Anda di halaman 1dari 2

Studi Kasus: Strategi SCM

Sony telah lama menempatkan diri secara tegas dalam persaingan pasar pada strategi product
leadership. Perusahaan ini telah berhasil memenangkan hati pelanggan dengan sederetan
inovasi produk-produknya termasuk radio transistor, tape recorder, beta-max video recorder, CD,
Walkman, mini disc, DVD dan yang terakhir adalah camcorder dan kamera digital. Selama tahun
80-an dan 90-an, Sony mengeluarkan 572 produk inovatif. Lebih tinggi dibandingkan dengan
keseluruhan produk baru yang dikeluarkan oleh Aiwa, Toshiba, Sanyo dan Matsushita.

Mengelola produk yang inovatif seperti camcorder dan kamera digital bukanlah hal yang mudah.
Beberapa tahun yang lalu, life cycle dua produk ini berkisar antara 10-12 bulan, namun saat ini
sudah drop sekitar 2-3 bulan saja. Life cycle yang pendek membuat prediksi permintaan terhadap
produk-produk ini sulit untuk dilakukan. Pada awal generasi kamera digital tahun 90-an awal,
harga produk tersebut sangat mahal, sehingga penurunan harga menjadi faktor penentu
persaingan yang sangat penting. Kebijakan Sony saat itu adalah memilih Cina sebagai tempat
produksi untuk menekan ongkos produksi. Perkembangan teknologi tahun 90-an memungkinkan
Sony untuk mereduksi ongkos produksi kamera digital secara signifikan. Ketika ongkos produksi
sudah bisa ditekan akibat kemajuan teknologi, ditambah dengan banyaknya pemain baru yang
masuk ke pasar produk ini, Sony melihat ada dorongan untuk mengambil pangsa pasar yang
mengedepankan inovasi, membuat kamera digital sebagai fashion product kelas tinggi. Produsen
camcorder dan kamera digital yang lain, seperti Olympus dan Canon tetap berproduksi di Cina.
Strategi mereka bukan pada kecepatan meluncurkan produk baru, tetapi pada kemampuan
melakukan imitasi produk-produknya Sony dengan harga yang lebih murah.

Yoshihiro Taya, seorang senior executive Sony mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan
produk inovatif yang memiliki value added tinggi adalah cycle time yang pendek. Cycle time yang
dimaksud adalah siklus antara order yang diterima dari pelanggan sampai produk akhir dikirim
ke pelanggan tersebut. Di dalamnya termasuk kegiatan perancangan, manufaktur, logistic dan
pelayanan pelanggan. Fleksibilitas yang tinggi dan kecepatan merespon pasar mengakibatkan
pengaruh ketidakpastian pasar bisa direduksi oleh perusahaan. Dengan product life cycle yang
hanya 2-3 bulan, tentu keterlambatan pengiriman seminggu saja mengakibatkan opportunity loss
yang sangat tinggi. Sehingga, perusahaan harus mencari celah yang lain karena penurunan cycle
time tidak terlalu banyak bisa dilakukan pada pengiriman.

Melihat tidak ada peluang yang bisa diperbaiki secara signifikan kalau Sony tetap beroperasi di
Cina, Sony memutuskan untuk kembali berdiri di Jepang. Harga memang bisa lebih tinggi kalau
diproduksi di Jepang, tetapi kecepatan merespon pasarnya akan jauh lebih pendek. Alasan-
alasan tersebutlah yang mendorong Sony mereview kembali keberadaannya di Cina dan
akhirnya diputuskan kembali ke Jepang untuk kegiatan produksi camcorder dan kamera
digitalnya.

Yoshihito Taya mengatakan, “Kita memproduksi komoditas di Cina karena bisa mendapatkan
material local. Namun untuk camcorder kita tidak bisa membeli material local. Selama ini kita
mengirim material camcorder dari Jepang untuk dirakit di Cina yang ongkos tenaga kerjanya
murah. Sementara kami juga memiliki pusat R&D di Jepang untuk mengembangkan produk-
produk baru. Bagi kami, waktu adalah sesuatu yang sangat penting. Untuk mempercepat
perancangan produk baru, kami mempekerjakan engineer perancang produk 2 shift. Kami
berupaya sedapat mungkin agar proses dari desain ke engineering ke manufacturing sampai ke
marketing secepat mungkin. Mempercepat proses-proses ini lebih mudah dilakukan di Jepang.”

Anda mungkin juga menyukai