Anda di halaman 1dari 2

Jangan Di Pas-Pasin

Malam itu, iklan televisi mengajak ingat tentang yang lalu-lalu, ada satu iklan dulu sempat
menggoda pemikiran. Iklan tersebut adalah iklan rokok yang mecoba mempromosikan
dengan visualisasi yang sangat menarik dengan ilustrasi hewan mencoba masuk sebuah
lobang dan ternyata tidak muat. Kemudian ada kata-kata berbarengan dengan sebuah tulis
menancap bah sedang di dok, seperti ini “ kalau tidak pas jangan di pas-pasin”. Memang
setiap apapun itu ada porsi tersendiri yang harus kita pahami (ada takaran) kalau lepas
selesailah. Tetap berbicara iklan, coba kita kita lihat bagaimana mungkin orang sakit kepala
akan diberikan obat sakit perut, panas atau obat lain yang sama-sekali tidak ada hubungannya
dengan sebuah penyakit, ini persepsi dasar.

Kalau berbicara iklan ya seperti sebelumnya. Kita coba bicara bagaiman perspektif agaman
yang mengajarkan kita untuk meletakkan sesuatu tepat pada tempatnyanya, kata kyai saya
dulu dikampung “Dholim kalau bukan pada tempatnya”. Sepontan kita raba sedikit
bagaimana pejbat public memanfaatkan kapasitasnya untuk kepentingan politik selanjutnya
atau jsutru barisan lain yang salah tempat, sebaliknya yang seharunya menjadi pekerjaan
pejabat public selalu dinilai politis, pendidikan politik kebangsaaan benar-benar membawa
mahasiswa politik kebingungan ketika terjun ke ranah realitas praktis. Bukan hanya bangku
kuliah bangku angkringan di warung kopi akan hangat dengan logika dasar. Maha benar
rakyat, hanya saja pembicaraan itu tidak ter sistematis tapi asik, kenapa? Tegasnya tidak
meabrak logika dasar.

Kalau pembaca pernah merasakan ngopi di warung pembicaraan kecil kecilan yang dimulai
akan terasa tepat diwarung, ya selesai diwarung. Mari transformasikan menjadi nilai gerak!.
Seorang ahli akan mendengar angina-angin sedap kopi kita, kecuali ahli-ahlian yang
membuatnya sederhana dengan mengandalkan penyamun sebagai representasi untuk
mendapatkan tolak ukur. Penyamun, ya penyamun, berlagak sudah memahami persoalan
secara komperhensif padahal penyamun. Saya pastikan situbondo tidak punya penyamun,
kalau penyamun penyamunan saya tidak pernah tahu.

Tetap diwarung kopi, kala saya coba mengintip suara diskusi itu dengan asik mereka
berdealektika tentang sebuah daerah. Mulai dari peristiwa khidmat perubahan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Situbondo 2016-2021, rencana
5 tahunan sebagai visi besar pembangunan jalan tiba-tiba setelah pertengan 3 tahun jalan
tepatnya 2018 dirubah. Target serta skala prioritas yang menyusut membuat kepalang karena
akan menabrak logika dasar prihal belum sampai kepada target sudah mencla-mencle.
Apalagi yang mau dibahas dengan analisis yang tajam atau sistematis kata kaum pintar-
pintaran yang hanya mengaburkan subtansi. Tandanya penyusunan RPJMD kala dinilai harus
dirubah mengartikan lari dari tanggung jawab janji pemimpin, atau ketidak mampuan dalam
menganalisis apa yang akan direncanakan lima tahun kedepan, kebuntuhan berfikir atau
bahkan memiliki visi besar lain yang progres?.

Tiba-tiba salah-satu mereka ketika saya kuping mengatakan “terus jalan lingkar utara yang
tak kinjung lingkar-lingkar untuk apa kalau situbondo diproyeksi akan menjadi lintasan tol
Probolingg-Banyuangi?. Tahun Kunjungan Wisata yang tak Kunjung-kunjung?.” Sepontan
hati saya bersuara, Lingkarkan saja- kunjungkan saja.

Baru saja Muktamar Tani, Media itu dengan jelas meng cover kekecewaan dengan pelaksaan
tersebut. Wajarlah namanya petani ya begitu, kalau anda menanam sendiri baru tahu rasanya
menjadi petani bukan hanya melihat-lihat dimuktamar. Setidaknya hari-hari muktamar
kemaren menjadi tolak ukur bagaimana sedikit kecupan visi besar kedepan yang akan
dikembangkan tentang Ekonomi Kebersamaan Agraris di Kabupaten Situbondo. Intinya
kalau tidak pas kembali ke lead awal jangan di pas-pasin, belajarlah dari iklan rokok.

Anda mungkin juga menyukai