Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TEORI DAN CONTOH KASUS MENGENAI

PERILAKU INDIVIDU DALAM ORGANISASI


MATA KULIAH PERILAKU ORGANISASI

Dibuat untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Perilaku Organisasi

OLEH:

Indah Fitriany Purwaningtyas (01012622024017)

Dosen Pengajar: Prof. Dr. Hj. Badia Perizade, MBA.

JURUSAN MAGISTER MANAGEMENT


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

1. Teori Kebutuhan McClelland ................................................................. 1

Contoh Kasus Teori Kebutuhan McClelland ........................................... 2

2. Teori ERG Alderfer ................................................................................ 4

Contoh Kasus Teori ERG Alderfer ......................................................... 4

3. Teori Dua Faktor Herzberg .................................................................... 6

Contoh Kasus Teori Dua Faktor Herzberg .............................................. 7

DAFTAR PUSTAKA

ii
1. Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikembangkan oleh David McClelland
dan rekan-rekannya. Teori ini melihat pada tiga kebutuhan:
 Kebutuhan akan pencapaian (nAch) adalah dorongan untuk
berprestasi, untuk pencapaian yang berhubungan dengan
serangkaian standar.
 Kebutuhan akan kekuasaan (nPow) adalah kebutuhan untuk
membuat orang lain berperilaku dengan cara yang tidak akan
dilakukan tanpa dirinya.
 Kebutuhan akan afiliasi (nAff) adalah keinginan untuk hubungan
yang penuh persahabatan dan interpersonal yang dekat.
McClelland dan para peneliti berikutnya memusatkan banyak perhatiannya
pada nAch. Orang yang berprestasi tinggi akan bekerja dengan sebaik-
baiknya ketika mereka mempersepsikan probabilitas keberhasilan mereka
sebesar 0,5 yaitu dengan peluang 50-50. Mereka tidak menyukai pertaruhan
dengan peluang kegagalan yang tinggi karena mereka tidak mencapai
kepuasan dari keberhasilan yang datang melalui kesempatan murni.
Demikian halnya, mereka tidak menyukai peluang kegagalan yang
rendah (probabilitas kesuksesan tinggi) karena disana tidak terdapat
tantangan bagi keahlian mereka. McClelland menyatakan bahwa ketika
muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan
tersebut akan dapat memotivasi dirinya untuk menggunakan perilaku yang
dapat mendatangkan kepuasan pada dirinya.
Berdasarkan hasil penelitian, McClelland mengembangkan
serangkaian faktor deskriptif yang menggambarkan seseorang dengan
kebutuhan yang tinggi akan pencapaian. Hal tersebut adalah:
1. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah.
2. Cenderung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan
cenderung mengambil resiko yang telah diperhitungkan.
3. Menginginkan umpan balik atas kinerja.

1
Tema utama dari teori McClelland menyatakan bahwa kebutuhan ini
dipelajari melalui penyesuaian dengan lingkungan seseorang. Perilaku yang
mendapatkan penghargaan cenderung lebih sering ditemukan. Manajer yang
dihargai atas perilaku pencapaiannya belajar mengambil resiko yang moderat
dan belajar untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi.

Contoh Kasus
Jika membahas poin pertama dari teori McClelland yang
menyatakan jika perilaku individu dipengaruhi oleh kebutuhan akan
pencapaian (nAch). Saya memiliki rekan kerja dikantor yang bernama L. L
bekerja dengan semangat dan selalu berusaha untuk mengupgrade diri baik
dengan pelatihan-pelatihan yang diberikan perusahaan ataupun belajar
secara mandi melalui internet. L selalu memberikan yang terbaik pada setiap
pekerjaannya dan tidak mau mengerjakan sesuatu dengan biasa saja.
Semuanya harus sempurna, karena beliau telah terlatih bekerja secara
professional dan cenderung perfeksionis. Beliau juga sangat menyukai
tantangan baru dalam pekerjaan, sesuatu yang lebih sulit akan lebih
menantang untuk dihadapi. Beliau juga cenderung bosan juga tidak
melakukan aktivitas pekerjaan yang berarti.
Hal ini sangat relevan dengan teori McClelland poin yang pertama.
Ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat pada diri seseorang, maka
kebutuhan tersebut akan memotivasi dirinya untuk melakukan sesuatu yang
dapat mendatangkan kepuasan. Kebutuhan yang dirasakan oleh L adalah
kebutuhan akan pencapaian yaitu dorongan untuk berprestasi secara terus
menerus. Memiliki kebutuhan akan pencapaian yang tinggi akan mendorong
seorang individu untuk menetapkan tujuan yang menantang dan bekerja
keras demi tercapainya tujuan tersebut.
Jika membahasa poin kedua dari teori McClelland yang menyatakan
jika perilaku individu dipengaruhi oleh kebutuhan akan kekuasaan (nPow).
Saya memiliki rekan kerja sekaligus team leader dalam divisi saya, sebut
saja namanya adalah S. S sangat pekerja keras dan ambisius demi mencapai
target setiap bulannya. Beliau selalu berkomitmen untuk menjadikan divisi

2
kami menjadi yang terbaik dan memiliki pencapaian tertinggi dibandingkan
divisi lainnya. Sehingga divisi kami merupakan tulang punggung
perusahaan. S bekerja tanpa lelah, bahkan sangat sering melakukan overtime
atau lembur. Tak segan juga untuk tidak menyisihkan waktu untuk
beristirahat bagi dirinya sendiri. Beliau juga selalu mempertahankan citra
sebagai pemimpin terbaik dalam sistem manajerial, karena kinerjanya yang
sangat baik, beliau digadang-gadang akan menjadi calon kandidat terkuat
untuk pemilihan kepala cabang di perusahaan saya.
Hal ini sangat relevan terhadap teori McClelland poin yang kedua.
Ketika pekerjaan memiliki derajat tanggungjawab pribadi yang tinggi dan
umpan balik serta derajat resiko menengah, individu akan semakin
termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Para manajer terbaik juga
memiliki kebutuhan yang tinggi akan kekuasan dan rendah dalam kebutuhan
afiliasi. Pada kenyataannya, motif kekuasaan yang tinggi menjadi
persyaratan bagi efektivitas manajerial.
Jika membahas poin ketiga dari teori McClelland yang menyatakan
jika perilaku individu dipengaruhi oleh kebutuhan afiliasi (nAff). Saya
memiliki rekan kerja di kantor bernama Y. Y sangat bersahabat dan mudah
bergaul dengan semua orang, bahkan dengan karyawan baru dikantor.
Namun karena sifatnya yang terlalu sering mengobrol terhadap rekan
lainnya, terkadang komunikasi yang terjalin cenderung mengganggu
aktivitas kantor dan pegawai lainnya. Sehingga kinerja Y sering menurun
dan kurang pandai untuk dapat mengatur waktu menyelesaikan kewajiban
tugas yang beliau milikki, sehingga pekerjaannya sering terbengkalai.
Hal ini sangat relevan terhadap teori McClelland poin yang ketiga.
Kebutuhan akan afiliasi merefleksikan keinginan untuk berinteraksi secara
sosial dengan orang. Seseorang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi
menempatkan kualitas dari hubungan pribadi sebagai hal yang paling
penting. Oleh karena itu, hubungan sosial lebih didahulukan daripada
menyelesaikan tugas. Hal tersebut tentunya kurang baik jika dilakukan
secara berlebihan karena dapat merugikan dirinya sendiri.

3
2. Teori ERG Alderfer
Teori ERG dikemukakan oleh Alderfer. Alderfer sepakat dengan
Maslow bahwa kebutuhan individu diatur dalam suatu hirarki. Akan tetapi,
hirarki kebutuhan yang Alderfer ajukan hanya melibatkan tiga rangkaian
kebutuhan, antara lain:
1. Eksistensi (existence). Kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor
seperti makanan, udara, imbalan, dan kondisi kerja.
2. Hubungan (relatedness). Kebutuhan yang dipuaskan oleh hubungan sosial
dan interpersonal yang berarti.
3. Pertumbuhan (growth). Kebutuhan yang terpuaskan jika individu
membuat kontribusi yang produktif atau kreatif.
Tiga kebutuhan Alderfer-eksistensi (existence, E), hubungan (relatedness,
R), dan juga pertumbuhan (growth, G) atau disingkat menjadi ERG sangat
berhubungan dengan teori milik Maslow dalam hal kebutuhan eksistensi
yang serupa dengan kategori fisiologis dan keselamatan Maslow, kebutuhan
hubungan serupa dengan kategori kebersamaan, sosial, dan cinta, serta
kebutuhan pertumbuhan serupa dengan kategori harga diri dan aktualisasi
diri.
Penjelasan ERG Alderfer mengenai motivasi memberikan teori yang
menarik bagi manajer mengenai perilaku. Jika kebutuhan bawahan dengan
urutan yang lebih tinggi (misalnya pertumbuhan) dihalangi, mungkin karena
kebijakan perusahaan atau kurangnya sumber daya, ada baiknya apabila
manajer berusaha mengarahkan ulang usaha bawahannya untuk menuju
kebutuhan hubungan atau eksistensi. Teori ERG mengimplikasikan bahwa
individu termotivasi untuk terlibat dalam perilaku memuaskan salah satu dari
tiga rangkaian kebutuhan.

Contoh Kasus:
Jika membahas mengenai Tiga kebutuhan Alderfer-eksistensi
(existence, E), hubungan (relatedness, R), dan juga pertumbuhan (growth,
G). Saya memiliki contoh kasus yaitu pada rekan kerja saya yang bisa disebut
dengan G. G merasa sangat nyaman bekerja di perusahaan saya dikarenakan

4
dia memperoleh semua komponen yang diberikan oleh perusahaan seperti
yang dikemukakan pada teori ini. G diberikan imbalan berupa gaji yang sama
dengan rekan lainnya, walaupun tingkat pendidikan G tidak setinggi rekan-
rekan lainnya, tetapi perusahaan tetap menyamaratakan gaji G dengan yang
lainnya berdasarkan performa pegawai masing-masing. Hal ini sangat
relavan dengan teori ERG Alderfer poin pertama, dimana G merasa
kebutuhan eksistensinya telah terpenuhi oleh perusahaan sebagai seorang
pegawai.
Selain itu, G juga merasa memiliki hubungan sosial dengan rekan
kerja yang sangat baik. G dapat membaur dengan cepat dikarenakan
lingkungan kerja yang sangat ramah dan welcome terhadap rekan kerja
lainnya. Selain itu, lingkungan kerja di kantor kami juga sangat hangat dan
saling menghargai. Oleh sebab itu, G merasa nyaman dan aman untuk
berinteraksi dan bekerja sama dengan rekan kerja lainnya. Hal ini sangat
relavan dengan teori ERG Alderfer poin kedua, dimana kebutuhan hubungan
sosial dan interpersonal beliau dengan rekan kerja lainnya terpenuhi.
Sehingga akan mempengaruhi perilaku individunya dalam bekerja
diperusahaan menjadi lebih bersemangat dikarenakan lingkungan kerja yang
mendukung dan juga membuat beliau merasa aman.
Dan yang terakhir, G juga merasa sangat diapresiasi atas kontribusi
yang telah beliau lakukan. Rasa bangga yang dirasakan oleh G membuat
dirinya semakin bersemangat untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik
lagi dari sebelumnya. Tentunya ini sangat relevan dengan poin ketiga dari
teori ERG Alderfer yang menyatakan bahwa perilaku individu dalam
organisasi dipengaruhi oleh kebutuhan yang terpuaskan jika individu
membuat kontribusi yang produktif atau kreatif. Semakin individu tersebut
merasa dihargai dan diapresiasi, maka individu akan merasa senang dan
tentunya dapat meningkatkan mood bekerja menjadi lebih giat lagi. Kondisi
psikologis seperti ini sangat berpengaruh dalam kinerja pegawai di suatu
perusahaan.

5
3. Teori Dua-Faktor Herzberg
Herzberg mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori
motivasi dua faktor. Kedua faktor tersebut disebut dengan dissatisfier-
satisfier, motivator hygiene, atau faktor ekstrinsik-intrinsik, bergantung pada
pembahasan dalam teori. Penelitian awal yang memancing munculnya teori
ini memberikan dua kesimpulan spesifik. Pertama, adanya serangkaian
kondisi ekstrinsik, konteks pekerjaan, yang menimbulkan ketidakpuasan
antarkaryawan ketika kondisi tersebut tidak ada. Jika kondisi tersebut ada,
kondisi tersebut tidak selalu memotivasi karyawan.
Kondisi ini disebut juga dengan dissatisfier atau faktor hygiene,
karena faktor-faktor itu diperlukan untuk mempertahankan, setidaknya, suatu
tingkat dari “tidak adanya ketidakpuasan.” Faktor-faktor tersebut
diantaranya:
1. Gaji
2. Keamanan pekerjaan
3. Kondisi kerja
4. Status
5. Prosedur perusahaan
6. Kualitas pengawas teknis
7. Kualitas hubungan interpersonal antar rekan kerja, dengan atasan,
dan dengan bawahan.
Kedua, serangkaian kondisi intrinsik-isi pekerjaan-ketika ada dalam
pekerjaan, dapat membentuk motivasi yang kuat hingga dapat menghasilkan
kinerja pekerjaan yang baik. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka pekerjaan
tidak terbukti memuaskan. Faktor-faktor dalam rangkaian ini disebut
satisfier atau motivator dan beberapa diantaranya adalah:
1. Pencapaian
2. Pengakuan
3. Tanggungjawab
4. Kemajuan
5. Pekerjaan itu sendiri

6
6. Kemungkinan untuk tumbuh

Contoh Kasus:
Jika membahasa mengenai teori dua faktor dari Herzberg, saya
memiliki suatu contoh kasus yang sangat relevan dengan teori tersebut. Saya
memiliki rekan kerja yang bisa disebut dengan T. T adalah seorang pegawai
yang tergolong masih muda dan masih sangat bersemangat bekerja. Beliau
sangat pandai, rajin, cekatan, kreatif, dan merupakan seorang yang sangat
pekerja keras. Beliau juga mudah bergaul dengan rekan kerjanya dan mudah
untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru. Suatu ketika beliau seperti
melihat suatu kesenjangan yang ada di kantor tersebut.
Beliau merasa sudah sangat maksimal memberikan kontribusi untuk
perusahaan, hal tersebut diindikasikan dengan performa kerjanya yang sangat
baik dan juga beliau sering melakukan overtime untuk membantu anggota
timnya yang belum selesai mengerjakan pekerjaan. Tetapi beliau merasa
seperti stuck dan tidak berkembang. Baik secara jabatan ataupun gaji.
Semakin hari, T merasa bahwa kondisi ini tidak adil untuknya, karena
beliau selalu membantu menyelesaikan pekerjaan rekan kerjanya yang belum
selesai, padahal rekan kerjanya tersebut tidak menyelesaikan tugas karena
ketelodoran mereka sendiri, seperti bersantai dan mengambil waktu istirahat
yang terlalu lama. Alih-alih tugas yang dilakukan adalah tugas bersama secara
tim, walaupun sudah dibagi pembagiaan jobdesc untuk masing-masing
anggota. T merasa harus tetap mengerjakan tugas yang sebenarnya bukan
tanggungjawab dirinya lagi. Semakin hari T semakin tertekan, terlebih lagi T
yang tidak kunjung mendapatkan kenaikan gaji ataupun jabatan. Yang atasan
berikan hanya apresiasi berupa pujian saja.
Hal ini tentunya berdampak sangat buruk terhadap psikologis T, T
yang awalnya sangat rajin sekarang bertindak acuh tak acuh dan tak segan
untuk menampilkan mimik wajah kesal kepada rekannya. T merasa kerja
keras yang beliau lakukan selama ini tidak ada hasilnya sama sekali untuk
jenjang karirnya dalam perusahaan.

7
Hal ini tentunya sangat relevan dengan teori dua faktor dari Herzberg
yaitu kondisi dissatisfier atau faktor hygiene, atau disebut juga dengan faktor
ketidakpuasan. T merasa tidak adanya kepuasan terhadap gaji, status,
keamanan pekerjaan, kondisi kerja, serta prosedur perusahaan yang
menimpa dirinya. Beban kerja yang diberikan kepada T sangat tidak sesuai
dengan gaji yang sewajarnya, terlebih dengan potensi yang beliau milikki.
Selain itu, T juga merasa bahwa dengan kontribusinya yang sudah optimal
untuk perusahaan selama ini, dapat menaikkan status jabatannya menjadi
lebih baik lagi, yang nyatanya tidak ada perubahan.
Keamanan pada saat bekerja juga terganggu, karena T merasa
terbebani dengan tanggungjawab rekannya yang harus beliau ikut pikul,
padahal hal tersebut dikarenakan keteledoran rekannya yang dilakukan
dengan sengaja. Perusahaan juga tidak memberikan prosedur bekerja dari
perusahaan secara tegas dan membatasi masing-masing jobdesc para
karyawan agar tidak saling tumpang tindih.
Kedua, kondisi ini juga sangat berhubugan dengan kondisi intrinsik
yang dapat membentuk motivasi pada saat melakukan pekerjaan pada teori
dua faktor Herzberg yang disebut dengan satisfier atau motivator. T merasa
tidak adanya kemungkinan untuk mengembangkan karir diperusahaan dan
tidak adanya jalan yang diberikan manajerial perusahaan untuk membuat
dirinya maju. Seorang karyawan yang tidak digaji dengan baik, memiliki
keamanan kerja yang rendah, memiliki hubungan yang buruk dengan rekan
kerja (dalam kasus ini terlebih sesame anggota tim), tidak akan termotivasi.
Motivasi ini secara langsung berkaitan dengan sifat pekerjaan atau
tugas itu sendiri. Jika psikologis karyawan terganggu dan merasa tertekan,
tentunya kinerja dan produktifitas karyawan tersebut akan menurun. Sehingga
dapat dikatakan bahwa jika salah satu dari aspek-aspek yang berada dalam
teori ini tidak terpenuhi, maka akan mempengaruhi perilaku individu dalam
suatu perusahaan atau organisasi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ivanech, J. M, dkk. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Robbins, S. P. dan Judge, T. A. 2015. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai