Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan tidur ataupun kesulitan dalam tidur dewasa ini cukup banyak
diderita oleh banyak orang. Gangguan ini paling tidak, pernah diderita oleh seseorang
paling tidak sekali dalam hidupnya ataupun ada yang menderita hampir sepanjang
hidupnya dan hal yang inilah yang dapat mempengaruhi kwalitas hidup seseorang.
Seseorang yang terganggu dalam tidurnya akan dapat terjadi bermacam-macam
gangguan seperti hilang semangat, kesulitan dalam berkonsentrasi, selalu merasa
mengantuk dan gelisah, mudah marah atau temperamental menjadi tinggi, tekanan
darah menjadi tinggi dari biasanya/normal sampai berujung pada terjadinya penyakit-
penyakit tertentu yang bersifat kronis.1

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. 2 Gejala
tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang
hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan
gangguan kualitas hidup.3 Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah
episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka.4 Di Indonesia, pada
tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam


beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai
gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional
stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang
ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun,
insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam
kehidupan pasien.4

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah
setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan
berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang
mendasari untuk insomnia.4

Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol,
ketergantungan obat, dan bunuh diri. Insomnia sering menetap meskipun telah
dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia
dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter
perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan
pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas
hidup bagi pasien mereka.4,5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Tidur


Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia
disebut sebagai irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi
proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja
dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan
sinkronisasi. 2,5

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak


pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur
(sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai
pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)


Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:

 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini


dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang
sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik
yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan
dengan mudah.
 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5
siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak,
sehingga sukar dibangunkan.
 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau
delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-
bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.2,5
2.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal


kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang
terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang
terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.
Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki
berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-
obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati
tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.3 Epidemiologi
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia
pada beberapa waktu selama hidup mereka. Jajak Pendapat Tidur di Amerika yang
dilakukan oleh National Sleep Foundation’s pada tahun 2002, menunjukkan 58% dari
orang dewasa di AS mengalami gejala insomnia pada beberapa malam dalam
seminggu atau lebih. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai
tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat
11,7% penduduk mengalami insomnia.3,4

Antara wanita dan pria ternyata insomnia banyak terjadi pada wanita daripada
pria. Satu alasan yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan hormone pada
siklus haid yang mempengaruhi siklus tidur. Selama perimenopause seorang wanita
dapat mengalami gangguan dalam tidur dan kesulitan dalam tidur. Seorang wanita
tersebut dapat mengalami rasa panas pada wajah dan dapat mengalami keringat
malam yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Selama kehamilan seorang
wanita dapat mengalami perubahan hormone, fisik dan emosional yang dapat
mengganggu tidur seorang wanita. Wanita hamil terutama pada trimester ketiga dapat
menyebabkan rasa tidak enak, keram pada kaki dan sering pergi ke kamar mandi
yang semuanya itu dapat menyebabkan gangguan tidur.3, 4

2.4 Klasifikasi Insomnia

a. Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.

b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10
orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat
disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit
tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol.
Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu


International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

 Organik
 Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti
mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain


2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.
5. menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,


insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
10
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.5 Etiologi Insomnia 4,6

a. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.

b. Kecemasan dan depresi


Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena
kekhawatiran yang menyertai depresi.
c. Obat-obatan.
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin)
dan kortikosteroid.

d. Kafein, nikotin dan alkohol.


Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang
terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol
adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah
tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.

e. Kondisi Medis.
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering
buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal
reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

f. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja.


Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme
sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme,
dan suhu tubuh.

g. 'Belajar' insomnia.

Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur
dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang
dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur
yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.

2.6 Faktor Resiko Insomnia 2,5

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:

a. Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon


selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
b. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
c. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
d. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
e. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.

2.7 Tanda dan Gejala Insomnia 2,4,7


a. Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
b. Sering terbangun pada malam hari
c. Bangun tidur terlalu awal
d. Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
e. Iritabilitas, depresi atau kecemasan
f. Konsentrasi dan perhatian berkurang
g. Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
h. Ketegangan dan sakit kepala
i. Gejala gastrointestinal

2.8 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

 Pola tidur penderita.


 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
 Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola


tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian
kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda
selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan


yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan
untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan
insomnia. Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan
dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh.8
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ7

 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


o Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang buruk
o Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal
1 bulan
o Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang
siang hari
o Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan
 Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.9 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

 Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


 Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan
latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat
tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi,
tonus otot, dan mood.

 Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran
yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka
atau dalam grup.
 Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat
tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.4,8
 Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:9

 Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
televisi, makan atau bekerja.
 Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20
menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat
tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat
santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke
tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat
tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan
sampat seseorang dapat tidur.
 Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama
tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-
bangun (kontrol waktu).
 Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur


 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur
pada malam hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
 Menghindari makan besar sebelum tidur
 Cek kesehatan secara rutin
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik2,3,4,8
2. Farmakologi 2,4,7
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”,
yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long
acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.


 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih
dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap
sekitar 6 bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan
tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :

 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala rebound


lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
 Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala “hang
over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi


“disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat

 Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and
respiratory failure”
 Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
 Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau
“CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

 Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.10 Komplikasi
a. Efek Fisiologis
Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress, terdapat peningkatan
noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan
produksi melatnin.
b. Efek psikologis
Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, irritable,
kehilangan motivasi, depresi dan sebagainya.
c. Efek fisik/somatic
Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, kelebihan berat badan atau kegemukan,
daya tahan tubuh yang rendah, meningkatkan resiko dan keparahan
penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit
jantung, dan diabetes.
d. Efek social
Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, gangguan pekerjaan atau
sekolah.

2.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan
lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
BAB III

KESIMPULAN
Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai
atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu
bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah
kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah
episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa
kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan
untuk melakukannya.

Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia
pada beberapa waktu selama hidup mereka. Sekitar sepertiga orang dewasa
mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun,
dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Di Indonesia,
pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.3,4

Insomnia di klasifikasikan menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder.


Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non organik. Dalam
DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu , gangguan tidur
yang berkorelasi dengan gangguan mental lain, oleh kondisi medis umum, oleh
bahan-bahan atau keadaan tertentu, dan gangguan tidur primer .

Adapun bebrapa etiologi insomnia bisa karena stress, kecemasan dan depresi,
obat-obatan, kafein, nikotin dan alcohol, kondisi medis, perubahan lingkungan atau
jadwal kerja. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur
penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis,
riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,


bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan
untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam,
Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital).
Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

Ada beberapa komplikasi dari insomnia, diantaranya , efek psikologis dapat


berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, irritable, kehilangan motivasi,
depresi dan sebagainya, efek fisik/somatic berupa kelelahan, nyeri otot, kelebihan
berat badan atau kegemukan, daya tahan tubuh yang rendah, meningkatkan resiko dan
keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit
jantung, dan diabetes.

DAFTAR PUSTAKA

1. Marjdono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Dian


Rakyat:Jakarta ; 1988 ; P. 183-92
2. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher

3. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification


of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and
Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill:
American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.

4. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.


(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses tanggal 8
juni 2014

5. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

6. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London:


Oxford University Pres

7. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

8. Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternati
ve-medicine Diakses tanggal 8 Juni 2014)

9. Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed. New
York: McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai