Anda di halaman 1dari 34

SKENARIO 1

TEKANAN DARAH TINGGI DALAM KEHAMILAN

Seorang pasien wanita usia 18 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan utama
kepala terasa sakit. Pasien ini dengan kehamilan pertama dan usia kehamilan 32
minggu jika dihitung dari hari pertama haid terakhirnya. Pasien melakukan ANC
ke Puskesmas sebanyak 4 kali dan terakhir kontrol 1 minggu yang lalu.
Berdasarkan ANC sebelumnya diketahui pasien memiliki tekanan darah tinggi
dan sudah diberikan obat antihipertensi. Selama kehamilan pasien mengalami
kenaikan berat badan 20 kg dan tidak ada edema pada tungkai. Dari riwayat
penyakit keluarga tidak ada keluarga yang menderita penyakit
jantung,ginjal,diabetes dan hipertensi.  Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien
tampak sakit sedang, tekanan darah 180/120, nadi 92x/menit, nafas
22x/menit,suhu 36,3oC. Dari status obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 26cm
dan denyut jantung janin 154x/menit. Tanda tanda persalinan tidak ada.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang usg dengan hasil janin hidup
tunggal intra uterin presentasi kepala dan hasil pemeriksaan laboratorium urin
protein positif 3. Dari hasil pemeriksaan darah didapatkan Hb 10.5 gr %, leukosit
12.000/mm3, trombosit 95.000/mm3.

Kata sulit:
1. (Karina) ANC: (Pasha) pemeriksaan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan
janin secara berkala
2. (Monika) Status Obstetri: (Rafly) Riwayat selama kehamilan atau selama persalinan

Brain Storming:
1. (Iqbal) kenapa pada pasien dapat terjadi proteinuria?
2. (Khadijah) Mengapa pasien merasa kepala terasa sakit?
3. (Monika) berapa kali antenatal care dilakukan selama kehamilan?
4. (Siva) Apa saja yang menyebabkan kasus ini termasuk kedalam gawat darurat?
5. (Hasna) Mengapa obat anti hipertensi tidak berefek apa apa pada pasien?
6. (Ori) Mengapa tinggi fundus uteri dan usia kehamilan berbeda?
7. (Karina) Apa saja factor resiko hipertensi pada kehamilan?
8. (Rafly) apa kemungkinan diagnosis dari kasus tersebut?
9. (Siva) Apa saja komplikasi yang dapat terjadi jika kasus ini tidak ditangani?
10. (Monika) Bagaimana manifestasi klinis dari hipertensi pada kehamilan?
11. (Siva) Bagaimana tatalaksana pada hipertensi kehamilan yang ada dikasus ini?
12. (Pasha) Berapa nilai tekanan darah yang masuk kedalam preeklampsia?
13. (Tyas) mengapa bisa terjadi trombositopenia dan leukositosis?

Jawaban:
7. hamil usia <20 tahun dan >40 tahun, memiliki penyakit ginjal, primigravida, hipertensi bawaan,
obesitas dan diabetes
1. karena tekanan darah meningkat, kerja ginjal semakin keras, menyebabkan kerusakan
glomerulus dan endotel, sehingga terjadi proteinuria.
3. pada usia 28 minggu dilakukan 1x, pada usia 28-36 minggu dilakukan 1x, dan >36 minggu
dilakukan 2x
2. karena hipertensi sehingga menyebabkan tekanan pada intracranial meningkat. Karena
hiperperfusi otak.
9. bayi lahir dengan berat badan rendah, bayu lahir premature, solusio placenta, dan melahirkan
harus melalui operasi cesar.
8. pre eclampsia berat dikarenakan TD diatas 160/110 dan terjadi proteinuria lebih dari +1,
trombosit <100.000
12. >140/90 masuk kedalam pre-eklampsia, dibagi menjadi
ringan : TD 140/90 proteinuria +1
berat: TD 160/110 preteinuria +2
11. tatalaksana: diberi obat seperti orang yang hipertesi, di rekomendasikan persalinan setelah
minggu ke-34 kalau TD terkontrol, direkomendasikan persalinan dalam waktu 24-48 jam.
6. karena hipertensi, pembuluh darah vasokonstriksi, nutrisi ke janin berkurang, janin tidak
berkembang dengan baik, tinggi fundus uteri tidak sesuai
4. pre-eklampsia masih termasuk kedalam kategori mortalitas tinggi pada ibu dan janin. Karena
nilai TD sudah terlalu tinggi sampai 180/120, karena ibu ada proteinuria, kemungkinan terjadi
gangguan pada cerebral, resiko kematian wanita dengan pre-eklampsia tinggi, komplikasi banyak
seperti resiko penyakit jantung iskemik dan stroke.
10. adanya proteinuria, sakit kepala yang parah, perubahan penglihatan, nyeri pada perut bagian
atas biasanya dibawah tulang rusuk bagian kanan, urin dari BAK menurun, penurunan kadar
prombosit, gangguan pada fungsi hati, sesak nafas, kenaikan BB mendadak, dan edema
13.trombositopenia: terjadi karena adanya koagulasi mikrovaskular dari kegagalan remodelling
trophoblast
Leukositosis: terjadi karena reaksi molekul inflamasi dari plasenta
5. obat hipertensi tidak bisa mengobati hipertensi pada kehamilan, penelitian obat hipertensi pada
ibu hamil kurang banyak studinya, jadi belum diketahui banyak.

Hipotesis
Usia ibu saat kehamilan <20 tahun memiliki penyakit ginjal, primigravida, hipertensi bawaan,
obesitas dan diabetes merupakan faktor resiko dari pre-eklampsia. Yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah yaitu TD 140/90, proteinuria +1 (pre-eklampsia ringan) dan TD
160/110, preteinuria +2 (pre-eklampsia berat), sakit kepala yang parah, perubahan penglihatan,
nyeri pada perut bagian atas biasanya dibawah tulang rusuk bagian kanan, urin dari BAK menurun,
penurunan kadar trombosit, gangguan pada fungsi hati, sesak nafas, kenaikan BB mendadak. Pre-
eklampsia termasuk kedalam kasus gawat darurat karena masih termasuk kedalam kategori
mortalitas tinggi pada ibu dan janin dan resiko kematian wanita dengan pre-eklampsia tinggi.
Dapat ditangani dengan pemberian obat seperti orang yang hipertensi, di rekomendasikan
persalinan setelah minggu ke-34 kalau TD terkontrol, direkomendasikan persalinan dalam waktu
24-48 jam
SASBEL
1. Memahami dan Mempelajari Hipertensi dalam kehamilan
1.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi pada sekitar 8-10% kehamilan. Tekanan
darah tinggi dalam kehamilan dapat merupakan tanda awal dari preeklampsia, dan dapat
bertahan dalam beberapa minggu setelah melahirkan. Diagnosa preeklampsia termasuk
peningkatan tekanan darah dan ditemukan adanya protein di dalam urine. Preeklampsia
muncul pada sekitar 5% kehamilan dan sebagai faktor penyebab dari sekitar 16% kematian
ibu secara global (Cunningham et al., 2010).

Preeklampsia juga menyebabkan risiko kematian bayi meningkat hingga dua kali lipat.
Preeklampsia bahkan kadang tidak menunjukkan gejala dan dapat berkembang menjadi
kondisi yang mengancam nyawa yang disebut eklampsia (Gibson, 2009).

Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan
berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih setelah 20 minggu usia
kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai
140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg
di atas nilai normal (Junaidi, 2010).

1.2 Etiologi
Kendati dasar teori terjadinya preeklampsia masih belum pasti, terdapat beberapa
faktor yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya preeklampsia Cunningham et al.,
2010).:

1. Usia ibu > 35 tahun

2. Ibu yang obesitas

3. Keadaan-keadaan di mana ibu terpapar vili korealis dalam jumlah besar (kehamilan
kembar, mola hidatidosa, ukuran plasenta yang besar)
4. Ibu hamil dengan penyakit kardiovaskular (hipertensi kronis, penyakit ginjal)
5. Ibu dengan penyakit thyroid

6. Riwayat dari anggota keluarga yang menderita preeklampsia


 Preeklampsia

Hingga saat ini, belum ada satu teori yang pasti, yang menjadi dasar terjadinya
preeklampsia. Namun dari sejumlah studi yang telah dilakukan, etiologi preeklampsia
mengarah pada plasenta. Hipotesis yang digunakan saat ini adalah preeklampsia merupakan
sindroma penyakit dengan 2 tahap (Cunningham et al., 2010). Tahap I merupakan keadaan
preklinis yang ditandai dengan gagalnya remodeling arteri spiralis oleh sel-sel trofoblas dan
menyebabkan hipoksia plasenta. Hal ini kemudian menyebabkan pasien masuk ke dalam
tahap II yang ditandai dengan respon inflamasi sistemik yang diperantarai oleh aktivasi
endotel.

Gambar 2.1 Gambar skematik preeklampsia sebagai sindrom penyakit dengan 2 tahap
(Cunningham et al., 2010).

Cunningham dkk (2010) menyatakan bahwa preeklampsia merupakan puncak dari


sejumlah faktor yang melibatkan ibu, plasenta, dan janin. Berikut adalah faktor-faktor yang
dianggap penting dalam terjadinya preeklampsia :

- Implantasi plasenta dengan invasi abnormal dari sel-sel trophoblas ke arteri spiralis.
Pada kehamilan normal, arteri spiralis akan mengalami remodeling sebagai akibat
dari invasi sel-sel sitotrophoblas. Sel-sel sitotrophoblas akan menggantikan endotel pada
arteri spiralis beserta tunika medianya. Remodeling ini menyebabkan lumen arteri spiralis
menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan memiliki tahanan yang lebih kecil, sehingga
memungkinkan terjadinya perfusi yang lebih baik pada plasenta (Lindheimer et al., 2009 ;
Cunningham et al., 2010).

Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada kasus preeklampsia. Remodeling yang
terjadi pada preeklampsia ternyata hanya sebatas pada pembuluh darah di desidua, tidak
mencapai pembuluh darah di miometrium. Ini dikenal dengan Incomplete Trophoblastic
Invasion. Diameter lumen arteri spiralis tidak sebesar pada kehamilan normal. Ini
menyebabkan kondisi hipoksia pada plasenta yang pada akhirnya menyebabkan
terlepasnya debris-debris plasenta, masuk ke dalam sirkulasi ibu, dan menimbulkan respon
inflamasi sistemik pada ibu (Cunningham et al., 2010).

- Maladaptasi dari respon imun ibu terhadap jaringan ayah (plasenta) dan jaringan
janin.

Secara fungsional, respon imun manusia terbagi menjadi 2, yaitu innate immune response
atau respon imun bawaan dan adaptive immune response atau respon imun adaptif/yang
didapat. Respon imun adaptif ini yang banyak berperan dalam hal diterima atau tidaknya
hasil konsepsi.

Respon imun maternal-placental tergantung pada antingen Major Histocompatibility


(MHC) yang diekspresikan oleh sel-sel trofoblas, dan inilah yang membedakan dengan sel-
sel somatik lainnya, karena sel-sel sitotrofoblas tidak mengekspresikan antigen HLA-A atau
HLA-B (MHC tipe 1a) atau HLA-D (MHC tipe 2). Ketiga antigen ini merupakan stimulator
utama dari respon penolakan jaringan (dalam hal ini penolakan hasil konsepsi) yang
diperantarai oleh sel T. Namun demikian, sel-sel sitotrofoblas mengekspresikan HLA-C
(MHC tipe 1a) dan sejumlah MHC klas 1b non-klasikal yaitu HLA-E dn HLA-G
(Lindheimer et al., 2009).

Disebutkan bahwa uterus (desidua) adalah suatu jaringan yang unik, yang berbeda
dengan jaringan lain dalam hal imunitas. Selama fase luteal, desidua akan diinfiltrasi oleh
leukosit, dimana 75% dari leukosit tersebut adalah Natural Killer Cells. Natural Killer Cells
yang ada di uterus (uNK) membawa receptor yang nantinya akan berinteraksi dengan HLA
yang diekspresikan oleh sel-sel sitotrofoblas. HLA-C adalah ligand untuk Killer
Immunoglobulin-like Receptors (KIR) yang diekspresikan oleh uNK sendiri. HLA-G akan
berikatan dengan Inhibitory Leucocyte Immunoglobulin-like Receptors (LIR-1 dan LIR-2)
yang diekspresikan oleh monosit, NK-sel, sel T, dan makrofag.

Redman et al (2009) meneliti kemungkinan peran maladaptasi dari respon imun ibu dalam
patofisiologi preeklamsia. Pada awal kehamilan yang ditakdirkan untuk menjadi
preeklampsia, sel-sel trofoblas mengekpresikan HLA-G dalam jumlah yang lebih kecil
daripada kehamilan normal. Hal ini berkontribusi terhadap remodeling arteri spirales yang
kurang baik.

- Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi yang


terjadi.
Respon inflamasi yang terjadi pada preeklampsia adalah kelanjutan dari perubahan
tahap I yang disebabkan oleh remodeling arteri spirales yang tidak sempurna.
Remodeling yang tidak sempurna menyebabkan plasenta menjadi hipoksia dan
melepaskan mediator-mediator yang akan memicu aktivasi sel endotel ibu (disfungsi
sel endotel).

- Sel endotel adalah adalah sel yang melapisi pembuluh darah, terletak di antara otot
polos pembuluh darah dan darah yang bersirkulasi di dalamnya. Sel endotel mampu
mengeluarkan berbagai molekul-molekul signal yang langsung masuk ke dalam
sirkulasi dan menyebar ke seluruh organ. Sel endotel berfungsi mengatur tonus
vaskular, permeabilitas vaskular, koagulasi, dan sebagai target dari sel-sel imun. Tonus
vaskular dipertahankan oleh endotel di bawah pengaruh dari vasokonstriktor (seperti
endothelin dan tromboxan A2) dan vasodilator (seperti Nitric Oxide, prostacyclin),
sementara fungsi koagulasi terjadi sebagai akibat dari keseimbangan antara pro-
koagulan dan antikoagulan, dan permeabilitas vaskular dipertahankan oleh sel endotel
dengan adanya endothelial tight junction. Disfungsi endotel maternal dipercaya
menyebabkan vasospasme, microtrombosis, dan peningkatan permeabilitas vaskular
yang nantinya akan menjadi tanda dan gejala dari ibu dengan preeklampsia. (Taylor et
el., 2009).

- Faktor-faktor genetic
Preeklampsia adalah suatu penyakit multifaktorial dan poligenik. Review yang
dilakukan oleh Ward dan Lindheimer pada tahun 2009 menyatakan bahwa risiko insiden
preeklampsia pada seorang putri dari ibu yang mengalami preeklampsia adalah 20-40
persen; risiko seorang wanita mengalami preeklampsia yang saudarinya mengalami
preeklampsia adalah 11-37 persen; dan 22-47 persen pada wanita kembar yang saudari
kembarnya mengalami preeklampsia. Ward dan Lindheimer pada tahun 2009 juga
menemukan ada sekitar 70 gen yang berperan dalam terjadinya preeklampsia
(Cunningham et al., 2010).

1.3 Epidemiologi
Preeklampsia mengkomplikasi sekitar 5-7% kehamilan di dunia (Decherney et al,
2007). Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2009-2010,
didapatkan prevalensi preeklampsia ringan sebesar 1,36%; preeklampsia berat sebesar
4,79%; superimposed preeklampsia sebesar 0,43%; dan eklampsia sebesar 0,82% (Sutopo
dan Surya, 2011).
Hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10%
seluruh kehamilan. Dari seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama hamil,
setengah sampai dua pertiganya didiagnosis mengalami preeklampsi atau eklampsi
(Bobak, 2005).

Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan juga


masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang tidak jelas, dan juga
perawatan dalam persalinan masih ditangani petugas non medik serta sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi pada kehamilan dapat dipahami oleh
semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah ( Prawirohardjo, 2013).

Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Lampung pada tahun 2012


berdasarkan laporan dari kabupaten terlihat kasus kematian ibu (kematian ibu pada
saat hamil, melahirkan, dan nifas) seluruhnya sebanyak 179 kasus dimana kasus
kematian ibu terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan dan 70,95% terjadi pada
usia 20 – 34 tahun, dan kasus kematian ibu tertinggi berada di Kota Bandar
Lampung (Profil Kesehatan Lampung, 2012)

1.4 Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Hipertensi gestasional
Diagnosis Hipertensi Gestasional ditegakkan bila didapatkan tekanan darah ≥
140/90 mmHg pada usia kehamilan ≥ 20 minggu, tanpa disertai adanya proteinuria. Kendati
demikian, apabila didapatkan peningkatan tekanan darah yang signifikan, maka diperlukan
pengawasan yang lebih ketat, karena kejadian eklampsia dapat mendahului proteinuria.
Tekanan darah pada kasus gestasional hipertensi berangsur normal dalam 12 minggu
setelah persalinan (Cunningham et al., 2010).

2. Preeklampsia dan eclampsia


Preeklampsia ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
disertai adanya proteinuria (300 mg/24 jam atau +1 pada pemeriksaan dipstick). Edema
tungkai yang sebelumnya menjadi salah satu kriteria diagnostik, kini tidak lagi digunakan,
karena banyak dijumpai pada wanita hamil normal. Secara umum preeklampsia dibagi
menjadi 2, yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Batasan antara keduanya
adalah peningkatan tekanan darah, peningkatan proteinuria, peningkatan serum kreatinin,
dan peningkatan serum enzim hepar (Cunningham et al., 2010).

3. Hipertensi kronis

Hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi yang ditemukan sebelum


kehamilan atau sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu, atau hipertensi yang
ditemukan pertama kali pada usia kehamilan > 20 minggu dan tidak kembali turun ke
tekanan darah normal dalam 12 minggu setelah persalinan (Cunningham et al., 2010).

Preeklampsia berat didefinisikan sebagai adanya peningkatan tekanan darah sistolik ≥


160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg yang disertai proteinuria ≥ +2. Pada preeklampsia
berat, sejumlah penanda laboratorium seperti fungsi ginjal dan fungsi hepar ditemukan
meningkat, namun pada preeklampsia ringan peningkatannya hanya minimal atau bahkan
tidak ada peningkatan sama sekali.
Eklampsia didefinisikan sebagai timbulnya kejang pada wanita penderita
preeklampsia yang tidak disebabkan oleh hal lain. Kejang pada eklampsia bersifat general
dan dapat terjadi sebelum, saat, atau sesudah persalinan (Cunningham et al., 2010).

4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronis


Superimposed preeklampsia didefiniskan sebagai timbulnya proteinuria untuk
pertama kali (≥ 300 mg/24 jam) di usia kehamilan ≥ 20 minggu, pada wanita hamil yang
sebelumnya telah terdiagnosa dengan hipertensi (hipertensi kronis). Apabila seorang
wanita menderita hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu, maka
diagnosis superimposed preeklampsia dapat ditegakkan bila didapatkan peningkatan
tekanan darah lebih dari sebelumnya, peningkatan proteinuria, terjadinya trombositopenia
(kurang dari 100.000/µL) (Cunningham et al., 2010).

The Guideline Development Group (GDG) membagi definisi hipertensi menjadi ringan, sedang
dan berat untuk membantu dalam penerapan definisi sebagai berikut:
 Hipertensi ringan: tekanan diastolik 90 – 99 mmHg, tekanan sistolik 140 – 149 mmHg

 Hipertensi sedang: tekanan diastolik 100 – 109 mmHg, tekanan sistolik 150 – 159 mmHg

 Hipertensi berat: tekanan diastolik lebih besar sama dengan 110 mmHg, tekanan sistolik
lebih besar sama dengan 160 mmHg.3
Berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu:

1) Hipertensi gestaional, bila tekanan darah > 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
tanpa riwayat hipertensi sebelumnya dan tanpa disertai dengan proteinuria.1,2
2) Preeklampsia, bila disertai keadaan sebagai berikut:

 Tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi setelah umur
kehamilan diatas 20 minggu tanpa riwayat hipertensi sebelumnya
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
Bila proteinuria negatif:
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5 cc/kgBB/jam.

 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium

 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen

 Terdapat edema paru dan sianosis

 Hemolisis mikroangiopatik

 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)

 Gangguan fungsi hati.: peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.

 Pertumbuhan janin terhambat.

Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

 Tanda – tanda preeklampsia disertai tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥
110 mmHg pada 2 x pemeriksaan 6 jam setelah pasien dalam keadaan istirahat.4
3) Superimposed preeclampsia ( ≥1 kriteria dibawah ini)
 Proteinuria onset baru pada wanita dengan hipertensi kurang dari 20 minggu

 Jika hipertensi dan proteinuria timbul < 20 minggu

o Proteinuria meningkat tiba – tiba jika hipertensi dan proteinuria timbul < 20
minggu
o Hipertensi meningkat tiba – tiba pada wanita dengan rewayat hipertensi
terkontrol
o Trombositopenia ( trombosit < 100.000 /mm3)

o Peningkatan SGOT dan SGPT

Gejala dengan hipertensi kronis dengan nyeri kepala persisten, skotoma atau nyeri ulu
hati juga dapat disebut dengan superimposed preeclampsia.
4) HELLP syndrome (ada 2 kriteria)

 Menurut Sibai et al (salah satu kriteria dibawah ini)

(1) Hemolisis, lactate dehydrogenase > 600 U/L, atau total bilirubin

> 1.2 mg/dL

(2) SGOT > 70 U/L

(3) Trombosit <100,000 /mm3

 Menurut Martin et al (salah satu kriteria dibawah ini)

(1) Lactate dehydrogenase > 600 U/L

(2) SGOT atau SGPT > 40 IU/L

(3) Trombosit <150,000 /mm3.4

1.5 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada
satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah
( Prawirohardjo, 2013) :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium
berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan memberi cabang arteri spiralis. Pada
kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut, sehingga terjadi dilatasi
arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan
matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri apiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya,
aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhna janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”
yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Remodeling pembuluh darah pada kehamilan normal dan hipertensi dalam kehamilan
(Powe CE, et al., 2014)

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi,
dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero plasenta
menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan
menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam
kehamilan selanjutnya.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas Sebagaimana dijelaskan pada teori
invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri
spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan
hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima molekul yang mempunyai elektron yang
tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan iskemia plasenta adalah radikal
hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang
dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal bebas dalam darah, maka hipertensi
dalam kehamilan disebut “toxaemia”.

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak
jernih menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan
merusak nukleus dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang
bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan.

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida
lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misalnya vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominan kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksik ini akan beredar di seluruh
tubuh melalui aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh
sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.

c. Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang
kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
Keadaan ini disebut “disfungsi endotel” (endothelial disfunction). Pada waktu terjadi kerusakan
sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :
1) Ganggguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi endotel adalah memproduksi
prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) suatu vasodilator kuat.
2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokontriktor kuat.
Dalam keadaan normal perbandingan kadar protasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar
prostasiklin (vasodilator). Pada preeklampsi kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar
prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, maka terjadi kenaikan tekana darah.
3) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis).
4) Peningkatan permeabilitas kapiler.

5) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar vasodilator menurun,


sedangkan endotelin (vasokontriksi) meningkat.
6) Peningkatan faktor koagulasi.

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan dengan fakta
sebagai berikut :
a. Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
c. Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya
periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil
terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi” yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang
berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh
natural killer cell (NK) ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas kadalam jaringan desidua
ibu, jadi HLA-G merupakan prokondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu

4. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan dengan fakta
sebagai berikut :
a. Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
c. Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya
periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil
terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi” yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang
berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh
natural killer cell (NK) ibu.

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas kadalam jaringan desidua
ibu, jadi HLA-G merupakan prokondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu

disamping untuk menghadapi sel natural killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,
terjadi penurunan HLA-G. Berkurngnya HLA-G di desidua didaerah plasenta, menghambat
invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua
menjadi lunak, dan gembur sehingga mepermudah terjadinya reaksi inflamasi kemungkinan
terjadi immune-maladaptation pada preeklampsia.

Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi
preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi sel yang lebih rendah di banding pada normotensif.

5. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal pembulu darah refrakter tehadap bahan-bahan vasopresor. Refrakter berarti
pembuluh darah tidak peka tehadap rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar
vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan
normal terjadinya refrakter pembuluh daerah terhadap bahan vasopresor adalah akibat
dilindungi oleh adanya sitensis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini
dibuktikan bahwa daya rafrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi
prostaglandin sintensa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin).
Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor,
dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi
peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada
trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

 Manifestasi Klinis
Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis, sehingga

terdapat berbagai usulan mengenai pembagian kliniknya. Pembagian

klinik hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut (Manuaba, 2007)

- Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan

a) Preeklamsia

Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya

perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsi

ditegakkan jika terjadi hipertensi disertai dengan proteinuria dan atau edema

yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Proteinuria


didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24

jam atau 30 mg/dl (+1 dipstik) secara menetap pada sampel acak urin

(Cunningham G, 2013). Preeklampsi dibagi menjadi dua berdasarkan

derajatnya yang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Derajat Preeklampsi

Derajat Preeklampsi
Ringan Berat
1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg 1. Hipertensi ≥ 160/110 mmHg
2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam 2. Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam
atau ≥ +1 dipstik atau > +3 disptik
3. Oliguria kurang dari 500
ml/24 jam
4. Gangguan penglihatan dan
serebral
5. Edema paru dan sianosis
6. Nyeri epigastrium atau
kuadran kanan atas
7. Trombositopenia
8. Pertumbuhan janin terganggu

Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi dapat

terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan

normal, proteoglikan dalam membran dasar glomerulus

menyebabkan muatan listrik negatif terhadap protein, sehingga

hasil akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada penyakit

ginjal tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi hilang

sehingga terjadi nefropati dan proteinuria atau albuminuria. Salah

satu dampak dari disfungsi endotel yang ada pada preeklampsi

adalah nefropati ginjal karena peningkatan permeabilitas vaskular.


Proses tersebut dapat menjelaskan terjadinya proteinuria pada

preeklampsi. Kadar kreatinin plasma pada preeklampsi umumnya

normal atau naik sedikit (1,0-1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena

preeklampsi menghambat filtrasi, sedangkan kehamilan memacu

filtrasi sehingga terjadi kesimpangan (Guyton, 2007).

b) Eklampsia

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklampsia yang
tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal atau tonik-klonik
generalisata dan mungkin timbul sebelum, selama atau setelah persalinan. Eklampsia
paling sering terjadi pada trimester akhir dan menjadi sering mendekati aterm. Pada
umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala
nyeri kepala daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium dan
hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu (Prawirohardjo, 2013) :
1) Tingkat awal atau aura

Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita

terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula

tangannya dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.

2) Tingkat kejang tonik

Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh

otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangannya

menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan

berhenti, muka terlihat sianotik dan lidah dapat tergigit.

3) Tingkat kejang klonik

4) Berlangsung antara 1-2 menit. Kejang tonik menghilang. Semua otot


berkontraksi secara berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut
membuka dan menutup sehingga lidah dapat tergigit disertai bola mata
menonjol. Dari mulut, keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan
kongesti dan sianotik. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini
dapat terjadi demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari
tempat tidurnya. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik
napas secara mendengkur. Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-

lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi

pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru yang berulang,

sehingga penderita tetap dalam koma. Selama serangan,

tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat

sampai 40 C.

5) Kejang pada eklampsi berkaitan dengan terjadinya edema

serebri. Secara teoritis terdapat dua penyebab terjadinya edema

serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat.

Teori vasospasme menganggap bahwa over regulation

serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan

vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.

Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme

energi pada membran sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-

dependent Na/K pump yang akan menyebabkan edema

sitotoksik. Apabila proses ini terus berlanjut maka dapat terjadi

ruptur membran sel yang menimbulkan lesi infark yang

bersifat irreversible.

Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat

peningkatan tekanan darah yang ekstrim pada eklampsi

menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga

terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi

darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan

terbukanya tight junction sel- sel endotel pembuluh darah.

Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya edema vasogenik.


Edema vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf

pusat yang dapat menimbulkan kejang pada eklampsi (Sudibjo

P, 2010).

2. Hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat dari hipertensi

menahun

a. Hipertensi kronik

Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah

≥140/90 mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum

umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi tidak menghilang

setelah 12 minggu pasca persalinan. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi kronis dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan

sekunder. Pada hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui

secara pasti atau idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari

semua kasus hipertensi. Sedangkan pada hipertensi sekunder,

penyebabnya diketahui secara spesifik yang berhubungan dengan

penyakit ginjal,

penyakit endokrin dan penyakit kardiovaskular (Manuaba, 2007).

b. Superimposed preeclampsia

Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada

sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu.

Apabila disertai proteinuria, diagnosisnya adalah superimpose

preeklampsi pada hipertensi kronik (superimposed preeclampsia).

Preeklampsia pada hipertensi kronik biasanya muncul pada usia

kehamilan lebih dini daripada preeklampsi murni, serta cenderung

cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan


pertumbuhan janin (Manuaba, 2007).

3. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan darah

≥140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan tetapi

belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional disebut transien

hipertensi apabila tidak terjadi preeklampsi dan tekanan darah kembali

normal dalam 12 minggu postpartum. Dalam klasifikasi ini, diagnosis

akhir bahwa yang bersangkutan tidak mengalami preeklampsi hanya

dapat dibuat saat postpartum. Namun perlu diketahui bahwa wanita

dengan hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain

yang berkaitan dengan preeklampsi, misalnya nyeri kepala, nyeri

epigastrium atau trombositopenia yang akan mempengaruhi

penatalaksanaan (Cunningham G, 2013).

 Pemeriksaan dan Pemeriksaan Penunjang (anamnesis, Pemeriksaan fisik: status obstetric)


 Diagnosis & Diagnosis Banding
 Tatalaksana hipertensi dalam kehamilan
Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri dari
penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya dilakukan
persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda
pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan
ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang
dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.6
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah:
a. tirah baring
b. oksigen
c. kateter menetap
d. cairan intravena.
e. Magnesium sulfat (MgSO4).
Obat ini diberikan dengan dosis 10 cc MgSO4 40% secara intravena loading dose dalam
4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 15 cc dalam 500 cc ringer laktat
(RL) selama 6 jam. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.
Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut
diberikan dalam tiga menit.6
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan antihipertensi yang
dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai
kebutuhan.1 Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah
diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat
dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan
efektifitas yang cukup baik.
g. Kortikosteroid
National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24–34 minggu yang dalam persalinan prematur
mengancam merupakan kandidat untuk pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis
dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis intramuskular dengan
interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama tujuh hari. 9

A. Penanganan Aktif
Beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34
minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah
progresifitas PEB.
Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB. Akan tetapi,
keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara Nowitz ER dkk
membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis
PEB ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk
melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.11

B. Penanganan Ekspektatif
Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin
sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Berdasarkan
luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien PEB yang timbul dengan usia
kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari
komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada
pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih
disarankan.10

Penanganan lini primer diharapkan bidan maupun petugas puskesmas dapat mendeteksi
dini adanya hipertensi pada saat dilakukannya antenatal care. Pasien dilakukan pemeriksaan
tekann darah rutin dan bila adanya tekanan darah tinggi yang muncul pada saat kehamilan dan
timbul diatas usia 20 minggu dapat diakukan screening dengan melakukan tes protein urine.
Bila diketahui adanya preeclampsia diharapkan pelayanan primer dapat melakukan rujukan ke
rumah sakit untuk penanganan yang lebih lanjut.12

Hipertensi kronis adalah hipetensi yang terjadi pada usia kehamian sebelum 20
minggu atau pada wanita yang sudah mengkonsumsi obat antihipertensi sebelumnya. Wanita
dengan hipertensi kronis diberikan penanganan hipertensi menurut NICE. Pada pasien yang
sudah mendapat pengobatan ACE inhibitors, ARB atau Hidroklorotiazid sebelum hamil
segera dihentikan setelah mengetahui dirinya hamil karena dapat menyebabkan kelainan
kongenital. Wanita hamil dengan hipertensi kronis tetap disarankan untuk diet rendah garam
dengan mengurangi asupan garam. Prinsip pengobatan hipertensi kronis tanpa komplikasi
pada wanita hamil adalah mempertahankan tekanan darah kurang dari 150/00 mmHg. Jangan
memberikan pengobatan hingga tekanan darah diastolic kurang dari 80 mmHg. Pada wanita
hamil dengan gangguan target organ karena hipetensi kronis harus mempertahankan tekanan
darah kurang dari 140/90 mmHg.3
Terminasi kehamilan dilakukan pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu dengan atau pun
tanpa pengobatan antihipertensi sebelumnya. Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu
diharapkan terminasi kehamilan setelah pemberian kortikosteroid selesai.3

 Komplikasi
 Pencegahan
 Prognosis

Anda mungkin juga menyukai