Anda di halaman 1dari 11

Ngopi di Kelas Filsafat

Filsafat Eksistensialisme

Lecture Note 1
Kisno

Eksistensialisme Søren Kierkegaard

Kehidupan Awal

Berkebangsaan Denmark, orang menyebutnya seorang melankolis, agak pesimis, karena kisah
hidupnya agak tragis. Terlahir dari kelas bangsawan, kelas elit masyarakat, dan orang kaya,
bapaknya bernama Michael Kierkegaard. Hidupnya yang indah waktu kecil berubah menjadi
tragis sewaktu usianya beranjak remaja. Waktu kecilnya ia habiskan dengan sangat akrab dengan
bapaknya dan bapaknya adalah seorang yang sangat relijius namun bapaknya menyimpan
rahasia keluarga yang agak tragis, yang nantinya menjadi pemicu hancurnya kehidupan
Kierkegaard. Sekeluarga ada tujuh orang dan semuanya tergolong orang pintar dan cerdas,
namun bagi Kierkegaard kepintaran ini kemudian dianggap menjadi kutukan bagi keluarga
tersebut. Ketika Kierkegaard beranjak dewasa, ujian pertama datang ke keluarga yang bahagia itu.
Ibu dan saudara-saudara Kierkegaard meninggal dalam jangka waktu yang berdekatan sehingga
hanya menyisakan dua orang anak. Bapaknya kemudian stress luar biasa dan mengatakan jangan-
jangan ini adalah kutukan dari Tuhan, kita ini mungkin keluarga yang terkutuk, karena dulu saya
pernah melakukan dosa besar. Kierkegaard bertanya pada bapaknya dosa besar apa dan Michael
menjawab bahwa sebelum menikah dia pernah melakukan hubungan seksual dan bahkan setelah
menikah Michael pernah juga berselingkuh dengan pembantunya. Inilah yang kemudian
menyebabkan Kierkegaard galau luar biasa dan ia lari dari rumah dan hidupnya menjadi tidak
karuan. Ia kemudian menjadi pemabuk, pembuat onar, hidupnya terus berpindah-pindah, dan
masyarakat menilainya sebagai orang yang tidak beres sampai-sampai kemudian orang-orang di
Copenhagen tidak menginginkan nama anak mereka diberi Søren karena kuatir akan menjadi
seperti Søren Kierkegaard.

Titik balik Søren Kierkegaard adalah ketika gurunya meninggal dunia dan di sini ia mulai berpikir
tentang Tuhan yang semula ia orang yang urakan menjadi seseorang yang relijius. Pada saat yang
bersamaan pula bapaknya mengajak Søren Kierkegaard untuk rekonsiliasi kembali, karena ia
menganggap tidak baik antara anak dan bapak ada perselisihan. Tidak lama setelah rukun

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 1 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

kembali, bapaknya kemudian meninggal dunia, dan Søren Kierkegaard menuruti amanat dari
bapaknya untuk meneruskan kuliah di jurusan teologi.

Satu sosok lagi yang berpengaruh dalam hidupnya adalah pacarnya, Regina Olsen. Sama-sama
jatuh cinta, keluarga sudah mengizinkan, namun Søren Kierkegaard ragu karena kuatir apabila
menikah Regina akan susah karena punya suami seperti dia yang masa lalunya kelam. Proses
pertunangan sudah dilakukan, namun dibatalkan oleh Søren Kierkegaard dan di sinilah
masyarakat kembali menilai dia sebagai sosok yang urakan karena sudah mempermainkan cinta
putri orang lain. Søren Kierkegaard kemudian pindah dari Copenhagen ke Berlin, Jerman. Regina
kemudian menikah dengan laki-laki lain, dan mengetahui hal ini Søren Kierkegaard kemudian
jatuh kembali menjadi orang yang stress dan sakit-sakitan kemudian meninggal.

Menurut Jean Paul Sartre, Søren Kierkegaard adalah seorang filsuf eksistensialis teistik (percaya
bahwa Tuhan ada), beda dengan Friedrich Wilhelm Nietzsche yang atheis. Puncak pemikiran
Søren Kierkegaard adalah “Eksistensialisme Relijius”.

Søren Kierkegaard menghasilkan banyak karya namun uniknya dalam setiap tulisannya dia tidak
pernah menggunakan nama aslinya, melainkan nama samaran karena dia tidak ingin terkenal.
Søren Kierkegaard tidak pernah menikmati kejayaannya sebagi seorang filsuf besar karena ia
justru terkenal lewat pemikirannya setelah dia tiada.

Prinsip Eksistensial Søren Kierkegaard

1. That’s clear about what I am to do (Jelaslah tentang apa yang akan aku lakukan). Harus jelas,
tegas, apa pengaruhnya dalam hidupmu, apa maknanya dalam eksistensi dalam hidupmu.
Setiap apapun yang kamu lakukan harus ada maknanya dalam hidupmu. Kamu ikut kelas
filsafat ini untuk apa? Apa ada manfaatnya bagimu? Atau hanya sekadar ikut-ikutan? Apa
sekadar menghabiskan waktu? Kamu pacaran untuk apa? Apa sekadar ikut-ikutan karena
orang lain juga berpasangan?
Ciri ada kesadaran adalah kamu bisa memaknai, sedangkan ketidaksadaran adalah saat
kamu ditanya bingung dan tidak tahu. Bahkan makan saja pun bisa tidak sadar, kuliah pun
bisa tidak sadar. Tidak usah menghabiskan waktu dan energi untuk sesuatu yang tidak jelas
dan tidak bermakna.
2. A truth that is true for me is the idea that I am willing to live and die. (Kebenaran bagiku
adalah kebenaran yang aku berani mati-matian demi mempertahankan ide ini).
Siap hidup dan siap mati untuk mempertahankan kebenarannya atau untuk hidup aku harus
berdasarkan kebenaran ini, bila tidak itu hanya sekadar kumpulan pengetahuan di kepala
saja. Misal, menurut saya kuliah itu penting, pacaran nomor dua. Hal ini mungkin kebenaran
yang sejati bagimu, dan apabila diganggu gugat kamu bisa bertahan mati-matian karena
prinsip ini. Bahkan beragama pun harus benar-benar terlibat dalam hidupmu, jangan sekadar
teori, kalau masih hanya teori itu bukan kebenaran. Misal menurut agama jujur itu bagus,
kemudia ya jujurlah benar-benar dalam hidupmu karena kalau hanya paham tapi tidak
melakukan itu hanya setumpuk pengetahuan dan informasi saja.

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 2 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

3. One must first learn to know about oneself before knowing anything else. (Kenali dirimu
terlebih dahulu baru mendalami yang lainnya). Karena kamu itu hardwarenya, kamu itu
flash disknya, semua pengetahuan yang lain itu seperti data yang dimasukkan ke dalam flash
disk. Kalau flash disk dan hardwarenya tidak dikenali, semua data akan tidak tampil.
Dikenali pun kalau tidak diformat ya tidak akan bisa dibaca. Oleh karena itu kenali dulu
dirimu, seperti apa kamu, seperti apa modelmu. Karena bila tidak, kamu akan melakukan
sesuatu yang sia-sia. Bila kamu suka olahraga, data yang dimasukkan adalah seni maka
hardware akan tidak nyambung, akibatnya hanya menumpuk data tersebut dan tidak
operatif, jadi harus dibuang ke recycle bin dan itu hanya menambah kapasitas penumpukan
data yang tidak bermanfaat. Seperti kamu download buku, kalau lagi semangat semua buku
didownload tapi tidak pernah dibaca, akibatnya menumpuk, nah tidak ada gunanya lantas
mengapa capek-capek download? Jadi segala sesuatu harus kamu lakukan dengan
perhitungan bahwa kamu butuh itu, dan terlibat dalam hidupmu. Kuliah juga begitu, kalau
jurusannya tidak cocok mesti akan mati-matian menyelesaikan kuliah itu karena tidak
kompatibel, tidak nyambung, kamu sukanya kuliah seni malah kuliah matematika, akibatnya
jadi sulit, karena kamu tidak enjoy dan hal tersebut tidak terlibat dalam hidupmu. Lakukan
hal-hal yang kompatibel dengan hidupmu.
4. Out of what is stated objective truth, if it had no deeper meaning for me and my life? (Apa
gunanya kebenaran objektif, apabila tidak bermakna bagiku dan hidupku?)
Kamu punya sejuta fakta objektif dalam hidupmu, tapi tidak bermakna buatmu, tidak ada
gunanya, misalnya infotainment. Kamu punya banyak data, informasi, berita, fakta di TV
yang kebanyakan sampah. Banyak sekali berita yang tricky di media massa sekarang ini.
Carilah berita yang berguna buatmu, yang influential bagi hidupmu. Apa artinya kamu tahu
bahwa sekarang orangtua Dewi Persik meninggal, Irish Bella sudah menikah dengan Ammar
Zoni, siapa artis yang baru saja cerai, model rambut apa dan pakaian apa yang dipakai artis
A hari ini. Apa artinya itu semua bagimu? Kuliah juga begitu, kamu harus tahu arah dan
tujuan dari suatu mata kuliah tertentu. Misalnya kamu ambil kelas filsafat, kamu harus bisa
memaknai, kalau tidak bisa maka akan jadi beban dan tidak ada gunanya buat hidupmu.
5. Søren Kierkegaard menyerang kondisi keberagamaan di Denmark, Copenhagen. Religious
formalism and ritualism. Agama yang hanya melihat dimensi formal dan ritualnya saja,
hanya dilihat sisi objektifnya saja, yang berisi hanya detil dan dogma-dogma objektif. Misal
ditanya, sudah sholat? Puasa nggak? Dan masyarakat mengabaikan dimensi eksistensial
beragama yakni sejauh mana seseorang menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya,
bukan sejauh mana seseorang menampilkan formalisme dan ritualisme keagamaannya.
Ketika agama kehilangan dimensi subjektifitas eksistensialnya maka agama menjadi popular,
popular itu ya menampilkan sisi tampaknya, dan formal luarnya saja, misalnya ketika dilihat
sudah sholat ya dianggap sudah alim, sudah pakai hijab berarti sudah Islam. Ketika tidak
pakai hijab, riwayatnya dipertanyakan. Jujur tidaknya orang dilihat dari sisi yang tampak
saja dan inilah yang dinamakan formalisme dan ritualisme. Tidak penting apakah dia ke
masjid terus, ke gereja terus, namun seperti apa relasi eksistensialnya terhadap Tuhannya?
Kalau doanya lama, berarti orangnya ini sangat relijius, dan sebagainya.

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 3 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

6. Selanjutnya Søren Kierkegaard mengkritik Hegel karena pemikirannya bersifat abstrak, roh
duniawi, akal sejarah, di luar manusiawi, namun tidak memikirkan manusia yang konkrit,
makanya disebut idealisme, dunia disetir oleh ide-ide yang ada di kepala. Peduli amat
dengan kenyataannya bagaimana, eksistensinya bagaimana, dunia ini disetir oleh pikiran.
Banyak kejahatan yang terjadi, namun secara umum dunia ini bergerak ke arah yang lebih
baik, lebih rasional kata Hegel.
Cara berpikir model Hegel ini menghilangkan individualitas manusia karena semua dinilai
secara kolektif dan selalu melihat sisi komunalnya. Orang itu dilihat secara umumnya saja,
kalau orang Jawa itu lembut, kalau Batak itu kasar, jadi hanya melihat “crowd”nya atau
melihat secara umum, sehingga orang susah mengekspresikan dirinya secara subjektif
eksistensial. Ya benar saya Batak, tapi ngomong saya lembut kok dan saya bisa tidak teriak-
teriak, orang langsung menilai ahh… mana mungkin. Saya mahasiswa Prodi Fisika, langsung
orang mengira pasti ini mahasiswa pintar karena logika hitung-menghitung sudah pasti
mampu, rumus-rumus yang sulit pasti hafal. Saya mahasiswa prodi Bahasa Inggris, orang
mengira pasti lancar sekali berbicara dalam Bahasa Inggris dan mampu memahami setiap
percakapan, berita, atau informasi yang disajikan dalam Bahasa Inggris. Sosiologi massa,
ketika orang kehilangan kumpulannya atau crowdnya, dia akan merasa sendiri. Ketika kamu
dipisah dari nama kampusmu, sukumu, nama kumpulanmu, kamu akan merasa bingung,
tidak tahu mau berbuat apa karena sudah terbiasa1. Orang jadi hampa karena dipecah dari
kelompoknya, karena ia hanya bisa mengikuti apa yang menjadi logika kelompoknya. Dia
tidak pernah mengekspresikan keinginannya sendiri, atau tidak pernah berpikir sendiri.
Makanya kadang-kadang kumpulan itu berbahaya, lebih baik terkadang sendiri-sendiri.
Misalnya kalau sekelompok cowok sedang kumpul dan ada cewek lewat maka keberanian
akan timbul mulai dari suit, menggoda dan sebagainya, namun apabila sudah dihadapkan
satu demi satu ya pasti diam seribu bahasa. Demonstrasi itu berbahaya, kamu berani teriak-
teriak, membakar, melempar, karena kamu ikut logika crowd tersebut. Orang tidak bisa
otentik, tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Orang justru tenggelam dalam pemikirannya yang
abstrak. Padahal konsep ideal, konsep imajinasi sosial itu adalah sesuatu yang tidak tampak,
yang perlu adalah eksistensinya. Saya itu sebenarnya rajin Pak, cuma kebetulan semester ini
saya malas masuk. Ya sama saja, percuma rajin dalam konsep abstrak, tapi kenyataannya ya
kamu malas.
7. Dari persoalan crowd di atas timbullah persoalan ketidakotentikan (inauthenticity), yaitu
karaktermu, kebutuhanmu, sebagai individu itu sering kamu abaikan atau cuekin, dan lebih
mendahulukan ajaran kelompok dan institusi, konsep-konsep abstrak yag kamu angkat di
atas dirimu sendiri, dan inilah bagi Søren Kierkegaard yang membuat kamu tidak otentik
menjadi manusia. Kamu boleh jadi NU, boleh jadi GKPS, HKBP, Kharimastik tapi letakkan
kepentinganmu terlebih dahulu di atas kepentingan institusi tersebut. Jadi NU ya jadilah NU
sesuai versimu sendiri atau tafsirmu. Jangan dibalik aku ikut apa kata NU, kalau begitu maka
dirimu tidak otentik. Kelas filsafat ini walaupun apa yang saya katakan, tetaplah menjadi
dirimu, tafsirkanlah apa yang sesuai dengan pemahamanmu, apa yang masuk di kepalamu
pada saat ini nanti diolah sesuai versimu. Mudah-mudahan suatu saat dengan otentisitasmu,
kamu bisa jadi patron, bisa jadi teladan, atau bahasa saat ini kamu bisa punya banyak follower
karena keunikanmu, sehingga kamu terlepas dari yang namanya institusi atau temanmu. Itu
sebabnya dari awal menulis saya tetap menggandeng mahasiswa atau teman supaya suatu

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 4 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

saat mereka bisa menulis versi mereka sendiri2. Jangan jadi penurut terus, tapi harus memiliki
daya cipta sendiri, jangan ikut-ikutan. Sekarang mahasiswa skripsian seperti itu, dari 60
halaman, 55 halaman itu penuh dengan kata “Menurut … “, “According to …” , jadi kapan
kamu bisa berpikir sendiri? Jadi skripsimu tidak otentik, tidak ada yang baru. Lebih baik
skripsimu itu tipis tapi otentik daripada banyak tapi seperti kliping, tempelan dari sana sini
kemudian diramu menjadi satu. Tata tulis itu formal dan ritual, dan itu sekunder, tapi
eksistensialis skripsimu apa, kontribusi idemu apa, apa sesuatu yang baru dari yang kamu
temukan dalam skripsimu, itu jauh lebih penting. Skripsimu itu memberi tambahan ilmu apa
bagi dunia ilmiah? Lebih baik kamu terbitkan jadi buku, tapi kalau sekadar kliping jangan
karena bisa terkena plagiasi. Di tempat saya pernah berkuliah dulu ada proposal desertasi itu
hanya dua halaman, dia ingin meneliti apa, rumusan permasalahannya apa, metodenya apa,
ingin menemukan ini, sudah jadi dan disetujui oleh pembimbingnya daripada harus
membuat basa-basi sekitar 20 halaman baru kemudian ditutup dengan skripsi ini berjudul,
skripsi ini membahas tentang…, tapi inilah yang sering dilakukan, akhirnya kamu tidak
otentik. Seperti falsafah jawa yang mengatakan “elek yo ben, sing penting urip” yang artinya
kurang lebih “jelek ya biarin, yang penting hidup”3. Jangan hanya terbatas pada kata jelek,
kamu hidup itu berarti kamu eksis.
8. Eksistensi itu hanya bisa diterapkan pada manusia, di luar manusia tidak bisa. Eksis itu sama
dengan sadar, paham, mengerti, apa yang dilakukan dan apa yang terjadi di sekelilingmu, di
luar manusia tidak bisa. Binatang, tumbuhan, benda, robot, itu tidak eksis karena tidak sadar.
Eksis berarti hidup tidak hanya mekanis, kamu juga sadar secara objektif dan subjektif. Apa
yang terjadi itu adalah versimu, bukan sesuatu yang dipaksa dari luar dirimu. Inilah yang
disebut eksistensi “thatness” bukan “whatness”. “That” berarti “itu” (penunjuk atau
demonstrator dalam bahasa Inggris), “thatness” atau “keituan” artinya sesuatu itu bisa
ditunjukkan, jadi bukan “what” yang bersifat esensi, abstrak, dan universal. Orang harus
hidup di ranah thatness dan bukan whatness karena whatness itu ideal, utopia, mimpi
sedangkan thatness itu sudah kenyataan. Contoh:
“Islam itu agama yang damai”, itu whatness atau konsep.
Sedangkan thatness itu kamu bisa menunjukkan dan merasakan langsung, “lho itu lho Islam,
rukun tho? Damai tho?”
9. Pribadi, subjek, diri yang eksis itu sifatnya dialektika. Ini sebenarnya diambil dari pemikiran
Hegel. Dari thesis, ketemu antithesis, kemudian menjadi sintesis, inilah idenya Hegel dan ini
menyebabkan hidupmu jadi mekanis, seperti mesin seperti robot. Dialektika versi Søren
Kierkegaard tidak seperti itu, dialektikanya adalah dialektika eksistensial, yakni terjadi
lompatan-lompatan dan tidak runtut seperti ide Hegel, kuncinya adalah pada subjek, dan
bukan prosesnya. Logikanya bukan “both” … “and” yang akhirnya menggabungkan kedua
tersebut tetapi “either” … “or”, kalau tidak ini ya itu, tergantung keputusannya manusia.
Kalau di Hegel, yang terjadi adalah dialektika sejarah, kalau bapakmu Islam NU, ibumu Islam
Muhammadiyah, menjadi sintesis yakni menjadi kamu seorang muslim yang gabungan NU
dan Muhammadiyah. Karena sifatmu keras, pacarmu keras, ketika menikah nanti maka
terlahirlah keluarga yang keras, inilah sintesis.
Tapi tidak seperti itu menurut Søren Kierkegaard, semua tergantung keputusan subjeknya.
Kalau kamu keras, pacarmu keras, mungkin di rumah tangga tidak jadi sama-sama keras,
bisa jadi sama-sama sadar, oh iya aku keras, di keras, aku turunkan level kerasku, terus malah

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 5 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

jadi sepi rumahnya karena sama-sama mengalah dan sabar. Nah ini khan individunya yang
menentukan, bukan menjadi sintesis seperti versi Hegel. Inilah yang disebut lompatan
eksistensial.
Kalau mekanis ya kamu yang Islam ya sampai besok kamu tetap Islam, tapi khan ada yang
Islam kemudian keluar dari Islam dan sebaliknya yang non Islam menjadi Islam, ini khan
keputusan individual, kalau dijelaskan secara dialektis mungkin berat.
Gara-gara peristiwa WTC4, logika seharusnya banyak orang yang benci dan anti Islam. Tapi
yang terjadi kok malah sebaliknya, gara-gara peristiwa tersebut, banyak orang yang ingin
mendalami Islam, dan malah jatuh cinta kepada Islam, inilah lompatan eksistensial tadi.
Kalau memakai ide Hegel seharusnya tesisnya adalah pengeboman WTC, anti tesisnya
adalah benci atau anti Islam, dan sintesisnya adalah perang. Namun yang terjadi tidak seperti
ini, dialektika eksistensial itu tidak bisa ditebak.
Kamu yang cakep, dan di sekelilingmu semua naksir kamu karena kamu cakep, tiba-tiba
kamu memilih yang jelek, khan bisa saja terjadi? Logikanya khan sebenarnya tidak
nyambung. Harusnya kamu yang cakep ya pacarnya harus cakep donk. Sayang sekali kamui
cakep tapi pacarnya jelek. Kamu pasti ikhlas khan kalau ada orang cakep namun pacarnya
seperti itu? Tapi ya itulah manusia, dia memutuskan pilihannya sendiri, mungkin dimensi
menarik bagi dia akan berbeda dengan menarik versimu.
Lihat saja conoth bule-bule yang cakep dan mulus akan memilih orang Indonesia yang
kulitnya agak gelap, itu yang jadi pilihan mereka, mereka tidak memilih yang kulitnya cerah
seperti kamu-kamu ini. Coba saja, pasti kamu berpikir, itu bule kok milih yang seperti itu,
mending aku, tapi itulah namanya lompatan eksistensial. Ada orang yang dari radikal jadi
liberal dan sebaliknya dari liberal menajdi sangat radikal.
10. Kebenaran objektif itu tidak ada gunanya, justru sisi subjektifitaslah yang bermakna. Contoh
seperti sendok ini warnanya hijau, orang Amrik juga bilang itu hijau, orang Tionghoa juga
bilang itu hijau, namun itu tidak ada gunanya.
Sisi subjektifnya adalah “Lantas kalau hijau kenapa?”
“Ya kalau hijau bagus dan terang, bisa terlihat oleh murid yang duduk jauh, kalau tadinya
hitam mungkin akan tidak terlihat jelas.”
Yang bermain dalam hidup kita itu adalah sisi subjektifnya.
Luna Maya diputus pacarnya. Ini adalah berita objektif namun tidak bermakna apa-apa.
Gunung Sinabung melontarkan abu vulkanik. Ini berita objektif, ini tidak ada artinya. Namun
sisi eksistensialnya apa? Alhamdulillah karena hujan abu, kuliah dibatalkan, yang tadinya
saya tugas presentasi jadi bisa mnudur selama waktu hujan abu. Yang lain menganggap
bencana, tapi bagi kamu adalah anugerah, dan ini eksistensial karena peristiwa tersebut bisa
kamu tafsirkan dalam versimu sendiri, dan inilah kebenaran bagimu, sifatnya subyektif,
bagaimana kamu menghayatinya. Kalau kebenaran objektif tadi justru tidak ada masalah
karena dia netral. Kitab suci adalah baik bagi semua umat, ini tidak ada masalah, namun fakta
subyektifnya adalah bagaimana kamu menghayati kitab suci itu, dan ini bisa berbeda-beda
bagi setiap orang.
Beda penafsiran dan penghayatan dengan yang lain itu silahkan tapi jangan memaksa orang
bahkan sampai memaki-maki orang, karena setiap orang punya keyakinannya sendiri-sendiri.

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 6 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

Level Eksistensialisme Kierkegaard

Level eksistensial menurut Søren Kierkegaard ada 3:

1. Level estetika: mencari kesenangan hidup saja terutama fisik, hedonis, kekayaan. Kalau kamu
eksis di titik ini suatu waktu akan bertemu dengan titik jenuh, kebosanan, kekecewaan,
keputusasaan. Misalnya karena kamu cakep, cari pasangan yang cakep dan gonta-ganti
pasangan. Makan, satu bungkus, dua bungkus, lima bungkus masih sanggup, tapi lima belas
bungkus akan muntah dan tidak enak luar biasa. Pertama kali punya pacar akan senang luar
biasa, dua tahun sudah mulai terbiasa, tiga tahun sudah mulai lirik sana-sini, empat tahun
sudah mulai sering bertengkar, lima tahun kemungkinan besar sudah bubar. Secakep apa
pacarmu pasti akan ada kebosanan. Bahkan tak jarang kita lihat yang selingkuh itu,
selingkuhannya jauh lebih jelek daripada pacarnya. Kenapa ada kebosanan? Karena itu
manusiawi, jadi jangan katakan selingkuh itu manusiawi lho ya. Persoalannya bukan soal
manusiawinya, tapi kamu harus naik kelas, atau naik level supaya tidak merasa kecewa dan
bosan. Fisik itu penting, tapi harus naik kelas, naik level.
2. Level etika: sudah naik kelas. Sifatnya ini adalah mulai ada nilai-nilai, komitmen,
tanggungjawab. Kenapa kok istrinya sudah jelek kok masih setia? Karena sudah ada nilai, naik
level, sudah ada tanggungjawab. Di Islam itu namanya sakinah, mawadah, warohmah.
Mawadah itu fisik. Di sini individu sudah ada kesadaran moral, ada komitmen.
Dalam diri manusia itu ada zat kimia yang diproduksi ketika seseorang jatuh cinta. Ketika
pertama kali jatuh cinta itu menggebu-gebu. Namun zat ini limited edition. Jadi apabila zat ini
dipakai terus, akan cepat habis, dan menurut riset ini paling lama durasinya dua tahun. Jadi
hati-hati, yang pacaran menggebu-gebu, sms terus, teleponan sampai berjam-jam itu hanya
akan bertahan dua tahun saja, karena sifatnya terbatas dan dalam dua tahun zat ini sudah
kehilangan dayanya. Jadi, untuk menghindari ini hatus segera naik level yakni memupuk
kesetiaan, tanggungjawab, komitmen, jadi kalau tidak bisa maka akan cari yang lain. Contoh
nyatanya adalah Sokrates, orang yang menaklukkan diri sendiri mempertahankan nilai-nilai
moral. Meskipun menurut Søren Kierkegaard ini adalah ironis, tidak perlu mengorbankan
dirinya, kenapa? Karena dimensi eksistensial manusia itu memang terbatas, sehingga kalau
sudah terbentur jangan bunuh diri5, harus naik kelas.
Kamu jadi orang baik terus secara moral itu nanti aka nada penyakitnya. Baik tidak mesti enak,
tidak mesti sukses, harus jadi luar biasa. Kamu jujur setiap hari kadang-kadnag ujungnya tidak
enak. Yang lain tidak jujur hidupnya enak dan kaya, sedangkan kamu jujur malah sengsara.
Kamu setia, masih juga diputus pacaramu karena ada yang lebih cakep. Kamu bertanya, lho
saya sudah setia kok masih diputusin? Menurut Søren Kierkegaard itu salah, harusnya naik
kelas lagi.
Level tertinggi yang bisa dipahami manusia adalah level etika, tapi ada level lebih tinggi
daripada itu yakni level relijius. Kalau kita hanya berhenti di level etika, maka hanya akan jatuh
ke dalam keputusasaan.
3. Level relijius: kesiapan dirimu, kemauanmu, kesungguhanmu, kesejatianmu, untuk berani
berhadapan dengan sesuatu di luar dirimu yang tidak terbatas, yang menguasai dan mengatur
segalanya, sementara kamu adalah yang didominasi, diatur, dan dikuasai atau satu-satunya
yang tidak dipahami. Kalau kamu sudah siap bertemu Tuhan secara eksistensial, bukan secara
formal atau ritual tadi maka kamu akan senang. Ketika sudah sampai pada level ini, maka level

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 7 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

estetika dan etika tadi sudah berada di bawah. Kamu tidak sukses pun kamu tidak akan kecewa,
tidak terkenal tidak akan kecewa, kamu dikhinati orang pun tidak akan stress, karena di
sebelahmu ada Tuhan.
Tuhan di sini adalah bukan Tuhan yang formal atau ritual, tapi Tuhan yang kamu serap dalam
hidupmu sehari-hari. Jadi Tuhan bukan pemikiran, bukan konsep, bukan teori, melainkan
kedekatan.
Kita sering mengkritik ketika ada orang yang terlalu banyak omong tentang agama, terlalu
banyak membahas tentang Tuhan, akibatnya seperti hari ini. Zaman saya kuliah, pernah ada
orang luar, ketika ngobrol saya tanya, di tempatmu kok jarang ya orang rusuh tentang agama,
jarang rusuh tentang Tuhan, jawabannya ya karena kamu sering membahas itu, terlalu banyak
kamu diskusikan, jadi semakin jelas yang mana kawan yang mana musuh, jadi biar saja Tuhan
dan agama itu dihayati masing-masing, jalan sendiri-sendiri. Untuk meminimalisir itu, tidak
perlu terlalu banyak diskusi, dialog antar lintas agama, silahkan masing-masing meyakini
kebenaran masing-masing dan jalankan saja sesuai kebenaran yang diyakini. Semakin sering
didiskusikan, semakin rentan ada konflik. Menurut Søren Kierkegaard Tuhan tidak perlu
capek-capek mencari Tuhan dengan filsafat, dengan teologi, dan hal membuktikan Tuhan itu
ada atau tidak adalah sia-sia. Tuhan itu ada dan selalu terlibat dalam hidupmu. Kalau kamu
terus mencari Tuhan artinya kamu mencari Tuhan dengan menggunakan akalmu, padahal
Tuhan itu tidak bisa dijangkau dengan akal. Kalau bisa dijangkau dengan akal, maka ia tidak
menjadi Tuhan, dia itu misterius. Menurut Otto, Tuhan itu misterium, tremendum et
fascinatum (misteri yang menggetarkan, namun mencengangkan atau mempesona)6. Tuhan
yang sejati adalah tuhan yang kamu serap dan cirinya bisa kamu serap adalah kamu bergetar
ketika bertemu Tuhan, dan apabila belum itu berarti kamu masih formal dan ritual, bukan
dengan memakai logika tapi dengan penghayatan. Contoh misalnya ketika azan
berkumandang, kamu malah ngedumel, halah baru habis merokok kok sudah azan, padahal
itu adalah saat Tuhan memanggil kamu, kok kamu malah menghindar. Jadi jiwamu belum
bergetar ketika dipanggil Tuhan dan itu artinya belum sampai ke level relijius.
Di buku Søren Kierkegaard itu ada Fear and Trembling, rasa takut dan rasa bergetar karena
kagum, kepada Tuhan itu tidak boleh sembrono, harus ada takutnya, tapi juga tidak boleh
pesimis, harus penuh pengharapan, karena Tuhan itu penuh maaf dan penyayang. Contohnya
adalah Ibrahim atau Abraham. Dia sudah melewati level etika dan sudah sampai level relijius.
Etiknya dihentikan demi agama, cirinya Ibrahim ada 3:
 Infinite resignation (kepasrahan total) kepada Tuhan. Lho kenapa filosofinya Søren
Kierkegaard seperti ini? Karena dia sudah mengalami banyak kekecewaan dan dia tak
mampu mengatasi semua itu, dan kenapa dia bisa terhibur? Karena dia merasa terhibur,
bisa komunikasi dan akrab dengan Tuhan. Ketika kesadaran ini muncul, maka kita akan
diiringi kesadaran bahwa kita sering tak sadar bahwa kita butuh Tuhan. Kamu bsia sampai
pening menghadapi suatu masalah dengan akalmu, padahal ketika kamu ikhlas, pasrah
kepada Tuhan, tiba-tiba solusinya bisa datang. Sering kamu lupa yang kamu butuhkan
adalah Tuhan. Pasrah tanpa batas, jangan setengah-setengah. Tidak apa-apalah dapat istri
tidak cakep, yang penting dapat istri, lumayanlah. Nah ini selalu tawar menawar pada
Tuhan, sehingga tidak total. Ya Tuhan, kupasrahkan semua kepadamu tapi kalau bisa ya
aku kasi inilah, itulah, asyik menawar. Kamu sering kritis ketika berdoa, seperti baca puisi,

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 8 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

seperti baca berita, malaikatnya sampai bingung, ini sebenarnya mau minta apa kok
pengantarnya panjang sekali.
 The knight of faith (pejuang iman) is delighted: sudah tidak ada lagi kecewa, putus asa,
hidupnya selalu ceria. Apapun yang dialami, semua ditanggapi dengan ceria, dengan
senyum karena semua itu bersifat duniawi. Oleh karena itu para sufi, para aulia itu
wajahnya selalu tersenyum, dan ceria. Tidak perlu ngamuk, tidak perlu kecewa, tidak perlu
membanting, memfiting orang. Ketika hanya 3 orang yang datang pada kuliah ini, ya biasa
saja, tidak perlu stress. Tuhan sudah punya skenario sendiri.
 Teleological suspension of ethics (penghentian level etika untuk suatu tujuan yang paling
akhir): contohnya Ibrahim, membunuh anak itu secara etika sangat salah, namun itu tetap
dijalankan, karena dia tidak pakai akal dan rasional. Anak kecil itu kok dibunuh, padahal
dia masih bisa dinasehati, masih bisa dibesarkan agar tidak murtad. Tapi Ibrahim sudah
pasrah total dan melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Jadi kalau kita mengorbankan
sesuatu untuk Tuhan, kita tidak akan kehilangan apa-apa, bahkan kita akan mendapat lebih
banyak dan lebih lagi kita mendapatkan Tuhan. Jangan pelit sedekah, supaya bukan apa
yang bisa dikembalikan oleh Tuhan, namun kedekatanmu pada Tuhan.

Epilog

1. Jalan menuju kebenaran tidak melalui sistem-sistem besar seperti melalui Aristoteles,
Sokraktes, Hegal, Kant, tapi melalui paradoks, ambiguitas, self study dan self inquiry. Jangan
takut ketemu hal tersebut, untuk nabrak masalah, untuk melabrak status quo. Dan yang paling
penting adalah mengkaji diri, menganalisis diri. Kalau kamu sendiri tidak beres, tidak
mungkin kamu dapat pengetahuan dari luar dirimu7.
2. Ingatlah kebenaran pertama yang kita temui, ternyata kita itu tidak tahu, selama ini kita hanya
menggaya seolah kita tahu. Kita itu tidak tahu dalam banyak hal. Dalam hidup sehari-hari,
keimanan dan kepercayaan kepada Tuhan adalah sebenarnya energi, kekuatan lebih yang kita
miliki yang beda dengan orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Kita lebih mampu
berhadapan dengan sesuatu yang misterius, yang tidak kita ketahui, dan yang tidak bisa
diukur dengan akal. Ini sebenarnya karakter realitas, orang yang tidak beriman, tidak percaya
sesuatu yang besar di luar dirinya, itu kecenderungan keputusasaannya lebih besar kenapa?
Karena parameter kebenarannya adalah akal, intelek, yang ada pada diri manusia, dan ini
hanya bisa menjangkau dunia yang terbatas, dunia yang konstan, padahal dunia ini berubah-
ubah luar biasa, tidak bisa diprediksi. Kalau kamu beriman, itu lebih nyaman, kalau kamu
bertuhan, kamu bisa menangkap segala yang tidak masuk akal. Lha kok tiba-tiba yang korupsi
itu ketua MK, kok yang ditangkap itu ketua partai agama, lha kok anggota DPR itu dipenjara.
Padahal kalau menurut logika, gaji dan tunjangan-tunjangan ketua MK itu sebulan lebih dari
200 juta, tapi kenapa masih kurang, masih korupsi. Itu khan tidak logika, punya uang sebanyak
itu tapi kenapa masih korupsi. Kalau kamu punya uang 200 juta sbeulan, kamu bisa joget-joegt
tidak karuan, tapi kenapa orang yang punya banyak gaji masih juga korupsi? Nah, kalau kamu
mengandalkan akal dan rasio, ini tidak akan logika dan tidak terjangkau dengan akalmu.
Dengan beriman, kamu lebih siap menghadapi kenyataan jenis apapun, Indonesia jaya, kamu
siap, Indonesia krisis kamu siap, Indonesia rusak ya kamu siap karena sudah biasa seperti itu.

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 9 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

3. The sickness until death (sakit sampai mati): mempertanyakan sesuatu, membuka
kemungkinan bagi kita untuk mengalami kebenaran. Jadi kalau kamu ingin bertemu
kebenaran, jangan takut untuk bertanya sesuatu, jangan lekas percaya sesuatu. Jadi untuk bisa
hidup secara eksistensial, kamu harus bisa hidup dengan sering mempertanyakan sesuatu
yang ada di sekelilingmu dan apapun yang kamu lakukan. Kebalikannya, kebenaran yang
selama ini sudah ada di kepalamu, yang sudah tidak perlu kamu cek lagi, bahkan sudah kamu
yakin kebenarannya, justru akan menghalangimu dari kebenaran sejati, menghalangi
pengalaman nyatamu tentang kebenaran itu. Jadi lebih baik kamu tidak tahu, lantas menjadi
tahu karena kamu pertanyakan, daripada yang sudah tahu lantas kemudian kamu bekukan,
ini jauh lebih berbahaya. Syukur-syukur yang sudah tahu kamu uji terus relevansinya, ini lebih
bagus. Yang jelas, karakter paling menguntungkan dari manusia supaya bisa eksis adalah
selalu mempertanyakan, tidak menerima apa adanya8.
4. Kita sebenarnya sering melakukan pemberhalaan, setiap kali kamu meletakkan nilai-nilai
crowd di atas kesadaranmu sendiri. Dalam bahasa agama disebut musyrik, karena kamu
meletakkan nilai-nilai insitusi, lembaga, teologi di atas dirimu itu sebenarnya kamu sudah
melakukan pemberhalaan, karena satu-satunya yang boleh kamu letakkan di atas hidupmu
adalah Tuhan. Jadi, supaya tidak menjadi pemberhalaan, kamu boleh bergabung dengan
instutusi, lembaga, organisasi, namun olehlah secara eksistensial sesuai penghayatanmu,
lembaga itu sejajar denganmu, ketika sudah di atasmu maka ia sudah menjadi Tuhan bagimu.
5. Kenapa Søren Kierkegaard agak sinis terhadap akal atau rasio? Sebenarnya dia bukan sinis
kepada rasionya tetapi kepada orang sering dengan akalnya, menyalahgunakan untuk
kepentingan sendiri, atau gara-gara dia pakai akal, dia menjadi sombong (presumptuous) atau
orang yang merasa sudah benar duluan, mungkin identik dengan istilah apriori. Yang benar
itu adalah kelompokku lho. Orang-orang modern banyak seperti ini, mereka beranggapan
bahwa modern scientific adalah kunci peradaban dunia, tanpa sains dunia fana. Orang-orang
yang punya ilmu, para professor itu cenderung arogan, karena pakai akalnya saja. Jadi sebagai
mahasiswa jangan sok, mentang-mentang jadi mahasiswa sudah tahu filsafat lantas semua
diteropong dengan teori. Wah, ini kalau dalam perspektifnya hermeneutic… gayamu suka
menasehati orang, suka beranggapan jadi orang besar. Gayamu kalau sudah ikut kelas filsafat
sepanjang semester, atau beberapa kali belajar filsafat yang kamu rasa berbeda dan benar lantas
semua kamu katakana “wah ini tidak eksistensial…”. Ini sudah mulai kelihatan arogannya,
sudah menggaya, padahal kamu belum tahu apa-apa.

Catatan tambahan:

1. Eksistensial itu artinya semua pengetahuan, sumbernya adalah pengalaman yang ada dalam
hidupmu. Kebenaran apapun yang ada di dalam kepalamu, coba dipertanyakan lagi, apakah
masih relevan. Eksistensial itu berarti dihayati dalam realitas kehidupan sehari-hari. Jangan
mau didikte orang, pengalamanmu itu otentik. Setiap orang unik menghayati hidupnya sehari-
hari. Kenapa Søren Kierkegaard sangat anti meletakkan nilai-nilai kebersamaan di atas nilai-
nilai individu? Karena kebersamaan membuatmu menjadi tidak otentik, kamu tidak hidup
sendiri atau mandiri karena ada orang lain yang mengatur kamu. Sumber pengetahuannya
adalah pengalaman hidupmu sehari-hari, terlibatlah dalam hidupmu.

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 10 dari 11


Ngopi di Kelas Filsafat
Filsafat Eksistensialisme

2. Di level eksistensi relijius, kamu memang harus berhadapan dengan paradoks. Satu-satunya
modus untuk berhadapan dengan hal yang seperti ini adalah dengan iman, ikuti saja,
pasrahkan dirimu. Ketika kamu tidak pasrah, kamu akan kehilangan dia, dan tidak akan ada
solusi dengan persoalan yang ada di level estetika dan etika.
3. Eksistensial relijius adalah fatalis secara vertikal, tapi tidak secara horizontal. Ketika kamu
sudah sampai pada level etika, kamu tidak akan meninggalkan level estetika, misalnya karena
sudah sampai pada level etika, kesetiaan, lantas kamu tinggalkan pacarmu dan mencari pacar
yang jelek, tidak khan? Kamu masih tetap memilih dan mencari pacar yang cakep.

1 Kaitkan dengan teori Paula Freire tentang manusia yang tertindas. Manusia tertindas ketika sudah merdeka,
malah bingung mau berbuat apa karena sudah biasa ditindas.
2 Pengalaman hidup Kisno sendiri saat mengajak mahasiswa menjadi rekan menulis, bukan hanya sekadar

hubungan guru dengan murid atau dosen dengan mahasiswa.


3 Orang jelek itu enak, konsisten, muda jelek, tua tetap jelek, tidak perlu mengkuatirkan mengenai kekurangan

fisik karena dinilai jelek oleh orang lain.


4 Peristiwa pengeboman gedung World Trade Center, Serangan 11 September 2001

5 Ada kisah yang menyatakan bahwa Sokrates meninggal karena bunuh diri, namun bunuh diri yang dilakukan

adalah hasil dari voting 500 orang yang diatur oleh penguasa Athena waktu itu bahwa apabila hasil voting
menunjukkan Sokrates ia bersalah, maka ia harus minum racun.
6 Rudolf Otto, teolog protestan dan pakar pembanding agama dari Jerman. Istilah ini terdapat pada karyanya

yang berjudul Mysterium tremendum et fascinans tahun 1996.


7 Sama dengan pendapat Plato dalam filsafat kebahagiaan, dan juga pendapat Sokrates

8 Bandingkan dengan saat kamu mengikuti kuliah, jarang sekali bertanya dan hanya pasrah dengan apa yang

disampaikan oleh pengajar

Kisno_Filsafat Eksistensialisme_Ngopi di Kelas Filsafat Halaman 11 dari 11

Anda mungkin juga menyukai