Anda di halaman 1dari 8

1.

Diskusikanlah mengenai ancaman apa saja yang mungkin terjadi bagi pebisnis
ataupun konsumen yang melakukan transaksi lintas batas.

Ancaman yang mungkin terjadi bagi pebisnis ataupun konsumen adalah


sengketa bisnis, barang yang dibeli tidak sesuai keinginan. Setiap transaksi bisnis
berpotensi menimbulkan sengketa. Tidak semua platform digital menggunakan sistem
hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai pilihan hukum (choice
of law). Dalam konteks choice of law dan choice of forum, kewajiban konsumen
untuk berhati-hati terletak pada kesadaran konsumen untuk membaca dan
mempelajari segala implikasi ketentuan yang dimuat dalam terms & conditions suatu
platform. Pada prinsipnya terms & conditions itu tetaplah kontrak yang harus
dipatuhi, walaupun itu merupakan klausula baku yang ditetapkan platform dan
konsumen tidak menyadari. Itulah mengapa keberlakuan prinsip let the buyer beware
itu pengaruhnya besar sekali. Bila terjadi sengketa antar pembeli dari Indonesia
dengan penjual dari China misalnya yang menggunakan platform milik Singapura,
pilihan hukum dan tempat penyelesaian sengketa yang sudah ditentukan di awal tentu
akan sangat dibutuhkan saat enforcement contract. Contohya Shopee, Traveloka juga
menjadi salah satu platform yang banyak digunakan di Indonesia tapi menggunakan
choice of law Hukum Republik Singapura. Jika terjadi sengketa, maka choice of
forum yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah Singapore International
Arbitration Centre (SIAC) sesuai dengan aturan arbitrase SIAC yang berlaku ketika
itu. Mengingat penyelesaian sengketanya yang dilakukan di Singapura, maka pilihan
Bahasa dalam arbitrase juga ditentukan akan menggunakan Bahasa Inggris.

2. Diskusikanlah apakah BANI dapat menyelesaikan sengketa lintas batas.

BANI dapat menyelesaikan sengketa lintas batas karena eksekusi atau pelaksanaan
putusan arbitrase dapat melewati lintas batas negara (internasional). Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase. Arbitrase memang bisa dilaksanakan lintas negara.
Namun, bila tempat pelaksanaan putusan arbitrase adalah negara yang tidak/belum
bergabung dalam New York Convention 1958, maka putusan dapat ditolak sekalipun
tidak menentang kesusilaan dan ketertiban umum di negara tersebut, dan telah
memenuhi syarat lainnya sekalipun sehingga keputusan sulit untuk dilaksanakan.
Di sisi lain, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Pasal 66 menyebutkan bahwa suatu
putusan arbitrase Internasional hanya dapat diakui dan dilakukan pada wilayah hukum
Republik Indonesia jika memenuhi syarat-syarat, yaitu putusan arbitrase internasional
hanya bisa dilakukan di Indonesia dengan tidak bertentangan pada ketertiban umum
dan bisa dijalankan setelah mendapat eksekutor dari pihak ketua Pengadilan Negeri.
Namun, Kondisi yang dihadapi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa lintas batas
terutama dalam bisnis internasional saat ini semakin kompleks karena beragam bentuk
model bisnis dan transaksi bisnis yang ada juga semakin kompleks. Contohnya, dalam
sebuah transaksi bisnis internasional masa kini telah melibatkan sistem hukum yang
beragam dimana masing-masing pihak tunduk atas asas nasionalitas. Pada saat yang
sama, dalam perkembangannya masing-masing negara mempunyai pengaturan sangat
berbeda terkait transaksi bisnis yang dilakukan warga negaranya.

3. Apakah kalian setuju UU 30 tahun 1999 perlu direvisi sesuai permintaan dari BANI?

Setuju, karena seperti yang dikatakan oleh Husseyn Umar ketua BANI, jika UU arbitrase
Indonesia sama dengan UU arbitrase negara lain maka akan banyak via-via asing
menanamkan senjatanya di Indonesia, tidak di Singapura lagi karena prinsip-prinsip UU
Arbitrase Indonesia akan sama dengan negara lain. UU Nomor 30 tahun 1999 mengenai
arbitrase menunjukkan bahwa dengan status pengaturan sekarang secara teknis yuridis
formal, setiap putusan arbitrase yang dibuat di dalam wilayah Indonesia, sedikit banyak akan
kesulitan untuk mendapatkan eksekusi atau pelaksanaan putusannya di luar negeri.

Pahami Choice of Law dan Choice of Forum Saat Melakukan Transaksi Lintas Batas

Tidak semua layanan bisnis daring menggunakan hukum Indonesia. Jangan asal klik tombol
‘setuju’.

Hamalatul Qur’ani

Ilustrasi penyelesaian sengketa. Ilustrator: HGWBERITA TERKAIT


Putusan Pengadilan Tinggi Den Haag, Pedoman Perjanjian Internasional Oleh: Albert
Marsman & Rahmat SS Soemadipradja*)

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase Oleh: Junaedy
Ganie*)

Menakar Potensi Gugatan Internasional Terhadap Cina Akibat Covid-19

Kenali Prinsip Sic Utere Sebelum Menuntut Tanggung Jawab Negara Asal Covid-19

Platform digital sudah banyak digunakan warga masyarakat untuk melakukan transaksi. Jual
beli barang atau transaksi secara daring bukan sesuatu yang baru, karena sudah luas
digunakan, termasuk transaksi lintas batas (cross-border transaction). Penggunaan transaksi
secara daring diyakini semakin banyak digunakan pada saat ada pembatasan lalu lintas
manusia di saat pandemi Covid-19.

Itu sebabnya penting mengingatkan kembali konsumen untuk membaca dan memahami
klausula-klausula transaksi yang umumnya sudah dibakukan. Jangan sampai klausula baru
dibaca setelah terjadi sengketa. Ingat bahwa tidak semua platform digital menggunakan
sistem hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai pilihan hukum (choice
of law). Forum penyelesaian sengketa (choice of forum) pun belum tentu menggunakan
pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR) yang ada di Indonesia.

Misalnya, transaksi melalui Shopee. Dalam klausula yang diakses hukumonline, tertulis jelas
bahwa hukum yang mengatur adalah Hukum Republik Singapura. Konvensi PBB tentang
Kontrak untuk Penjualan Barang Internasional dan Undang-Undang Keseragaman Transasksi
Informasi Komputer secara tegas dinafikan dalam kontrak Shopee. Bahkan kalau terjadi
sengketa, maka choice of forum yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah Singapore
International Arbitration Centre (SIAC) sesuai dengan aturan arbitrase SIAC yang berlaku
ketika itu. Mengingat penyelesaian sengketanya yang dilakukan di Singapura, maka pilihan
Bahasa dalam arbitrase juga ditentukan akan menggunakan Bahasa Inggris.

Kendati choice of law yang digunakan adalah Hukum Singapura, Akan tetapi ketentuan
ekspor-impor dan perpajakan dalam transaksi lintas batas (cross-border transaction) tetap
tunduk pada hukum yang berlaku di negara setempat. Poin 17.5 terms & conditions Shopee
menegaskan hal itu. Untuk itu, beban pemahaman seluruh batasan terkait ekspor-impor yang
berlaku di negara tujuan dibebankan kepada pengguna layanan Shopee. Masih dalam poin
yang sama, Shopee disebutkan tidak akan menanggung segala risiko dan kewajiban apapun
terkait impor dan ekspor produk tersebut ke negara Republik Indonesia.

Poin 19.3 terms & conditions Shopee juga memuat klausula baku yang mengharuskan
penjual untuk memahami, menyetujui dan mengizinkan Shopee untuk menampilkan harga
barang yang telah termasuk jumlah pajak yang dibebankan untuk barang tersebut sesuai
hukum yang berlaku di Republik Indonesia. (Baca: Expedited Procedures dan Early
Dismissal, Solusi untuk Sengketa Arbitrase Internasional di Masa Covid-19)

Selain Shopee, Traveloka juga menjadi salah satu platform yang banyak digunakan di
Indonesia tapi menggunakan choice of law Hukum Republik Singapura. Dalam jangka waktu
60 semenjak perselisihan timbul, maka langkah pertama yang harus dilakukan para pihak
yang terikat dengan terms & conditions dari Traveloka adalah membahas persoalan dengan
itikad baik serta mengutamakan terjadinya perdamaian. Bila perdaiaman tak kunjung
didapatkan dalam 60 hari, maka Traveloka menunjuk Singapore mediation Centre (SMC)
sesuai dengan prosedur mediasi yang berlaku di SMC. Hanya saja. Bila perselisihan masih
juga tak bisa diselesaikan di SMC, Traveloka tak menggunakan jalur arbitrase, melainkan
menunjuk yurisdiksi ekslusif dari Pengadilan Republik Singapura untuk menyelesaikan
sengketa secara litigasi.
Adapun platform Bukalapak yang juga banyak digunakan di Indonesia mengatur bahwa
hukum yang berlaku saat terjadinya sengketa adalah Hukum Republik Indonesia dengan
pilihan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Secara
tegas, Bukalapak juga menuangkan ketentuan bahwa setiap persoalan terkait informasi,
transaksi dan penyelenggaraan sistem elektronik serta ketentuan perlindungan data pribadi
juga tunduk pada segala peraturan yang diberlakukan oleh regulator di Indonesia termasuk
peraturan pelaksana maupun perubahan-perubahan terhadap itu.

Mayoritas platform digital yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia juga merujuk
Hukum Indonesia sebagai pilihan hukum. Sebut saja Zilingo, JD.ID, Elevenia, Lazada,
Zalora, Blibli.com, mataharimall dan tiket.com. Untuk Lazada dan mataharimall
menyebutkan khusus penyelesaian sengketa dilakukan dibawah yurisdiksi Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Sementara Zilingo, JD.ID, Elevenia, Zalora, Blibli.com dan Mataharimal
tidak menentukan wilayah pengadilan secara spesifik, hanya menyebutkan sesuai yurisdiksi
Pengadilan yang berwenang di Indonesia.

Pandangan Ahli

Bila hukum yang dipilih platform bukanlah merujuk pada hukum Indonesia sementara
aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia, apakah hal ini dibenarkan secara hukum? Adakah
batasan tertentu yang harus diperhatikan penyelenggara platform? Dosen Hukum Perdata
FHUI, Abdul Salam mengatakan sah saja jika suatu platform menggunakan pilihan hukum
negara lain. Pasal 18 ayat (2) dan (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 206) jelas memberi ruang kepada
para pihak untuk memilih hukum yang berlaku atas transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya.
“Pasal itu memungkinkan adanya pilihan hukum dan pilihan forum, jadi para pihak secara
sukarela boleh memilih untuk tunduk pada hukum negara mana dan menggunakan forum
penyelesaian sengketa apa dan dimana,” jelasnya.

Hal senada, kata Abdul, juga diatur dalam Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Di situ, penyelesaian sengketa konsumen memang dibenarkan
untuk dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Cuma, pilihan forum penyelesaian
sengketa yang dimaksudkan ini tidak menghilangkan tanggung jawab pidana para pihak
sebagaimana diatur dalam UU. Kesimpulannya, tak ada larangan bagi pelaku usaha untuk
memilih hukum negara mana dan mekanisme penyelesaian sengketa apa yang disepakati
dalam kontrak. “Kalau ada pidananya, baru pengadilan Indonesia yang berwenang karena
sudah masuk ke ranah hukum publik,” jelasnya.

Dijelaskan Abdul Salam, dalam hukum perlindungan konsumen dikenal sebuah doktrin let
the buyer beware. Artinya, dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk
berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of law dan
choice of forum, kewajiban konsumen untuk berhati-hati terletak pada kesadaran konsumen
untuk membaca dan mempelajari segala implikasi ketentuan yang dimuat dalam terms &
conditions suatu platform. Jadi, tak asal klik kursor setuju.

Termasuk pula mempertimbangkan jika pilihan hukum bukan hukum Indonesia atau jika
penyelesaian sengketa di suatu platform diatur secara baku mesti dilakukan di luar negeri.
Jika tidak sepakat, alasan tidak membaca terms & conditions tidak akan dapat diterima.
Meskipun berupa klausula baku, secara tidak langsung konsumen sudah dinyatakan tunduk
atas terms & conditions yang sudah dibuat pihak platform. (Baca: 5 Langkah Mitigasi Risiko
Sebelum Dalilkan Force Majeure di Masa Covid-19)
“Pada prinsipnya terms & conditions itu tetaplah kontrak yang harus dipatuhi, walaupun itu
merupakan klausula baku yang ditetapkan platform dan konsumen tidak menyadari. Itulah
mengapa keberlakuan prinsip let the buyer beware itu pengaruhnya besar sekali,” jelasnya.

Pihak platform sendiri memang diberi kebebasan dalam menyusun terms & conditions sesuai
asas kebebasan berkontrak sekalipun bentuknya memang kontrak baku, dan itu tidak
dilarang. Kontrak baku baru dikatakan dilarang oleh hukum negara jika pengaturannya
mengalihkan tanggung jawab dari platform kepada konsumen. Sejauh terkait choice of law
dan choice of forum, diberi kebebasan bagi platform untuk menentukan dengan
mempertimbangkan kondisi transaksi yang melibatkan lebih dari satu atau dua yurisdiksi
(lihat Pasal 18 UU ITE).

Dapat dibayangkan bila terjadi sengketa antar pembeli dari Indonesia dengan penjual dari
China misalnya yang menggunakan platform milik Singapura, pilihan hukum dan tempat
penyelesaian sengketa yang sudah ditentukan di awal tentu akan sangat dibutuhkan saat
enforcement contract. “Jadi memang sah saja bila platform asal Singapura menggunakan
hukum Singapura, dengan choice of forum SIAC. Baru aneh jika platform Indonesia
menggunakan hukum luar negeri, akan tetapi ini tetap saja juga tidak ada larangan,” jelasnya.

Kendati demikian, sebelum masuk ke opsi penyelesaian sengketa, Abdul tak menampik
bahwa semangat UU Perlindungan konsumen tetap menginginkan adanya penyelesaian
secara damai di antara para pihak. Ada BPSK yang bisa menengahi sekaligus sebagai fungsi
negara untuk melindungi konsumen.

Akan berbeda jika dalam suatu transaksi lintas batas, terms & conditions-nyatidak mengatur
pilihan hukum atau pilihan penyelesaian sengketa, atau dalam kasus ekstremnya jika masih
ada platform yang tidak mencantumkan terms & conditions sejak awal, maka dalam hal ini
hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional (HPI). Dalam HPI, pilihan hukum
yang digunakan nantinya bisa menggunakan mekanisme lex loci contractus (dimana kontrak
itu berada) atau lex rei sitae (dimana barang berada).

“Jadi prinsip dalam hukum perdata nasional ini bisa dipakai, tapi hanya bisa diterapkan dalam
suatu hubungan hukum dimana para pihak belum menentukan pilihan hukum. Prinsipnya,
sebagai konsumen memang tetap harus berhati-hati, let the buyer beware adalah kewajiban
yang sudah diamanatkan dan dipakai oleh banyak negara,” jelasnya.

Senada, peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad
Faiz Azis berpendapat bahwa setiap transaksi bisnis berpotensi menimbulkan sengketa.
Misalnya, jika barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanan. Dengan memahami sejak
awal potensi sengketa itu, masyarakat konsumen dapat mengetahui implikasinya ke depan.
“Masyarakat penting untuk memahami soal pilihan hukum dan pilihan forum ini karena
bagaimanapun setiap transaksi mempunyai potensi sengketa, terlebih lagi yang sifatnya lintas
batas,” jelasnya kepada hukumonline.

Ditambahkan Azis, mengetahui pilihan hukum dan pilihan forum sejak awal masyarakat
dapat mengetahui transaksi mereka memakai hukum apa dan kemana mereka harus
mengajukan komplain jika akhirnya menjadi gugatan.

Anda mungkin juga menyukai