Panduan Identifikasi Dan Pemantauan Biofisik PDF
Panduan Identifikasi Dan Pemantauan Biofisik PDF
Panduan Identifikasi Dan Pemantauan Biofisik PDF
PEDOMAN E-KKP3K
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL................................................................................................................. ii
1. PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
ii
DAFTAR TABEL
1.1 Daftar pertanyaan terkait aspek biofisik pada pedoman E-KKP3K ................. 5
3.1 Lembar data ekologi metode Manta Tow ............................................................ 20
3.2 Lembar data informasi survei metode Manta Tow............................................. 21
3.3 Lembar data pencatatan substrat dasar terumbu karang .................................. 24
3.4 Lembar data pencatatan genera/spesies karang................................................... 26
3.5 Daftar penggolongan bentuk pertumbuhan biota habitat
dasar terumbu karang dan kode yang digunakan ................................................ 28
3.6 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar ..................................................... 29
3.7 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar ..................................................... 32
3.8 Lembar data pencatatan menggunakan metode Reef Check .......................... 34
3.9 Lembar data pencatatan rekrutmen karang ........................................................ 38
3.10 Lembar data pencatatan makro invertebrata ...................................................... 41
3.11 Lembar data penilaian tingkat lokasi ..................................................................... 44
3.12 Lembar data penilaian tingkat koloni .................................................................... 45
3.13 Kode penilaian kemiringan terumbu ..................................................................... 46
3.14 Kode penilaian tingkat pemutihan (lokasi) ........................................................... 46
3.15 Kode penilaian tingkat pemutihan (koloni karang) ............................................ 46
3.16 Lembar data pencatatan ikan karang ..................................................................... 49
3.17 Lembar data metode timed swim (ikan karang) ................................................. 51
3.18 Lembar data pencatatan pemijahan ikan karang ................................................. 54
3.19 Lembar data pencatatan data lamun menggunakan
metode Seagrass Watch ........................................................................................... 58
3.20 Lembar data pencatatan metode tepi padang lamun ......................................... 62
3.21 Lembar data pencatatan data mangrove .............................................................. 65
3.22 Lembar data pencatatan kanopi mangrove .......................................................... 68
3.23 Lembar data pencatatan metode kesehatan mangrove .................................... 71
3.24 Parameter lingkungan perairan, peralatan, dan metode analisis ..................... 72
3.25 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air.............................. 74
3.26 Standar baku mutu air laut ...................................................................................... 74
3.27 Parameter, metode, dan instrument pengukuran baku mutu
air laut.......................................................................................................................... 74
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
Adapun tujuan pedoman pelengkap biofisik sendiri adalah sebagai berikut:
(1) Memberikan penjelasan dan panduan yang lebih rinci dari pedoman E-KKP3K, khususnya
yang terkait dengan aspek biofisik kepada pengelola dan pemangku kepentingan terkait.
(2) Menyediakan perangkat yang bisa digunakan oleh pengelola kawasan serta pemangku
kepentingan terkait di tingkat daerah maupun nasional dalam merencanakan dan
melakukan proses identifikasi serta pemantauan aspek biofisik di suatu kawasan dalam
rangka mendukung pengelolaan kawasan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-
pulau kecil yang efektif dan berkelanjutan.
2
BAB 2
PEDOMAN UMUM SURVEI PENILAIAN POTENSI DAN PEMANTAUAN ASPEK
BIOFISIK KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PEISISR, DAN PULAU-PULAU
KECIL
3
a. Peningkatan kinerja
Pemantauan mampu mendukung peningkatan kinerja pengelolaan dari sisi input pengelolaan
(apa, berapa, mengapa, kapan), proses pengelolaan (bagaimana input digunakan dan bagaimana
output dihasilkan), serta output dari pengelolaan itu sendiri (apa, berapa, mengapa dan
kapan).
b. Peningkatan dampak
Pemantauan mampu merangsang peningkatan dampak pengelolaan, karena hasil dari kegiatan
pemantauan dapat menjadi input sebagai dasar untuk mengendalikan program sesuai dengan
tujuan pengelolaan.
c. Proses belajar/pemberdayaan
Pemantauan merupakan proses yang mengandung kegiatan belajar dan sekaligus
pemberdayaan, termasuk memperkuat organisasi dan inisiatif pembangunan yang mandiri di
masyarakat.
d. Keberlanjutan
Pemantauan dan survei dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan.
e. Membangun teori agar lebih mengerti arti masyarakat dan pembangunan.
Pemantauan dapat digunakan sebagai wahana pembangunan teori untuk memahami arti
masyarakat, pembangunan, serta pemberdayaan.
Panduan ini memberikan gambaran serta arahan dalam melakukan kajian aspek biofisik untuk
mengukur efektivitas pengelolaan di kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil. Secara
garis besar buku panduan ini terbagi kedalam tiga bagian utama yaitu: (i) rancangan serta
perencanaan survei identifikasi dan pemantauan, (ii) metode teknis pengambilan data biofisik
(bio-ekologi dan kualitas air), serta (iii) contoh studi kasus hasil pemantauan biofisik di kawasan
konservasi perairan.
Metode-metode teknis pengambilan data aspek biofisik yang disajikan dalam buku panduan ini
adalah metode yang umum digunakan, dan tidak menutup kemungkinan penggunaan metode-
metode lain yang diakui secara ilmiah. Metode-metode lain terkait kajian terhadap spesies atau
jenis ikan tertentu yang mungkin menjadi target konservasi (mis: penyu, dugong, hiu) tidak
tercakup di dalam panduan ini. Pada prakteknya, pengelola kawasan dapat berkonsultasi dan
bekerjasama dengan pihak maupun lembaga yang berkompeten dalam melaksanakan survei
pemantauan untuk spesies/jenis ikan tertentu tersebut. Selanjutnya, rancangan survei dan
pemilihan metode sangat ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya: tujuan survei,
karakteristik lokasi, luas kawasan, jenis dan ekosistem/habitat yang menjadi target konservasi di
suatu kawasan konservasi.
4
diinisiasi), kuning (kawasan didirikan), hijau (kawasan dikelola secara minimum), serta biru
(kawasan dikelola secara optimal).
Pada tingkat merah, aspek biofisik diukur dan diinventarisasi sebagai bagian dari proses penilaian
potensi dari sebuah KKP3K. Pada tingkat kuning aspek biofisik sumberdaya yang sudah diukur
dan diinventarisasi harus dimuat di dalam dokumen rencana pengelolaan. Pada tingkat hijau
aspek biofisik sumberdaya diukur sebagai data kondisi awal yang akan menjadi tolok ukur bagi
proses-proses lanjutan pengelolaan sumberdaya kawasan. Pada tingkat biru, aspek biofisik
diukur kembali sebagai bagian dari proses pemantauan (monitoring) terhadap dampak
pengelolaan sumberdaya kawasan atau spesies target yang dilindungi di dalam suatu kawasan.
Secara detil, pertanyaan-pertanyaan di dalam pedoman E-KKP3K yang terkait dengan aspek
biofisik disajikan pada Tabel 2.1. Selanjutnya alur proses identifikasi, inventarisasi, dan
pemantauan aspek biofisik serta alat verifikasinya di masing-masing tingkatan pengelolaan
disajikan pada Gambar 2.1.
Tabel 1.1 Daftar pertanyaan terkait aspek biofisik pada pedoman E-KKP3K
MERAH
Kriteria Nomor Pertanyan Alat Verifikasi
2: Identifi-kasi & M3 Apakah survei dan penilaian potensi Laporan kajian sesuai
Inventarisasi calon kawasan konservasi sudah PerMen KP Nomor
calon kawasan dilakukan berdasarkan PerMen KP PER.02/MEN/2009
Nomor PER.02/MEN/2009 dan/atau dan/atau PerMen KP
PerMen KP Nomor PER.17/MEN/2008? Nomor
PER.17/MEN/2008.
KUNING
5: Rencana K14 Apakah dokumen rencana pengelolaan Dokumen Rencana
Pengelolaan dan sudah memuat informasi sumberdaya & Pengelolaan:
Zonasi sosial-ekonomi-budaya yang dapat Matriks/Ringkasan
dijadikan sebagai data garis dasar (t0)? Rencana pengelolaan,
yang berisi Informasi
sumberdaya – garis
dasar.
Dokumen Pendukung
Lainnya.
HIJAU
10: Pelaksanaan H34 Apakah pengukuran kondisi awal Dokumen rencana
Rencana sumberdaya sudah dilaksanakan? pengelolaan dan atau
pengelolaan dan laporan survei.
Zonasi
BIRU
B57 Bagaimana kondisi habitat sumberdaya
ikan dalam kawasan?
14: Pengelolaan B57A Apakah terjadi perbaikan kondisi habitat Kondisi t0 (garis dasar)
Sumberdaya di zona inti, zona perikanan di masing-masing zona
Kawasan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dibandingkan dengan
pemanfaatan terbatas dan/atau zona hasil pemantauan
lainnya, seperti yang ditunjukkan oleh habitat sumberdaya ikan
peningkatan tutupan ekosistem di zona-zona tersebut
terumbu karang dan/atau padang lamun (harus menunjukkan
5
dan/atau hutan bakau? data deret waktu).
B57B Apakah terjadi perbaikan kondisi habitat Kondisi t0 (garis dasar)
di zona inti, zona perikanan di masing-masing zona
berkelanjutan, zona pemanfaatan, dibandingkan dengan
pemanfaatan terbatas dan/atau zona hasil pemantauan
lainnya, seperti yang ditunjukkan oleh habitat sumberdaya ikan
peningkatan luasan ekosistem terumbu di zona-zona tersebut
karang dan/atau padang lamun dan/atau (harus menunjukkan
hutan bakau? data deret waktu).
B57C Apakah kualitas fisika-kimia-geologi Kondisi t0 (garis dasar)
perairan di zona inti, zona perikanan di masing-masing zona
berkelanjutan, zona pemanfaatan, dibandingkan dengan
pemanfaatan terbatas, dan/atau zona hasil pemantauan
lainnya, terjaga/terpelihara? kualitas fisika-kimia-
geologi perairan di
zona-zona tersebut
(harus menunjukkan
data deret waktu).
6
NOTE : hapus bag atas level ekkp3k, keterangan kuning dan hijau lihat sosek
Kawasan mandiri
Kawasan dikelola
Kawasan dikelola optimum
Kawasan minimum
Kawasan didirikan
dicadangkan
Kondisi habitat sumberdayaikan
Pengukuran kondisi awal
Dokumen rencana sumberdaya sudah • Terjadi perbaikan kondisi habitat di masing-masing
Survei dan penilaian potensi pengelolaan sudah dilaksanakan zona
calon kawasan konservasi sudah memuat informasi
dilakukan berdasarkan PerMen sumberdaya yang dapat • Kualitas fisika-kimia-geologi perairan di masing-
KP Nomor PER.02/MEN/2009 dijadikan sebagai data masing zona terjaga/terpelihara
dan/atau PerMen KP Nomor garis dasar (t0)
PER.17/MEN/2008 Kondisi populasi ikan atau species target non-ikandi
dalamkawasan
Laporan kajian sesuai PerMen KP • Dokumen Rencana Dokumen rencana • Kondisi t0 (garis dasar) di masing-masing zona dibandingkan
Nomor PER.02/MEN/2009 dan/atau Pengelolaan: pengelolaan dan atau laporan dengan hasil pemantauan habitat sumberdaya ikan di zona-zona
PerMen KP Nomor Matriks/Ringkasan Rencana survei. tersebut (harus menunjukkan data deret waktu).
PER.17/MEN/2008. pengelolaan, yang berisi • Laporan pemantauan populasi ikan sesuai target konservasi
Informasi sumberdaya – (termasuk biomassa, jumlah jenis ikan, kelimpahan, keragaman).
garis dasar. • Laporan pemantauan kualitas (ukuran panjang/berat) ikan di
• Dokumen Pendukung zona-zona dimaksud.
Lainnya • Laporan pemantauan jumlah tangkapan ikan oleh nelayan
(biomassa total per jumlah nelayan per satuan/periode waktu
tertentu).
• Laporan pemantauan produksi hasil budidaya (biomassa total
per jumlah nelayan per satuan/ periode waktu tertentu).
• Laporan pemantauan jumlah dan keanekaragaman jenis/species
target non-ikan.
• Laporan pemantauan populasi species endemik.
Gambar 2.1. Diagram alir identifikasi, inventarisasi, dan pemantauan aspek biofisik kawasan
konservasi perairan
Sebelum melakukan survei, khususnya untuk pengambilan data dasar (baseline survey) maka perlu
dilakukan kajian-kajian awal untuk membuat sebuah rancangan survei, sehingga survei yang akan
dilakukan menghasilkan output yang optimal dan sesuai dengan tujuan pengelolaan di sebuah
7
kawasan konservasi. Secara umum alur proses tersebut terbagi atas lima tahapan yang dimulai
dari penentuan tujuan survei dan kerangka pemikiran, pementuan parameter dan indikator
biofisik, hingga proses evaluasi secara berkala (Gambar 2.2).
- Habitat penting
- Ikan target konservasi
- Spesies non-ikan penting
- Parameter fisika/kimia perairan
RANCANGAN SURVEI
- Variabilitas
- Keterwakilan dan metode pengambilan data
- Sebab akibat dan kontrol
MALAKSANAKAN SURVEI
PEMANTAUAN
Gambar 2.2 Diagram alir proses perancangan survei identifikasi dan pemantauan kawasan
8
misalnya: ‘mengukur kondisi penutupan substrat dasar terumbu karang di zona inti dan zona
pemanfaatan sebagai indikator efektivitas pengelolaan kawasan’.
9
Perlakuan zonasi dan lokasi kontrol
Pada beberapa lokasi yang memiliki perlakuan zonasi seperti kawasan konservasi perairan,
maka pengambilan data perlu mempertimbangan adanya pengelompokan terhadap perlakuan
zonasi tersebut. Adanya perbedaan aturan di masing-masing zona di suatu kawasan
konservasi dapat menyebabkan perubahan terhadap kondisi biofisik yang menjadi parameter
yang diukur. Oleh karena itu perlu dilakukan pengambilan data yang memenuhi keterwakilan
dari masing-masing zona serta di lokasi lainnya sebagai kontrol atau pembanding. Lokasi
kontrol harus memiliki kondisi fisik dan ekologi yang relatif sejenis dengan lokasi utama
pengambilan data. Selanjutnya, maka beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses
menentukan titik lokasi pengambilan data adalah:
Studi awal
Studi awal berdasarkan informasi yang ada atau desktop study dapat dilakukan untuk
menentukan titik lokasi pengambilan data dan kontrol. Studi awal berguna untuk
menghemat waktu dan biaya dalam menentukan lokasi survei. Hal ini dilakukan pada
proses identifikasi awal potensi suatu kawasan konservasi.
Titik lokasi Pengambilan data
Sebagai contoh, lokasi sampling harus mempertimbangkan keterwakilan tipe-tipe
ekosistem terumbu karang yang ada di suatu kawasan (reef flat, main reef atau reef slope).
Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menentukan titik sampling antara lain
(Gambar 2.3):
- Metode acak
- Metode sistematis
- Acak terstratifikasi
Lokasi Kontrol
Menentukan lokasi kontrol harus mempertimbangan kemiripan dengan kondisi lokasi
utama pengambilan data.
Estimasi ukuran pengambilan data.
Ukuran pengambilan data (jumlah titik survei atau jumlah ulangan transek di masing-masing
titik survei) harus mempertimbangkan tingkat akurasi data yang diharapkan, disesuaikan
dengan tujuan survei.
10
a. Metode Acak
c. Metode Sistematis
c. Metode Terstratifikasi
Untuk tujuan pemantauan sumberdaya kawasan secara periodik dimana zonasi telah
ditetapkan, pendekatan yang umum dilakukan dalam penentuan lokasi survei adalah metode
terstratifikasi. Metode ini membantu memastikan keterwakilan titik-titik survei di masing-
masing zona di suatu kawasan. Sebagai illustrasi, sistematika pengelompokan dan penentuan
titik-titik survei berdasarkan zonasi yang ada di suatu kawasan disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 hanya memberikan illustrasi minimum, oleh karena itu pengambilan titik survei di
zona-zona lainnya serta jumlah ulangan transek di masing-masing titik survei sangat
dimungkinkan untuk ditambah yang disesuaikan dengan rancangan survei. Aplikasi
penempatan lokasi titik survei pemantauan diilustrasikan pada Gambar 2.5. Pada gambar
tersebut dicontohkan bahwa lokasi pemantauan diletakkan untuk memenuhi keterwakilan
zona inti, pemanfaatan, dan rehabilitasi dengan jumlah. Sekali lagi bahwa penentuan lokasi
titik survei sangat ditentukan oleh tujuan survei tersebut.
11
KAWASAN KONSERVASI PESISIR, PERAIRAN, DAN PULAU-PULAU KECIL
S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3
T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1 T1
T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2 T2
T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3 T3
Gambar 2.4 Illustrasi pengelompokan titik lokasi survei berdasarkan zona, menggunakan pendekatan model terstratifikasi di sebuah kawasan
konservasi perairan. Keterangan: ZI=Zona Inti, ZP=Zona Pemanfaatan, ZB=Zona Perikanan Berkelanjutan, S=Tiik Survei, T=Transek
(Modifikasi dari Wilson and Green 2009).
12
Gambar 2.5 Illustrasi aplikasi penempatan lokasi titik survei pemantauan berdasarkan zonasi di sebuah kawasan konservasi perairan
13
2.3.4 Melaksanakan survei pemantauan
Langkah keempat merupakan kegiatan teknis survei itu sendiri. Pada pelaksaan survei tersebut
sebaiknya dilakukan pendokumentasian kegiatan sebagai bukti atau data pendukung dalam
interpretasi data dan laporan. Dalam kegiatan survei terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk meminimalisasi kesalahan, diantaranya:
Data harus ditulis dengan jelas.
Pengecekan lembar data selama survei untuk memastikan data sudah terisi dengan lengkap
dan benar.
Jika survei dilakukan oleh lebih dari satu tim (satu pasang), maka diperlukan standarisasi agar
tidak terjadi perbedaan dalam pengambilan dan interpretasi data.
14
BAB 3
PEDOMAN TEKNIS IDENTIFIKASI DAN PEMANTAUAN ASPEK BIOFISK
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
1. Manta Tow
Definisi
Manta Tow merupakan survei area substrat dasar terumbu karang pada wilayah dengan kondisi
air yang jernih (jarak pandang yang baik) dengan cakupan daerah yang luas. Survei ini dilakukan
oleh penyelam snorkel yang ditarik di belakang perahu kecil. Umumnya metode ini digunakan
untuk mengamati perubahan secara menyeluruh pada komunitas bentik yang ada pada terumbu
karang, termasuk kondisi terumbu karang tersebut. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk
mengetahui pengaruh gangguan berskala luas, misalnya: badai, coral bleaching, dan ledakan
populasi Acanthaster planci (bintang laut berduri). Teknik ini juga berguna untuk mengetahui
kondisi umum, keragaman dan keseragaman suatu komunitas karang sehingga dapat dipakai
untuk menentukan lokasi-lokasi yang mewakili area terumbu karang yang luas, untuk kemudian
di survei lebih lanjut dengan metode yang lebih teliti.
Tujuan
Manta Tow dilakukan untuk mendapatkan pandangan umum mengenai suatu wilayah
menyangkut berbagai jenis dan jumlah habitat dan hal-hal lain yang bisa diamati.
15
Metode Pengamatan:
1. Satu tim terdiri dari minimal 3 orang:
a. pencatat data (observer);
b. pencatat waktu: bertugas untuk mencatat waktu pengambilan data, mencatat posisi (GPS
atau Kompas), dan mengawasi keselamatan observer;
c. pengemudi.
2. Observer dihubungkan dengan menggunakan perahu menggunakan tali sepanjang lebih kurang
18 meter. Kemudian pada jarak 6 dan 12 meter dari salah satu ujung tali diikatkan
pelampung sebagai alat bantu pencatat data mengukur kecerahan air (Gambar 3.1).
17
5. Pencatat waktu mencatat posisi awal dan akhir pengamatan dengan menggunakan GPS, atau
menggunakan kompas dengan berpatokan pada tanda-tanda alam di sekitar lokasi.
6. Setelah keseluruhan kegiatan pengamatan, maka semua data yang didapat disalin kedalam
lembar data untuk kemudian digambarkan/diplotkan kedalam peta dasar yang telah
dipersiapkan sebelumnya, lengkap dengan nilai-nilai yang didapat.
18
Untuk komponen ikan, dicatat jumlahnya. Jika jumlah ikan tersebut cukup banyak, dapat
menggunakan perkiraan. Contoh format lembar data tersaji di dalam Tabel 3.1 dan 3.2.
c. Catatan tambahan
Ada beberapa catatan tambahan yang juga perlu diperhatikan/dicatat jika ditemukan selama
melakukan pengamatan, yaitu:
- Bintang laut berduri / Crown of Thorns (Achantaster plancii.), dicatat jumlahnya.
- Kerusakan karang (karang patah-patah/hancur) yang cukup besar, dicatat jenis karang
yang rusak dan perkiraan luasannya.
Informasi ini sebaiknya dicatat pada kolom ‘Keterangan’ pada lembar data yang tersedia.
19
Kategori Persen penutupan
Kategori I 0 – 10%
Kategori II 11 – 30%
Kategori III 31 – 50%
Kategori IV 51 – 75%
Kategori V 76 – 100%
Pembelajaran
Metode ini merupakan metode yang umum digunakan oleh banyak lembaga termasuk
masyarakat pesisir karena sangat mudah dilakukan dan dapat mencakup area yang luas. Metode
ini pernah digunakan oleh:
1. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
2. Masyarakat dampingan Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
3. Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut – Pulau Sebesi
4. Australian Institute of Marine Sciences
5. GCRMN
20
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
21
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Tujuan
Survei ini biasa digunakan untuk mengetahui persen penutupan substrat dasar habitat terumbu
karang dan kekayaan genera/spesies terumbu karang.
22
- Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
- Papan sabak
- Kertas tulis bawah air
- Pensil
- Jam tangan
- Pelampung
- GPS atau kompas
- Kamera bawah air (jika ada)
- Administrasi
- Logistik
Metode pengamatan
1. Pencatatan data dilakukan dengan berenang secara acak setiap 3 menit untuk 10 ulangan
dalam satu lokasi pengamatan. Setelah setiap 3 menit berenang, observer melakukan
pencatatan data.
2. Fin swimming dilakukan selama 30 – 40 menit.
3. Pengambilan data dilakukan pada daerah dengan kedalaman dangkal (2 – 5 meter) atau
daerah yang memiliki air yang jernih (jarak pandang yang baik) untuk memudahkan dalam
pencatatan data.
23
b. Genera/spesies karang
Dengan bantuan buku identifikasi karang atau kamera bawah air karang keras hidup yang
ditemukan kemudian diidentifikasi sampai tingkat genera/spesies. Contoh format lembar data
dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Pembelajaran
Metode ini pernah digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun durasi waktu yang
digunakan dan tujuan pengambilan data bervariasi, antara lain:
1. The Nature Conservancy (kekayaan genera/spesies)
2. World Wide Fund For Nature (kekayaan genera/spesies)
3. Komodo National Park
4. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
Tabel 3.5 Daftar penggolongan bentuk pertumbuhan biota habitat dasar terumbu karang dan
kode yang digunakan
Kelompok Kode
Stony Coral (Karang Keras)
27
Acropora
Branching ACB
Digitate ACD
Encrusting ACE
Submassive ACS
Tabulate ACT
Non-Acropora
Encrusting CE
Branching CB
Foliose CF
Massive CM
Submassive CS
Mushroom CMR
Millepora CME
Heliopora CHL
Dead Coral DC
Dead Coral with algae DCA
Other Fauna
Soft Coral SC
Sponges SP
Zoantids ZO
Other OT
Algae
Algae Assemblage AA
Coralline Algae CA
Halimeda HA
Macro Algae MA
Turf Algae TA
Abiotik
Sand S
Rubble R
Silt SI
Water WA
Rock RC
Pembelajaran
Metode ini tergolong cukup sulit untuk dilaksanakan secara teknis. Metode ini membutuhkan
keahlian menyelam yang cukup mahir. Metode ini pernah digunakan oleh beberapa lembaga atau
program, namun panjang transek yang digunakan bervariasi, antara lain:
1. COREMAP-LIPI
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. GCRMN
29
4. Transek Titik atau Point Intercept Transect
Definisi
Transek titik merupakan survei substrat dasar terumbu karang yang secara teknis hampir sama
dengam metode transek garis menyinggung (LIT). Metode ini digunakan untuk tujuan yang sama
dengan metode LIT, yaitu untuk mengetahui persen penutupan, komposisi substrat dasar, dan
struktur komunitas karang dari suatu daerah terumbu karang dengan melihat tutupan karang
hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Metode ini
tidak sedetail metode LIT dalam pengambilan data nya, tetapi mampu mencakup area yang lebih
luas. Metode PIT umumnya digunakan jika daerah yang diamati cukup luas, sehingga penggunaan
metode ini diharapkan dapat memaksimalkan keterwakilan secara spasial. Survei ini dilakukan
dengan mencatat jenis substrat dasar yang menyinggung transek garis dengan interval jarak
tertentu (titik). Survei ini lebih baik digunakan dengan alat SCUBA, namun tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman dangkal.
Tujuan
Survei ini biasa digunakan untuk mengetahui persen penutupan dari substrat dasar habitat
terumbu karang serta keanekaragaman jenis karang.
31
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Dengan menggunakan metode point transek tentukan jenis substrat (misal: karang keras,
algae, karang mati) setiap 50 cm. Pengelompokan substrat berdasarkan: Hard Coral, Soft
Coral, Fleshy Algae, Turf Algae, Red Coralline Algae, Calcareous Algae (Halimeda), Sponge dan
pasir. Untuk jenis substrat karang keras pencatatan berdasarkan life form tipe pertumbuhan
dan genus karang. Pencatatan data menggunakan form pada Tabel 3.7.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun panjang transek yang
digunakan bervariasi antara lain:
1. Yayasan Reef Check Indonesia
2. Wildlife Coservation Society – Indonesia Marine Program
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
32
11.5 36.5
12 37
12.5 37.5
13 38
13.5 38.5
14 39
14.5 39.5
15 40
15.5 40.5
16 41
16.5 41.5
17 42
17.5 42.5
18 43
18.5 43.5
19 44
19.5 44.5
20 45
20.5 45.5
21 46
21.5 46.5
22 47
22.5 47.5
23 48
23.5 48.5
24 49
24.5 49.5
25 50
5. Reef Check
Definisi
Reef check atau pemeriksaan terumbu karang dilakukan untuk mengidentifikasi keadaan terumbu
karang dan pengaruh yang diperoleh dari kegiatan manusia. Metode ini melibatkan masyarakat
lokal. Metode ini bertujuan untuk mendorong kepedulian masyarakat lokal akan pentingnya
terumbu karang dan bagaimana cara untuk memecahkan masalah terumbu karang dan untuk
mendapatkan data berkualitas mengenai kondisi terumbu karang. Metode ini dikembangkan oleh
Hodgson (1996). Secara teknis pengambilan data, metode ini identik dengan metode Point
Intercept Transect.
Tujuan
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap nilai penting terumbu karang dan pemecahan
masalahnya.
2. Mendapatkan data yang cukup berkualitas tentang kondisi terumbu karang.
33
- Buku identifikasi
- Masker, snorkel dan fins
- Rol meter (100 m)
- Papan sabak
- Kertas tulis bawah air
- Pensil
- Pelampung
- Perahu
- Kompas/GPS
- Transek permanen
- Administrasi
- Logistik
Metode pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan mengunakan transek garis untuk mengamati kondisi terumbu
karang dan dampak aktivitas manusia. Pencatatan dilakukan dengan papan tulis bawah air dan
hasilnya dapat disajikan berupa data tabulasi persentasi kondisi terumbu karang dan
dokumentasi.
1.5 (Haemulidae)
5 Tandukuhan
6 (Charitonia n muricatum)
34
6.5 tritonis) Maming,
7 Lobster Napoleon
8 Jangkar;(0=tak undulatus
10 Bom;(0-3)
11 Lainnya;(0-3)
13 (Acanthaster
13.5 planci)
14.5 3)
15 Sampah: lainnya
15.5 (0-3)
16 Penyu
16.5
17
17.5
18
18.5
19
19.5
20
cm 0-19.5 20-45.5 45-69.5 70-100
KK: Karang Keras KM: Karang Mati KL: Karang Lunak SP: Spons
BK: Batu Karang P: Pasir L: Lumpur L: Lainnya
Ukuran Kerapu (cm);
Penggelantungan (% dari populasi dan % dari koloni)
Catatan:
35
4. Ulangi pengamatan di tempat berbeda apabila data dirasa kurang mewakili keberadaan
substrat, hewan indikator dan ikan yang menjadi target pengamatan.
Pembelajaran
Metode ini sudah cukup banyak yang menggunakan karena tergolong metode yang sederhana
dan mudah diaplikasikan. Metode ini pernah digunakan oleh:
1. Yayasan Reef Check Indonesia
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Marine Diving Club – Universitas Diponegoro
4. Lembaga-lembaga anggota Jaringan Kerja Reef Check
Tujuan
Metode survei ini digunakan untuk mengukur perubahan kondisi komunitas karang pada skala
kecil dari waktu ke waktu, dan dilakukan pada titik yang tetap/permanen.
36
1 meter
1 meter
Senar/tali
Rangka transek kuadrat
Metode pengamatan
- Tandai lokasi peletakan kuadrat permenen pada 4 sudutnya dengan luasan 1 x 1 m
menggunakan patok baja stainless;
- Tandai secara hati-hati penanda pada beberapa koloni karang yang menjadi acuan untuk
diukur perubahannya secara berkala;
- Gambar sebuah peta sketsa untuk jenis karang, posisi, dan ukuran koloni di masing-masing
kuadrat serta catat posisi koloni yang ditandai;
- Ukur dimensi panjang dan lbar dari koloni karang yang ditanda;
- Ukur dimensi sisi terpanjang dan terlebar dari koloni karang hidup non-branching;
- Tandai dengan tagging cabang-cabang yang menjadi referensi untuk diukur secara berkala;
- Letakan kamera pada tetrapod tegak lurus menghadap substrat;
- Ambil gambar foto sebanyak 4x untuk masing-masing kuadrat permanen;
- Perkecil ukuran kuadrat untuk area dengan tingkat kecerahan perairan yang rendah.
37
analisis dan identifikasi jika ada 2 pengamat yang berbeda. Jika dua pengamat dilatih secara
bersamaan maka presisi diharapkan akan lebih baik.
Pembelajaran
Metode ini sudah dicontohkan aplikasinya oleh Great Barrier Reef Marine Park Authority,
Australia.
38
7. Transek Kuadrat Rekrutmen Karang
Definisi
Metode ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat karang yang baru saja tumbuh
dan menempel di substrat dasar perairan (recruitment) di suatu lokasi dengan menggunakan
transek kuadrat. Survei ini biasanya dilakukan bersamaan dengan penggunaan metode transek
garis menyinggung atau transek titik. Metode ini dilakukan dengan mencatat jumlah koloni
karang keras yang berdiameter kurang dari 4 cm. Survei ini lebih baik digunakan dengan alat
SCUBA, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman
dangkal.
Tujuan
Survei ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pemulihan (recovery) dari karang keras di suatu
lokasi pengamatan.
Metode pengamatan
1. Pengamatan dilakukan dengan meletakkan transek garis 100 m sejajar dengan garis pantai
yang digunakan sebagai patokan dalam peletakkan transek kuadrat.
39
2. Substrat dasar yang dicatat adalah genera/spesies karang yang memiliki diameter kurang dari
4 cm yang terletak di dalam transek kuadrat dengan menghitung jumlah koloninya. Substrat
dasar tempat menempelnya koloni karang juga dicatat, seperti (batu, karang mati, pasir, dll).
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Letakkan transek kuadrat di sekitar titik interval kelipatan 10 meter pada transek garis.
Peletakkan transek kuadrat tidak selalu harus menyinggung dengan transek garis, tetapi
cukup berdekatan dengan transek garis yang telah dipasang.
5. Pencatatan data terdiri dari 11 transek kuadrat, yaitu pada meter ke 0, 10, 20, 30, dst hingga
meter ke 100. Pencatatan data menggunakan form pada Tabel 3.9.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun dengan jumlah ulangan dan
ukuran transek kuadrat yang bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
3. Atlantic and Gulf Rapid Reef Assessment (AGRRA)
40
8. Transek Sabuk Makro Invertebrata
Definisi
Survei ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk menghitung kelimpahan jenis/spesies
makro invertebrata laut dengan menggunakan metode transek sabuk (belt transect). Survei ini
biasanya dilakukan bersamaan dengan penggunaan metode transek garis menyinggung atau
transek titik. Metode ini dilakukan dengan mencatat jumlah individu tiap spesies makro
invertebrata yang ditemukan di dalam transek sabuk. Survei ini lebih baik digunakan dengan alat
SCUBA, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman
dangkal.
Tujuan
Survei ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan makro invertebrata yang memiliki nilai
ekologis dan ekonomis penting, antara lain: kima (Famili Tridacnidae), teripang (Famili
Holothuridae), bulu babi (Famili Echinoidea), bintang laut (Famili Asteroidea, terutama
Acanthaster planci = bintang laut mahkota berduri).
41
Alat yang dibutuhkan
- Buku identifikasi spesies invertebrata laut
- Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
- Alat SCUBA
- Papan sabak
- Kertas tulis bawah air
- Pensil
- Rol meter (200 m)
- Tongkat PVC 1 meter (untuk mengukur lebar)
- GPS atau kompas
- Kamera bawah air (jika ada)
- Administrasi
- Logistik
Metode pengamatan
1. Pengamatan dilakukan dengan meletakkan transek garis 200 m sejajar dengan garis pantai
pada kedalaman dangkal (2-3 m) atau dalam (6-8 m).
2. Pencatatan dilakukan dengan metode transek sabuk pada transek (1 x 100) m x 2 transek
3. Satu transek (100 meter) dibagi ke dalam 5 sub transek (panjang 20 meter). Jenis yang
dicatat adalah jumlah dan jenis/spesies dari Sea Urchin (Bulu babi), Star Fish (termasuk bulu
seribu), Clam (kima), Snail (Gastropoda) dan Sea Cucumber (teripang).
4. Untuk pencatatan kima, selain dihitung jumlahnya juga dicatat panjang cangkangnya dalam
sentimeter. Snail dan Sea Urchin tidak dicatat pada seluruh sub transek. Gambaran
pencatatan ditunjukkan pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Posisi peletakan transek untuk survei invertebrata, transek sepanjang 100 meter
diletakkan secara seri sejajar garis pantai di dua kedalaman; di masing-masing
kedalaman dilakukan 2 ulangan.
42
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 200 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Bagi satu ulangan transek 100 meter ke dalam 5 bagian, kemudian catat berdasarkan
pembagian pada Gambar 3.5. Pencatatan data dapat menggunakan form pada Tabel 3.10.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek bervariasi:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
3. Yayasan Reef Check Indonesia
4. Australian Institute of Marine Sciences
43
9. Pemantauan Pemutihan Karang atau Coral Bleaching
Definisi
Survei ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat fenomena pemutihan pada
karang, yaitu hilangnya pigmen warna pada karang yang salah satunya disebabkan oleh
meningkatnya suhu perairan (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang merupakan isu global,
sangat penting bagi pihak-pihak terkait untuk memonitor perubahan terumbu karang. Meskipun
kita tahu bahwa perubahan iklim berada di luar kuasa kita. Dengan menggunakan metode ini, kita
dapat memperoleh kesempatan untuk mendokumentasikan, melakukan estimasi dan menaksir
keadaan terumbu karang selama poses bleaching. Metode ini juga memberikan kesempatan untuk
mengatur kebijakan bila terjadi pemutihan terumbu karang secara masal. Metode ini diadopsi
dari Setiasih (2001).
Tujuan
1. Mendokumentasikan pemutihan karang dan memantau kesehatan karang
44
2. Menduga dan meningkatkan pemahaman terhadap pemutihan karang dan dampaknya
3. Melakukan respons pengelolaan apabila terjadi pemutihan karang, misalnya mitigasi terhadap
dampak sosio-ekonomi.
Metode pengamatan
Pengamatan pemutihan karang dapat dikombinasikan dengan metode survei terumbu karang lain
yaitu Manta Tow dan Reef Check. Pengamatan dapat juga dilakukan dalam waktu yang sama
dengan survei terumbu karang tersebut. Pengamatan sebaiknya dilakukan sebelum, selama dan
sesudah periode suhu air laut maksimum terjadi.
45
7. Untuk tingkat koloni, karang dapat diberi tag (tanda)
Analisa Data
Penilaian untuk tingkat koloni karang dapat dijumlahkan untuk mendapatkan penilaian untuk
lokasi dengan persamaan:
CBI = ..(0*n0+1*n1+2*n2+3*n3+4*n4+5*n5)
CBI = Coral Bleaching Index
n = jumlah koloni karang
Angka 0 – 5 = kategori pemutihan
Pembelajaran
Metode ini pernah digunakan oleh:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Great Barrier Reef Marine Park Authority
46
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
47
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
48
Tingkat Pemutihan Untuk Koloni Karang
Kategori Deskripsi
0 Tidak ada pemutihan
1 Pemutihan hanya pada permukaan/ujung karang
2 Koloni memucat tapi belum putih
3 Keseluruhan karang putih total
4 Keseluruhan karang mengalami pemutihan dan sebagian mati
5 Seluruh koloni baru saja mati (ditumbuhi alga)
49
SURVEI KOMUNITAS IKAN KARANG
Tujuan
Sensus visual ikan dapat digunakan untuk menduga keragaman, jumlah dan ukuran ikan
(biomassa). Informasi ini dapat mencerminkan kesehatan dari sediaan ikan dalam wilayah
terumbu karang yang diamati.
Metode pengamatan
1. Metode ini menggunakan transek garis yang dibuat dengan cara membentangkan rol meter
berskala sejajar dengan garis pantai sepanjang 100 meter. Transek kemudian dibagi ke dalam
2 ulangan masing-masing sepanjang 50 meter.
2. Teknik pencatatan yang digunakan adalah teknik pencatatan visual sensus, yaitu mencatat
jenis dan jumlah ikan yang ditemukan sepanjang transek garis dengan batasan 2,5 meter ke
kiri dan ke kanan.
3. Biomassa ikan (kg ha-1) setiap spesies atau famili dihitung berdasarkan kelimpahan, ukuran
dan luas wilayah karang.
50
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Untuk informasi biomassa ikan, dilakukan juga pencatatan estimasi panjang total ikan.
Pencatatan panjang total ikan pada:
- Transek sabuk dengan ukuran 2 (5 x 50 m) untuk ikan > 10cm
- Transek sabuk dengan ukuran 2 (2 x 50 m) untuk ikan < 10 cm
Ilustrasi pencatatan data dapat dilihat pada Gambar 3.6.
50 m 50 m
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
4. Australian Institute of Marine Sciences
5. GCRMN
6. Yayasan Reef Check Indonesia
51
Tabel 3.17 Lembar data pencatatan ikan karang
FREQUENCY OF FISHES
Date : Site : Depth :
Time : Collector : Note :
20 - 25 -
0-5 5 - 10 10 - 15 - 25 30 30 - 35 - > 40
Species
cm cm 15 cm 20 cm cm cm 35 cm 40 cm cm
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Tujuan
Survei ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kekayaan spesies ikan karang.
52
Alat yang dibutuhkan
- Buku identifikasi ikan
- Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
- Alat SCUBA
- Papan sabak
- Kertas tulis bawah air
- Pensil
- Jam tangan
- GPS atau kompas
- Kamera bawah air (jika ada)
- Administrasi
- Logistik
Metode pengamatan
1. Pencatatan data dilakukan dengan melakukan kayuhan (fin swimming) pada daerah terumbu
karang dari kedalaman dangkal hingga kedalaman dalam.
2. Untuk mendapatkan data yang berkualitas disarankan untuk menggunakan alat SCUBA untuk
mencakup perairan yang lebih dalam.
3. Fin swimming dilakukan selama 30 – 40 menit.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. The Nature Conservancy (kekayaan genera/spesies)
3. World Wide Fund For Nature (kekayaan genera/spesies)
4. Komodo National Park
53
Tabel 3.18 Lembar data metode timed swim (ikan karang)
Timed Swim Ikan Karang
Lokasi: No sampel: Kedalaman:
Tanggal: Waktu: Kondisi perairan:
Waktu mulai: Pengambil data: Keterangan:
Waktu selesai: Koordinat: Visibility:
No Famili Spesies No Famili Spesies
1 36
2 37
3 38
4 39
5 40
6 41
7 42
8 43
9 44
10 45
11 46
12 47
13 48
14 49
15 50
16 51
17 52
18 53
19 54
20 55
21 56
22 57
23 58
24 59
25 60
26 61
27 62
28 63
29 64
30 65
31 66
32 67
33 68
34 69
35 70
54
3. Pemantauan Pemijahan Ikan Karang atau Fish SPAGs Monitoring
Definisi
Pemantauan pemijahan ikan karang atau Fish Spawning Agregations Monitoring merupakan sebuah
metode yang digunakan untuk mengetahui lokasi yang merupakan tempat berkumpulnya ikan
untuk memijah, terutama ikan kerapu (Famili Serranidae) dan Napoleon (Famili Labridae).
Metode ini dilakukan dengan mengobservasi lokasi yang secara spesifik dapat diketahui waktu
dan lamanya pemijahan, ukuran dan jumlah yang mungkin dihasilkan, juga dukungan kondisi
alamnya.
Tujuan
1. Menentukan lokasi-lokasi yang merupakan tempat agregasi (tempat berkumpul ikan dalam
jumlah besar) dan pemijahan ikan target.
2. Mengetahui jumlah dan ukuran ikan dalam agregasi pemijahan.
Metode pengamatan
1. Pada lokasi yang telah diindikasikan sebagai tempat pemijahan ikan, lakukanlah pengamatan
lanjutan masing-masing dua lokasi sehari selama dua hari, pada selang purnama maupun
selang bulan baru.
2. Ukurlah ukuran ikan dan catat jenis ikan karang yang ditemukan selama 30 sampai 45 menit
pengamatan yang dilakukan selama 200 meter garis transek dengan kedalaman 20 – 30
meter.
3. Catat pula keterangan mengenai tingkatan pada tingkah laku pemijahan. Pencatatan data
dapat menggunakan form pada Tabel 3.18.
55
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan (tambahkan pra survei SPAG –
wawancara, visual sensus rapid, design survei (waktu, jenis ikan)
1. Pastikan bahwa pengambil data (observer) telah mendapatkan pelatihan mengenai estimasi
ukuran ikan, identifikasi tingkah laku ikan memijah dan identifikasi lokasi pemijahan.
2. Lokasi tempat ikan memijah biasanya merupakan tempat yang memiliki arus air yang
bergerak menuju laut lepas, terdapat tempat persembunyian (gua atau celah batu karang)
dan lokasi berada di terumbu karang yang menjorok ke laut lepas (tanjung). Namun hal itu
belum bisa dipastikan terjadi. Oleh karena itu sebaiknya sebelum memilih stasiun
pengamatan terlebih dahulu melakukan survey pendahuluan mengenai lokasi dengan
melakukan penilaian terhadap tanda-tanda pemijahan ikan sebagai berikut:
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. The Nature Conservancy
2. Marine Diving Club – Universitas Diponegoro
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
4. Yayasan TAKA
56
Tabel 3.19 Lembar data pencatatan pemijahan ikan karang
Fish SPAGs Monitoring
Lokasi: No sampel: Kedalaman:
Tanggal: Waktu: Kondisi perairan:
Pengambil data: Koordinat: Visibility:
Jenis Ikan Bulan Purnama Bulan Mati
Tanggal: Tanggal:
Ukuran Tanda Pemijahan Ukuran ikan Tanda Pemijahan
ikan (cm) (cm)
1. Ephinephelus tukula 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
2. Ephinephelus polyphekadion 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
3. Ephinephelus fuscoguttatus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
4. Ephinephelus malabaricus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
5. Ephinephelus chlorostigma 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
6. Plectropomus leopardus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
7. Plectropomus laevis 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
8. Plectropomus areolatus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
9. Plectropomus oligocanthus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
10. Variola louti 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
11. Cromileptes altivelis 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
12. Cheilinus undulatus 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
7 7
57
4 - Gravit/bunting
5 - Bite wound/luka gigitan
6 - Courtship/miring-miring
7 - Spawning/semprot
Keterangan:
58
SURVEI KOMUNITAS LAMUN
1. Seagrass Watch
Definisi
Survei pengamatan lamun dilakukan dengan mengukur perubahan distribusi dari komunitas
lamun. Perubahannya termasuk: distribusi lamun pada posisi di quadrat transek, komposisi
spesies pada kuadrat transek, kelimpahan dan penutupan lamun. Metode ini juga akan
mendorong kepedulian lokal pada monitoring komunitas lamun, menggunakan standarisasi
manual.
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengukur perubahan-perubahan pada komunitas lamun dalam hal
distribusinya dalam suatu area tertentu, komposisi jenis (spesies) yang ditemukan di sepanjang
transek kuadrat, dan kelimpahan lamun.
Metode pengamatan
Metode ini menggunakan transek garis sebagai patokan peletakan transek kuadrat. Transek garis
diletakkan secara paralel tegak lurus garis pantai dengan jeda masing-masing transek garis 25
meter. Transek kuadrat diletakkan di sekitar titik interval kelipatan 5 meter. Setiap 50 meter
transek garis yang dibentangkan terdapat 11 titik observasi transek kuadrat. Peletakkan transek
garis dapat dilihat pada Gambar 8. Pencatatan data komunitas lamun dilakukan dengan mencatat
jenis alga, jenis sedimen, biota lain serta mengestimasi persen penutupan jenis lamun.
59
50 m
45 m
40 m
35 m
30 m
25 m
20 m
15 m
10 m
5 m
0 m
25 m 25 m
Transek Transek Transek
1 2 3
Gambar 3.8 Peletakan transek garis dan transek kuadrat pada metode Seagrass Watch
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
60
Tabel 3.20 Lembar data pencatatan data lamun menggunakan metode Seagrass Watch
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Sediment Type
% Seagrass
EA
CR
CS
HO
HU
TH
SI
HP
Canopy Height
% algae
61
Gambar 3.9 Jenis lamun beserta kode pencatatan dan ciri khususnya
62
Gambar 3.10 Estimasi persen penutupan lamun
63
2. Tepi Padang Lamun
Definisi
Tepi padang lamun merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mengukur pergerakan tepi
komunitas padang lamun pada daerah yang mengalami gangguan/ancaman dan daerah kontrol.
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan padang lamun pada daerah yang
terkena tekanan alami dan atau manusia dengan daerah kontrol.
Metode pengamatan
Pemantauan dilakukan dengan melakukan pengukuran jarak antara dua tepi padang lamun, yaitu
pada lamun di daerah terdangkal dan daerah terdalam. Patok penanda yang telah dipasang pada
tiap sisi lamun (dangkal dan dalam) kemudian diukur jaraknya dalam satuan sentimeter. Lihat
perubahannya berdasarkan waktu.
64
4. Gunakan kamera untuk mendokumentasikan perubahan yang terjadi apabila dibutuhkan.
65
SURVEI EKOSISTEM MANGROVE
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui kepadatan, jenis, persen tutupannya, dan tingkat
kerusakan dari mangrove
66
2. Mengukur garis terluar bakau
Mengukur garis terluar bakau dengan cara mengambil posisi terluar bakau dengan
menggunakan GPS. Bisa juga dengan mengukur secara kasar yakni dengan mengukur di atas
peta.
3. Luas areal bakau
Luas areal bakau ini dapat dihitung secara kasar dengan menggunakan peta dasar Lingkungan
Pantai (BAKOSURTANAL).
4. Posisi bakau terhadap pantai
Buatlah deskripsi tentang posisi bakau yang akan dimonitor. Penggambaran posisinya dalam
peta akan lebih baik.
5. Penentuan jumlah transek dan titik-titik awal transek
Setelah kita mendapatkan total panjang garis pantai dan banyaknya transek yang akan kita
ambil, kita langsung mengambil posisi titik awal transek dengan menggunakan GPS. Titik ini
akan menjadi titik permanen untuk setiap kali pengambilan data. Titik awal tersebut
sebaiknya ditandai menggunakan patok permanen atau dengan mengecat salah satu pohon di
awal transek tersebut.
6. Penentuan arah kompas
Arah kompas ini fungsinya untuk menetapkan posisi transek yang tegak lurus garis pantai.
Karena mengingat posisi garis pantai ada yang berlekuk ataupun ada yang lurus. Sehingga
pada garis pantai yang berlekuk tidak terjadi kemungkinan untuk transek tersebut bertemu.
7. Pengambilan Data
Ada beberapa tahapan dalam mengambil data transek yaitu:
a. Menarik meteran ke arah laut dengan posisi awal yang sudah ditetapkan sebagai posisi
tetap (paten) dalam pengambilan data untuk monitoring selanjutnya. (Biasanya meteran
yang digunakan adalah dengan panjang meteran 50 m).
b. Buat transek dengan panjang 10 m x 10 m untuk diamati/untuk pengambilan data. Jadi
setelah ada garis memanjang ke laut, kita membagi pada setiap 10 m sebelah kiri dan 10
m (membentuk bujur sangkar) sebelah kanan untuk diamati.
c. Pengamatan.
68
50
2 50 (2) 0-10
10-
20
20-
30
30-
40
40-
50
3 50 (3) 0-10
10-
20
20-
30
30-
40
40-
50
4 50 (4) 0-10
10-
20
20-
30
30-
40
40-
50
69
2. Kanopi Mangrove
Definisi
Kanopi mangrove merupakan metode yang digunakan untuk menghitung tutupan kanopi, jumlah
anakan dan komposisi jenis mangrove dominan. Metode ini diadopsi dari Knight dan Tighe
(2003).
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui penutupan kanopi (canopy), jumlah biji dan jenis yang
mendominasi mangrove pada suatu daerah.
Metode pengamatan
Pencatatan data dilakukan dengan meletakkan transek garis pada daerah pasang surut mangrove
tegak lurus garis pantai sepanjang 100 meter. Setiap 10 meter transek garis buat pengamatan
menggunakan kuadran transek 10m x 10m hingga mencapai 100 meter transek garis.
71
20-30m
30-40m
40-50m
50-60m
60-70m
70-80m
80-90m
90-100m
3. Kesehatan Mangrove
Definisi
Metode ini digunakan dengan cara menghitung jumlah pohon yang hidup dan mati dalam 100 m2
dan mengestimasi persentase daun hidup pada 20 pohon mangrove yang telah diberi tanda (tag).
Metode ini berguna untuk memonitor keadaan (kesehatan) hutan mangrove pada suatu daerah
yang akan dipengaruhi oleh keberadaan dan pengembangan potensi wilayah pesisir. Metode ini
diadopsi dari Knight dan Tighe (2003).
Tujuan
Metode ini digunakan untuk melihat kesehatan hutan bakau di daerah yang mungkin dipengaruhi
oleh aktivitas manusia oleh dalam rangka pengembangan potensi wilayah pesisir.
Metode pengamatan
Pencatatan data dilakukan dengan membuat transek kuadrat dengan ukuran 10m x 10m.
Pengukuran dilakukan dengan mencatat jumlah tanaman bakau yang hidup dan mati dalam
72
transek kuadrat dan mencatat estimasi persentase daun yang hidup dan yang mati dari 20
tanaman bakau dewasa sebagai sampel.
7. Transek kuadrat kontrol juga dapat dibuat untuk membandingkan tutupan kanopi dengan
tanaman yang jauh dari aktivitas manusia. Pencatatan data dapat menggunakan form pada
Tabel 3.24.
73
(video/fot
o)
% Polusi industri
% Daun
Daun A B C D E
hidup
mati
1 Polusi sampah
2 Konversi lahan
3 Pertambangan
4 Perikanan
5 Budidaya perikanan
6 Kerusakan jangkar
7 Pariwisata
8 Badai
9 Muara sungai
10 Suhu air naik
11 Penggelantungan
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Pengamatan lain yang diperlukan Jenis bakau dominan:
Jumlah tanaman bakau yang mati dalam kuadran: 1.
Jumlah tanaman bakau yang hidup dalam kuadran: 2.
Jumlah tanaman bakau di kuadran: 3.
4.
74
PENGUKURAN KUALITAS PERAIRAN
Parameter lain yang menjadi bagian dari aspek biofisik adalah fisika dan kimia perairan.
Parameter fisika perairan yang umum diukur diantaranya adalah suhu, salinitas, dan kecerahan
perairan. Sedangkan parameter kimia yang umum diamati diantaranya adalah: nitrat, nitrit,
fosfat, DO (dissolved oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), dan pH (derajat keasaman).
Teknis Pengukuran :
Pengambilan sampel air untuk pengukuran senyawa Nitrit, Nitrat dan Fosfat menggunakan
wadah yang terbuat dari bahan poliethilen, sedangkan untuk Oksigen digunakan wadah gelas.
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel parameter/senyawa tertentu dirangkum dalam
Tabel 3.25. Detail pelaksanaan di lapangan dan analisis laboratorium dapat dilihat di berbagai
literature, diantaranya Hutagalung dkk. (1997); Strickland and Parson (1968). Pengambilan
sampel plankton dilakukan secara vertikal dan horizontal mengikuti acuan menurut Whickstead
1965. Selanjutnya seluruh pengukuran parameter fisika seperti suhu, salinitas, kecerahan
dilakukan in situ.
Secara prinsip metode penentuan BMA adalah dengan membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.
Cara penentuan BMA yang umum dilakukan adalah metode Storet yang menggunakan sistem
nilai dari US – EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam
empat kelas, yaitu:
1. Kelas A : baik sekali skor = 0; memenuhi baku mutu
2. Kelas B : baik skor = -1 s/d -10; cemar ringan
3. Kelas C : sedang skor = -11 s/d -30; cemar sedang
4. Kelas D : buruk skor ≤ -31; cemar berat
Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode Storet dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga
membentuk data dari waktu ke waktu (time series data);
2. Lakukan perhitungan nilai maksimum, minimum, dan nilai rata-rata dari sampel data yang
diambil;
3. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku
mutu yang sesuai dengan kelas air.
4. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu)
maka diberi skor 0.
5. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku
mutu), maka diberi skor mengacu pada table 3.26.
76
6. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari
jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.
Tabel 3.26 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air.
Jumlah Nilai Parameter
parameter Fisika Kimia Biologi
< 10 Maksimum (max) -1 -2 -3
Minimum (min) -1 -2 -3
Rata-rata (mean) -3 -6 -9
≥ 10 Maksimum (max) -2 -4 -6
Minimum (min) -2 -4 -6
Rata-rata (mean) -6 -12 -18
Standar baku mutu air laut yang umum diukur dan digunakan di perairan terumbu karang serta
metode pengukurannya disajikan pada Tabel 3.27. Untuk standar baku mutu wilayah perairan
lain dapat mengacu kepada standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Selanjutnya metode dan instrumen yang digunakan dalam pengukuran parameter-parameter
tersebut disajikan pada Tabel 3.28.
Tabel 3.28 Parameter, metode, dan instrument pengukuran baku mutu air laut
Parameter Metode Instrumen
Kebauan Penciuman -
Kecerahan Visual Sechi disc
Total Suspended Solid Menimbang Timbangan elektronik
Temperatur Pemuaian Termometer
Salinitas Visual dengan alat Refraktometer
77
BAB 4
CONTOH STUDI KASUS HASIL PEMANTAUAN EKOSISTEM PESISIR DAN
LAUT DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
4.1. Contoh Kajian Ekosistem Terumbu Karang: Penutupan substrat dasar terumbu
karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh, berdasarkan wilayah pengelolaan.
Kondisi perairan di Pulau Aceh menunjukkan tutupan karang yang relatif rendah dibanding
perairan di Pulau Weh. Tutupan karang Kepulauan Aceh di daerah dangkal memiliki rata-rata
11,7% dan daerah dalam 1,8%. Perbedaan tutupan ini diduga dikarenakan kondisi perairan di
Pulau Aceh yang cenderung landai, dimana karang keras lebih banyak ditemukan di daerah yang
lebih dangkal. Daerah yang dalam lebih didominasi oleh substrat pasir (12,3%) dan karang mati
(79,6%) sehingga peluang karang hidup/tumbuh kecil (Gambar 14).
KKPD Pulau Weh memiliki tutupan karang rata-rata yang relatif lebih tinggi dibanding
daerah lainnya (open access). Tutupan karang hidup (live coral cover) rata-rata di wilayah KKPD
pada kedua kedalaman relatif sama yaitu 53,1% (dalam) dan 53,6% (dangkal), tutupan rata-rata di
TWAL Iboih 30,9% (dalam) dan 44,9% (dangkal). Tutupan karang Pulau Weh di luar daerah
perlindungan laut rata-rata 23,5% (dalam) dan 28,5% (dangkal).
Secara umum terdapat perbedaan yang signifikan (F=97,846; P<0,05) pada tutupan rata-rata
karang keras antar wilayah pengelolaan, di mana tutupan rata-rata karang di semua wilayah
berbeda nyata, tertinggi ke terendah secara berurutan adalah wilayah KKPD (53,3%), TWAL
(37,9%), daerah open acces Pulau Weh (26%) dan Pulau Aceh (6,5%). Selain itu juga terdapat
perbedaan signifikan (F=8,911; P<0,05) antar kedalaman, di mana tutupan rata-rata di lokasi yang
lebih dangkal (30,9%) relatif lebih tinggi dibanding lokasi dalam (23,1%). Kondisi ini menunjukkan
terumbu karang di Pulau Aceh dan Pulau Weh merupakan tipe terumbu dangkal. Selain itu
substrat dasar yang lebih dalam di sebagian lokasi didominasi oleh pasir, dan sebagian lagi –
terutama di sisi barat Pulau Weh - merupakan substrat batu vulkanik yang sedikit sekali
ditemukan penempelan karang keras.
78
100
Dalam Dangkal
90
Penutupan karang (%) 80
70
60
50
40
30
20
10
0
Benteng
Ujung Kareung
Batee Meuronon
Beurawang
Lhok Weng
Ujung Seuke
Rubiah Channel
Lamteng
Lapeng
Ujung Seurawan
Sumur Tiga
Deudap
Lhoh
Pulau Klah
Ba Kopra
Leun Balee 1
Leun Balee 2
Pasi Janeng 1
Pasi Janeng 2
Lhong Angin 1
Lhong Angin 2
Lhong Angin 3
Anoi Itam
Gapang
Paloh
Jaboi
P. Aceh (open access) P. Weh (open access) TWAL Iboih KKPD Sabang
Lokasi survei dan wilayah pengelolaan
Gambar 4.1 Rata-rata (+SE) tutupan karang keras (%) di 27 Lokasi survei: perbandingan antara
wilayah pengelolaan pada dua kedalaman yang berbeda.
100.0
Dalam Dangkal
80.0
Penutupan karang (%)
60.0
40.0
20.0
0.0
P. Aceh (open P. Weh (open TWAL Iboih KKPD Sabang
access) access)
Wilayah Pengelolaan
Gambar 4.2 Rata-rata (+SE) tutupan karang keras (%) berdasarkan wilayah pengelolaan, pada
dua kedalaman yang berbeda.
79
4.2. Contoh Kajian Sumberdaya Ikan Karang : Kajian Kelimpahan dan Biomassa
Ikan Karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala
Ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala merupakan salah satu faktor
terpenting dari ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan oleh peduduk setempat, karena
sebagian besar penduduk Karimunjawa (65,88%) mengandalkan sumber daya ikan sebagai mata
pencaharian dan sumber makanan utama. Secara ekologis, keragaman hayati ikan karang di
KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala dan di perairan Laut Jawa pada umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan kawasan terumbu karang di bagian timur Indonesia. Hal ini dikarenakan
tipe habitat yang lebih homogen dan tekanan perikanan yang lebih tinggi (Allen dan Werner,
2002).
Kondisi ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala mengalami penurunan yang
signifikan pada tahun 2009, baik dalam hal biomassa (Gambar 20) maupun kelimpahan (Gambar
21), namun yang terutama adalah biomassa. Biomassa total ikan karang pada tahun 2009 dengan
mengesampingkan data ikan dari famili Pomacentridae adalah 200,33 kg/ha, turun sebesar 25,5%
dari pengambilan data sebelumnya pada tahun 2007. Penurunan ini tidak sebanding dengan
penurunan kelimpahan ikan karang yang hanya sebesar 13,4%. Dilihat dari sebaran data kelas
ukuran ikan per tahun, penurunan kelimpahan terjadi pada ikan-ikan pada kelas ukuran kecil,
sedangkan ikan berukuran lebih dari 25 cm mengalami peningkatan yang signifikan (Gambar 22),
yang sebagian besar berasal dari ikan herbivora kelompok fungsional browsers (Kyphosidae,
Acanthuridae, Siganidae, dan Ephippidae) dan large excavators (Chlorurus sp, Cetoscarus sp,
Bolbometopon sp). Hal ini menunjukkan gejala yang baik, dimana peningkatan kelimpahan
kelompok ikan herbivora menunjukkan adanya peningkatan daya kelentingan ekosistem terumbu
karang (resilience) di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
Penurunan nilai biomassa dan kelimpahan ikan karang sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, antara lain kerusakan habitat, daya kelentingan ekosistem, juga tekanan perikanan.
Berdasarkan data kondisi karang tahun 2009 di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala, persentase
penutupan karang keras mengalami peningkatan, yang menunjukkan adanya perbaikan kondisi
habitat bagi ikan karang. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor terbesar dalam penurunan nilai
biomassa dan kelimpahan ikan karang adalah berasal dari tekanan perikanan. Hasil dari
pemantauan sumberdaya ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala menunjukkan bahwa
pengelola kawasan perlu mempernaiki efektivitas pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan
sumberdaya ikan karang di kawasan ini.
80
Gambar 20. Biomassa (kg/ha) rata-rata (±SE) ikan karang hasil pengamatan tahunan di setiap
zona di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
12000 2004
2005
10000 2006
Kelimpahan Ikan Karang (ind.ha-1)
2007
2009
8000
6000
4000
2000
0
Inti Pemanfaatan Perikanan Luar Kawasan Total
Berkelanjutan
ZONA
Gambar 21. Kelimpahan (no/ha) Rata-rata (±SE) ikan karang hasil pengamatan tahunan di setiap
zona di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
81
1600
2004
1200 2006
2007
1000
2009
800
600
400
200
0
10-15 cm 15-20 cm 20-25 cm 25-30 cm 30-35 cm 35-40 cm >40 cm
Gambar 22. Kelimpahan (ind/ha) ikan karang (±SE) berdasarkan kelas ukuran tiap tahun
pengamatan di KKPD Ujung Cakrawala.
82
DAFTAR PUSTAKA
83
McClanahan, TR .2004. The relationship between bleaching and mortality of common corals.
Marine Biology, 144: 1239-1245.
McKenzie, L.J., and S. J. Campbell. 2002. Seagrass-Watch; Western Pacific Manual for
Community (citizen) Monitoring of Seagrass Habitat. QFS, NFC, Cairns. 43p.
McKenzie, L.J. 2003. Draft guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in the
western Pacific (QFS, NFC, Cairns) 43pp.
Moran, P. J. and De'ath. 1992. Suitability of the manta tow method for estimating the relative
and absolute abundance of crown of thorn starfish and corals. Australian Journal of Marine
and Freshwater Research, 43:357-378.
Muttaqin, E, R.L, Ardiwijaya, S. Pardede, F. Setiawan, A.M. Siregar. 2011. Laporan Teknis -
Survei Pemutihan Karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh – Propinsi NAD. WCS Marine
Program Indonesia. Bogor, Indonesia. Tidak dipublikasikan
Reckhow K. H. dan W. W. Hicks. 1997. Biological Criteria: Technical Guidance for Survey
Design and Statistical Evaluation of Biosurvey Data. US Environmental Protection
Agency. Washington.
Sugiarto, D. Siagian, l. Ti Sunaryanto, D. Soetomo. 2001, Teknik sampling, Gramedia pustaka
utama, Jakarta.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia, C. Rotinsulu. 2001. Panduan pemantauan terumbu karang berbasis
masyarakat dengan metode Manta Tow. Proyek Pesisir – CRMP Indonesia
Wibowo, J.T. 2006. Laporan Monitoring: Aspek Sosial Pengelolaan Taman Nasional
Karimunjawa, 2005. Wildlife Conservation Society-Marine Program Indonesia. Bogor.
Indonesia.
Wildlife Conservation Society-Marine Indonesian Program. 2005. Panduan Perancangan
Program Monitoring Untuk Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut. Bogor.
Wilson J.R. and Green A.L. 2009. Biological monitoring methods for assessing coral reef health
and management effectiveness of Marine Protected Areas in Indonesia. Version 1.0.
TNC Indonesia Marine Program Report 1/09. 44 pp.
84