Anda di halaman 1dari 17

KETUBAN PECAH DINI DAN PRE-EKLAMPSIA

3.1 Preeklampsia
3.1.1 Definisi Preeklampsia
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai
wanita hamil dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan tanda utama
berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Hipertensi didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan diastolik 90 mmHg.
Proteinuria didefinisikan sebagai adanya protein dalam urin dalam jumlah lebih dari
300 mg/dL dalam urin tampung 24 jam atau 30 mg/dl dari urin acak tengah
yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.1,2

3.1.2. Histologi dan Fisiologi Vaskularisasi Plasenta


Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan satu
vena; vena berisi darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin
berisi darah kotor. Bila terdapat hanya satu arteri ada risiko 15 % kelainan
kardiovaskular; ini dapat terjadi pada 1 : 200 kehamilan. Tali pusat berisi massa
mukopolisakarida yang disebut jeli Wharton dan bagian luar adalah epitel amnion.
Panjang tali pusat bervariasi, yaitu 30 90 cm.5,6

Gambar 3.1. Vaskularisasi Plasenta.5

Pembuluh darah tali pusat berkembang dan berbentuk seperti heliks,


maksudnya agar terdapat fleksibilitas dan terhindar dari torsis. Tekanan darah arteri
pada akhir kehamilan diperkirakan 70/60 mmHg. Sedangkan tekanan vena
diperkirakan 25 mmHg. Tekanan darah yang relatif tinggi pada kapilar, termasuk

21
22

pada vili maksudnya ialah seandainya terjadi kebocoran, darah ibu tidak masuk ke
janin.5

3.1.3. Faktor Resiko


Fakto resiko untuk terjadinya hipertensi pada kehamilan, dapat
dikelompokkan dalam fakto reiko sebagai berikut:1
1. Primigravida
Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk pertama kalinya.13
Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai penyakit 8 primagravida
karena memang lebih banyak terjadi pada primigravida daripada
multigravida (Wiknjosastro,2002)
2. Primipaternitas
Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami yang
kedua.13 Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
dinyatakan bahwa ibu multipara yang menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar untuk terjadinya preeklampsia jika dibandingkan dengan suami yang
sebelumnya.
3. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, hidrops fetalis bayi besar
4. Riwayat penyakit keluarga pernah preeklampsia/ eklampsia
Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia akan
meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi ibu hamil. Wanita dengan
preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia
pada kehamilannya terdahulu.
5. Riwayat kehamilan dengan pre-eklampsia
Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya memiliki
risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami preeklampsia lagi pada kehamilan
keduanya. Sebaliknya, wanita dengan preeklampsia pada kehamilan
keduanya, maka bila ditelusuri ke belakang ia memiliki 7 kali risiko lebih
besar untuk memiliki riwayat preeklampsia pada kehamilan 9 pertamanya
bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami preeklampsia di
kehamilannya yang kedua
23

6. Riwayat trombofilia
7. Kehamilan multifetus
8. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
Pada penelitian yang dilakukan oleh Davies dkk dengan menggunakan
desain penelitian case control study dikemukakan bahwa pada populasi
yang diselidikinya wanita dengan hipertensi kronik memiliki jumlah yang
lebih banyak untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan yang
tidak memiliki riwayat penyakit ini.
9. Riwayat diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2
10. Obesitas
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat
akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat menganggu kesehatan.
Indikator yang paling sering digunakan untuk menentukan berat badan lebih
dan obesitas pada orang dewasa adalah indeks massa tubuh (IMT).
Seseorang dikatakan obesitas bila memiliki IMT 25 kg/m2.16 Sebuah
penelitian di Kanada menyatakan risiko terjadinya preeklampsia meningkat
dua kali setiap peningkatan indeks massa tubuh ibu 5-7 kg/m2, terkait
dengan obesitas dalam kehamilan, dengan 10 mengeksklusikan sampel ibu
dengan hipertensi kronis, diabetes mellitus, dan kehamilan multipel.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr Kariadi didapatkan ibu
hamil dengan obesitas memiliki risiko 3,9 kali lebih besar untuk menderita
preeklampsia.
11. Usia saat hamil yang ekstrim
Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan pada kelompok
usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
(Bobak, 2004). Menurut Potter (2005), tekanan darah meningkat seiring
dengan pertambahan usia sehingga pada usia 35 tahun atau lebih terjadi
peningkatkan risiko preeklamsia.
3.1.4. Klasifikasi Pre-eklampsia
Klasifikasi _ American Congress of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) pada
tahun 2013 mengklasifikasikan hipertensi dalam kehamilan menjadi:
24

1. Pre-eklampsia dan eklampsia. Eklampsia adalah timbulnya kejang grand-mal


pada perempuan dengan pre-ekiamsia. Eklamsia dapat terjadi sebelum, selama.
atau setelah kehamilan. Pre-ekiamsia sekarang diklasifikasikan menjadi:
a. Pre-eklamsia tanpa tanda bahaya
b. Pre-eklamsia dengan tanda bahaya, apabila ditemukan salah satu dari
gejala/tanda berikut ini:
i. TD sistol 2160 mmHg atau TD diastol 2110 mmHg pada dua
pengukuran dengan selang 4jam saat pasien berada dalam tirah baring;
ii. Trombosit < 100.000/ pi.
iii. Gangguan fungsi hati yang ditandai dengan meningkatnya
transaminase dua kali dari nilai normal nyeri perut kanan atas
persisten yang berat atau nyeri epigastrium yang tidak membaik
dengan pengobatan atau keduanya
iv. Insufisiensi renal yang progresif (konsentrasi kreatinin Serum >1,1
mg/dL atau konsentrasi kreatinin serum naik dua kali lipat apabila
tidak terdapat penyakit ginjal)
v. Edema paru
vi. Gangguan serebral atau penglihatan
2. Hipertensi kronis: hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan.
3. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsi: preeklamsi yang terjadi
pada perempuan hamil dengan hipertensi kronis.
4. Hipertensi gestasional: peningkatan tekanan darah setelah usia kehamilan
lebih dari 20 minggu tanpa adanya proteinuria atau kelainan sistemik
lainnya.

3.1.5. Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori
tentang terjadinya hipertensi pada kehamilan, namun belum ada satu pun teori yang
dianggap mutlak benar. Teori yang sekarang banyak dianut adalah:1
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
25

menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada
kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan
vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan
darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero
plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan remodelling arteri spiralis.1,2,6

Gambar 3.2. Histologi vaskularisasi plasenta7


Pada preeklamsia terjadi kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis
menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan
vasodilatasi, sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta.
26

Gambar 3.3. Kegagalan remodeling arteri spiralis.6

b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel


1) Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas
Plasenta mengalami iskemia akibat kegagalan Remodelling arteri spiralis, yang
akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH)
yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan merusak membran sel
yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel.1,2
27

Gambar 3.4. Patogenesis preeklmapsia.8


Kerusakan plasenta pada gilirannya akan mengeluarkan faktor antiangiogeni,
sFlt1 dan seng ke dalam sirkulasi ibu. Faktor-faktor ini menyebabkan gangguan
VEGF / PlGF dan TGF - sinyal, sehingga disfungsi sel endotel sistemik
dimediasi oleh berbagai faktor tersebut, seperti yang ditunjukkan. Disfungsi
endotel , pada gilirannya, menghasilkan manifestasi sistemik preeklampsi.
2) Disfungsi Endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan kerusakan seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi
endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :1,2
a. Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yaitu suatu
vasokonstriktor kuat. Pada keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak
dari pada tromboksan, sedangkan pada preeklamsia kadar tromboksan lebih
banyak dari pada prostasiklin, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
darah.
c. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
Peningkatan permeabilitas kapiler.
28

d. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO


menurun, sedangkan endotelin meningkat.
e. Peningkatan faktor koagulasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat respon dari plasenta
karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu.
Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan
agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan
kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-
) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang
berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya
oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan
lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-
sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu
keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres
oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi
koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas
(edema dan proteinuria)
c. Teori intolenransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein
G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer
(NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Pada plasenta ibu yang mengalami preeklamsia, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam
desidua. Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklamsia karena
preeklamsi paling sering terjadi pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa
terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.1
d. Teori adaptasi kardiovaskularori genetik
Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon
vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel
29

endotel. Pada preeklamsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan


vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan
mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.1
e. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami
preeklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsia pula,
sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklamsia.1
f. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko preeklamsia. Minyak ikan
banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.
g. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses
apoptosis pada preeklamsia, pada preeklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif
sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan
ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan
mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi inflamasi menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada
ibu. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells
(Th1) yang lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang normotensif.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh
adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu
implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah sebagai berikut:1,2,9
1. Regulasi volume darah
30

Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.


Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat
mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak
dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema interstitial, volume
plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan
terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan
ringan volume plasma dapat menjadi tanda awal hipertensi.1,3
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia dibandingkan
hamilnormal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita yang
melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).3
3. Aliran Darah di Organ-Organ
1) Aliran darah di otak
Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal
ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin
merupakan suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada
preeklampsia maupun perdarahan otak.3
2) Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi
penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal
rata-rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi
glomerulus berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit,
sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria,
uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal.3
Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang fungsinya
mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah dan menjamin
perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan normal renin plasma,
angiotensinogen, angiotensinogen II, dan aldosteron meningkat nyata di
atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi
akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada kehamilan
normal efek progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan aldosteron,
tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.3
31

Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah


iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta
yang berkurang. Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih
banyak renin uterus yang mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya
kepekaan pembuluh darah. Di samping itu, angiotensin menimbulkan
vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek prostaglandin sebagai
mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.3
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal
meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas atau
sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens fraksi asam urat yang
menurun, kadang-kadang beberapa minggu sebelum ada perubahan pada
GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula
peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada
kehamilan.3
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah
bagiandari lesi morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel
intrakapiler glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada
preeklampsia.3
3) Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan
patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan
faktor penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum
ada satu pun metode pengukuran arus darah yang memuaskan baik di
uterus maupun di desidua.3
4) Aliran darah di paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema
paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.3
5) Aliran darah di mata
32

Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila
terjadi halhal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat.
Gejala lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.3
6) Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara,
asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat
organik dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan
karbonik dengan terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian
cadangan alkali dapat pulih kembali.3

3.1.5 Diagnosa Pre-eklampsia


Tabel 1: Diagnosis pre eklampsia menurut ACOG, 2013
Tekanan Darah TD Sistol 140mmHg atau diastol 90mmHg
pada dua kali pengukuran, setidaknya dengan
selisih 4 jam, pada usia kehamilan > 20 minggu
pada perempuan dengan TD normal
sebelumnya.
TD sistol 160mmHg atau diastol 110mmHg.
Hipertensi dapat ditegakkan dengan hitungan
menit untuk mempercepat dimulainya
pemberian anti hipertensi.
Dan
Proterinuria Proteinurian kuantitativ 300mg/24 jam atau
Rasio kreatinin 0,3mg/dl
Pemeriksaan urinalisa +1 (hanya jika protein
urun kuantitatif tidak tersedia)
33

3.1.6 Tatalaksana Pre eklampsia


Temuan ibu dan janin

Usia kehamilan 37 minggu atau Usia kehamilan 34 minggu dengan:


tanda-tanda inpartu atau ketuban pecah dini
hasil CTG abnormal
Perkiraan BB melalui USG lebih rendah dari presentil 5
curiga adanya abrusio plasenta
Di usia kehamilan < 37 minggu
Rawat inap atau rawat jalan dengan evaluasi ibu setiap 2 mingguan
evaluasi janin: dengan pre-eklampsia 2 minggu sekali dengan uji non stres
dengan hupertensi gestasional 1 minggu sekali dengan uji non stres

Usia kehamilan 37 minggu


Rawat inap atau rawat jalan dengan evaluasi setiap 2 mingguan
evaluasi janin: dengan pre-eklampsia 2 minggu sekali dengan uji non stres
dengan hupertensi gestasional 1 minggu sekali dengan uji non stres

Usia kehamilan 37 minggu


kondisi ibu atau janin memburuk
Inpartu/KPD

Melahirkan (terminasi kehamilan)


Prostaglandin jika diperlukan untuk induksi
34

Pasien preeklampsia berat atau dengan tanda bahaya harus segera dirawat.
Tatalaksana medikamentosa: antihipertensi, target penurunan tekanan darah sistolik
<160 mmHg dan diastolik <105 mmHg. Jangan menurunkan tekanan darah terlalu
rendah karena dapa menurunkan suplai darah ke janin.
MgSO4 (larutan 20%) untuk mencegah kejang, diberikan dengan dosis 4g
IV bolus pelan dalam 20 menit dilanjutkan dosis rumatan 1-2 g/jam dalam infus RL
drip pelan selama 24 jam. selama pemberian MgSO4 harus tersedia antidotum ,
yakni Ca glukonas (10 mL dalam larutan 10%) jika terjadi hipermagnesemia.
hipermagnesemia secara klinis dapat ditandai dengan hilangnya reflek patela
sampai paralisis nafas. MgSO4 juga harus diberikan selama 24 jam pasca
melahirkan untuk pasien dengan preeklamsi berat.
Pilihan cara melahirkan untuk pasien pre-eklampsia tidak harus selalu
dilakukan sectio caesar. Metode melahirkan bergantung pada usia kehamilan,
presentasi janin, status serviks, dan kondisi ibu dan janin. Apabila dimungkinkan
partus pervaginam dengan induksi kelahiran dapat dilakukan.

3.2 Ketuban Pecah Dini


3.2.1 Definisi
Ketuban pecah dini (PROM - premature rupture of membrane) adalah
kondisl dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia gestasi >37
minggu. Jika ketuban pecah pada usia gestasi <37 minggu. maka disebut ketuban
pecah dini pada kehamilan prematur (PPROM, preterm premature rupture of
membrane).
Terdapat istilah periode laten. yaitu waktu dari ruptur hingga terjadinya
proses persalinan. Makin muda usia gestasi ketika ketuban pecah. periode laten
akan semakin panjang. Ketuban pecah saat usia gestasi cukup bulan, 75% proses
bersalin terjadi dalam 24 jam. Jika ketuban pecah di usia 26,5 minggu ibu hamil
akan terjadi persalinan dalam 1 rninggu sedangkan usia gestasi 32 minggu,
persalinan terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Ketuban dapat pecah karena kontraksi uterus dan peregangan berulang yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh sehingga pecah. Salah satu faktor
risiko dari ketuban pecah dini adalah kurangnya asam askorbat, yang merupakan
35

komponen dari kolagen. Pada kehamilan trimester awal. selaput ketuban sangat
kuat. Namun. pada trimester ketiga menjadi mudah pecah berkaitan dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Sedangkan pada kehamilan
prematur. biasanya penyebabnya adalah infeksi dari vagina, polihidramnion.
inkompeten serviks. dsb.

3.2.2 Etiologi
Idiopatik, infeksi traktus genitalis, perdarahan antepartum, polihidramnion,
inkompetensi serviks, abnormalitas uterus, amniocentesis, trauma, riwayat ketuban
pecah dini pada kehamilan sebelumnya.

3.2.3. Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini dapat diketahui dengan:
a. Menanyakan riwayat keluar air dari vagina dan tanda lain persalinan:
b. Pemeriksaan inspekulo melihat adanya cairan ketuban keluar dari kavum
uteri (meminta pasien batuk atau mengejan atau menggerakkan sedikit
bagian bawah janin). Atau terlihat kumpulan cairan di forniks posterior.
c. Vagina touche (VT) tidak dianjurkan keculai pasien diduga inpartu. Hal ini
karena VT dapat meningkatkan insidensi korioammonitis, postpartum
endometritis, dan infeksi neonatus. Selain itu, juga memperpendek periode
laten.
d. pH vagina - menggunakan kertas lakmus (Nitrazin test). Bila ada cairan
ketuban warna merah berubah menjadi biru. Selama hamil, pH normal
vagina adalah 4.5-6,0. Sedangkan pH cairan amnion, 7.1-7.3.
e. Dengan USG. dapat mengkonfnmasi adanya Oligohidramnion. Normal
volum cairan ketuban antara 250-1200 cc.
f. Singkirkan adanya infeksi - suhu ibu >38C, air ketuban keruh dan berbau,
leukosit >15000/mm3 dan janin takikardi.
36

3.2.4. Tata Iaksana


Lakukan penilaian awal pada ibu hamil dan janin, yaitu:
a. Memastikan diagnosis
b. Menentukan usia kehamilan
c. Evaluasi infeksi maternal atau janin. pertimbangkan butuh antibiotik/tidak
temtama jika ketuban pecah sudah lama .
d. Dalam kondisi inpartu ada gawat janin atau tidak
Penatalaksanaan ketuban pecah dini
a. Pasien dengan kecurigaan ketuban pecah dini harus dirawat di RS untuk
diobservasi.
b. Jika selama perawatan air ketuban tidak keluar lagi boleh pulang
c. Jika ada persalinan kala aktif, korioamnionitis. gawat janin. kehamilan
harus cepat diterminasi
d. Jika KPD pada persalinan prematur (PPROM) ikuti tata laksana untuk
persalinan preterm
e. Tata laksana bergantung kepada usia gestasi (jika tidak dalam proses
persalinan tidak ada infeksi atau gawat janin)
Konservasi
Jika terjadi PPROM sangat disarankan untuk dirawat di rumah sakit selama
minimal 48 jam untuk diobservasi. Hal ini dikarenakan 48-72 jam merupakan
waktu yang rentan persalinan atau terjadi korio amnionitis. Prinsip tata laksana
untuk perawatan di rumah sakit:
a. Usia gestasi <32 minggu; disarankan dirawat inap. jika air ketuban masih
keluar. Tunggu hingga berhent, berikan steroid, antibiotik, observasi
kondisl ibu dan janin.
b. Usia gestasi 32-37 minggu
- belum inpartu: steroid profilaksis antibiotik, observasi tanda infeksi dan
kesejahteraan janin.
- Sudah ada tanda inpartu: Berikan' steroid. antibiotik intrapartum
profilaksis, induksi setelah 24 jam '
37

c. Usia gestasi >37 minggu, evaluasi infeksi, pertimbangkan pemberian


antibiotik jika ketuban pecah sudah lama, terminasi kehamilan
(pertimbangkan pemberian induksi)
Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik terutama pada usia gestasi <37 minggu dapat
mengurangi risiko terjadinya korioamnionitis, mengurangi jumlah kelahiran bayi
dalam 2-7 hari, dan mengurangi morbiditas neonatus. Salah satu rekomendasi
mengenai pemilihan antibiotik antepartum yaitu:
a. Ampisilin 1-2 gram IV, setiap 4-6 jam. selama 48 jam.
b. Eritromisin 250 mg IV. setiap 6 jam, selama 48 jam.
c. Kemudian. lanjutkan dengan 2 terapi oral selama 5 hari. amokslsilin dan
eritromisin (4x250 mg PO). Pada pasien yang alergi penisilin diberikan
terapi tunggal klindamisin 3x600 mg PO. Sumber lain. mengatakan bahwa
pada PPROM pemberian eritromisin hingga 10 hari
d. Hindari pemberian co-amoksiklav pada perempuan dengan PPROM. dapat
menyebabkan NEC.
Tokolisis
Tidak direkomendasikan pemberian tokolisis pada pasien yang mengalami
ketuban pecah dini di usia gestasi <37 minggu (di atas 34 minggu). Pada beberapa
penelitian. pemberian tokolitik tidak memperpanjang periode laten (ketuban pecah-
persalinan) meningkatkan luaran janin. atau mengurangi morbiditas neonatus.
Pemberian tokolisis di usia gestasi 34 minggu berfungsi untuk pematangan paru.
Usia gestasi >34 minggu tidak perlu lagi untuk pematangan paru.

3.2.5. Komplikasi PROM dan PPROM


Persalinan prematur, infeksi maternal/neonatus, hipoksia karena kompresi
tali pusat, naiknya insiden seksio sesarea, hipoplasia pulmonal. Pecahnya ketuban
menyebabkan oligohidramnion sehingga tali pusat tertekan dan terjadi hipoksia.
Makin sedikitnya air ketuban. janin dalam keadaan gawat.

Anda mungkin juga menyukai