Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai kota pariwisata, Yogyakarta tentunya memiliki sarana dan


prasarana yang menunjang kegiatan kepariwisataan, di antaranya daya tarik, objek
wisata, transportasi yang memadai, akses jalan yang baik, dan kebutuhan
wisatawan lainya, seperti hotel yang digunakan sebagai sarana akomodasi tempat
menginap bagi para wisatawan. Sebagai salah satu sarana pokok untuk menunjang
kepariwisataan, hotel juga mempunyai manfaat yang sangat penting bagi
pemerintah dan masyarakat. Bagi Pemerintah, pembangunan hotel memberikan
kontribusi untuk pendapatan asli daerah melalui perpajakan hotel dan retribusi,
dan bagi masyarakat kehadiran hotel sangat membantu, menciptakan sekaligus
menambah lapangan pekerjaan. Selain mempunyai peran dan manfaat yang positif
terhadap pemerintah dan masyarakat, kehadiran hotel di Yogyakarta pun
menimbulkan dampak negatif seperti, terjadinya kemacetan diruas-ruas jalan
tertentu karena tidak memadainya lahan parkir hotel, berkurangnya lahan kosong
untuk membangun rumah atau pertanian oleh masayarakat, berkurangnya ruang
terbuka hijau untuk publik dan pemakaian air tanah yang mengakibatkan
kekurangan ketersediaan air tanah.

Beberapa data yang telah dipaparkan di atas adalah gambaran mengenai


situasi dan kondisi kota Yogyakarta pada saat ini.berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah hotel khusus di Yogyakarta
hingga awal 2014 tercatat 339 hotel, terdiri atas 43 hotel berbintang dan 356 hotel
nonbintang. Kondisi dimana petumbuhan hotel yang sangat pesat jumlahnya dan
pemakaian air tanah oleh kegiatan usaha hotel yang berdampak terhadap
lingkungan sekitarnya. Kondisi ini membuat semua pihak kesulitan dalam
menentukan sikap untuk menyelesaikan masalah ini, karena hadirnya hotel selain
sebagai salah satu tiang penyangga industri pariwisata, hotel juga mempunyai
peran sebagai bentuk usaha yang membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Tetapi disisi lain, hadirnya hotel pun menimbulkan persoalan terkait

1
pemakaian air tanah yang mengancam ketersediaanya. Masalah ini menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat Kota Yogyakarta
untuk menjaga ketersediaan cadangan air tanah dari kegiatan usaha hotel guna
bisa memenuhi fungsinya sebagai salah satu kebutuhan pokok yang berperan
sebagai penopang kelangsungan hidup manusia dan lingkungan hidup.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana permasalahan mengenai pembangunan perhotelan yang


ada di Yogyakarta?
2. Apa dampak negatif dari berkembangnya pembangunan hotel-hotel
yang tak terkendali?
3. Bagaimana pengaruh pembangunan hotel terhadap ketersediaan air
bersih di Yogyakarta?
4. Apa saja kah upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan
tersebut?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui mengenai pembangunan hotel-hotel di Yogyakarta.


2. Mengetahui mengenai dampak nnegatif akibat perkembangan
pembangunan hotel yang tidak terkendali.
3. Mengetahui mengenai pengaruh pembangunan hotel terhadap
ketersediaan air bersih.
4. Mengetahui mengenai upaya pemerintah dalam mengatasi masalah
tersebut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Air Tanah

Pengertian air tanah ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 6 PP nomor 121


Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, yaitu air yang terdapat
dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah. Secara umum
air tanah akan mengalir sangat perlahan melalui suatu celah yang sangat
kecil dan atau melalui butiran antar batuan. Batuan yang mampu
menyimpan dan mengalirkan air tanah ini kita sebut dengan akuifer
(Rachmat F. Lubis, 2006).

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau
batuan (lihat tentang batuan beku) di bawah permukaan tanah. Sedangkan
menurut para ahli, air tanah didefinisikan sebagai berikut:
1. Air tanah adalah segala bentuk aliran air hujan yang mengalir di
bawah permukaan tanah sebagai akibat struktur perlapisan
geologi, beda potensi kelembaban tanah, dan gaya gravitasi
bumi. Air bawah permukaan tersebut biasa dikenal dengan air
tanah (Asdak, 2002).
2. Air tanah adalah sejumlah air di bawah permukaan bumi yang
dapat dikumpulkan dengan sumur-sumur, terowongan atau
sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut
aliran yang secara alami mengalir ke permukaan tanah melalui
pancaran atau rembesan (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry,
1979; Kodoatie, 1996).

2.2 Klasifikasi Air Tanah

Menurut Kusno Wibowo, Kepala Seksi Perencanaan Bidang ESDM,


Dinas PUP dan ESDM Provinsi DIY, air tanah dapat digolongkan
berdasarkan letak kedalamannya, yaitu:

3
1. Air tanah dangkal, yaitu air tanah yang berada dibawah
permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 30 meter. Air ini
banyak dimanfaatkan oleh penduduk guna memenuhi kebutuhan
domestik atau kebutuhan rumah tangga.
2. Air tanah dalam, yaitu air tanah yang berada dibawah lapisan air
tanah dangkal, dengan kedalaman dari permukaan tanah lebih
dari 30 meter. Air ini sering dimanfaatkan untuk kegiatan
perindustrian, perhotelan, mall, dan lain sebagainya. Air tanah
dalam merupakan air yang mempunyai kualitas yang lebih baik
apabila dibandingkan dengan air tanah dangkal, karena belum
terkontaminasi zat-zat yang berbahaya dari permukaan tanah.
3. Mata air, yaitu air tanah dalam yang keluar dengan sendirinya ke
permukaan tanah. Air ini hampir tidak terpengaruh oleh musim
dan kuantitas maupun kualitasnya sama seperti air tanah dalam.

2.3 Perizinan Air Tanah

Perizinan merupakan suatu bentuk fungsi pengaturan dari pemerintah


tentang tindakantindakan tertentu atau suatu penyelenggara kegiatan tertentu
yang dilakukan oleh seorang, organisasi, dan badan hukum tertentu agar
memperoleh persetujuan atau izin dari pemerintah. Izin tersebut berbentuk
pendaftaran, rekomendasi, setifikasi dan lain sebagainya. Izin merupakan
instrument yang paling sering digunakan dalam hukum administrasi, dan
pemerintah selalu menggunakan izin sebagai alat untuk mengendalikan
tingkah laku atau perbuatan para warganya. Tujuan dari perizinan itu sendiri
adalah untuk menertibkan perilaku orang. Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1)
Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 1451
K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas
Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, kegiatan eksplorasi,
pengeboran termasuk penggalian, dan pengambilan air bawah tanah hanya
dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin. Demikian juga, setiap kegiatan
usaha yang menggunakan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan di Kota
Yogyakarta wajib memperoleh izin atau dapat dikatakan harus memiliki

4
Surat Izin Pemakaian Air Tanah (SIPAT). Sejak berlakunya UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan izin pemakaian
air tanah yang menjadi kewenangan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta telah
beralih ke Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KP2SP)
Provinsi DIY. Penyelenggaraan izin yang dimaksud harus berdasarkan
rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Menurut Kusno Wibowo, Kepala Seksi Perencanaan Bidang
ESDM, Dinas PUP dan ESDM Provinsi DIY, implementasi pelimpahan
kewenangan dari UU No. 23 Tahun 2014 belum diwujudkan dalam bentuk
peraturan daerah tetapi masih dalam tahap Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda).

5
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Pertumbuhan Hotel di Kota Yogyakarta

Yogyakarta yang dulu terkenal dengan asrinya pemandangan


persawahan, kini menjadi daerah darurat tata ruang. Hal tersebut
menggugah hati beberapa lapisan masyarakat untuk menggelar serangkaian
aksi demi menarik perhatian pemerintah daerah untuk lebih bijak
menggunakan kebijakannya. Seperti yang telah dilakukan oleh Aliansi
Masyarakat Peduli Tata Ruang Yogyakarta yang menggelar aksinya di
kantor DPRD DIY (29/2/2016). Mereka berpendapat bahwa jumlah
pembangunan mall, hotel, dan apartemen tidak sepadan dengan jumlah
ruang terbuka hijau.

Tingginya kunjungan wisatawan yang datang ke DIY tentu saja


membuat kebutuhan akan tempat tinggal sementara, baik itu hotel
maupun homestay menjadi sangat tinggi. Pertumbuhan hotel di DIY
meningkat pesat seiring dengan meningkatnya jumlah wisawatan yang
berkunjung. Namun saking “getolnya” membangun, justru pertumbuhan
hotel di DIY saat ini bahkan sudah masuk dalam kategori melebihi dari
kebutuhan / oversupply.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari Badan Pusat Statistik


(BPS) Kota Yogyakarta, pada tahun 2014, jumlah hotel yang telah
beroperasional di Kota Yogyakarta telah mencapai angka 419 yang terdiri
dari 57 hotel bintang dan 362 hotel non bintang atau hotel kelas melati.
Jumlah ini relatif meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2013 yang
hanya berjumlah 400 hotel yang terdiri dari 43 hotel bintang dan 357 hotel
non bintang atau hotel kelas melati. Pertumbuhan jumlah hotel ini paralel
dengan perkembangan jumlah wisatawan di Kota Yogyakarta. Jumlah
kunjungan wisatawan ke Kota Yogyakarta pada bulan Januari hingga
Desember tahun 2014 telah menembus angka 5. 251. 352 orang yang terdiri

6
dari wisatawan mancanegara yang berjumlah 226. 197 orang dan wisatawan
local yang berjumlah 5. 025. 155 orang. Data tersebut diatas membuktikan
bahwa pertumbuhan hotel di Kota Yogyakarta dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan. Peningkatan ini dipengaruhi oleh daya tarik yang
dimiliki oleh Kota Yogyakarta. Sebagai salah satu Kota destinasi wisata,
Kota Yogyakarta mempunyai daya tarik wisata yang relatif banyak sehingga
sering dikunjungi oleh wisatawan asing maupun wisatawan lokal. Daya
tarik wisata yang dimiliki Kota Yogyakarta sangat beragam, di antaranya:
1) Wisata tempat bersejarah
2) Wisata belanja
3) Wisata kuliner
4) Wisata budaya
5) Wisata alam

3.2. Dampak Negatif Akibat Pertumbuhan Hotel

Berikut beberapa dampak negative dari menjamurnya pertumbuhan


hotel yang tidak terkendali di Kota Yogyakarta:
1. Pertumbuhan jumlah hotel berdampak pada berkurangnya tanah
yang digunakan untuk membangun rumah masyarakat dan
semakin berkurangnya lahan pertanian sebagai sumber
penghasil pangan. Menurut Benny Nurhartanto, Kepala Bidang
Pertanian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
Pertanian Kota Yogyakarta, terjadi penurunan luas lahan
pertanian di Kota Yogyakarta yang sebelumnya pernah
mencapai 200 hektare, kini berkurang menjadi 65 hektare.
Penyusutan ini diakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian
menjadi mall, apartemen dan hotel.
2. Pembangunan hotel dengan luas dan ketinggian tertentu secara
otomatis akan menggunakan fondasi yang dalam dan pembuatan
baseman sehingga tentunya akan membendung suplai air tanah
ke permukaan.

7
3. Aktivitas hotel juga menggunakan cadangan air tanah pada
cekungan air tanah di bawahnya. Dalam hal ini tentunya
kegiatan yang menggunakan air tanah secara massif akan
menggangu kuantitas dan kualitas air tanah yang berdampak
terjadinya krisis air bersih bagi masyarakat di sekitarnya yang
juga menggunakan air tanah. Kondisi ini paralel dengan
terjadinya kekeringan sumur-sumur warga kampung Miliran
akibat pembangunan Hotel Fave di Jalan Kusumanegara
Yogyakarta.
4. Aktivitas hotel menghasilkan limbah, baik limbah padat, limbah
cair ataupun limbah gas. Limbah tersebut akan bertambah secara
otomatis dengan meningkatnya jumlah hotel di Kota
Yogyakarta. Keberadaan limbah tersebut akan mengganggu
daya tampung dan daya dukung lingkungan apabila tidak
dikelola dengan baik.

3.3. Pengaruh Pembangunan Hotel Terhadap Ketersediaan Air Bersih

Pembangunan hotel di Yogyakarta tentu menjadi polemik hingga saat


ini. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan membuat beberapa LSM di
Yogyakarta menentang keras adanya pembangunan tersebut. Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta misalnya, tahun 2016 lalu
WALHI menentang keras adanya pembangunan hotel dan apartemen karena
menyebabkan krisis air bersih di wilayah setempat. Menurutnya, krisis air
tersebut tidak hanya dirasakan warga sekitar lingkungan hotel, tetapi juga
pengguna jasa perusahaan air minum (PDAM) secara umum. Mengapa
demikian, karena investasi hotel maupun apartemen mayoritas
menggunakan sumber air dari PDAM, padahal perusahaan tersebut belum
optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pembangunan hotel di Yogyakarta saat ini dirasa menjadi masalah


utama terhadap air tanah yang kian menipis. Kajian tentang ketersediaan air
di Kota Yogyakarta oleh Amrta Institute menunjukkan bahwa kota ini

8
mengalami deficit air tanah (Permana, 2018). Direktur Amrta Institute, Nila
Ardhianie mengatakan bahwa 5 dari total 14 kecamatan di Kota Yogyakarta
berstatus merah atau krisis air, yaitu Gondokusuman, Mergangsan,
Mantrijeron, Jetis, dan Umbulharjo.

Fenomena penurunan air tanah menjadi hal yang menarik, sekitar 20-
35 cm penurunan sumber air tiap tahunnya. Perbandingan antara tiap musim
kemarau dan musim hujan menjadi keresahan warga atas penurunan air
tanah tersebut. Setidaknya hotel di Yogyakarta memiliki 15.000 kamar
membuat hotel-hotel pasti membutuhkan air yang sangat banyak. Angka
tersebut belum termasuk air yang digunakan hotel yang memiliki fasilitas
kolam renang di dalamnya. Dari jumlah 57 hotel berbintang di Yogyakarta,
75% hotel memiliki kolam renang, sedangkan sebanyak 90 juta kubik air
disedot tiap tahunnya untuk memenuhi air di hotel dan warga.

Dengan alasan bahwa kebutuhan air di setiap hotel tidak tercukupi jika
hanya mengandalkan PDAM, maka pihak hotel berinisiatif untuk mengebor
air tanah dengan kedalaman yang di luar batas aman. Hal tersebut berimbas
pada lingkungan sekitar hotel dengan peristiwa kekeringan di beberapa
wilayah Kota Yogyakarta. Jika dilihat dari paradigma Sustainable
Development Goals, tentu hal ini tidak bisa dikatakan berkelanjutan karena
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan berupa rusaknya elemen tanah
dalam yang menyebabkan krisis air tanah.

3.4. Upaya-Upaya Guna Mengatasi Pembangunan Hotel Berkelanjutan

Sesuai Peraturan Walikota No.3/2014 tentang Penyediaan Air Baku


Usaha Perhotelan di Kota Yogyakarta, setiap usaha perhotelan yang
terjangkau jaringan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) harus
menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Jika melanggar akan
diberikan sanksi hingga pencabutan ijin usahanya. Tidak hanya masalah air
tetapi juga limbah hotel yang dibuang ke sungai-sungai yang mengakibatkan
air tanah dan sungai di Yogyakarta memiliki potensi terkontaminasi nitrat
dan bakteri e-coli.

9
Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Selanjutnya berdasarkan Pasal 63 Ayat (3) UUPPLH,
pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat kabupaten/kota.

Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menyelenggarakan tugas dan


wewenang sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPPLH telah membentuk
sebuah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bertugas di bidang
lingkungan hidup. OPD tersebut adalah Badan Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta (BLH). Selain itu, dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab di bidang lingkungan hidup, BLH Kota Yogyakarta pun berpedoman
pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam menyelenggarakan tugas dan
fungsinya, BLH mempunyai struktur organisasi, yaitu Sub Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Kualitas Lingkungan Hidup mempunyai
salah satu fungsi dan tugas, yaitu melaksanakan pengawasan dan
pengendalian pemakaian dan /atau pengusahaan air tanah.

Pengendalian BLH terhadap pemakaian air tanah oleh hotel


berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 41 Tahun 2013 sudah
dilaksanakan tetapi belum berjalan maksimal. BLH Kota Yogyakarta telah
melakukan pengendalian terhadap pemakaian air tanah oleh hotel dengan
cara pemeriksaan dokumen periodik, mewajibkan hotel membuat sumur
resapan, mewajibkan hotel mendistribusikan sepuluh persen air yang
dimanfaatkan, melakukan inspeksi mendadak, mengajak partisipasi
masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pemakaian air tanah,
dan melakukan koordinasi dengan instansi-instansi pemerintah terkait, serta
sosialisasi aturan hukum kepada hotel sebagi upaya preventif menghindari
pelanggaran. Namun, BLH belum secara intensif melakukan pengecekan
pembuatan sumur resapan, distribusi sepuluh persen air tanah yang
dimanfaatkan, dan sosialisasi aturan hukum.

10
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa:


1. Pembangunan hotel di Yogyakarta menjadi masalah utama terhadap air
tanah yang kian menipis.
2. Pemerintah dengan mudahnya memberikan izin pendirian hotel dan
pengambilan air tanah tetapi tidak melihat dampak yang ditimbulkan ke
masyarakat sekitar, apalagi hotel dibangun diantara kawasan rumah
penduduk.
3. Masyarakat semakin hari semakin sulit untuk mendapatkan air tanah
karena jumlah cadangan air tanah dengan pengambilan air tidak seimbang.

4.2. Saran

Pemerintah Yogyakarta sebaiknya menertibkan kembali administrasi


terkait perizinan pembangunan hotel dan pengambilan air tanah, agar
proyek tersebut juga mempertimbangkan dampak lingkungan berupa krisis
air yang dialami masyarakat. Jika memungkinkan, pembangunan hotel baru
harus dihentikan agar dampak kekeringan tidak meluas. Jumlah hotel yang
ada saat ini pun jika dikalkulasikan sudah dapat menampung jumlah
wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta setiap tahunnya. Sehingga tidak
ada alasan yang mendesak untuk pemerintah memberikan izin untuk
membangun hotel baru.

11

Anda mungkin juga menyukai