Filsafat Ilmu Pendidikan Islam Ek & SP
Filsafat Ilmu Pendidikan Islam Ek & SP
FILSAFAT
1
Dikenal ada dua pikiran, pikiran sadar (concious mind) dan pikiran bahwa sadar
(subconcious mind). Pikiran sadar mempengaruhi hidup kita 12% dan 88%
dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar. Di antara dua pikiran itu, ada critical factor.
Critical factor menyaring informasi yang akan masuk dari pikiran sadar menuju
pikiran bawah sadar. Baca Adi W.Gunawan,Hypnotherapy for Children, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.26
menjelaskannya. Tidak perlu berjilid-jilid buku tafsir al-Qur’an
yang selalu berkembang dan tidak mungkin bisa dibatasi dengan
penutupan pintu ijtihad.
Untuk memahami apa yang dikemukakan oleh B.J. Habibie,
perlu diidentifikasi kata-kata kunci sebagai berikut. Pertama, besok
yang menunjukkan belum terjadi. Kedua, matahari akan terbit.
Ada kalimat bahwa yang lewat itu sangat jauh karena tidak akan
pernah terulang lagi. Seperti saat penulis menulis topik ini pada
hari Rabu, 2 Oktober 2019 jam 08:52, maka Rabu, 2 Oktober 2019,
jam 08:50 itu dinilai sangat jauh dan bahkan jauh sekali bahkan
jauh sekali-sekali-sekali untuk menunjukkan, tidak mungkin itu
dijumpai kembali. Orang bijak menyebut,
لن ترجع األيام اليت مضت
Artinya, “Mustahil waktu yang telah lewat akan terulang
kembali”
Kita tidak akan pernah mandi dengan air yang sama di
sungai karena air sungai terus mengalir. Sementara waktu yang
akan datang itu disebut dekat, karena dia mungkin akan jumpa
bukan pasti berjumpa. Berbeda dengan yang telah lewat mustahil
jumpa kembali. Tafsiran ini tidak berlaku untuk menjelaskan
ungkapan habibie tersebut. Besok bukan persoalan dekat jauh,
tetapi persoalan future (mustaqbal). Jika dihadapkan dengan
ketentuan Allah, maka mungkin juga besok tidak ada karena
adanya kiamat, berakhirnya umur dunia ini, sementara ukuran
besok adalah waktu duniawi. Dengan dengan demikian,
keberhasilan B.J. Habibie dalam pengandaian itu harus
dihadapkan dengan ketentuan Allah. Ali bin Abi Thalib
mengatakan, “sia-sialah usaha manusia, jika ajal telah tiba”. Ajal
tidak selamanya linier dengan logika sebab karena Allah kuasa
untuk melakukan apa saja, termasuk yang tidak logis. Konsep
pikir B.J. Habibie itu sangat teologis dan religius.
Adapun matahari terbit berhubungan dengan alam. Bisa,
karena faktor alam yang mendung, matahari tidak terlihat. Tidak
terlihatnya matahari bukan berarti dia tidak terbit, tetapi tidak
terlihat. Kalimat besok matahari akan terbit dapat dipahami terbit
dan terlihat. Keberhasilan B.J. Habibie juga ada hubungannya
dengan faktor alam. Seorang arsitek yang merencanakan sebuah
gedung akan rampung dalam 4 bulan, ternyata begitu selesai,
dalam 3 menit diruntuhkan oleh gempa, sehingga bangunan itu
seperti tidak pernah ada. Makna yang lebih luas dari ungkapan,
“Saya yakin bisa memajukannya, seperti yakinnya saya besok
matahari akan terbit.” Dari sisi kemampuan pada saat berbicara, ia
yakin bisa memajukan IPTN, jika tidak ada yang mengganggu
termasuk karena ketentuan Allah dan ulah manusia. Penjelasan
seperti itu dibutuhkan untuk memahami filsafat, tidak dibiarkan
benar-benar terlalu abstrak. Penulis berusaha memperkecil hal
yang abstrak itu untuk dapat menikmati proses berpikir (untuk
tidak mengatakan berfilsafat).
Menurunkan tensi abstraksi filsafat tidak terbatas dengan
satu jalan atau pendekatan. Setiap upaya memperkecil tensi
abstraknya, maka semakin menarik bagi sebagian orang yang
susah memahaminya. Sementara bagi sebagian orang lain yang
tingkat pemahaman filsafatnya advance class, memperkecil abstrak
kurang menarik karena bisa saja ia menjawab yang tidak
diperlukan oleh pembaca atau mempersempit ruang gerak
berpikir yang sebenarnya luas. Ruang tafsir yang berupa aktivitas
berpikir dan berijtihad membutuhkan teks asli untuk terbuka
dibedah secara luas. Jika telah dibedah, maka tetap terbuka untuk
dibedah kembali dengan teks yang sama.
Menjawab Pertanyaan
Apa pendapat Anda, jika ada seorang gadis, berprofesi
sebagai dosen di perguruan tinggi ternama di Indonesia
bergelar Doktor? Pendapat orang tentu bisa beragam. Jika dia
bergelar Doktor, maka gadis itu, kemungkinan sudah berumur
28 tahun. Umur 28 tahun untuk seorang wanita, tentu bukan
umur yang tergolong muda untuk melajang. Jika demikian,
dosen tersebut bisa jadi lebih mementingkan urusan karir
pendidikan dibandingkan urusan asmara, sehingga dia masih
melajang sampai meraih gelar Doktor. Bisa juga dosen yang
berumur 28 tahun tersebut tidak tergolong cantik, sehingga
walaupun dia tidak berniat melajang sampai menyelesaikan
pendidikan Doktor, belum ada yang melamarnya. Bisa juga
gadis tersebut sebelum Doktor, telah dilamar pria, tetapi pria
itu kurang dia sukai. Bisa juga wanita itu merasa bahwa dirinya
memiliki status sosial yang mulia, sehingga ia mengharapkan
pria yang melamarnya sepadan dengannya dan bahkan lebih
mulia darinya. Gadis ”tidak muda” itu bisa jadi cantik, tetapi
karena ia berpendidikan tinggi, pria yang tidak sepadan
pendidikan dengannya segan untuk melamarnya. Adapun Jika
pria yang ganteng yang sepadan pendidikannya dengan gadis
itu (pria bergelar Doktor), maka ia membutuhkan wanita yang
cantik yang lebih muda atau wanita yang tergolong sedang
umurnya untuk dinikahi, seperti berumur 22, 23, dan 24 tahun
atau bahkan menginginkan umur yang lebih muda dari itu.
Untuk itu tidak selamanya pendidikan yang tinggi
menguntungkan bagi seorang wanita walaupun cantik,
cantikpun jika dihubungkan dengan persoalan jodoh. Tentu
dalam hal ini kita sedang mengesampingkan urusan ”jodoh di
tangan Tuhan”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk
menjawab pertanyaan diperlukan alur berpikir yang benar
dengan berpatokan pada informasi yang ada. Alur berpikir
yang menjawab pertanyaan itupun sudah dikatakan berfilsafat.
Berfilsafat dapat dipahami sebagai cara berpikir benar.2
Dari kasus di atas, kebenarannya tentu yang lebih tahu
adalah gadis tersebut. Namun walaupun dia tidak memberi
tahu apa sebabnya pada umur 28 tahun dia belum menikah,
pikiran dengan sistemnya bisa memberikan jawaban alternatif.
Dalam teori logika itu yang disebut dengan posibility
(kemungkinan). Kita bisa memberikan kemungkinan
jawabannya sesuai dengan alur berpikir yang dapat diterima
oleh akal.
Setiap kata yang mungkin dalam filsafat harus memiliki
dasar pijakan. Jika tidak memiliki dasar pijakan atau dasar
teoretis, maka tidak disebut filsafat. Seorang calon legislatif di
suatu daerah berasal dari daerah pemilihannya. Ia seorang tokoh
yang dikenal baik oleh masyarakat. Masyarakat sangat berharap,
esok lusa, ia yang terpilih jadi anggota dewan. Memang tokoh
ini tidak punya banyak uang untuk “membayar suara”, namun
masyarakat yakin banyak yang suka rela akan memilihnya.
Kesimpulannya, mungkin tokoh itu akan terpilih jadi anggota
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
hal.45
dewan. Apa dasar pijakannya, caleg itu orang baik menurut
masyarakat. Bedakan dengan seorang caleg DPR dari dapil
tertentu. Caleg itu memang berasal dari dapilnya, tapi ia sudah
lama merantau. Para calon pemilih pun tidak banyak kenal dia
lagi. Juga caleg itu pun tidak datang-datang kampanye atau
sosialisasi. Kemudian orang menyimpulkan, ia mungkin
menang, mungkin juga kalah. Ini kata mungkin yang bukan
filsafat karena tidak ada dasar pijakannya.
Apa pendapat Anda tentang seorang Gubernur yang
belum dikaruniai anak sedangkan ia mengkorupsikan uang
negara? Gubernur itu dalam mencapai jabatannya telah
menghabiskan dana yang banyak, sehingga jika tidak korupsi,
maka modalnya tidak kembali. Gubernur itu seorang yang
menggunakan ”aji mumpung”. Mumpung gubernur, maka
kesempatan mengumpulkan harta sebanyak banyaknya.
Setidaknya itulah gambaran ”hegemoni budaya benda” yang
dikemukakan oleh Komaruddin Hidayat.3
Selain itu, gubernur tersebut bisa jadi orang yang jujur,
tetapi karena desakan istrinya yang dia cintai agar untuk
menjadi milliader, maka sang gubernur korupsi. Boleh jadi
gubernur itu orang yang jujur, tetapi orang-orang di
sekelilingnya atau pembantu-pembantunya merasiona-
lisasikan korupsi sebagai hal yang lumrah.
Dalam menjawab pertanyaan kedua tadi, kita telah
menggunakan otak berpikir teratur. Berpikir teratur itu juga
3
Baca Komaruddin Hidayat, “Hegemoni Budaya Benda” dalam Nucholish Madjid,
et.al., Kehampaan Spritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Media Cita,2000), hal.287-
295
termasuk berfilsafat.4 Pejabat yang berkecukupan harta, tetapi
korupsi, akalnya tidak waras alias gila. Jika orang miskin,
berkekurangan dan mencuri, walaupun tindakannya salah,
tetapi hal itu masih bisa diterima akal.
Abdul Qodir Audah dalam al-Tasyri` al-Janay al-Islami
membagi kriminal dari sisi metode pelanggarannya, ada yang
bersifat ijabiyah (positif) ada yang bersifat salabiyah (negatif).
Korupsi bagi yang miskin tetap kriminal negatif, hanya saja
kadar negatifnya di bawah korupsi bagi orang kaya. Menurut
Abdul Qodir, kriminal pun ada yang bersifat positif. Yang
masuk katagori ini kemungkinan, bermaksud membela diri dari
perampok, sehingga perampok meninggal. Dengan
meninggalnya perampok, masuk dalam pembunuhan.
Pembunuhan adalah kriminal, namun menjaga harta (hifzh al-
mâl) adalah hak utama yang harus dipertahankan. Untuk
mempertahankannya secara sah itu adalah positif. Ini namanya
kriminal positif menurut Abdul Qodir.
Kenapa orang berbohong? Orang berbohong bisa jadi
karena kebiasaan, ini berbahaya. Orang berbohong bisa jadi
karena ingin mengambil keuntungan dari kebohongan, ini
banyak merugikan orang lain. Orang berbohong bisa jadi
karena menutupi rasa malu, ini biasa gengsi ”orang-orang
mulia”. Orang berbohong karena ingin merekayasa kesan biasa
menjadi kesan yang lucu. Perbuatan riya,
takabbur, dan juga sum’ah termasuk bagian dari rekayasa kesan.
Mata, hidung, telinga, tangan, pipi, kaki adalah anggota
tubuh. Kalau laki-laki dan perempuan termasuk apa? Ia adalah
4
Baca Abuddin Nata, Filsafat…, hal.3
jenis kelamin. SD dan SMP termasuk apa? Ia adalah pendidikan
dasar. Apel, rambutan, mangga, dan duku termasuk apa? Ia
adalah buah-buahan.
Pertanyaan-pertanyaan pada paragraf terakhir termasuk
wilayah kerja akal dan hal mengklasifikasikan sesuatu. Tidak
semua orang memiliki kemampuan klasifikatif. Hal itu diatur
dalam teori-teori logika.5 Logika adalah wilayah kajian utama
dari filsafat dalam mencari kebenaran.
Mari kita melihat ayat al-Qur’an.
5
Baca Mundiri, Logika, Cet. IX, (Jakarta: Raja Grafndo Persada, 2005), hal. 45
langit dan bumi. Jawabannya tetap Allah. Dalam Surah al-
Zukhruf/43: 9, pertanyaan yang sama ditanyakan kembali, dan
jawabannya, al-Azîz (Yang Maha Perkasa) dan al-’Alîm (Yang
Maha Pintar).
Alasan logis juga didapatkan dari para mufassir, ketika
Allah menggunakan kata ”khalaqa” berarti membuat sesuatu
dari tiada menjadi ada. Adapun manusia hanya mampu
membuat sesuatu yang ada menjadi ada dengan nama yang
lain.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa yang menciptakan
langit dan bumi adalah pasti Allah, sebab tidak ada yang
mengetahui dari mana bahan diciptakannya langit dan bumi. Jika
pun orang berhasil menyebut bahannya, mustahil manusia bisa
menciptakannya. Sampai sekarang pun tidak pernah terdengar ada
orang yang berani akan membuat langit dan bumi. Jika ada pun,
akan dikatakan orang “gila”. Begitu dan seterusnya bahwa logika di
dalam al-Qur’an sangat kuat dan mustahil dipatahkan
argumentasinya karena sumbernya dari yang Maha Benar.
Contoh, kayu diolah manusia menjadi kursi. Air putih
menjadi fanta. Tepung, pisang, dan minyak goreng diolah
menjadi pisang goreng. Sementara manusia dari tiada menjadi
mani. Dari mani menjadi darah. Dari darah menjadi daging.
Daging dibungkus dengan tulang belulang. Setelah empat
bulan, ia menjadi ciptaan yang baru yang disebut dengan
manusia.6
Di dalam hadits diutarakan bahwa di antara akhlak
orang-orang Islam adalah meninggalkan apa-apa yang tidak
6
Baca ( Q.S. al – Mu’minun/ 23 : 14 )
bermanfaat baginya.7 Tentunya logika kita tidak akan berkata,
”seorang yang mencuri mobil termasuk akhlak yang baik,
karena ada manfaatnya buat pencuri”. Azas manfaat tentu
sesuai dengan rambu-rambu agama.
Ada hadits yang berbunyi:
يا رسول اهلل علمين كلمات أعيش هبن: أن رجال أتى إىل ر سول اهلل صلعم فقال
وال تكثر علي فانس فقال رسول اهلل صلعم ال تغضب
Artinya, ”Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan
berkata, ajari aku ya Rasulullah kata-kata, darinya bisa saja jadikan
panduan hidup, tetapi jangan banyak- banyak yang membuat saya
lupa. Rasulullah bersabda: jangan marah” 8
Nasehat singkat Rasulullah selain ”jangan marah”
adalah ”jangan berbohong”. Jika kita analisa marah memang
ada yang terkendali dan ada yang tidak terkendali. Marah
adalah fitrah manusia, jika diharamkan tanpa terkecuali maka,
fitrah manusia telah dirampas, dan itu tidak logis.
Marah yang terkendali barangkali bisa diberi contoh dari
beberapa peristiwa yang sedang terjadi belum lama ini.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ”mengeluhkan” gaji
sebagai presiden tidak pernah naik sudah tujuh tahun pada
Januari 2011. Ternyata ”keluhan” serupa pernah juga
diungkapkan oleh SBY pada 4 April 2009, saat silaturrahmi
dengan guru di Surabaya.9 Masyarakat menanggapi hal
tersebut secara beragam. Ada yang menanggapinya dengan
7
(Belum ditulis,karena tulisan arab), “diantara akhlak yang mulia dari seorang
muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya…” Baca Imam
Malik, Muwaththa,’ ( Mirs: al-Andalus al-jadidah, 2009), hal.659
8
Baca Ibid, hal. 661
9
Republika, “ Gaji Presiden” dalam Republika, Sabtu, 22 Januari 2011
demonstrasi dan ada juga yang menanggapinya dengan
membuat ”kotak amal”. Alasan mereka yang berkomentar
negatif, presiden yang mendapat fasilitas yang serba mewah
dari negara, janjinya memberantas korupsi dengan memimpin
langsung tidak kunjung terbukti, tidak layak dikemukakan
tentang kenaikan gajinya. Komentar negatif tersebut bisa jadi
bagian dari marah yang terkendali. Tentu bukan itu tafsiran
pesan Rasulullah Saw. dengan ”jangan marah”.
Contoh marah yang tidak terkendali yang sesuai dengan
pesan Rasulullah Saw. itu barangkali sebagaimana yang ditulis
oleh Daniel Goleman dalam Emotional Inteligence, seorang
perampok kawakan, Richard Robles yang berencana akan
”pensiun” dari profesi yang menakutkan itu, karena tuntutan
kebutuhan pacar dan putrinya, ia berencana mencuri satu kali
lagi.10
Singkat cerita, Robles merampok apartemen dua wanita
karir muda, Hoffert dan Janice Wylie. Sewaktu dia masuk
apartemen, ternyata Wylie ada didalamnya. Untuk
mengamankan niatnya, ia mengancam Wylie dan mengikatnya.
Sewaktu ia akan kabur membawa hasil rampokan, Hoffert
pulang. Hoffert kemudian diikat juga. Sewaktu Robles
mengikat Hoffert, Hylie mengingatkannya bahwa ia (Robles)
tidak akan lolos dari hukuman atas perbuatannya, karena ia
mengenal betul wajahnya dan akan melaporkan ke polisi.
Ungkapan Wylie ini membuat Robles panik dan marah besar.
Robles mengambil botol soda dan memukul dua gadis itu
sampai pingsan. Tidak hanya berhenti membuat mereka
10
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Cet. XIV, (Jakarta: Gramedia,2004),hal.17
pingsan, ia menyanyat-nyayat dua gadis itu dengan pisau
dapur.11
Kisah perampokan Robles tersebut sebagai salah satu
bukti bahwa marah bisa menumpuk-numpuk dosa. Robles
sudah merampok, mengikat, memukul mereka sampai pingsan,
dan sampai menyanyat-nyayatnya.
Dari uraian di atas, semua permasalahan diselesaikan
dengan alur berpikir logis. Memahami dan menafsirkan
perkataan, perbuatan, sikap, dan juga tulisan bagian dari kerja
filsafat. Untuk itu sehari-hari, kita tidak pernah luput dari kerja
filsafat.
Filsafat bisa diucapkan, dipikirkan, dijelaskan, tetapi
wujudnya tidak bisa dihadirkan. Ketika disebutkan cantik, maka
jangan berpikir bahwa itu bagian-bagian jasmani yang bisa
ditunjukkan. Jika cantik hanya berupa jasmani, maka orang dapat
mencintai wanita cantik tapi idiot. Wanita berparas cantik tapi
idiot tidaklah menyenangkan bagi orang pada umumnya. Bentuk
lain ada wanita cantik, tetapi kejam dan arogan. Yang cantik,
kejam, dan arogan itu tidak menyenangkan bagi orang lain.
Segala yang mengakibatkan rasa tidak senang, tidak dapat
disebut cantik. Dengan demikian, cantik dalam konsep filsafat
adalah totalitas yang bisa dijelaskan dan didefinisikan, sekalipun
tidak bisa dihadirkan bentuk fisiknya. Cantik dapat didefinisikan,
“Apabila kamu melihatnya, ia menyenangkan”
11
Ibid, hal. 17-18
tetapi berpikir nalar, hanya manusia yang mampu.12 Kucing
tahu mana makanan yang enak dan anjing tahu majikan yang
baik. Tikus dapat berpikir bahwa kucing adalah musuhnya.
Ayam dapat berpikir bahwa jika majikannya tidak
menyediakan makanan, maka ia harus berusaha mencari
sendiri. Ketika kita akan menangkap ayam dengan
mengumpannya dengan makanan di tangan kita, maka ayam-
ayam itu tidak semuanya terjebak dengan siasat kita. Karena
bisa saja ia berpikir, jika ia makan umpan itu, ia akan tertangkap.
Tetapi, ayam yang sudah dibiasakan oleh majikannya diberi umpan
makanan, ketika majikannya memberi umpan, ia tidak akan takut
ditangkap, tetapi jika orang lain yang memberi umpan, ia tidak mau
mendatangi makanan itu. Namun harus diketahui bahwa binatang
berpikir hanya untuk kelangsungan hidup saja (survival). Sementara
manusia berpikir bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, tetapi juga
untuk tujuan kemuliaannya. Binatang berpikir bukan untuk
mengembangkan pengetahuan, sementara manusia berpikir, di
antaranya untuk mengembangkan pengetahuan.
Manusia mampu berpikir sampai ke tingkat nalar. Ada dua ciri
berpikir nalar. Pertama, pola berpikirnya secara luas dan dapat disebut
logika. Kedua, berpikir yang bersifat analitik. Hanya Penalaran ilmiah
yang menggunakan logika analitik.13 Dikarenakan tidak semua manusia
berpikir mengikuti aturan logika. Untuk itulah tidak semua aktivitas
berpikir disebut dengan filsafat, tetapi aktivitas berpikir yang logis
analitik itulah yang disebut dengan filsafat.
Towil Simamora berumur 20 tahun dengan tinggi badan 160
cm. Pada saat Towil berumur 40 tahun, maka tinggi badannya 320
12
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 40
13
Ibid, hal. 43
cm. Jika ada orang yang berpikiran demikian, maka cara dan hasil
berpikir demikian keliru dan tidak dipercaya oleh orang lain.
Pertama rumus berpikir tentang umur dan dihubungkan dengan
tinggi badan tidak linier dengan secara matematis proporsional. Jika
itu dikatakan benar, maka tukang kusen pintu tidak akan
memproduksi rata-rata tingginya 210 cm. Pertumbuhan tinggi badan
harus dihubungkan dengan teori psikologi perkembangan fisik. Pada
umur 21 tahun, umumnya pertumbuhan tinggi badan akan berhenti.
Nur Fadhil Lubis, mantan rektor UIN Sumatera Utara
mengutarakan logika ekonomi. Bahwa seseorang menanyakan harga
satu buah pisang di pasar sebesar Rp. 1.000. Karena melihat jumlah
pisangnya dalam satu sisir ada 10, maka ia membayarnya Rp. 10.000
dengan alur berpikir 10 x 1.000 = Rp. 10.000. Pedagang pisang
tersebut mengatakan, kalau satu sisir cukup bayar Rp. 9.000. Memang
logika dagang, semakin banyak dibeli, maka akan semakin murah
harganya. Namun tidak selamanya teori ini berlaku di semua tempat
dan waktu. Di Padangsidimpuan, masih banyak pedagang buah,
menjual pisangnya berdasarkan hitungan per buah walaupun itu satu
sisir. Ada juga pedagang memberi harga, berapa banyak pun yang
dibeli, harganya tetap sama, tidak menjadi lebih murah.
Logika dagang ini juga terkadang masuk dalam bidang
pendidikan. Jika ada 2 anak kandung yang sekolah dalam satu
yayasan, maka biaya SPP-nya dimurahkan. Jika satu anak misalnya
SPP per bulannya Rp. 100.000, maka kalau 2 anak kandung, maka
SPP per bulannya Rp. 90.000. Jika tiga anak kandung, SPP per
bulannya Rp. 85.000. Logika ini sah sah saja. Banyak juga sekolah
melakukan berapa pun banyaknya yang sekolah dalam sebuah
yayasan, biaya SPP tidak berubah.
Ada juga dalam rekrutmen peserta didik, sekolah memberi jasa
kepada siapa saja yang membawa murid mendaftar dalam sebuah
sekolah. Membawa satu murid mendapat jasa Rp. 50.000. Dengan
cara demikian, ada orang yang tertarik mencari murid untuk
dibawakan mendaftar ke sekolah itu. Logika dagang ini sekalipun
dinilai benar, namun pada prinsipnya “dagang pendidikan” tidaklah
ideal. Lembaga pendidikan yang dinilai berkualitas, tentu tidak
membutuhkan biro jasa bahkan pada umumnya dia akan kebanjiran
pendaftar, sehingga ia dengan leluasa bisa menyeleksi murid-murid
terbaiknya. Dengan demikian, yang menggunakan “biro jasa”
rekrutment murid kualitas pendidikannya tidak baik.
Filsafat sering disebut dengan berpikir, sehingga jurusan
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, shalih disebut dengan Filsafat
Islam. Kalau akal bisa diibaratkan dengan perangkat keras (hard ware),
maka pikiran bisa dijadikan soft ware. Hasil kerja akal bisa disebut
dengan pikiran.
Apa saja yang dihasilkan pikiran? Secara sistematis bisa
dikatakan bahwa pikiran mencoba mengomentari, mempersoalkan,
membahas, dan juga menjawab pertanyaan dasar what, who, where, when,
why, dan how (5 W & H) dan juga pertanyaan turunan dari yang enam
tersebut.
Apa saja yang harus dipersiapkan oleh seorang calon haji?
Mereka harus menyiapkan mental spritual, kecukupan ekonomis,
mental psikologis, kesehatan, dan lain-lain. Siapa saja yang berhak masuk
surga kelak? Mereka yang pahalanya lebih berat daripada dosanya, mereka
para Rasul dan nabiNya, mereka yang tergolong dalam orang-orang
bertakwa, mereka yang tergolong dalam orang-orang yang beriman
(al-mu’min bukan amanû). Dimanakah letak surga itu? Al-Qur’an dan juga
hadits tidak menyebutkan tempat itu berdasarkan arah mata angin dan
letak geografisnya, hanya saja disebutkan bahwa surga suatu tempat
yang serba nikmat, diperuntukkan untuk hamba- hamba Allah SWT
14
Baca ( Q.S. Ali Imran /3 : 133)
Tahun berapa dan berapa tahun lagi dunia ini akan kiyamat?. Al-
Qur’an dan hadits tidak memberi informasi dan juga hasil kerja akal saat
ini belum menjangkau hal itu. Bagaimana caranya agar kita bisa masuk
surga?. Secara teoretis, mengerjakan perintah Allah SWT, dan
meninggalkan laranganNya akan membawa hamba Allah masuk
surga. Apakah mungkin ada manusia yang melaksanakan semua perintah
Allah dan meninggalkan semua laranganNya?. Secara teoretis, tidak
ada, karena manusia bukan malaikat yang hanya memiliki ketaatan
dan juga bukan iblis yang hanya memiliki pengingkaran
terhadapNya. Untuk itulah Allah SWT. menyediakan amunisi istighfâr
(permohonan ampun) dan taubat (”sertifikat” tidak akan
mengulangi perbuatan dosa).
Semua pertanyaan dan jawaban di atas dapat dimasukkan
dalam filsafat dalam pengertian berpikir. Namun bisa jadi orang yang
sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tidak sedang
berfilsafat, jika aktivitas berpikir tidak ada sama sekali. Ada orang
hanya mengandalkan hapalan luar kepala ataupun aktivitas akal hanya
sebatas mengingat (recall: remember) yang ada di akal.
Ada kalanya orang tidak berpikir, tetapi mengemukakan
hasil pemikiran orang lain. Berfilsafat adalah murni kegiatan
berpikir bukan mengemukakan hasil berpikir orang lain.
Sungguh ulama yang menyimpulkan rukun Islam itu ada lima,
walaupun materi dan inspirasinya dari hadits. Penyebutan
rukun Islam itulah yang menjadi istimewa dan merupakan
produk berpikir. Sungguh kegiatan berpikir yang filosofis,
Abdul Qodir al-Jilani membagi manusia berdasarkan hati dan
lidah. Ada manusia yang tidak punya hati dan lidah. Mereka
itulah yang tidak perduli dengan kebenaran dan kebaikan. Ada
manusia yang tidak punya hati, tapi punya lidah. Mereka itulah
adalah orang terpelajar, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Ada
yang tidak punya lidah, tapi punya hati. Mereka yang banyak
diam ketimbang berbicara yang tidak perlu, tetapi mereka
orang-orang yang baik. Ada manusia yang punya hati dan lidah.
Mereka itulah manusia yang ideal, punya pengetahuan dan
mengamalkannya untuk kebaikan.
Sadar atau tidak pengetahuan kita sudah banyak yang
dikeluarkan tanpa melalui proses berpikir dan mengingat. File-file yang
telah dihapal luar kepala, sehingga pemaanggilannya tanpa proses
memori lagi. 88 % otak bekerja tanpa melalui proses berpikir,
sementara yang melalui proses berpikir itu hanya 12 %.15
Dalam berbicara, mengungkapkan huruf, kata, dan kalimat
ketika berkomunikasi sehari-hari banyak sekali yang tidak lagi
dilakukan melalui proses berpikir. Untuk itulah kita sangat lancar
berbicara dan bahkan speed-nya sangat cepat. Itulah yang kita kenal
dengan istilah hapal luar kepala alias tidak melalui proses mengingat.
Pengetahuan memang harus diusahakan agar keluar dari sistem memori
dalam pengertian keluar dari gudang memori agar memori itu bisa
terisi lebih banyak atau untuk mempermudah proses recall.
Orang yang mengemukakan pemikiran filsafat tidak selamanya
linier dengan berfilsafat. Bukankah mengatakan ”Tuhan itu Satu” adalah
pemikiran filsafat, tetapi bukankah lebih banyak ungkapan itu
dikemukakan berdasarkan pengulangan apa yang dikatakan orang,
yang sama sekali tidak membebani kerja keras akal kita. Perlu
digarisbwahi bahwa ketika akal hanya bekerja untuk sekedar mengingat,
maka itu tidaklah termasuk berfilsafat dan apalagi akal tidak bekerja
15
Andri Hakim, Hypnonis in Teaching, (Jakarta: Visimedia, 2010),hal.27
karena sudah masuk ranah yang automatic (hapal luar kepala). Setiap kali
akal terlibat dalam berpikir yang bukan sekedar mengingat, maka itu
boleh saja termasuk berfilsafat walaupun dalam pengertian yang
sederhana karena tidak semua aktivitas berpikir termasuk dalam
kriteria berpikir nalar karena tidak mengikuti alur berpikir filsafat.
Kata berfikir berasal dari bahasa Arab, yang asal asulnya dari kata
” fa,ka, dan ra”. Jika ditelusuri di dalam al-Qur’an, kata yang dibentuk
dari fa,ka, dan ra, ada dalam 14 Surah dan 19 ayat. Kesembilan belas
ayat tersebut memang cenderung dipahami bahwa berpikir dalam
pengertian filsafat. Artinya berpikir yang mendalam dan logis
setingkat dengan nalar ilmia.
16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 6-7
17
Ibid, hal. 7. Plato menyebut filsafat dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi.
Baca Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Cet. V, (Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2003),
hal. 2
18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 7
sebenarnya 19(al-’ilmu bi al-maujudât bimâ hiya al-maujudât).20
5. Ibn Rusyd (1126-1198 M), filsafat atau hikmat merupakan
pengetahuan yang otonom yang dikaruniai akal.21
6. Imanuel Kant ( 1724-1804 M), filsafat itu ilmu dasar segala
pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan
antropologi. Metafisika menjawab pertanyaan, apa yang dapat
kita ketahui?. Etika menjawab persoalan apa yang boleh kita
kerjakan? Agama menjawab sampai dimanakah pengharapan
kita? Sedangkan antropologi menjawab pertanyaan apakah
yang dinamakan manusia?22
7. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana, filsafat adalah berpikir
dengan insaf. Berpikir dengan insaf berarti berpikir dengan
teliti menurut aturan yang telah ditentukan.23
8. Deng Fung Yu Lan, filosof dari dunia Timur mengatakan
bahwa ”filasafat adalah pikiran yang sistematis dan reflektis
tentang hidup”.24
9. H. Hamersama mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan
metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan. 25
26
Ibid
27
Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 316
28
Asmoro Achmadi, Filsafat…,hal. 2
29
Ibid , hal. 3
30
Ibid
31
Ibid
32
Menurut al-Syaibani, FIlsafat itu bukan hikmah, tetapi cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya. Omar al-Taumi al-
Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan Langgulung, 1979), hal. 25
33
Ibid, hal. 26
34
Bijaksini untuk mengatakan hanya memikirkan keuntungan pribadi atau kelompok
tertentu.
Dari arti asal-usul kata filsafat dan sebagaimana diutarakan oleh
al-Syaibani, maka dapat ditelusuri bagaimana al-Qur’an
menggunakan kata hikmah dan derivasinya. Kata hikmah dan
derivasinya ditemukan 108 kali dalam 96 ayat. Dan kata hikmah
dalam bentuk nakirah hanya ditemukan dalam satu ayat pada Surah
al-Qomar/54: 5. Adapun al-hikmah dalam bentuk ma’rifah ditemukan
5 kali dalam 4 ayat, yaitu: al-Baqarah/2: 269, al-Isra/17:39,
Luqman/31:12, Shadd/38:20 .
35
Ahmad Musthafa la-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar,
dkk, Juz. 27, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 138-19
jargon, “undzur mâ a qâla wan man qâla: lihat apa yang
dibicarakan sekaligus melihat siapa yang membicarakannya.”
Makna ontologis filsafat berhubungan dengan konsep
moral. Seorang yang dianggap filosof, tetapi integritasnya
rendah, bisa saja terjebak pada ”kolusi intelektual” dengan
orang-orang yang punya kepentingan. Hal ini sering terjadi
pada politisi. Politisi jika berbicara sarat dengan kepentingan
partainya, sehingga susah dipercaya. Jika demikian, para filosof
yang berpartai, maka dengan sendirinya, ”pengsiun dari filosof
” atau ”cuti jadi filosof. ”
Di dalam Surah al-Isra/17: 39 dengan jelas Allah
menyebut orang yang diberikan hikmah itu diberi nama “alu al-
albâb”. Dengan demikian tidak salah, jika ada orang
mengatakan istilah filosof di dalam Islam menggunakan ulu al-
albâb. Kemudian di dalam Surah Luqhman/31: 12 Allah
menyebutkan Luqman adalah orang yang diberi ”hikmah”.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Luqman adalah filosof
dan pemikiran-pemikirannya yang abstrak logis dengan
sendirinya juga disebut filsafat. Selain itu, Allah juga berfirman
dalam Surah al-Sad/38:20 bahwa Nabi Daud diberikan
hikmah. Dengan demikian, Nabi Daud a.s. juga berhak disebut
filosof. Alasan pemberian hikmah itu dijelaskan oleh Allah
SWT. karena Nabi Daud sangat taat kepadaNya (awwâb).36 Al-
Maraghi ketika menafsirkan ketaatan Nabi Daud, mengatakan
bahwa Nabi Daud a.s. bangun selama sepertiga malam dan
berpuasa setengah tahun setiap tahunnya.37
36
Baca ( Q.S. Shaad/38:17)
37
Ahmad Musthafa la-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar,
dkk, Juz. 27, Cet. II, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 191
Siapa alu al-albâb itu? Menurut A.M. Saefuddin
sebagaimana dikutip Muhaimin, alu al-albâb adalah ”pemikir
intelektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala
dan proses alamiah dengan metode ilmiah induktif dan
deduktif, serta intelektual yang membangun kepribadian dzikir
dalam keadaan dan situasi apapun, sehingga mampu
memanfaatkan gejala, proses, dan sarana ilmiah ini untuk
keselamatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.”38
Pemahaman A.M. Saefuddin ini berdasarkan Q.S. Ali Imran/3:
190-191. Alu al-albâb yang kemudian kita katakan filosof, tidak
pernah berhenti berpikir dan berdzikir.
Menurut Jalaluddin Rahmad dalam Islam Alternatif:
Ceramah-Ceramah di Kampus, ada lima tanda ulu al-albâb :
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu, termasuk di
dalamnya kesenangan mensyukuri nikmat Allah di
langit dan di bumi (Q.S. Ali Imran/3: 7 dan 190;
2. Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik,
kemudian ia pilih yang baik, walupun ia harus sendirian
mempertahankannya dan kejelekan itu dipertahankan
banyak orang (Q.S. al-Maidah/5 : 100);
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil
yang dikemukakan oleh orang lain (Q.S. al-Zumar/39:
18);
4. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain
untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia
38
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa, 2010),
hal. 268
memberikan peringatan kepada masyarakat,
diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka
kalau terjadi penyimpangan, dan diprotesnya kalau
terdapat ketidakadilan, ia tidak duduk berpangku
tangan di laboratorium, ia tidak senang hanya terbenam
dalam buku-buku di perpustakaan, ia tampil di hadapan
masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki
ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat (Q.S.
Ibrahim/14: 52, al-Ra’d/1: 19-22); dan
5. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah (Q.S.
al-Baqarah/2: 197 dan al-Thalaq/65:10)
D. Ciri-Ciri Filsafat
Ada empat ciri utama filsafat sebagaimana dikemukakan
Ahmad Tafsir, yaitu logis, sistematis, radikal, dan universal.
Ciri lainnya abstrak, spekulatif, dan skeptis.
Logis
Dari empat ciri utama filsafat di atas hanya satu yang
memiliki disiplin ilmu tersendiri, yaitu logika. Tidak ada disiplin
ilmu sistematika, radikal, dan universal.
Logika berasal dari bahasa Latin, yaitu logos yang artinya
perkataan atau sabda. Dalam bahasa Arab disebut Mantiq yang
berasal dari kata nathaqo, berarti berbicara. Poespoprodjo dan
Gilarso mengutip bahwa logika the science and art of correct
thinking (ilmu dan seni berpikir yang benar). Dengan demikian,
logika tidak sekedar mengatur tata cara berpikir yang benar, tetapi
juga mengatur seni bepikir yang benar.
Logika sebagai ilmu mencakup metode dan hukum berpikir
yang benar. Metode dan hukum berpikir itu juga mengandung seni
berpikir
Ilmu logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium
abad ke-5 SM. Perintis lahirnya logika adalah kaum sofis Socrates,
dan Plato. Sementara ilmu logika lahir atas jasa Aristoteles,
Theoprostus dan kaum Stoa.
Menurut Zeno sesuatu yang menempati suatu tempat tidak
disebut bergerak, tetapi diam. Baginya tidak ada yang bergerak,
jika yang bergerak itu pada saat tertentu menempati tempat.
Dengan kata lain, menurut logika Zeno, yang bergerak itu adalah
bergerak selamanya dan tidak pernah diam. Begitu juga logika
Zeno, tidak ada yang disebut banyak. Sebab banyak harus bisa
dibagi. Bagiannya pun bisa dibagi, begitu dan seterusnya. Dengan
kata lain, menurut logika Zeno, yang banyak itu sesuatu yang tidak
habis dibagi. Mungkin yang banyak baginya seperti nikmat Allah
yang uncountable noun. Dalam bahasa al-Farmawi bighari hasri wa
biduni `adadi wa wazni (tidak terbatas, tidak terhitung dan
terbandingkan).
Zeno juga mengatakan tidak ada ruang. Jika Yang ada
berada dalam ruang, maka ruang itu berada dalam ruang, ruang
yang kedua pun berada dalam ruang, ruang yang ketiga pun
berada dalam ruang, dst.
Terhadap pendengaran, Zeno mengatakan tidak melahirkan
kebenaran. Jika sekarung gandum jatuh, bunyinya kedengaran,
maka satu butir gandum pun jatuh akan kedengaran, sebab
sekarung gandung terdiri dari sejumlah butir gandum.(Hatta, h. 25.
Logika Zeno hanya populer selama 4 tahun saja, yaitu tahun
464-460 SM. Dia melawan pikiran-pikiran filosof lainnya. Selama 4
tahun pemikirannya memang diminati dan populer.
Menurut Muhammad Hatta, walaupun logika berpikir Zeno
itu dianggap kalau, tetapi tidak bisa dibantah ada benarnya. Seperti
bergerak hanya dalam waktu tertentu saja. Pada saat yang
dikatakan bergerak menempati tempat, maka dia disebut diam.
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Ajarannya
logikanya kelak dilanjutkan oleh muridnya Theprostus. Menurut
Aristoteles, logika adalah berpikir secara teratur berdasarkan
hubungan sebab akibat.(Hatta,h. 121). Nama logika itu diberikan di
kemudian hari. Sementara Aristotels hanya menyebut namanya
dengananalytica. Sementara inti ajaran logikanya adalah
sylogismos.
Logis menurut pengalaman penulis dalam mengajarkan
mata kuliah yang ada hubungannya dengan filsafat, sering
dijawab dengan masuk akal. Jika ditanyakan bagaimana
mengukur masuk akal itu, biasanya sudah bermacam-macam
jawabannya, apalagi yang belum belajar logika sebagai disiplin
ilmu. Sesuatu dapat dikatakan logis berdasarkan teori-teori
logika.
Di antara teori-teori logika dikenal generalisasi, definisi,
asumsi, posibility, kausalitas, klasifikasi, khusus dan umum,
dilema, dan sebagainya. Apa pendapat Anda jika orang
mendefinisikan bahwa wanita adalah manusia yang lembut.
Apakah yang tidak lembut lantas bukan wanita dan apakah
laki-laki yang lembut lantas akan disebut wanita.
Apa pendapat Anda jika ada yang mendefinisikan
bahwa wanita adalah yang bisa melahirkan. Apakah yang
kenyataanya mandul dan tidak bisa hamil bukan perempuan
dan bagaimana wanita yang sampai akhir hayatnya tidak
menikah apakah akan disebut bukan wanita. Sebagian
mahasiswa ada yang mendefinisikan wanita adalah yang
memiliki payudara. Apa benar bayi wanita sudah punya
payudara? lantas mereka itu tidak disebut wanita. Itu semua
sebagian bukti bagi kita bahwa mendefinisikan sesuatu harus
mengikuti teori definisi. Apa pendapat Anda, jika wanita
didefinisikan secara biologis adalah yang memiliki alat kelamin
vagina (V). Adakah celah kita untuk menggugat definisi itu?
Karena salah satu jenis definisi sebagaimana ditulis M.N. al-
Attas, bi al-hadd (pembatasan). Jika kita ingin mendefesikan
wanita, maka sebutkanlah sesuatu yang dimiliki wanita dan
mustahil dimiliki oleh selain wanita. Tidak jarang kita
berhasil “berilmu” tetapi tidak berhasil “berfilsafat” dalam hal
definisi. Ketika kita memperlihatkan kursi pada mahasiswa,
kita bertanya apa yang ia lihat. Dengan cerdas, ia menjawab
kursi. Memang ada karena pengaruh faktor bahasa daerah,
terkadang menyamakan kursi dengan bangku, sehingga kursi
tetap ia katakan bangku, sebagaimana penulis alami sebagai
orang Tapsel sewaktu di SD. Namun ketika kita bertanya
kepada mahasiswa, apa itu kursi? Biasanya mereka tidak
secerdas membahasakan penglihatannya tadi. Ada yang
mengatakan, kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari
kayu. Setelah dia ingat, bahwa ada kursi dari besi, ia lalu
menambahkan bahwa kursi adalah tempat duduk yang terbuat
dari kayu dan besi. Setelah ia sadar kembali, bahwa ada juga
kursi yang terbuat dari aluminium, dengan menertawakan
kebodohannya ia kembali menambahkan bahwa kursi adalah
tempat duduk yang terbuat dari kayu, besi, dan aluminum.
Setelah ia sadar bahwa kursi ternyata tidak saja terbuat dari
bahan kayu, besi, dan aluminum, tetapi ada juga dari karet,
maka dengan sedikit malu ia menyudahi jawabannya dengan
pertanyaan, “lantas kursi itu apa dong pak?”
Berhubungan dengan definisi, ada juga mahasiswa yang
setengah kesal ketika penulis memperkenalkan filsafat dari
indikator atau ciri-cirinya, lantas bertanya, “Apa sebenarnya
definisi filsafat Pak?” Untuk mengurangi kekesalannya, saya
berikan definisi singkat, “filsafat adalah cinta kebijaksanaan”.
Dengan sikap sedikit mulai malu, ia kembali mengajukan
pertanyaan, “maksudnya Pak?” Hal itu menunjukkan bahwa
membuat definisi tidaklah mudah. Problematika membuat
definisi kata Juhaya S. Praja, tidak semua orang sependapat
dengan definisi yang diajukan, tidak jarang juga definisi itu
tidak mewakili semua yang di definisikan seperti yang terjadi
di atas ketika mendefinisikan kursi. Perbedaan redaksional
dalam mendefinisikan sesuatu sudah lumrah dan bahkan
substansi antara satu definisi dan definisi yang lainnya bisa
juga berbeda.
W. Poespoprodjo dan Gilarso menulis bahwa ada dua
jenis definisi, yaitu nominal dan riil. Yang nominal itu ada
berupa sinonim. Contohnya mendefinisikan kongres dengan
musyarawah. Motif dengan alasan. Yang lainnya adalah
etimologi. Etimologi (lughawi) membahas dari asal-usul istilah.
Contoh, filsafat berasal dari philos berarti cinta dan shopos
artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Definis riil ada tiga jenis. Pertama, dari sifat khas atau
hakiki (definisi logis/esensial). Contoh, kuda adalah sejenis
binatang yang dapat ditunggangi manusia dan berlari cepat.
Kedua, definisi deskripsi, yaitu kumpulan dari sifat. Contoh,
cinta kasil adalah sabar. Cinta kasih itu murah hati. Cinta kasih
itu tidak angkuh. Definisi deskriptif itu bisa alternatifnya bisa
banyak selagi menyebutkan sifat-sifatnya. Jadi cinta kasih bisa
didefinisikan dengan banyak kalimat yang menjadi ciri-cirinya.
Ketiga definis kuasal atau final yang menyebutkan sebab-sebab
atau tujuan. Contoh, gerhana bulan adalah kehilangan sinar
pada bulan disebabkan bumi berada diantara bulan dan
matahari.
Ajaran Islam itu logis, untuk itulah ketika ayat-ayat al-
Qur’an itu tidak dipahami maknanya, maka dilakukan ta’wîl
yang dalam ilmu bahasa Arab atau dikenal dengan majâz
(metafora).39 Memang dalam memahami ayat-ayat yang
mutasyabihât,40 ada ulama yang menta’wilkannya agar dia logis,
tetapi ada juga yang menganggap tindakan itu bagian dari
bid’ah seperti pendapat Imam Malik.
Menurut Quraish Shihab, setidaknya ada dua
argumentasi mereka yang menolak pemahaman metoforis.
Pertama, metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-
Qur’an adalah firman Allah yang suci. Kedua, seseorang tidak
39
Quraish Shihab, “Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual” dalam
bunyi Munawar Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
( Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 4
40
Ayat-Ayat yang mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maknanya karena tidak
ditemukan dalil yang kuat untuk memahaminya. Baca Subhi al Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Terjemahan. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001),hal. 372
akan menggunakan metafora kecuali jika ia tidak mampu
menemukan kosakata yang bersifat hakiki, dan tentunya harus
diyakini bahwa Allah Maha Mampu atas segala sesuatu.41
Mari kita berikan contoh bahwa ayat al-Qur’an
mengikuti kaidah logis. Dalam Surah Hud/11:6, dapat
dipahami bahwa Allah lah sesungguhnya yang memberikan
rezeki, semua makhluk hidup termasuk manusia. Yang
memberi rezeki sesungguhnya bukan lah manusia itu sendiri.
Jika manusia yang memberi rezeki, maka tidak dikenal
konsep, “tidak disangka-sangka : min haitsu la yahtasib” dan
tidak ada juga konsep “nasib”. Bagaimana seorang guru
memiliki gaji Rp. 200.000 per bulan di salah satu sekolah Taman
Kanak-Kanak masih tetap bisa hidup, sementara harga cabai
Rp. 100.000/ Kg. Untuk itulah kita mengenal pepatah, manusia
yang berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Tindakan logis
adalah berusaha dan keberhasilannya urusan Tuhan
Sistematis
Agak sering mahasiswa berhasil memahami sistematis
dengan mengatakan “beraturan”. Ketika disebut angka
1,2,3,4,5-10 mereka menyahut itu sistematis.Tetapi ketika
disebut angkat terbalik dari 10,9,8-1, tidak jarang sudah mulai
mereka ragu apakah itu sistematis atau tidak. Ada yang
mengatakan sistematis dengan yakin dan ada yang ragu-ragu
dengan menggunakan bahasa “suara semakin kedalam”, nada
tinggi munuju rendah, dan ada juga yang ragu dan diam
dengan tidak berkomentar (abstain dengan suara). Ketika
41
Quraish Shihab, “Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual “
Dalam Budyi Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi…, hal. 4-5
disodorkan angka 2, 4, 6, 8, 10 dan 3, 6, 9, 12, mereka kembali
dengan yakin itu sistematis.
Sistematis tidak salah dipahami sebagai beraturan atau
memiliki aturan. Urutan angka-angka pertama di atas
sistematis berdasarkan sistematika bilangan asli dari 1-10.
Urutan angka-angka kedua sistematis berdasarkan sistematika
bilangan asli dari 10-1. Urutan angka-angka ketiga sistematis
berdasarkan sistematika kelipatan 2 dari 2-10 dan yang terakhir
sistematis berdasarkan sistematika kelipatan 3 dari 3-12.
Bagaimana kalau ada orang yang mengikuti jenjang
pendidikan SD, SMP, SMA, tentu sistematis. Jika terbalik SMA,
SMP, dan SD, tentu tidak sistematis. Bagaimana kalau ada yang
sekolah SMA dua tahun? Tetap sistematis jika sistematikanya
program akselerasi. Apa pendapat Anda jika guru fiqih pada
pertemuan pertama membahas materi sholat. Pertemuan kedua
masalah haji. Pertemuan ketiga masalah warisan. Pertemuan
keempat masalah pernikahan. Pertemuan selanjutnya masalah
warisan. Pertemuan berikutnya pembahasan pernikahan.
Kemungkinan besar Anda bisa menilai itu tidak beraturan.
Yang seperti itu tidak sistematis atau pembahasannya tidak
sistematis.
Dalam perkumpulan orang terpelajar pun tidak jarang
terjadi pembicaraan yang tidak sistematis apalagi dalam
perkumpulan orang yang tidak terpelajar. Adakalanya suatu
acara kegiatan sudah memiliki urutan-urutan, tetapi tidak
semua urutan acara itu sistematis. Di dalam prinsip kurikulum
ada yang dikenal dengan squence (keberurutan), akan tetapi
tidak semua mata kuliah itu memiliki squence yang sistematis.
Belajar mata kuliah logika sebelum belajar mata kuliah filsafat
umum bisa jadi sistematis karena teori-teori logika sangat
dibutuhkan dalam memahami kebenaran filsafat umum. Belajar
mata kuliah Filsafat Ilmu sebelum belajar mata kuliah Filsafat
Umum bisa jadi tidak sistematis, karena ketika mengajar
Filsafat Ilmu, wawasan filsafat harus dimiliki mahasiswa secara
memadai, sehingga lebih mudah masuk ke Filsafat Ilmu.
42
Baca (Q.S. al- An’am/6:74-79)
Tidak terburu-buru menarik kesimpulan adalah salah
satu kata kunci dari berpikir radikal. Menganalisa sebanyak
mungkin data dan fakta juga menjadi ciri lain dari berpikir
radikal. Hakim dalam pengadilan sudah semestinya berpikir
radikal, melihat fakta persidangan untuk memutuskan perkara.
Nomenklatur radikal dalam filsafat tidaklah sama
dengan bahasa politik. Dalam bahasa politik Barat, sepertinya
radikal digunakan bertindak keras terhadap kezhaliman.
Tindakan yang tidak kompromistis terhadap kebijakan Barat
sepertinya dinilai mereka sebagai tindakan radikal. Berteori
bukanlah mutlak otoritas Barat saja, tentu orang lain pun
berhak berteori. bukankah konsep qishas itu syari’at yang
tercantum dalam al-Qur’an. Qishas bisa jadi dipandang keras,
padahal membiarkan hidup pembunuh akan berakibat
terbunuhnya orang lain. Bukankah al-Qur’an mengatakan
membunuh satu orang manusia seakan–akan membunuh
semua orang. Dan menghidupkan seorang manusia seakan-
akan menghidupkan semua orang.43 Bukankah syariat qishas
dalam rangka supremasi antisipatif atas kehilangan jiwa
manusia secara sia-sia. Jangan-jangan ketika kita atau keluarga
kita orang yang mebunuh itu, kita tidak setuju dengan qishas.
Namun, jika keluarga kita yang terbunuh, kita menuntut
diberlakukan qishas. Bukankah itu perilaku hedonis yang tahu
enak dan untung saja. Itu “bijaksini” bukan bijaksana.
Kalau ada orang yang diragukan kejujurannya (fasiq),
maka jangan langsung percaya. Bukankah, banyak manusia
yang tidak jujur di zaman ini seiring dengan dekat-jauhnya dari
43
Baca (Q.S. al- Maidah/5:32)
Allah. Mempercayai berita tanpa klarifikasi ada kalanya akan
membawa fitnah. Kata pepatah, “tidak semua berita itu seperti
apa yang terjadi: laisa al-khabaru ka al-mu’dyanati”. Untuk itu al-
Qur’an dalam Surah al-Hujrat/ 49: 6, Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu”.
Universal
Universal bisa dikatakan konsep menyeluruh atau
mendunia. Artinya, semua manusia memiliki konsep yang
sama tentang hal-hal yang universal. Keadilan disebut konsep
universal karena semua manusia normal akan mengatakan
bahwa keadilan itu adalah baik terlepas apakah ia
mengamalkan atau tidak. Namun, kareana akibat dari
hegemoni budaya benda, banyak orang yang membenci orang
yang berbuat adil. Di dalam teori dilema, ada nasehat seorang
ibu terhadap anaknya yang akan berkecimpung dalam bidang
politik. Ibunya berucap, “jika engkau berbuat adil manusia
akan mebencimu, jika engkau berbuat tidak adil dewa-dewa
akan membencimu”.44
Bagaimana mengukur keadilan itu, bisa jadi tidak lagi
universal, karena melahirkan berbagai penafsiran. Berbicara
keadilan dalam Islam, sering mengemuka ketika membahas
44
Mundiri, Logika, hal.138
persoalan konsep poligami. Laki-laki boleh berpoligami kalau
bisa berbuat adil. Disini dapat dipahami bahwa manusia
berpotensi berbuat adil.45 Dalam ayat lain, Allah juga berfirman,
bahwa sama sekali manusia yang berpoligami tidak bisa
berbuat adil terhadap istri-istrinya.46
Ada yang memahami pembahasan keadilan di dua ayat
itu dalam konteks yang berbeda. Dalam konteks tidak bisa
berbuat adil itu, tidak ada yang berpoligami, hatinya dapat
seimbang dalam memandang istri-istrinya. Sangat logis bahwa
hati tidak bisa berbohong bahwa orang yang berpoligami akan
lebih mencintai istrinya yang lebih cantik dibandingkan dengan
istrinya yang jelek. Suami lebih suka terhadap istrinya yang
baik hati daripada istrinya yang jahat hati. Suami lebih
menyukai istrinya yang tulus melayaninya daripada istri yang
setengah hati melayaninya.
Dalam konsep filsafat, cantik juga universal. Laki-laki
yang normal menginginkan istri yang cantik dan sebaliknya
wanita juga menginginkan suami yang ganteng, siapapun dia.
Disini cantik tidaklah relatif, yang kebenarannya minimal dua.
Bagaimana mengukur kecantikan itulah yang relatif. Dilihat
dari warna rambut, bisa jadi ada yang menilai cantik itu
berambut hitam ataupun pirang. Dilihat dari bentuk rambut,
bisa jadi ada orang yang menilai yang cantik berambut keriting
ataupun yang lurus. Dilihat dari panjang rambut, bisa jadi
pandangan para pria berbeda-beda, ada yang memandang
rambut yang panjang itu cantik, sementara yang lain
memandang rambut pendek itulah yang cantik. Dilihat dari
45
Baca (Q.S. an-Nisa/4:3)
46
Baca (Q.S. an-Nisa/4:129)
ukuran panjang rambut, boleh jadi pria berbeda pendapat, ada
yang berpendapat rambut panjang sebahu itu yang cantik,
sementara yang lainnya sepanjang lutut. Dari sisi bentuk muka,
boleh jadi pria melihat yang lonjong itu cantik sementara yang
lainnya yang bulat. Dari sisi warna kulit, boleh jadi yang
berkulit putih itu dilihat pria yang cantik, sementara yang
lainnya yang berkulit hitam bersinar atau berkulit hitam manis.
Bagi pria yang memiliki tinggi badan 150 cm, bisa jadi melihat
wanita yang memiliki tinggi badan 200 cm itu cantik atau
sebaliknya. Boleh jadi pria melihat wanita yang langsing itu
cantik sementara yang lain melihat wanita di atas langsing dan
di bawah gemuk itu yang cantik, dan sebagainya.
Menurut Nurcholis Madjid, Islam agama universal
hampir sama kebenarannya dengan mengatakan ”bumi ini
bulat”.47 Universal dari ”uni versi” artinya bisa berarti sudah
sempurna. Islam memang benar agama yang
sempurna. Makna
48
universalitas Islam bersifat deduktif,
teologis, dan doktriner, bukan induktif dan empiris. 49 Ada tiga
alasan kenapa Islam dikatakan agama universal, yaitu: 1. secara
teologis, umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama
terakhir sebagai penyempurna agama-agama Allah
sebelumnya, 2. ajaran Islam cocok untuk setiap waktu dan
tempat sebagai pedoman hidup dalam meraih kebaikan di
dunia dan akhirat. 3. Islam menuntut umatnya untuk
47
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Cet. IV, (Jakarta: Paramadina,
2000) hal. 425
48
Baca (Q.S al- Maidah/5:3)
49
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Cet: II, (Jakarta: Teraju, 2004),
hal. 98
memperjuangkan agar menjadi agama satu-satunya di muka
bumi. 50
Indikator nomor satu dan tiga bisa saja tidak disetujui
oleh agama selain Islam, tetapi indikator kedua teorinya lebih
bisa diperdebatkan secara ilmiah.
Skeptis
Skeptis berarti ragu. Sikap skeptis dalam berfilsafat
berarti tidak mudah mempercayai suatu kebenaran sebelum ia
teliti secara cermat. Tidak terlalu percaya dengan janji-janji
calon anggota dewan dan juga calon kepala daerah, termasuk
janji-janji calon presiden. Tidak mempercayai semua kebenaran
bukanlah sikap skeptis. Tidak percaya pada semua janji caleg
dan kepala daerah bukanlah sikap skeptis yang dimaksud
dalam filsafat.
Ketika mengamati banyaknya manusia yang tidak takut
neraka, sikap skeptis itu barangkali bisa dikatakan, ”pada
dasarnya presiden itu tidak jujur, sampai ia membuktikan
dirinya jujur” dan bukan terbalik, ”pada dasarnya presiden itu
jujur, sampai terbukti ia curang. Namun, jika pengamatan kita,
para presiden itu kebanyakan jujur, maka statement universal
yang kedua itulah yang tepat.
Dalam sistem kepemimpinan yang kharismatik,
biasanya dapat menyingkirkan sikap skeptis rakyat. Dalam
doktrin Islam barangkali ada tempatnya kita membuang sikap
skeptis. Contohnya, tidak pada tempatnya kita meragukan
bahwa Tuhan itu Satu dan juga tidak pada tempatnya kita
50
Ibid, hal. 98
bersikap skeptis bahwa Muhammad Saw. itu nabi akhir zaman.
Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas pendekatan agama
dalam menilai kebenaran.
Dalam mensikapi keyakinan agama orang lain,
barangkali tepat untuk bersikap skeptis. Kaum muslimin
sangat tepat skeptis terhadap ajaran agama Yahudi, Kristen,
Hindu, dan sebagainya. Sikap skeptis demikian bukan berarti
secara mutlak menyalahkan ajaran agama lain. Pembenaran
atau penyalahan terhadap ajaran agama lain setelah
menelitinya secara radikal itu sah secara filosofis. Penyalahan
dan pembenaran ajaran agama lain berdasarkan pemahaman
kita tidak salah. Yang salah memaksakan orang lain
berpemahaman yang sama dengan kita. Walaupun kita
memahami bahwa ajaran agama lain itu salah, kita tidak
dibenarkan menyalahkan ajaran di depan pemeluknya dan
apalagi menjelek-jelekkannya.
Di dalam al-Qur’an sikap kritis dan skeptis juga kita
jumpai. Di antaranya, kita tidak boleh terlena dengan ucapan-
ucapan yang manis dari orang-orang munafik dan bahkan
untuk meyakinkan orang, mereka tidak segan-segan bersaksi
atas nama Allah SWT. padahal dia penentang kebenaran.51
Yang menarik hati kita tidak selamanya baik dan bahkan
banyak hal-hal yang buruk itu kita anggap baik.52
Spekulatif
Spektulatif adalah sikap keberanian mencoba dalam
mencari kebenaran. Di sinilah barangkali tepat dikatakan
51
Baca (Q.S./2:204)
52
Baca (Q.S./5:100)
bahwa semua pertanyaan harus dijawab, walaupun harus
dikompromikan pemahamannya dengan wisdom yang
mengatakan bahwa ”tidak menjawab pertanyaan orang bodoh
adalah merupakan jawaban: tarku al-jawâ b ’ala al-jâhili jawabun.
Dalam nomenklatur ekonomi dikenal spekulan.
Menjelang lebaran, seringkali harga barang-barang, khususnya
sembako, naik. Untuk itu ada saja spekulan yang menumpuk
barang dengan harapan, jika persediaan barang sedikit,
sedangkan permintaan banyak, maka harga akan naik. Saat
harga naik, maka ia akan keluarkan barang yang dia timbun.
Namun tidak selamanya benar, bisa juga walaupun ia
menimbun barang, tetapi persediaan barang tetap banyak,
sehingga tidak mustahil harga tidak naik dan bahkan harga
turun. Jika harga tidak naikpun, ia tetap dihitung rugi untuk
biaya penimbunan dan biaya pemeriharaan.
Boleh jadi Nabi Ibrahim A.S. dalam mencari Tuhan yang
sesungguhnya, telah melalui pemikiran spekulatif. Boleh jadi
para ulama berteori tentang do’a yang dikabulkan oleh Allah
sedang berspekulasi. Pemikiran spekulatif ini membuka pintu
ijtihad. Pintu ijtihad itu pada gilirannya akan mempengaruhi
pemahaman atas kebenaran-kebenaran baru atau pergantian
pemahaman.
Contoh berikut bisa dijadikan contoh kebenaran
spekulatif. Ketika masih kecil, seorang anak diajari berdo’a
dengan mengangkat tangan, maka ia memahami bahwa
berdo’a mesti mengangkat tangan. Kemudian, setelah ia belajar
di pesantren, ia mempelajari bahwa mengangkat tangan itu
tidak perlu karena Allah tetap mengetahui permohonannya.
Pemahamannya berdo’a tidak mesti angkat tangan. Setelah ia
kuliah, ia membaca bahwa kalau berdo’a dengan mengangkat
tangan, maka Allah malu menolak do’anya. Untuk itu
pemahamannya kembali ke masa lalu.
Dalam bidang kedokteran bisa juga diambil contoh dari
hasil pemikiran spekulatif. Tahun 1980-an, jika ada yang
demam, maka dokter menganjurkan (untuk tidak mengatakan
memerintahkan) untuk memakai pakaian yang tebal seperti
jaket, agar keluar keringat. Dengan keluarnya keringat itu,
maka demam akan turun. Berikutnya, kalau ada yang demam,
dokter justru menganjurkan memakai pakaian yang tipis agar
tidak bertambah panas.
Spekulasi dalam berfilsafat bukan berarti tidak menakuti
kesalahan, tetapi tidak berlebihan dalam menghadapi
kesalahan. Sikap yang berlebihan dalam menghadapi kesalahan
membuat orang tidak berani berijtihad. Berijtihad merupakan
salah satu manifestasi dari sikap spekulatif.
Abstrak
Abstrak berarti tidak konkrit. Sesuatu yang konkrit
berarti terindera atau teruji, dan atau terukur. Ketika kita
memahami konsep manusia, maka yang sedang dibahas adalah
manusia bukan dalam pengertian fisik.
Manusia membutuhkan makan, minum, dan seks.
Walaupun kita bisa menyaksikan orang makan dan minum,
tetapi tidaklah setiap waktu melekat pada diri manusia
aktivitas makan dan minum itu. Ketika berfilsafat tentang air,
bukanlah yang dibahas itu wilayah konkritnya, tetapi wilayah
abstraknya yang tidak bisa diindera. Sesungguhnya di setiap
yang konkrit itu ada yang abstrak. Pada diri manusia, ada yang
abstrak seperti perilaku kikir, sombong, riya, dan sebagainya,
tetapi itu tidak bersifat fisik.
Masalah ketuhanan, malaikat, hari akhir, dan takdir
termasuk wilayah abstrak. Ketika mengatakan bahwa Tuhan
itu Maha Pengasih dan Penyanyang, itu masalah abstrak.
Ketika ada orang yang merasa menderita karena persoalan
ekonomi, karir, penyakit, dan sebagainya, bisa jadi mereka
mulai mempertanyakan sifat rahman dan rahimnya Allah SWT.
Untuk itu yang abstrak dapat dipahami secara logis dan
supralogis.
ILMU
Ilmu Adalah
Anak Filsafat Yang Sudah Besar Dan Berhasil
Populer Melebihi Induknya.
Di Tengah Populeritasnya, Terkadang Secara Arogan
Berani KeluarDari Garis-Garis Besar Didikan Induknya
ILMU
53
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama Dan Krisis
Modernisme, ( Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 139
54
Albert Hasibuan, “ Modernisasi Indonesia dan Usaha Mencegah dan Mengatasi
Kemacematan Faktor-Faktor Pembangunan” dalam Elza Peldi Taher (Ed.),
Demokratisasi Politik, Budaya, DAN Ekonomi, (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 21
55
1. Sains
Andi Hakim mendefinisikan sains adalah suatu akal
manusia yang teratur dan taat azas menuju penemuan
keterangan tentang pengetahuan yang benar.58 Dalam era
globalisasi ini, kebudayaan Barat hampir mendominasi seluruh
aspek kehidupan manusia. Tanpa disadari bahwa masyarakat
dunia berada dalam hegemoni budaya Barat. 59
Guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjajaran Prof.
55
56
Sayidiman Suryohadiprojo,”Makna Modernitas dan TantanganTerhadap Iman”
dalam Budi MunawarRachman (Ed.), Konteksualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
( Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 553
57
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, ( Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 14
58
Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Litera Antarnusa,
1989), hal. 25
59
Hajriyanto Y. Tohari, “ Islam dan Realitas Budaya” dalam Nurcholis Madjid, et.al,
Kehampaan Spritual Masyarakat Modren, (Jakarta:Paramadina,2000), hal. 314
Herman Soewardi membagi sains modern pada sains formal
dan sains empirikal. Sains formal adalah berada di pikiran kita
yang berupa kontempelasi dengan menggunakan simbol-
simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak
berkesudahan.60 Definisi ini mirip dengan paradigma filsafat.
Adapun sains empirikal, sains yang dipahami secara logis dan
empirik. Selanjutnya Herman berpendapat bahwa Sains formal
menurutnya bebas nilai, sedangkan sains empirikal tidak bebas
nilai. Sains emperikal disebut juga oleh Kuhn sains normal.
Sains emperikal atau sains normal didapatkan hanya
melalui metode observasi (dalam arti yang luas). Observasi
sangat mengandalkan penginderaan. Pada penginderaan inilah
kelemahan sains emperikal atau sains normal.61 Kuhn
mengatakan bahwa yang diketahui oleh orang itu tidak tetap,
melainkan sementara, dan akan berubah setelah terjadi
anomali. Hal itu bisa terjadi karena kata Richard Tarnas, di
depan mata manusia ada lensa yang memfilter penglihatan.
Lensa itu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan,
trauma, dan harapan. Oleh sebab itu, jagat raya yang diindera
oleh manusia adalah jagat raya buatan manusia bukan buatan
Tuhan.62
Menurut Ahmad Tafsir, sains modern adalah sains
emperikal dimana metodenya observasi. Sains modern inilah
yang kemudian diidentikkan dengan sains Barat yang disebut
Nurcholis Madjid anti ruhani karena tataran aksiologisnya
bebas nilai (value free). Karena praktek sains modern atau sains
60
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja RosdaKarya,2004), hal.14
61
Ibid, hal.54
62
Ibid, hal. 54-55
Barat yang bebas nilai itulah, maka sains di Barat berkembang
pesat. Sementara bagi mereka yang berpendapat bahwa sains
itu tidak bebas nilai akan mengalami hambatan norma-norma
agama dan sosial. Rekayasa genetika yang telah mengagumkan
masyarakat dunia, ternyata mendapat kritikan dari aktivis
agama dan HAM.
2. Ciri-Ciri Sains Modern
Sains dalam mencari proses kebenaran memiliki ciri
rasional dan empirik. Isinya menurut Ahmad Tafsir merupakan
teori dan teori menerangkan hubungan sebab akibat. Sains
tidak menilai baik buruk, indah-tidak indah, sopan-tidak
sopan, dan haram dan halal.63 Adapun obyek dari sains adalah
empirik.
Sains dilihat dari cara mengukur kriteria kebenarannya
terbagi 3 teori, yaitu: teori koherensi, teori korespondensi, dan
teori pragmatis. Dalam teori koherensi, sesuatu dianggap benar
jika sesuatu bersifat koheren atau konsisten. Contoh, 5 + 3 = 8, 4
+ 4 = 8, 6 + 2 = 8. teori konsistensi yang terdapat pada contoh
tersebut setiap kali hasil penambahan dikurangi salah satu
angka yang ikut ditambah, maka hasilnya adalah kawan yang
ditambahkan. Contoh 8 – X = 5, maka pasti jawabannya 3. 8 – X
= 4, maka pasti jawabannya 4. 8 – X= 6, maka pasti jawabannya
2. Dengan demikian, rumus-rumus matematika menggunakan
pembuktian koherensi.64
Dalam teori korespondensi, sesuatu dikatakan benar jika
suatu pernyataan berkorespondensi dengan obyek yang dituju
63
Ibid, hal. 24-25
64
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 57
oleh pernyataan itu. Ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Banda Aceh dinyatakan benar berdasarkan teori
korespondensi karena obyek yang bersifat faktual itu memang
menjadi ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam.65
Adapun teori pragmatis menyatakan bahwa sesuatu
dikatakan benar jika ada manfaatnya. Kalau pernyataan itu
tidak ada gunanya dalam kehidupan praktis, maka penyataan
tersebut dikatakan salah.
Dilihat dari perkembangannya, ilmu berguna untuk
mengatasi masalah kehidupan manusia. Dahulu orang
mengambil air di bawah bukit. Kesulitan itu dijawab dengan
membuat sumur di dekat rumah. Mengambil air dari sumur
yang pada mulanya dengan timba kemudian berkembang
dengan pompa air yang digerakkan oleh tangan. Pompa
manual itu dirasakan menyulitkan hingga manusia
menggunakan pompa air dari mesin.
Untuk memudahkan kehidupan manusia, sains telah
banyak berperan penting. Namun dalam perkembangan
selanjutnya sains itu juga sekaligus malapetaka bagi manusia
dan kehidupannya. Manfaat dan malapetaka sains dalam
perkembangannya diutarakan dalam sub pokok bahasan
kebaikan dan kelemahan sains modern dan kritik terhadapnya
pada pembahasan berikut.
Sains dalam menyelesaikan masalah menggunakan
langkah-langkah: Indentifikasi masalah, mencari teori, dan
menetapkan tindakan penyelesaian.66 Sementara itu, ada 2
metode untuk mendapatkan pengetahuan sains, yaitu metode
65
Ibid
66
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), hal. 44
deduktif dan induktif. Metode deduktif dimulai dari yang
umum menuju yang khusus dan sebaliknya metode induktif
dimulai dari yang khusus menuju yang umum. Metode
induktif kebenarannya bersifat korespondensif, sedangkan
metode deduktif kebenarannya bersifat koherensif.67 Dalam
perkembangannya akan dikemukakan metode abduktif yang
merupakan sintesa dari deduktif dan induktif
67
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 120
disaksikan di layar TV, saat beberapa orang yang tertembak
mati di Negara Republik Indonesia diberi gelar buruk teroris,
sementara kelompok mereka ada yang menilai sebagai mujahid
yang mati syahid.
Sains pada tahap pelaksanaannya sangat tergantung
dengan user. Ketika sains atau bentuk teknisnya teknologi
dikuasai oleh para pejabat, bisa jadi digunakan untuk
kemakmuran rakyat dan tidak mustahil juga berguna untuk
menyengsarakan rakyat dengan korupsi dan segala bentuk
keburukan lainnya. Jika teknologi dikuasai oleh para
perampok, maka mereka akan mempergunakannya untuk
keburukan. Sebaliknya, jika teknologi dikuasai orang-orang
beriman, maka berpeluang besar digunakan untuk kebaikan.
Sains telah membawa kemajuan mekanik, sehingga
manusia terbantu dalam mengerjakan pekerjaan otot dan otak.
Teknologi banyak terbantu dalam bidang sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam bidang pertanian,
teknik mesin telah menggantikan tenaga fisik manusia yang
lebih lemah dibandingkan hewan sejenis kerbau, sapi, dan
maupun kuda. Dalam bidang kedokteran, teori DNA mampu
menjawab identitas mayat yang berserakan akibat ledakan
bom. Dengan sains USG, seorang suami-istri, calon ibu-bapak
telah mengetahui lebih awal jenis kelamin calon anaknya.
Dalam bidang komunikasi, globalisasi dan teknologi ponsel
telah memperdekat manusia dari sisi informasi. Dalam bidang
pendidikan, teknologi komputer telah banyak membantu
dalam mengerjakan tugas dan mencari sumber informasi
ilmiah. Teknologi kalkulator telah menggantikan otak kita
untuk menghitung. Belajar faraid dengan sistem komputerisasi
telah meringankan otak kita dalam mengklarifikasi keakuratan
hitungan manual. Teknologi internet di HP telah
mempermudah para browser dalam bekerja, dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam, sains sangat berperan dalam
memperkenalkan Tuhan. Lebih dari 750 ayat al-Qur’an
menurut Mehdi Golshani berbicara tentang fenomena alam. 68
Di antara ayat yang menyinggung gejala alam itu adalah
ِم ِل
َفْلَينُظِر اِإْل نَس اُن َّم ُخ َق
Artinya, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah dia diciptakan?” (Q.S. al-Thariq: 5)
Di antara jawabannya ada dalam ayat lain.
ِإَّنا َخ َلْق َنا اِإْل نَس اَن ِم ن ُّنْطَف ٍة َأْم َش اٍج َّنْبَتِليِه َفَجَعْلَناُه ِمَس يًعا َبِص ًريا
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
(dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat.” (Q.S. al-Insan:2).
Karena dorongan al-Qur’anlah, para sarjana Muslim
mempelajari fenomena alam. R. Levy sarjana Barat non Muslim
mengatakan, “Di samping sejumlah kecil dari para peneliti
yang diilhami oleh gagasan-gagasan filosofis Yunani, orang-
orang Islam yang terlibat dalam pencarian ilmu, bekerja agar
dapat menemukan keajaiban-keajaiban alam, tanda-tanda, atau
sifat-sifat keagungan Tuhan.”69 Terhadap hal itu, manusia
diharapkan dapat mempelajarinya untuk mengenal Pencipta
68
Mehdi Golshani, Filsafat Sains menurut al-Qur’an, Diterjemahkan oleh Agus
Efendi, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 32
69
Ibid, hal. 38
alam ini.
Sains juga berperan dalam stabilitas dan
pengembangan masyarakat. Kemajuan dunia modern
berporos pada sains dan teknologi. Untuk itu, meraih
kemerdekaan dan kemandirian perlu menguasai sains. 70
Melihat sisi pentingnya sains itu, di dalam Islam, Imam al-
Ghazali menggolongkan ilmu ke dalam fard kifayah, kalau
belum ada yang mempelajarinya, maka semua ummat Islam
berdosa. Ilmu fard kifayah di dalam Islam itu secara umum
adalah sains modern yang dikenal sekarang ini.71
70
Ibid, hal. 43
71
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafndo
Persada, 2000), hal. 90
72
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, hal. 15
memiliki integritas moral, maka sains itu akan berdampak
negatif. Dampak negative sains modern nanti lebih rinci dimuat
dalam pembahasan kritik terhadap sains modern.
73
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (RajaGrafndo Persada,2004), hal. 223. Kisah lebih
rinsi tentang Tragedi Raja Midas, baca Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, hal.
91-95
Kemudahan yang ditawarkan oleh sains dan teknologi
memunculkan “kesepian”,“keterasingan baru”, lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan, dan filsafat ilmu silaturrahim.74
Contoh sederhana, teknologi televisi, computer, dan
handphone mengakibatkan manusia terlena dengan dunia
layar. Layar menjadi teman setia dibanding yang lain dan
bahkan “istri dan anak”. Konsumen sains dan teknologi itu
sudah lebih banyak untuk dunia layar dari yang lainnya. Mau
pergi ke kantor menonton TV, berhadapan dengan computer,
dan HP, setelah pulang dari kantor demikian juga. Akibat
dunia layar, keluarga kurang diperhatikan, apalagi tetangga,
masyarakat, Negara, agama, dan sebagainya.
Tuntutan melarang penayangan acara Smack Down di
salah satu stasiun televisi yang membuat murid SD dan siswa
sekolah menengah menirunya salah satu contoh betapa besar
akibat buruk dari menonton televisi.75 Anak-anak pada masa
imitasi, cenderung ingin mencontoh dan memperaktekkan apa
yang ia dengar dan ia lihat. Untuk itu jika apa yang ia dengar
dan ia tonton itu tidak baik, maka akibatnya tentu menjadi
buruk.
Teknologi smartphone akhir-akhir ini mampu dengan
telak menggeser posisi dunia layar televisi. Media sosial
dengan cepat menggantikan semua keterbiusan dengan dunia
layar televisi. Dimana-mana orang terlihat menggunakan
android. Sungguh orang minoritas yang tidak ber-android
sangat beruntung. Apakah karena akibat dari ketidakbisaan
atau keengganannya, yang jelas sangat istimewa orang yang
74
Ibid
75
Ibid, hal. 225
tidak bersentuhan dengan dunia android mengingat pengaruh
negatifnya bukan saja melanda anak-anak, tapi juga orang
dewasa yang terdidik.
Dunia whatssapp melahirkan banyak group-group. Baik
group berdasarkan hubungan darah, hubungan studi,
hubungan kerja, hubungan bisnis dan lain-lain. Yang jelas
banyak orang mengeluhkan karena banyaknya group
whatssapp, sampai ada yang tidak sempat membaca semua
postingan. Belum lagi, ada orang yang memiliki group yang
sama, harus membaca informasi yang sama di berbagai group
membuat banyak orang terganggu.
Dunia media sosial dari orang-orang terdidik saja
biasanya ada “aktivisnya” dimana tiap hari tidak absen mengisi
group whatssapp. Melihat keaktifan sebagian anggota group,
boleh jadi ada yang merasa “demam” jika absen dalam mengisi
“ceramah” di group. Sebagian yang terdidik malah ada yang
memposting setiap kegiatannya di group tanpa
mempertimbangkan kelayakannya. Jika postingannya
dibutuhkan orang dalam group, tentu itu bagus. Sebaliknya,
banyak orang yang merasa keberatan dengan postingan-
postingan yang bersifat pribadi. Belum lagi ada yang berbisnis
di group, memposting “jualannya” setiap saat. Belum lagi ada
orang yang membuat candaan terus menerus, sampai hal-hal
yang tidak mendidik pun menjadi baca leluconnya, seperti
memposting aurat wanita.
Bagi sebagian orang yang super aktif dalam ber-android,
boleh jadi aktivitasnya sering ditemani oleh android. Makan
sambil pegang android. Menulis sambil lihat android. Bicara
sambil lihat android. Singkatnya, android teman setianya. Bisa-
bisa istrinya dicuekin karena android. Bisa dibayangkan
ketergantungan banyak orang terhadap smartphone seperti
ketergantungan orang pada narkotika. Satu minggu berpisah
dengan android bagi sebagian orang jangan-jangan lebih susah
daripada seminggu berpisah dengan istri dan anak.
Anak-anak yang masih balita ada yang sudah kecanduan
main android. Mereka main game, buka youtube, buke tiktok,
dsb. Paket internet bisa jadi lebih disukai sebagian anak-anak
dibandingkan bermain dengan teman-temannya.
Ketergantungan anak-anak dengan android sekarang
sangat merugikan masa depan mereka. Untuk mengatasi itu
perlu ada gerakan kolektif secara sadar dari semua pihak. Jika
tidak generasi ini semakin buruk ke depan. Bagaimana
pemerintah secara tidak langsung mewajibkan vaksin. Begitu
juga untuk meninggalkan akibat buruk dari adroid perlu
dilakukan usaha-usaha cerdas. Putri Miranti dan Lisan Dasa
Putri dari Universitas Negeri Padang dalam Jurnal Jendila PLS
menulis bahwa akibat buruk penggunaan gadget bagi anak,
“menjadi pribadi tertutup, gangguan tidur, suka menyendiri,
perilaku kekerasan, pudarnya kreativitas, dan ancaman
cyberbullyin”.
78
Ibid, hal. 227
jantung kelinci yang ada kemiripannya dengan manusia.79
Ilmu pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan untuk apa digunakan ilmu?
Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuwan? Ke arah
mana perkembangan ilmu diarahkan? Pertanyaan tersebut
tidaklah penting bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan
ilmuwan seangkatan dengannya. Tetapi ilmuwan abad ke-20
terpaksa harus perduli dengan pertanyaan tersebut di atas
karena kekhawatiran akan munculnya malapetaka perang
dunia ketiga yang tidak diinginkan manusia. Pada saat mereka
perduli dengan hal tersebutlah, maka moral menjadi perhatian
dalam aksiologi ilmu.
Memang pada awal perkembangan ilmu, ia memiliki
hubungan dengan moral agama, tetapi tafsiran metafisika
ilmuwan Galileo yang mengatakan bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari dan tafsir metafisika agama yang
mengatakan sebaliknya. Akhirnya pengadilan inkuisisi Galileo
tahun 1633 pada pengadilan agama memaksanya untuk
mencabut pernyataan itu.
Dua setengah abad pemikiran Galileo berkembang di
Eropa yang mencerminkan pertarungan kebebasan ilmu dari
segala pengaruh apapun di luar bidang keilmuwan. Pada saat
itulah dikenal ilmu bebas nilai. Konsep ilmu yang pada
awalnya abstrak menjelma menjadi kongkrit berupa teknologi.
Teknologi berupa penerapan konsep ilmiah untuk
memecahkan masalah-masalah praktis. Pada tahap ini Bertrand
Russell mengatakan peralihan “kontemplasi ke manipulasi.
79
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 47
Pada tahap manipulasi inilah moral mulai diusik.
Manipulasi ilmu mengakibatkan dehumanisasi yang menurut
Jujun merupakan masalah kebudayaan daripada masalah
moral. Pada saat itulah manusia menyeleksi penggunaan
teknologi yang sesuai dengan budaya. Benturan antara
teknologi dan budaya itu di antaranya dapat dilihat dari karya
Erich Schumacher Small is Beatiful yang menawarkan
alternative penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi.
Melihat ekses negative dari ilmu itu, ilmuwan tergolong
pada dua pendapat. Pertama mereka berpendapat bahwa ilmu
dalam tataran ontology, epistemology, dan aksiologi bebas atau
netral dari persoalan moral. Sementara pendapat yang lain,
dalam persoalan aksiologi, ilmu harus dikontrol oleh moral. 80
Keberatan golongan kedua atas bebas nilainya ilmu
berdasarkan sebagian kenyataan bahwa ilmu dipergunakan
secara destruktif. Selain itu, perkembangan ilmu yang makin
esoteric membuat ilmuwan mengetahui ekses-ekses negatif bila
terjadi penyalahgunaannya. Perkembangan ilmu dengan kasus
revolusi genetika dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan. 81
83
Ahamad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal.55
84
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, hal. 16
85
Ibid, hal. 14-15
86
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, hal. 309-310
yang serakah, kejam, koruptor, dengki, dan sebagainya,
walaupun guru besar ilmu ekonomi UGM Prof. Ace
Partadiredja mengatakan bahwa ilmu ekonomi tidak
mengajarkan keserakahan. Selanjutnya menurut Jujun bahwa
87
89
Fazlul Rahman, Islam, Diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Cet. II, (Bandung :
Pustaka, 1994), hal. 315
90
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Op.Cit, hal. 52
91
Nurcholis Mdjid, Dialog Ramadhan Bersama Cak-Nur, (Jakarta: Paramadina,2000),
hal. 90
kemuliaan manusia yang disejajarkan dengan iman oleh
Allah.92 Adapun dalam bidang ilmu kedokteran, al-Qur’an
memberitahukan bahwa manusia tercipta dari pembuahan
antara sperma dan ovum yang kemudian berevolusi menjadi
darah dan darah berevolusi menjadi daging. Daging kemudian
menjadi tulang belulang. Tulang itu kemudian dibungkus lagi
dengan daging, pada umur empat bulan ditiuplah ruh,
sehingga menjadi makhluk lain yang bernama manusia.93
Karena kasat mata tidak dapat mengindera proses
evolusi kejadian manusia, manusia menciptkan teknologi
untuk mendeteksi kehamilan. Dari hal itu, dapat diketahui
apakah sperma dan ovum telah bersatu dan membuahkan
sesuatu yang bernama janin. Pada umur janin empat bulan,
manusia dengan alat USG juga telah dapat mengetahui, hidup
matinya. Secara empirik, seorang suami ataupun istri bisa
menyentuh kandungan si istri yang adakalanya bergerak-gerak
tanda hidupnya janin.
Ilmu, alam, dan amal memiliki asal huruf yang sama
walaupun letaknya yang berbeda. Ketiganya memiliki kolerasi
fungsional yang berkaitan kata Komaruddin Hidayat. Alam
sebagai sumber dan obyek kajian ilmu yang dalam bahasa
Inggris disebut science. Untuk itu yang memahami ilmu alam
sudah sepantasnya disebutkan ulama. Hanya saja dalam
konteks Islam seringkali ulama dipahami mereka yang
mendalami ilmu-ilmu agama yang sumber utama kajiannya
kitab suci dan bukan kitab alam. Hal itu tentu tidak
sepenuhnya salah kata Komaruddin Hidayat, tetapi dianggap
92
Baca ( Q.S. al- Mujahadalah:11)
93
Baca ( Q.S. al- Mu’minun/23:12-14
kurang tepat.94
َو ِم َن الَّناِس َوالَّد َوۤاِّب َواَاْلْنَعاِم ْخُمَتِلٌف َاْلَواُنهٗ َك ٰذ ِلَۗك ِاَمَّنا ْخَيَش ى الّٰل َه ِم ْن ِعَب اِدِه اْلُعَلٰۤم ُؤۗا ِاَّن
ّٰل
ال َه َعِزْيٌز َغُفْوٌر
Artinya, ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-
binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S.
al-Fatir: 28)
Setelah ilmuan meneliti fenomena alam, selanjutnya
ia harus menunjukkan kerja nyata dalam karya perbuatan
(amal). Di sini jelas sekali kelihatan dalam pandangan al-
Qur’an bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu tidak berpisah
dengan amal
َك ُبَر َم ۡق ًتا ِعۡن َد الّٰلِه َاۡن َتُقۡو ُلۡو ا َم ا اَل َتۡف َعُلۡو َن
َو َلَق
ْد َذَرْأَنا َجِلَه َّنَم َك ِثْيًرا ِّم َن اِجْلِّن َواِاْل ْنِۖس ُهَلْم ُقُلْو ٌب اَّل َيْفَق ُه ْو َن َهِبۖا َو ُهَلْم َاْعٌنُي اَّل ُيْبِص ُرْو َن
. َهِبۖا َو ُهَلْم ٰاَذاٌن اَّل َيْسَمُعْو َن َهِبۗا ُاوٰۤلِٕى َك َك اَاْلْنَعاِم َبْل ُه ْم َاَض ُّلۗ ُاوٰۤلِٕى َك ُه ُم اْلٰغ ِف ُلْو َن
Artinya, ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayatayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.” (Q.S. al-A’raf/7: 179)
97
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al- Manar, Terjemahan Bahrun Abu Baar, Jilid IX,
(Cairo: Dar al – Manar ), hal. 418
98
Ibid, hal. 419
mencoba membahas sebagian representasi dari hadits yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan. Dalam sebuah hadits
disebutkan,
طلب العلم فريضة علي كل مسلم و مسلمة
99
Masykuri Abdillah, Demorasi di Persimpangan jalan, Terjemahan Wahid Wahad
(Yogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hal. 111-112
100
Musdah Mulia, Negara Islam (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 125
101
Ibid, hal. 128
landasan persatuan Islam. Sementara persamaan manusia di
mata hukum menjadi landasan sistem kemasyarakatan Islam.102
Jika persamaan manusia di mata hukum telah mampu
melahirkan sistem demokrasi yang dianggap sistem negara
yang paling baik saat ini, maka menurut Haykal prinsip
persamaan manusia di mata Tuhan akan mampu melahirkan
sistem yang lebih baik lagi.103
Rasulullah telah memberikan contoh ketika ia
mengangkat Salman al-Farisi (Muslim non Arab), Zayd bin
Haritsah (mantan budak Nabi) dan putranya Usamah bin Zayd
sebagai panglima perang. Sikap Rasul ini jauh dari nepotis dan
depotis (kelaliman). Rasulullah melakukan itu di tengah
masyarakat Arab yang fanatis terhadap suku mereka.104
Sikap iri tidak diperbolehkan di dalam Islam kecuali
terhadap dua hal, yaitu orang kaya yang mempergunakan
kekayaannya secara benar dan orang berilmu yang
mengamalkan ilmunya.
ورجل آتاه، فَس َّلَطه على َه َلَك ِتِه يف اَحلِّق، رجل آتاه اهلل ماال:ال َح َس َد إال يف اثنتني
فهو يقضي هبا وُيَعِّلَم ها،اهلل ِح ْك َم ة
Artinya, Tidak ada iri kecuali dalam dua hal, seseorang yang
diberikan oleh Allah harta dan kemudian digunakannya secara benar
dan seseorang yang diberikan oleh Allah hikmah, kemudian ia
menggunakannya dan mengajarkannya” (H.R. Muttafaqqun Alaihi
Hadits di atas secara ekspilisit memperhatikan persoalan
102
Ibid
103
Ibid
104
Ibid, hal. 130
aksiologi ilmu. Harta dicari dan setelah didapatkan,
penggunaannya tidak bebas dalam pengertian ”terserah yang
memilikinya”. Harta itu harus digunakan di jalan yang benar.
Penggunaan harta di jalan yang benar berarti sesuai dengan
aturan Allah. Harta tidak diizinkan untuk dimiliki 100 %, tetapi
sebagian kecilnya adalah hak-hak orang yang meminta
ataupun yang tidak meminta (zakat).105 Nilai harta yang ril itu
ada dalam zakat, infak, shadaqah, dan wakaf. Dana sosial dari
harta itu sendiri adalah wajib. Jika tidak, maka harta yang
dimiliki itu tidak bersih karena bercampur dengan hak orang
lain.
Pandangan Islam tentang bagaimana pentingnya
menuntut ilmu dapat dilihat bahwa nilai orang yang sedang
menuntut ilmu itu sebanding dengan orang yang sedang
perang jihad fi sabilillah.
ِج ِه ِع
كان يف َس بيِل الَّل َح ىَّت ير َع، َم ن خَرج يف َطَلِب ال لِم
Artinya, Barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu,
maka ia sedang berjalan fi sabilillah sampai ia pulang kembali.” (H.R.
al-Titmidzi).
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa jika perang di
jalan Allah bernilai mulia, sehingga jika mereka mati akan
menjadi syahid. Menuntut ilmu dinilai sebanding dengan jihad,
padahal jihad itu pertarungan nyawa, sementara menuntut
ilmu pertarungan pikiran. Disini dapat dipahami bahwa nyawa
yang menjadikan manusia berarti dan pikiran juga menjadikan
manusia berarti pula. Tanpa nyawa manusia secara subtantif
berubah menjadi mayat, sementara tanpa pikiran juga manusia
105
Baca (Q.S. al-Ma’arij/70: 24-25)
juga bagaikan mayat hidup. Kesetaraan nilai nyawa dan
pikiran menjadi jelas dapat dipahami dari firman Allah.
الَّل ُه َيَتَوىَّف اَأْلنُفَس ِح َني َمْو َهِتا َواَّليِت ْمَل ُمَتْت يِف َم َناِم َه ا َفُيْم ِس ُك اَّليِت َقَض ى
َعَلْيَه ا اْلَمْو َت َو ُيْرِس ُل اُأْلْخ َرى ِإىَل َأَج ٍل ُم َس ًّم ى ِإَّن يِف َذِلَك آَل َياٍت ِّلَق ْو ٍم َيَتَف َّك ُروَن
Artinya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;
maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. al-
Zumar: 42)
Ketika tidur juga dianggap mati. Menurut Zamasyari
kalau manusia sudah mati, maka jiwanya (nyawa) sama Tuhan,
sementara orang yang tidur, jiwanya dalam pengertian
akalnya sedang tidak bisa berpikir (nafs al-tamyîz) dan
dikendalikan oleh Tuhan.106 Sementara Fakhruddin al-Razi
mengatakan bahwa kematian dan tidur adalah satu jenis.
Kematian keterputusan jiwa yang sempurna dengan badan
(inqithâ’u al-tâm), sementara tidur keterputusan jiwa sementara
(inqithâ’u al-nâqis).107
Motivasi menuntut ilmu kembali digambarkan oleh
Rasulullah bahwa derajat kemuliaan orang berilmu dengan
hambanya yang lain bagaikan kemuliaan Rasulullah atas
manusia yang paling rendah di antara manusia
صلى اهلل عليه- مث قال رسول اهلل،فضل العامل على العابد كفضلي على أدناكم
إن اهلل ومالئكته وأهل السماوات واألرض حىت النملة يف جحرها وحىت:-وسلم
احلوت ليصلون على معلمي الناس اخلري
106
Zamaksyari, al-Kasysyaf juz 5 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998), hal. 308
107
Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 284
Artinya, Kemuliaan orang berilmu terhadap hamba lainnya
bagaikan kemuliaanku (Muhammad Saw) terhadap orang yang paling
rendah dari kalian. Kemudian Rasulullah bersabada: Sesungguhnya
Allah, malaikat, penduduk langit dan bumi, dan bahkan semut di
persembunyiannya dan ikan besar niscaya akan bershalawat atas para
pengajar kebaikan terhadap manusia.” (H.R. Tirmidzi)108
Dari dorongan epistemologis Islam terhadap
perkembangan ilmu tersebut, semestinya banyak kaum
muslimin menjadi ilmuan, sebagai salah satu sarana menuju
kebahagiaan ganda dunia dan akhirat. Bukankah doktrin fiqh
yang banyak mempengaruhi pola pikir umat Islam pada
umumnya banyak membicarakan seputar surga neraka.
Mulianya profesi guru maupun dosen diharapkan dapat
memotivasi orang-orang baik dan orang pintar untuk
menekuni profesi ini. Dalam konteks keindonesiaan,
marginalisasi dalam bidang kesejahteraan yang digambarkan
oleh Iwan Fals dengan lagu Omar Bakri yang sederhana dalam
pengertian miskin. Untuk menundukkan ”jiwa memberontak”
para guru, maka pemerintah yang otoritarian memberi slogan,
”Guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Image kesederhanaan guru membuat banyak orang
pintar tidak tertarik dengan profesi ini di Indonesia. Lihatlah
minat orang tua, ketika mereka mempunyai anak-anak yang
pintar, mereka lebih tertarik mengkuliahkannya ke Jurusan
Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Daya tarik
(attraction) profesi keguruan dengan peraturan tunjungan
108
Muhyiddin, Riyad al-Shalihin, hal. 530-531
profesi (sertifikasi) guru di Indonesia belum secara signifikan
menarik minat para orang pintar untuk kuliah di Fakultas
Keguruan. Meningkatnya minat untuk menjadi guru, hemat
penulis saat ini bukan dari kalangan orang-orang pintar.
Tanggung jawab moral para ilmuan di dalam Islam
berimplikasi tidak bolehnya ilmuan menyembunyikan ilmunya
apabila ditanya. Mereka yang menyembunyikan ilmu kelak
akan disiksa oleh neraka.
َمْن ُس ِئ َعْن ِعْلٍم َفَك َت ُه َأ ُه الَّلُه ِبِلَج اٍم ِم ْن َناٍر
َم َجْلَم َل
Artinya, Barang siapa yang ditanya akan suatu ilmu,
kemudian ia menyembunyikannya, maka akan didera pada hari kiamat
dengan cemeti api neraka.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)109
Ilmu merupakan keniscayaan hidup. Jika ilmu tidak lagi
jaya dan digantikan oleh kebodohan, itu salah satu tanda
kiamat akan datang.
ويق?ل، وتك?ثر النساُء، ويظهر الزن?ا، ويظهر اجلهُل،من أشراِط الساعة أن َيِق َّل العلُم
الرجال حىت يكون خلمسني امرأة القيم الواحد
Artinya, Tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah ilmu
tidak lagi dipakai sedangkan kebodohan menjadi jaya, perjinahan
merajalela, minuman keras disukai, lelaki banyak yang mati, dan yang
tinggal perempuan, sehingga wanita dan laki-laki berbanding satu.110
Ilmu menurut hadits adalah sarana mendapatkan
109
Ibid, hal. 531
110
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz IX, hal. 58
kebahagiaan dunia dan akhirat.111 Dalam konteks mencari
kebahagiaan itulah menurut hadits, wajib menuntut ilmu baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Persoalan yang timbul dari hadits itu,
ilmu apa yang wajib ain dituntut oleh kaum muslimin dan muslimat?
Al-Ghazali berpendapat hanya ilmu-ilmu yang terbatas pada
pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat Islam saja yang diwajibkan.
Misalnya seorang yang beternak, harus tahu syariat zakat, pedagang,
harus tahu tentang riba.112
116
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: ), hal. 405
117
Ibid
118
Ibid, hal. 405-406
Adakah ilmu Islam? Jika ada ilmu Islam, perlukah ilmu-
ilmu dari Barat itu diislamkan? Tanggapannya beragam dari
yang mengatakan adanya ilmu Islam dan perlu diadakan
islamisasi ilmu. Sementara ada yang berpendapat bahwa ilmu
Islam itu tidak ada.
Fazlur Rahman, Ziauddin Sardar, dan Mohammad
Arkoun, termasuk orang yang tidak sependapat dengan
islamisasi ilmu. Tindakan islamisasi ilmu menurut Arkoun
justru mempersempit Islam sebagai ajaran yang universal yang
dianggap hanya bersifat ideologi.119 Sementara Rahman
berpendapat islamisasi ilmu menjadikan ilmu Islam berada
pada posisi subordinat dari ilmu-ilmu modern. 120 Selanjutnya ia
mengatakan bahwa seharusnya ilmu dimulai dari al-Qur’an
dan tidak berakhir di al-Qur’an. 121
Rahman sepertinya berpendapat bahwa semua teori
ilmu bisa dilahirkan prinsipnya dari al-Qur’an, sedangkan
teknisnya yang lebih rinci didapatkan dari penelitian ilmiah.
Adapun Sardar menganggap islamisasi ilmu itu naif yang
justru akan membaratkan ilmu-ilmu Islam. Bukan ilmu-ilmu
Islam yang diadaptasikan, tetapi sebaliknya, ilmu-ilmu Barat
itulah yang harus diadaptasikan terhadap ilmu-ilmu Islam.
Islamisasi ilmu ibarat meletakkan kereta di depan kuda. 122 Hal
senada juga dikatakan oleh Usep Fathuddin bahwa islamisasi
tidak perlu karena itu bukan kerja kreatif dan tidak ilmiah.
119
Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya,1991), hal. 5
120
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hal. 126
121
Ibid
122
Ibid, hal. 126-127
Islamisasi ilmu hanya ”kerja kreatif ” atas karya orang saja.
Yang kita butuhkan adalah mengembangkan ilmu
pengetahuan.123 Lebih lanjut ia berpendapat bahwa islamisasi
ilmu-ilmu Barat itu bagaikan menggantungkan ”kaligrafi”
dalam karya pertukangan. Lebih tepatnya, islamisasi itu tukang
label ilmu yang telah ditemukan orang lain. 124
Lain Halnya dengan Mulyanto yang berpendapat
islamisasi ilmu merupakan proses penerapan etika Islam dalam
pemanfaatan ilmu tersebut. Selain itu, katanya islamisasi ilmu
sebagai proses pemurnian ilmu pada prinsip-prinsip tauhid,
kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.125
Secara implisit Haidar Bagir mengatakan perlu islamisasi
ilmu dengan mengatakan bahwa perlu dibentuknya sains yang
islami.126 Ada dua alasan pokok kenapa dibutuhkan sains yang
Islami menurut Haidar Bagir. Pertama, ilmu-ilmu dari Barat
materialis, sedangkan kita membutuhkan sains yang sintesis
dari materi dan spiritual. Kedua, secara sosiologis, ilmu
pengetahuan yang diciptakan oleh Barat dirumuskan untuk
kepentingan masyarakat mereka sendiri.127
Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa islamisasi
ilmu bisa dibutuhkan dan bisa tidak. Dibutuhkan tatkala dilihat
bertentangan dengan ajaran Islam secara filosofis. Karena sains
123
Abuddin Nata, Metodologi…, hal. 407
124
Ibid
125
Mulayanto, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal.
17
126
Abuddin Nata, Metodologi…, hal. 409
127
Haidar Bagir, “ Sains Islam” dalam Moefich, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. 45
Barat dibangun berdasarkan filsafat Barat yang jelas berbeda
dengan filsafat Islam. Dengan demikian saat ini, islamisasi ilmu
jelas dibutuhkan.
Walaupun ada perbedaan pendapat terhadap islamisasi
ilmu, menurut Abuddin Nata, umat Islam sepakat bahwa ilmu
pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam
diperlukan.128 Artinya, yang dipersoalkan hanya tentang nama
(aksidental), dimana orang bisa berbeda, tetapi pada persoalan
substansi orang sependapat. Pengembangan ilmu pengetahuan
diperlukan di satu sisi, dan islamisasi ilmu di sisi lain juga
diperlukan untuk misi ketuhanan. Menurut Abuddin Nata lagi,
orang yang tidak setuju dengan istilah islamisasi ilmu
berpendapat bahwa mereka yang pro islamisasi ilmu, terkesan
merasa gengsi menerima ilmu pengetahuan dari Barat,
sehingga perlu mengislamkannya.
Sementara mereka yang pro islamisasi ilmu tidak
mengingkari perlunya sains Islam yang mandiri, tetapi tidak
salah mengadaptasikan ilmu dari Barat dengan Islam
sebagaimana dulu juga Barat mengambil sains dari Islam dan
mengadaptasikannya dengan budaya mereka.129
Penulis sepakat bahwa ilmu ilmu modern yang datang
dari Barat perlu disensor berdasarkan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Yang lulus sensor harus dijustifikasi dengan jujur dan
sekaligus disebarluaskan. Sementara yang tidak lulus sensor,
Islam dapat mengoreksi dan bahkan menyalahkannya dengan
menggantinya dengan kebenaran yang baru.
128
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. IX, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal. 409
129
Ibid, hal. 410
Gerakan islamisasi ilmu secara faktual dapat dilihat dari
berdirinya lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic
Thought (IIIT) di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Ismail
al-Faruqi dan Internasional Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) di Malaysia oleh Naquib al-Attas. Baik al-
Faruqi maupun al-Attas melihat adanya krisis dalam basis ilmu
pengetahuan modern mengenai realitas dan filsafatnya,
sehingga, islamisasi ilmu dibutuhkan.130
Tanpa mempersoalkan siapa yang menggagas pertama
kali, jauh-jauh hari sebelum al-Faruqi dan al-Attas berbicara
tentang islamisasi ilmu, menurut Dawam Rahardjo, Syah Wali
Allah dan Sir Sayyid Ahmad Khan abad ke-18 dan ke-19 telah
berbicara tentang ini dengan bukti sejarah Universitas Aligarh
di India.131
Bagaimana melaksanakan islamisasi ilmu? Mulyanto
berpendapat, menjadikan ajaran Islam sebagai landasan
aksiologis semua ilmu, tanpa mempersoalkan ontologi dan
epistemologinya.132 Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi
produknya netral, tetapi penggunaannya menjadi tidak netral.
Pesawat terbang bisa digunakan untuk membawa misi
komunis, misi penjahat, misi penjajah, dan sekaligus misi mulia
seperti membawa jemaah haji ke Mekah. Penggunaan pesawat
untuk selain kebaikan itulah yang tidak netral yang perlu
diislamkan. Hal senada juga disebutkan oleh Doddy Tisna
Amidjaja bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal etika, tetapi
manusialah yang mengenalnya. Sementara menurut Takdir
130
M. Zainuddin, Filsafat…, hal. 121
131
Dawan Rahardjo, “ Strategi Islamisasi Pengetahuan” dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. xii
132
Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan “ dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan…, hal. 17-18
Alisjahbana ilmu pengetahuan tidak mengenal baik-buruk,
indah-tidak indah, cinta-benci, suci dan tidak suci, berguna dan
tidak berguna. 133
Secara umum, menurut al-Faruqi, ada lima program
kerja dalam islamisasi ilmu, yaitu: 134
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang
ilmu modern
4. Pencarian sintesis kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu mode
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang
mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.
FILSAFAT ILMU
133
M. Zainuddin, Filsafat…, hal. 131
134
Ibid, hal. 121
Pengetahuan yang di Antaranya Ilmu. Setelah Ilmu
Bertindak dan Berkreasi, Daratan Mengalami Kemajuan
Dalam Segala Bidang, Kemudian Filsafat Kembali ke Laut
Lepas Untuk Melaksanakan Ekplorasi Lebih Jauh
FILSAFAT ILMU
135
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1
filosof membagi objek material filsafat menjadi tiga, yaitu ada
dalam alam empiris, ada dalam alam pikiran, dan ada dalam
alam kemungkinan.136 Adapun objek formal filsafat adalah
sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang
segala yang ada.137
Dilihat dari objek materialnya, filsafat lebih luas dari
ilmu. Filsafat mencakup yang tampak dan yang tidak tampak
sementara ilmu hanya mempersoalkan yang tampak saja
(empiris). 138
Secara tegas, Rizal Mustansyir dan Misnal Munir dalam
Filsafat Ilmu menulis bahwa objek material filsafat ilmu adalah
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang bersifat khusus
dengan ciri sistematis, metode ilmiah tertentu, serta dapat diuji
kebenarannya.139 Sementara objek formal filsafat ilmu adalah
hakekat (esensi) ilmu pengetahuan. Hakikat ilmu pengetahuan
membahas tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
140
Ketiga unsur ini menjadi landasan pengembangan ilmu.141
Will Durant mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir
yang mendaratkan pasukan infantri. Pasukan infantri inilah
sebagai pengetahuan yang diantaranya ilmu. 142
Setelah ilmu bertindak dan berkreasi, daratan
mengalami kemajuan dalam segala bidang, kemudian filsafat
136
Ibid
137
Ibid
138
Ibid, hal. 2
139
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 44
140
Ibid, hal. 45
141
Ibid, hal. 46
142
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 24
kembali ke laut lepas untuk melaksanakan eksplorasi lebih
jauh.143 Filsafat adalah tempat berpijak ilmu dan oleh sebab
itulah para filosof mengatakan filsafat sebagai induk dari
semua ilmu.144 Bisa disebutkan filsafat melahirkan ilmu dan
ilmu melahirkan teknologi. Dengan bahasa lain teknologi buah
dari ilmu dan ilmu adalah buah dari filsafat.145
Dalam sebuah pohon terdiri dari akar, batang, dahan,
ranting, daun, dan buah, maka akar bagaikan filsafat dan
lainnya sebagai ilmu. Struktur bangunan terdiri dari pondasi,
dinding, langit-langit, dan atap, maka pondasi bagaikan
filsafat dan lainnya ilmu. Manusia terdiri dari unsur materil
dan immateril. Unsur immateril itulah bagaikan filsafat dan
unsur materil itu ilmu. Unsur materil (zhâhir) itu adalah jasmani
dan unsur immaterilnya (batin), akal, hati, dan nafsu.
Menyikapi posisi filsafat dan ilmu, terkadang
melahirkan madzhab rasisme, penyakit makhluk pertama.
Sebagian orang berpendapat bahwa filsafat lebih utama dari
ilmu, sebagian lainnya berpendapat terbalik bahwa ilmu lebih
utama dari filsafat. Akar memang tidak bisa dipungkiri penting
bagi pohon, tetapi akar pun tidak bermakna apa-apa tanpa
unsur lainnya. Jasmani tidak bermakna apa-apa tanpa akal,
hati, dan nafsu dan sebaliknya. Pasukan tidak bisa berkreasi di
daratan tanpa didaratkan marinir. Sebaliknya kreasi marinir
tidak akan dikenang orang di daratan tanpa jasa infantri. Untuk
itulah antara ilmu dan filsafat hanya bagi-bagi tugas dan bukan
persoalan tafdhîl (lebih mulia antara satu dengan yang lain).
143
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 2
144
Ibid, hal. 2
145
Ibid
Tidak ubahnya dalam anggota tubuh kita ada mata, tangan,
kaki, telinga, dan sebagainya. Masing-masing tidak bisa dinilai
lebih mulia dari yang lainnya. Masing-masing memiliki tugas
yang berbeda dan saling membutuhkan.
Pada mulanya filsafat yang terbagi dua, teoretis dan
praktis. Filsafat teoretis itu mencakup metafisika, matematika,
fisika, dan logika. Sedangkan filsafat praktis itu ekonomi,
politik, hukum, dan etika.146 Pada perkembangan selanjutnya,
filsafat itu menspesialisasi menjadi bagian dari ilmu itu sendiri,
sehingga dikenal filsafat agama, filsafat hukum, dan juga
filsafat ilmu.147 Filsafat dalam perkembangannya dituntut tidak
hanya berada di laut lepas. Dia harus turut membimbing ilmu
karena ilmu itu bukan saja semakin jauh dari induknya kata
Amsal, bahkan muncul arogansi dan kompartementalisasi yang
tidak sehat antar ilmu. Kemajuan ilmu yang leluasa cukup
mengkhawatirkan para ilmuan, filosof, dan juga agamawan.
Untuk itulah, dirasakan perlu andil filsafat dalam
mempersatukan visi keilmuwan untuk menghindari konflik
kepentingan.148
Ketika ilmu sudah menjadi obyek kajian filsafat, maka
dengan sendirinya ilmu harus mengikuti obyek formalnya.
Obyek formal filsafat sebagaimana ditulis oleh Mustansyir dan
Misnal Munir terdiri dari ontologi, epistemologi, dan
146
Ibid, hal.2. Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Hasan Bakti Nasution,
Filsafat Teoritis itu terdiri dari fisika, matematika, dan metafisika. Sedangkan Filsafat
Praktis itu terdiri etika, ekonomi, dan politik. Baca Hasan Bakti Nasution, Filsafat
Umum, (Jakarta: GMP, 2001), hal. 13
147
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 3
148
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal.43
aksiologi.149 Sementara Amsal Bakhtiar menulis obyek filsafat
bersifat radikal, universal, rasional, dan spekulatif.150 Kedua
pendapat itu tentu tidaklah bertentangan, tetapi keduanya
membahas dalam perspektif yang berbeda. Ketika obyek
formal itu dibagi menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi,
hal itu dilihat dari dasar-dasar ilmu. Sementara radikal,
universal, rasional, dan spektulatif dilihat dari sifat filsafat itu
sendiri.
149
Ibid, hal. 45-46
150
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 3
151
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal. 43
152
Ibid
153
Amsal Bakhtiar, Filafat Ilmu, hal. xii
ilmuan, filosof, dan agamawan akan mengancam eksistensi
manusia, untuk itulah diperlukan filsafat ilmu. 154
Menurut John Naisbitt, perkembangan ilmu berdampak
negatif, di antaranya:
1. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara
kilat. Lihatlah di pasaran berkembangnya makanan dan
minuman instan.
2. Masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi.
Lihatlah bagaimana manusia sangat tergantung (al-shamad)
terhadap hand phone saat ini.
3. Masyarakat mengaburkan antara yang nyata dan semu.
Lihatlah ketika ring tone HP berbunyi salawat, seakan-
akan benar-benar nyata.
4. Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan.
Lihatlah anak-anak sibuk di depan laptop untuk main
game ria.
5. Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang
wajar. Lihatlah kejadian setiap pasca pilkada, sering terjadi
bentrok horizontal di masyarakat.
6. Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan
terenggut.155
Jika tidak ada masalah dalam sains modern, maka
”sains modern sebagai berhala baru” yang dikemukakan oleh
Nurcholis Madjid tidak ada tempatnya. Sains156 modern atau
154
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal. 43
155
Amsal Bakhtiar, filsafat Ilmu, hal. xiii
156
Mulyadi Kertanegara mengatakan bahwa sains dan ilmu sama terutama sebelum
abad ke-19, tetapi setelah itu, sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau
indradewi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non-fisik, seperti
metafsika. Baca Mulyadi Kertanegara, Pengantar Epistimologi Islam, ( Bandung:
sains Barat menurut Nurcholis Madjid tidak memiliki ruh.
Untuk itulah filsafat ilmu bertujuan untuk meluruskan
jalan ilmu dan sekaligus mempertegas kata Amsal Bakhtiar
bahwa ilmu dan teknologi adalah sarana atau instrumen dan
bukan tujuan. Menurut masyarakat beragama, ilmu bersumber
dari Tuhan dan oleh sebab itu, kemajuan ilmu tidak boleh
menodai ketuhanan. Jika kemajuan ilmu itu melanggar
ketentuan Tuhan, maka ilmu telah keluar dari fitrah ketuhanan.
Kemajuan ilmu dan teknologi pada mulanya bertujuan
untuk mempermudah pekerjaan manusia, ternyata
menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan
manusia.157 Rekayasa genetika dan teknologi kloning158
menunjukkan penyelewengan ilmu, sehingga untuk
meluruskan jalan ilmu diperlukan filsafat ilmu.
Mizan, 2003), hal.1 atau Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 12-13
157
Ibid, hal. 223
158
Ibid, hal. 225
Lebih tegas, Rizal Mustansyir dan Misnal Munir
mengatakan bahwa ruang lingkup filsafat ilmu ada lima, yaitu:
1. komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, 2. sifat dasar
ilmu pengetahuan, 3. metode Ilmiah, 4. Praanggapan-
praanggapan ilmiah, dan 5. sikap etis dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Yang paling banyak dibicarakan adalah
nomor 1, 3, dan 5.159
Ilmu dalam pengertian sains itu bersifat empirik fisik
dan lebih sempit dari filsafat yang berada di wilayah pikiran.
Kita bisa melihat organ tubuh manusia yang terdiri dari bagian
atas, tengah, dan bawah. Bagian atas ada mata untuk melihat,
hidung untuk mencium, dan telinga untuk mendengar. Pikiran
dapat menangkap di luar yang empirik itu. Sungguh Allah
menciptakan mata untuk melihat ciptaanNya dan dari
penglihatan itu, manusia mendapatkan pengetahuan yang
sangat bermanfaat, sehingga melengkapi kesempurnaannya
sebagai manusia. Manusia berkreasi untuk meniru fungsi mata,
sehingga kita mengenal lampu penerang dengan segala
bentuknya, dimana daya tahannya tak sebanding dengan daya
tahan mata ciptaanNya. Bagaimana bulu mata dan juga alis
mata dan sebagian rambut yang melekat pada manusia tidak
tumbuh memanjang bagaikan rambut. Bagaimana tinggi badan
kita pada waktu tertentu tidak lagi bertambah, sehingga tinggi
badan tidak menyusahkan kreasi ilmu. Bisa kita bayangkan,
jika tinggi badan manusia mencapai 20 meter. Rumah harus
dibangun tingginya melebihi 20 M, mahal bukan? Bagaimana
para teknolog membuat mobil, tentunya disesuaikan dengan
159
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal.49-50
tinggi manusia. Jika tinggi mobil lebih 20 meter, maka jalanpun
harus lebar, kalau tidak, keseimbangannya lepas. Disitulah akal
dapat menangkap peran Yang Maha Kuasa dan Maha Baik.
Peran Yang Maha Kuasa dan Maha Baik itu tidak dapat
ditangkap oleh sains.
Sains yang banyak mengandalkan indera memiliki
banyak keterbatasan. Untuk mengatasi keterbatasan itu,
manusia dengan ilmu berkreasi. Mata dengan keterbatasan,
manusia menciptakan teropong, sehingga jangkauan
penglihatan manusia berlipat ganda. Keterbatasan
pendengaran manusia, dibantu oleh kreasi menciptakan
pengeras suara. Jarak yang sungguh tidak mungkin dijangkau
oleh telinga, manusia mengatasinya dengan teknologi elektro
magnetik, sehingga dari seluruh dunia ini bisa berkomunikasi.
Namun, telinga tidak lagi bisa berkomunikasi dengan makhluk
yang ada di alam kubur walaupun jaraknya dekat. Untuk
mengetahui aktivitas dan komunikasi penghuni alam kubur
masih bisa dijangkau oleh akal dengan bantuan data-data
deduktif secara revalatif dalam al-Quran dan hadits.
Secara mistik, pengalaman sebagian mereka yang
mengalami NDE atau mati suri dapat dipahami oleh akal ketika
bereksplorasi ke dunia wahyu dan tentunya tidak kita berharap
dapat dipahami oleh indera kita.
Ketika dalam lembaga pernikahan tidak dikarunia anak
dan secara medis dinyatakan sang suami mandul, maka sains
boleh berkreasi dengan menyuntikkan sperma dari donor
sperma ke dalam rahim si istri. Memang si istri bisa hamil dan
memiliki anak, namun kreasi sains itu akan melahirkan
problem baru. Jika yang lahir adalah perempuan, maka siapa
bapaknya yang akan menikahkannya kelak. Jika diketahui juga
yang memiliki sperma itu, sehingga dikenal juga bapak biologis
anak tersebut. Bagaimana secara psikologis hati suami dan istri
dan juga keluarga. Jika hal itu dianggap tidak bermasalah,
bagaimana ketundukan kita kepada Sang Pencipta kehidupan
dan kematian yang telah membuat aturan main hidup. Apakah
Tuhan tidak dihargai? Apa yang terjadi jika Tuhan tidak
dihargai? Itu semua termasuk dalam ruang lingkup filsafat
ilmu.
2. Tujuan
Amsal Bakhtiar menguraikan lima tujuan Filsafat Ilmu,
yaitu:160
1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan
ilmu di berbagai bidang.
3. Menjadi pedoman mahasiswa dan dosen dalam
mendalami studi di perguruan tinggi, khususnya untuk
membedakan yang ilmiah dan non ilmiah.
4. Mendorong para ilmuwan untuk konsisten dalam
mendalami ilmu dan mengembangkannya.
5. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan
tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Tujuan filsafat ilmu juga dikemukakan oleh Amsal
Bakhtiar untuk meluruskan jalan ilmu dan sekaligus
mempertegas bahwa ilmu adalah sarana dan instrumen dalam
160
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 20
membahagiakan manusia. Untuk mendapatkan anak sebagai
salah satu kebahagiaan manusia, maka lembaga pernikahan
sebagai sarananya.
Filsafat ilmu bertujuan merumuskan world view yang
konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Implikasi dari
tujuan ini mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu.
Filsafat ilmu juga merupakan eksposisi dari pre supposition dan
pre disposition dari para ilmuwan. Filsafat ilmu merupakan
disiplin ilmu yang terdiri dari konsep-konsep, teori-teori
tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan. Dalam
perspektif Islam, tujuan filsafat ilmu tidak terlepas dari misi
sarana beribadah dengan tetap mempertimbangkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu dijadikan sarana
kebahagiaan di dunia sesuai dengan rambu-rambu yang
ditentukan oleh Pencipta. Semua sarana itu hendaknya
dikaitkan dengan misi untuk mendekatkan diri kepadaNya.
161
Ibid, hal.95
dibandingkan dengan orang masa sekarang. Pada masa pra
kemerdekaan, masyarakat Indonesia bersatu padu
memperjuangkan kemerdekaan. Pada masa sekarang, para
pejabat berlomba-lomba memperkaya diri. Di Mekah, orang
muslim berkesempatakan besar untuk berhaji dan berumrah.
Itu semua termasuk membicarakan antroplogi.
Filsafat ilmu akan mengontrol dan mengkritisi teori-teori
ilmu pendidikan dan meluruskan jika keluar dari konsep
filosofis. Arogansi spesialisasi ilmu telah banyak
mengesampingkan persoalan filsafat ilmu dan termasuk dalam
ilmu pendidikan. Untuk itulah, filsafat ilmu dirasakan urgen
dalam ilmu pendidikan. Selain untuk mengontrol teori-teori
ilmu pendidikian, filsafat ilmu juga akan menjustifikasi
perjalanan ilmu pendidikan. Sebagai contoh apakah kebijakan
UN di Indonesia melanggar kode etik filsafat ilmu? Jika ilmu
itu bertujuan membahagiakan masyarakat, jangan-jangan
kebijakan itu menjadi paradoksal, sehingga menyengsarakan
masyarakat-masyarakat marginal. Bagaimana mengakomodir
keberagaman manusia dalam segala hal dalam bidang
pendidikan sesuai dengan tuntutan filosofis diversitas manusia.
Dengan pertimbangan diversitas kemampuan peserta
didiklah, Menteri Pendidikan Nasional Nadiem Makarim
menghapuskan Ujian Nasional. Walaupun tetap saja ada pro
dan kontra, tetapi itu menjadi bukti bahwa kebijakan
pelaksanaan Ujian Negara secara nasional bisa menuai masalah
secara filosofis.
DASAR-DASAR ILMU
A. Ontologi
Jujun Suriasumantri merinci dalam pertanyaan apa itu
ontologi. Menurutnya ontologi menjawab pertanyaan berikut
ini?
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu?
2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek ilmu?
3. Bagaimana hubungan antara obyek ilmu dengan daya
tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan?
Dengan jumlah pertanyaan yang sama, M. Zainuddin
juga menulis bahwa ontologi adalah menjawab tiga pertanyaan
yang kelak menyebabkan aliran filsafat, yaitu what is being (apa
itu yang ada?), how is being (bagaimana yang ada itu?), dan
where is being? (dimana yang ada itu?). Dari tiga pertanyaan ini
kemudian melahirkan aliran filsafat monisme, idealisme,
dualisme, dan agnogtisme.
Adapun Amsal Bakhtiar menulis bahwa ontologi
mencoba menerangkan hakekat dari segala sesuatu.
Jawabannya berupa materi dan rohani. Selanjutnya Amsal
Bakhtiar mengatakan hakekat itu terdiri dari segala yang ada
dan mungkin ada. Hakekat adalah realitas dan riil. Artinya
kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian ontologi itu
adalah hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah kenyataan
yang sebenarnya. dari sesuatu baik berupa materi atau
immateri. Untuk itulah Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
hakekat sains adalah menjawab pertanyaan apa sains itu
sebenarnya.
Dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami
bahwa ontologi itu mendefinisikan sesuatu, seperti apa itu
sains? Apa itu manusia? Apa itu jin? Apa itu malaikat? Dan
sebagainya. Untuk itulah M. Zainuddin mengatakan secara
singkat ontologi itu menjawab pertanyaan apa? Dengan kata
lain, ontologi itu untuk memahami konsep secara mendalam
tentang apa yang akan menghasilkan pengetahuan universal
dan abstrak.
Apa itu manusia? Bisa jadi orang menjawab manusia
adalah hewan yang berbicara. Tentu itu sudah menjawab
sebagian dari hakekat manusia, tetapi bisa jadi hakekat
manusia yang paling rendah atau yang terendah. Artinya jika
ada manusia yang tidak menggunakan hakekatnya bisa
berbicara, maka hilanglah makna dari manusianya.
Jika dianalisis lebih tajam, manusia bukan sekedar
hewan yang berbicara. Jika demikian, maka boleh jadi orang
akan mengatakan bahwa binatang dan bahkan tumbuh-
tumbuhan pun juga berbicara dengan bahasa mereka masing-
masing. Untuk meningkatkan definisi itu, maka dikatakanlah
manusia itu makhluk yang berpikir. Dengan akal yang
dianugerahkan oleh Allah, manusia mengaktifkannya.
Aktivitas akal itu disebut dengan berpikir secara sederhana.
Dengan demikian, manusia yang tidak berpikir telah
mengurangi hakekatnya sebagai manusia.
Kembali lagi, jika dikritisi, manusia hakekatnya bukan
sekedar berpikir, karena dalam pengertian terbatas kata Andi
Hakim Nasution, binatang pun berpikir, walaupun untuk
kelangsungan hidupnya saja (survive). Tetapi jika dikatakan
bahwa manusia itu makhluk yang berpotensi berpikir ilmiah,
maka berpikir ilmiah adalah salah satu hakekat dari manusia.
Jika kita identifikasi hakekat manusia yang
dikemukakan di atas, manusia itu berbicara, berpikir, dan
berpikir ilmiah. Dikritisi lagi lebih dalam, hakekat manusia
bukan itu saja, tetapi manusia adalah khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia berkewajiban mensukseskan misi Tuhan
dalam menciptakan alam semesta ini. Jika Allah berfirman
jangan membuat kerusakan di muka bumi ini setelah
”dijadikan baik”, maka kita berkewajiban menjaga bumi dari
kerusakan. Jika tidak, maka hakekat kita sebagai manusia
berkurang nilainya. Hakekat manusia sebagai khalifatullah
tentu lebih dalam dan tinggi dari berbicara, berpikir, dan
berpikir logis. Tentu banyak lagi yang bisa disebutkan tentang
hakekat manusia, di antaranya manusia adalah makhluk
spritual. Manusia adalah makhluk dinamis.
B. Epistomologi
1. Definisi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi menyimpan
“misteri” pengertian yang tidak mudah dipahami. Para ahli
pun tidak bisa menghindar dari perbedaan ketika
mendefinisikannya. Perbedaan itu bukan saja pada aspek
redaksi, tetapi termasuk pada aspek substansi. Untuk lebih
jelasnya akan dikemukakan definisi yang dikemukakan oleh
para ahli tentang empistemologi.
Ada ahli yang mendefinisikan epistemologi sangat
umum. Di antaranya, Andi Hakim Nasution mendefinisikan
bahwa epistemologi membahas bagaimana caranya orang
menjadi maklum. Selain itu muridnya, Jujun S. Suriasumantri
dalam bukunya Filsafat Ilmu mendefinisikan epistemologi, cara
mendapatkan pengetahuan yang benar. Definisi yang singkat
dan jelas dikemukakan oleh Juhaya S. Praja, menurutnya
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas ruang
lingkup dan batas-batas pengetahuan.
Ada ahli mendefinisikan epistemologi dengan lebih rinci, di
antaranya Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh M. Zainuddin,
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang, asal-muasal, metode, keshahihan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya dirinci secara berurut:
1. Cabang filsafat
2. Membahas asal-muasal
3. Metode
4. Keshahihan ilmu pengetahuan
Pertanyaan Epistemologi
Untuk menambah kedalaman paham tentang
epistemologi, para ahli membuat sejumlah pertanyaan yang
akan dicari. Dari sekian banyak pertanyaan epistemologis,
penulis mengidentifikasi beberapa pertanyaan.
Secara umum, sebagaimana ditulis oleh M. Zainuddin,
pertanyaan epistemologi terbagi dua. Pertama yaitu
epistemologi kefilsafatan yang berkaitan dengan psikologi.
Kedua epistemologi semantik yang berhubungan dengan
pengetahuan dan objek pengetahuan. Kattsoff menyebutkan
ada tiga persoalan epistemologi, yaitu:
C. Aksiologi
Aksiologi adalah persoalan nilai. Pertanyaan aksiologi sebagai
mana ditulis oleh Jujun Suriasumantri: untuk apa pengetahuan itu
dipergunakan? bagaimana kaitan penggunaannya dengan kaidah
kaidah moral? bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan pilihan moral? bagaimana kaitan antara teknik
prosedural dengan norma-norma moral.
Burhanuddin Salam menguraikan bahwa aksiologi, berasal
dari bahasa Yunani axios dan logos. Axios artinya nilai dan logos
artinya teori. Jadi aksiologi bisa dikatakan teori nilai atau filsafat
nilai. Defisini lebih singkat lagi menurut penulis disebutkan bahwa
aksiologi adalah kaidah-kaidah penerapan pengetahuan. Yang pasti,
semua pengetahuan tidak boleh dipraktekan jika melanggar aturan
Allah. Jangan melakukan kebaikan dengan cara berbuat buruk.
Bersedekah ke mesjid dengan cara berjudi tentu tidak dibolehkan
norma moral agama. Apa dianggap benar, jika ada orang merampok
toko orang cina karena mereka beragama non-muslim? Tentu keliru
jika dikatakan benar, sampai kita menemukan sumber yang kuat
untuk membenarkannya.
Tujuan baik tetapi cara tidak baik, maka hasilnya tidak baik.
Tujuan tidak baik dan caranya tidak baik juga hasilnya tetap tidak
baik. Ini tidak sama dengan rumus matematika minus x minus
menjadi positif. Kaidah lain semua pengetahuan tidak boleh
dipraktekkan jika efeknya merendahkan martabat harkat manusia.
Artinya, pengetahuan jangan melanggar norma kemanusiaan.
Pengetahuan dijadikan sebagai sarana atau alat untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dengan pertimbangan
kemanusiaan dan keseimbangan alam. Pengetahuan itu juga
semestinya digunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti milik bersama dan universal, tidak memiliki konotasi parokial
seperti ras, warna kulit, dan agama. Pengetahuan tidak boleh
dipraktekkan jika efeknya merampas hak milik orang lain secara
tidak sah.
Nilai berhubungan dengan moral dan etika. Etika
berhubungan dengan persoalan baik dan buruk. Dalam khazanah
teologi, persoalan baik buruk, dibahas apakah akal tanpa wahyu bisa
mengetahui yang baik dan yang buruk? singkatnya, ada aliran
pemikiran yang berpendapat bahwa akal saja dapat mengetahui
persoalan baik dan buruk. Pemikiran itu diwakili oleh Mu’tazilah
yang dikenal sebagai aliran rasional dan Maturidiah, baik samarkand
maupun bukhara. Jika rasional sebagaimana diuraikan pada
pembahasan epistemologi hanya berhubungan dengan hukum alam,
maka aliran Mu’tazilah dengan demikian bercorak logis atau
logisme. Aliran lain berpendapat bahwa persoalan baik dan buruk
hanya diketahui melalui wahyu. Aliran ini diwakiili oleh pemikiran
Asy’ariyah yang banyak dikenal sebagai salah satu golongan ahli
sunnah wa al-jama’ah yang terkenal.
Apakah pengetahuan memiliki hubungan erat dengan
persoalan nilai. Secara spesifik, pengetahuan dalam paradigma
ilmu, ada yang berpendapat tidak berhubungan dengan nilai
(bebas nilai). Apakah ilmu itu akan dipergunakan untuk
kebaikan atau untuk keburukan bukanlah urusan ilmu itu
sendiri. Ketika ilmuan menciptakan bom, maka bom itu bisa
dipakai untuk sarana pengeboran minyak. Bom itu juga bisa
untuk membom Hirosima dan Nagasaki. Tetapi ada juga yang
berpendapat lain, bahwa ilmu itu tidaklah bebas nilai. Ilmu itu
dipergunakan haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.60
Teknologi pistol dan senapan, tidak diciptakan untuk
membunuh orang-orang tidak berdosa, kata mereka yang
berpendapat bahwa ilmu harus terikat nilai. Sementara bagi
mereka yang berpendapat ilmu bebas nilai, tidak
mempersoalkan untuk apa dipakai pistol dan senapan.
Menurut Amsal Bakhtiar, ”kelihatannya netralitas ilmu
terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak
kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus
mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang
pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan
lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.”
Apakah ada hubungan pengetahuan dengan kebaikan
dan keburukan? Nilai moral tidak berdiri sendiri, ia bergabung
dengan agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling
utama nilai moral berhubungan dengan tanggung jawab
seseorang. Apakah seorang ilmuan baik atau tidak sangat
ditentukan oleh nilai moral yang dimilikinya.
Setidaknya pola hubungannya dapat dijelaskan secara
psikologis dan sosiologis. Seorang yang sudah bergelar
Profesor Doktor dalam bidang ”keagamaan” dan hafizh al-
Qur’an, secara psikologis akan merasa lebih malu jika
melanggar aturan keagamaan seperti meninggalkan shalat,
puasa, tidak taat berzakat, dan apalagi suka menipu.
Manusia tidak selamanya berbuat baik dengan
kepintaraannya. Terkadang, dengan kepintaran juga orang
berbuat buruk. Jika manusia berbuat buruk dengan
kepintarannya, maka bisa seperti yang digambarkan oleh al-
Qur’an lebih hina dari binatang. Kerbau walaupun tidak
pintar, tetapi dia tidak berbuat curang dan tidak juga serakah.
Prof. Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhan guru
besarnya dalam bidang ekonomi di UGM, mengharapkan ilmu
ekonomi tidak mengajarkan keserakahan.
Mencari rezeki bukan saja dianjurkan, tetapi diwajibkan,
namun menumpuk harta dengan memiskinkan orang lain tidak
sesuai dengan norma aksiologi. Bagaimana kita memahami
kalimat-kalimat paragmatis, ”tidak ada kawan setia dan yang
ada adalah kepentingan setia”. Aliran pragmatis melahirkan
hedonisme. Hedonisme tidak peduli dengan urusan baik-
buruk. Yang mengesampingkan persoalan baik dan buruk
berarti mengesampingkan aksiologi. Orang Barat tidak terlalu
concent dengan persoalan aksiologi dan ontologi. Mereka lebih
memperhatikan persoalan epistomologi. Yang sangat perduli
dengan persoalan aksiologi adalah agama dan oleh sebab itulah
erat sekali hubungan antara agama dan moral.
Ilmu telah berjasa menciptakan peradaban manusia tulis
Amsal Bakhtiar. Ilmu memberantas penyakit setidaknya telah
mampu memberikan kebahagiaan sesaat untuk penderitanya.
Ilmu ekonomi tidak dapat dipungkiri melahirkan orang-orang
kaya yang berbahagia sementara. Ilmu tentang transportasi
telah banyak membantu kerja otot manusia, sehingga manusia
zaman sekarang, tidak jarang mengukur kesuksesan dari
pemilikan kenderaan.
Ilmu tentang ATM membuat para nasabahnya tidak
terikat dengan jam kerja bank. Di balik itu semua, tersimpan
pertanyaan aksiologis, apakah ilmu itu selalu merupakan
berkah dan penyelamat bagi manusia?
Melihat fenomena ilmu dengan segala manfaatnya,
barangkali tidak ada lagi ilmuwan yang berani menjawab
bahwa ilmu selalu menjadi berkah dan penyelamat bagi
manusia. Paradigma lama memang mengatakan bahwa ilmu
itu untuk mengatasi masalah hidup. Sementara paradigma
baru mengatakan bahwa ilmu mengatasi masalah dan
melahirkan masalah baru. Pencentus jargon pegadaian yang
mengatakan ”mengatasi masalah tanpa masalah” hanya sebatas
promosi saja yang tidak mustahil melanggar norma aksiologi
juga. Bukankah sudah diuraikan dalam pembahasan efek
negatif sains, bahwa sains menjadi berhala baru, pisau bermata
dua, miskin ruhani, dan sebagainya.
Mungkin kita perlu merumuskan secara ontologis apa
yang bisa mengatasi masalah tanpa masalah yang bukan
sekedar promosi. Mari kita yakini dalam pendekatan mistik
bahwa ”Agama mengatasi masalah tanpa masalah”. Jika tidak
yakin, maka anggaplah itu sebagai wacana hipotesis yang
memerlukan pembuktian.
Mari kita berutak-atik menurut bahasa Kuntowijoyo,
banyak orang yang merasakan secara mendalam bahwa tidak
mempunyai anak menjadi masalah. Hal itu bisa kita lihat dari
fenomena berobat untuk mendapat keturunan.
Selain itu, tidak adanya keturunan bisa menciptakan
perceraian. Sebagian mengatasinya dengan mengadopsi anak
dan sebagaian lainnya melakukan poligami, dan sebagainya.
Tidakkah pemilikan anak juga menciptakan masalah bagi
sebagian orang.
Memikirkan urusan dunia anak, tidak jarang manusia
berani melanggar aturan Allah seperti mencuri, korupsi, dan
jenis penipuan lainnya. Fenomena membuang bayi di antara
sebagaian bukti bahwa pemilikan anak menuai masalah bagi
sebagian orang. Bukan tidak ada, orang tua yang stress dan
bahkan diduga menyebabkan kematian karena ulah anak itu
sendiri. Untuk itulah al-Qur’an mengatakan harta dan anak
bisa menjadi masalah ”fitnah”. Dalam karya nomologis Arab
ada ungkapan, ”mashâib al-qaum ’inda al-qaum fawâid: musibah
bagi seseorang, manfaat untuk orang lain”. Apakah wisdom ini
turut menggagalkan teori win-win solution atau mutualisme
simbiosis?
Landasan aksiologi tentu harus otoritatif, dan sumber
paling otoritatif, dari Pencipta kebenaran itu sendiri. Walaupun
manusia merumuskan kebenaran aksiologi dan dapat diterima
oleh semua orang, tetapi pengetahuan manusia sangat terbatas
dan apalagi kebenaran aksiologi itu tidak semua disetujui oleh
manusia. Untuk itu sumber paling otoritatif adalah ayat al-
Qur’an. Ayat al-Qur’an diyakini oleh kaum Muslimin
bersumber dari Allah yang kebenarannya mutlak. Ketika
kebenaran yang mutlak itu dipahami oleh manusia, maka
kualitasnya relatif mendekati mutlak.
Salah satu pertanyaan yang dijawab oleh aksiologi
adalah untuk apa? Di dalam al-Qur’an, kalau ada orang
membunuh, maka hukuman bagi yang membunuh adalah
qishâsh, yaitu membunuh orang yang membunuh.
ا َأُّي ا اَّلِذ ي آ وْا ُك ِت َل ُك اْلِق ا يِف اْلَق َلى ا ُّر ِب ا ِّر اْل ُد ِباْل ِد
ْت ُحْل ُحْل َو َعْب َعْب َي َه َن َم ُن َب َع ْي ُم َص ُص
اٍن اُألنَثى ِب اُألنَثى َف ُعِف َل ُه ِم َأِخ ي ?ِه َش َفاِّت اٌع ِب اْل ْع وِف َأَداء ِإَلْي ِه ِبِإ
ْح َس َم ُر َو ْي ٌء َب َمْن َي ْن َو
ٌة َف ِن اْعَتَد ى َد َذِل َل َذ ا َأ يِل ِف ِل
َبْع َك َف ُه َع ٌب ٌم َذ َك ْخَت يٌف ِّم ن َّرِّبُك ْم َوَرَمْح َم
Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.” (Q.S. al-Baqarah: 178)
Tulisan ini tidak memasuki wilayah fiqh tentang tafsiran
maqâshid al-syari’ah, agar pelakunya tidak mengulangi lagi,
sehingga hukum qishâsh bisa diganti dengan macam bentuk
hukuman termasuk hukuman penjara. Pertanyaan
aksiologisnya, untuk apa orang yang membunuh diqishash.
Secara filosofis dan juga psikologis manusia amat
menghargai kehidupan. Agar tidak mudah menghilangkan
nyawa manusia, maka diberlakukan hukum qishash. Jika
seorang pembunuh diqishash, dia tidak mempunyai peluang
kembali untuk menghilangkan nyawa orang lain. Tetapi
walaupun demikian, kalau ahli waris yang dibunuh memberi
maaf kepada yang membunuh, sehingga qishash diganti
dengan diyat (ganti rugi), maka hal itupun diperbolehkan.
Alternatif kedua ini sebagai indikator ada juga manusia pemaaf
walaupun tidak banyak (minoritas).
Orang yang pemaaf adalah orang kaya. Kata maaf dalam
Q.S. al-Baqarah/2:219 dikatakan, apa yang harus diinfakkan.
Yang diinfakkan itu al-`afw. Al-`afw biasa diterjamahkan maaf.
Al-Farmawi dalam tafsir al-Sahl al-Murid fi Tafsir al-Majid
menyebutkan bahwa al-`afw adalah ma jada min hajatika wa hajati
ahlika: apa yang lebih dari kebutuhanmu dan keluargamu.
Orang yang punya melebihi kebutuhannya dan keluarganya
disebut al-`afw. Itulah sebabnya penulis mengatakan bahwa
pemaaf itu orang kaya. Walaupun dalam tafsir ayat itu kata
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa khamr adalah
minuman yang dibuat dari anggur. Kalau banyaknya anggur,
tidak dapat dikonsumsi oleh pemiliknya, maka dibuatlah
khamr. Khamr itu adalah minuman kegemaran orang Arab
jahiliah. Maka kata Syeikh Muhammad Abduh, salah satu yang
menyakitkan bagi orang Arab dengan kedangan Islam adalah
pengharaman khamr yang mereka sangat sukai. Karena sering
anggur itu banyak dan tidak habis dikonsumsi dan mereka
pun tidak mau menyedekahkannya. Setelah pengharaman
khamr dan judi, orang Arab pun bertanya kepada Rasulullah,
apa yang harus diinfakkan? Allah mengatakan, “katakan
Muhammad al-`afw”. Yaitu menginfakkan kurma yang tidak
dibutuhkan seseorang dan keluarganya. Diinfakkan untuk
menghindari kesia-siaan (mubadzdzir) dan keharaman. Haram
karena mengolah anggur menjadi khamr.
Pertanyaan aksiologi berikutnya, apakah jika
dilaksanakan qishahs, tidak melahirkan masalah? Jika
diperdebatkan dengan akal manusia, bisa jadi ini dianggap
melahirkan masalah baru, yaitu akan melahirkan kesedihan
bagi keluarga yang diqishash dan tidak mustahil, ia tidak dapat
menerima hukuman qishash dan malah balik menuduh, itu
tidak manusiawi.
Untuk memahami hal di atas barangkali bisa kita
meneladani sikap ilmiah Prof. Dr. Aznan Lelo ketika
mengomentari keharaman memakan daging babi dan sekaligus
menyentuhnya termasuk najis berat. Menurutnya, walaupun
ada manfaat yang terdapat pada jasad babi, tetapi babi itu
haram. Kalau sudah haram kata Allah, maka tidak boleh lagi
dikutak-katik. Hal itu juga pernah dikatakan oleh Prof. Dr.
Zulfikar Siregar, M.P kepada penulis bahwa dalam jasad babi
itu ada yang ampuh dijadikan obat.
Memang ketika hukum jinayah yang secara teknis
tercantum di dalam al-Qur’an seperti hukum qishash, potong
tangan, jilid, dan rajam, mendapat resistensi dari sebagian
kalangan dengan dalih melanggar hukum Hak Asasi Manusia
(HAM). Kita tidak tahu persis mereka yang menolak
diberlakukan hukum jinayah yang telah jelas tercantum dalam
al-Qur’an melanggar Hak Asasi Manusia atau mereka yang
menolak aturan itu sendiri sedang melanggar Hak Asasi
Manusia yang telah ditentukan oleh Allah. Penolakan itu tentu
tidak terlepas dari kepentingan politik kelompok atau agama
tertentu. Tidak logis dong, jika Allah Yang Maha Tahu
membuat aturan yang salah. Jangan-jangan mereka yang
menolak diberlakukan hukum Tuhan itu masuk dalam
pepatah, ”maling teriak maling”.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
tentang ilmu yang mengatasi masalah dan melahirkan
masalah baru dalam paradigma moral agama. Jika dengan
perkembangan ilmu perbankan dan semua perangkat
teknologinya seperti teknologi ATM dan SMS Banking telah
mengurangi angka karyawan di bank, bukanlah melanggar
aturan aksiologis. Tetapi, jika ekses teknologi HP
merenggangkan silaturrahmi secara fisik, maka ini yang
dimaksud melahirkan masalah baru. Kalau untuk
mengembangkan ilmu kedokteran dengan menggunakan
mayat sebagai bahan praktek, baru mendatangkan masalah
baru karena melanggar norma agama. Makan kodok, sebagai
vitamin yang sesuai untuk meningkatkan kualitas loncatan
pemain basket, mendatangkan masalah baru, karena melanggar
norma agama.
Nilai, ada yang bersifat subyektif ada yang obyektif. Jika
nilai itu tergantung pada subyek, maka nilainya subyektif.
Sedangkan jika nilai itu tergantung dengan obyeknya, maka ia
obyektif. Ketika ”teroris” menghancurkan gedung WTC di
Amerika, bisa jadi ada orang yang menilai, sungguh hebat
”teroris” itu tanpa bisa diantisipasi Badan Intelijen negara
adidaya. Sebaliknya, bisa jadi ada orang menilai, sungguh
biadap pelakunya karena mengorbankan jiwa manusia. Itu
yang disebut nilai yang subyektif. Tetapi, terorisme itu tidak
baik dan sementara jihad itu baik baru disebut nilai yang
obyektif.
Tidak semua ilmu dan teknologi selalu berdampak
positif bagi masyarakat, kadangkala ia berdampak negatif. Jika
terjadi kritikan terhadap ilmu, para ilmuan harus berjiwa besar,
terbuka menerima kritik. Tugas ilmuan menjelaskan hasil
penelitiannya seobyektif mungkin atas dasar rasionalitas dan
metodologis yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab ilmuan memberi contoh
bukan lagi memberikan informasi. Ia memang harus
mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar, tetapi ia
tetap bersikaf terbuka terhadap kritik dan pendapat orang lain,
dan jika bisa tidak malu mengakui kesalahan.
Persoalan aksiologi dalam Islam setidaknya dapat
dipahami dari klarifikasi al-Ghazali pada ilmu yang terpuji
(mahmud), ilmu yang dibolehkan (mubah), dan ilmu yang tercela
(madzmum). Menurutnya ilmu yang tercela itu termasuk sihir,
maka tidak boleh dipelajari. Artinya, tidak dibolehkan orang
mempelajari ilmu sihir dan kemudian mengamalkannya. Jika
diamalkan, maka akan merugikan kemanusiaan manusia.
DASAR-DASAR ILMU
PENDIDIKAN
Hadits
Paradigma hadist dalam konteks ini sama posisinya
dengan al-Quran, secara tekstual empirik. Memahami
kandungannya ada yang empirik, logis, dan supralogis.
Artinya, kandungan hadist ada yang berupa filsafat, ada yang
sains , dan ada juga yang berupa mistik.
Menurut Subhi Al-shalih, pendapat yang dominan di
hadist dan sunnah memiliki pengertian yang sama. Jika ingin
dibedakan, ada yang berpendapat bahwa hadist berupa sabda
dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Sementara sunnah
hanya berhubungan dengan perbuatannya.
Sebagaimana ulama berpendapat, sunnah merupakan
pekataan, perbuatan, ketetapan, ahklak nabi, dan jalan
hidupnya, baik sebelum atau sesudah menjadi rasul. Adapun
menurut ulama ushul sunnah hanya yang berhubungan
dengan keputusan untuk dijadikan dalil hukum syariah.
Menurut ulama fiqih sunnah adalah istilah yang ditetapkan
oleh Nabi Muhammad Saw. sebelum ditentukan ulama hukum
fard dan wajib. Adapun Jalaluddin Rahmat dalam ceramah
Ramadhan tahun 2010, dalam salah satu stasiun TV swasta
mengatakan bahwa sunnah adalah hadits dimana rasullah
menyuruh kita untuk mengikutinya, seperti,”shallu kama
raaitumuni ushalli (shalatlah kalian seperti aku sholat), khudzu anni
manasikakum (berhajilah seperti aku berhaji)”
Khabar dan hadist juga bersinonim, untuk itu menurut
Subhi al-Shalih boleh mengatakan hadist itu Khabar dan
khabar itu hadist. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa Atsar
juga sama dengan hadist, sunnah, dan juga khobar. Atsar tidak
hanya dinisbatkan kepada sahabat dan Tabiin. Yang
disandarkan kepada shabat (Hadist Mauquf) atau kepada tabiin
(Hadist Maqtu) juga riwayat.
Untuk itu semua pengetahuan pendidikan Islam
hendaknya di konsultasikan terhadap hadist, sunnah, khabar,
maupun atsar guna mendukung pengetahuan itu baik secara
eksplisit maupun secara implisit. Hadist pasti tidak boleh
bertentangan dengan al-Quran. Jika bertentangan, maka ada
kemungkinan kualitas hadistnya yang lemah dan bahkan palsu
atau pemahaman kita terhadap matan hadist itu keliru.
Filsafat pendidikan Islam harus merujuk pada al-Quran
dan hadist. Al-Qur’an dan hadist harus juga melahirkan filsafat
pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam harus melahirkan
ilmu pendidikan Islam agar dapat dipahami secara operasional.
Ilmu pendidikan Islam harus juga berkonsultasi terhadap ilmu
pendidikan Islam. Bagian terkecil dari pengetahuan itu adalah
manual. Ilmu pendidikan Islam harus melahirkan manual
pendidikan Islam sebagai petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan. Pada tataran manual pendidikan Islam, tidak lagi
berbicara teori, tetapi menggunakan bahasa-bahasa teknis
operasional.
Contoh filsafat pendidikan Islam. Jika seorang hamba
ingin melaksanakan ibadah sholat, maka ia wajib berwudhu
terlebih dahulu karena berwudhu ada bersuci. Bersuci
menghadap yang suci adalah sikap yang logis. Inti filsafatnya,
kalau mau melaksanakan ibadah sholat maka wajib berwdhu.
Apa saja yang dibasuh dalam berwudhu? Berdasarkan
surah al-maidah/5:6, anggota tubuh yang dibasuh muka,
kedua tangan, sebagian kepala dan kedua kaki. Ini sudah
termasuk ilmu pendidikan Islam.
Wilayah manualnya, bagaimana cara membasuh muka,
atas atau dari bawah atau bebas? Membasuh tangan sampai
siku, siku itu bastasnya mana? Sebagian kepala itu berapa
persen dari kepala? Kedua kaki sampai mata kaki,mana batas
mata kaki?
C. Aksiologi Ilmu Pendidikan
Untuk membahas aksiologi ilmu pendidikan, kita
mencoba mencari apa hasil atau nilai yang dilahirkan dari ilmu
pendidikan. Ilmu pendidikan turut memberikan sumbangan
yang besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu tingkah laku
(bahavioral sciences) dan atau ilmu-ilmu sosial. Bukti nyata dari
sumbangannya dapat dilihat dari lahirnya kajian pisikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, managemen pendidikan,
antropologi pendidikan, ekologi pendidikan, ekonomi
pendidikan, dan sebagainya. Ilmu pendidikan yang
menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang tingkah laku
manusia, khususnya dalam berlangsungnya proses belajar
mengajar dalam lingkungan hidup.
Dengan adanya ilmu pendidikan, teori-teori ilmiah
tentang sosio budaya tidak terbatas pada teori ilmiah
pisikologi, sosiologi, antopologi, politik, dan ekonomi, tetapi
dapat pula bersumber dan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan
tidak lagi berhenti menjelajah wilayahnya saja, tetapi sudah
merambah berinteraksi saling mempengaruhi cabang-cabang
ilmu sosial lainnya dalam bidang belajar mengajar.
Tujuan dari pendidikan adalah pembinaan akhlak.
Semua pelajaran menurut al-abrasyi harus ikut mendukung
terciptanya akhlak manusia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
pendidikan harus memperdulikan persoalan dunia dan akhirat
secara seimbang. Selain itu, ia mengatakan bahwa mata
pelajaran atau mata kuliah harus memiliki sisi manfaat. Ilmu
menurutnya ada yang murni untuk kepentingan pengetahuan,
tetapi ada juga ilmu “mencari uang”
Orientasi pendidikan dalam pembiiaan moral dianggap
oleh Zakiah Derajat kurang berhasil. Untuk itu pendidikan
moral diintensifkan di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
Hubungan Ibu-Bapak harus diperbaiki, sehingga dapat menjadi
suriteladan bagi anak-anak. Mendidik anak harus sejak dini dengan
moral agama. Nilai moral yang dipatuhi dengan suka rela itu
METODE SAINS
A. Induktif
Sains biasanya menggunakan metode induktif,
sementara filsafat menggunakan metode deduktif. Metode
induktif biasa disebut model pola berpikir dari yang khusus
menuju yang umum . Sedangkan deduktif sebaliknya dari yang
umum menuju yang khusus. Di bawah ini akan di berikan
ilustrasi tentang kedua metode itu.
Pada masa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib ,
datang seorang wanita membawa anaknya yang memiliki
kelainan. Anak itu kepalanya dua, matanya empat , dua badan,
tetapi satu punggung. Sang ibu ingin mempertanyakan dalam
persoalan warisan, apakah anak itu dihitung dua atau satu.
Ali bin Abi Thalib ingin mengetahui apakah
sesungguhnya anak itu benar-benar dua jiwanya atau satu ,
maka khalifah mngatakan, “ketahuilah, apabila keduanya
bangun secara bersamaan dalam satu keadaan, maka keduanya
adalah satu orang dan apabila salah satunya terbangun, sedang
yang lainnya tetap tertidur, maka keduanya adalah dua orang
dan hak mereka dalam warisan adalah dua orang.
Tolak ukur keputusan Ali bin Abi thalib itu adalah pusat
syaraf. Syaraf adalah pusat perilaku manusia. Jika syarafnya
satu, maka ia berada dalam satu komando. Pertanyaannya,
untuk mengukur kebenaran jumlah jiwa kasus divatas, apakah
menggunakan metode induktif atau deduktif? Artinya, sudah
banyak ditemukan bahwa satu syaraf di bawah satu komando.
Berapa pun matanya dan badannya dan juga kepalanya, jika
dia berada dalam satu komando berarti syarafnya satu. Jika
syarafnya satu maka jiwanya satu. Hanya saja tidak diketahui
data bahwa Ali bin Abi Thalib mengadakan percobaan tentang
itu berkali kali sehingga membuat kesimpulan bahwa satu
syaraf di bawah satu komando. Tidak juga diketahui, bahwa
landasan teori yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib
berdasarkan al-Quran ataupun hadits.
Penyelesaian Ali bin Abi Thalib itu sesungguhnya
menggunakan logika saintifika karena menggunakan ilmu
tertentu dan tidak bisa dicerna dengan logika alami. Pada
persoalan-persoalan ilmiah, penyelesaiannya dengan logika
saintifika.
Jika ada satu peluru diberikan kepada jago tembak yang
biasa mengeksekusi terpidana mati. Jago tembak membidik
terpidana mati jadi jarak 10 M. Apakah terpidana akan mati.
Untuk menjawab ini perlu menggunakan logika saintifika.
Sebab ada teori, setiap 100 peluru yang diproduksi, satu peluru
adalah macet. Jika pas pelurunya yang macet, maka terpidana
itu ditembak tidak mati. Maka logika saintifikanya, 1 %
berpeluang tidak mati dan 99 % berpeluang mati. Untuk
menyelesaikan persoalan seperti ini tidak bisa menggunakan
logika alami karena tidak sederhana.
Ketika sudah diketahui kesimpulannya bahwa satu
syaraf bekerja di bawah satu komando, maka selanjutnya kita
tidak lagi berfikir menggunakan metode induktif, karena sudah
ada kesimpulan yang sudah bersifat umum. Untuk itu kita
berangkat dari hal yang umum menuju yang khusus sebagai
keterangan atau pembuktian-pembuktian atas kesimpulan itu.
Dahulu orang tidak langsung tahu kesimpulan bahwa
api itu panas. Berkali-kali orang kena api dan api itu dirasakan
panas, maka orng membuat kesimpulan bahwa api itu panas.
Itu namanya metode induktif. Sekarang tidak usah berpikir
dengan metode induktif, tentang panasnya api, dengan
mencoba-coba menyentuh api dan mnyimpulkan bahwa api itu
panas, karena kesimpulannya sudah ada. Untuk itu, kita cukup
menggunakan metode deduktif, bahwa api itu panas. Untuk
menjelaskan kebenaran proposisi itu, boleh dicoba menyentuh
api beberapa kali.
Hakim di pengdilan menggunakan metode induktif
dalam memutuskan perkara, karena ia menggunakan bukti-
bukti dalam persidangan, hakim menjatuhkan vonis, apakah
terdakwah terbukti bersalah. Jika terbukti bersalah, dihukum
penjara beberapa waktu.
Para peneliti dalam membuat laporan penelitian,
merumuskan kesimpulan. Untuk itu, bentuk laporan itu
mengikuti pola berpikir induktif. Menurut sebuah laporan ,
57% pembunuh anak-anak 12 tahun adalah orang tua atau
orang tua tiri mereka. Kesimpulan ini tentu berdasarkan
beberapa fakta kasuistik, (case by case). Kenapa orang tua
membunuh anak mereka, jawaban mereka, sekedar berusaha
mendisiplinkan anaknya. Kesimpulan ini juga berdasarkan
beberapa fakta kasuistik.
Seorang wali kelas di sekolah menentukan kenaikan
kelas muridnya, menggunakan metode induktif, karena guru
tersebut melakukan proses analisis nilai setiap mata pelajaran.
Kemudian merekafitulasi nilai semua mata pelajaran, dan
kemudian mencari nilai rata-rata. Dari proses induktif itulah
guru dapat mengambil kesimpulan naik kelas tidaknya murid.
Guru yang memberikan mata pelajaran juga menggunakan
metode induktif. Nilai mata pelajaran matematika diberikan
seorang guru setelah melihat nilai formatif dan nilai sumatif
murid. Teknik evaluasi dalam pendidikan semua
menggunakan metode induktif. Prosedur semua jenis seleksi
juga menggunakan metode induktif.
Dalam metode induktif perlu dihindari proses
generalisasi yang tergesa-gesa. Baru tiga kali jumpa orang
bercadar orangnya taat beragama, sudah mengenalisir bahwa
wanita bercadar adalah orang yang taat beragama. Begitu juga
baru jumlah 5 sampel laki-laki gondrong sikapnya kurang ajar,
langsung menyimpulkan, laki-laki gorong kurang ajar. Dalam
metode induktif diperlukan banyak sampel, agar
kesimpulannya semakin akurat. Untuk itu dalam dunia statistik
diatur teknik pengambilan sample agar hasilnya akurat.
B. Deduktif
Metode berfikir deduktif adalah metode berfikir yang
dimulai dari hal-hal yang umum menuju yang khusus. Habibie
adalah mahasiswa yang rajin. Dia absen kuliah jika sakit. Kalau
ada saudaranya yang pesta, seperti waktu kakaknya menikah
pada hari sabtu, ia tetap masuk kuliah. Demikian, juga di
waktu bapaknya mau berangkat haji, mereka mengadakan
syukuran, mohon doa agar selamat perjalanannya ke makkah.
Syukurannya diadakan pada hari selasa, tetapi Habibie tetap
masuk kelas. Selain itu, kalau datang kuliah tepat waktu. Jika
dosen terlambat masuk, ia tidak meninggalkan kelas. Ia bisa
memastikan apakah dosen itu berhalangan hadir atau tidak.
Jika dosen berhalangan hadir, ia biasanya masuk ke
perpustakaan, untuk membaca buku.
Bisa juga disampaikan dengan metode induktif,
contohnya Habibie suka masuk perpustakaan kalau dosen
tidak hadir. Seandainya terlambat masuk, ia memastikan
apakah dosen tersebut bisa hadir baru ia meninggalkan kelas.
Ia selalu hadir kuliah sesuai dengan jadwal, kecuali ia sakit.
Pada waktu kakaknya menikah pada hari ada jadwal kuliah, ia
tetap juga hadir kuliah. Pernikahan kakaknya tidak
menghalanginya untuk hadir kuliah. Saat bapaknya syukuran
mau berangkat haji juga ia teatap masuk kuliah. Dengan
demikian Habibie adalah mahasiswa yang rajin.
Bandingkan, jika penyampaian informasi seperti berikut.
Habibie senang sekali masuk perpustakaan dan jarang
terlambat kuliah. Ia mahasiswa yang rajin. Pada saat bapaknya
mau berangkat haji saja, ia tetap kuliah. Kalau dosen terlambat
masuk kuliah, ia biasanya memastikan dengan menelpon,
apakah dosen tersebut berhalangan hadir. Penyampaian
informasi ini tidak mengikuti metode ilmiah baik secara
induktif maupun deduktif. Metode ajakan ini belum dikenal
dalam metode ilmiah.
Dalam psikologi dikenal istilah NDE (Near Death
Experincer), yaitu orang yang pernah mengalami mati suri.
Adalagi yang menyebutnya NDS (Near Death Survival). yaitu
mereka yang menurut dokter telah dinyatakan mati, tetapi tak
lama kemudian hidup dan sadar kembali. Paragraf ini
mengikuti alur berfikir deduktif dari yang umum menuju yang
khusus. Dari proposisi yang berupa kesimpulan dan kemudian
diterangkan.
Guru atau dosen ketika menerangkan mata pelajaran
dan atau mata kuliah sering menggunakan alur berfikir
deduktif. Perhatikan alur berpikir deduktif dari
Q.S. al-(Mu’minun/23: 1-9). Artinya, Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk
dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan dari
perbuatan dan perkataan yang tiada berguna, dan orang-orang
yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki. Sesungguhnya meraka dalam hal ini tidak tercela,
barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang
yang memelihara sembahyangnya. (Q.S. Al-mu’minun: 1-9).
Ayat al-Quran dan hadist atau pendekatan agama,
biasanya menggunakan metode dudektif, sehingga
mempercayai kebenaran teks-teks agama terlebih dahulu,
kemudian membuktikannya dalam bentuk- bentuk yang
khusus. Teks-teks agama diyakini benar sesuai edukasi karena
persoalan agama melibatkan subyektivitas dan dikemukakan
secara emosional. Dikatakan metode deduktif dilihat dari sikap
individu yang beragama dalam melihat kebenarannya. Ayat al-
Quran itu tidak boleh diragukan kebenarannya oleh
penganutnya, setidaknya itu yang dikatakan oleh allah.
Selanjutnya, tinggal kita mencari bukti yang menguatkan
bahwa ayat al-Quran itu benar. Begitu subyektifnya dalam
melihat kebenaran ayat al-quran. Ketika kita menemukan ayat
al-Quran yang maknanya tidak benar menurut ukuran
pengetahuan kita, maka kata Ibnu Taimiyah, kita saja yang
tidak benar dalam memahaminya.
Karena al-Qur’an diyakini datangnya dari Allah Yang Maha
Tahu dan Maha Benar dan Ia mustahil berkata tidak benar. Untuk itu,
jika kita memahami sebagian kecil ayat al-Qur’an tidak benar, maka
sudah pasti akal kita yang keliru. Memang dilihat dari fenomena teori
asbab al-nuzul dalam ulum al-Qur’an dan asbab al-wurud dalam
hadits, ayat al-Qur’an dan hadits dalam memahaminya ada yang
menggunakan metode induktif.
Teks agama Islam bukan saja al-Qur’an juga hadits. Teks hadits
walaupun dikatakan teks agama Islam, tetapi tidaklah sepenuhnya
dianggap benar secara deduktif, karena teksnya sendiri tidak
semuanya diyakini mutlak dari Rasulullah Saw. Hadits kebenarannya
relatif (zhanni). Artinya, ketika kita menemukan teks hadits, kita harus
memperlakukannya, mungkin benar dari Rasulullah Saw. Teori
relativitas hadits dapat dibuktikan dengan adanya hadits- hadits palsu
atau hadits dha’îf (lemah).
C. Abduksi
Sains modern menggunakan metode berpikir induktif. Alam
historis-empiris dijadikan sebagai alat pembenaran pengetahuan. Dalam
perkembangan pengetahuan metode deduktif dan induktif tidak lagi
dianggap memadai dalam mengukur kebenaran yang sesungguhnya.
Dus, pada abad kedua puluh dikenal pola pikir baru yang disebut
dengan abduksi. Logika berpikir abduksi bersifat logic of discovery
dan bukan logic of justification.
Logika abduktif menekankan pada hipotesis, interpretasi, proses
pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil,
gagasan-gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir
deduktif dan induktif.
Menurut M. Amin Abdullah, pola pikir yang digunakan
al-Qur’an sesungguhnya induktif dan terkadang abduktif. Asbabun
nuzul yang sering diungkapkan oleh ulama tafsir dan asbabul wurud
yang diungkapkan oleh ulama hadits adalah bukti dari metode
berpikir induktif dalam mengukur kebenaran. Tetapi menurut
pengalaman M. Amin Abdullah ada kekhawatiran akan pengguna
jasa keilmuan dengan dijadikannya metode induktif dalam
memahami nash. Alasan mereka adalah desakralisasi dan peran
ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan tidak perlu dan kurang
begitu pantas untuk terlalu turut campur tangan dalam urusan-
urusan kecil sejarah kemanusiaan di dunia, bukankah ada
dalam doktrin teologis konsep tanzîh, bahwa Tuhan suci dari
segala tuduhan.
Menghilangnya wawasan dan kesadaran individu
maupun kolektif pengguna jasa keilmuan teologi atau kalam
menjadikan kejayaan metode deduktif dalam mengukur
kebenaran. Pola pikir deduktif ternyata lebih bersifat
tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian
kenyataannya kata M. Amin Abdullah, maka pendekatan
linguistik perlu juga diikutsertakan dalam pengkajian ilmu
kalam kontemporer. Lebih lanjut Amin mengatakan bahwa
pendekatan linguistik dapat mempertanyakan sejauh mana
fungsi majaz untuk membantu memecahkan kesulitan yang
dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik yang
cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam
pemikiran keagamaan Islam.
Saat ini kendala yang dihadapi Islam, belum mempunyai
teori yang mapan tentang teori dalam memahami majaz. Hal
itu diungkapkan oleh Arkoun, “The role of metaphor and
metonimy in religious language has not yet been fully considered up
to now & ldots; Orthodox exegesis has been limited by the traditional
definition of metaphor as a simple rhetorical divice used to embelish
style”162
D. Teori Kebenaran
162
Muhammad Arkoun. ‘’The Notion of Revelation’’ dalam Lectures du Coran
(Tunis: Alif Edition de la Medterrance, 1991), hal. 264.
Jika induktif dan deduktif berperan sebagai metode
berpikir ilmiah untuk menemukan kebenaran, sementara itu
untuk mengukur kebenarannya dengan teori koherensi,
korespondensi, dan pragmatis.
Teori koherensi atau the coherence theory of truth atau the
consistence theory of truth adalah sesuatu dikatakan benar secara
koheren, jika kebenarannya memiliki konsistensi dalam
memberikan argumentasi. Teori koherensi digunakan dalam
membangun pengetahuan yang bersifat sistematis dan
konsisten.
Nabi Muhammad Saw. adalah anaknya Abdullah bin
Abdul Muthalib. Proposisi atau pernyataan ini bersifat
deduktif. Apakah proposisi ini benar? Ketika diuji
koherensinya, Nabi Muhammad Saw. adalah cucu Abdul
Muthalib dan Fatimah Zahrah adalah cucu Abdulullah bin
Abdul Muthalib. Abdul Muthalib adalah kakek dari Nabi
Muhammad Saw. dan Abdullah bin Abdul Muthalib adalah
kakek dari Fatimah Zahrah. Fatimah Zahrah adalah anaknya
Nabi Muhammad dan Abdullah adalah anak dari Abdul
Muthalib. Proposisi ”Nabi Muhammad Saw. adalah anaknya
Abdullah bin Abdul Muthalib adalah benar berdasarkan teori
kebenaran koherensi.
Apakah kebenaran filsafat dapat diukur dengan teori
koherensi. Kebenaran deduktif ayat-ayat al-Qur’an dapat
dikategorikan benar secara koheren atau konsisten. Proposisi
atau pernyataan bahwa Tuhan itu adalah Satu akan ditemukan
secara konsisten di dalam al-Qur’an, ”La ilah illa al-llah” ”al-
ahad” ”la syarika lahu” ”lam yalid wa lam yulad” mendukung
konsistensi bahwa Tuhan itu satu. Bagaimana tentang Allah itu
memiliki sifat al-rahmân dan al-rahîm (Maha Pengasih dan
Penyanyang). Apakah kebenaran deduktif ini bisa diukur
dengan kebenaran koherensi. Jelas proposisi itu benar secara
konsisten dalam tafsiran agama.
Bagaimana jika ada orang yang mengatakan bahwa
ketika manusia berada dalam kesedihan, kesengsaraan,
kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan lainnya, sebenarnya
menunjukkan Allah itu tidak konsisten Maha Pengasih dan
Penyanyang. Tentu tafsiran tersebut salah, sebab al-rahmân dan
al-rahîm tidak akan dirusak oleh perasaan-perasaan negatif
manusia. Ketika berhubungan dengan perilaku Tuhan, maka
metodologi yang digunakan logika husnu alzhzhan bukan
sebaliknya logika syuu al-zhzhan. Mustahil Tuhan mengingkari
sifatnya yang al-rahmân dan al-rahîm. Di antaranya, manusia ini
tentu tidak tepat dijadikan semua kaya. Jika semua kaya, maka
sistem kehidupan macet dan bahkan rusak. Bayangkan jika
semua kaya, maka semua akan mencoba membagi-bagi
tugasnya kepada orang lain dengan kekayaannya. Tetapi jika
tidak ada yang mau mengerjakan tugas itu apa yang terjadi.
Pembantu rumah tangga tidak ada. Staff di kantor tidak ada,
semua berperan jadi pemerintah. Tidak ada bagian cleaning
service, tidak ada sopir, tidak ada satpam. Tidak ada bahan
makanan di pasar, karena semua ingin pembeli, tidak ada
penjual. Bagaimana susahnya hidup ini jika semua benda yang
disentuh menjadi emas seperti kisah Raja Midas. Ambisi
kekayaan dan kerakusan Raja Midas yang memohon agar apa
saja yang ia sentuh menjadi emas. Setelah terkabul, hanya
sebentar kebahagiaan itu berlanjut. Ketika semua benda-benda
yang disentuhnya berubah menjadi emas, dia tertawa gembira
dan bahagia, tetapi ketika ia menyentuh istirinya, anaknya, dan
juga makanan dan minuman yang semua itu berubah menjadi
emas, maka ia terbalik menangis dengan penuh kesedihan dan
penyesalan.163
Jika tidak ada yang miskin, siapa yang akan menerima
zakat yang sudah diwajibkan oleh Allah disalurkan? Jika zakat-
zakat itu dibuang bagaikan sampah, apa bisa diterima dengan
logika sederhana saja, kalau bukan dikatakan mubadzdzir. Jika
zakat itu disalurkan untuk pembangunan mesjid, tetapi tidak
ada orang berprofesi sebagai pekerja, apa mungkin hajat itu
sampai? Maka dengan logika husnu al-zhzhan, kita harus
bersyukur terhadap semua ketentuan Allah, walaupun kita
tidak boleh berdo’a dan berusaha untuk menjadi orang miskin.
Di saat kita bersedih, Allah tetap Maha Pengasih dan
Penyanyang. Sikap bersedih itu malah dinilai tidak logis,
karena Allah tetap menghendaki yang baik dari semua
ketentuanNya. Merubah kesedihan menjadi kebahagiaan itulah
sikap yang logis.
Teori-teori atau rumus-rumus dalam bidang matematika
sementara ini bisa dikatagorikan koheren. 6 + 4 = 10, 3+7= 10,
2+8= 10, 9+1= 10. Sementara dikatakan konsisten, karena setiap
kali hasil penjumlahan itu mengurangi salah satu angka yang
dijumlahkan, maka hasilnya secara konsisten angka yang tidak
dikurangi. Contoh, jika 6 + x = 10, maka hasil penjumlahannya
10 dan jika dikurangi salah satu angka yang dijumlahkan, yaitu
163
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, ( Jakarta Paramadina, 1998) , hal. 91-
95
6, maka hasilnya angka yang tidak dikurangi, yaitu 4, maka X
itu bernilai 4. Itu akan selalu konsisten sementara menurut
rumus matematika umum. Bagaimana dengan matematika
zakat, 50 + 50 = 97,5. Sementara 2,5 itu sebagai zakatnya.
Dengan matematika zakat, 1000 + 1000 = 1950. Bagaimana
dengan matematika sedekah yang ikhalas 1000+1000 =
1.400.000 dan bisa juga 800.000 bisa juga 1.000.000, apa masih
konsisten?
Teori kebenaran lainnya adalah korespondensi. Sesuatu
dikatakan benar, jika sesuai pernyataan dengan kenyataan. Jika
gula dikatakan manis, maka kebenarannya diukur setelah
merasakan manisnya gula.164
Sedangkan pragmatisme, kriteria kebenaran berdasarkan
berfungsi tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan
waktu.165 Ibukota Sumatera Utara tahun 2022 adalah Medan. Ini
benar berdasarkan teori korespondensi. Karena tidak mustahil
tahun berikutnya ada ide pemindahan ibu kota, seperti
pemindahan Jakarta ke Kalimantan yang terus dituntut
sebagian orang untuk dibatalkan. Api itu panas. Itu juga bisa
dikatagorikan benar karena kesesuaian antara penyataan
dengan kenyataaan, walaupun dalam sejarah manusia Ibrahim
tidak meraskan panas ketika dibakar oleh orang-orang
musyrik. Mungkin juga dengan ilmu kekebalan tubuh,
sekarang ini ada orang yang tidak merasakan panas ketika
menyentuh atau disentuh api. Barangkali dengan teori logika
generalisasi lebih tepat, dikatakan, ”Pada dasarnya api itu
panas, sampai ada dalil yang mengingkarinya”. Di luar yang
164
M.Zainuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hal. 33
165
Ibid, hal. 34
general itu ada yang khusus, yang khusus dari yang general
disebut eksepsi (penyecualian). Jika tanpa logika generalisasi
dan eksepsi, niscaya tidak bisa dikatakan api itu panas.
Apakah matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat
itu teori kebenaran koherensi atau korenspondensi? Dalam
perspektif sains, secara konsisten bahwa matahari terbit di
Timur dan terbenam di Barat. Selain itu, kebenarannya juga
bersifat korespondensional karena sesuai pernyataan dengan
kenyataan.
Apa yang membedakan teori koherensi dan
korespondensi? Teori koherensi bisa dipergunakan untuk sains
dan filsafat, sementara korenspondensi hanya dipergunakan
untuk obyek sains saja, karena berhubungan dengan realitas
obyek.
Teori kebenaran yang ketiga adalah pragmatis.
Berdasarkan teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika ia
fungsional dalam kehidupan praktis.166 Jika ada teori X dalam
bidang pendidikan bisa menghasilkan teknik Y, maka itu
dianggap benar. Tetapi jika teori X yang tidak menghasilkan
apa-apa, maka dianggap salah. Barangkali dalam teori
pragmatis, seorang suami dan istri bisa memiliki anak baru
dikatakan benar. Jika ada suami dan istri tidak memiliki anak,
maka pernikahan itu dianggap tidak ada manfaatnya. Jika tidak
ada manfaatnya, maka dianggap tidak benar. Tapi manfaat
pernikahan bukan saja memiliki anak, termasuk juga
menyaluhkan nafsu seksual secara sah.
Dalam aliran filsafat dikenal juga pragmatisme. Menurut
166
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka, Sinar Harapan,
2005), 57-59
Jujun Suriasumatri, pragmatisme tidak memiliki doktrin
filsafati, tetapi hanya berurusan dengan persoalan penentuan
kriteria kebenaran.167
Kriteria pragmatis dalam menentukan kebenaran itu
dipergunakan oleh ilmuwan dalam perspektif waktu.168
Artinya, suatu teori ilmiah, bisa jadi sekarang berguna, di
waktu yang akan datang tidak lagi berguna. Bisa juga suatu
teori tidak berguna lagi, di kemudian hari dianggap berguna.
Setiap kali ada gunanya, maka dianggap benar menurut
pragmatis. Mungkin bisa jadi sebagai contoh bahwa seorang
prajurit Pasukan Khusus (Paskhas) Angkatan Udara,
mengatakan bahwa dulu bela diri itu dengan keterampilan
silat, tetapi sekarang bela diri dengan senjata. Jika itu benar,
maka latihan bela diri dengan silat tidak lagi benar.
Teori pragmatis ini juga mengingatkan kita bahwa
pengetahuan ilmiah itu biasanya tidak berumur panjang
(memiliki ajal: masa kadaluarsa). Seperti kata fisikiwan bahwa
umur teori partikel tak lebih dari empat tahun. Embriologi juga
setiap lima belas tahun direvisi.169
Idzam Fautanu dalam Filsafat Ilmu mengatakan bahwa
167
Ibid, hal. 59
168
Ibid
169
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 59
Ketimpangan antara teori dan praktek ini melahirkan
Idzam Fautanu.
kebenaran spiritual.
ulumul hadits, kebenaran harus dinilai dari sisi matan dan sanad.
170
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi. (Jakarta: Referensi, 2012), h. 101
pendapat sangat urgen, sebagai bukti bahwa kebenaran itu telah
mendapat pengakuan.
referensi.
yata`llamu).171
oleh orang lain atau sintesa yang telah ada. Mereka itu disebut
171
A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Semarang: Aneka Ilmu,
2003), h. 69.
172
Ibid.
173
Ibid., h. 70
pengalaman hidupnya.174 Filosof Yunani mengatakan bahwa
Arab kalimat itu ada yang ismiyah (nominal) dan ada yang fi`liyah
adalah bulat, tidak perlu dijelaskan, sebab lingkaran itu jelas bulat.
174
Zainun Kamal, “Kata Pengantar” dalam Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan
Akhlak, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. V,h. 14.
175
Ibid.
176
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi.., h. 101
Contoh lain, “kelapa jatuh ke bawah”. Semua konsep jatuh tentu
al-Anbiya/21: 68-69.
Nabi Isa a.s. lahir dari wanita suci, Maryam. Maryam bukan
Maryam, tapi langsung dijawab oleh Isa, pada saat dia dilahirkan
tidak benar itu. Hal itu dijelaskan oleh Q.S. Maryam/19: 28-29.
Sifat Kebenaran
pengetahuan.
177
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi.., h. 103.
pada mata kuliah tertentu, menyangka ketidaklulusannnya karena
hidup, bisa jadi orang pernah mengalami hal yang sama. Bisa
Pendapatnya biasanya hanya dilihat dari sisi logika orang lain saja.
Luhur (Zhuhur), Ashar, dan Maghrib. Bagi orang hal itu dianggap
SARANA BERPIKIR
ILMIAH
A. Bahasa182
Begitu manusia lahir, maka ia memiliki bahasa dalam
pengertian luas. Berbahasa bagaikan menghirup udara kata
Komaruddin Hidayat. Tiap hari kita menghirup udara, tanpa
kita persoalkan dari mana asal-usulnya. Tetapi, begitu kita
berpenyakit asma atau sesak napas, kita mulai ingin tahu
bagaimana kualitas udara yang baik, tidak berpolusi. 183 Begitu
180
Ibid, hal. 167
181
Ibid, hal.169
182
Diperkirakan jumlah bahasa di dunia sekarang ini sebanyak sepuluh ribu. Kualitas
bahasa ditentukan oleh pribadi yang menggunakannya dan tidak ditentukan oleh
bahasanya itu sendiri. Baca Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal
42
183
Ibid, hal. 33
juga yang terjadi dengan bahasa. Ketika kita
mengkomunikasikan bahasa, terkadang dapat menyenangkan
orang, terkadang mengesalkan orang. Dengan bahasa, orang
menangis bisa kita diamkan dan sekaligus dengan bahasa juga
orang menangis bisa kita diamkan dan sekaligus dengan
bahasa juga orang menangis bisa memperbesar volumenya.
Dengan bahasa yang dikomunikasi Rasulullah juga, pedang
Suroqah yang tajam, tiba -tiba bisa terjatuh. Dengan bahasa
Abu Bakar, ternyata bisa meredam amarah Umar bin Khattab
yang tidak menginginkan berita kematian Rasulullah. Dengan
bahasa juga terkadang, pistol, senapan, dan alat-alat yang
manakutkan bisa diamankan. Oh begitu ampuh bahasa itu.
Bahasa suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer
oleh sekelompok orang sebagai alat komunikasi184 dalam
sebuah obrolan atau wacana.185 Bahasa dikomunikasikan secara
monologis, bisa jadi ia membicarakan dirinya sendiri atau
sosok orang lain yang tidak hadir. Tetapi tidak selamanya
bahasa itu dikomunikasi dengan gerak bunyi atau suara. Orang
bisu menggunakan bahasa gerak tubuh dalam berkomunikasi.
Memang berbahasa tanpa kata sangat terbatas. Bahasa
nonverbal biasanya lebih efektif mengkomunikasikan emosi.186
Teori asal-usul bahasa telah melahirkan disiplin ilmu
yang mandiri seperti fonologi, semantik, gramatika,
psikolinguistik, 187
neurolinguistik, antropolinguistik,
184
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 176
185
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan KehendakTuhan, hal. 42
186
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat (Ed.), Komunikasi Antarbudaya, Cet.IX,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 105
187
Menurut psikolinguistik, bahasa sebagai sarana menyampaikan pikiran, perasaan,
dan emosi. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 180
sosiolinguistik,188 sastra, semiotika, hermeneutika, dan mungkin
akan menyusul yang lainnya.189
Secara umum ada tiga teori asal-usul bahasa, teologis,
naturalis, dan konvensionalis.190 Aliran teologis berpandangan
bahwa asal usul bahasa adalah anugerah Tuhan yang ada sejak
lahir. Justifikasi teori ini dilahirkan dari wahyu baik Bibel
maupun al-Qur’an bahwa Adam diajari oleh Allah di Surga.
Katanya, ini juga spekulatif.191
Gerakan feminisme menuduh Tuhan diskriminatif
dalam menggunakan bahasa yang bersifat maskulin. Adam
dalam bahasa Ibrani berarti laki-laki. Ternyata maskulinitas
bahasa bukan saja terdapat dalam bahasa Arab,192 tetapi ada
juga dalam bahasa Inggris dan bahasa Eropa. Man, mankind,
humanity sebagai contoh dominannya maskulitas dalam
bahasa.193 Nada protes terhadap diskriminasi atas bahasa surga
ini melahirkan pseudo teori ilmiah dari kaum rasialistik,
Andres Kemke yang mengatakan bahwa Tuhan di surga
menggunakan bahwa Swedia, Adam menggunakan bahasa
Denmark, ular jelmaan setan dengan bahasa Perancis.194
Lain halnya dengan teori naturalistik yang berpendapat
188
Ibid
189
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 34
190
Ibid, hal. 35
191
Ibid
192
Bahasa Arab bukanlah satu-satunya bahasa Islam, tetapi bahasa Persi dan bahasa
Melayu juga disebut bahasa Islam. Yang berbahasa Arab juga bukan yang beragama
Islam saja, tetapi Agama Yahudi dan Kristen juga ada berbahasa Arab. Baca
Nurcholis Madjid, “Kata Pengantar: Universitas Islam dan Kedudukan Bahasa
Arab” dalam Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hal. Xiii-xv
193
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 35-36
194
Ibid, 36
bahwa bahasa itu berasal dari proses alam, sebagaimana
alaminya kemampuan untuk melihat, mendengar, berjalan, dan
sebagainya.195
Sedangkan teori konvensional berpendapat bahwa
bahasa merupakan hasil konvensi sosial dan kemudian
dilestarikan bersama-sama secara turun-temurun.196 Salah satu
bentuk konvensi, teori yo-he-ho. Bahasa ini dikemukakan
orang-orang primitif ketika gotong royong, beramai-ramai
menarik pohon besar atau bersiap-siap melawan serangan
musuh. Pada saat itu secara ekspresif muncul bahasa yo-he-ho.
Sekarang kalau tarik tambang bahasa yo-he-ho berubah
menjadi suara peluit.197
Dari teori konvensional ini dimungkinkan bahasa
berkembang bagaikan bunga dan mungkin juga layu dan
bahkan mati. Fenomena bahasa sebagai konvensi sosial, di
Indonesia berkembang bahasa gaul yang umumnya dikuasai
anak ABG (Anak Baru Gede). Jaim untuk mengatakan jaga
image. Lebai untuk mengatakan berlebihan. Titi DJ untuk hati-
hati di jalan, dan sebagainya. Fenomena lain, ada kolega saya di
STAIN Malikussaleh, menggunakan bahasa “semacam” untuk
mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan duit, sehingga
rekan-rekan sudah tidak asing lagi dengan istilah itu. Jika dia
datang ke bendahara, ia hanya bertanya, “ada semacam?”.
Bendahara itu pun sudah paham.
Manusia dalam teori konvensional198 ini berhasil
menciptakan bahasa isyarat, sejak dari kepala, mata, tangan,
195
Ibid
196
Ibid, hal. 37
197
Ibid
dan kaki. Namun, bahasa tubuh tidak semua dimaknai secara
universal. Menggelengkan kepala di India bermakna positif,
sementara di Indonesia bermakna negative. Mengusap janggut
lawan bicara bagi masyarakat Arab hal yang biasa dan menjadi
penghinaan untuk orang Indonesia. 199
Kompleksitas bahasa itu
sendiri diperkaya oleh neurolenguistik yang meneliti asal-usul
bahasa dari segi jaringan otak.
Binatang bisa berkomunikasi dengan binatang lainnya
dengan kehadiran obyek yang dikomunikasikan.200 Ketika
anjing-anjing makan tulang-tulang sapi. Mereka bisa
berkomunikasi, tetapi mereka tidak bisa berkomunikasi tentang
tulang-tulang sapi yang lezat jika tulang-tulang sapi itu tidak
hadir secara faktual.
Apa yang terjadi jika kita masih berada pada dunia
Tarzan, tanoa bahasa. Para sejarawan tidak bisa menghadirkan
masa lalu ke forum “kini dan disini” (now and here). Tidak lagi
ada yang bisa memprediksi masa depan. Dunia manusia akan
semakin sempit.201 Tanpa bahasa, masa lalu akan lenyap ditelan
waktu, masa sekarang tidak bermakna apa-apa, dan masa
depan tidak akan dibicarakan. Jika tidak menggunakan bahasa
sebagai simbol untuk gunung dan merpati, bagaimana
repotnya ketika kita ingin memberi informasikan kepada anak,
“ada seekor merpati di tepi gunung”. Membawa anak langsung
ke obyek itu, katakanlah masih bisa walaupun repot.
198
Bahasa yang bersifat konvensional itu berarti bahwa semua anggota masyarakat
bahasa itu mematuhi konvensi lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep
yang diwakili. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 47
199
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 39
200
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 173
201
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 44
Bagaimana kalau ingin mengkomunikasi “gunung berapi
meletus”.202 Apakah harus di bawa ke gunung meletus? Ini
berbahaya!
Apa yang terjadi dengan seseorang ketika dalam
kesendirian, ketika dalam sujud, ketika duduk atau tiduran
berlama-lama, ia menangis tersedu-sedu. Ternyata dia sedang
berbicara dengan dirinya sendiri atau yang disebut dengan
bahasa batin. Untuk itulah dalam meditasi, ziarah intututif ke
alam ketuhanan sering terjadi.203
Bahasa adalah dunia simbolik dan dunia makna.
Seorang astronom yang sedang bekerja dalam laboraturium
perbintangan, secara fisik masih berada di bumi, tetapi secara
mental intelektual sedang melayang di dunia bintang yang
jauh. Ketika ahli botani dan ahli obat-obatan alami sedang
berjalan-jalan di Kebun Raya Bogor akan memaknai jenis-jenis
pohon yang rindang itu dalam konteks ilmu tumbuh-
tumbuhan dan khasiat obat.204
Menurut Kneller, ada tiga fungsi bahasa, yaitu simbolik,
emotif, dan efektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam
komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam
komunikasi estetika.205 Buhler membedakan bahasa dari sisi
pembicara, pendengar, dan lainnya. Menurutnya, bahasa dari
sisi pembicara disebut bahasa ekspresif, dari sisi pendengarnya
disebut bahasa konotif, sedangkan dari sisi lainnya disebut
202
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 176
203
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 45
204
Ibid, hal. 47
205
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 175
bahasa representasional.206 Dasmon Morris sebagaimana
dikutip oleh Amsal Bakhtiar mengemukakan ada empat fungsi
bahasa. Pertama, information talking (pertukaran keterangan dan
informasi). Kedua, mood talking (bahasa ekspresif dari
pembicara). Ketiga, exploratory talking (bahasa afektif). Keempat,
grooming talking (bahasa untuk proses sosial dan atau
menghindari pertentangan).207
206
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 182
207
Ibid
208
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 171
209
Ibid
210
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52
211
Ibid
Bahasa bukan sekedar serangkaian aturan gramatikal.
Berbahasa mempunyai nilai moral dan sanksi eskatologis.
Berbohong dan bersumpah palsu walaupun sesuai dengan
aturan gramatika akan berimplikasi pada dosa.212 Jika ucapan
itu berimplikasi dosa, maka hakekat bahasa itu menjadi tidak
produktif.213
Berbicara salah satu dari cara berbahasa, biasanya faktor
emosi lebih menonjol dan cenderung kurang sistematis.
Cobalah rekam pembicaraan kita sejak kita bangun pagi sampai
tidur lagi, tentu akan kita temukan ketidakteraturan tata bahasa
dan kurang sistematis.214 Dalam psikologi, berbicara atau marah
malah bisa menghilangkan stress sedangkan menulis bisa
mendatangkan stress.215
Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka
bahasa itu harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi
ilmiah harus reproduktif.216 Jika dikomunikasikan adalah X,
maka yang didengarkan pun harus X. Jika tidak demikian,
maka tidak ilmiah. Selain itu bahasa ilmiah dikemukakan
dengan jelas dengan berusaha memperkecil munculnya
multitafsir. Tetapi, memilih kata-kata yang mengandung
banyak arti juga merupakan ciri ilmiah suatu bahasa.
Bayangkan untuk mengkomunikasikan bahwa seseorang
“beradab”, kita harus membuat penjelasan sepuluh lembar
kertas atau lebih. Tentu itu menjadi tidak ilmiah. Keilmiahan
212
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52
213
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hal. 56
214
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52-53
215
Ibid, hal. 53
216
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 181
suatu bahasa diukur juga dari sisi penggunaan tata bahasa.
Untuk mengungkapkan arti dan emosi, menurut Charlton
Laird, tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek
logis dan kreatif dari pikiran.217
Kekurangan Bahasa
Ide, perasaan, dan pengalaman batin tidak selamanya
terbahasakan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dalam
bahasa ilmiah, sebenarnya ingin menggunakan fungsi simbolik,
tetapi ketika berbicara, maka fungsi emotif dan afektif
seringkali tidak terhindarkan.42
Selain yang disebutkan, arti bahasa juga tidak eksak.
Artinya, tidak selamanya apa yang terucap sama persis artinya
dengan maknanya. Seorang ayah yang kesal, melarang anaknya
untuk turun dari pohon kelapa, tetapi anaknya tidak mau,
lantas ia berkata dengan nada marah, "sudah! Naik-naik....!"
Untuk itulah Ushul Fiqh (epistemologi hukum Islam)
menyebutkan kaidah perintah (al-amr) di dalam al-Qur'an
selain untuk dikerjakan, di antaranya berfungsi sebagai:
Pertama, untuk do'a (li al-du'à ). Kedua, karena benci (li al-
tahdid). Ketiga, untuk memuliakan (li al-ikram). Keempat, kerena
yang disuruh tidak bisa melakukannya (li al-ta`ziz). Kelima,
untuk mengungkapkan kepasrahan (li al-tafwidh). Keenam,
untuk mengungkapkan kemarahan yang membara (li al-talkif).49
Belum lagi ada bahasa yang menggunakan kata maknanya
berbeda sesuai dengan konteksnya. Ada juga kata yang
memiliki lebih dari satu arti (dalam bahasa Arab dikenal
217
Ibid, hal. 182
dengan al-musytarak). Selain itu juga ada sejumlah kata yang
artinya mirip (dalam bahasa Arab dikenal dengan murâdif:
bahasa Inggris sinonym). Suku Hanunoo Filipina mempunyai 92
buah kata untuk membahasakan beras.50 Orang Arab
mempunyai 20 kata untuk mengatakan unta. Di Indonesia bisa
menyebutkan tidak kurang dari 10 kata untuk nasi, sementara
orang Barat menyebut rice hanya untuk padi atau nasi.51 Kata-
kata majemuk bisa mengacaukan semantik, dimana dua orang
berkomunikasi dengan kata yang sama dengan maksud yang
berbeda.52
Kelemahan bahasa yang ketiga adalah sering berputar-
putar, khususnya ketika ingin mendefinisikan sesuatu. Contoh,
data didefinisikan, "bahan yang diolah menjadi informasi.
Sementara informasi didefinisikan, "keterangan yang didapat
dari data." Dalam mendefeniskan kata membutuhkan kata-kata
lain. Hal itu tidak ada masalah, sepanjang tidak berputar-putar.
Untuk itu, ahli ahli sosial kata Max Waber sering membuat
definisi baru. Mereka beranggapan bahwa definisi yang
dirumuskan orang sebagai "sikat gigi bekas". Menurut
Wittgestein, kegagalan berfilsafat kebanyakan timbul karena
kelemahan dalam menguasai logika bahasa. Sementara
menurut Henri Bergson, pengetahuan yang hakiki tidak
didapatkan lewat penalaran, tetapi dengan intuisi. Bahasa
menurut Whitehead "berhenti di belakang intusi.55
B. Logika
Pada pengantar filsafat sudah dibahas sekilas tentang
logika sebagai ciri utama filsafat. Untuk melengkapi latihan,
kembali kita berikan contoh lain yang sederhana dari kerja
logika.
W. Poespoprodjo dan EK T. Gilarso dalam Logika: Ilmu
Menalar ketika menjelaskan unsur-unsur pemikiran memberi
sebuah contoh,
“Aku tak dapat membeli mobil itu karena mahal”
Ada tiga unsur yang harus dibedah, yaitu “aku,
membeli, dan mobil”.218 Mahal tidak menjadi obyek pemikiran
karena itu hubungannya dangan “aku”.
Siapa aku itu? Bisa jadi orang yang sangat
membutuhkan mobil untuk kebutuhan sehari-hari. Jika hujan,
pakai mobil terlindungi. Jika panas juga terlindungi. Bisa jadi
aku itu membutuhkan mobil untuk prestise karena profesinya
yang terhormat, maka ia berpikir layak untuk beli mobil.
Contohnya profesi kepala sekolah negeri. Gurunya ada yang
pakai mobil, kepala sekolahnya tidak. Ini menimbulkan gengsi.
Untuk menutupi gensi perlu mobil. Bisa juga “aku”
membutuhkan mobil untuk meningkatkan derajat sosial. Yang
punya mobil terkadang status sosialnya lebih tinggi dipandang
orang lain dibandingkan hanya punya sepeda motor. Bisa juga
“aku” itu adalah orang yang membutuhkan mobil untuk
kenderaannya membawa orang tuanya berobat akibat karena
tua, sering keluar masuk rumah sakit. Begitu dan seterusnya,
“aku” lah yang tau kenapa dia ingin membeli mobil. Siapa saja
yang tidak tau alasan “aku” untuk beli mobil, maka ia berpikir.
“Membeli” mobil bisa cash bisa juga kredit atau bisa juga
mengutang. Mengutang ke orang lain, tapi mobilnya mau
218
W. Poespoprodjo dan EK T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), h. 14.
dibeli cash. Baik cash ataupun kredit, yang jelas “aku” menilai
mobil itu mahal, makanya tidak bisa dia beli.
Kalimat, “Aku tidak dapat beli mobil karena mahal”
berupa kesimpulan. “tidak dapat” berhubungan dengan uang
yang dimiliki oleh “aku”. Jika kredit pun “aku” tidak mampu
membayar cicilannya. Tidak mampu bayar cicilan, bisa jadi
dihubungkan dengan gajinya per bulan. Jika gaji per bulan
“aku” Rp. 5.000.000, dan cicilan mobil per bulannya Rp.
6.000.000, “aku” tidak dapat beli mobil. Bisa juga gajinya cukup
untuk bayar cicilan, tapi ada kebutuhan rutin yang terganggu,
contoh uang belanja dapur. Tidak mungkin dong, makannya
dijamak gara-gara beli mobil.
“Mahal” jika dihubungkan dengan “aku” bisa karena
ketersedian uang. Bisa juga mahal karena harga di luar harga
pada umumnya. Jika harga tanah pada umumnya di pinggil
jalan Batunadua Mei 2017 Rp. 2.000.000/Meter. Kemudian ada
yang menjual Rp. 2.500.000/Meter. Itu mahal dibandingakan
dengan harga pada umumnya. Bisa juga mahal dihubungkan
dengan perkiraan dari “aku”.
Pernah penulis lebih suatu daerah. Di pinggir jalan
banyak yang jual jeruk. Karena menarik, penjualnya berderet,
penulis berhenti, mau beli jika harganya Rp. 10.000- Rp. 15.000
per Kg. Begitu ditanya harga. Penjual mengatakan, “harga
biasa!”. “Berapa harga biasanya bu?”. Dijawab, “ada Rp. 25.000-
Rp. 40.000”. Penulis menilai itu mahal. Jadi konsep berpikir
mahal dilihat dari harga pada umumnya, harga dalam pikiran
pembeli, atau ketersedian uang.
Contoh di atas termasuk logika alami karena masih
sederhana untuk dicerna. Tetapi pada hal-hal yang lebih serius
dan ilmiah, itu menggunakan logika saintifika.
Walaupun definisi tidak pernah bisa menampilkan
dengan sempurna pengertian sesuatu yang dikandungnya,
tetapi sebagai pembuka pintu pemahaman, tidak ada
bahayanya memulai pembahasan ini dengan definisi.
Logika berasal dari bahasa Latin dari kata logos yang
berarti perkataan atau sabda dan dalam bahasa Arab disebut
mantiq yang berarti berucap. Dalam buku Logic and Language of
Education dikatakan bahwa mantiq adalah penyelidikan tentang
dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar. Mantiq dalam
munjid disebut juga dengan "al-mizan sebagai toeri praktis
metode berpikir benar. Sementara menurut M. Copi Irving
sebagaimana dikutip oleh Mundiri, "Logika adalah ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan
untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang
salah.
Kata "logika pertama kali digunakan oleh Zeno. Sementara
kaum Sofis, Socrates dan Plato tercatat sebagai pencetus
lahirnya logika. Adapun Aristoteles, Theoprostus, dan kaum
Stoa menjadikan logika sebagai ilmu. Buku-buku yang
dijadikan rujukan dasar Logika Tradisional adalah enam buku
Aristoteles yang dikembangkan oleh Theoprostus dan
disistematisasikan oleh kaum Stoa. Buku itu disebut Organon
oleh murid-murid Aristoteles.
Keenam buku itu adalah: Catagoriae yang membahas
tentang pengertian pengertian atau definisi. De Interpretatiae
yang membahas tentang keputusan keputusan atau penafsiran.
Analitica Posteriora yang membahas tentang pembuktian-
pembuktian. Tipika yang membahas tentang bagaimana
berdebat dan De Sophistics Elenchis yang membahas kesalahan-
kesalahan berpikir.
Logika sebagai ilmu berarti membutuhkan penjelasan
dan bukan seperti pengetahuan. Pengetahun (knowlegde)
diterima tanpa ragu sedangkan ilmu (science) membutuhkan
penjelasan lebih lanjut.
Mundiri memberikan contoh ilmu dan pengetahuan. Seorang
pemancing mengetahui bahwa pelampung kailnya terapung di
atas air. Jika dikatakan gabus pelampungnya tenggelam, maka
ia akan mengingkari kebenarannya. Kenapa pelampung kail
terapung? Pelampung kail terapung karena berat jenisnya lebih
kecil dari berat jenis air, itu adalah ilmu. Seorang nelayan
mengetahui betul kapan air laut pasang dan surut walaupun ia
tidak tahu menahu penyebabnya adalah daya tarik bulan. Ibu
rumah tangga, sudah mengetahui bagaimana caranya
memanaskan air hingga mendidih, tetapi ia tidak selamanya
dapat menjelaskan secara ilmiah bahwa air mendidih ketika
panasnya mencapai 100 derajat celcius. Penjelasan sebab akibat
itu adalah bagian dari wilayah ilmu. Untuk itu yang
menjelaskan kenapa suatu proposisi masuk akal adalah logika
sebagai ilmu.
Secara de facto dan de jure, kita tidak boleh sembarangan
berpikir. Pikiran harus tunduk pada hukum-hukum berpikir
yang kemudian disebut dengan logika. Pikiran kita bisa saja
secara otomatis dapat bekerja menyelesaikan hal hal yang
sederhana, tetapi ketika menghadapi yang rumit, maka liku-
liku berpikir dibutuhkan untuk sampai pada kesimpulan yang
benar.
Ilmu ada yang bersifat a priori dan a postriori. Ilmu a priori tidak
diperoleh dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber
pada akal. Sementara ilmu a postriori harus bersumber dari
pengalaman indera dan eksperimen seperti ilmu kimia, ilmu
alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Dari kategori ilmu tersebut,
logika termasuk ilmu a priori.
Psikologi juga mempelajari pikiran tanpa menyinggung
persoalan benar salah. Sementara yang mempersoalkan benar-
salah adalah logika. Walaupun logika sebagai teori metode
berpikir benar, tetapi ia tidak mempelajari semua ragam cara
berpikir. Logika hanya mempelajari metode berpikir yang
paling sehat dan praktis.
Logika berupa metode berpikir benar dan belum mengajarkan
kebenaran materi pemikiran. Benar pada dasarnya adalah
persesuaian antar pikiran dan kenyataan. Dengan mudah kita
mengatakan bahwa proposisi berikut salah: manusia adalah
binatang. Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu Injil. Hari
Selasa adalah dua kali dalam seminggu. Anak begitu lahir,
langsung berjalan, dan sebagainya.
Yang benar itu juga persesuaian pikiran dengan
kenyataan yang tidak ada pertentangan dalam dirinya.
Pernyataan berikut pasti salah. Kohar jujur yang suka menipu.
Mahasiswa itu bisu tetapi pandai berdebat. Iqbal menyisir
rambutnya yang botak. Si tuli mendengar lagu dangdut. Lelaki
itu melahirkan anak perempuan, dan sebagainya. Kesimpulan
silogisme ini juga pasti salah. Semua orang Aceh beragama
Islam, Budiman adalah orang Aceh, maka Budiman adalah
beragama Hindu.
Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan terdahulu
bahwa di antara teori logika: generalisasi, definisi, asumsi,
posibility, kausalitas, klasifikasi, khusus dan umum, dilema,
dan sebagainya.
Salah satu contoh, teori klasifikasi. Manusia
diklasifikasikan berdasarkan warna kulitnya: berkulit hitam,
putih, kuning langsat, dan sawo matang. Manusia berdasarkan
jenis kelaminnya terbagi dua, yaitu laki-laki dan perempuan.
Memang ada juga jenis kelamin banci (khuntsa), tetapi banci
pada gilirannya dalam agama harus ditetapkan apakah dia
laki-laki atau perempuan melihat kecenderungan biologis yang
dominan. Klasifikasi berikut salah. Manusia terdiri dari
manusia berkulit putih, manusia Aria, manusia Asia, dan
manusia penyabar.
Rasional dan Logis
Sesuatu yang masuk akal terkadang disebut rasional dan
terkadang disebut lagis. Untuk membedakannya, lebih baik
kita uraikan pendapat Ahmad Tafsir berdasarkan pemikiran
Immanuel Kant. Menurut pengakuan Ahmad Tafsir, ia dapat
membedakan keduanya setelah tiga puluh tahun belajar
filsafat.
Rasional dan logis sama-sama masuk akal, tetapi
rasional masuk akal berdasarkan hukum alam, sedangkan logis
bukan saja masuk akal berdasarkan hukum alam, tetapi
termasuk masuk akal berdasarkan hukum lainnya. Untuk
mempermudah metodologinya, hukum lainnya bisa disebut
hukum sosial, hukum humaniora, hukum seni, dan hukum
teknologi.
Kategorisasi hukum sosial dapat dipahami ketika ilmu
itu dibagi menjadi ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial.
Hukum humaniora dikatagorikan, ketika ilmuan ada
yang menilai pengetahuan yang tidak termasuk ilmu alam
maupun ilmu sosial, termasuk pengetahuan bidang
keagamaan, maka mereka menyebutkan humaniora. Fenomena
pengetahuan humaniora ini, di antaranya dapat dilihat dari
gelar kesarjanaan, termasuk Magister Humaniora (M.Hum.).
Walaupun dengan jelas, perbedaan pendapat di
kalangan akademisi dalam menentukan mana kelompok
humaniora. Secara sederhana, pengetahuan hukum di USU
dikatagorikan dalam humaniora. Untuk itu gelar magister
hukum di USU Magister Humaniora (M.Hum.), sementara di
Unpad gelarnya M.H. (Magister Hukum). Sementara
pengetahuan seni dan teknologi sendiri berada di luar ilmu
alam, sosial, dan humaniora. Untuk itulah dalam tulisan ini
dikatagorikan hukum seni dan teknologi. Teknologi sepertinya
kata Ahmad Tafsir termasuk sains terapan atau penerapan teori
sains dan bukan sains itu sendiri. Sementara seni belum berani
Ahmad Tafsir membahas kapling pengetahuannya dan
mengaharapkan ada ahli yang membahasnya secara khusus.
Untuk mempermudah dalam menilai hukum alam, maka kita
harus mengerti rumpun ilmu alam yang ditentukan oleh ahli.
Hukum alam adalah hukum yang alami yang telah ditentukan
oleh Allah dan tidak berubah ubah. Lebih banyak hukum alam
ini disebutkan oleh ilmuan Muslim dengan sunnatullah.
Sementara ada juga ahli yang berpendapat bahwa hukum alam
yang tidak berubah-ubah itu disebut taqdirullah (ketentuan
Allah), sementara sunnatullah aturan Tuhan di luar hukum
alam seperti kalau kita menanam padi dan memupuknya,
menurut sunnatullah kita insya Allah akan memanen hasilnya.
Tetapi hasilnya bisa jadi karena ada hama padi, sehingga tidak
panen atau sebaliknya, kita yang menanam, malah orang lain
yang memanennya (dicuri).
Dalam memberi contoh hukum alam, mahasiswa sering
menyebutkan bahwa air akan mengalir ke tempat yang lebih
rendah. Ya, benar itu adalah hukum alam. Ketika melihat ada
air yang mengalir ke arah yang lebih tinggi, itu bukan lagi
hukum alam, tetapi rekayasa ilmiah dengan teknologi mesin
pompa air. Namun jika sumber airnya tinggi, maka ia akan
naik setinggi sumbernya. Ini masih termasuk hukum alam,
tanpa rekayasa ilmiah. Lihatlah tukang bangunan rumah ketika
mengukur kedataran bangunan (biasa disebut mencari nol
rumah). Air dimasukkan ke dalam selang, batas kedua ujung
selang itu akan sama tinggi-rendahnya.
Contoh hukum alam yang lain, dapat kita sebutkan
bahwa matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat. Sejak
manusia mengenal arah mata angin, matahari itu selalu terbit
dari Timur dan terbenam di Barat. Jika terkadang terbit dan
atau terbenamnya tidak kelihatan, itu karena faktor alam.
Tetapi walaupun demikian, matahari tidak pernah alpa terbit di
Timur dan terbenam di Barat. Bahasa hukum alam bisa juga
disebut orang dengan fitrah. Seperti melahirkan dan menyusui
itu fitrah wanita bukan laki-laki. Artinya sudah merupakan
hukum alam bahwa yang melahirkan dan yang menyusui itu
wanita dan bukan laki-laki. Tetapi yang mencari nafkah laki-
laki bukan hukum alam, tetapi hukum sosial. Artinya
selayaknya lah laki-laki yang mencari nafkah. Hukum alam
lainnya, bahwa api itu sifatnya panas. Di mana-mana api itu
memang panas dan itu rasional. Kalau Ibrahim a.s. tidak
merasakan panasnya api saat orang-orang musyrik
membakarnya, itu tidak sesuai dengan hukum alam. Dengan
demikian, tidak rasional, tetapi itu logis dalam pengertian
supralogis. Sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam itu
tidak rasional. Kenapa logis, menurut Ahmad Tafsir, karena
yang menciptakan sifat api itu panas adalah Allah, maka logis
juga kalau Allah bisa mencabut sifat itu sesuai dengan
keinginan dan kekuasaanNya. Dengan demikian, segala
sesuatu kalau disandarkan dengan keinginan dan kekuasaan
Tuhan, maka itu logis dalam pengertian supralogis. Untuk
itulah semua mu”jizat para Nabi dan Rasul bersifat tidak
rasional, tetapi logis dalam pengertian supralogis. Supralogis
itu bisa disebut masuk akal berdasarkan logika Tuhan
sementara logis itu berdasarkan logika manusia.
Ketika membahas perbedaan konsep logis dan rasional,
maka penulis teringat dengan buku Harun Nasution, Islam
Rasional dan pemikiran Mu’tazilah yang rasional. Jika benar
apa yang dikatakan Ahmad Tafsir tentang perbedaan logis dan
rasional, mestinya buku Harun Nasution berjudul Islam Logis
dan ciri pemikran Mu’tazilah itu logis dan bukan rasional.
Dalam logika dikenal logika deduktif dan logika
induktif. Matematika menggunakan logika deduktif,
sementara statistic menggunakan logika induktif. Pembahasan
deduktif dan induktif telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Perbedaan logika deduktif, jika premis-premisnya benar dan
prosedur penarikan kesimpulan sah, maka kesimpulannya
adalah benar. Hal ini berbeda dengan logika induktif.
Walaupun premis-premisnya benar dan prosedur penarikan
kesimpulannya sah, tetapi kesimpulannya belum tentu benar.
Dalam logika induktif, kesimpulan berpeluang benar.
C. Matematika
Belajar matematika mendapat dukungan yang kuat dari
al-Qur’an. Sejak awal sejarah Islam sampai hampir seribu
tahun, matematika mendapat perhatian kaum muslimin.
Matematika adalah bahasa simbol yang memberikan informasi
secara jelas dan singkat. Seorang penjual durian menjual 2.000
buah durian dan perbuah dijual Rp. 3.000. Dengan disaksikan
pembelinya, penjual mulai memisahkan satu persatu buahnya
dengan menambahkan Rp. 3.000 untuk setiap buahnya. Setelah
satu jam ia berhasil menghitung harga keseluruhan Rp.
6.000.000. Guru matematika ikut menyaksikan perilaku non
matematis itu dengan hati tertawa mengatakan dalam dirinya,
”alangkah repotnya manusia hidup tanpa matematika”.
Dengan sistematika matematika dalam perkalian, dengan
mudah didapatkan hasilnya 3x2 = 6 dan ditambahkan
dibelakang angka 6, enam angka nol dan menjadi 6.000.000.
Mari berterima kasih pada orang yang menemukan rumus
perkalian itu dan tidak kalah pentingnya berterima kasih yang
tak terhingga juga pada Pencipta orang yang menemukan
rumus itu.
Dalam satu proposisi yang kualitatif disebutkan bahwa
”semut lebih kecil dari gajah”. Pernyataan itu tentu perlu
dijelaskan lebih kuantitatif, yaitu berapa rasionya? Apakah
besar gajah, 1000 kali besarnya semut? Matematika
memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap
kualitatif menjadi kuantitatif. Matematika berfungsi untuk
menertibkan aturan, keseimbangan, dan keserasian tiap cabang
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Dilihat dari perkembangannya, matematika sebagai ”akar
tunggangnya” semua ilmu pengetahuan, memiliki tiga tahap,
yaitu sistematis, komparatif, dan kuantitatif. Pada tahap
sistematis, ilmu mulai digolongkan dalam katagori tertentu
dengan menemukan ciri-ciri umumnya. Contoh kita
menggolongkan manusia, makhluk yang bisa berbicara,
berpikir, berkreasi aktif, dan memiliki spritualitas. Tahap
selanjutnya komparasi. Disini mulailah kita membedakan
antara manusia dengan binatang dan juga tumbuh-tumbuhan.
Jelas sekali tumbuhan makhluk yang tidak berbicara sedangkan
binatang berbicara dan bahkan berpikir. Walaupun binatang
berbicara dan berpikir, tetapi binatang tidak bisa bertindak
seperti sejarawan yang bisa mengantarkan masa lalu ke masa
sekarang dan membawa masa sekarang ke masa depan.
Binatang berbica statis dan tidak berkembang, sementara
manusia dinamis. Binatang berpikir untuk kelangsungan
hidupnya, sementara manusia bukan saja untuk kelangsungan
hidup, tetapi termasuk untuk kebahagiaan hidupnya.
Sementara pada tahap kuantitatif, dicarilah hubungan sebab
akibat bukan berdasarkan perbandingan, melainkan
berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang
diselidik. Dalam hal ini bisa disebut bahwa manusia bisa taat
dan inkar pada Tuhan.
Matematika selain berfungsi sebagai bahasa simbol, ia
juga sebagai alat berpikir. Sebagai alat berpikir, Wittgenstein
menyebutkan matematika sebagai metode berpikir logis.
Logika berkembang menjadi matematika dan oleh sebab itu
Bertrand Russell mengatakan, ”matematika adalah masa
kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.” Dewasa ini matematika diangaap bersifat
rasional yang tidak tergantung pada pembuktian secara
empiris.
Pada abad ke-20, seluruh kehidupan manusia telah
mempergunakan jasa matematika dari tingkat yang sangat
sederhana sampai yang rumit. Fungsinya seluas fungsi bahasa
dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Orang dewasa kata Antoine sangat menyenangi angka-
angka. Bila kau katakan kepada mereka bahwa kau
mempunyai seorang kawan baru, mereka tak bertanya tentang
hal ihwal yang penting. Mereka tak pernah bertanya,
(”Bagaimana merdu suaranya?, Permainan apa yang paling
disenangi? Apakah dia suka mengumpulkan kupu-kupu?”)
Sebaliknya mereka bertanya: (”Berapa umurnya? Berapa orang
saudarannya? Berapa kilogram beratnya? Berapa besar
penghasilannya?”)92
Matematika merupakan lambang ”artifisial”. Artinya,
lambang itu akan bermakna setelah dimaknai, dan jika tidak,
maka ia hanya sekedar rumus-rumus yang passif. Bahasa
verbal memiliki kekurangan dan untuk mengatasinya, kita
membutuhkan matematika. Matematika berusaha
menghilangkan sifat kemajemukan dan emosional dari bahasa
verbal.94 Jika kecepatan pesawat dilambangkan X, jarak yang
ditempuhnya dilambangkan dengan Y, dan Z dilambangkan
dengan jarak tempuh, maka dapat dilambangkan, Z= Y/X.
D. Statistik
Matematika lebih tua umurnya dari statistika, tetapi
perkembangan statistika belakangan ini dinilai sangat pesat,
khususnya dalam bidang penelitian. Sensus penduduk
menggunakan jasa ilmu statistik, teori sampel dan hipotesa
juga menggunakan jasa ilmu statistik. Bisa dibayangkan jika
ingin mengetahui apakah orang tua sayang sama anaknya, kita
harus meneliti semua orang tua di dunia ini. Sungguh
melelahkan, menyusahkan, membutuhkan waktu yang lama,
dan mahal biayanya. Tetapi dengan teknik sampling, hal itu
tidak susah didapatkan hasilnya.
Statistik pada mulanya diartikan, ’kumpulan bahan
keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif)
maupun yang tidak berwujud nilai angka (data kualitatif), yang
mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu
negara....’ Namun pada perkembangannya, hanya dibatasi
pada data kuantitatif saja.
Dalam kamus bahasa Inggris ditemukan bahwa statistik
diartikan “ukuran yang diperoleh atau berasal dari sampel”.
Lawan katanya parameter yang ukurannya diperoleh dari
populasi. Ada tiga ciri khas statistik, yaitu selalu bekerja
dengan angka atau bilangan, bersifat obyektif, dan bersifat
universal.
Peluang merupakan dasar teori statistika yang belum
ditemukan pada zaman Yunani Kuno, Romawi, dan bahkan
Eropa di zaman pertengahan. Dalam teknik statistika, semakin
banyak jumlah sample, maka semakin tinggi juga tingkat
ketelitian kesimpulan. Statistika mencoba menjawab
permasalahan saling hubungan (korelasi), pemencaran, dan
rata-rata. Adapun pola hubungan kausalitas yang dicari
statistik untuk menentukan apakah bersifat kebetulan atau
bersifat empiris. Melalui teknik statistik dapat diketahui apakah
minat belajar mahasiswa berhubungan secara kebetulan atau
empiris dengan dosen yang berparas cantik.
Jika setiap kali lebaran dalam lima tahun belakangan ini
harga-harga mobil bekas turun, maka lebaran tahun ini dapat
diprediksi peluang harga mobil. Artinya, harga mobil lebaran
tahun ini berpeluang turun. Ketika tiba waktunya lebaran,
maka kita akan menguji kebenarannya, jika ternyata turun,
maka hipotesa di atas benar, jika tidak, maka hipotesa tersebut
ditolak. Tanpa menguasai statistika, tak mungkin dapat
menarik kesimpulan induktif dengan sah.