelajar), yakni
kesulitan dan keberuntungan.
Menurut Weiner, para pembelajar cenderung menjelaskan dan
menghubungkan keberhasilan mereka dalam suatu pembelajaran dengan
empat

faktor

tersebut.

Implikasinya,

ada

teori

sebab-akibat

dalam

mengubungkan dimensi-dimensi yang sudah disebutkan di atas. Misalnya saja


kegagalan pelajar dalam meraih nilai tinggi pada ujian akhir mata pelajaran
bahasa asing dipandang sebagai konsekuensi dari buruknya kemampuan dan
usaha mereka. Namun oleh sebagian lain dihubungkan dengan tingkat
kesulitan ujian, dan oleh yang lain lagi mungkin dihubungkan dengan nasib
yang kurang baik.
Di sinilah kelayakan diri muncul. Jika seorang pembelajar merasa dirinya
mampu melaksanakan suatu tugas, dengan kata lain, memiliki rasa kelayakan
diri yang tinggi, ia akan mengerahkan upaya yang semestinya demi mencapai
keberhasilan. Kegagalan meraih tujuan dengan demikian bisa dikaitkan
dengan tidak memadainya upaya yang dikerahkan; misalnya dalam kasus
murid-murid yang memiliki kelayakan diri yang tinggi, jarang muncul dalih
yang menghubungkan performa buruk dengan sesuatu seperti peruntungan
yang buruk. Sebaliknya, seorang pembelajar dengan kelayakan diri rendah
mungkin dengan mudah menghubungkan kegagalan dengan fator eksternal,
sebuh sikap kejiwaan yang relative tidak sehat untuk mengerjakan tugas
apapun. Siswa-siswa dengn kelayakan yang rendah bisa juga menghubungkan
kegagalan dengan kekurangan kemampuan yang dimilikinya sejak awal.
Secara sederhana, teori ini menyampaikan bahwa sangat penting bagi
para pembelajar untuk yakin pada diri sendiri agar berhasil mengerjakan
serangkaian tugas atau pekerjaannya. Prospek pembelejaran bahasa kedua itu
sendiri bisa sedimikian melelahkan hingga para pembelajar bisa dan seringkali
kehilangan momentum dan akhirnya memunculkan keraguan pada dirinya
sendiri. Salah satu peran terpenting dari guru yang baik adalah memudahkan
murid-muridnya untuk meningkatkan kadar kelayakan diri mereka.
6

3. Kesediaan Berkomunikasi
Satu faktor yang terkait dengan atribusi dan kelayan diri yang dipandang
sebagai hal yang mutakhir dalam literatur penelitian adalah sejauh mana para
pembelajar

menunjukkan

kesediaan

berkomunikasi

ketika

mereka

mempelajari bahasa kedua. Kesediaan berkomunikasi atau willingness to


communicate (WTC) bisa didefinisikan sebagai sebuah kontinum dasar yang
menggambarkan

kecenderungan

menuju

atau

menjauhi

komunikasi

(MacIntyre et el., 2002:538). Atau secara sederhana, niat untuk mengawali


komunikasi, bila adanya pilihan. Berangkat dari berbagai studi dan penegasan
tentang ketidaksediaan para pembelajar bahasa untuk berkomunikasi dan apa
yang secara umum kita sebut segan, para peneliti kini menelaah sejauh mana
WTC merupakan faktor bukan hanya dalam pemerolehan bahasa kedua, tetapi
juga faktor yang memungkinan bisa berakar dalam pola komunikasi bahasa
pertama seorang pembealajar.
Dalam sebuah studi terdahulu tentang WTC, MacIntyre dan kawankawan (1998) mendapati bahwa sejumlah faktor tampaknya berperan dalam
mendorong seorang pembelajar untuk mencoba melakukan, dan pembelajar
lain untuk menghindari komunikasi bahasa kedua. Mengamati tingginya
tingkat kemampuan komunikatif tidak mesti selalu berhubungan dengan
tingginya akan WTC, MacIntyre mengemukakan bahwa adanya sejumlah
fakto kognitif dan afekti yang mendasarinya, yakni motovasi, iklim antar
kelompok, dan tingkatan kepercayaan diri. Ketiga faktor tersebut menyandang
peran penting untuk menentukan kesediaan seseorang berkomunikasi.
4. Hambatan
Variabel lain yang masih terkait erat dan dapat digolongkan dengan hal
harkat dan kelayakan diri adalah konsep hambatan. Semua manusia dalam
pemahamanannya tentang diri sendiri membangun perangkat-perangkat
pertahanan untuk melindungi egonya masing-masing. Pada kanak-kanak,
peningkatan kadar pemahaman, tanggapan, dan penilaian mulai menciptakan
sebuah sistem ciri-ciri afektif yang dipakai oleh individu untuk mengenali
dirinya senndiri. Sedangkan pada masa remaja, perubahan-perubahan fisik,
emosional, dan kognitif dari masa praremaja ke masa rmaja menyebabkan
meningkatnya sifat menahan diri demi melindungi ego yang rapuh, demi
menangkal ide, pengalaman, dan perasaan yang mengancam dalam
7

membongkar tatanan nilai dan keyakinan di mana harkat coba ditegakkan, dan
proses pertahanan ini berlanjut hingga dewasa.
Beberapa orang yang mempunyai harkat dan ego lebih tinggi, mereka
lebih mampu melawan ancaman terhadap eksistensi mereka, dan dengan
demikian pertahanan mereka lebih rendah. Orang dengan harkat lebih lebih
cenderung mempertahankan tembok pengahalang untuk melingungi apa yang
dianggap sebagai ago yang rapuh, atau tidak adanya kepercayaan diri dalam
suatu situasi atau kegiatan.
Ego manusia meliputi apa yang disebut dengan ego bahasa, yakni sifat
egoistis dan sangat personal pada pemerohan bahasa kedua. Pemerolahan pada
bahasa melibatkan konflik identitas ketika ego bahasa yang adaptif
memungkinkan

para

pembelajar

menurunkan

penghalang

uang

bisa

menghambat keberhasilan.
Siapapun yang pernah mempelajari bahasa asing akan sepenuhnya
mengerti bahwa pembelajaran bahasa kedua benar-benar menghendaki
dilakukannya kekeliruan. Banyak hasil pengujian hipotesis-hipotesis tentang
bahasa dengan mencoba dan menghasilkan banyak kesalahan, dari anak-anak
yang mempelajari bahasa pertama dan orang dewasa yang mempelajari bahasa
kedua di mana ternyata mereka bisa maju atau berhasil dengan belajar dari
kekeliruan atau kesalahan mereka. Apabila kita tidak pernah mau mencoba
berbicara satu kalimat saja sampai benar-benar meyakini ketepatannya,
agaknya kita tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara produktif.
Namun disatu sisi kekeliruan atau kesalahan ini dapat dipandang
sebagai sebuah ancaman bagi ego seseorang. Kekeliruan di sini merujuk pada
teori atribusi di mana bisa mendatangkan ancamana secara internal, maupun
eksternal. Secara internal, pembelajar bisa melakukan sesuatu kesalahan dan
menjadi kritis terhadap kekeliruannya sendiri. Secara eksternal, para
pembelajar menganggap bahwa orang lain akan kritis dan bahkan bisa
menghakimi pribadi mereka ketika mereka membuat kekeliruan dalam
pembelajaran bahasa kedua.
5. Pengambilan Risiko
Dalam bahasan sebelumnya bahwa adanya hambatan dalam
pembelajaran bahasa kedua memberikan satu ancaman dalam keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor tersebut menunjukkan
bahwa pengambilan risiko adalah karakteristik penting bagi kebehasilan dalam
8

mempelajari bahasa kedua. Dalam hal ini, pembelajar harus mampu atau
mempunyai firasat tentang bahasa dan berani mengambil risiko yang salah
sebagai bahan pembelajaran ke depannya.
Pengambilan risiko akan mendatangkan hal positif dalam pembelajaran
bahasa kedua. Variasi pengambilan risiko ini menjadi satu faktor dalam
pendidikan pedagogi khususnya pemerolehan bahasa kedua. Misalnya saja,
seorang murid pendiam di kelas adalah dia yang tidak mau terlihat bodoh di
depan teman-temannya ketika terjadi suatu kekeliruan. Dalam hal ini, harkat
sangat terkait erat dengan faktor pengambilan risiko di mana ketika
kekeliruan-kekeliruan fatal terjadi atau dilakukan oleh si pembelajar,
seseroang dengan harkat global tinggi, tidak akan takut dengan kemungkinan
ditertawakan oleh teman-teman lainnya ketia ia membuat kesalahan.
6. Kecemasan
Walaupun kita semua tahu apa itu kecemasan dan tentunya kita pasti
pernah mengalami rasa cemas, tetap saja kecemasan tidak mudah didefinisikan
dalam kalimat sederhana. Spielberger (1983:1) merumuskan kecemasan
sebagai perasaan subjektif mengenai ketegangan, ketakutan, kegelisahan, dan
kekhawatiran terkait dengan bangkitnya sistem syaraf otonom. Dalam bahasa
sederhana, kecemasan terkait dengan perasaan canggung, frustasi, keraguan
diri, ketakutan, atau kekhawatiran (Scovel, 1978:134).
Penelitian tentang kecemasan menunjukkan bahwa kecemasan itu
seperti harkat yang bisa dialami dalam berbagai tingkatan. Pada tingkatan
yang paling mendasar, kecemasaan bawaan adalah kecenderungan yang lebih
permanen untuk cemas, di mana sebagian orang bisa dipastikan dan memang
pada umumnya cemas tentang banyak hal. Pada tingkatan berikutnya atau
situasional, kecemasan situasional dialami berkenaan dengan peristiwa atau
perbuatan tertentu. Dalam hal ini, penting bagi seorang guru untuk berusaha
menentukan apakah kecemasan seorang murid berasal dari sifat bawaanya
atau dari situasi tertentu pada saat itu.
Pada perkembangannya, dalam kecemasan bahasa saat ini lebih terfokus
secara spesifik pada situasional tertentu. Horwitz dan Cope (1986), MacIntyre
& Gardner (1989,1991) membagi kecemasan menjadi tiga komponen dalam
mengidentifikasi keberhasilan pembelajaran bahasa asing, antara lain :
a. Ketakutan komunikasi, muncul dari ketidakmampuan pembelajar untuk
mengungkapkan secara memadai pemikiran dan ide-ide matang,
9

b. Ketakutan sosial terhadap penilaian negatif, muncul dari kebutuhan serang


pembelajar untuk membuat kesan sosial positif kepada orang lain,
c. Kecemasan ujian, atau ketakutan terhadap evaluasi akademis.
Selain kecemasan bawaan dan kecemasan situasional yang di mana
sudah dibahas sebelumnya, adanya atau munculnya wawasan penting lainnya
yang harus diketahui bagi pemahaman kita tentang kecemasan yang terletak
pada pembedaan antara kecemasan debilitatif dan fasilitatif (Alpert dan Haber,
1960; Scovel, 1978), atau yang oleh Oxford (1999) disebut kecemasan
berbahaya dan bermanfaat. Namun, belakangan Spielman & Radnofsky
(2001) lebih suka menyebutnya atau mengidentifikasi ketegangn sebagai
konsep yang lebih netral untuk mendeskripsikan kemungkinan efek
merugikan maupun efek menguntungkan dalam pembelajaran sebuah
bahasa asing. Boleh jadi, kita condong memandang kecemasan sebagai faktor
negative, sesuatu yang entah bagaimana caranya harus dihindari. Tetapi
gagasan tentang kecemasan fasilitatif dan ketegangan menguntungkan
memandang sedikit kekhawatiran / ketakutan terhadap suatu tugas yang harus
diselesaikan dalam hal ini merupakan sebuah faktor positif. Tanpa hal itu,
seorang pembelajar mungkin akan cenderung lembek, tidak punya
kekhawatiran atau ketegangan fasilitatif yang membuat pembelajar tetap siaga,
waspada, dan sedikit galau dan dibayangi-bayangi tugas tersebut.
7. Empati
Dalam istilah awam, empati adalah proses menempatkan kaki anda di
sepatu orang lain, di mana menyediakan diri untuk memahami apa yang orang
lain rasakan. Dalam pengertian-pengertian yang lain, empati biasanya
digambarkan sebagai proyeksi kepribadian seseorang pada kepribadian orangorang lain untuk memahami mereka dengan lebih baik. Dalam hal ini, empati
bukan sinonim dari simpati. Empati mengisyaratkan kemungkinan yang lebih
besar bagi ketidakterlibatan; simpati menyiratkan sebuah kesesuaian atau
harmoni antara berbagai individu. Guiora dkk. (1972b:142) mendefinisikan
empati sebagai sebuah proses pemahaman di mana peleburan sementara batasbatas objek diri memungkinkan sebuah pengertian emosional seketika
terhadap pengalaman afektif orang lain. Para psikolog pada umumnya sepakat
pada definisi ini dan menambahkan dua aspek penting lain bagi

10

pengembangan dan perwujudan empati itu sendiri. Pertama, sebuah


kepahaman dan pengetahuan tentang perasaan diri seseorang. Kedua,
Identifikasi dengan orang lain (Hogan, 1969). Dengan kata lain, kita tidak bisa
sepenuhnya berempati atau mengenal orang lain sebelum kita mengenal diri
kita sendiri.
Untuk berkomunikasi secara efektif, kita harus mampu memahami
keadaan afektif dan kognitif orang lain sehingga kita tidak membuat praduga
atau asumsi keliru tentang orang lain. Dalam hal ini, komunikasi lisan adalah
sebuah kasus di mana secara kognitif mudah bagi kita untuk melakukan
komunikasi empatik karena adanya umpan balik seketika dari pendengar atau
mitra tutur. Kata, frase dan ide yang mungkin disalahpahami dapat langsung
ditanyakan kepada penutur dan kemudian disusun ulang sampai menjadi
sebuah pesan yang mudah dan jelas ditafsirkan.
Maka, dalam situasi pembelajaran bahasa kedua, persoalan empati
menjadi

sangat

serius.

Bukan

saja

pembelajar

penutur

harus

mengidentifikasi dengan tepat perangkat-perangkat kognitif dan afektif


pendengar ataupun penutur, tetapi mereka juga harus melakukannya dalam
bahasa yang mereka rasa tidak nyaman. Lalu pembelajar pendengar yang
berusaha memahami bahasa kedua, sering mendapati bahwa pemikiran mereka
ditafsirkan keliru oleh penutur asli, dan hasilnya adalah informasi linguistik,
kognitif, dan afektif hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.
Secara keseluruhan apabila disimpulkan, salah satu implikasi paling
menarik dari studi empati adalah perlunya mendefinisikan empati lintasbudaya dan memahami bagaimana budaya-budaya yang berlainan dalam
mengekspresikan empati.
8. Ekstroversi dan Introversi
Ekstroversi dan Introversi menjadi dua hal yang berpotensi sebagai
faktor-faktor penting dalam pemerolehan bahasa kedua. Kedua istilah ini
sering disalahpahami karena adanya kecenderungan menyederhanakan
ekstroversi secara berlebihan. Kita condong menganggap orang-orang
ekstrovert sebagai manusia pesta yang suka kumpul-kumpul. Orang-orang
introvert

justru

sebaliknya,

dianggap

pendiam

dan

kalem,

dengan

kecenderungan menyendiri. Dalam kasus di masyarakat barat, mereka lebih


cenderung menyukai orang-orang ekstrovert di mana cenderung lebih banyak

11

bicara, supel dan berpartisipasi aktif misal dalam diskusi di kelas. Sebaliknya,
orang introvert dianggap tidak secermelang mereka yang ekstrovert.
Sesungguhnya pandangan tentang ekstroversi semacam itu
menyesatkan. Ekstroversi adalah sejauh mana seseorang mempunyai
kebutuhan kuat untuk mendapatkan peningkatan ego, penghargaan diri, dan
kesan keutuhan dari orang lain sebagai kebalikan dari peneriman itu semua
dari diri sendiri. Orang-orang ekstrovert sesungguhnya membutuhkan orang
lain untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Tetapi orang ekstrovert tidak
selalu mesti bermulut besar dan suka bicara. Bisa saja mereka relative
pemalu, namun masih memerlukan peneguhan dari orang lain.
Introversi di lain pihak adalah sejauh mana seseorang mendapatkan
kesan keutuhan dan pemenuhan tanpa memerlukan orang lain untuk
mendapatkan refleksi diri seperti itu. Bertolak belakang dengan stereotype
kita, orang-orang introvert bisa mempunyai kekuatan karakter internal yang
tidak dipunyai oleh orang-orang ekstrovert. Namun dalam kenyataanya,
paradigma itu mempengharuhi persepsi guru tentang murid di mana sesuai
yang dikemukakan Ausubel (1986:413) bahwa introversi dan ekstroversi
adalah indeks penyesuaian sosial yang sangat menyesatkan, dan para ahli
pendidikan lain pun memperingatkan agar kita tidak berprasangka terhadap
murid berdasarkan anggapan tentang ekstroversi. Contohnya saja di kelas
bahasa, di mana partisipasi lisan sangat dihargai dan mudah sekali
mengistimewakan para peserta yang aktif dan mengasumsikan bahwa mereka
menonjol di kelas itu semua dikarekanan faktor ekstroversi. Dalam hal ini para
guru perlu memperhatikan norma-norma kultural dalam penilaian mereka
terhadap murid yang dianggap pasif.
Sehubungan dengan definisi di atas, ekstroversi dan introversi diyakini
sebagai faktor dalam perkembangan kompetensi komunikatif lisan umum yang
mensyaratkan interaksi tatap muka, tetapi tidak dalam mendengarkan,
membaca, ataupun menulis.
C. Motivasi
Motivasi adalah variable efektif lain yang harus dipertimbangkan , tetapi ia
begitu sentral dan memiliki fondasi-fondasi penelitian yang sedemikian universal
hingga layak dimasukkan dalam sebuah kategori tersendiri di sini. Sebagai istilah
serba guna yang paling sering dipakai untuk menjelaskan keberhasilan atau
12

kegagalan di hampir semua pekerjaan yang kompleks, motivasi adalah bintang


utama dalam pembelajaran bahasa kedua di seluruh dunia. Asumsi-asumsi ini
tentu tidak salah, karena tak terhitung studi dan eksperimen dalam pembelajaran
manusia yang menunjukkan bahwa motivasi adalah kunci bagi pembelajaran pada
umumnya (Weiner, 1986; Deci, 1975; Maslow, 1970).
1. Teori Motivasi
Berbagai teori tentang motivasi sudah diajukan selama beberapa
dasawarsa penelitian. Hal tersebut memberikan 3 perspektif, antara lain:
a. Dari perspektif behavioristik, motivasi dipandang dalam pengertian yang
sangat pasti. Ia sekadar pengharapan imbalan. Terdorong untuk
memperoleh imbalan positif, dan terdorong oleh imbalan-imbalan yang
dulu diterima karena perilaku-perilaku tertentu, kita pun bertindak untuk
mencapai

imbalan

lebih

jauh.

Skinner,

Pavlov, dan

Thorndike

menempatkan motivasi di pusat teori mereka tentang perilaku manusia.


Dalam sebuah pandangan behavioristik, performa dalam kegiatan-dan
motivasi untuk melakukan itu-tampaknya bergantung pada factor-faktor
eksternal; orang tua, guru, teman sebaya persyaratan pendidikan,
spesifikasi kerja, dan seterusnya.
b. Dalam pengertian kognitif, motivasi lebih menekankan pada keputusankeputusan individual, *pilihan-pilihan yang dibuat orang demi pengalaman
atau tujuan tertentu yang hendak mereka dekati atau hindari, dan tingkat
daya upaya yang akan mereka kerahkan dalam hal tersebut (Keller, 1983,
389), Beberapa psikolog kognitif melihat kebutuhan atau dorongan dasar
sebagai kekuatan pendesak di balik keputusan-keputusan kita. Ausubel
(1968, h. 368-379), misalnya, mengidentifikasi enam kebutuhan yang
menopang konsep motivasi:
Kebutuhan eksplorasi, melihat sisi lain pegunungan, menyelidiki

yang tak diketahui.


Kebutuhan manipulasi,

lingkungan dan menyebabkan perubahan.


Kebutuhan aktivitas, gerakan dan latihan baik fisik mapun mental.
Kebutuhan stimulasi, kebutuhan untuk dirangsang oleh lingkungan,

oleh orang lain, atau oleh ide-ide, pikiran, dan perasaan.


Kebutuhan pengetahuan, kebutuhan untuk memproses

dan

menanamkan

dan

hasil-hasil

mempengaruhi-dalam

eksplorasi,

manipulasi,

istilah

Skinner-

aktivitas,

13

stimulasi, untuk menyelesaikan pertentangan, mencari penyelesaian

bagi berbagai masalah dan mencari sistem pengetahuan yang stabil.


Akhirnya, kebutuhan peningkatan ego, kebutuhan agar diri dikenal dan
diterima dan disetujui oleh orang lain atau, yang oleh Dornyei (2005, h

93) disebut *sistem-diri.


c. Sebuah pandangan konstruktivis tentang motivasi bahkan memberikan
penekanan lebih jauh pada konteks sosial maupun pilihan-pilihan personal
individual (Williams & Burden, 1997, h 120). Setiap orang dimotivasi
secara berbeda, sehingga akan memperlakukan lingkungannya dengan cara
yang unik. Tetapi tindakan-tindakan unik itu selalu dilakukan dalam
sebuah lingkungan budaya dan sosial yang tidak bisa benar-benar
dipisahkan dan konteks. Beberapa dasawarsa silam, Abraham Maslow
(1970) memandang motivasi sebagai sebuah konsep di mana pencapaianpencapaian tujuan tertinggi harus tertancap kokoh dalam komunitas,
kepemilikan, dan status sosial. Motivasi dalam pandangan konstruktivis,
berasal sama banyaknya baik dari interaksi kita dengan orang lain maupun
dari dorongan diri sendiri.
Konsep kebutuhan motivasi dalam beberapa hal mencakup ketiga
mazhab di mana pemenuhan kebutuhan itu mendatangkan imbalan,
mensyaratkan pilihan-pilihan dan dalam banyak hal harus ditafsirkan dalam
sebuah konteks sosial. Perhatikanlah anak-anak yang termotivasi belajar
membaca. Mereka termotivasi karena mereka melihat nilai (imbalan)
membaca, mereka memenuhi kebutuhan eksplorasi, stimulasi, pengetahuan,
harkat, dan otonomi, dan mereka melakukan itu dalam cara dan jadwal yang
sanga beragam dan dalam konteks sebuah masyarakat yang menghargai melek
huruf. Di lain pihak, anda boleh jadi tidak termotivasi untuk mempelajari
bahasa

asing

karena

gagal

melihat

imbalannya,

menghubungakan

pembelajaran hanya dengan kebutuhan-kebutuhan dangkal (misalnya,


memenuhi sebuah persyaratan), dan tidak melihat kemungkinan sebuah
konteks sosial di mana keterampilan itu berguna.

Behavioristik

Kognitif

Konstruktivis

Pengharapan imbalan

Didorong oleh kebutuhan

Konteks sosial
14

Keinginan untuk

dasar manusia (eksplorasi,

komunitas

menerima penguatan

manipulasi, dll)

Status sosial dan

Tingkat usaha yang

Keamanan

positif

Eksternal, kekuatan

dikeluarkan

individu dalam

kontrol

kelompok

Ditentukan kekuatan internal

individual

Ditentukan oleh
kekuatan internal

Motivasi adalah sesuatu yang, seperti harkat, bisa bersifat global,


situasional, atau berorientasi tugas. Mempelajari sebuah bahasa asing
mensyaratkan ketiga tingkatan motivasi itu. Misalnya, seorang pembelajar
mungkin mempunyai motivasi global tinggi tetapi motivasi tugas rendah
untuk tampil bagus dalam, katakanlah, mode tertulis bahasa itu. Motivasi juga
lazim dikaji sehubungan dengan motif-motif intrinsic dan ekstrinsik
pembelajar. Mereka yang belajar karena kebutuhan dan tujuan sendiri
termotivasi secara intrinsic, dan mereka yag mengejar suatu tujuan hanya
untuk mendapatkan imbalan eksternal dari orang lain termotivasi secara
ekstrinsik. (Kita akan kembali pada konsep luar biasa penting ini nanti.)
Akhirnya, studi-studi motivasi dalam pemerolehan bahasa kedua sering
merujuk kepada pembedaan antara orientasi integrative dan instrumental
pembelajar, yang akan kita bahas sekarang.
2. Orienstasi Intergratif dan Instrumental
Salah satu studi penting tentang motivasi dalam pembelajaran bahasa
kedua dilakukan oleh Robert Gardner dan Wallace Lambert (1972). Selama
periode 12 tahun mereka mengkaji secara ekstensif para pembelajar bahasa
asing di Kanada, beberapa wilayah Amerika Serikat, dan Filipina dalam upaya
menentukan

bagaimana

factor-faktor

kesungguhan

dan

motivasi

mempengaruhi kesuksesan pembelajaran bahasa. Motivasi ditelaah sebagai


sebuah factor dari berbagai sikap yang berbeda-beda. Dua himpunan sikap
yang berbeda membagi dua tipe dasar yang oleh Gardner dan Lambert
diidentifikasi sebagai orientasi instrumental dan integratif pada motivasi.
Sisi instrumental menunjuk pada pemerolehan sebuah bahasa sebagai bahasa
sarana mencapai tujuan-tujuan instrumental; meningkatkan karier, membaca
materi-materi

teknik,

penerjemahan,

dan

seterusnya.

Sisi

integratif
15

menggambarkan pembelajar yang ingin menyatukan diri ke dalam budaya


kelompol bahasa kedua dan terlibat dalam perhubungan sosial dalam
kelompok itu.
Penting untuk diingat bahwa instrumentalitas dan integrativitas
bukanlah benar-benar tipe motivasi, tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh
Dornyei (2001b), Gardner dan Mclntyre (1992), lebih tepat disebut orientasi.
Artinya, apakah konteks atau orientasi seorang pembelajar terkait dengan (1)
kepentingan akademis atau karier (instrumental), atau (2) berorientasi sosial
atau kultural (integratif), kebutuhan-kebutuhan yang berbeda itu tetaplah bisa
dipenuhi dalam pembelajaran sebuah bahasa asing. Pentingnya membedakan
orientasi dari motivasi adalah bahwa dalam orientasi, orang bisa mempunyai
intensitas motivasional tinggi maupun rendah. Seorang pembelajar mungkin
hanya agak termotivasi, katakanlah, untuk belajar dalam konteks karier,
sedangkan pembelajar yang lain dengan orientasi yang sama terdorong secara
intensif untuk berhasil dalam orientasi yang sama.
Gardner dan Lambert (1972) dan Spolsky (1969) medapati bahw
integrativitas pada umumnya menghasilkan skor tinggi dalam tes-tes
kecakapan bahasa asing. Kesimpulannya, integrativitas sungguh merupakan
sebuah persyaratan penting bagi pembelajaran bahasa yang berhasil. Tetapi
dengan cepatmulai terkumpul bukti yang menetang klaim itu. Lukmani (1972)
menunjukkan bahwa di kalangan murid-murid India berbahasa Marathi yang
belajar bahasa Inggris di India, mereka yang mempunyai orientasi
instrumental justru yang mendapat skor lebih tinggi dalam tes kecakapan
bahasa Inggris, Braj Kachru (1992, 1977) mengatakan bahwa bahasa Inggris
India hanyalah satu contoh dari berbagai bahasa Inggris yang, khususnya di
Negara-negara di mana bahasa Inggris menjadi bahasa internasional, bisa
diperoleh dengan sangat sukses untuk tujuan instrumental saja.
Di tengah klaim dan bantahan tentang orientasi integratif dan
instrumental, A (1988) meninjau 27 studi berbeda tentang konsep integratifinstrumental dan menyimpulkan bahwa penopang teoretis maupun instrumentinstrumen yang digunakan untuk mengukur motivasi layak diragukan. Karena
pembedaan itu didasarkan pada gagasan-gagasan tentang keyakinan kultural,
banyak ambiguitas memasuki konsep itu, yang menjadikan orang sulit
menghubungkan keberhasilan berbahasa asing dengan sebab-sebab tertentu
yang dianggap integratif atau instrumental. Gardner dan Maclntyre, 191), dan
16

yang lain-lainnya mendukung orientasi integratif (gardner, Day, & Maclntyre,


1992),Warden dan Lin (2000) tidak mendapati dukungan bagi orientasi
integratif di kalangan mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Taiwan. Lalu,
Masgorer dan Gardner (2003) memperlihatkan bahwa integrativitas bukan
factor yang sama signifikannya dengn intesitas motivasional. Dalam sebuah
studi yang lebih belakangan, Gardner dan para sejawatnya (Gardneret al,
2004) mendapati orientasi integratif dan instrumental mempunyai dampak
yang kurang lebih smaa terhadap mahasiswa pembelajar bahasa Francis di
Kanada. Lamb (2004) juga menunjukkan konsep integratif dan instrumental
nyaris tidak bisa dibedakan. Akhirnya, dalam sebuah studi mutakhir, Csizer
dan Dornyei (2005) mendapati bahwa, di kalangan murid-murid Hongaria 13
dan 14 tahun yang mempelajari bahasa asing, integrativitas merupakan satusatunya factor paling penting yang berperan dalam keberhasilan!
Temuan-temuan tidak konsisten semacam itu dalam penelitian empiris
tidak harus membatalkan konsep integratif-instrumental. Temuan-temuan itu
sekali lagi menunjukkan bahwa tidak ada sarana tunggal dalam mempelajari
bahasa kedua beberapa pembelajar dalam konteks tertentu lebih berhasil jika
mereka berorientasi integratif, dan yang lainnya dalam konteks yang berbeda
memperoleh manfaat dari orientasi instrumental. Temuan-temuan itu juga
menunjukkan

bahwa

kedua

orientasi

tersebut

tidak

mesti

saling

mengesampingkan. Pembelajaran bahasa kedua jarang dilakukan dalam


konteks yang melulu instrumental atau melulu integratif. Kebanyakan situasi
melibatkan campuran setiap orientasi. Misalnya, murid-murid internasional
yang mempelajar bahasa Inggris di Amerika Serikat untuk kepentingan
akademis boleh jadi relative berimbang hasrat mereka mempelajari bahasa
Inggris baik untuk tujuan akademis (instrumental) maupun untuk memahami
dan boleh dikata menyatukan diri dengan budaya dan rakyat Amerika Serikat.
Tinggallah kita dengan kseimpulan bahwa orientasi integratif dan instrumental
mungkin merupakan fakto-faktor bagi kesuksesan pembelajaran bahasa, dan
bahwa tingkat pengaruh masing-masing orientasi tergantung pada para
pembelajar individual, konteks pendidikan, lingkungan kultural, metodologi
pengajaran, dan interaksi sosial.
Sebuah perspektif lebih jauh tentang konsep integratif-instrumental bisa
dicapai dengan memandang kedua orientasi itu semata-mata sebagai dua dari

17

sejumlah kemungkinan orientasi. Beberapa studi penelitian (Dornyei, 2005,


Noels et al, 2000) kini mengusung empat orientasi; orientasi perjalanan,
persahabatan, pengetahuan, dan instrumental. Mcclelland (2000), yang
menyebutkan sulitnya mendefinisikan integrativitas, menegaskan bahwa
integrasi dengan komunitas penutur global bisa jadi sangat berbeda dari
integrasi dengan para penutur asli. Jauh sebelum itu, Graham (1984) juga
menyatakan bahwa integrativitas didefinisikan terlalu luas dan bahwa
beberapa orientasi integratif mungkin tak lebih dari hasrat moderat untuk
bersosialisasi dengan atau mencari tahu tentang para penutur asli bahasa
sasaran. Lebih dari itu, orientasi asimilatifmungkin bisa menggambarkan
suatu kebutuhan lebih mendalam untuk mengidentifikasi nyaris secara
eksklusif dengan budaya bahasa sasaran, barangkali selama periode yang
panjang. Dengan cara serupa, instrumentalitas bisa menjelaskan orientasi
akademis di satu pihak, dan orientasi karier atau bisnis, di pihak lain. Maka,
intensitas motivasional bisa punya berbagai derajat dalam satu orientasi atau
konteks itu, dan mungkin saja lebih.
3. Motivasi Instrinsik dan Ekstrinsik
Satu dimensi lain, tetapi mungkin yang paling kuat, dari seluruh konsep
motivasi adalah derajat di mana para pembelajar secara intrinsic atau ek
termotivasi untuk berhasil dalam suatu kegiatan. Edward Desci (1975,
mendefinisikan motivasi intrinsik :
Aktifitas-aktifitas yang termotivasi secara intrinsic adalah aktifitas yang
utuk itu tidak ada imbalan jelas kecuali aktifitas itu sendiri. Orang
tampaknya terlibat dalam berbagai aktifitas demi kepentingan mereka
sendiri dan bukan karena mereka diarahkan pada sebuah imbalan
ekstrinsik. Perilaku-perilaku yang termotivasi secara intrinsic
dimaksudkan untuk mewujudkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang
memberikan imbalan secara internal, yaitu perasaan kompeten dan
menentukan nasib sendiri.
Di lain pihak, motivasi ekstrinsik dirangsang oleh pengharapan
terhadap imbalan dari luar atau di luar diri. Imbalan-imbalan ektrinsik yang
lazim adalah uang, hadiah, nilai ujian, dan bahkan jenis-jenis tertentu umpan
balik

positif.

Perilaku-perilaku

yang

dilakukan

semata-mata

untuk

menghindari hukuman juga termotivasi secara ekstrinsik, meskipun banyak


sekali keuntungan intrinsic yang akhirnya bermanfaat bagi mereka yang,

18

justru, memandang penghindaran hukuman sebagai sebuah tantangan yang


bisa membangun perasaan kompetensi dan menentukan nasib sendiri.
Bentuk motivasi mana yang lebih kuat? Penelitian terus-menerus
tentang motivasi (Wu, 2003; Noels et al. 2000; Noels, Clement, & Pettelier,
1999; Dornyei & Csizec, 1998; Crookes & Schmidt, 1991; Brown, 1990)
sangat mendukung orientasi-orientasi intrinsic, khususnya untuk memori
jangka panjang Jean Piager (1972) dan yang lain-lain menunjukkan bahwa
manusia secara universal memandang ketidaksebangunan, ketidakpastian, dan
disekuilibrium sebagai memotivasi. Dengan kata lain, kita mencari
tantangan yang wajar. Maka kita pun mempelihatkan perilaku-perilaku yang
dimaksudkan

untuk

Ketidaksebangunan

tidak

menaklukkan
dengan

situasi-situasi
sendirinya

menantang.

memotivasi,

tetapi

ketidaksebangunan optimal-atau yang oleh Krashen (1985) disebut i+1 (lihat


Bab 10)-memberikan cukup kemungkinan untuk diselesaikan sehingga para
pembelajar akan mengejar penyelesaian itu.
Maslow (1970) menyatakan bahwa motivasi intrinsic jelas lebih unggul
dari motivasi ekstrinsik. Menurut hierarki kebutuhannya yang disebut di atas,
motivasi bergantung pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik fundamental
yang pertama (udara, air, makanan), lalu kebutuhan akan komunitas,
keamanan, identitas, harkat, pemenuhan yang pada akhirnya bermuara pada
aktualisasi diri atau, dalam frase awam, menjadi diri Anda sepenuhnya.
Maslow merepresentasikan kebutuhan-kebutuhan itu dalam bentuk sebuah
piramida dengan kebutuhan-kebutuhan fisik berada di dasar piramida, dan
aktualisasi diri-puncak pencapaian manusia-di puncak.
Sebuah cabang lebih mutakhir pandangan Maslow tentang motivasi bisa
dilihat

dalam

peneliatian

Csikszentmihalu

(1990;

Egbert,

2003);

Csikszentmihaly, 1998) tentang efek aliran terhadap pencapaian tertinggi.


Teori aliran, begitu ia kemudia dikenal, menyoroti pentingnya sebuah
pengalaman yang ditandai oleh focus dan keterlibatan intensif yang
menyebabkan performa meningkat dalam suatu kegiatan.
Teori aliran menyatakan bahwa sebuah pengalaman yag memberi
imbalan secara intrinsic, yang diasosiasikan dengan aliran, menghasilkan
sesuatu yang membuat orang mendorong dirinya menuju tingkatan performa
lebih tinggi (Egbert, 2003, h 499). Yang lainnya mencirikanaliran sebagai
pengalaman optimal, berada dijalur, ketika segala sesuatunya mengeras,
19

Penelitian aliran mendapati bahwa performa optimal semacam itu adalah hasil
dari factor-faktor seperti keseimbangan antara keterampilan dan tantangan,
kemampuan berfokus secara intensif pada tujuan-tujuan jelas kegiatan, dan
umpan balik positif bagi seseorang yang sedang melaksanakan suatu kegiatan.
Semua penelitian tersebut mendukung pentingnya keterlibatan intrinsic para
pembelajar dalam mencapai tujuan-tujuan kecakapan dalam sebuah bahasa
asing.
Jerome Bruner (1966b), yang memuji-muji otonomi imbalan-diri,
mengklaim bahwa salah satu cara palingefektif untuk membantu anak-anak
maupun orang dewasa berpikir dan belajar adalah membebaskan mereka dari
control imbalan dan hukuman. Salah satu kelemahan mendasar perilaku yang
terdorong secara ekstrinsik adalah sifat adiktifnya. Sekali terjerat, begitulah,
oleh umpan hadiah atau pujian seketika ketergantungan kita pada imbalanimbalan nyata itu meningkat, bahkan hingga titik di mana pembatalan
imbalan-imbalan itu bisa memadamkan hasrat belajar. Ramage (1990),
misalnya, mendapati bahwa murid-murid sekolah menengah bahasa asing
yang berminat melanjutkan studinya melampaui sekadar persyaratan masuk
perguruan tinggi termotivasi secara positif dan intrinsic. Sebaliknya, mereka
yang mengikuti pelajaran hanya untuk memenuhi persyaratan masuk
menunjukkan motivasi rendah dan performa yang lebih lemah.
Disini penting membedakan konsep intrinsic-ekstrinsik dari orientasi
integratif-instrumental Gardner. Meski banyak kejadian motivasi intrinsic
yang kemudian terbukti integratif, sebagian mungkin tidak. Misalnya, orang
bisa, karena tujuan-tujuan intrinsic yang sangat maju, berniat mempelajari
bahasa kedua untuk meningkatkan karier atau berhasil dalam sebuah program
akademis. Orang pun bisa mengembangkan emosi positif terhadap para
penutur sebuah bahasa kedua untuk alas an-alasan ekstrinsik, seperti dorongan
orang tua atau dukungan guru. Kathlees Bailey (1986) menggambarkan
hubungan antara dua dikotomi itu dengan diagram dalam table 6.2.
Rentangan intrinsic-ekstrinsik dalam motivasi bisa ditetapkan dalam
kelas-kelas bahasa asing di seluruh dunia (misalnya, Warden & Lin, 2000; Wu,
2003; Csizer & Dornyei, 2005). Terlepas dari keyakinan kultural dan sikap
para pembelajar dan guru, faktor-faktor intrinsic dan ekstrinsik bisa
diidentifikasi dengan mudah. Dornyei dan Csizer (1998), misalnya, dalam
sebuah survey terhadap guru-guru Hongaria yang mengajar bahasa Inggris,
20

menyampaikan berbagai macam faktor yang dipakai oleh guru untuk


memotivasi para pembelajar mereka. Mereka menyebutkan faktor-faktor
seperti pengembangan hubungan dengan para pembelajar, pembangunan
kepercayaan diri dan otonomi pembelajar, personalisasi proses pembelajaran,
dan peningkatan orientasi-tujuan dalam diri pembelajar. Semua ini termasuk
dalam sisi intrinsic motivasi. Pencarian tertinggi kita dalam urusan pengajaran
bahasa ini adalah, tentang saja, melihat bahwa perangkat-perangkat pedagogis
kita bisa meningkatkan kekuatan para pembelajar yang termotivasi secara
intrinsic yang sedang berupaya meraih kesempurnaan, otonomi, dan
aktualisasi diri.
Intrinsik
Integratif

ekstrinsik

Pembelajar bahasa kedua

Adanya

dorongan

terdorong atau

untuk mengetahui bahasa ke dua

termotivasi untuk

agar lebih baik dan bisa berbaur

mengintegrasikan dengan

dengan budaya bahasa kedua itu

budaya (native) penutur

(untuk

bahasa kedua

misalnya, orang tua mengirim

(misalnya, untuk imigrasi

anak-anak ke sekolah bahasa

atau pernikahan).

Jepang agar nantinya bisa fasih

alasan

pembelajar

integrative)

ketika menetap di Jepang.


lain

D. N
e
u
r
o
b
io
lo

Instrumenta keinginan pembelajar

Orang

mendorong

agar

untuk mencapai tujuan

pembelajar

memanfaatkan bahasa

bahasa kedua / bahasa target

kedua

misalnya,

(misalnya, untuk

mengirimkan karyawannya ke AS

berkarir)

untuk pelatihan bahasa.

gi

menjadi ahli dalam


perusahaan

Jepang

Afeksi
Akan sia-sia membahas kepribadian dan pembelajaran bahasa tanpa
menyentuh landasan-landasan neurologis afeksi. Pada paruh terakhir abad kedua
puluh kita menyaksikan kemajuan signifikan dalam studi empiris otak melalui
teknik-teknik seperti positron emission tomography (PET) dan magnetic
resonance imaging (MRI). Menggunakan teknik-teknik semacam itu, beberapa
kaitan dibangun antara afektivitas dan pemrosesan mental/emosional pada
21

umumnya (Schumann, 1998), maupun pemerolehan bahasa kedua pada


khususnya.

Neurologi,

neuropsikologi

termasuk

menerangkan

neuroanatomi,

beberapa

wilayah

neurochemistry
menarik

bagi

dan
kajian

pemerolehan bahasa, misalnya plastisitas, afeksi, memori dan pembelajaran


(Schumann, 1999, h 28).
Karya John Schumann (1999, 1998, 1997; Schumann et al., 2004) dalam
bidang ini memilih satu bagian cuping temporal otak manusia, amygdala, sebagai
pemain utama dalam hubungan afeksi dengan bahasa. Amygdala sangat penting
dalam kemampuan kita untuk menilai sebuah stimulus. Dengan kata lain, jika
Anda melihat atau mendengar atau merasakan sesuatu, amygdala membuat Anda
menentukan apakah persepsi Anda itu baru, menyenangkan, relevan dengan
kebutuhan Anda atau tidak, bisa dikelola (memungkinkan untuk Anda tangani),
dan sesuai dengan norma-norma sosial atau konsep Anda sendiri atau tidak. Maka,
ketika seorang guru di sebuah kelas bahasa asing tiba-tiba meminta Anda
melakukan sesuatu yang, katakanlah, terlalu kompleks, reaksi takut dan cemas.
Anda menunjukkan bahwa amygdala sudah mengirim sinyal-sinyal ke seluruh
otak untuk mengabarkan bahwa stimulus itu kelewat baru, tidak menyenangkan,
tak bisa dikelola saat itu, dan berpotensi mengancam harkat.
Schumann (1999) mengkaji sejumlah skala motivasi bahasa asing
berkenaan dengan perlengkapan neurobiologisnya. Dia mengamati bagaimana
pertanyaan-pertanyaan tertentu tentang motivasi merujuk pada kegembiraan
(Saya sangat menikmati belajar bahasa Inggris), relevansi tujuan (Mempelajari
bahasa Prancis penting bagi saya karena akan memungkinkan saya untuk.),
menggarap potensi {Saya tidak pernah merasa yakin pada diri sendiri
ketika.), dan norma/kesesuaian-diri (Memp-berbicara dalam bahasa Inggris
akan memberi nilai tambah pada status sosial saya). Kesimpulannya: penilaianpenilaian positif terhadap situasi pembelajaran bahasa. Meningkatkan
pembelajaran bahasa dan penilaian negative menghambat pemerolehan bahasa
kedua (h 32).
Dalam karya lebih belakangan, Schumann dan Wood (2004) menjelaskan
lebih

jauh

tentang

landasan-landasan

neurobiologis

motivasi

sebagai

pembelajaran mendalam berkelanjutan atau sustained deep learning (SDL),


jenis pembelajaran yang menghendaki periode waktu lama untuk mencapainya.
SDL, tidak seperti motivasi intrinsic, berakar dalam konsep biologis tentang nilai.
Nilai adalah sebuah bias yang mengarahkan orang pada preferensi-preferensi
22

tertentu dan memilih di antara berbagai alternative. Kita punya, misalnya, apa
yang oleh Schumann dan Wood disebut sebagai nilai homeotatis yang
meningkatkan kemampuan bertahan sebuah organisme, dan nilai sosiostatis yang
menuntun kita berinteraksi dengan orang lain, dan mencari afiliasi sosial.
Penelitian dalam waktu dekat tentang neurobiology afeksi kemungkinan
besar akan meningkatkan pemahaman kita saat ini tentang fisiologi otak dan
efeknya terhadap perilaku manusia. Lebih spesifik lagi, bisa kita tunggu verifikasi
apa yang kini kita hipotesiskan sebagai kaitan-kaitan penting antara afeksi dan
pemerolehan bahasa kedua.
E. Jenis Kepribadian dan Pemerolehan Bahasa
Kaitannya pada pembealajaran bahasa kedua studi Ehrman dan Oxford
(1990) di mana mencoba menelaah tpe-tipe kepribadian yang dibuat oleh MyersBriggs di mna tipe ini dijadikan indicator dalam mengukur atau memahami jenis
kepribadian dan hubungan sifat-sifat tertentu dalam kesukesan pembelajaran
bahasa. Myers-Breggs menguji empat gaya dikotomis yakni (1) Introversi vs
Ekstroversi , (2) Penginderaan vs Intuisi, (3) Pikiran vs Perasaan, dan (4)
Penilaian vs Pemahaman. Semua dikotomi itu diuji melalui karakter mereka yang
kemudian dipahami dan dirumuskan di setiap dikotimi tersebut.
Dari pemahaman yang didapat, bahwa terdapat perbedaan dari subjeksubjek berdasarkan tipe Myers-briggs ini, misalnya saja mereka yang ekstrovert
(E) menggunakan strategi-strategi sosial secara konsisten dan mudah, sementara
yang introvert (I) menolak strategi-strategi itu . Pada penginderaan (S)
memperlihatkan kecondongan kuat pada strategi-strategi memori, dan mereka
yang mengandalkan intuisi (N) lebih baik dalam strategi-strategi kompensasi.
Kemudian perbedaan T/F (Pemikir dan Perasa) memberikan kontras yang paling
dramatis. Pemikir 9T) umumnya menggunakan strategi-strategi metakognitif dan
analisis, sedangkan perasa (F) menolak strategi semacam itu, mereka lebih
menggunakan strategi sosial. Yang terakhir, para penilai (J) jarang menggunakan
strategi-strategi afektif yang justru oleh para pemerhati (P) dianggap sangat
bermanfaat.
Tabel 6.1. Tipe karakter Myers-Briggs
Ekstroversi (E)

Introversi (I)

23

Sosialisasi

Teritorial

Interaksi

Konsentrasi

eksternal

internal

Keluasan

Kedalaman

Ekstensif

Intensif

Multipilitas Hubungan

Hubungan Terbatas

Pengeluaran energi

Penghematan energi

Minat pada reaksi eksternal

Minat pada reaksi internal

Penginderaan (S)

Intuisi (N)

Pengalaman

Firasat/Perasaan

masa lalu

Masa depan

Realistis

Spekulatif

Perspirasi

Inspirasi

Sebenarnya

Kemungkinan

Down-to-earth (Membumi)

Melangit (Ambisius)

Utilitas / Manfaat

Fantasy

Fakta

Fiksi

Kepraktisan

Orisinalitas

Sensible / Mampu merasakan

Imajinatif

Berpikir (T)

Merasa (F)

Objektif

subjektif

Prinsip

Nilai

Kebijakan

Nilai-nilai sosial

Hukum

Dalih

Kriteria

Keintiman

Keteguhan

Persuasi

Impersonal

Pribadi/Personal

Keadilan

Kemanusiaan

Kategori

Harmoni

Standar

Baik atau buruk

Kritik

Apresiatif

Analisis

Simpati

24

Alokasi

Kesetiaan

Penilaian (J)

Pengamatan (P)

Menetap/Selesai

Menggantung

memutuskan

Mengumpulkan lebih banyak data

Tetap

Fleksibel

Rencanakan dahulu

Beradaptasi / Sambil berjalan

Mengatur hidup/ Manage

Biarkan hidup apa adanya

Tertutup

Opsi-opsi terbuka

Pengambilan Keputusan

Berburu hadiah/ Mencari hadiah

Terencana

Tidak terbatas

Selesai / Sudah lengkap

Muncul / Tumbuh

Tegas/ Pasti

Tentatif

Bungkuslah / Keputusan

Sesuatu akan muncul (menunggu)

Mendesak

Ada (masih) banyak waktu

Batas waktu!

Apa , batas waktu?

Lakukan sekarang

Kita tunggu saja (Will see)

Berikut manfaat utama terkait preferensi masing-masing.

Extraversion

Bersedia untuk mengambil risiko

Introversi

Konsentrasi, mencukupi diri

Penginderaa

Kerja keras, sistematis; perhatian terhadap detail, pengamatan dari

dekat (cermat)
Pelatihan sendiri, konseptualisasi, memberikan model.

Intuisi

Analisis, disiplin diri; motivasi instrumental

Berpikir

Motivasi integratif, ikatan dengan guru, hubungan baik membuahkan

Perasaan

harkat / harga diri yang baik


Kerja yang sistematis, menyelesaikan pekerjaan (apapun itu)

Penilai

Terbuka, fleksibel, mudah beradaptasi terhadap perubahan dan

Mengamati

pengalaman baru

Berikut kelemahan utama terkait preferensi masing-masing.

25

Extraversion

Tergantung pada stimulasi dan interaksi dari luar

Introversi

Perlu proses ide-ide sebelum berbicara kadang-kadang menyebabkan


penghindaran risiko-risiko linguistik dalam percakapan

Penginderaa

Terhalang tidak adanya rangkaian yang jelas, tujuan, silabus, struktur

bahasa atau pelajaran.


Ketidaktelitian dan hilang rincian penting, dicari kompleksitas

Intuisi

berlebihan wacana
Kecemasan performa karena harga diri yang melekat pada prestasi,

Berpikir

kebutuhan yang berlebihan untuk mengontrol (proses berbahasa)


Berkecil hati jika tidak dihargai, terganggu oleh kurangnya

Perasaan

keharmonisan antar personal


Ketegasan, intoleransi rangsangan ambigu

Penilai

Kemalasan, mondar-mandir tidak konsisten dalam jangka panjang

Mengamati
*catatan : Tidak semua murid menunjukkan kelemahan-kelemahan ini
Tampaknya keberhasilan dalam pembelajaran bahasa kedua tergantung pada
mobilisasi atau strategi-strategi yang terkait pada preferensi dan gata
pembelajaran seseorang. Dengan kata lain, pembelajar yang berhasil tahu
preferensi mereka, kekuatan mereka dan kelemahan mereka. Dan secara efetktif
menggunakan kekuatan mereka untuk mengimbangi kelemahan mereka tanpa
memandang preferensi alami yang mereka miliki.
F. Motivasi Intrinsik di Ruang Kelas
Ada begitu banyak aplikasi dan implikasi variabel-varibel afeksi dalam
pembelajaran. Pertama, adanya hubungan pengaruh-mempengaruhi di kelas antara
motif-motif instrinsik dan ekstrinsik. Setiap lembaga pendidikan membawa serta
faktor-faktor tertentu yang digerakan secara ekstrinsik, misalnya : kurikulum
sekolah yang sudah ditetapkan, tujuan dan sasaran pelajaran sang guru, harapanharapan orang tua (Jika para pembelajarnya anak-anak kecil), persyaratan
penilaian kelembagaan, dan bahkan barangkali berupa pesan dari masyarakat yang
meminta kita bersaing dengan pihak lain dan mengindari kegagalan. Misalnya saja
dalam lembaga kursus, tekanan-tekanan ekstrinsik sering diwujudkan dalam

26

persyaratan bahasa asing yang ditetapkan oleh lembaga dan dalam skor tes standar
yang harus dicapai.
Dalam kasus di atas, sebagai guru sebaiknya menganggap bawa tekanantekanan tersebut tidak selalu buruk atau berbahaya. Guru bisa memanfaatkan
faktor-faktor semacam itu dengan inovasi atau usaha-usaha kreatif. Contohnya
ketika guru dihadapkan oleh kebijakan sekolah yang mewajibkan buku teks
menjemukan yang memusat pada guru, di sini guru dituntut mampu berusaha
kreatif dan berinovasi untuk menambah aktifitas kelompok siswa yang menarik
sehingga siswa bisa mengambil pilihan topik pembahasan dan pendekatan yang
sesuai dengan mereka.
Kedua, meningkatkan motivasi intrinsik dengan memikirkan bagaimana
desain atau teknik mengajar di kelas agar bisa menambah motivasi intrinsik pada
siswa. Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan atas pemikiran teknik pengajaran
yang menambah motivasi siswa, antara lain :
a. Apakah aktivitas itu menarik minat murid? Apakah itu relewan dengan
kehidupan mereka?
b. Apakah guru menghadirkan aktifitas dengan cara positif dan penuh semangat?
c. Apakah siswa benar-benar mengerti maksud aktifitas itu?
d. Apakah para murid punya pilihan dalam memilih suatu aspek aktifitas dan
atau menentukan bagaimana mereka memenuhi tujuan aktifas tersebut?
e. Apakah aktifitas itu mendorong murid untuk menemukan sendiri prinsip atau
kaidah tertentu (bukan sekedar diberi tahu saja)?
f. Apakah aktifitas itu mendorong murid dalam suatu cara, mengembangkan atau
menggunakan strategi-strategi efektif pembelajaran dan komunikasi?
g. Apakah aktifitas itu memberikan kontribusi bagi murid dalam kebebasan
berekspresi dalam belajar?
h. Apakah aktifitas itu memupuk negosiasi kooperatif debfab murid-murid lain di
kelas? Apakah benar-benar interaktif?
i. Apakah aktifitas itu memberikan sebuah tantangan yang wajar?
j. Apakah murid menerima umpan balik atas performa mereka (sari sesama
siswa maupun siswa dan murid)?
Dengan mempetimbangkan 10 langkah di atas dalam memotivasi
pembelajar, Drnyei dan Csizr (1998:215) memberikan 10 saran berdasarkan
survey yang dilakukan pada guru-guru bahasa asing di Hongaria, yakni :
a.
b.
c.
d.
e.

Tetapkan sebuah contoh personal dengan perilaku guru sendiri


Ciptakan atmosfer menyenangkan dan rileks di kelas
Berikan tugas secara layak
Kembangkan sebuah hubungan yang baik dengan para pembelajar
Tingkatkan kepercayaan diri linguistik pada pembelajar
27

f.
g.
h.
i.

Jadikan kelas bahasa menarik


Personalkan proses pembelajaran
Tingkatkan orientasi tujuan pembelajaran
Biasakan pembelajar dengan budaya bahasa sasaran.

BAB III
SIMPULAN
Dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa banyak sekali faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penguasaan bahasa target tersebut. Faktor-faktor tersebut
berkaitan dengan beberapa ranah, yakni intrinsik dan ekstrinsik. Secara umum,
makalah ini membahas dalam ranah intrinsik di mana fokus pada ranah afeksi atau
kepribadian si pembelajar dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua. Faktorfaktor tersebut antara lain : Harkat, Atribusi dan Kelayakan Diri, Kesediaan
Berkomunikasi, Hambatan, Pengambilan Resiko, Kecemasan, Empati, Ekstroversi
dan Introversi, Motivasi, dan Tipe Kepribadian dalam pemerolehan bahasa kedua.
28

Semua kepribadian memiliki kelebihan dan kelemahan yang terkait dengan


kepribadian yang mereka miliki (dalam arti di sini kepribadian pembelajaran bahasa
kedua). Dengan begitu kita sebagai pengajar tidak mudah dengan cepat menentukan
kepribadian mana yang dapat berhasil atau tidak dalam pembelajaran bahasa.

29

Anda mungkin juga menyukai