Anda di halaman 1dari 208

PENGANTAR

FILSAFAT

Filsafat Sebagai Induk Dari Semua Pengetahuan


Secara Sistematis Lahir Di Yunani Abad Keenam Sebelum Masehi,
Tetapi Filsafat Secara Sederhana Dalam Pengertian Berpikir
Dan Cinta Kebenaran Telah Lahir Sejak Kelahiran Manusia
PENGANTAR FILSAFAT

A. Filsafat: Pengenalan Sederhan a


Tidak jarang filsafat diperkenalkan dengan ”berat dan
sulit” untuk dipahami dengan menggunakan contoh-contoh
yang ”melangit” dan tidak”membumi”, sehingga data dalam
subconscious mind1 atau pikiran bawah sadar tersimpan secara
mendalam. Tulisan ini mencoba menerobos critical factor untuk
bisa setidaknya mengedit file dan jika bisa merubah dari
”filsafat itu sulit menjadi mudah” dengan memberikan contoh-
contoh yang ringan dan membumi.
Perhatikan ungkapan B.J. Habibie ketika diwawancarai oleh
Rosalina Silalahi di SCTV dalam suatu waktu tentang IPTN.
“Seberapa yakin kah bapak bisa memajukan IPTN, jika bapak
dipercaya untuk memimpinnya kembali?”. Habibie terdiam
sejenak dan mengatakan, “Saya yakin bisa memajukannya, seperti
yakinnya saya besok matahari akan terbit”. Kalimat itu benar-
benar essay-essay filsafat, dimana maknanya sangat mendalam dan
bisa dijabarkan dalam berpuluh-puluh halaman buku atau ratusan
dan bahkan ribuan halaman. Kemampuan menafsirkannya akan
menjadi modal bagi siapapun yang memiliki kapasitas keilmuan.
Beda halnya dengan orang yang tidak punya shibghah filsafat. Ia
cenderung memahami secara tekstual saja. Jika kata hanya
bermakna dari teksnya, maka tidak perlu ada guru yang

1
Dikenal ada dua pikiran, pikiran sadar (concious mind) dan pikiran bahwa sadar
(subconcious mind). Pikiran sadar mempengaruhi hidup kita 12% dan 88%
dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar. Di antara dua pikiran itu, ada critical factor.
Critical factor menyaring informasi yang akan masuk dari pikiran sadar menuju
pikiran bawah sadar. Baca Adi W.Gunawan,Hypnotherapy for Children, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.26
menjelaskannya. Tidak perlu berjilid-jilid buku tafsir al-Qur’an
yang selalu berkembang dan tidak mungkin bisa dibatasi dengan
penutupan pintu ijtihad.
Untuk memahami apa yang dikemukakan oleh B.J. Habibie,
perlu diidentifikasi kata-kata kunci sebagai berikut. Pertama, besok
yang menunjukkan belum terjadi. Kedua, matahari akan terbit.
Ada kalimat bahwa yang lewat itu sangat jauh karena tidak akan
pernah terulang lagi. Seperti saat penulis menulis topik ini pada
hari Rabu, 2 Oktober 2019 jam 08:52, maka Rabu, 2 Oktober 2019,
jam 08:50 itu dinilai sangat jauh dan bahkan jauh sekali bahkan
jauh sekali-sekali-sekali untuk menunjukkan, tidak mungkin itu
dijumpai kembali. Orang bijak menyebut,
‫لن ترجع األيام اليت مضت‬
Artinya, “Mustahil waktu yang telah lewat akan terulang
kembali”
Kita tidak akan pernah mandi dengan air yang sama di
sungai karena air sungai terus mengalir. Sementara waktu yang
akan datang itu disebut dekat, karena dia mungkin akan jumpa
bukan pasti berjumpa. Berbeda dengan yang telah lewat mustahil
jumpa kembali. Tafsiran ini tidak berlaku untuk menjelaskan
ungkapan habibie tersebut. Besok bukan persoalan dekat jauh,
tetapi persoalan future (mustaqbal). Jika dihadapkan dengan
ketentuan Allah, maka mungkin juga besok tidak ada karena
adanya kiamat, berakhirnya umur dunia ini, sementara ukuran
besok adalah waktu duniawi. Dengan dengan demikian,
keberhasilan B.J. Habibie dalam pengandaian itu harus
dihadapkan dengan ketentuan Allah. Ali bin Abi Thalib
mengatakan, “sia-sialah usaha manusia, jika ajal telah tiba”. Ajal
tidak selamanya linier dengan logika sebab karena Allah kuasa
untuk melakukan apa saja, termasuk yang tidak logis. Konsep
pikir B.J. Habibie itu sangat teologis dan religius.
Adapun matahari terbit berhubungan dengan alam. Bisa,
karena faktor alam yang mendung, matahari tidak terlihat. Tidak
terlihatnya matahari bukan berarti dia tidak terbit, tetapi tidak
terlihat. Kalimat besok matahari akan terbit dapat dipahami terbit
dan terlihat. Keberhasilan B.J. Habibie juga ada hubungannya
dengan faktor alam. Seorang arsitek yang merencanakan sebuah
gedung akan rampung dalam 4 bulan, ternyata begitu selesai,
dalam 3 menit diruntuhkan oleh gempa, sehingga bangunan itu
seperti tidak pernah ada. Makna yang lebih luas dari ungkapan,
“Saya yakin bisa memajukannya, seperti yakinnya saya besok
matahari akan terbit.” Dari sisi kemampuan pada saat berbicara, ia
yakin bisa memajukan IPTN, jika tidak ada yang mengganggu
termasuk karena ketentuan Allah dan ulah manusia. Penjelasan
seperti itu dibutuhkan untuk memahami filsafat, tidak dibiarkan
benar-benar terlalu abstrak. Penulis berusaha memperkecil hal
yang abstrak itu untuk dapat menikmati proses berpikir (untuk
tidak mengatakan berfilsafat).
Menurunkan tensi abstraksi filsafat tidak terbatas dengan
satu jalan atau pendekatan. Setiap upaya memperkecil tensi
abstraknya, maka semakin menarik bagi sebagian orang yang
susah memahaminya. Sementara bagi sebagian orang lain yang
tingkat pemahaman filsafatnya advance class, memperkecil abstrak
kurang menarik karena bisa saja ia menjawab yang tidak
diperlukan oleh pembaca atau mempersempit ruang gerak
berpikir yang sebenarnya luas. Ruang tafsir yang berupa aktivitas
berpikir dan berijtihad membutuhkan teks asli untuk terbuka
dibedah secara luas. Jika telah dibedah, maka tetap terbuka untuk
dibedah kembali dengan teks yang sama.
Menjawab Pertanyaan
Apa pendapat Anda, jika ada seorang gadis, berprofesi
sebagai dosen di perguruan tinggi ternama di Indonesia
bergelar Doktor? Pendapat orang tentu bisa beragam. Jika dia
bergelar Doktor, maka gadis itu, kemungkinan sudah berumur
28 tahun. Umur 28 tahun untuk seorang wanita, tentu bukan
umur yang tergolong muda untuk melajang. Jika demikian,
dosen tersebut bisa jadi lebih mementingkan urusan karir
pendidikan dibandingkan urusan asmara, sehingga dia masih
melajang sampai meraih gelar Doktor. Bisa juga dosen yang
berumur 28 tahun tersebut tidak tergolong cantik, sehingga
walaupun dia tidak berniat melajang sampai menyelesaikan
pendidikan Doktor, belum ada yang melamarnya. Bisa juga
gadis tersebut sebelum Doktor, telah dilamar pria, tetapi pria
itu kurang dia sukai. Bisa juga wanita itu merasa bahwa dirinya
memiliki status sosial yang mulia, sehingga ia mengharapkan
pria yang melamarnya sepadan dengannya dan bahkan lebih
mulia darinya. Gadis ”tidak muda” itu bisa jadi cantik, tetapi
karena ia berpendidikan tinggi, pria yang tidak sepadan
pendidikan dengannya segan untuk melamarnya. Adapun Jika
pria yang ganteng yang sepadan pendidikannya dengan gadis
itu (pria bergelar Doktor), maka ia membutuhkan wanita yang
cantik yang lebih muda atau wanita yang tergolong sedang
umurnya untuk dinikahi, seperti berumur 22, 23, dan 24 tahun
atau bahkan menginginkan umur yang lebih muda dari itu.
Untuk itu tidak selamanya pendidikan yang tinggi
menguntungkan bagi seorang wanita walaupun cantik,
cantikpun jika dihubungkan dengan persoalan jodoh. Tentu
dalam hal ini kita sedang mengesampingkan urusan ”jodoh di
tangan Tuhan”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk
menjawab pertanyaan diperlukan alur berpikir yang benar
dengan berpatokan pada informasi yang ada. Alur berpikir
yang menjawab pertanyaan itupun sudah dikatakan berfilsafat.
Berfilsafat dapat dipahami sebagai cara berpikir benar.2
Dari kasus di atas, kebenarannya tentu yang lebih tahu
adalah gadis tersebut. Namun walaupun dia tidak memberi
tahu apa sebabnya pada umur 28 tahun dia belum menikah,
pikiran dengan sistemnya bisa memberikan jawaban alternatif.
Dalam teori logika itu yang disebut dengan posibility
(kemungkinan). Kita bisa memberikan kemungkinan
jawabannya sesuai dengan alur berpikir yang dapat diterima
oleh akal.
Setiap kata yang mungkin dalam filsafat harus memiliki
dasar pijakan. Jika tidak memiliki dasar pijakan atau dasar
teoretis, maka tidak disebut filsafat. Seorang calon legislatif di
suatu daerah berasal dari daerah pemilihannya. Ia seorang tokoh
yang dikenal baik oleh masyarakat. Masyarakat sangat berharap,
esok lusa, ia yang terpilih jadi anggota dewan. Memang tokoh
ini tidak punya banyak uang untuk “membayar suara”, namun
masyarakat yakin banyak yang suka rela akan memilihnya.
Kesimpulannya, mungkin tokoh itu akan terpilih jadi anggota
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005),
hal.45
dewan. Apa dasar pijakannya, caleg itu orang baik menurut
masyarakat. Bedakan dengan seorang caleg DPR dari dapil
tertentu. Caleg itu memang berasal dari dapilnya, tapi ia sudah
lama merantau. Para calon pemilih pun tidak banyak kenal dia
lagi. Juga caleg itu pun tidak datang-datang kampanye atau
sosialisasi. Kemudian orang menyimpulkan, ia mungkin
menang, mungkin juga kalah. Ini kata mungkin yang bukan
filsafat karena tidak ada dasar pijakannya.
Apa pendapat Anda tentang seorang Gubernur yang
belum dikaruniai anak sedangkan ia mengkorupsikan uang
negara? Gubernur itu dalam mencapai jabatannya telah
menghabiskan dana yang banyak, sehingga jika tidak korupsi,
maka modalnya tidak kembali. Gubernur itu seorang yang
menggunakan ”aji mumpung”. Mumpung gubernur, maka
kesempatan mengumpulkan harta sebanyak banyaknya.
Setidaknya itulah gambaran ”hegemoni budaya benda” yang
dikemukakan oleh Komaruddin Hidayat.3
Selain itu, gubernur tersebut bisa jadi orang yang jujur,
tetapi karena desakan istrinya yang dia cintai agar untuk
menjadi milliader, maka sang gubernur korupsi. Boleh jadi
gubernur itu orang yang jujur, tetapi orang-orang di
sekelilingnya atau pembantu-pembantunya merasiona-
lisasikan korupsi sebagai hal yang lumrah.
Dalam menjawab pertanyaan kedua tadi, kita telah
menggunakan otak berpikir teratur. Berpikir teratur itu juga

3
Baca Komaruddin Hidayat, “Hegemoni Budaya Benda” dalam Nucholish Madjid,
et.al., Kehampaan Spritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Media Cita,2000), hal.287-
295
termasuk berfilsafat.4 Pejabat yang berkecukupan harta, tetapi
korupsi, akalnya tidak waras alias gila. Jika orang miskin,
berkekurangan dan mencuri, walaupun tindakannya salah,
tetapi hal itu masih bisa diterima akal.
Abdul Qodir Audah dalam al-Tasyri` al-Janay al-Islami
membagi kriminal dari sisi metode pelanggarannya, ada yang
bersifat ijabiyah (positif) ada yang bersifat salabiyah (negatif).
Korupsi bagi yang miskin tetap kriminal negatif, hanya saja
kadar negatifnya di bawah korupsi bagi orang kaya. Menurut
Abdul Qodir, kriminal pun ada yang bersifat positif. Yang
masuk katagori ini kemungkinan, bermaksud membela diri dari
perampok, sehingga perampok meninggal. Dengan
meninggalnya perampok, masuk dalam pembunuhan.
Pembunuhan adalah kriminal, namun menjaga harta (hifzh al-
mâl) adalah hak utama yang harus dipertahankan. Untuk
mempertahankannya secara sah itu adalah positif. Ini namanya
kriminal positif menurut Abdul Qodir.
Kenapa orang berbohong? Orang berbohong bisa jadi
karena kebiasaan, ini berbahaya. Orang berbohong bisa jadi
karena ingin mengambil keuntungan dari kebohongan, ini
banyak merugikan orang lain. Orang berbohong bisa jadi
karena menutupi rasa malu, ini biasa gengsi ”orang-orang
mulia”. Orang berbohong karena ingin merekayasa kesan biasa
menjadi kesan yang lucu. Perbuatan riya,
takabbur, dan juga sum’ah termasuk bagian dari rekayasa kesan.
Mata, hidung, telinga, tangan, pipi, kaki adalah anggota
tubuh. Kalau laki-laki dan perempuan termasuk apa? Ia adalah

4
Baca Abuddin Nata, Filsafat…, hal.3
jenis kelamin. SD dan SMP termasuk apa? Ia adalah pendidikan
dasar. Apel, rambutan, mangga, dan duku termasuk apa? Ia
adalah buah-buahan.
Pertanyaan-pertanyaan pada paragraf terakhir termasuk
wilayah kerja akal dan hal mengklasifikasikan sesuatu. Tidak
semua orang memiliki kemampuan klasifikatif. Hal itu diatur
dalam teori-teori logika.5 Logika adalah wilayah kajian utama
dari filsafat dalam mencari kebenaran.
Mari kita melihat ayat al-Qur’an.

Artinya, ”Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada


mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang
benar).”(Q.S al Ankabut /29:61)
Akal siapa yang berani menjawab bahwa yang
menciptakan langit dan bumi, juga yang mengatur matahari
dan bulan bukan Allah, maka ia akan sulit membuktikannya.
Keengganan orang untuk bertuhan memang mengatakan
”kebetulan”. Teori kebetulan itu merupakan apologi karena
tidak bisa menjawab. Dalam Surah Luqman/31: 25 Allah juga
menunjukkan jawaban akal yang logis tentang siapa Pencipta
langit dan bumi. Dalam Surah al-Zumar/39: 38, kembali
pertanyaan yang sama ditanyakan, tentang siapa Pencipta

5
Baca Mundiri, Logika, Cet. IX, (Jakarta: Raja Grafndo Persada, 2005), hal. 45
langit dan bumi. Jawabannya tetap Allah. Dalam Surah al-
Zukhruf/43: 9, pertanyaan yang sama ditanyakan kembali, dan
jawabannya, al-Azîz (Yang Maha Perkasa) dan al-’Alîm (Yang
Maha Pintar).
Alasan logis juga didapatkan dari para mufassir, ketika
Allah menggunakan kata ”khalaqa” berarti membuat sesuatu
dari tiada menjadi ada. Adapun manusia hanya mampu
membuat sesuatu yang ada menjadi ada dengan nama yang
lain.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa yang menciptakan
langit dan bumi adalah pasti Allah, sebab tidak ada yang
mengetahui dari mana bahan diciptakannya langit dan bumi. Jika
pun orang berhasil menyebut bahannya, mustahil manusia bisa
menciptakannya. Sampai sekarang pun tidak pernah terdengar ada
orang yang berani akan membuat langit dan bumi. Jika ada pun,
akan dikatakan orang “gila”. Begitu dan seterusnya bahwa logika di
dalam al-Qur’an sangat kuat dan mustahil dipatahkan
argumentasinya karena sumbernya dari yang Maha Benar.
Contoh, kayu diolah manusia menjadi kursi. Air putih
menjadi fanta. Tepung, pisang, dan minyak goreng diolah
menjadi pisang goreng. Sementara manusia dari tiada menjadi
mani. Dari mani menjadi darah. Dari darah menjadi daging.
Daging dibungkus dengan tulang belulang. Setelah empat
bulan, ia menjadi ciptaan yang baru yang disebut dengan
manusia.6
Di dalam hadits diutarakan bahwa di antara akhlak
orang-orang Islam adalah meninggalkan apa-apa yang tidak

6
Baca ( Q.S. al – Mu’minun/ 23 : 14 )
bermanfaat baginya.7 Tentunya logika kita tidak akan berkata,
”seorang yang mencuri mobil termasuk akhlak yang baik,
karena ada manfaatnya buat pencuri”. Azas manfaat tentu
sesuai dengan rambu-rambu agama.
Ada hadits yang berbunyi:
‫ يا رسول اهلل علمين كلمات أعيش هبن‬: ‫أن رجال أتى إىل ر سول اهلل صلعم فقال‬
‫وال تكثر علي فانس فقال رسول اهلل صلعم ال تغضب‬
Artinya, ”Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan
berkata, ajari aku ya Rasulullah kata-kata, darinya bisa saja jadikan
panduan hidup, tetapi jangan banyak- banyak yang membuat saya
lupa. Rasulullah bersabda: jangan marah” 8
Nasehat singkat Rasulullah selain ”jangan marah”
adalah ”jangan berbohong”. Jika kita analisa marah memang
ada yang terkendali dan ada yang tidak terkendali. Marah
adalah fitrah manusia, jika diharamkan tanpa terkecuali maka,
fitrah manusia telah dirampas, dan itu tidak logis.
Marah yang terkendali barangkali bisa diberi contoh dari
beberapa peristiwa yang sedang terjadi belum lama ini.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ”mengeluhkan” gaji
sebagai presiden tidak pernah naik sudah tujuh tahun pada
Januari 2011. Ternyata ”keluhan” serupa pernah juga
diungkapkan oleh SBY pada 4 April 2009, saat silaturrahmi
dengan guru di Surabaya.9 Masyarakat menanggapi hal
tersebut secara beragam. Ada yang menanggapinya dengan
7
(Belum ditulis,karena tulisan arab), “diantara akhlak yang mulia dari seorang
muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya…” Baca Imam
Malik, Muwaththa,’ ( Mirs: al-Andalus al-jadidah, 2009), hal.659
8
Baca Ibid, hal. 661
9
Republika, “ Gaji Presiden” dalam Republika, Sabtu, 22 Januari 2011
demonstrasi dan ada juga yang menanggapinya dengan
membuat ”kotak amal”. Alasan mereka yang berkomentar
negatif, presiden yang mendapat fasilitas yang serba mewah
dari negara, janjinya memberantas korupsi dengan memimpin
langsung tidak kunjung terbukti, tidak layak dikemukakan
tentang kenaikan gajinya. Komentar negatif tersebut bisa jadi
bagian dari marah yang terkendali. Tentu bukan itu tafsiran
pesan Rasulullah Saw. dengan ”jangan marah”.
Contoh marah yang tidak terkendali yang sesuai dengan
pesan Rasulullah Saw. itu barangkali sebagaimana yang ditulis
oleh Daniel Goleman dalam Emotional Inteligence, seorang
perampok kawakan, Richard Robles yang berencana akan
”pensiun” dari profesi yang menakutkan itu, karena tuntutan
kebutuhan pacar dan putrinya, ia berencana mencuri satu kali
lagi.10
Singkat cerita, Robles merampok apartemen dua wanita
karir muda, Hoffert dan Janice Wylie. Sewaktu dia masuk
apartemen, ternyata Wylie ada didalamnya. Untuk
mengamankan niatnya, ia mengancam Wylie dan mengikatnya.
Sewaktu ia akan kabur membawa hasil rampokan, Hoffert
pulang. Hoffert kemudian diikat juga. Sewaktu Robles
mengikat Hoffert, Hylie mengingatkannya bahwa ia (Robles)
tidak akan lolos dari hukuman atas perbuatannya, karena ia
mengenal betul wajahnya dan akan melaporkan ke polisi.
Ungkapan Wylie ini membuat Robles panik dan marah besar.
Robles mengambil botol soda dan memukul dua gadis itu
sampai pingsan. Tidak hanya berhenti membuat mereka

10
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Cet. XIV, (Jakarta: Gramedia,2004),hal.17
pingsan, ia menyanyat-nyayat dua gadis itu dengan pisau
dapur.11
Kisah perampokan Robles tersebut sebagai salah satu
bukti bahwa marah bisa menumpuk-numpuk dosa. Robles
sudah merampok, mengikat, memukul mereka sampai pingsan,
dan sampai menyanyat-nyayatnya.
Dari uraian di atas, semua permasalahan diselesaikan
dengan alur berpikir logis. Memahami dan menafsirkan
perkataan, perbuatan, sikap, dan juga tulisan bagian dari kerja
filsafat. Untuk itu sehari-hari, kita tidak pernah luput dari kerja
filsafat.
Filsafat bisa diucapkan, dipikirkan, dijelaskan, tetapi
wujudnya tidak bisa dihadirkan. Ketika disebutkan cantik, maka
jangan berpikir bahwa itu bagian-bagian jasmani yang bisa
ditunjukkan. Jika cantik hanya berupa jasmani, maka orang dapat
mencintai wanita cantik tapi idiot. Wanita berparas cantik tapi
idiot tidaklah menyenangkan bagi orang pada umumnya. Bentuk
lain ada wanita cantik, tetapi kejam dan arogan. Yang cantik,
kejam, dan arogan itu tidak menyenangkan bagi orang lain.
Segala yang mengakibatkan rasa tidak senang, tidak dapat
disebut cantik. Dengan demikian, cantik dalam konsep filsafat
adalah totalitas yang bisa dijelaskan dan didefinisikan, sekalipun
tidak bisa dihadirkan bentuk fisiknya. Cantik dapat didefinisikan,
“Apabila kamu melihatnya, ia menyenangkan”

B. Tidak Semua Aktivitas Berpikir Itu Filsafat


Kalau sekedar berpikir, binatang pun bisa berpikir,

11
Ibid, hal. 17-18
tetapi berpikir nalar, hanya manusia yang mampu.12 Kucing
tahu mana makanan yang enak dan anjing tahu majikan yang
baik. Tikus dapat berpikir bahwa kucing adalah musuhnya.
Ayam dapat berpikir bahwa jika majikannya tidak
menyediakan makanan, maka ia harus berusaha mencari
sendiri. Ketika kita akan menangkap ayam dengan
mengumpannya dengan makanan di tangan kita, maka ayam-
ayam itu tidak semuanya terjebak dengan siasat kita. Karena
bisa saja ia berpikir, jika ia makan umpan itu, ia akan tertangkap.
Tetapi, ayam yang sudah dibiasakan oleh majikannya diberi umpan
makanan, ketika majikannya memberi umpan, ia tidak akan takut
ditangkap, tetapi jika orang lain yang memberi umpan, ia tidak mau
mendatangi makanan itu. Namun harus diketahui bahwa binatang
berpikir hanya untuk kelangsungan hidup saja (survival). Sementara
manusia berpikir bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, tetapi juga
untuk tujuan kemuliaannya. Binatang berpikir bukan untuk
mengembangkan pengetahuan, sementara manusia berpikir, di
antaranya untuk mengembangkan pengetahuan.
Manusia mampu berpikir sampai ke tingkat nalar. Ada dua ciri
berpikir nalar. Pertama, pola berpikirnya secara luas dan dapat disebut
logika. Kedua, berpikir yang bersifat analitik. Hanya Penalaran ilmiah
yang menggunakan logika analitik.13 Dikarenakan tidak semua manusia
berpikir mengikuti aturan logika. Untuk itulah tidak semua aktivitas
berpikir disebut dengan filsafat, tetapi aktivitas berpikir yang logis
analitik itulah yang disebut dengan filsafat.
Towil Simamora berumur 20 tahun dengan tinggi badan 160
cm. Pada saat Towil berumur 40 tahun, maka tinggi badannya 320
12
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 40
13
Ibid, hal. 43
cm. Jika ada orang yang berpikiran demikian, maka cara dan hasil
berpikir demikian keliru dan tidak dipercaya oleh orang lain.
Pertama rumus berpikir tentang umur dan dihubungkan dengan
tinggi badan tidak linier dengan secara matematis proporsional. Jika
itu dikatakan benar, maka tukang kusen pintu tidak akan
memproduksi rata-rata tingginya 210 cm. Pertumbuhan tinggi badan
harus dihubungkan dengan teori psikologi perkembangan fisik. Pada
umur 21 tahun, umumnya pertumbuhan tinggi badan akan berhenti.
Nur Fadhil Lubis, mantan rektor UIN Sumatera Utara
mengutarakan logika ekonomi. Bahwa seseorang menanyakan harga
satu buah pisang di pasar sebesar Rp. 1.000. Karena melihat jumlah
pisangnya dalam satu sisir ada 10, maka ia membayarnya Rp. 10.000
dengan alur berpikir 10 x 1.000 = Rp. 10.000. Pedagang pisang
tersebut mengatakan, kalau satu sisir cukup bayar Rp. 9.000. Memang
logika dagang, semakin banyak dibeli, maka akan semakin murah
harganya. Namun tidak selamanya teori ini berlaku di semua tempat
dan waktu. Di Padangsidimpuan, masih banyak pedagang buah,
menjual pisangnya berdasarkan hitungan per buah walaupun itu satu
sisir. Ada juga pedagang memberi harga, berapa banyak pun yang
dibeli, harganya tetap sama, tidak menjadi lebih murah.
Logika dagang ini juga terkadang masuk dalam bidang
pendidikan. Jika ada 2 anak kandung yang sekolah dalam satu
yayasan, maka biaya SPP-nya dimurahkan. Jika satu anak misalnya
SPP per bulannya Rp. 100.000, maka kalau 2 anak kandung, maka
SPP per bulannya Rp. 90.000. Jika tiga anak kandung, SPP per
bulannya Rp. 85.000. Logika ini sah sah saja. Banyak juga sekolah
melakukan berapa pun banyaknya yang sekolah dalam sebuah
yayasan, biaya SPP tidak berubah.
Ada juga dalam rekrutmen peserta didik, sekolah memberi jasa
kepada siapa saja yang membawa murid mendaftar dalam sebuah
sekolah. Membawa satu murid mendapat jasa Rp. 50.000. Dengan
cara demikian, ada orang yang tertarik mencari murid untuk
dibawakan mendaftar ke sekolah itu. Logika dagang ini sekalipun
dinilai benar, namun pada prinsipnya “dagang pendidikan” tidaklah
ideal. Lembaga pendidikan yang dinilai berkualitas, tentu tidak
membutuhkan biro jasa bahkan pada umumnya dia akan kebanjiran
pendaftar, sehingga ia dengan leluasa bisa menyeleksi murid-murid
terbaiknya. Dengan demikian, yang menggunakan “biro jasa”
rekrutment murid kualitas pendidikannya tidak baik.
Filsafat sering disebut dengan berpikir, sehingga jurusan
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, shalih disebut dengan Filsafat
Islam. Kalau akal bisa diibaratkan dengan perangkat keras (hard ware),
maka pikiran bisa dijadikan soft ware. Hasil kerja akal bisa disebut
dengan pikiran.
Apa saja yang dihasilkan pikiran? Secara sistematis bisa
dikatakan bahwa pikiran mencoba mengomentari, mempersoalkan,
membahas, dan juga menjawab pertanyaan dasar what, who, where, when,
why, dan how (5 W & H) dan juga pertanyaan turunan dari yang enam
tersebut.
Apa saja yang harus dipersiapkan oleh seorang calon haji?
Mereka harus menyiapkan mental spritual, kecukupan ekonomis,
mental psikologis, kesehatan, dan lain-lain. Siapa saja yang berhak masuk
surga kelak? Mereka yang pahalanya lebih berat daripada dosanya, mereka
para Rasul dan nabiNya, mereka yang tergolong dalam orang-orang
bertakwa, mereka yang tergolong dalam orang-orang yang beriman
(al-mu’min bukan amanû). Dimanakah letak surga itu? Al-Qur’an dan juga
hadits tidak menyebutkan tempat itu berdasarkan arah mata angin dan
letak geografisnya, hanya saja disebutkan bahwa surga suatu tempat
yang serba nikmat, diperuntukkan untuk hamba- hamba Allah SWT

yang bertakwa.14 Akal manusiapun sampai saat ini belum berhasil


secara logis menjawab hal itu. Kapan manusia ini masuk surga dan
neraka?. Surga dan neraka akan dihuni pada hari kebangkitan (qiyâmah).

14
Baca ( Q.S. Ali Imran /3 : 133)
Tahun berapa dan berapa tahun lagi dunia ini akan kiyamat?. Al-
Qur’an dan hadits tidak memberi informasi dan juga hasil kerja akal saat
ini belum menjangkau hal itu. Bagaimana caranya agar kita bisa masuk
surga?. Secara teoretis, mengerjakan perintah Allah SWT, dan
meninggalkan laranganNya akan membawa hamba Allah masuk
surga. Apakah mungkin ada manusia yang melaksanakan semua perintah
Allah dan meninggalkan semua laranganNya?. Secara teoretis, tidak
ada, karena manusia bukan malaikat yang hanya memiliki ketaatan
dan juga bukan iblis yang hanya memiliki pengingkaran
terhadapNya. Untuk itulah Allah SWT. menyediakan amunisi istighfâr
(permohonan ampun) dan taubat (”sertifikat” tidak akan
mengulangi perbuatan dosa).
Semua pertanyaan dan jawaban di atas dapat dimasukkan
dalam filsafat dalam pengertian berpikir. Namun bisa jadi orang yang
sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tidak sedang
berfilsafat, jika aktivitas berpikir tidak ada sama sekali. Ada orang
hanya mengandalkan hapalan luar kepala ataupun aktivitas akal hanya
sebatas mengingat (recall: remember) yang ada di akal.
Ada kalanya orang tidak berpikir, tetapi mengemukakan
hasil pemikiran orang lain. Berfilsafat adalah murni kegiatan
berpikir bukan mengemukakan hasil berpikir orang lain.
Sungguh ulama yang menyimpulkan rukun Islam itu ada lima,
walaupun materi dan inspirasinya dari hadits. Penyebutan
rukun Islam itulah yang menjadi istimewa dan merupakan
produk berpikir. Sungguh kegiatan berpikir yang filosofis,
Abdul Qodir al-Jilani membagi manusia berdasarkan hati dan
lidah. Ada manusia yang tidak punya hati dan lidah. Mereka
itulah yang tidak perduli dengan kebenaran dan kebaikan. Ada
manusia yang tidak punya hati, tapi punya lidah. Mereka itulah
adalah orang terpelajar, tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Ada
yang tidak punya lidah, tapi punya hati. Mereka yang banyak
diam ketimbang berbicara yang tidak perlu, tetapi mereka
orang-orang yang baik. Ada manusia yang punya hati dan lidah.
Mereka itulah manusia yang ideal, punya pengetahuan dan
mengamalkannya untuk kebaikan.
Sadar atau tidak pengetahuan kita sudah banyak yang
dikeluarkan tanpa melalui proses berpikir dan mengingat. File-file yang
telah dihapal luar kepala, sehingga pemaanggilannya tanpa proses
memori lagi. 88 % otak bekerja tanpa melalui proses berpikir,
sementara yang melalui proses berpikir itu hanya 12 %.15
Dalam berbicara, mengungkapkan huruf, kata, dan kalimat
ketika berkomunikasi sehari-hari banyak sekali yang tidak lagi
dilakukan melalui proses berpikir. Untuk itulah kita sangat lancar
berbicara dan bahkan speed-nya sangat cepat. Itulah yang kita kenal
dengan istilah hapal luar kepala alias tidak melalui proses mengingat.
Pengetahuan memang harus diusahakan agar keluar dari sistem memori
dalam pengertian keluar dari gudang memori agar memori itu bisa
terisi lebih banyak atau untuk mempermudah proses recall.
Orang yang mengemukakan pemikiran filsafat tidak selamanya
linier dengan berfilsafat. Bukankah mengatakan ”Tuhan itu Satu” adalah
pemikiran filsafat, tetapi bukankah lebih banyak ungkapan itu
dikemukakan berdasarkan pengulangan apa yang dikatakan orang,
yang sama sekali tidak membebani kerja keras akal kita. Perlu
digarisbwahi bahwa ketika akal hanya bekerja untuk sekedar mengingat,
maka itu tidaklah termasuk berfilsafat dan apalagi akal tidak bekerja

15
Andri Hakim, Hypnonis in Teaching, (Jakarta: Visimedia, 2010),hal.27
karena sudah masuk ranah yang automatic (hapal luar kepala). Setiap kali
akal terlibat dalam berpikir yang bukan sekedar mengingat, maka itu
boleh saja termasuk berfilsafat walaupun dalam pengertian yang
sederhana karena tidak semua aktivitas berpikir termasuk dalam
kriteria berpikir nalar karena tidak mengikuti alur berpikir filsafat.
Kata berfikir berasal dari bahasa Arab, yang asal asulnya dari kata
” fa,ka, dan ra”. Jika ditelusuri di dalam al-Qur’an, kata yang dibentuk
dari fa,ka, dan ra, ada dalam 14 Surah dan 19 ayat. Kesembilan belas
ayat tersebut memang cenderung dipahami bahwa berpikir dalam
pengertian filsafat. Artinya berpikir yang mendalam dan logis
setingkat dengan nalar ilmia.

AYAT-AYAT YANG BERASAL DARI FA,KA, DAN RA

N Surah dan Jumlah


o Ayat Ayat
1 Al-Baqarah: 219,266 2
2 Ali Imran: 191 1
3 Al-An’am: 50 1
4 Al-A’raf: 176, 184 2
5 Yunus: 24 1
6 Al-Ra’d: 3 1
7 Al-Nahl: 11, 44, 69 3
8 Al-Rum: 8,21 2
9 Saba: 46 1
1 Al-Zumar: 42 1
0
1 Al-Zasyiah: 13 1
1
1 Al-Hujrat: 12 1
2
1 Al-Hasr: 21 1
3
1 Al-Mudatstsir: 18 1
4
Jumlah 19 Ayat

A. Filsafat: Pengenalan Definisi


Filsafat dalam bahasa Indonesia menurut Harun Nasution
tidak menunjukkan berasal dari bahasa Arab dan juga tidak dari bahasa
Inggris. Dalam memahami filsafat, di bawah ini dikemukakan beberapa
definisi dan komentar para ahli.
1. Pythagoras (572-497 SM) orang pertama yang
mengemukakan kata filsafat. Ia mendefinisikan filsafat, cinta
kebijaksanaan. Ada tiga tipe manusia menurutnya, mereka yang
mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan
mereka yang mencintai kebijaksanaan. Jadi filsafat berada pada
tipe terakhir yang mencintai kebijaksanaan.16
2. Plato (427-347 SM) mendefinisikan filsafat untuk menemukan
kebenaran yang absolut.17
3. Aristoteles (384-332 SM), tokoh filosof klasik, mendefinisikan

filsafat menyelidiki penyebab utama segala maujud. 18 Karena itu


ia menamakan filsafat dengan teologi.
4. Al-Farabi (w. 950 M) mendefinisikan filsafat dengan ilmu tentang
alam yang maujud dan bertujuan menyelediki hakekat

16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 6-7
17
Ibid, hal. 7. Plato menyebut filsafat dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi.
Baca Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Cet. V, (Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2003),
hal. 2
18
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 7
sebenarnya 19(al-’ilmu bi al-maujudât bimâ hiya al-maujudât).20
5. Ibn Rusyd (1126-1198 M), filsafat atau hikmat merupakan
pengetahuan yang otonom yang dikaruniai akal.21
6. Imanuel Kant ( 1724-1804 M), filsafat itu ilmu dasar segala
pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan
antropologi. Metafisika menjawab pertanyaan, apa yang dapat
kita ketahui?. Etika menjawab persoalan apa yang boleh kita
kerjakan? Agama menjawab sampai dimanakah pengharapan
kita? Sedangkan antropologi menjawab pertanyaan apakah
yang dinamakan manusia?22
7. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana, filsafat adalah berpikir
dengan insaf. Berpikir dengan insaf berarti berpikir dengan
teliti menurut aturan yang telah ditentukan.23
8. Deng Fung Yu Lan, filosof dari dunia Timur mengatakan
bahwa ”filasafat adalah pikiran yang sistematis dan reflektis
tentang hidup”.24
9. H. Hamersama mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan
metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh
kenyataan. 25

10. Harun Nasution mendefinisikan filsafat, ”berpikir menurut tata


tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma,
dan agama), dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai
19
Endang Saifuddin Ansori, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Cet. VII, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), hal. 83
20
Asmoro Achmadi, Filsafat…, hal. 2
21
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 8
22
Ibid
23
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 8
24
Ibid, hal. 9
25
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 9
ke dasar-dasar persoalan.”26
11. Sidi Gazalba, filsafat adalah berpikir secara mendalam,
sistematis, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran segala sesuatu yang ada.27
12. Cicero, filsafat the mother of all the arts (induk dari seni
kehidupan).28
13. Rene Descartes, filsafat merupakan kumpulan semua
pengetahuan dan pokok pembahasannya tentang Tuhan,
alam, dan manusia.29
14. Francis Bacon, filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu.30
15. Jhon Deweu, filsafat adalah alat adaptasi budaya.31
Kalimat filsafat yang dalam bahasa Arabnya al-falsafah tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an. Tetapi melihat filsafat yang berasal

dari fhilo shopos yang berarti ilmu atau hikmah.32 Al-Syaibani


mengatakan filosof adalah orang yang bijaksana. Orang yang bijaksana
itu tidak selamanya karena memiliki tingkatan akademik seperti

Profesor Doktor.33 Ada juga orang yang bergelar Profesor Doktor,


tetapi tidak bijaksana, ia hanya ”bijaksini”34

26
Ibid
27
Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 316
28
Asmoro Achmadi, Filsafat…,hal. 2
29
Ibid , hal. 3
30
Ibid
31
Ibid
32
Menurut al-Syaibani, FIlsafat itu bukan hikmah, tetapi cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya. Omar al-Taumi al-
Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan Langgulung, 1979), hal. 25
33
Ibid, hal. 26
34
Bijaksini untuk mengatakan hanya memikirkan keuntungan pribadi atau kelompok
tertentu.
Dari arti asal-usul kata filsafat dan sebagaimana diutarakan oleh
al-Syaibani, maka dapat ditelusuri bagaimana al-Qur’an
menggunakan kata hikmah dan derivasinya. Kata hikmah dan
derivasinya ditemukan 108 kali dalam 96 ayat. Dan kata hikmah
dalam bentuk nakirah hanya ditemukan dalam satu ayat pada Surah
al-Qomar/54: 5. Adapun al-hikmah dalam bentuk ma’rifah ditemukan
5 kali dalam 4 ayat, yaitu: al-Baqarah/2: 269, al-Isra/17:39,
Luqman/31:12, Shadd/38:20 .

Artinya, “itulah suatu hikmah yang sempurna maka


peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka)”.(Q.S. al-
Qomar/54: 5)
Hikmah dalam ayat di atas ditafsirkan oleh al-Maraghi
sebagai petunjuk dan bimbingan ke jalan yang benar yang
diberikan oleh orang-orang yang menggunakan akal dan tidak
mematuhi hawa nafsu.35
Dari uraian al-Maraghi di atas dapat dipahami bahwa
filsafat selain mempersoalkan hasil pemikiran, juga
mempersoalkan yang memiliki pemikiran tersebut. Hal ini
sesuai dengan arti aslinya, cinta kebijaksanaan dan cinta
kebenaran. Pikiran yang benar, tetapi orang yang
mengutarakan atau menulisnya ”tidak benar”, maka tidak
dapat disebutkan filsafat. Filsafat dalam makna ini mengikuti

35
Ahmad Musthafa la-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar,
dkk, Juz. 27, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 138-19
jargon, “undzur mâ a qâla wan man qâla: lihat apa yang
dibicarakan sekaligus melihat siapa yang membicarakannya.”
Makna ontologis filsafat berhubungan dengan konsep
moral. Seorang yang dianggap filosof, tetapi integritasnya
rendah, bisa saja terjebak pada ”kolusi intelektual” dengan
orang-orang yang punya kepentingan. Hal ini sering terjadi
pada politisi. Politisi jika berbicara sarat dengan kepentingan
partainya, sehingga susah dipercaya. Jika demikian, para filosof
yang berpartai, maka dengan sendirinya, ”pengsiun dari filosof
” atau ”cuti jadi filosof. ”
Di dalam Surah al-Isra/17: 39 dengan jelas Allah
menyebut orang yang diberikan hikmah itu diberi nama “alu al-
albâb”. Dengan demikian tidak salah, jika ada orang
mengatakan istilah filosof di dalam Islam menggunakan ulu al-
albâb. Kemudian di dalam Surah Luqhman/31: 12 Allah
menyebutkan Luqman adalah orang yang diberi ”hikmah”.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Luqman adalah filosof
dan pemikiran-pemikirannya yang abstrak logis dengan
sendirinya juga disebut filsafat. Selain itu, Allah juga berfirman
dalam Surah al-Sad/38:20 bahwa Nabi Daud diberikan
hikmah. Dengan demikian, Nabi Daud a.s. juga berhak disebut
filosof. Alasan pemberian hikmah itu dijelaskan oleh Allah
SWT. karena Nabi Daud sangat taat kepadaNya (awwâb).36 Al-
Maraghi ketika menafsirkan ketaatan Nabi Daud, mengatakan
bahwa Nabi Daud a.s. bangun selama sepertiga malam dan
berpuasa setengah tahun setiap tahunnya.37

36
Baca ( Q.S. Shaad/38:17)
37
Ahmad Musthafa la-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar,
dkk, Juz. 27, Cet. II, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 191
Siapa alu al-albâb itu? Menurut A.M. Saefuddin
sebagaimana dikutip Muhaimin, alu al-albâb adalah ”pemikir
intelektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala
dan proses alamiah dengan metode ilmiah induktif dan
deduktif, serta intelektual yang membangun kepribadian dzikir
dalam keadaan dan situasi apapun, sehingga mampu
memanfaatkan gejala, proses, dan sarana ilmiah ini untuk
keselamatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.”38
Pemahaman A.M. Saefuddin ini berdasarkan Q.S. Ali Imran/3:
190-191. Alu al-albâb yang kemudian kita katakan filosof, tidak
pernah berhenti berpikir dan berdzikir.
Menurut Jalaluddin Rahmad dalam Islam Alternatif:
Ceramah-Ceramah di Kampus, ada lima tanda ulu al-albâb :
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu, termasuk di
dalamnya kesenangan mensyukuri nikmat Allah di
langit dan di bumi (Q.S. Ali Imran/3: 7 dan 190;
2. Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik,
kemudian ia pilih yang baik, walupun ia harus sendirian
mempertahankannya dan kejelekan itu dipertahankan
banyak orang (Q.S. al-Maidah/5 : 100);
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai
menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil
yang dikemukakan oleh orang lain (Q.S. al-Zumar/39:
18);
4. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain
untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia

38
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa, 2010),
hal. 268
memberikan peringatan kepada masyarakat,
diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka
kalau terjadi penyimpangan, dan diprotesnya kalau
terdapat ketidakadilan, ia tidak duduk berpangku
tangan di laboratorium, ia tidak senang hanya terbenam
dalam buku-buku di perpustakaan, ia tampil di hadapan
masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki
ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat (Q.S.
Ibrahim/14: 52, al-Ra’d/1: 19-22); dan
5. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah (Q.S.
al-Baqarah/2: 197 dan al-Thalaq/65:10)

D. Ciri-Ciri Filsafat
Ada empat ciri utama filsafat sebagaimana dikemukakan
Ahmad Tafsir, yaitu logis, sistematis, radikal, dan universal.
Ciri lainnya abstrak, spekulatif, dan skeptis.

Logis
Dari empat ciri utama filsafat di atas hanya satu yang
memiliki disiplin ilmu tersendiri, yaitu logika. Tidak ada disiplin
ilmu sistematika, radikal, dan universal.
Logika berasal dari bahasa Latin, yaitu logos yang artinya
perkataan atau sabda. Dalam bahasa Arab disebut Mantiq yang
berasal dari kata nathaqo, berarti berbicara. Poespoprodjo dan
Gilarso mengutip bahwa logika the science and art of correct
thinking (ilmu dan seni berpikir yang benar). Dengan demikian,
logika tidak sekedar mengatur tata cara berpikir yang benar, tetapi
juga mengatur seni bepikir yang benar.
Logika sebagai ilmu mencakup metode dan hukum berpikir
yang benar. Metode dan hukum berpikir itu juga mengandung seni
berpikir
Ilmu logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium
abad ke-5 SM. Perintis lahirnya logika adalah kaum sofis Socrates,
dan Plato. Sementara ilmu logika lahir atas jasa Aristoteles,
Theoprostus dan kaum Stoa.
Menurut Zeno sesuatu yang menempati suatu tempat tidak
disebut bergerak, tetapi diam. Baginya tidak ada yang bergerak,
jika yang bergerak itu pada saat tertentu menempati tempat.
Dengan kata lain, menurut logika Zeno, yang bergerak itu adalah
bergerak selamanya dan tidak pernah diam. Begitu juga logika
Zeno, tidak ada yang disebut banyak. Sebab banyak harus bisa
dibagi. Bagiannya pun bisa dibagi, begitu dan seterusnya. Dengan
kata lain, menurut logika Zeno, yang banyak itu sesuatu yang tidak
habis dibagi. Mungkin yang banyak baginya seperti nikmat Allah
yang uncountable noun. Dalam bahasa al-Farmawi bighari hasri wa
biduni `adadi wa wazni (tidak terbatas, tidak terhitung dan
terbandingkan).
Zeno juga mengatakan tidak ada ruang. Jika Yang ada
berada dalam ruang, maka ruang itu berada dalam ruang, ruang
yang kedua pun berada dalam ruang, ruang yang ketiga pun
berada dalam ruang, dst.
Terhadap pendengaran, Zeno mengatakan tidak melahirkan
kebenaran. Jika sekarung gandum jatuh, bunyinya kedengaran,
maka satu butir gandum pun jatuh akan kedengaran, sebab
sekarung gandung terdiri dari sejumlah butir gandum.(Hatta, h. 25.
Logika Zeno hanya populer selama 4 tahun saja, yaitu tahun
464-460 SM. Dia melawan pikiran-pikiran filosof lainnya. Selama 4
tahun pemikirannya memang diminati dan populer.
Menurut Muhammad Hatta, walaupun logika berpikir Zeno
itu dianggap kalau, tetapi tidak bisa dibantah ada benarnya. Seperti
bergerak hanya dalam waktu tertentu saja. Pada saat yang
dikatakan bergerak menempati tempat, maka dia disebut diam.
Aristoteles dikenal sebagai Bapak Logika. Ajarannya
logikanya kelak dilanjutkan oleh muridnya Theprostus. Menurut
Aristoteles, logika adalah berpikir secara teratur berdasarkan
hubungan sebab akibat.(Hatta,h. 121). Nama logika itu diberikan di
kemudian hari. Sementara Aristotels hanya menyebut namanya
dengananalytica. Sementara inti ajaran logikanya adalah
sylogismos.
Logis menurut pengalaman penulis dalam mengajarkan
mata kuliah yang ada hubungannya dengan filsafat, sering
dijawab dengan masuk akal. Jika ditanyakan bagaimana
mengukur masuk akal itu, biasanya sudah bermacam-macam
jawabannya, apalagi yang belum belajar logika sebagai disiplin
ilmu. Sesuatu dapat dikatakan logis berdasarkan teori-teori
logika.
Di antara teori-teori logika dikenal generalisasi, definisi,
asumsi, posibility, kausalitas, klasifikasi, khusus dan umum,
dilema, dan sebagainya. Apa pendapat Anda jika orang
mendefinisikan bahwa wanita adalah manusia yang lembut.
Apakah yang tidak lembut lantas bukan wanita dan apakah
laki-laki yang lembut lantas akan disebut wanita.
Apa pendapat Anda jika ada yang mendefinisikan
bahwa wanita adalah yang bisa melahirkan. Apakah yang
kenyataanya mandul dan tidak bisa hamil bukan perempuan
dan bagaimana wanita yang sampai akhir hayatnya tidak
menikah apakah akan disebut bukan wanita. Sebagian
mahasiswa ada yang mendefinisikan wanita adalah yang
memiliki payudara. Apa benar bayi wanita sudah punya
payudara? lantas mereka itu tidak disebut wanita. Itu semua
sebagian bukti bagi kita bahwa mendefinisikan sesuatu harus
mengikuti teori definisi. Apa pendapat Anda, jika wanita
didefinisikan secara biologis adalah yang memiliki alat kelamin
vagina (V). Adakah celah kita untuk menggugat definisi itu?
Karena salah satu jenis definisi sebagaimana ditulis M.N. al-
Attas, bi al-hadd (pembatasan). Jika kita ingin mendefesikan
wanita, maka sebutkanlah sesuatu yang dimiliki wanita dan
mustahil dimiliki oleh selain wanita. Tidak jarang kita
berhasil “berilmu” tetapi tidak berhasil “berfilsafat” dalam hal
definisi. Ketika kita memperlihatkan kursi pada mahasiswa,
kita bertanya apa yang ia lihat. Dengan cerdas, ia menjawab
kursi. Memang ada karena pengaruh faktor bahasa daerah,
terkadang menyamakan kursi dengan bangku, sehingga kursi
tetap ia katakan bangku, sebagaimana penulis alami sebagai
orang Tapsel sewaktu di SD. Namun ketika kita bertanya
kepada mahasiswa, apa itu kursi? Biasanya mereka tidak
secerdas membahasakan penglihatannya tadi. Ada yang
mengatakan, kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari
kayu. Setelah dia ingat, bahwa ada kursi dari besi, ia lalu
menambahkan bahwa kursi adalah tempat duduk yang terbuat
dari kayu dan besi. Setelah ia sadar kembali, bahwa ada juga
kursi yang terbuat dari aluminium, dengan menertawakan
kebodohannya ia kembali menambahkan bahwa kursi adalah
tempat duduk yang terbuat dari kayu, besi, dan aluminum.
Setelah ia sadar bahwa kursi ternyata tidak saja terbuat dari
bahan kayu, besi, dan aluminum, tetapi ada juga dari karet,
maka dengan sedikit malu ia menyudahi jawabannya dengan
pertanyaan, “lantas kursi itu apa dong pak?”
Berhubungan dengan definisi, ada juga mahasiswa yang
setengah kesal ketika penulis memperkenalkan filsafat dari
indikator atau ciri-cirinya, lantas bertanya, “Apa sebenarnya
definisi filsafat Pak?” Untuk mengurangi kekesalannya, saya
berikan definisi singkat, “filsafat adalah cinta kebijaksanaan”.
Dengan sikap sedikit mulai malu, ia kembali mengajukan
pertanyaan, “maksudnya Pak?” Hal itu menunjukkan bahwa
membuat definisi tidaklah mudah. Problematika membuat
definisi kata Juhaya S. Praja, tidak semua orang sependapat
dengan definisi yang diajukan, tidak jarang juga definisi itu
tidak mewakili semua yang di definisikan seperti yang terjadi
di atas ketika mendefinisikan kursi. Perbedaan redaksional
dalam mendefinisikan sesuatu sudah lumrah dan bahkan
substansi antara satu definisi dan definisi yang lainnya bisa
juga berbeda.
W. Poespoprodjo dan Gilarso menulis bahwa ada dua
jenis definisi, yaitu nominal dan riil. Yang nominal itu ada
berupa sinonim. Contohnya mendefinisikan kongres dengan
musyarawah. Motif dengan alasan. Yang lainnya adalah
etimologi. Etimologi (lughawi) membahas dari asal-usul istilah.
Contoh, filsafat berasal dari philos berarti cinta dan shopos
artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Definis riil ada tiga jenis. Pertama, dari sifat khas atau
hakiki (definisi logis/esensial). Contoh, kuda adalah sejenis
binatang yang dapat ditunggangi manusia dan berlari cepat.
Kedua, definisi deskripsi, yaitu kumpulan dari sifat. Contoh,
cinta kasil adalah sabar. Cinta kasih itu murah hati. Cinta kasih
itu tidak angkuh. Definisi deskriptif itu bisa alternatifnya bisa
banyak selagi menyebutkan sifat-sifatnya. Jadi cinta kasih bisa
didefinisikan dengan banyak kalimat yang menjadi ciri-cirinya.
Ketiga definis kuasal atau final yang menyebutkan sebab-sebab
atau tujuan. Contoh, gerhana bulan adalah kehilangan sinar
pada bulan disebabkan bumi berada diantara bulan dan
matahari.
Ajaran Islam itu logis, untuk itulah ketika ayat-ayat al-
Qur’an itu tidak dipahami maknanya, maka dilakukan ta’wîl
yang dalam ilmu bahasa Arab atau dikenal dengan majâz
(metafora).39 Memang dalam memahami ayat-ayat yang
mutasyabihât,40 ada ulama yang menta’wilkannya agar dia logis,
tetapi ada juga yang menganggap tindakan itu bagian dari
bid’ah seperti pendapat Imam Malik.
Menurut Quraish Shihab, setidaknya ada dua
argumentasi mereka yang menolak pemahaman metoforis.
Pertama, metafora sama dengan kebohongan, sedangkan al-
Qur’an adalah firman Allah yang suci. Kedua, seseorang tidak

39
Quraish Shihab, “Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual” dalam
bunyi Munawar Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
( Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 4
40
Ayat-Ayat yang mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maknanya karena tidak
ditemukan dalil yang kuat untuk memahaminya. Baca Subhi al Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Terjemahan. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001),hal. 372
akan menggunakan metafora kecuali jika ia tidak mampu
menemukan kosakata yang bersifat hakiki, dan tentunya harus
diyakini bahwa Allah Maha Mampu atas segala sesuatu.41
Mari kita berikan contoh bahwa ayat al-Qur’an
mengikuti kaidah logis. Dalam Surah Hud/11:6, dapat
dipahami bahwa Allah lah sesungguhnya yang memberikan
rezeki, semua makhluk hidup termasuk manusia. Yang
memberi rezeki sesungguhnya bukan lah manusia itu sendiri.
Jika manusia yang memberi rezeki, maka tidak dikenal
konsep, “tidak disangka-sangka : min haitsu la yahtasib” dan
tidak ada juga konsep “nasib”. Bagaimana seorang guru
memiliki gaji Rp. 200.000 per bulan di salah satu sekolah Taman
Kanak-Kanak masih tetap bisa hidup, sementara harga cabai
Rp. 100.000/ Kg. Untuk itulah kita mengenal pepatah, manusia
yang berusaha, tetapi Tuhan yang menentukan. Tindakan logis
adalah berusaha dan keberhasilannya urusan Tuhan

Sistematis
Agak sering mahasiswa berhasil memahami sistematis
dengan mengatakan “beraturan”. Ketika disebut angka
1,2,3,4,5-10 mereka menyahut itu sistematis.Tetapi ketika
disebut angkat terbalik dari 10,9,8-1, tidak jarang sudah mulai
mereka ragu apakah itu sistematis atau tidak. Ada yang
mengatakan sistematis dengan yakin dan ada yang ragu-ragu
dengan menggunakan bahasa “suara semakin kedalam”, nada
tinggi munuju rendah, dan ada juga yang ragu dan diam
dengan tidak berkomentar (abstain dengan suara). Ketika
41
Quraish Shihab, “Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual “
Dalam Budyi Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi…, hal. 4-5
disodorkan angka 2, 4, 6, 8, 10 dan 3, 6, 9, 12, mereka kembali
dengan yakin itu sistematis.
Sistematis tidak salah dipahami sebagai beraturan atau
memiliki aturan. Urutan angka-angka pertama di atas
sistematis berdasarkan sistematika bilangan asli dari 1-10.
Urutan angka-angka kedua sistematis berdasarkan sistematika
bilangan asli dari 10-1. Urutan angka-angka ketiga sistematis
berdasarkan sistematika kelipatan 2 dari 2-10 dan yang terakhir
sistematis berdasarkan sistematika kelipatan 3 dari 3-12.
Bagaimana kalau ada orang yang mengikuti jenjang
pendidikan SD, SMP, SMA, tentu sistematis. Jika terbalik SMA,
SMP, dan SD, tentu tidak sistematis. Bagaimana kalau ada yang
sekolah SMA dua tahun? Tetap sistematis jika sistematikanya
program akselerasi. Apa pendapat Anda jika guru fiqih pada
pertemuan pertama membahas materi sholat. Pertemuan kedua
masalah haji. Pertemuan ketiga masalah warisan. Pertemuan
keempat masalah pernikahan. Pertemuan selanjutnya masalah
warisan. Pertemuan berikutnya pembahasan pernikahan.
Kemungkinan besar Anda bisa menilai itu tidak beraturan.
Yang seperti itu tidak sistematis atau pembahasannya tidak
sistematis.
Dalam perkumpulan orang terpelajar pun tidak jarang
terjadi pembicaraan yang tidak sistematis apalagi dalam
perkumpulan orang yang tidak terpelajar. Adakalanya suatu
acara kegiatan sudah memiliki urutan-urutan, tetapi tidak
semua urutan acara itu sistematis. Di dalam prinsip kurikulum
ada yang dikenal dengan squence (keberurutan), akan tetapi
tidak semua mata kuliah itu memiliki squence yang sistematis.
Belajar mata kuliah logika sebelum belajar mata kuliah filsafat
umum bisa jadi sistematis karena teori-teori logika sangat
dibutuhkan dalam memahami kebenaran filsafat umum. Belajar
mata kuliah Filsafat Ilmu sebelum belajar mata kuliah Filsafat
Umum bisa jadi tidak sistematis, karena ketika mengajar
Filsafat Ilmu, wawasan filsafat harus dimiliki mahasiswa secara
memadai, sehingga lebih mudah masuk ke Filsafat Ilmu.

Efek Kesalahan Sistematis


Apa pendapat Anda, jika seseorang berwudu’ dimulai dari
membasuh sebagian kepala, kemudian dua tangan, kemudian
kedua kaki, kemudian muka? Bandingkan dengan susunan
acara Wisuda Sarjana di STAIN Malikussaleh:
1. Pembacaan Ayat Suci al-Qur’an
2. Orasi Ilmiah
3. Pelantikan Sarjana
4. Hiburan
5. Do’a
Seseorang yang akan membawa sepeda motor, apa
pendapat Anda, jika ia memasukkan gigi dua (speed), kemudian
menghidupkannya dengan starter sembari memutar gas dengan
kencang. Apa juga pendapat Anda jika presiden itu dilantik
dulu baru diadakan pemilihan presiden. Jika presiden yang
dilantik itu kalah dalam pemilihan, maka dipaksa turun
dengan dilempari batu.
Pertama, berhubungan dengan urutan anggota tubuh
yang dibasuh dalam berwudu’ Anda mengatakan tidak
sistematis dan sistematikanya salah, sehingga wudu’ itu tidak
sah. Kedua, tentang susunan acara wisuda di atas, setuju atau
tidak, itu sistematika yang ditentukan oleh panitia wisuda.
Ketika ingin dirubah susunannya, hiburan di akhir, itu juga
tetap sistematis. Karena sistematika susunan acara wisuda
berbeda secara epistemologis dengan sistematika wudu’.
Ketiga, sistematika menghidupkan sepeda motor bisa berakibat
kecelakaan fisik. Keempat, sistematika suksesi presiden di atas
biadab.
Ada sistematika yang sudah diatur dan tidak boleh
dirubah dan ada sistematika boleh berbeda dan bahkan ada
yang boleh dirubah. Sistematika shalat wajib menggunakan
bahasa Arab tidak boleh dirubah, tetapi berdo’a sistematikanya
tidak diwajibkan berbahasa Arab. Sistematika ayat al-Qur’an
tidak boleh dirubah dan sisi huruf, kata, ayat, surah, dan
juznya. Tetapi memahami ayat al-Qur’an boleh berbeda dan
boleh juga dirubah, tetapi tetap dalam kerangka “Menafsirkan
Kehendak Tuhan” sebagaimana dikatakan Komaruddin
Hidayat.
Mari kita melihat Surah al-Maidah/5:6, tentang urutan
anggota tubuh yang dibasuh ketika berwudu’ sangat sistematis
dikemukakan oleh Allah. Membasuh muka, kedua tangan
sampai siku, membasuh “kepala”, dan kedua kaki sampai mata
kaki. Kita bisa juga lihat Surah al-Baqarah/2:196 tentang cara
membayar fidyah bagi yang berhaji tamattu’, berpuasa di
Mekah tiga hari dan tujuh hari ketika sudah pulang dari haji
dan jumlahnya sepuluh hari. Dan banyak lagi ditemukan
dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang diutarakan secara sistematis.
Pasca Presiden Seoharto, jabatan presiden dibatasi hanya
dua periode saja. Sistematikannya ada dalam amandemen UUD
tahun 1945, pasal 7. Tahun 2022, ada presiden yang sudah
menjabat dua kali 2014-2024, diwacanakan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab untuk mencalonkan periode ketiga.
Itulah yang tidak sistematis. Sebab sistematikannya presiden
sejak tahun 1999 hanya boleh menjabat dua periode saja.
Kontan, wacana mengundang demostrasi mahasiswa besar-
besaran.
Radikal
Radikal bisa dipahami sebagai pemikiran yang
mendalam dan mendasar. Apa benar radikal pikiran orang
musyrik ketika memberi argumentasi bahwa mereka
menyembah berhala karena nenek moyang mereka
menyembah berhala. Bukankah berhala mereka itu kata Nabi
Ibrahim A.S. ketika dipanggil, ia tidak menjawab. Berhala
mereka itu tidak memberi manfaat dan tidak juga
mendatangkan marabahaya. Apakah radikal, orang Nasrani
yang mengatakan Nabi Isa A.S. itu anak Tuhan, padahal Tuhan
tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bukankah yang beranak
itu makhluk bukan khaliq. Apakah radikal orang yang
berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah yang
mengarang al-Qur’an, padahal dia ummi dan tidak punya guru.
Siapa guru Nabi Muhmmad Saw, sehingga ia bisa melahirkan
karya yang teorinya tidak pernah usang dan selalu relevan di
setiap zaman dan waktu. Bukankah orang tua yang umunya
berpartisipasi dalam mendidik anaknya, sementara bapaknya
Abdullah telah meninggal sewaktu beliau masih dalam
kandungan. Sementara itu ibunya Aminah meninggal pada saat
beliau masih sangat kecil.
Bagaimana radikalnya penuturan al-Qur’an tentang
pengadilan Nabi Yusuf a.s. yang dituduh oleh Zulaikha telah
berusaha menodainya. Jika baju Nabi Yusuf A.S. robek dari
depan, maka benarlah Nabi Yusuf yang menggoda Zulaikha.
Sementara, jika robek dari belakang, maka Zulaikha lah yang
berbohong. Ternyata baju Nabi Yusuf a.s. sobek dari belakang,
sehingga logis bahwa Zulaikha lah yang menggoda Nabi Yusuf
A.S. dan beliau menghindari godaan itu.
Bagaiman radikalnya Nabi Ibrahim A.S. dalam mencari
tuhan. Pertama ia kira Tuhan itu bintang-bintang. Setelah
bintang-bintang menghilang, beliau tidak lagi prcaya bahwa
bintang-bintang itu Tuhan. Kemudian, bulan menampakkan
maujudnya dan ternyata bulan juga hanya menerangi
sementara waktu. Nabi Ibrahim A.S. menganggap bulan
sebagai Tuhan dan beliau minta petunjuk untuk keluar dari
kesesatan. Matahari terbit, kembali beliau menganggap ia
Tuhan, setelah terbenam, ia pun menyimpulkan Tuhan itu
yang menundukkan langit dan bumi.42
Apakah radikal pendapat yang mengatakan bahwa
Islam itu teroris, padahal Islam agama damai yang menebarkan
kedamaian. Jika yang menebarkan teror dan mengakhiri
sebagian nyawa orang yang tidak berdosa disebut teororis,
lantas disebut apa Negara yang secara sadar membunuh orang-
orang tidak berdosa akibat kebijakan perang terhadap negara
lain.

42
Baca (Q.S. al- An’am/6:74-79)
Tidak terburu-buru menarik kesimpulan adalah salah
satu kata kunci dari berpikir radikal. Menganalisa sebanyak
mungkin data dan fakta juga menjadi ciri lain dari berpikir
radikal. Hakim dalam pengadilan sudah semestinya berpikir
radikal, melihat fakta persidangan untuk memutuskan perkara.
Nomenklatur radikal dalam filsafat tidaklah sama
dengan bahasa politik. Dalam bahasa politik Barat, sepertinya
radikal digunakan bertindak keras terhadap kezhaliman.
Tindakan yang tidak kompromistis terhadap kebijakan Barat
sepertinya dinilai mereka sebagai tindakan radikal. Berteori
bukanlah mutlak otoritas Barat saja, tentu orang lain pun
berhak berteori. bukankah konsep qishas itu syari’at yang
tercantum dalam al-Qur’an. Qishas bisa jadi dipandang keras,
padahal membiarkan hidup pembunuh akan berakibat
terbunuhnya orang lain. Bukankah al-Qur’an mengatakan
membunuh satu orang manusia seakan–akan membunuh
semua orang. Dan menghidupkan seorang manusia seakan-
akan menghidupkan semua orang.43 Bukankah syariat qishas
dalam rangka supremasi antisipatif atas kehilangan jiwa
manusia secara sia-sia. Jangan-jangan ketika kita atau keluarga
kita orang yang mebunuh itu, kita tidak setuju dengan qishas.
Namun, jika keluarga kita yang terbunuh, kita menuntut
diberlakukan qishas. Bukankah itu perilaku hedonis yang tahu
enak dan untung saja. Itu “bijaksini” bukan bijaksana.
Kalau ada orang yang diragukan kejujurannya (fasiq),
maka jangan langsung percaya. Bukankah, banyak manusia
yang tidak jujur di zaman ini seiring dengan dekat-jauhnya dari

43
Baca (Q.S. al- Maidah/5:32)
Allah. Mempercayai berita tanpa klarifikasi ada kalanya akan
membawa fitnah. Kata pepatah, “tidak semua berita itu seperti
apa yang terjadi: laisa al-khabaru ka al-mu’dyanati”. Untuk itu al-
Qur’an dalam Surah al-Hujrat/ 49: 6, Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu”.

Universal
Universal bisa dikatakan konsep menyeluruh atau
mendunia. Artinya, semua manusia memiliki konsep yang
sama tentang hal-hal yang universal. Keadilan disebut konsep
universal karena semua manusia normal akan mengatakan
bahwa keadilan itu adalah baik terlepas apakah ia
mengamalkan atau tidak. Namun, kareana akibat dari
hegemoni budaya benda, banyak orang yang membenci orang
yang berbuat adil. Di dalam teori dilema, ada nasehat seorang
ibu terhadap anaknya yang akan berkecimpung dalam bidang
politik. Ibunya berucap, “jika engkau berbuat adil manusia
akan mebencimu, jika engkau berbuat tidak adil dewa-dewa
akan membencimu”.44
Bagaimana mengukur keadilan itu, bisa jadi tidak lagi
universal, karena melahirkan berbagai penafsiran. Berbicara
keadilan dalam Islam, sering mengemuka ketika membahas

44
Mundiri, Logika, hal.138
persoalan konsep poligami. Laki-laki boleh berpoligami kalau
bisa berbuat adil. Disini dapat dipahami bahwa manusia
berpotensi berbuat adil.45 Dalam ayat lain, Allah juga berfirman,
bahwa sama sekali manusia yang berpoligami tidak bisa
berbuat adil terhadap istri-istrinya.46
Ada yang memahami pembahasan keadilan di dua ayat
itu dalam konteks yang berbeda. Dalam konteks tidak bisa
berbuat adil itu, tidak ada yang berpoligami, hatinya dapat
seimbang dalam memandang istri-istrinya. Sangat logis bahwa
hati tidak bisa berbohong bahwa orang yang berpoligami akan
lebih mencintai istrinya yang lebih cantik dibandingkan dengan
istrinya yang jelek. Suami lebih suka terhadap istrinya yang
baik hati daripada istrinya yang jahat hati. Suami lebih
menyukai istrinya yang tulus melayaninya daripada istri yang
setengah hati melayaninya.
Dalam konsep filsafat, cantik juga universal. Laki-laki
yang normal menginginkan istri yang cantik dan sebaliknya
wanita juga menginginkan suami yang ganteng, siapapun dia.
Disini cantik tidaklah relatif, yang kebenarannya minimal dua.
Bagaimana mengukur kecantikan itulah yang relatif. Dilihat
dari warna rambut, bisa jadi ada yang menilai cantik itu
berambut hitam ataupun pirang. Dilihat dari bentuk rambut,
bisa jadi ada orang yang menilai yang cantik berambut keriting
ataupun yang lurus. Dilihat dari panjang rambut, bisa jadi
pandangan para pria berbeda-beda, ada yang memandang
rambut yang panjang itu cantik, sementara yang lain
memandang rambut pendek itulah yang cantik. Dilihat dari
45
Baca (Q.S. an-Nisa/4:3)
46
Baca (Q.S. an-Nisa/4:129)
ukuran panjang rambut, boleh jadi pria berbeda pendapat, ada
yang berpendapat rambut panjang sebahu itu yang cantik,
sementara yang lainnya sepanjang lutut. Dari sisi bentuk muka,
boleh jadi pria melihat yang lonjong itu cantik sementara yang
lainnya yang bulat. Dari sisi warna kulit, boleh jadi yang
berkulit putih itu dilihat pria yang cantik, sementara yang
lainnya yang berkulit hitam bersinar atau berkulit hitam manis.
Bagi pria yang memiliki tinggi badan 150 cm, bisa jadi melihat
wanita yang memiliki tinggi badan 200 cm itu cantik atau
sebaliknya. Boleh jadi pria melihat wanita yang langsing itu
cantik sementara yang lain melihat wanita di atas langsing dan
di bawah gemuk itu yang cantik, dan sebagainya.
Menurut Nurcholis Madjid, Islam agama universal
hampir sama kebenarannya dengan mengatakan ”bumi ini
bulat”.47 Universal dari ”uni versi” artinya bisa berarti sudah
sempurna. Islam memang benar agama yang
sempurna. Makna
48
universalitas Islam bersifat deduktif,
teologis, dan doktriner, bukan induktif dan empiris. 49 Ada tiga
alasan kenapa Islam dikatakan agama universal, yaitu: 1. secara
teologis, umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama
terakhir sebagai penyempurna agama-agama Allah
sebelumnya, 2. ajaran Islam cocok untuk setiap waktu dan
tempat sebagai pedoman hidup dalam meraih kebaikan di
dunia dan akhirat. 3. Islam menuntut umatnya untuk

47
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Cet. IV, (Jakarta: Paramadina,
2000) hal. 425
48
Baca (Q.S al- Maidah/5:3)
49
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Cet: II, (Jakarta: Teraju, 2004),
hal. 98
memperjuangkan agar menjadi agama satu-satunya di muka
bumi. 50
Indikator nomor satu dan tiga bisa saja tidak disetujui
oleh agama selain Islam, tetapi indikator kedua teorinya lebih
bisa diperdebatkan secara ilmiah.

Skeptis
Skeptis berarti ragu. Sikap skeptis dalam berfilsafat
berarti tidak mudah mempercayai suatu kebenaran sebelum ia
teliti secara cermat. Tidak terlalu percaya dengan janji-janji
calon anggota dewan dan juga calon kepala daerah, termasuk
janji-janji calon presiden. Tidak mempercayai semua kebenaran
bukanlah sikap skeptis. Tidak percaya pada semua janji caleg
dan kepala daerah bukanlah sikap skeptis yang dimaksud
dalam filsafat.
Ketika mengamati banyaknya manusia yang tidak takut
neraka, sikap skeptis itu barangkali bisa dikatakan, ”pada
dasarnya presiden itu tidak jujur, sampai ia membuktikan
dirinya jujur” dan bukan terbalik, ”pada dasarnya presiden itu
jujur, sampai terbukti ia curang. Namun, jika pengamatan kita,
para presiden itu kebanyakan jujur, maka statement universal
yang kedua itulah yang tepat.
Dalam sistem kepemimpinan yang kharismatik,
biasanya dapat menyingkirkan sikap skeptis rakyat. Dalam
doktrin Islam barangkali ada tempatnya kita membuang sikap
skeptis. Contohnya, tidak pada tempatnya kita meragukan
bahwa Tuhan itu Satu dan juga tidak pada tempatnya kita

50
Ibid, hal. 98
bersikap skeptis bahwa Muhammad Saw. itu nabi akhir zaman.
Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas pendekatan agama
dalam menilai kebenaran.
Dalam mensikapi keyakinan agama orang lain,
barangkali tepat untuk bersikap skeptis. Kaum muslimin
sangat tepat skeptis terhadap ajaran agama Yahudi, Kristen,
Hindu, dan sebagainya. Sikap skeptis demikian bukan berarti
secara mutlak menyalahkan ajaran agama lain. Pembenaran
atau penyalahan terhadap ajaran agama lain setelah
menelitinya secara radikal itu sah secara filosofis. Penyalahan
dan pembenaran ajaran agama lain berdasarkan pemahaman
kita tidak salah. Yang salah memaksakan orang lain
berpemahaman yang sama dengan kita. Walaupun kita
memahami bahwa ajaran agama lain itu salah, kita tidak
dibenarkan menyalahkan ajaran di depan pemeluknya dan
apalagi menjelek-jelekkannya.
Di dalam al-Qur’an sikap kritis dan skeptis juga kita
jumpai. Di antaranya, kita tidak boleh terlena dengan ucapan-
ucapan yang manis dari orang-orang munafik dan bahkan
untuk meyakinkan orang, mereka tidak segan-segan bersaksi
atas nama Allah SWT. padahal dia penentang kebenaran.51
Yang menarik hati kita tidak selamanya baik dan bahkan
banyak hal-hal yang buruk itu kita anggap baik.52

Spekulatif
Spektulatif adalah sikap keberanian mencoba dalam
mencari kebenaran. Di sinilah barangkali tepat dikatakan
51
Baca (Q.S./2:204)
52
Baca (Q.S./5:100)
bahwa semua pertanyaan harus dijawab, walaupun harus
dikompromikan pemahamannya dengan wisdom yang
mengatakan bahwa ”tidak menjawab pertanyaan orang bodoh
adalah merupakan jawaban: tarku al-jawâ b ’ala al-jâhili jawabun.
Dalam nomenklatur ekonomi dikenal spekulan.
Menjelang lebaran, seringkali harga barang-barang, khususnya
sembako, naik. Untuk itu ada saja spekulan yang menumpuk
barang dengan harapan, jika persediaan barang sedikit,
sedangkan permintaan banyak, maka harga akan naik. Saat
harga naik, maka ia akan keluarkan barang yang dia timbun.
Namun tidak selamanya benar, bisa juga walaupun ia
menimbun barang, tetapi persediaan barang tetap banyak,
sehingga tidak mustahil harga tidak naik dan bahkan harga
turun. Jika harga tidak naikpun, ia tetap dihitung rugi untuk
biaya penimbunan dan biaya pemeriharaan.
Boleh jadi Nabi Ibrahim A.S. dalam mencari Tuhan yang
sesungguhnya, telah melalui pemikiran spekulatif. Boleh jadi
para ulama berteori tentang do’a yang dikabulkan oleh Allah
sedang berspekulasi. Pemikiran spekulatif ini membuka pintu
ijtihad. Pintu ijtihad itu pada gilirannya akan mempengaruhi
pemahaman atas kebenaran-kebenaran baru atau pergantian
pemahaman.
Contoh berikut bisa dijadikan contoh kebenaran
spekulatif. Ketika masih kecil, seorang anak diajari berdo’a
dengan mengangkat tangan, maka ia memahami bahwa
berdo’a mesti mengangkat tangan. Kemudian, setelah ia belajar
di pesantren, ia mempelajari bahwa mengangkat tangan itu
tidak perlu karena Allah tetap mengetahui permohonannya.
Pemahamannya berdo’a tidak mesti angkat tangan. Setelah ia
kuliah, ia membaca bahwa kalau berdo’a dengan mengangkat
tangan, maka Allah malu menolak do’anya. Untuk itu
pemahamannya kembali ke masa lalu.
Dalam bidang kedokteran bisa juga diambil contoh dari
hasil pemikiran spekulatif. Tahun 1980-an, jika ada yang
demam, maka dokter menganjurkan (untuk tidak mengatakan
memerintahkan) untuk memakai pakaian yang tebal seperti
jaket, agar keluar keringat. Dengan keluarnya keringat itu,
maka demam akan turun. Berikutnya, kalau ada yang demam,
dokter justru menganjurkan memakai pakaian yang tipis agar
tidak bertambah panas.
Spekulasi dalam berfilsafat bukan berarti tidak menakuti
kesalahan, tetapi tidak berlebihan dalam menghadapi
kesalahan. Sikap yang berlebihan dalam menghadapi kesalahan
membuat orang tidak berani berijtihad. Berijtihad merupakan
salah satu manifestasi dari sikap spekulatif.

Abstrak
Abstrak berarti tidak konkrit. Sesuatu yang konkrit
berarti terindera atau teruji, dan atau terukur. Ketika kita
memahami konsep manusia, maka yang sedang dibahas adalah
manusia bukan dalam pengertian fisik.
Manusia membutuhkan makan, minum, dan seks.
Walaupun kita bisa menyaksikan orang makan dan minum,
tetapi tidaklah setiap waktu melekat pada diri manusia
aktivitas makan dan minum itu. Ketika berfilsafat tentang air,
bukanlah yang dibahas itu wilayah konkritnya, tetapi wilayah
abstraknya yang tidak bisa diindera. Sesungguhnya di setiap
yang konkrit itu ada yang abstrak. Pada diri manusia, ada yang
abstrak seperti perilaku kikir, sombong, riya, dan sebagainya,
tetapi itu tidak bersifat fisik.
Masalah ketuhanan, malaikat, hari akhir, dan takdir
termasuk wilayah abstrak. Ketika mengatakan bahwa Tuhan
itu Maha Pengasih dan Penyanyang, itu masalah abstrak.
Ketika ada orang yang merasa menderita karena persoalan
ekonomi, karir, penyakit, dan sebagainya, bisa jadi mereka
mulai mempertanyakan sifat rahman dan rahimnya Allah SWT.
Untuk itu yang abstrak dapat dipahami secara logis dan
supralogis.

ILMU

Ilmu Adalah
Anak Filsafat Yang Sudah Besar Dan Berhasil
Populer Melebihi Induknya.
Di Tengah Populeritasnya, Terkadang Secara Arogan
Berani KeluarDari Garis-Garis Besar Didikan Induknya

ILMU

Dalam paradigma lama bisa jadi kita menganggap


bahwa semua pengetahuan itu termasuk ilmu. Untuk itu,
dalam khazanah Muslim dikenal Ilmu Nahwu, Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadits, Ilmu Tauhid, Ilmu Akhlak, dan sebagainya. Tetapi
dalam paradigma sekarang ini, hendaknya pengetahuan itu
dibedakan antara filsafat, ilmu, dan mistik. Dilihat dari abstrak
dan konkritnya menurut obyeknya, maka ilmu itulah yang
konkrit, sedangkan filsafat dan mistik tidak konkrit.
Selain konkrit, ilmu itu juga disebut positif, bisa diindera
dan diuji secara ilmiah. Adakala obyeknya tidak konkrit
melalui indera telanjang, tetapi dengan bantuan tester (alat
pengetes), sehingga sesuatu itu diketahui positif ada. Ban mobil
diketahui tekanan anginnya setelah dites dengan alatnya. Air
yang dengan kasat mata terlihat jernih, tetapi ketika
menggunakan alat test kejernihan, ternyata air itu bisa jadi
kotor, tidak layak dikonsumsi dan hanya layak untuk air
mencuci pakaian dan mandi. Menurut WHO air layak
konsumsi PH meternya 6,5-8,5. Sementara PPMnya antara 600-
900 standard. 300-600 adalah baik. Kurang dari 300 ppm adalah
sangat baik.
Ilmu bersifat empiris, tetapi ia juga harus logis tulis
Ahmad Tafsir. Empirik itu bisa diindera dan diuji. Siapa yang
menyanyi tanpa melihat penyanyinya, telinga bisa
menyimpulkan. Dengan bau parfum saja, terkadang seseorang
kenal istrinya. Dengan sentuhan juga sebagian obyek bisa
disimpulkan identitasnya. Dengan semua keterbatasan
manusia, alat indera manusia dan alat penguji yang diciptakan
manusia masih memiliki peluang salah. Untuk itu, satu indera
dengan indera yang lain hendaknya kerjasama dalam
menentukan kebenaran. Hidung bisa saja mencium baunya
buah durian, setelah dilihat ternyata ada buah durian, namun
ketika disentuh, ternyata ia durian palsu (hiasan), dan baunya
itu direkayasa oleh bau parfum. Kaum emperisisme atau
positivisme sudah menafikan Tuhan karena faktor tidak
empiris.

A. Sains Modern Atau Sains Barat


Kata modern dan derivasinya sering diidentikkan
dengan Barat. Pernyataan itu tentu tidak semua disetujui oleh
para ilmuwan. Di antara yang mengidentikkan itu dapat dilihat
dari tulisan Komaruddin Hidayat bahwa modernisme
disejajarkan dengan westernisme.53 Dengan nada yang sama
Albert Hasibuan menulis bahwa secara implisit maupun
ekplisit modernisasi sama dengan westernisasi.54

53
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama Dan Krisis
Modernisme, ( Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 139
54
Albert Hasibuan, “ Modernisasi Indonesia dan Usaha Mencegah dan Mengatasi
Kemacematan Faktor-Faktor Pembangunan” dalam Elza Peldi Taher (Ed.),
Demokratisasi Politik, Budaya, DAN Ekonomi, (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 21
55

Sayidiman Suryohadiprojo juga berpendapat bahwa


peradaban modern berarti peradaban Barat.56 Oleh sebab itulah
ada ahli yang berpendapat bahwa kata modern tidak lain,
hanya sekedar eufemisme (penghalusan kata) untuk
mengatakan Barat. Tetapi Ahli Sejarah Dunia Marshall
Hodgson sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid tidak
setuju dengan istilah modern karena modern selalu bermakna
positif. Ia mengatakan kata modern lebih cocok disebut dengan
teknik karena ia memiliki akibat positif dan negative.
Modernisasi bagi Hodgson dengan demikian teknikalisasi.
57

Bagi banyak orang menyebutnya zaman modern, sedangkan


Hodgson menyebutnya dengan zaman teknik.

1. Sains
Andi Hakim mendefinisikan sains adalah suatu akal
manusia yang teratur dan taat azas menuju penemuan
keterangan tentang pengetahuan yang benar.58 Dalam era
globalisasi ini, kebudayaan Barat hampir mendominasi seluruh
aspek kehidupan manusia. Tanpa disadari bahwa masyarakat
dunia berada dalam hegemoni budaya Barat. 59
Guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjajaran Prof.
55

56
Sayidiman Suryohadiprojo,”Makna Modernitas dan TantanganTerhadap Iman”
dalam Budi MunawarRachman (Ed.), Konteksualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
( Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 553
57
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, ( Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 14
58
Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: Litera Antarnusa,
1989), hal. 25
59
Hajriyanto Y. Tohari, “ Islam dan Realitas Budaya” dalam Nurcholis Madjid, et.al,
Kehampaan Spritual Masyarakat Modren, (Jakarta:Paramadina,2000), hal. 314
Herman Soewardi membagi sains modern pada sains formal
dan sains empirikal. Sains formal adalah berada di pikiran kita
yang berupa kontempelasi dengan menggunakan simbol-
simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak
berkesudahan.60 Definisi ini mirip dengan paradigma filsafat.
Adapun sains empirikal, sains yang dipahami secara logis dan
empirik. Selanjutnya Herman berpendapat bahwa Sains formal
menurutnya bebas nilai, sedangkan sains empirikal tidak bebas
nilai. Sains emperikal disebut juga oleh Kuhn sains normal.
Sains emperikal atau sains normal didapatkan hanya
melalui metode observasi (dalam arti yang luas). Observasi
sangat mengandalkan penginderaan. Pada penginderaan inilah
kelemahan sains emperikal atau sains normal.61 Kuhn
mengatakan bahwa yang diketahui oleh orang itu tidak tetap,
melainkan sementara, dan akan berubah setelah terjadi
anomali. Hal itu bisa terjadi karena kata Richard Tarnas, di
depan mata manusia ada lensa yang memfilter penglihatan.
Lensa itu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan,
trauma, dan harapan. Oleh sebab itu, jagat raya yang diindera
oleh manusia adalah jagat raya buatan manusia bukan buatan
Tuhan.62
Menurut Ahmad Tafsir, sains modern adalah sains
emperikal dimana metodenya observasi. Sains modern inilah
yang kemudian diidentikkan dengan sains Barat yang disebut
Nurcholis Madjid anti ruhani karena tataran aksiologisnya
bebas nilai (value free). Karena praktek sains modern atau sains
60
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja RosdaKarya,2004), hal.14
61
Ibid, hal.54
62
Ibid, hal. 54-55
Barat yang bebas nilai itulah, maka sains di Barat berkembang
pesat. Sementara bagi mereka yang berpendapat bahwa sains
itu tidak bebas nilai akan mengalami hambatan norma-norma
agama dan sosial. Rekayasa genetika yang telah mengagumkan
masyarakat dunia, ternyata mendapat kritikan dari aktivis
agama dan HAM.
2. Ciri-Ciri Sains Modern
Sains dalam mencari proses kebenaran memiliki ciri
rasional dan empirik. Isinya menurut Ahmad Tafsir merupakan
teori dan teori menerangkan hubungan sebab akibat. Sains
tidak menilai baik buruk, indah-tidak indah, sopan-tidak
sopan, dan haram dan halal.63 Adapun obyek dari sains adalah
empirik.
Sains dilihat dari cara mengukur kriteria kebenarannya
terbagi 3 teori, yaitu: teori koherensi, teori korespondensi, dan
teori pragmatis. Dalam teori koherensi, sesuatu dianggap benar
jika sesuatu bersifat koheren atau konsisten. Contoh, 5 + 3 = 8, 4
+ 4 = 8, 6 + 2 = 8. teori konsistensi yang terdapat pada contoh
tersebut setiap kali hasil penambahan dikurangi salah satu
angka yang ikut ditambah, maka hasilnya adalah kawan yang
ditambahkan. Contoh 8 – X = 5, maka pasti jawabannya 3. 8 – X
= 4, maka pasti jawabannya 4. 8 – X= 6, maka pasti jawabannya
2. Dengan demikian, rumus-rumus matematika menggunakan
pembuktian koherensi.64
Dalam teori korespondensi, sesuatu dikatakan benar jika
suatu pernyataan berkorespondensi dengan obyek yang dituju

63
Ibid, hal. 24-25
64
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 57
oleh pernyataan itu. Ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Banda Aceh dinyatakan benar berdasarkan teori
korespondensi karena obyek yang bersifat faktual itu memang
menjadi ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam.65
Adapun teori pragmatis menyatakan bahwa sesuatu
dikatakan benar jika ada manfaatnya. Kalau pernyataan itu
tidak ada gunanya dalam kehidupan praktis, maka penyataan
tersebut dikatakan salah.
Dilihat dari perkembangannya, ilmu berguna untuk
mengatasi masalah kehidupan manusia. Dahulu orang
mengambil air di bawah bukit. Kesulitan itu dijawab dengan
membuat sumur di dekat rumah. Mengambil air dari sumur
yang pada mulanya dengan timba kemudian berkembang
dengan pompa air yang digerakkan oleh tangan. Pompa
manual itu dirasakan menyulitkan hingga manusia
menggunakan pompa air dari mesin.
Untuk memudahkan kehidupan manusia, sains telah
banyak berperan penting. Namun dalam perkembangan
selanjutnya sains itu juga sekaligus malapetaka bagi manusia
dan kehidupannya. Manfaat dan malapetaka sains dalam
perkembangannya diutarakan dalam sub pokok bahasan
kebaikan dan kelemahan sains modern dan kritik terhadapnya
pada pembahasan berikut.
Sains dalam menyelesaikan masalah menggunakan
langkah-langkah: Indentifikasi masalah, mencari teori, dan
menetapkan tindakan penyelesaian.66 Sementara itu, ada 2
metode untuk mendapatkan pengetahuan sains, yaitu metode
65
Ibid
66
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), hal. 44
deduktif dan induktif. Metode deduktif dimulai dari yang
umum menuju yang khusus dan sebaliknya metode induktif
dimulai dari yang khusus menuju yang umum. Metode
induktif kebenarannya bersifat korespondensif, sedangkan
metode deduktif kebenarannya bersifat koherensif.67 Dalam
perkembangannya akan dikemukakan metode abduktif yang
merupakan sintesa dari deduktif dan induktif

B. Dampak Positif dan Negatif Sains Modern


1. Dampak Positif
Berbicara dampak positif dan negatif ada hubungannya
dengan filsafat etika yang mengatur ukuran baik dan buruk.
Untuk menilai baik dan buruk, filsafat etika menilai tiga tahap,
yaitu tahap rencana (niat), tahap pelaksanaan, dan tahap efek
atau akibat dari pelaksanaan itu.
Dalam sejarah kelahiran sains sejak revolusi industri di
Inggris dan revolusi sosial dan politik di Prancis, para pendiri
sains memiliki niat yang baik, yaitu untuk membantu
memudahkankan manusia dalam segala pekerjaannya. Pada
tahap niat ini tidak salah dikatakan, sains berniat
membahagiakan manusia. Pada perkembangannya, pendiri
sains itu sendiri ada yang memiliki niat buruk selain punya niat
baik. Boleh jadi orang berbeda pendapat saat suatu Negara
membuat senjata pemusnah massal untuk pertahanan Negara
dan orang lain menilai niat yang tidak baik. Bagaimana Nurdin
M. Top merakit bom dinilai orang dengan niat dan sikap yang
buruk, tetapi bisa jadi bagi kelompoknya baik. Hal itu dapat

67
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 120
disaksikan di layar TV, saat beberapa orang yang tertembak
mati di Negara Republik Indonesia diberi gelar buruk teroris,
sementara kelompok mereka ada yang menilai sebagai mujahid
yang mati syahid.
Sains pada tahap pelaksanaannya sangat tergantung
dengan user. Ketika sains atau bentuk teknisnya teknologi
dikuasai oleh para pejabat, bisa jadi digunakan untuk
kemakmuran rakyat dan tidak mustahil juga berguna untuk
menyengsarakan rakyat dengan korupsi dan segala bentuk
keburukan lainnya. Jika teknologi dikuasai oleh para
perampok, maka mereka akan mempergunakannya untuk
keburukan. Sebaliknya, jika teknologi dikuasai orang-orang
beriman, maka berpeluang besar digunakan untuk kebaikan.
Sains telah membawa kemajuan mekanik, sehingga
manusia terbantu dalam mengerjakan pekerjaan otot dan otak.
Teknologi banyak terbantu dalam bidang sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam bidang pertanian,
teknik mesin telah menggantikan tenaga fisik manusia yang
lebih lemah dibandingkan hewan sejenis kerbau, sapi, dan
maupun kuda. Dalam bidang kedokteran, teori DNA mampu
menjawab identitas mayat yang berserakan akibat ledakan
bom. Dengan sains USG, seorang suami-istri, calon ibu-bapak
telah mengetahui lebih awal jenis kelamin calon anaknya.
Dalam bidang komunikasi, globalisasi dan teknologi ponsel
telah memperdekat manusia dari sisi informasi. Dalam bidang
pendidikan, teknologi komputer telah banyak membantu
dalam mengerjakan tugas dan mencari sumber informasi
ilmiah. Teknologi kalkulator telah menggantikan otak kita
untuk menghitung. Belajar faraid dengan sistem komputerisasi
telah meringankan otak kita dalam mengklarifikasi keakuratan
hitungan manual. Teknologi internet di HP telah
mempermudah para browser dalam bekerja, dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam, sains sangat berperan dalam
memperkenalkan Tuhan. Lebih dari 750 ayat al-Qur’an
menurut Mehdi Golshani berbicara tentang fenomena alam. 68
Di antara ayat yang menyinggung gejala alam itu adalah
‫ِم ِل‬
‫َفْلَينُظِر اِإْل نَس اُن َّم ُخ َق‬
Artinya, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah dia diciptakan?” (Q.S. al-Thariq: 5)
Di antara jawabannya ada dalam ayat lain.
‫ِإَّنا َخ َلْق َنا اِإْل نَس اَن ِم ن ُّنْطَف ٍة َأْم َش اٍج َّنْبَتِليِه َفَجَعْلَناُه ِمَس يًعا َبِص ًريا‬
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
(dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat.” (Q.S. al-Insan:2).
Karena dorongan al-Qur’anlah, para sarjana Muslim
mempelajari fenomena alam. R. Levy sarjana Barat non Muslim
mengatakan, “Di samping sejumlah kecil dari para peneliti
yang diilhami oleh gagasan-gagasan filosofis Yunani, orang-
orang Islam yang terlibat dalam pencarian ilmu, bekerja agar
dapat menemukan keajaiban-keajaiban alam, tanda-tanda, atau
sifat-sifat keagungan Tuhan.”69 Terhadap hal itu, manusia
diharapkan dapat mempelajarinya untuk mengenal Pencipta
68
Mehdi Golshani, Filsafat Sains menurut al-Qur’an, Diterjemahkan oleh Agus
Efendi, (Bandung: Mizan, 2003) hal. 32
69
Ibid, hal. 38
alam ini.
Sains juga berperan dalam stabilitas dan
pengembangan masyarakat. Kemajuan dunia modern
berporos pada sains dan teknologi. Untuk itu, meraih
kemerdekaan dan kemandirian perlu menguasai sains. 70
Melihat sisi pentingnya sains itu, di dalam Islam, Imam al-
Ghazali menggolongkan ilmu ke dalam fard kifayah, kalau
belum ada yang mempelajarinya, maka semua ummat Islam
berdosa. Ilmu fard kifayah di dalam Islam itu secara umum
adalah sains modern yang dikenal sekarang ini.71

2. Dampak Negatif Sains Modern


Teori plus-minus, kelebihan dan kekurangan juga
terdapat pada sains modern. Di balik sisi positifnya, terdapat
juga sisi negatifnya. Tidak dipungkiri kata Nurcholis Madjid
bahwa zaman modern dengan ilmunya membawa kebaikan,
tetapi misi dalam mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, sains
Barat sangat sedikit perannya.72 Hampir bisa dipastikan bahwa
respon atau persepsi manusia dalam menggunakan sains
modern sangat bervarian dan didorong oleh kepentingannya.
Pada akhirnya dampak penggunaan sains itu pasti ada yang
bernilai positif dan negative. Positif dan negatifnya sains itu
banyak tergantung pada user. Jika usernya orang yang beriman
dan memiliki integritas moral, maka sains itu akan berdampak
positif. Sebaliknya, jika usernya tidak beriman dan tidak

70
Ibid, hal. 43
71
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafndo
Persada, 2000), hal. 90
72
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, hal. 15
memiliki integritas moral, maka sains itu akan berdampak
negatif. Dampak negative sains modern nanti lebih rinci dimuat
dalam pembahasan kritik terhadap sains modern.

Tamtsil Sains Modern dan Teknologi


Sains modern dan teknologi yang bertujuan
mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataanya
membawa malapetaka, keresahan, kerusakan, dan ketakutan
baru. Pada awalnya sains modern dan teknologi bekerja untuk
mengatasi masalah, tetapi dalam perkembangannya bukan
hanya mengatasi masalah tetapi juga mendatangkan masalah
baru.
Akibat buruk dari sains dan teknologi itu digambarkan
oleh Amsal Bakhtiar bagaikan kisah Raja Midas yang
menginginkan kekayaan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Semua yang disentuh tangannya menjadi emas. Tentu kejadian
itu pada mulanya menakjubkan dan membahagiakannya.
Tetapi apa yang terjadi setelah itu, ia menyentuh semua isi
rumah, maka semua isi rumah itu menjadi emas, termasuk air
dan nasi pun menjadi emas, sehingga ia tidak bisa makan dan
minum. Yang lebih menyedihkan lagi, ia menyentuh anak dan
istrinya. Anak dan istrinya pun menjadi emas. Tentu akhir
cerita itu menyengsarakan, menyedihkan, dan merusak sendi-
sendi kehidupan manusia.73

Dunia Smartphone Mengger Dunia Layar

73
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (RajaGrafndo Persada,2004), hal. 223. Kisah lebih
rinsi tentang Tragedi Raja Midas, baca Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, hal.
91-95
Kemudahan yang ditawarkan oleh sains dan teknologi
memunculkan “kesepian”,“keterasingan baru”, lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan, dan filsafat ilmu silaturrahim.74
Contoh sederhana, teknologi televisi, computer, dan
handphone mengakibatkan manusia terlena dengan dunia
layar. Layar menjadi teman setia dibanding yang lain dan
bahkan “istri dan anak”. Konsumen sains dan teknologi itu
sudah lebih banyak untuk dunia layar dari yang lainnya. Mau
pergi ke kantor menonton TV, berhadapan dengan computer,
dan HP, setelah pulang dari kantor demikian juga. Akibat
dunia layar, keluarga kurang diperhatikan, apalagi tetangga,
masyarakat, Negara, agama, dan sebagainya.
Tuntutan melarang penayangan acara Smack Down di
salah satu stasiun televisi yang membuat murid SD dan siswa
sekolah menengah menirunya salah satu contoh betapa besar
akibat buruk dari menonton televisi.75 Anak-anak pada masa
imitasi, cenderung ingin mencontoh dan memperaktekkan apa
yang ia dengar dan ia lihat. Untuk itu jika apa yang ia dengar
dan ia tonton itu tidak baik, maka akibatnya tentu menjadi
buruk.
Teknologi smartphone akhir-akhir ini mampu dengan
telak menggeser posisi dunia layar televisi. Media sosial
dengan cepat menggantikan semua keterbiusan dengan dunia
layar televisi. Dimana-mana orang terlihat menggunakan
android. Sungguh orang minoritas yang tidak ber-android
sangat beruntung. Apakah karena akibat dari ketidakbisaan
atau keengganannya, yang jelas sangat istimewa orang yang
74
Ibid
75
Ibid, hal. 225
tidak bersentuhan dengan dunia android mengingat pengaruh
negatifnya bukan saja melanda anak-anak, tapi juga orang
dewasa yang terdidik.
Dunia whatssapp melahirkan banyak group-group. Baik
group berdasarkan hubungan darah, hubungan studi,
hubungan kerja, hubungan bisnis dan lain-lain. Yang jelas
banyak orang mengeluhkan karena banyaknya group
whatssapp, sampai ada yang tidak sempat membaca semua
postingan. Belum lagi, ada orang yang memiliki group yang
sama, harus membaca informasi yang sama di berbagai group
membuat banyak orang terganggu.
Dunia media sosial dari orang-orang terdidik saja
biasanya ada “aktivisnya” dimana tiap hari tidak absen mengisi
group whatssapp. Melihat keaktifan sebagian anggota group,
boleh jadi ada yang merasa “demam” jika absen dalam mengisi
“ceramah” di group. Sebagian yang terdidik malah ada yang
memposting setiap kegiatannya di group tanpa
mempertimbangkan kelayakannya. Jika postingannya
dibutuhkan orang dalam group, tentu itu bagus. Sebaliknya,
banyak orang yang merasa keberatan dengan postingan-
postingan yang bersifat pribadi. Belum lagi ada yang berbisnis
di group, memposting “jualannya” setiap saat. Belum lagi ada
orang yang membuat candaan terus menerus, sampai hal-hal
yang tidak mendidik pun menjadi baca leluconnya, seperti
memposting aurat wanita.
Bagi sebagian orang yang super aktif dalam ber-android,
boleh jadi aktivitasnya sering ditemani oleh android. Makan
sambil pegang android. Menulis sambil lihat android. Bicara
sambil lihat android. Singkatnya, android teman setianya. Bisa-
bisa istrinya dicuekin karena android. Bisa dibayangkan
ketergantungan banyak orang terhadap smartphone seperti
ketergantungan orang pada narkotika. Satu minggu berpisah
dengan android bagi sebagian orang jangan-jangan lebih susah
daripada seminggu berpisah dengan istri dan anak.
Anak-anak yang masih balita ada yang sudah kecanduan
main android. Mereka main game, buka youtube, buke tiktok,
dsb. Paket internet bisa jadi lebih disukai sebagian anak-anak
dibandingkan bermain dengan teman-temannya.
Ketergantungan anak-anak dengan android sekarang
sangat merugikan masa depan mereka. Untuk mengatasi itu
perlu ada gerakan kolektif secara sadar dari semua pihak. Jika
tidak generasi ini semakin buruk ke depan. Bagaimana
pemerintah secara tidak langsung mewajibkan vaksin. Begitu
juga untuk meninggalkan akibat buruk dari adroid perlu
dilakukan usaha-usaha cerdas. Putri Miranti dan Lisan Dasa
Putri dari Universitas Negeri Padang dalam Jurnal Jendila PLS
menulis bahwa akibat buruk penggunaan gadget bagi anak,
“menjadi pribadi tertutup, gangguan tidur, suka menyendiri,
perilaku kekerasan, pudarnya kreativitas, dan ancaman
cyberbullyin”.

Rekayasa Genetika Melukai Agama dan HAM


Rekayasa genetika dan teknologi cloning bisa jadi
penemuannya sekaliber sains Galileo dan Darwin. Pada
mulanya rekayasa genetika untuk mengobati penyakit
keturunan seperti diabetes, tetapi berkembang untuk
menciptakan manusia-manusia baru yang sama sekali berbeda
dari segi fisik dan sifatnya.76
Negara-negara maju dan liberal mendukung rekayasa
genetika yang disebut Jujun dengan revolusi genetika.
Sementara Negara-negara konservatif melarangnya. Rekayasa
genetika ini bukan saja mengkhawatirkan kaum agamawan dan
aktivis HAM, tetapi termasuk mengkhawatirkan ahli
bioteknologi. 77

Donor darah, umum dikenal di dunia ini dan ini adalah


baik. Namun donor sperma bagi yang membutuhkan di dunia
ini legal untuk lima negara, yaitu: Malaysia, Singapura, Jerman,
Italia, dan Inggris. Di Indonesia sendiri menurut UU Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 dan PP tentang Kesehatan Reproduksi
Nomor 41 tahun 2014, donor sperma dilarang.

Emansipasi Dipersimpangan Makna


Emansipasi bisa jadi bertujuan tidak baik, meski caranya
kelihatan baik. Persamaan hak antara laki-laki dan wanita
dimanfaatkan oleh perusahaan padat karya untuk merekrut
wanita sebagai pekerja yang relatif gajinya murah
dibandingkan laki-laki, mudah diatur, lebih rapi dalam bekerja,
sehingga tidak merepotkan perusahaan. Akibatnya, anak-anak
di rumah tidak ada yang mengasuh. Kalaupun ada yang
mengasuh menggunakan sentuhan pembantu. Emansipasi ini
juga mengurangi kesempatan kerja laki-laki yang berkewajiban
menghidupi keluarga. Kesulitan ekonomi kaum laki-laki tidak
jarang melahirkan angka kriminal bertambah. Selain itu
76
Ibid
77
Ibid
problematika rumah tangga bertambah akibat penghasilan istri
lebih besar dari suaminya.78
Ketika penghasilan istri lebih besar dari penghasilan
suami, bisa melahirkan egoisme istri atau berakibat suami
minder, apalagi istri menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam banyak kasus, jika penghasilan istri lebih besar dari
suami, maka akan melahirkan masalah dalam keluarga. Dalam
sebuah penelitian yang dipublikasikan Journals. Sagepub.com
disebutkan suami bisa stress jika penghasilan istrinya lebih
besar dari suami.
Dalam penelitian Joanna Syrda dari University of Bath,
suami lebih bahagian jika ia dan istrinya sama-sama
berkontribusi secara finansial dalam keluarga. Harga diri suami
akan lebih bermartabat jika ia lebih kuat atau setidaknya sama
kuatnya dengan istri dalam menghidupi keluarga. Sebaliknya,
jika ada suami merasa nyaman, walaupun penghasilannya
lebih rendah dari istrinya atau ia menggantungkan diri dari
penghasilan istri (bapak rumah tangga), maka itu tanda-tanda
abnormal.

Sains Bebas Nilai dan Terikat Nilai


Apakah sains itu netral (value free) atau terikat (value
bound)? Ketika sains dipahami netral, maka ia akan cepat
berkembang tanpa dipengaruhi oleh norma agama dan sosial.
Ketika ingin meneliti jantung, sains yang beraliran netral bisa
jadi akan mengambil jantung orang yang gelandangan atau
orang gila. Tetapi sains yang beraliran terikat akan mengambil

78
Ibid, hal. 227
jantung kelinci yang ada kemiripannya dengan manusia.79
Ilmu pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan untuk apa digunakan ilmu?
Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuwan? Ke arah
mana perkembangan ilmu diarahkan? Pertanyaan tersebut
tidaklah penting bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan
ilmuwan seangkatan dengannya. Tetapi ilmuwan abad ke-20
terpaksa harus perduli dengan pertanyaan tersebut di atas
karena kekhawatiran akan munculnya malapetaka perang
dunia ketiga yang tidak diinginkan manusia. Pada saat mereka
perduli dengan hal tersebutlah, maka moral menjadi perhatian
dalam aksiologi ilmu.
Memang pada awal perkembangan ilmu, ia memiliki
hubungan dengan moral agama, tetapi tafsiran metafisika
ilmuwan Galileo yang mengatakan bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari dan tafsir metafisika agama yang
mengatakan sebaliknya. Akhirnya pengadilan inkuisisi Galileo
tahun 1633 pada pengadilan agama memaksanya untuk
mencabut pernyataan itu.
Dua setengah abad pemikiran Galileo berkembang di
Eropa yang mencerminkan pertarungan kebebasan ilmu dari
segala pengaruh apapun di luar bidang keilmuwan. Pada saat
itulah dikenal ilmu bebas nilai. Konsep ilmu yang pada
awalnya abstrak menjelma menjadi kongkrit berupa teknologi.
Teknologi berupa penerapan konsep ilmiah untuk
memecahkan masalah-masalah praktis. Pada tahap ini Bertrand
Russell mengatakan peralihan “kontemplasi ke manipulasi.

79
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 47
Pada tahap manipulasi inilah moral mulai diusik.
Manipulasi ilmu mengakibatkan dehumanisasi yang menurut
Jujun merupakan masalah kebudayaan daripada masalah
moral. Pada saat itulah manusia menyeleksi penggunaan
teknologi yang sesuai dengan budaya. Benturan antara
teknologi dan budaya itu di antaranya dapat dilihat dari karya
Erich Schumacher Small is Beatiful yang menawarkan
alternative penerapan teknologi yang lebih bersifat manusiawi.
Melihat ekses negative dari ilmu itu, ilmuwan tergolong
pada dua pendapat. Pertama mereka berpendapat bahwa ilmu
dalam tataran ontology, epistemology, dan aksiologi bebas atau
netral dari persoalan moral. Sementara pendapat yang lain,
dalam persoalan aksiologi, ilmu harus dikontrol oleh moral. 80
Keberatan golongan kedua atas bebas nilainya ilmu
berdasarkan sebagian kenyataan bahwa ilmu dipergunakan
secara destruktif. Selain itu, perkembangan ilmu yang makin
esoteric membuat ilmuwan mengetahui ekses-ekses negatif bila
terjadi penyalahgunaannya. Perkembangan ilmu dengan kasus
revolusi genetika dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan. 81

Dalam pembahasan antara ilmu dan moral, Jujun


mengatakan, “Tanpa landasan moral, maka ilmuwan mudah
sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual.” 82
Dalam hukum dikenal dengan penyalahgunaan kekuasaan,
maka dalam bidang ilmu juga bisa terjadi penyalahgunaan
ilmu.
80
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 235
81
Ibid
82
Ibid, hal. 236
Paham sains netral sesungguhnya telah melanggar
maksud penciptaan sains untuk mengatasi masalah manusia.
Paham sains tidak netral atau sains terikat nilai adalah yang
sesuai dengan ajaran semua agama. Ketika Herman membagi
sains formal dan emperikal, ia berpendapat bahwa sain formal
bebas nilai, sedangkan sains emperikal hendaknya terikat. Jika
sains emperikal bebas nilai maka akan terjadi 3 R (Resah,
Renggut, dan Rusak).83

Sains Berhala Baru dan Bermuka Dua


Zaman modern yang dimulai dari revolusi industri di
Inggris dan revolusi sosial-politik di Perancis berakibat pada
modernitas yang sangat lahiri anti ruhani.84 Roger Garaudy
seorang pemikir Marxis yang berpindah agama menjadi
Muslim dan sekaligus pemikir menyebutkan bahwa zaman
teknik untuk tidak mengatakan zaman modern dimana sains
modern mendominasi sebagai “agama piranti”. Piranti, teknik
atau industri menjadi tujuan dalam diri manusia, sehingga
menjadi agama baru bagi mereka.85
Penalaran otak manusia memang luar biasa tulis Jujun,
tetapi begitupun baru 5-14% yang sudah digunakan oleh
mereka tulis Komaruddin Hidayat.86 Sekalipun manusia itu
cerdas, seorang filosofis dan saintis, tetapi tidaklah mereka
selalu baik. Tidaklah selalu ilmuwan jujur dengan kebenaran.
Tidak mustahil dengan ilmu, mereka malah menjadi orang

83
Ahamad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal.55
84
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, hal. 16
85
Ibid, hal. 14-15
86
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, hal. 309-310
yang serakah, kejam, koruptor, dengki, dan sebagainya,
walaupun guru besar ilmu ekonomi UGM Prof. Ace
Partadiredja mengatakan bahwa ilmu ekonomi tidak
mengajarkan keserakahan. Selanjutnya menurut Jujun bahwa
87

ilmu tidak sesalu membawa berkah, terkadang ia dikutuk,


membawa malapetaka, dan kesengsaraan jika tidak dikontrol
oleh moral. Pada tahap pertama pertumbuhan ilmu telah
dihubungkan dengan tujuan perang. Ilmu selain berguna untuk
mengusai alam juga berguna memerangi sesama manusia.
Senjata pembunuh manusia berhasil berkembang karena ilmu,
demikian juga karena ilmu teknik penyiksaan manusia dan cara
memperbudak manusia berkembang.

Manusia Beradaptasi dengan Teknologi Tetapi Tidak Bisa


Menyelesaikan Semua Masalah
Semestinya perkembangan kebutuhan manusia diikuti
dengan perkembangan teknologi dan bukan manusia yang
harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Manusia
diatur dan dipenjarakan oleh teknologi. Akibatnya sains
membuat manusia tidak kreatif dan reflektif lagi. Bisa
dirasakan bahwa bagaimana kalau handphone dan computer
rusak, maka banyak urusan terganggu dan bahkan rusak.88
Wilayah jelajah ilmu bermula dari pengalaman dan
berakhir di pengalaman. Dengan demikian, dilihat dari
sifatnya, ilmu tidak menjelajah persoalan - persoalan gaib dan
apalagi persoalan maha gaib. Persoalan gaib dan maha gaib
bisa dijelajah dengan filsafat yang sifatnya logis dan mistik
87
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal.229
88
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 228-229
yang diukur dengan keyakinan atau keimanan, atau rasa, dan
kadang kadang empirik.
Sains tidak selamanya berlaku di setiap tempat dan
waktu dan tidak semua masalah ada teori menyelesaikannya.
Masalah menurut Ahmad Tafsir selalu berkembang lebih cepat
daripada perkembangan teori. Ilmu tidak pernah cukup untuk
menyelesaikan masalah. Adakalanya masalah tidak bisa
diselesaikan dengan sains, maka bisa jadi bisa diselesaikan
dengan filsafat. Adakalanya juga masalah tidak bisa
diselesaikan dengan sains dan filsafat, maka sudah tentu bisa
diselesaikan dengan mistik. Sebaiknya kata Ahmad Tafsir,
suatu masalah diselesaikan secara integrated dengan filsafat,
sains, dan mistik.
Ketika teknik mengabsen di sebuah perguruan tinggi
menggunakan mesin scanner wajah. Jumlah mesin yang
terbatas, terpantau antrian yang tidak selamanya lancar untuk
men-scan wajah pegawai. Deadline mengabsen jam 08:00
terkadang karena tidak lancarnya teknik scaning wajah, bisa
merugikan pegawai. Teknologi memang tidak punya hati
nurani. Pegawai yang hadir jam 07:50 di tempat, karena faktor
teknis, bisa jadi ia terekam mengabsen jam 08:05. Ia
mengeluhkan ke bagian ke pegawaian bahwa ia tidak terlambat
hadir di kampus. Teknologi itu mengatakan ia terlambat 5
menit. Akhirnya masalah ini coba diatasi oleh ahli teknologi di
kampus tersebut dengan teknik scan barcode masing-masing
pegawai. Ternyata teknik ini juga bukan tidak punya cacat.
Terkadang juga aplikasi di hand phone tidak bekerja dengan
normal. Ketika tidak bekerja dengan normal, pegawai ada yang
dirugikan. Ketika ingin mengeluhkan, ternyata teknologi juga
tidak perduli dengan itu karena ia juga adalah hasil kreasi
manusia.
Menurut Fazlul Rahman teori-teori ilmiah dan filsafat
Barat tak jarang menuai masalah menyangkut Tuhan,
hubungan dengan alam, manusia, dan hidup di akhirat.89 Hal
itu dapat dipahami dari sifat ilmu yang tidak menjelajah
wilayah mistik dan tidak berhenti pada wilayah logis saja.
Contoh kelemahan sains dalam menyelesaikan masalah,
api memiliki kekuatan membakar. Kayu bisa dibakar memang
regulasinya dan adatnya demikian, tetapi kenapa Nabi Ibrahim
as tidak terbakar dalam tumpukan kayu yang menyala, sains
tidak lagi mempunyai jawaban.90 Sains tidak bisa juga
menjawab kenapa Sultan Takdir Ali Syahbana yang jatuh dari
pesawat di Itali selamat dan tidak meninggal.91

C. SAINS MENURUT ISLAM


1. Konsepsi Ilmu Menurut al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an ditemukan banyak kata ilmu dan
derivasinya. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw., Surah al-Alaq ayat 1-5, menunjukkan
apresiasi terhadap belajar dan dengan sendirinya merupakan
apresiasi terhadap ilmu.
Ilmu dalam makna semua pengetahuan menjadi

89
Fazlul Rahman, Islam, Diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Cet. II, (Bandung :
Pustaka, 1994), hal. 315
90
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Op.Cit, hal. 52
91
Nurcholis Mdjid, Dialog Ramadhan Bersama Cak-Nur, (Jakarta: Paramadina,2000),
hal. 90
kemuliaan manusia yang disejajarkan dengan iman oleh
Allah.92 Adapun dalam bidang ilmu kedokteran, al-Qur’an
memberitahukan bahwa manusia tercipta dari pembuahan
antara sperma dan ovum yang kemudian berevolusi menjadi
darah dan darah berevolusi menjadi daging. Daging kemudian
menjadi tulang belulang. Tulang itu kemudian dibungkus lagi
dengan daging, pada umur empat bulan ditiuplah ruh,
sehingga menjadi makhluk lain yang bernama manusia.93
Karena kasat mata tidak dapat mengindera proses
evolusi kejadian manusia, manusia menciptkan teknologi
untuk mendeteksi kehamilan. Dari hal itu, dapat diketahui
apakah sperma dan ovum telah bersatu dan membuahkan
sesuatu yang bernama janin. Pada umur janin empat bulan,
manusia dengan alat USG juga telah dapat mengetahui, hidup
matinya. Secara empirik, seorang suami ataupun istri bisa
menyentuh kandungan si istri yang adakalanya bergerak-gerak
tanda hidupnya janin.
Ilmu, alam, dan amal memiliki asal huruf yang sama
walaupun letaknya yang berbeda. Ketiganya memiliki kolerasi
fungsional yang berkaitan kata Komaruddin Hidayat. Alam
sebagai sumber dan obyek kajian ilmu yang dalam bahasa
Inggris disebut science. Untuk itu yang memahami ilmu alam
sudah sepantasnya disebutkan ulama. Hanya saja dalam
konteks Islam seringkali ulama dipahami mereka yang
mendalami ilmu-ilmu agama yang sumber utama kajiannya
kitab suci dan bukan kitab alam. Hal itu tentu tidak
sepenuhnya salah kata Komaruddin Hidayat, tetapi dianggap
92
Baca ( Q.S. al- Mujahadalah:11)
93
Baca ( Q.S. al- Mu’minun/23:12-14
kurang tepat.94

‫َو ِم َن الَّناِس َوالَّد َوۤاِّب َواَاْلْنَعاِم ْخُمَتِلٌف َاْلَواُنهٗ َك ٰذ ِلَۗك ِاَمَّنا ْخَيَش ى الّٰل َه ِم ْن ِعَب اِدِه اْلُعَلٰۤم ُؤۗا ِاَّن‬
‫ّٰل‬
‫ال َه َعِزْيٌز َغُفْوٌر‬
Artinya, ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-
binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S.
al-Fatir: 28)
Setelah ilmuan meneliti fenomena alam, selanjutnya
ia harus menunjukkan kerja nyata dalam karya perbuatan
(amal). Di sini jelas sekali kelihatan dalam pandangan al-
Qur’an bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu tidak berpisah
dengan amal

‫َك ُبَر َم ۡق ًتا ِعۡن َد الّٰلِه َاۡن َتُقۡو ُلۡو ا َم ا اَل َتۡف َعُلۡو َن‬

Artinya, ”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu


mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. Shaff: 3)
Dalam rahim ibu, setelah ditiup roh, Allah
menganugerahkan pendengaran (al-sama’), penglihatan (al-
abshar), dan hati (fuâd).95 Pendengaran indera yang paling
banyak menjadi sarana diterimanya pengetahuan termasuk
ilmu. Kalau bisa kita membandingan bagaimana pendengaran
94
Komaruddin Hidayat, Berdamai dengan Kematian, (Bandung: Hikmah, 2009), hal.
68-69
95
Baca (Q.S. al-sajadah:9)
dan penglihatan sebagai sarana menemukan pengetahuan itu,
maka niscaya kita menyadari bahwa telinga lebih banyak
menjadi sarana mendapatkan pengetahuan. Untuk itulah, al-
Qur’an mendahulukan al-sama’ dari al-bashar.
Dalam konteks signifikansi fungsional pendengaran ini,
kita hampir saja tidak menemukan orang-orang pintar dari
kalangan yang tuli. Tidak demikian halnya dengan orang buta
yang pendengarannya masih normal, masih bisa kita temukan
orang-orang pintar. Dengan mendengar, manusia dapat
mengetahui dan dengan penglihatan juga manusia dapat
mengetahui. Kombinasi pendengaran dan penglihatan
membuat pengetahuan manusia semakin meyakinkan. Selain
dengan pendengaran dan penglihatan, dengan hati juga
manusia dapat mengetahui. Untuk itulah kita mengenal istilah
hati nurani yang mengetahui kebenaran itu. Kombinasi
pendengaran, penglihatan, dan hati, pengetahuan manusia
semakin meyakinkan. Dalam konteks ilmulah Allah berfirman.
‫َواَل َتْق ُف َم ا َلْيَس َلَك ِبهٖ ِعْلٌمۗ ِاَّن الَّس ْمَع َواْلَبَص َر َواْلُفَؤاَد ُك ُّل ُاوٰۤلِٕى َك َك اَن َعْنُه َمْس ُٔـْواًل‬
Artinya, ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (al-Isra: 36)96
Dalam konteks hakekat manusia, justru al-Qur’an
memprioritaskan hati. Pengetahuan hati bisa jadi lebih hakiki
dari pengetahuan telinga dan penglihatan. Kita tidak mengenal
telinga nurani dan mata nurani. Untuk itulah ketika Allah
96
Fuad dalam Bahasa Arab yang berarti hati, tetapi kemungkinan besar
berhubungan denganakal bisa disebut dengan istilah akal sehat. Baca al-Munjid f al-
Lughati wa al-A’lam, Cet. XXVIII, (Beirut: Dar al-Masyriq,1986), hal. 566
mengecam perbuatan manusia, maka Ia mendahulukan hati
(qulûb) dari pendengaran (al-sama’) dan penglihatan (al-basar).

ۖ ‫َخ َت َم ال َّل ُه َع َل ٰى ُقُل وِبِه ْم َو َع َل ٰى َس ْم ِع ِه ْم ۖ َو َع َل ٰى َأْبَص ا ِرِه ْم ِغ َش ا َو ٌة‬


‫ِظ‬
‫َو َلُه ْم َع َذ ا ٌب َع ي ٌم‬
Artinya, ”Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang
amat berat.” (Q.S. al-Baqarah: 7)
Hati yang dimaksud dalam ayat itu dalam versi al-
Ghazali tentu hati yang halus, bukan dalam pengertian fisik.
Hati dalam pengertian yang bisa memahami. Hal itu dapat
dilihat dalam ayat di bawah ini.

‫َو َلَق‬
‫ْد َذَرْأَنا َجِلَه َّنَم َك ِثْيًرا ِّم َن اِجْلِّن َواِاْل ْنِۖس ُهَلْم ُقُلْو ٌب اَّل َيْفَق ُه ْو َن َهِبۖا َو ُهَلْم َاْعٌنُي اَّل ُيْبِص ُرْو َن‬
. ‫َهِبۖا َو ُهَلْم ٰاَذاٌن اَّل َيْسَمُعْو َن َهِبۗا ُاوٰۤلِٕى َك َك اَاْلْنَعاِم َبْل ُه ْم َاَض ُّلۗ ُاوٰۤلِٕى َك ُه ُم اْلٰغ ِف ُلْو َن‬
Artinya, ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayatayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.” (Q.S. al-A’raf/7: 179)

Pada Surah al-A’raf, ayat 179 di atas, Allah kembali


mengecam manusia yang dimulai dari hatinya. Tetapi menarik
untuk dianalisa, ketika Allah mengecam orang-orang kafir, Ia
mendahulukan penglihatan (al-bashar) dari pendengaran (al-
sama’). Boleh jadi sumber kemaksiatan atau sumber perilaku
buruk, utamanya karena lemahnya akal budi dan kemudian
karena faktor penglihatan, dan terakhir karena faktor
pendengaran.
Sebutan jin didahulukan dari manusia dalam konteks
perilaku buruk, boleh jadi kelak penghuni neraka lebih banyak
dari kaum jin.97 Adapun qulûbun selain maknanya jantung yang
berada sebelah kiri badan manusia, ia juga berarti akal dan juga
insting ruhani (al-wijdân al-rûhi) atau dhamîr (akal sehat).98
Makna qalb sebagai akal lebih jelas dapat dilihat pada ayat
berikut.
‫َاَف‬
‫َلْم َيِس ْيُرْوا ىِف اَاْلْر ِض َفَتُك ْو َن ُهَلْم ُقُل ْو ٌب َّيْعِق ُل ْو َن َهِبٓا َاْو ٰاَذاٌن َّيْس َمُعْو َن َهِبۚا َفِاَّنَه ا اَل‬
‫َتْع ى اَاْلْبَص ا ٰلِكْن َتْع ى اْلُقُلْوُب اَّل ىِف الُّص ُد ْو ِر‬
‫ْيِت‬ ‫َم‬ ‫ُر َو‬ ‫َم‬
Artinya, ”maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
merekamempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.” (Q.S. al-Hajj: 46)

2. Konsepsi Ilmu Menurut Hadits


Hadits yang salah satunya berfungsi menjelaskan atau
menerangkan maksud atau tafsir ayat al-Qur’an tidak
diragukan lagi dukungannya atas perkembangan ilmu
pengetahuan. Namun untuk kepentingan ilmiah, tulisan ini

97
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al- Manar, Terjemahan Bahrun Abu Baar, Jilid IX,
(Cairo: Dar al – Manar ), hal. 418
98
Ibid, hal. 419
mencoba membahas sebagian representasi dari hadits yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan. Dalam sebuah hadits
disebutkan,
‫طلب العلم فريضة علي كل مسلم و مسلمة‬

Artinya, ”Menuntul ilmu wajib bagi kaum muslim baik laki-


laki maupun perempuan”.
Hadits tersebut sebagai deklarasi atas respon positif
Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Hadits
tersebut juga turut menjawab tuduhan kaum femenisme atas
emansipasi wanita. Islam datang sebagai pembebas
kemerdekaan wanita di Arab yang semula sangat tidak
berharga, sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Bukti nyata
perjuangan Islam itu dapat dilihat bagaimana wanita dalam
pembagian warisan memiliki setengah harga laki-laki. Boleh
jadi ada orang yang berpikiran picik tanpa melihat rentetan
historis, mengatakan pembagian warisan dalam Islam sebagai
contoh yang ril bahwa Islam bersikap diskriminatif terhadap
wanita. Sebaliknya, sistem faraid sebagai perjuangan politik
dan ideologis Islam terhadap harga diri kaum wanita yang
pada saat itu tidak berharga sama sekali. Berdasarkan latar
belakang historis, ada sebagian ulama saat ini berpendapat
bahwa penerimaan Islam terhadap wanita sudah lebih baik.
Oleh sebab itu, jika pembagian harta warisan wanita
disetarakan dengan bagian laki-laki tidaklah menyalahi prinsif
agama. Ide ini pernah mengemuka dari pemerintah ketika
menteri agama dijabat oleh Munawir Sajjali.
Dari hadits di atas dapat ditangkap bahwa kartinisme
dalam konteks keindonesiaan senada dengan ide Islam.
Kesetaraan pendidikan untuk laki-laki dan perempuan tidaklah
dengan sendirinya mengesampingkan tugas-tugas qodrati dari
kaum wanita. Artinya, kewajiban belajar di satu sisi wanita
tidaklah lantas menyingkirkan kewajibannya untuk
mengandung (hamil). Kewajiban belajar wanita satu paket
dengan kewajibannya untuk menyusui anak, dan sebagainya.
Persamaan merupakan hak yang paling fundamental
untuk setiap warga negara dan merupakan salah satu dari tiga
nilai yang dituntut oleh revolusi Prancis. Ketidaksamaan bisa
jadi terjadi secara de facto (dalam praktek) dan bahkan secara de
jure (dalam hukum). Ketidaksamaan hak-hak perempuan
menjadi perhatian khusus di Afrika dan dunia Islam.99
Prinsip persamaan menurut Haykal dalam Islam
bersumber dari ajaran Tauhid bahwa ”tidak ada tuhan selain
Allah”. Begitu pentingnya prinsip persamaan ini, Marcel A.
Boisard berpendapat sebagai sokoguru struktur sosial Islam.100
Di dalam Islam, prinsip persamaan manusia bukan saja
di muka hukum yang berimplikasi pada persoalan hukum,
tetapi Islam juga memandang adanya persamaan manusia di
mata Tuhan yang berimplikasi timbulnya persatuan dan
perdamaian.101 Menurut Haykal sebagaimana dikutip oleh
Musdah Mulia, persamaan manusia di muka Tuhan menjadi

99
Masykuri Abdillah, Demorasi di Persimpangan jalan, Terjemahan Wahid Wahad
(Yogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hal. 111-112
100
Musdah Mulia, Negara Islam (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 125
101
Ibid, hal. 128
landasan persatuan Islam. Sementara persamaan manusia di
mata hukum menjadi landasan sistem kemasyarakatan Islam.102
Jika persamaan manusia di mata hukum telah mampu
melahirkan sistem demokrasi yang dianggap sistem negara
yang paling baik saat ini, maka menurut Haykal prinsip
persamaan manusia di mata Tuhan akan mampu melahirkan
sistem yang lebih baik lagi.103
Rasulullah telah memberikan contoh ketika ia
mengangkat Salman al-Farisi (Muslim non Arab), Zayd bin
Haritsah (mantan budak Nabi) dan putranya Usamah bin Zayd
sebagai panglima perang. Sikap Rasul ini jauh dari nepotis dan
depotis (kelaliman). Rasulullah melakukan itu di tengah
masyarakat Arab yang fanatis terhadap suku mereka.104
Sikap iri tidak diperbolehkan di dalam Islam kecuali
terhadap dua hal, yaitu orang kaya yang mempergunakan
kekayaannya secara benar dan orang berilmu yang
mengamalkan ilmunya.
‫ ورجل آتاه‬، ‫ فَس َّلَطه على َه َلَك ِتِه يف اَحلِّق‬،‫ رجل آتاه اهلل ماال‬:‫ال َح َس َد إال يف اثنتني‬
‫ فهو يقضي هبا وُيَعِّلَم ها‬،‫اهلل ِح ْك َم ة‬
Artinya, Tidak ada iri kecuali dalam dua hal, seseorang yang
diberikan oleh Allah harta dan kemudian digunakannya secara benar
dan seseorang yang diberikan oleh Allah hikmah, kemudian ia
menggunakannya dan mengajarkannya” (H.R. Muttafaqqun Alaihi
Hadits di atas secara ekspilisit memperhatikan persoalan

102
Ibid
103
Ibid
104
Ibid, hal. 130
aksiologi ilmu. Harta dicari dan setelah didapatkan,
penggunaannya tidak bebas dalam pengertian ”terserah yang
memilikinya”. Harta itu harus digunakan di jalan yang benar.
Penggunaan harta di jalan yang benar berarti sesuai dengan
aturan Allah. Harta tidak diizinkan untuk dimiliki 100 %, tetapi
sebagian kecilnya adalah hak-hak orang yang meminta
ataupun yang tidak meminta (zakat).105 Nilai harta yang ril itu
ada dalam zakat, infak, shadaqah, dan wakaf. Dana sosial dari
harta itu sendiri adalah wajib. Jika tidak, maka harta yang
dimiliki itu tidak bersih karena bercampur dengan hak orang
lain.
Pandangan Islam tentang bagaimana pentingnya
menuntut ilmu dapat dilihat bahwa nilai orang yang sedang
menuntut ilmu itu sebanding dengan orang yang sedang
perang jihad fi sabilillah.
‫ِج‬ ‫ِه‬ ‫ِع‬
‫ كان يف َس بيِل الَّل َح ىَّت ير َع‬، ‫َم ن خَرج يف َطَلِب ال لِم‬
Artinya, Barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu,
maka ia sedang berjalan fi sabilillah sampai ia pulang kembali.” (H.R.
al-Titmidzi).
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa jika perang di
jalan Allah bernilai mulia, sehingga jika mereka mati akan
menjadi syahid. Menuntut ilmu dinilai sebanding dengan jihad,
padahal jihad itu pertarungan nyawa, sementara menuntut
ilmu pertarungan pikiran. Disini dapat dipahami bahwa nyawa
yang menjadikan manusia berarti dan pikiran juga menjadikan
manusia berarti pula. Tanpa nyawa manusia secara subtantif
berubah menjadi mayat, sementara tanpa pikiran juga manusia
105
Baca (Q.S. al-Ma’arij/70: 24-25)
juga bagaikan mayat hidup. Kesetaraan nilai nyawa dan
pikiran menjadi jelas dapat dipahami dari firman Allah.
‫الَّل ُه َيَتَوىَّف اَأْلنُفَس ِح َني َمْو َهِتا َواَّليِت ْمَل ُمَتْت يِف َم َناِم َه ا َفُيْم ِس ُك اَّليِت َقَض ى‬
‫َعَلْيَه ا اْلَمْو َت َو ُيْرِس ُل اُأْلْخ َرى ِإىَل َأَج ٍل ُم َس ًّم ى ِإَّن يِف َذِلَك آَل َياٍت ِّلَق ْو ٍم َيَتَف َّك ُروَن‬
Artinya, Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;
maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. al-
Zumar: 42)
Ketika tidur juga dianggap mati. Menurut Zamasyari
kalau manusia sudah mati, maka jiwanya (nyawa) sama Tuhan,
sementara orang yang tidur, jiwanya dalam pengertian
akalnya sedang tidak bisa berpikir (nafs al-tamyîz) dan
dikendalikan oleh Tuhan.106 Sementara Fakhruddin al-Razi
mengatakan bahwa kematian dan tidur adalah satu jenis.
Kematian keterputusan jiwa yang sempurna dengan badan
(inqithâ’u al-tâm), sementara tidur keterputusan jiwa sementara
(inqithâ’u al-nâqis).107
Motivasi menuntut ilmu kembali digambarkan oleh
Rasulullah bahwa derajat kemuliaan orang berilmu dengan
hambanya yang lain bagaikan kemuliaan Rasulullah atas
manusia yang paling rendah di antara manusia
‫صلى اهلل عليه‬- ‫ مث قال رسول اهلل‬،‫فضل العامل على العابد كفضلي على أدناكم‬
‫ إن اهلل ومالئكته وأهل السماوات واألرض حىت النملة يف جحرها وحىت‬:-‫وسلم‬
‫احلوت ليصلون على معلمي الناس اخلري‬
106
Zamaksyari, al-Kasysyaf juz 5 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998), hal. 308
107
Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 284
Artinya, Kemuliaan orang berilmu terhadap hamba lainnya
bagaikan kemuliaanku (Muhammad Saw) terhadap orang yang paling
rendah dari kalian. Kemudian Rasulullah bersabada: Sesungguhnya
Allah, malaikat, penduduk langit dan bumi, dan bahkan semut di
persembunyiannya dan ikan besar niscaya akan bershalawat atas para
pengajar kebaikan terhadap manusia.” (H.R. Tirmidzi)108
Dari dorongan epistemologis Islam terhadap
perkembangan ilmu tersebut, semestinya banyak kaum
muslimin menjadi ilmuan, sebagai salah satu sarana menuju
kebahagiaan ganda dunia dan akhirat. Bukankah doktrin fiqh
yang banyak mempengaruhi pola pikir umat Islam pada
umumnya banyak membicarakan seputar surga neraka.
Mulianya profesi guru maupun dosen diharapkan dapat
memotivasi orang-orang baik dan orang pintar untuk
menekuni profesi ini. Dalam konteks keindonesiaan,
marginalisasi dalam bidang kesejahteraan yang digambarkan
oleh Iwan Fals dengan lagu Omar Bakri yang sederhana dalam
pengertian miskin. Untuk menundukkan ”jiwa memberontak”
para guru, maka pemerintah yang otoritarian memberi slogan,
”Guru pahlawan tanpa tanda jasa”.
Image kesederhanaan guru membuat banyak orang
pintar tidak tertarik dengan profesi ini di Indonesia. Lihatlah
minat orang tua, ketika mereka mempunyai anak-anak yang
pintar, mereka lebih tertarik mengkuliahkannya ke Jurusan
Kedokteran, Teknik, Ekonomi, dan sebagainya. Daya tarik
(attraction) profesi keguruan dengan peraturan tunjungan

108
Muhyiddin, Riyad al-Shalihin, hal. 530-531
profesi (sertifikasi) guru di Indonesia belum secara signifikan
menarik minat para orang pintar untuk kuliah di Fakultas
Keguruan. Meningkatnya minat untuk menjadi guru, hemat
penulis saat ini bukan dari kalangan orang-orang pintar.
Tanggung jawab moral para ilmuan di dalam Islam
berimplikasi tidak bolehnya ilmuan menyembunyikan ilmunya
apabila ditanya. Mereka yang menyembunyikan ilmu kelak
akan disiksa oleh neraka.
‫َمْن ُس ِئ َعْن ِعْلٍم َفَك َت ُه َأ ُه الَّلُه ِبِلَج اٍم ِم ْن َناٍر‬
‫َم َجْلَم‬ ‫َل‬
Artinya, Barang siapa yang ditanya akan suatu ilmu,
kemudian ia menyembunyikannya, maka akan didera pada hari kiamat
dengan cemeti api neraka.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)109
Ilmu merupakan keniscayaan hidup. Jika ilmu tidak lagi
jaya dan digantikan oleh kebodohan, itu salah satu tanda
kiamat akan datang.
‫ ويق?ل‬،‫ وتك?ثر النساُء‬،‫ ويظهر الزن?ا‬،‫ ويظهر اجلهُل‬،‫من أشراِط الساعة أن َيِق َّل العلُم‬
‫الرجال حىت يكون خلمسني امرأة القيم الواحد‬
Artinya, Tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah ilmu
tidak lagi dipakai sedangkan kebodohan menjadi jaya, perjinahan
merajalela, minuman keras disukai, lelaki banyak yang mati, dan yang
tinggal perempuan, sehingga wanita dan laki-laki berbanding satu.110
Ilmu menurut hadits adalah sarana mendapatkan

109
Ibid, hal. 531
110
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz IX, hal. 58
kebahagiaan dunia dan akhirat.111 Dalam konteks mencari
kebahagiaan itulah menurut hadits, wajib menuntut ilmu baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Persoalan yang timbul dari hadits itu,
ilmu apa yang wajib ain dituntut oleh kaum muslimin dan muslimat?
Al-Ghazali berpendapat hanya ilmu-ilmu yang terbatas pada
pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat Islam saja yang diwajibkan.
Misalnya seorang yang beternak, harus tahu syariat zakat, pedagang,
harus tahu tentang riba.112

Ilmu agama yang wajib itu diajarkan berdasarkan al-Qur’an


dan hadits. Ilmu non agama ada yang bersifat terpuji (mahmûd),
boleh (mubâh), dan tercela (madzmûm).113 Sejarah berada dalam ilmu
yang mubah, sementara sihir ilmu yang tercela. Adapun ilmu-ilmu
yang penting dalam kehidupan sehari-hari termasuk ilmu non agama
yang terpuji dan menjadi wajib kifayah,114 seperti ilmu kedokteran, ilmu
gizi, ilmu biologi, ilmu kimia, ilmu olahraga, dan sebagainya.
Lain halnya dengan Syirazi, ia berpendapat bahwa pada dasarnya
tidak ada ilmu yang tercela, tetapi akibat yang dihasilkannya, maka ada
ilmu yang tercela.115 Dari pendapat ini, bisa dikatakan, bahwa ilmu
itu terpuji dan tercelaa dilihat dari penggunaannya. Sekarang
banyak ahli ekonomi korupsi dari ilmu ekonomi, maka ilmu orang
korupsi itulah yang tercela dan bukan ilmu ekonomi itu sendiri.
111
Menurutu penelitian Ali Musthafa Yaqub, hadist tentang “ Barang siapa yang
menginginkan kebahagiaan dunia, maka hendaknya menuntut ilmu, da barang siapa
yang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat, hendaknya ia menuntut ilmu”
bukan hadist, tetapi ugkapan Imam Syaf’I dalam karya Imam Nawawi al- Ma’mu’
Syarh al- Muhadzdzab, Juz I, hal. 12. Baca Ali Musthafa Ya’qub, Hadist-Hadits
Bermasalah, Cet. VII, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hal. 71-72
112
Mehdi Golshani, Filsafat Sains, hal. 3
113
Ibid, hal. 3
114
Ibid, hal. 4
115
Ibid, hal. 7
Hipnologi juga ada yang digunakan untuk hal-hal yang terpuji sebagai
hipnoteraphi, tetapi ada juga yang digunakan untuk mencuri.
Menurut Mehdi Golshani dapat dipahami bahwa semua ilmu
berpotensi secara positif sekaligus secara negatif (plus minus).
Dalam konteks inilah Amsal Bakhtiar mengatakan, jika ilmu itu
berada di tangan orang beriman, maka ilmu itu menjadi berkah.
Sebaliknya, jika ilmu itu berada di tangan penjahat, maka ilmu itu akan
membahayakan. Apakah sihir yang digunakan memberantas musuh
Allah itu terpuji atau tercela?

A. Sains Islam dan Islamisasi Sains


Berkurangnya pengaruh ideologi Islam di negara-negara Islam
di Eropa seperti Spanyol, negara India, Sisilia, dan sebagainya, turut
mempengaruhi jarangnya orang Barat membicarakan Islam
sebagai ajaran. Selain itu, kantong kantong ideologis Islam
yang dijajah oleh negara non Muslim seperti Mesir, Turki,
Malaysia, dan Indonesia juga diduga dipengaruhi oleh ajaran
non Islam yang sebagian dianggap sekuler.116
Belakangan ini, ada sebagian orang Muslim bersikap
menolak terhadap semua ilmu pengetahuan yang datang dari
Barat karena dianggap sekuler. Untuk memajukan Islam harus
kembali pada al-Qur’an, al-Sunnah, dan warisan Islam di
zaman klasik.117 Sebagian lainnya berpendapat bahwa ilmu itu
netral tidak berurusan Islam dan tidaknya. Ada Lagi yang lebih
akomodatif menerima perkembangan ilmu pengetahuan dari
Barat dengan mengatakan ilmu pengetahuan yang sekuler itu
juga dapat diterima oleh Islam setelah dilakukan islamisasi.118

116
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: ), hal. 405
117
Ibid
118
Ibid, hal. 405-406
Adakah ilmu Islam? Jika ada ilmu Islam, perlukah ilmu-
ilmu dari Barat itu diislamkan? Tanggapannya beragam dari
yang mengatakan adanya ilmu Islam dan perlu diadakan
islamisasi ilmu. Sementara ada yang berpendapat bahwa ilmu
Islam itu tidak ada.
Fazlur Rahman, Ziauddin Sardar, dan Mohammad
Arkoun, termasuk orang yang tidak sependapat dengan
islamisasi ilmu. Tindakan islamisasi ilmu menurut Arkoun
justru mempersempit Islam sebagai ajaran yang universal yang
dianggap hanya bersifat ideologi.119 Sementara Rahman
berpendapat islamisasi ilmu menjadikan ilmu Islam berada
pada posisi subordinat dari ilmu-ilmu modern. 120 Selanjutnya ia
mengatakan bahwa seharusnya ilmu dimulai dari al-Qur’an
dan tidak berakhir di al-Qur’an. 121
Rahman sepertinya berpendapat bahwa semua teori
ilmu bisa dilahirkan prinsipnya dari al-Qur’an, sedangkan
teknisnya yang lebih rinci didapatkan dari penelitian ilmiah.
Adapun Sardar menganggap islamisasi ilmu itu naif yang
justru akan membaratkan ilmu-ilmu Islam. Bukan ilmu-ilmu
Islam yang diadaptasikan, tetapi sebaliknya, ilmu-ilmu Barat
itulah yang harus diadaptasikan terhadap ilmu-ilmu Islam.
Islamisasi ilmu ibarat meletakkan kereta di depan kuda. 122 Hal
senada juga dikatakan oleh Usep Fathuddin bahwa islamisasi
tidak perlu karena itu bukan kerja kreatif dan tidak ilmiah.

119
Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya,1991), hal. 5
120
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hal. 126
121
Ibid
122
Ibid, hal. 126-127
Islamisasi ilmu hanya ”kerja kreatif ” atas karya orang saja.
Yang kita butuhkan adalah mengembangkan ilmu
pengetahuan.123 Lebih lanjut ia berpendapat bahwa islamisasi
ilmu-ilmu Barat itu bagaikan menggantungkan ”kaligrafi”
dalam karya pertukangan. Lebih tepatnya, islamisasi itu tukang
label ilmu yang telah ditemukan orang lain. 124
Lain Halnya dengan Mulyanto yang berpendapat
islamisasi ilmu merupakan proses penerapan etika Islam dalam
pemanfaatan ilmu tersebut. Selain itu, katanya islamisasi ilmu
sebagai proses pemurnian ilmu pada prinsip-prinsip tauhid,
kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.125
Secara implisit Haidar Bagir mengatakan perlu islamisasi
ilmu dengan mengatakan bahwa perlu dibentuknya sains yang
islami.126 Ada dua alasan pokok kenapa dibutuhkan sains yang
Islami menurut Haidar Bagir. Pertama, ilmu-ilmu dari Barat
materialis, sedangkan kita membutuhkan sains yang sintesis
dari materi dan spiritual. Kedua, secara sosiologis, ilmu
pengetahuan yang diciptakan oleh Barat dirumuskan untuk
kepentingan masyarakat mereka sendiri.127
Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa islamisasi
ilmu bisa dibutuhkan dan bisa tidak. Dibutuhkan tatkala dilihat
bertentangan dengan ajaran Islam secara filosofis. Karena sains

123
Abuddin Nata, Metodologi…, hal. 407
124
Ibid
125
Mulayanto, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal.
17
126
Abuddin Nata, Metodologi…, hal. 409
127
Haidar Bagir, “ Sains Islam” dalam Moefich, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. 45
Barat dibangun berdasarkan filsafat Barat yang jelas berbeda
dengan filsafat Islam. Dengan demikian saat ini, islamisasi ilmu
jelas dibutuhkan.
Walaupun ada perbedaan pendapat terhadap islamisasi
ilmu, menurut Abuddin Nata, umat Islam sepakat bahwa ilmu
pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam
diperlukan.128 Artinya, yang dipersoalkan hanya tentang nama
(aksidental), dimana orang bisa berbeda, tetapi pada persoalan
substansi orang sependapat. Pengembangan ilmu pengetahuan
diperlukan di satu sisi, dan islamisasi ilmu di sisi lain juga
diperlukan untuk misi ketuhanan. Menurut Abuddin Nata lagi,
orang yang tidak setuju dengan istilah islamisasi ilmu
berpendapat bahwa mereka yang pro islamisasi ilmu, terkesan
merasa gengsi menerima ilmu pengetahuan dari Barat,
sehingga perlu mengislamkannya.
Sementara mereka yang pro islamisasi ilmu tidak
mengingkari perlunya sains Islam yang mandiri, tetapi tidak
salah mengadaptasikan ilmu dari Barat dengan Islam
sebagaimana dulu juga Barat mengambil sains dari Islam dan
mengadaptasikannya dengan budaya mereka.129
Penulis sepakat bahwa ilmu ilmu modern yang datang
dari Barat perlu disensor berdasarkan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Yang lulus sensor harus dijustifikasi dengan jujur dan
sekaligus disebarluaskan. Sementara yang tidak lulus sensor,
Islam dapat mengoreksi dan bahkan menyalahkannya dengan
menggantinya dengan kebenaran yang baru.

128
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. IX, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal. 409
129
Ibid, hal. 410
Gerakan islamisasi ilmu secara faktual dapat dilihat dari
berdirinya lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic
Thought (IIIT) di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Ismail
al-Faruqi dan Internasional Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) di Malaysia oleh Naquib al-Attas. Baik al-
Faruqi maupun al-Attas melihat adanya krisis dalam basis ilmu
pengetahuan modern mengenai realitas dan filsafatnya,
sehingga, islamisasi ilmu dibutuhkan.130
Tanpa mempersoalkan siapa yang menggagas pertama
kali, jauh-jauh hari sebelum al-Faruqi dan al-Attas berbicara
tentang islamisasi ilmu, menurut Dawam Rahardjo, Syah Wali
Allah dan Sir Sayyid Ahmad Khan abad ke-18 dan ke-19 telah
berbicara tentang ini dengan bukti sejarah Universitas Aligarh
di India.131
Bagaimana melaksanakan islamisasi ilmu? Mulyanto
berpendapat, menjadikan ajaran Islam sebagai landasan
aksiologis semua ilmu, tanpa mempersoalkan ontologi dan
epistemologinya.132 Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi
produknya netral, tetapi penggunaannya menjadi tidak netral.
Pesawat terbang bisa digunakan untuk membawa misi
komunis, misi penjahat, misi penjajah, dan sekaligus misi mulia
seperti membawa jemaah haji ke Mekah. Penggunaan pesawat
untuk selain kebaikan itulah yang tidak netral yang perlu
diislamkan. Hal senada juga disebutkan oleh Doddy Tisna
Amidjaja bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal etika, tetapi
manusialah yang mengenalnya. Sementara menurut Takdir
130
M. Zainuddin, Filsafat…, hal. 121
131
Dawan Rahardjo, “ Strategi Islamisasi Pengetahuan” dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. xii
132
Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan “ dalam Moefich, Gagasan dan
Perdebatan…, hal. 17-18
Alisjahbana ilmu pengetahuan tidak mengenal baik-buruk,
indah-tidak indah, cinta-benci, suci dan tidak suci, berguna dan
tidak berguna. 133
Secara umum, menurut al-Faruqi, ada lima program
kerja dalam islamisasi ilmu, yaitu: 134
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang
ilmu modern
4. Pencarian sintesis kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu mode
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang
mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.

FILSAFAT ILMU

Filsafat Bagaikan Pasukan Marinir yang Mendaratkan


Pasukan Infantri. Pasukan Infantri Inilah Sebagai

133
M. Zainuddin, Filsafat…, hal. 131
134
Ibid, hal. 121
Pengetahuan yang di Antaranya Ilmu. Setelah Ilmu
Bertindak dan Berkreasi, Daratan Mengalami Kemajuan
Dalam Segala Bidang, Kemudian Filsafat Kembali ke Laut
Lepas Untuk Melaksanakan Ekplorasi Lebih Jauh

FILSAFAT ILMU

A. Filsafat Ilmu: Ilustrasi


Setiap ilmu kata Amsal Bakhtiar memiliki dua objek,
yaitu objek material dan objek formal. Objek material dari
filsafat adalah semua yang ada baik yang tampak maupun
yang tidak tampak.135 Yang tampak itu disebut dengan dunia
empiris sementara yang tidak tampak itu disebut dunia
metafisika. Lebih lanjut Amsal mengatakan bahwa sebagian

135
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1
filosof membagi objek material filsafat menjadi tiga, yaitu ada
dalam alam empiris, ada dalam alam pikiran, dan ada dalam
alam kemungkinan.136 Adapun objek formal filsafat adalah
sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang
segala yang ada.137
Dilihat dari objek materialnya, filsafat lebih luas dari
ilmu. Filsafat mencakup yang tampak dan yang tidak tampak
sementara ilmu hanya mempersoalkan yang tampak saja
(empiris). 138
Secara tegas, Rizal Mustansyir dan Misnal Munir dalam
Filsafat Ilmu menulis bahwa objek material filsafat ilmu adalah
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang bersifat khusus
dengan ciri sistematis, metode ilmiah tertentu, serta dapat diuji
kebenarannya.139 Sementara objek formal filsafat ilmu adalah
hakekat (esensi) ilmu pengetahuan. Hakikat ilmu pengetahuan
membahas tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
140
Ketiga unsur ini menjadi landasan pengembangan ilmu.141
Will Durant mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir
yang mendaratkan pasukan infantri. Pasukan infantri inilah
sebagai pengetahuan yang diantaranya ilmu. 142
Setelah ilmu bertindak dan berkreasi, daratan
mengalami kemajuan dalam segala bidang, kemudian filsafat

136
Ibid
137
Ibid
138
Ibid, hal. 2
139
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 44
140
Ibid, hal. 45
141
Ibid, hal. 46
142
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal. 24
kembali ke laut lepas untuk melaksanakan eksplorasi lebih
jauh.143 Filsafat adalah tempat berpijak ilmu dan oleh sebab
itulah para filosof mengatakan filsafat sebagai induk dari
semua ilmu.144 Bisa disebutkan filsafat melahirkan ilmu dan
ilmu melahirkan teknologi. Dengan bahasa lain teknologi buah
dari ilmu dan ilmu adalah buah dari filsafat.145
Dalam sebuah pohon terdiri dari akar, batang, dahan,
ranting, daun, dan buah, maka akar bagaikan filsafat dan
lainnya sebagai ilmu. Struktur bangunan terdiri dari pondasi,
dinding, langit-langit, dan atap, maka pondasi bagaikan
filsafat dan lainnya ilmu. Manusia terdiri dari unsur materil
dan immateril. Unsur immateril itulah bagaikan filsafat dan
unsur materil itu ilmu. Unsur materil (zhâhir) itu adalah jasmani
dan unsur immaterilnya (batin), akal, hati, dan nafsu.
Menyikapi posisi filsafat dan ilmu, terkadang
melahirkan madzhab rasisme, penyakit makhluk pertama.
Sebagian orang berpendapat bahwa filsafat lebih utama dari
ilmu, sebagian lainnya berpendapat terbalik bahwa ilmu lebih
utama dari filsafat. Akar memang tidak bisa dipungkiri penting
bagi pohon, tetapi akar pun tidak bermakna apa-apa tanpa
unsur lainnya. Jasmani tidak bermakna apa-apa tanpa akal,
hati, dan nafsu dan sebaliknya. Pasukan tidak bisa berkreasi di
daratan tanpa didaratkan marinir. Sebaliknya kreasi marinir
tidak akan dikenang orang di daratan tanpa jasa infantri. Untuk
itulah antara ilmu dan filsafat hanya bagi-bagi tugas dan bukan
persoalan tafdhîl (lebih mulia antara satu dengan yang lain).
143
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 2
144
Ibid, hal. 2
145
Ibid
Tidak ubahnya dalam anggota tubuh kita ada mata, tangan,
kaki, telinga, dan sebagainya. Masing-masing tidak bisa dinilai
lebih mulia dari yang lainnya. Masing-masing memiliki tugas
yang berbeda dan saling membutuhkan.
Pada mulanya filsafat yang terbagi dua, teoretis dan
praktis. Filsafat teoretis itu mencakup metafisika, matematika,
fisika, dan logika. Sedangkan filsafat praktis itu ekonomi,
politik, hukum, dan etika.146 Pada perkembangan selanjutnya,
filsafat itu menspesialisasi menjadi bagian dari ilmu itu sendiri,
sehingga dikenal filsafat agama, filsafat hukum, dan juga
filsafat ilmu.147 Filsafat dalam perkembangannya dituntut tidak
hanya berada di laut lepas. Dia harus turut membimbing ilmu
karena ilmu itu bukan saja semakin jauh dari induknya kata
Amsal, bahkan muncul arogansi dan kompartementalisasi yang
tidak sehat antar ilmu. Kemajuan ilmu yang leluasa cukup
mengkhawatirkan para ilmuan, filosof, dan juga agamawan.
Untuk itulah, dirasakan perlu andil filsafat dalam
mempersatukan visi keilmuwan untuk menghindari konflik
kepentingan.148
Ketika ilmu sudah menjadi obyek kajian filsafat, maka
dengan sendirinya ilmu harus mengikuti obyek formalnya.
Obyek formal filsafat sebagaimana ditulis oleh Mustansyir dan
Misnal Munir terdiri dari ontologi, epistemologi, dan

146
Ibid, hal.2. Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Hasan Bakti Nasution,
Filsafat Teoritis itu terdiri dari fisika, matematika, dan metafisika. Sedangkan Filsafat
Praktis itu terdiri etika, ekonomi, dan politik. Baca Hasan Bakti Nasution, Filsafat
Umum, (Jakarta: GMP, 2001), hal. 13
147
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 3
148
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal.43
aksiologi.149 Sementara Amsal Bakhtiar menulis obyek filsafat
bersifat radikal, universal, rasional, dan spekulatif.150 Kedua
pendapat itu tentu tidaklah bertentangan, tetapi keduanya
membahas dalam perspektif yang berbeda. Ketika obyek
formal itu dibagi menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi,
hal itu dilihat dari dasar-dasar ilmu. Sementara radikal,
universal, rasional, dan spektulatif dilihat dari sifat filsafat itu
sendiri.

B. Sejarah Lahirnya Filsafat Ilmu


Peletak dasar filsafat ilmu adalah Francis Bacon pada
abad kesembilan belas, tetapi filsafat mulai maju pada abad
kedua puluh.151 Perkembangan filsafat ilmu semakin pesat
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.152
Filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan, keduanya
saling membutuhkan. Filsafat berjasa dalam melahirkan ilmu
dan kemajuan ilmu semakin memperkuat eksistensi filsafat.
Ketika ilmu berkembang pesat, maka antara satu ilmu dengan
ilmu yang lain membentuk spesialisasi. Spesialisasi membentuk
sekat-sekat dan bahkan menimbulkan arogansi satu ilmu
dengan yang lainnya.153 Keadaan ini membuat ilmu terkadang
keluar dari misinya untuk mensejahterakan umat manusia.
Perkembangan pesat ilmu dan teknologi dikhawatirkan para

149
Ibid, hal. 45-46
150
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 3
151
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal. 43
152
Ibid
153
Amsal Bakhtiar, Filafat Ilmu, hal. xii
ilmuan, filosof, dan agamawan akan mengancam eksistensi
manusia, untuk itulah diperlukan filsafat ilmu. 154
Menurut John Naisbitt, perkembangan ilmu berdampak
negatif, di antaranya:
1. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara
kilat. Lihatlah di pasaran berkembangnya makanan dan
minuman instan.
2. Masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi.
Lihatlah bagaimana manusia sangat tergantung (al-shamad)
terhadap hand phone saat ini.
3. Masyarakat mengaburkan antara yang nyata dan semu.
Lihatlah ketika ring tone HP berbunyi salawat, seakan-
akan benar-benar nyata.
4. Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan.
Lihatlah anak-anak sibuk di depan laptop untuk main
game ria.
5. Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang
wajar. Lihatlah kejadian setiap pasca pilkada, sering terjadi
bentrok horizontal di masyarakat.
6. Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan
terenggut.155
Jika tidak ada masalah dalam sains modern, maka
”sains modern sebagai berhala baru” yang dikemukakan oleh
Nurcholis Madjid tidak ada tempatnya. Sains156 modern atau
154
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal. 43
155
Amsal Bakhtiar, filsafat Ilmu, hal. xiii
156
Mulyadi Kertanegara mengatakan bahwa sains dan ilmu sama terutama sebelum
abad ke-19, tetapi setelah itu, sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau
indradewi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non-fisik, seperti
metafsika. Baca Mulyadi Kertanegara, Pengantar Epistimologi Islam, ( Bandung:
sains Barat menurut Nurcholis Madjid tidak memiliki ruh.
Untuk itulah filsafat ilmu bertujuan untuk meluruskan
jalan ilmu dan sekaligus mempertegas kata Amsal Bakhtiar
bahwa ilmu dan teknologi adalah sarana atau instrumen dan
bukan tujuan. Menurut masyarakat beragama, ilmu bersumber
dari Tuhan dan oleh sebab itu, kemajuan ilmu tidak boleh
menodai ketuhanan. Jika kemajuan ilmu itu melanggar
ketentuan Tuhan, maka ilmu telah keluar dari fitrah ketuhanan.
Kemajuan ilmu dan teknologi pada mulanya bertujuan
untuk mempermudah pekerjaan manusia, ternyata
menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan
manusia.157 Rekayasa genetika dan teknologi kloning158
menunjukkan penyelewengan ilmu, sehingga untuk
meluruskan jalan ilmu diperlukan filsafat ilmu.

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Filsafat Ilmu


1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu sebagaimana dikemukakan Jujun
Suriasumantri dimulai dari pengalaman manusia dan berakhir
di pengalaman manusia. Sementara filsafat ilmu berawal dan
berakhir di pemikiran manusia. Maka ruang lingkup filsafat
ilmu dengan demikian adalah memikirkan seluk beluk ilmu
dari berbagai aspeknya secara logis, sistematis, radikal,
universal, spekulatif, skeptis, abstrak, konseptual, sehingga
ilmu tidak keluar dari tujuannya sebagai sarana dan instrumen
dalam mencapai kebahagiaan manusia.

Mizan, 2003), hal.1 atau Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 12-13
157
Ibid, hal. 223
158
Ibid, hal. 225
Lebih tegas, Rizal Mustansyir dan Misnal Munir
mengatakan bahwa ruang lingkup filsafat ilmu ada lima, yaitu:
1. komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, 2. sifat dasar
ilmu pengetahuan, 3. metode Ilmiah, 4. Praanggapan-
praanggapan ilmiah, dan 5. sikap etis dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Yang paling banyak dibicarakan adalah
nomor 1, 3, dan 5.159
Ilmu dalam pengertian sains itu bersifat empirik fisik
dan lebih sempit dari filsafat yang berada di wilayah pikiran.
Kita bisa melihat organ tubuh manusia yang terdiri dari bagian
atas, tengah, dan bawah. Bagian atas ada mata untuk melihat,
hidung untuk mencium, dan telinga untuk mendengar. Pikiran
dapat menangkap di luar yang empirik itu. Sungguh Allah
menciptakan mata untuk melihat ciptaanNya dan dari
penglihatan itu, manusia mendapatkan pengetahuan yang
sangat bermanfaat, sehingga melengkapi kesempurnaannya
sebagai manusia. Manusia berkreasi untuk meniru fungsi mata,
sehingga kita mengenal lampu penerang dengan segala
bentuknya, dimana daya tahannya tak sebanding dengan daya
tahan mata ciptaanNya. Bagaimana bulu mata dan juga alis
mata dan sebagian rambut yang melekat pada manusia tidak
tumbuh memanjang bagaikan rambut. Bagaimana tinggi badan
kita pada waktu tertentu tidak lagi bertambah, sehingga tinggi
badan tidak menyusahkan kreasi ilmu. Bisa kita bayangkan,
jika tinggi badan manusia mencapai 20 meter. Rumah harus
dibangun tingginya melebihi 20 M, mahal bukan? Bagaimana
para teknolog membuat mobil, tentunya disesuaikan dengan

159
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hal.49-50
tinggi manusia. Jika tinggi mobil lebih 20 meter, maka jalanpun
harus lebar, kalau tidak, keseimbangannya lepas. Disitulah akal
dapat menangkap peran Yang Maha Kuasa dan Maha Baik.
Peran Yang Maha Kuasa dan Maha Baik itu tidak dapat
ditangkap oleh sains.
Sains yang banyak mengandalkan indera memiliki
banyak keterbatasan. Untuk mengatasi keterbatasan itu,
manusia dengan ilmu berkreasi. Mata dengan keterbatasan,
manusia menciptakan teropong, sehingga jangkauan
penglihatan manusia berlipat ganda. Keterbatasan
pendengaran manusia, dibantu oleh kreasi menciptakan
pengeras suara. Jarak yang sungguh tidak mungkin dijangkau
oleh telinga, manusia mengatasinya dengan teknologi elektro
magnetik, sehingga dari seluruh dunia ini bisa berkomunikasi.
Namun, telinga tidak lagi bisa berkomunikasi dengan makhluk
yang ada di alam kubur walaupun jaraknya dekat. Untuk
mengetahui aktivitas dan komunikasi penghuni alam kubur
masih bisa dijangkau oleh akal dengan bantuan data-data
deduktif secara revalatif dalam al-Quran dan hadits.
Secara mistik, pengalaman sebagian mereka yang
mengalami NDE atau mati suri dapat dipahami oleh akal ketika
bereksplorasi ke dunia wahyu dan tentunya tidak kita berharap
dapat dipahami oleh indera kita.
Ketika dalam lembaga pernikahan tidak dikarunia anak
dan secara medis dinyatakan sang suami mandul, maka sains
boleh berkreasi dengan menyuntikkan sperma dari donor
sperma ke dalam rahim si istri. Memang si istri bisa hamil dan
memiliki anak, namun kreasi sains itu akan melahirkan
problem baru. Jika yang lahir adalah perempuan, maka siapa
bapaknya yang akan menikahkannya kelak. Jika diketahui juga
yang memiliki sperma itu, sehingga dikenal juga bapak biologis
anak tersebut. Bagaimana secara psikologis hati suami dan istri
dan juga keluarga. Jika hal itu dianggap tidak bermasalah,
bagaimana ketundukan kita kepada Sang Pencipta kehidupan
dan kematian yang telah membuat aturan main hidup. Apakah
Tuhan tidak dihargai? Apa yang terjadi jika Tuhan tidak
dihargai? Itu semua termasuk dalam ruang lingkup filsafat
ilmu.
2. Tujuan
Amsal Bakhtiar menguraikan lima tujuan Filsafat Ilmu,
yaitu:160
1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan
ilmu di berbagai bidang.
3. Menjadi pedoman mahasiswa dan dosen dalam
mendalami studi di perguruan tinggi, khususnya untuk
membedakan yang ilmiah dan non ilmiah.
4. Mendorong para ilmuwan untuk konsisten dalam
mendalami ilmu dan mengembangkannya.
5. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan
tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Tujuan filsafat ilmu juga dikemukakan oleh Amsal
Bakhtiar untuk meluruskan jalan ilmu dan sekaligus
mempertegas bahwa ilmu adalah sarana dan instrumen dalam

160
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 20
membahagiakan manusia. Untuk mendapatkan anak sebagai
salah satu kebahagiaan manusia, maka lembaga pernikahan
sebagai sarananya.
Filsafat ilmu bertujuan merumuskan world view yang
konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Implikasi dari
tujuan ini mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu.
Filsafat ilmu juga merupakan eksposisi dari pre supposition dan
pre disposition dari para ilmuwan. Filsafat ilmu merupakan
disiplin ilmu yang terdiri dari konsep-konsep, teori-teori
tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan. Dalam
perspektif Islam, tujuan filsafat ilmu tidak terlepas dari misi
sarana beribadah dengan tetap mempertimbangkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu dijadikan sarana
kebahagiaan di dunia sesuai dengan rambu-rambu yang
ditentukan oleh Pencipta. Semua sarana itu hendaknya
dikaitkan dengan misi untuk mendekatkan diri kepadaNya.

D. Urgensi Filsafat Ilmu dalam Ilmu Pendidikan


Pendidikan adalah ilmu sosial terapan yang dibangun
dari teori psikologi, sosiologi, dan antropologi.161 Psikologi
membahas manusia dari sisi gejala kejiwaan. Gejala kejiwaan
itu seperti senang, bahagia, berani, takut, malu, dengki, ria, dan
sebagainya. Sosiologi membahas manusia dari sisi struktur
sosial masyarakat seperti kaya-miskin, pintar-bodoh,
dermawan-pelit, baik-jahat, raja-rakyat, dan sebagainya.
Adapun antropologi membahas manusia dari sisi waktu dan
tempat. Manusia pada masa Rasulullah lebih dekat sama Tuhan

161
Ibid, hal.95
dibandingkan dengan orang masa sekarang. Pada masa pra
kemerdekaan, masyarakat Indonesia bersatu padu
memperjuangkan kemerdekaan. Pada masa sekarang, para
pejabat berlomba-lomba memperkaya diri. Di Mekah, orang
muslim berkesempatakan besar untuk berhaji dan berumrah.
Itu semua termasuk membicarakan antroplogi.
Filsafat ilmu akan mengontrol dan mengkritisi teori-teori
ilmu pendidikan dan meluruskan jika keluar dari konsep
filosofis. Arogansi spesialisasi ilmu telah banyak
mengesampingkan persoalan filsafat ilmu dan termasuk dalam
ilmu pendidikan. Untuk itulah, filsafat ilmu dirasakan urgen
dalam ilmu pendidikan. Selain untuk mengontrol teori-teori
ilmu pendidikian, filsafat ilmu juga akan menjustifikasi
perjalanan ilmu pendidikan. Sebagai contoh apakah kebijakan
UN di Indonesia melanggar kode etik filsafat ilmu? Jika ilmu
itu bertujuan membahagiakan masyarakat, jangan-jangan
kebijakan itu menjadi paradoksal, sehingga menyengsarakan
masyarakat-masyarakat marginal. Bagaimana mengakomodir
keberagaman manusia dalam segala hal dalam bidang
pendidikan sesuai dengan tuntutan filosofis diversitas manusia.
Dengan pertimbangan diversitas kemampuan peserta
didiklah, Menteri Pendidikan Nasional Nadiem Makarim
menghapuskan Ujian Nasional. Walaupun tetap saja ada pro
dan kontra, tetapi itu menjadi bukti bahwa kebijakan
pelaksanaan Ujian Negara secara nasional bisa menuai masalah
secara filosofis.
DASAR-DASAR ILMU

Semua Ilmu idealnya dibangun di atas dasar


atau fondasi-fondasi filosofis yang terdiri dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi,
jika tidak, maka bangunan ilmu akan mudah roboh
DASAR-DASAR ILMU

Terkadang ahli menulis dengan dasar-dasar ilmu,


terkadang menulis dengan obyek kajian filsafat ilmu, tetapi
yang dimaksud adalah sama, yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
Ontologi adalah pembahasan filsafat yang paling tua.
Idealisme, realisme, dualisme, pluralisme adalah merupakan
paham ontologis. Ontologi adalah menjawab pertanyaan apa,
epistemologi menjawab pertanyaan bagaimana, dan aksiologi
menjawab pertanyaan untuk apa. Jujun menyebutkan bahwa
ontologi membahas persoalan hakekat sesuatu. Epistemologi
membahas bagaimana mendapatkan pengetahuan dan oleh
sebab itulah epistemologi disebutkan filsafat pengetahuan.
Adapun aksiologi adalah filsafat nilai.

A. Ontologi
Jujun Suriasumantri merinci dalam pertanyaan apa itu
ontologi. Menurutnya ontologi menjawab pertanyaan berikut
ini?
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu?
2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek ilmu?
3. Bagaimana hubungan antara obyek ilmu dengan daya
tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan?
Dengan jumlah pertanyaan yang sama, M. Zainuddin
juga menulis bahwa ontologi adalah menjawab tiga pertanyaan
yang kelak menyebabkan aliran filsafat, yaitu what is being (apa
itu yang ada?), how is being (bagaimana yang ada itu?), dan
where is being? (dimana yang ada itu?). Dari tiga pertanyaan ini
kemudian melahirkan aliran filsafat monisme, idealisme,
dualisme, dan agnogtisme.
Adapun Amsal Bakhtiar menulis bahwa ontologi
mencoba menerangkan hakekat dari segala sesuatu.
Jawabannya berupa materi dan rohani. Selanjutnya Amsal
Bakhtiar mengatakan hakekat itu terdiri dari segala yang ada
dan mungkin ada. Hakekat adalah realitas dan riil. Artinya
kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian ontologi itu
adalah hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah kenyataan
yang sebenarnya. dari sesuatu baik berupa materi atau
immateri. Untuk itulah Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
hakekat sains adalah menjawab pertanyaan apa sains itu
sebenarnya.
Dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami
bahwa ontologi itu mendefinisikan sesuatu, seperti apa itu
sains? Apa itu manusia? Apa itu jin? Apa itu malaikat? Dan
sebagainya. Untuk itulah M. Zainuddin mengatakan secara
singkat ontologi itu menjawab pertanyaan apa? Dengan kata
lain, ontologi itu untuk memahami konsep secara mendalam
tentang apa yang akan menghasilkan pengetahuan universal
dan abstrak.
Apa itu manusia? Bisa jadi orang menjawab manusia
adalah hewan yang berbicara. Tentu itu sudah menjawab
sebagian dari hakekat manusia, tetapi bisa jadi hakekat
manusia yang paling rendah atau yang terendah. Artinya jika
ada manusia yang tidak menggunakan hakekatnya bisa
berbicara, maka hilanglah makna dari manusianya.
Jika dianalisis lebih tajam, manusia bukan sekedar
hewan yang berbicara. Jika demikian, maka boleh jadi orang
akan mengatakan bahwa binatang dan bahkan tumbuh-
tumbuhan pun juga berbicara dengan bahasa mereka masing-
masing. Untuk meningkatkan definisi itu, maka dikatakanlah
manusia itu makhluk yang berpikir. Dengan akal yang
dianugerahkan oleh Allah, manusia mengaktifkannya.
Aktivitas akal itu disebut dengan berpikir secara sederhana.
Dengan demikian, manusia yang tidak berpikir telah
mengurangi hakekatnya sebagai manusia.
Kembali lagi, jika dikritisi, manusia hakekatnya bukan
sekedar berpikir, karena dalam pengertian terbatas kata Andi
Hakim Nasution, binatang pun berpikir, walaupun untuk
kelangsungan hidupnya saja (survive). Tetapi jika dikatakan
bahwa manusia itu makhluk yang berpotensi berpikir ilmiah,
maka berpikir ilmiah adalah salah satu hakekat dari manusia.
Jika kita identifikasi hakekat manusia yang
dikemukakan di atas, manusia itu berbicara, berpikir, dan
berpikir ilmiah. Dikritisi lagi lebih dalam, hakekat manusia
bukan itu saja, tetapi manusia adalah khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia berkewajiban mensukseskan misi Tuhan
dalam menciptakan alam semesta ini. Jika Allah berfirman
jangan membuat kerusakan di muka bumi ini setelah
”dijadikan baik”, maka kita berkewajiban menjaga bumi dari
kerusakan. Jika tidak, maka hakekat kita sebagai manusia
berkurang nilainya. Hakekat manusia sebagai khalifatullah
tentu lebih dalam dan tinggi dari berbicara, berpikir, dan
berpikir logis. Tentu banyak lagi yang bisa disebutkan tentang
hakekat manusia, di antaranya manusia adalah makhluk
spritual. Manusia adalah makhluk dinamis.

B. Epistomologi
1. Definisi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi menyimpan
“misteri” pengertian yang tidak mudah dipahami. Para ahli
pun tidak bisa menghindar dari perbedaan ketika
mendefinisikannya. Perbedaan itu bukan saja pada aspek
redaksi, tetapi termasuk pada aspek substansi. Untuk lebih
jelasnya akan dikemukakan definisi yang dikemukakan oleh
para ahli tentang empistemologi.
Ada ahli yang mendefinisikan epistemologi sangat
umum. Di antaranya, Andi Hakim Nasution mendefinisikan
bahwa epistemologi membahas bagaimana caranya orang
menjadi maklum. Selain itu muridnya, Jujun S. Suriasumantri
dalam bukunya Filsafat Ilmu mendefinisikan epistemologi, cara
mendapatkan pengetahuan yang benar. Definisi yang singkat
dan jelas dikemukakan oleh Juhaya S. Praja, menurutnya
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas ruang
lingkup dan batas-batas pengetahuan.
Ada ahli mendefinisikan epistemologi dengan lebih rinci, di
antaranya Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh M. Zainuddin,
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang, asal-muasal, metode, keshahihan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya dirinci secara berurut:

1. Cabang filsafat
2. Membahas asal-muasal
3. Metode
4. Keshahihan ilmu pengetahuan

Dagobert D. Runes. Dia menyatakan bahwa epistemologi


merupakan cabang filasafat yang membahas tentang sumber,
struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.

Selanjutnya dirinci secara berurut:


1. Membahas sumber pengetahuan
2. Membahas struktur pengetahuan
3. Membahas metode mendapatkan pengetahuan.
4. Membahas ukuran kebenaran pengetahuan.
D.W. Hamlyn mendefinisikan bahwa epistemologi
adalah cabang filsafat yang berusaha membahas dasar, hakikat,
ruang lingkup, dan analogi pengetahuan. Jika unsur-unsur
pengetahuan tersebut berkumpul pada diri seseorang, secara
umum dapat dikatakan bahwa ia memiliki pengetahuan.
Selanjutnya dirinci secara berurut.
1. Dasar pengetahuan
2. Membahas hakikat pengetahuan
3. Ruang lingkup pengetahuan
4. Membahas pengandaian-pengandaian (analogi)
P. Hardono Hadi menyatakan bahwa epistemologi
adalah cabang filasafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan qodrat dan scope pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Berikutnya dirinci secara berurut.

1. Membahas bagaimana mencoba menetukan qadrat


2. Membahas ruang lingkup pengetahuan.
3. Membahas pengandaian-pengandaian (analogi)
4. Membahas dasar pengetahuan.
5. Membahas bagaimana mempertanggungjawabkan
pengetahuan (ukuran kebenaran)
Menurut Azyumardi Azra, epistemologi secara
sederhana dapat diartikan, “ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan.”
Selanjutnya dirinci secara berurut:
1. Membahas tentang keaslian pengetahui
2. Membahas pengertian pengetahuan
3. Membahas struktur pengetahuan.
4. Membahas metode mendapatkan pengetahuan.
5. Membahas bagaimana mengukur kebenaran
pengetahuan.
Selain itu, Muzayyin Arifin menulis bahwa epistemologi
adalah pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber
pengetahuan manusia diperoleh dan pemikiran tentang
validitas pengetahuan manusia. Artinya, sampai dimana
kebenaran pengetahuan manusia itu.
Selanjutnya dirinci sebagai berikut:
1. Membahas apa itu pengetahuan.
2. Membahas metode bagaimana pengetahuan didapatkan
3. Membahas ukuran kebenaran pengetahuan.
Ahmad Tafsir berpendapat hampir sama dengan
Muzayyin Arifin bahwa epistemologi mencoba menguraikan
obyek pengetahun, cara memperoleh pengetahuan, dan cara
mengukur benar tidaknya pengetahuan.
Untuk melihat persamaan definisi-definisi yang lebih
rinci yang dikemukakan para ahli di atas, maka berikut ini akan
ditampilkan dalam bentuk tabel.

DEFINISI EPISTEMOLOGI MENURUT AHLI


Kattsoff 1. Cabang filsafat
2. Membahas asal-muasal
pengetahuan
3. Membahas bagaimana metode
mendapatkan pengetahuan
4. Membahas ukuran kebenaran
pengetahuan
Dagobert D. Runes 1. Membahas sumber
pengetahuan
2. Memabahas struktur
pengetahuan
3. Membahas metode
mendapatkan pengetahuan
D.W. Hamlyn 1. Membahas hakikat
pengatahuan
2. Ruang lingkup pengetahuan
3. Dasar pengetahuan
4. Membahas pengandaian-
pengandaian (analogi)
P.Hardono Hadi 1. Membahas bagaimana
mencoba menentukan qodrat
2. Membahas ruang lingkup
pengetahuan
3. Membahas pengandaian-
pengandaian(analogi)
4. Membahas dasar pengetahuan
5. Membahas bagimana
mempertanggung jawabkan
pengetahuan ( ukuran
kebenaran)
Azyumardi Azra 1. Membahas tentang keaslian
pengetahuan
2. Membahas pengertian
pengetahuan
3. Membahas struktur
pengetahuan
4. Membahas metode
mendapatkan pengetahuan.
5. Membahas bagaimana
mengukur kebenaran
pengetahuan.
Muzayyin Arifin 1. Membahas apa itu
pengetahuan
2. Membahas metode bagaimana
pengetahuan didapat
3. Membahas ukuran
pengetahuan

Jika diidentifikasi pengertian epistemologi di atas, maka


akan ditemukan poin-poin berikut ini:
1. Epistemologi adalah cabang filsafat
2. Epistemologi membahas asal-muasal pengetahuan
3. Epistemologi membahas bagaimana mengukur
kebenaran pengetahuan
4. Epistemologi membahas bagaimana metode
mendapatkan pengetahuan
5. Epistemologi membahas pengandaian-pengandaian
(analogi)
6. Epistemologi membahas ruang lingkup pengetahuan.
7. Epistemologi membahas sumber pengetahuan
8. Epistemologi membahas hakikat pengetahuan.

Pertanyaan Epistemologi
Untuk menambah kedalaman paham tentang
epistemologi, para ahli membuat sejumlah pertanyaan yang
akan dicari. Dari sekian banyak pertanyaan epistemologis,
penulis mengidentifikasi beberapa pertanyaan.
Secara umum, sebagaimana ditulis oleh M. Zainuddin,
pertanyaan epistemologi terbagi dua. Pertama yaitu
epistemologi kefilsafatan yang berkaitan dengan psikologi.
Kedua epistemologi semantik yang berhubungan dengan
pengetahuan dan objek pengetahuan. Kattsoff menyebutkan
ada tiga persoalan epistemologi, yaitu:

1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah


datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana
cara mengetahuinya?
2. Apa sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang
benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah
dapat kita mengetahuainya?
3. Apakah pengetahuan itu benar? Dari mana kita dapat
membedakan yang benar dan yang salah?
Juhaya S. Praja juga merujuk kepada Kattsoff dengan
redaksi yang sedikit berbeda mengemukakan pertanyaan
epistemologi dengan mengkatagorikannya ke dalam tiga
pertanyaan:
1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari mana
pengetahuan yang benar itu datang? Dan bagaimana kita
dapat mengetahuinya? Ini semua persoalan asal (origin).
2. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia riil di
luar akal dan kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya?
Ini semua permasalahan penampilan terhadap realitas.
3. Apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimana
membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini ada
permasalahan yang menguji kebenaran (verifikatif ).
Jujun Suriasumantri berpendapat bahwa epistemologi
adalah menjawab pertanyaan: Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal yang diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar ?Apa yang disebut kebenaran
itu sendiri ? Apakah kriteria kebenaran ? Cara atau teknik atau
sarana apa yang membantu kita dalam mendapat pengetahuan yang
berupa ilmu? Jika diperhatikan pertanyaan pertama yang diajukan
oleh Jujun Suriasumantri berkaitan dengan metode ilmiah.
Pertanyaan kedua berkaitan dengan langkah-langkah (khutuwat)
mendapatkan pengetahuan. Pertanyaan ketiga alat ukur kebenaran
pengetahuan dan terakhir sarana untuk mendapatkan pengetahuan
itu.
Pertanyaan-Pertanyaan Epistemologi Menurut Ahli
N Pendapa Pertanyaan
o t
1 Kattsof 1. Apakah sumber pengetahuan itu?
2. Dari manakah datangnya pengetahuan yang
benar itu ?Dan bagaimana cara
mengetahuinya?
3. Apa sifat dasar pengetahuan itu ?
4. Apa ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita ? dan kalau ada ,apakah dapat
kita mengetahuinya?
5. Apakah pengetahuan itu benar?
6. Dari mana kita dapat membedakan yang benar
dan yang salah ?
2 Juhaya 1. Apakah sumber-sumber pengetahan itu ?
S.Praja 2. Dari mana pengetahuan yang benar itu
datang? Dan bagaimana kita dapat
mengetahuinya?ini semua personal asal
( origin ).
3. Apakah watak dari pengetahuan?
4. Adakah dunia riil di luar akal dan kalau
ada,dapatkah kita mengetahuinya?ini semua
permasalahan penampilan terhadap realitas.
5. Apakah pengetahuan kita itu benar?
6. Bagaimana membedakan antara kebenaran
dan kekeliruan ?Ini ada permasalahan yang
mencoba kebenaran (verifikatif ).
3 Jujun 1. Bagaiman proses yang memungkinkan
Suriasu ditimbannya pengetahuan yang berupa ilmu?
mantri 2. Bagaimana prosedurnya?
3. Hal-hal yang diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar?
4. Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
5. Apakah kriteria kebenaran itu sendiri?
6. Cara atau teknik atau sarana apa yang
membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?

Menjawab Pertanyaan Epistemologi


Dari mana didapatkan bahan untuk menjawab
pertanyaan epistemologis yang diajukan di atas? Dalam
menjawab epistemologis Kattsof mengatakan harus merujuk
pada aliran rasionalisme yang diprakarsai oleh Rence Descartes
dan aliran empirisme yang diprakarsai oleh Francis Bacon.
Belakangan dua aliran itu dapat kritikan dari aliran yang
dinamakan kristisisme.
Kritisisme yang lebih dikenal dengan scientific method.
Aliran ini merupakan sintesa dari aliran rasionalisme dan
empirisme. Posisinya bagaikan konvergensi terhadap nativisme
dan empirisme dalam teori perkembangan manusia.
Dari uraian di atas,jelaslah bahwa untuk memahami
epistemologi menurut Kattsoft merujuk bagaimana aliran
rasionalisme, empirisme, dan semua seluk-seluknya. Namun
demikian Islam sebagai ajaran memiliki sumber dari segala
sumber pengetahuan, yaitu al-Qur’an sebagai wahyu dan juga
al-Hadist sebagai penjelasnya. Untuk itu, menjawab
epistimologi dengan teori-teori yang dirumuskan oleh manusia
harus diklarifikasi ke wahyu sebagai justifikasi, koreksi, dan
progresivitasi.
Mari kita memberikan contoh epistemologi ilmu. Ketika
seorang istri yang terlambat datang bulan, sedangkan ia sedang
berusaha dan berdo’a akan kehamilan, maka ia bisa mengambil
alat pengetes kehamilan. Mengetes kehamilan itu sebagai
obyek pengetahuan kehamilan. Penggunaan alat tersebut
sebagai cara untuk memperoleh kehamilan. Teknik operasional
penggunaan tester itu dengan memasukkan urin si istri ke
dalam tester dan kemudian menunggu beberapa saat.
Orang yang baru lahir diukur panjang badannya
demikian juga ketika meninggal diukur panjangnya untuk
menggali kubur. Setelah ia bisa berdiri, maka diukur dengan
tinggi badan. Pengukuran panjang dan tinggi badan termasuk
epistemologi sains. Jika ada orang yang mengukur tinggi badan
yang baru lahir, maka epistemologinya tidak benar, karena bayi
tersebut tidak bisa berdiri dengan tegak ,sehingga tidak dapat
akurasi tinggi badanya.Demikianlah juga orang yang
meninggal,tidak akan dapat berdiri dengan tegak, dan boleh
jadi dianggap tidak etis.
Orang sering mengatakan bahwa cantik itu relatif. Itu
tentunya tidak salah, karena cantik ada yang bersifat universal
dan ada yang bersifat relatif. Cantik yang bersifat universal itu
menurut penulis adalah “jika kamu melihatnya, dia
menyenangkan hati”.
Cantik yang dibahas di atas merupakan obyek
pengetahuan filsafat. Penglihatan, pemikiran, dan perasaan
cara mengetahui obyek yang cantik. Sedangkan gejala kejiwaan
berupa senang, dan gembira akibat dari melihat yang cantik itu
merupakan cara mengukur yang cantik. Adapun mengukur
kecantikan dari warna kulit, tinggi badan, warna rambut,
panjang rambut, kemancungan hidung, dan variabel-variabel
yang mendukung kecantikan, itu sudah relatif dan cenderung
personal.
Bersedekah dengan ikhlas akan dibalas Allah berlipat
ganda secara materi baik di dunia maupun di akhirat
berdasarkan Surah al-Baqarah/2:261. Ayat ini menggambarkan
bahwa orang yang bersedekah di jalan Allah akan berbuah
bagaikan benih biji padi. Satu benih biji pada jika ditanam di
sawah, maka akan menghasilkan maksimal 7 bulir (sanabila),
setiap bulir itu akan menghasilkan maksimal 100 biji padi
(habbah).
Perlu diingat ayat di atas berupa perbandingan tidaklah
selalu benar bahwa sedekah seribu rupiah dengan iklas akan
menghasilkan tujuh ratus ribu rupiah. Bisa jadi sedekah yang
ikhlas itu dibalas kurang dari 700 kali lipat dan sekaligus tidak
mustahil lebih dari 700 kali lipat. Itu hanya Allah yang
mengetahui. Ayat itu memberi pelajaran, bahwa tingkat
keikhlasan sedekah akan mempengaruhi ganjarannya.
Menurut penuturan pengalaman mistik seorang
perantau ke negara tetangga Brunei tentang sedekah, katakan
namanya Abduh (nama samaran). Ia memiliki anak dua,
semuanya dilahirkan dengan operasi. Pada kehamilan istrinya
yang ketiga, ia galakkan sedekah dengan memohon kepada
Allah agar kelak istrinya dapat bersalin secara normal. Do’a itu
dipajatkan di antaranya karena dorongan material, mahalnya
biaya bersalin dengan operasi.
Apa hasil dari sedekah itu? Menurut al-Kisah, istrinya
tetap melahirkan anak ketiga dengan bantuan dokter melalui
operasi. Anak dan istrinya sehat walafiat. Abduh berterima
kasih sama Allah dan bisa menerima dengan tulus, walaupun
tidak terkabul untuk meringankan biaya persalinan. Tiba
waktunya meninggalkan rumah sakit, ia akan menyelesaikan
biaya administrasi persalinan. Sungguh ajaib katanya, biaya
persalinannya sudah dibayar oleh seseorang yang tidak mau
disebutkan namanya. Sampai anak ketiganya sekolah SMA, ia
belum tahu, siapa manusia yang baik suruhan Allah itu.
Bersedekah merupakan obyek pembahasan mistik. Cara
memperoleh pengetahuan mitik bahwa bersedekah di jalan
Allah akan menguntungkan dipelajarinya melalui wahyu al-
Qur’an. Untuk mengukur kebenarannya itu dengan cara
keyakinan atau keimanan terhadap ayat al-Qur’an. Terkadang
juga mengukurnya dengan bukti empiris.
Dalam hidup kita, sering ditemukan kisah mistik yang
tidak pernah masuk akal manusia (suprarasional), tetapi
masuk”Akal Tuhan”. Sepasang suami-istri kuliah di IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Karena faktor nasib, sang suami
tidak punya uang untuk membayar SPP Kuliah istrinya. Jika
tidak dibayar, maka tidak berhak untuk mengikuti kuliah
semester yang akan berjalan. Istrinya pergi ke kampus dan
bertemu kawan kuliahnya. Sebagai kawan ia berbagi duka
kepada sahabat yang kebetulan putri seorang dosan di Fakultas
Tarbiyah. Dengan tulus, putri dosen itu memberikan sejumlah
uang melebihi yang dibutuhkan untuk membayar uang SPP. Si
istri yang sedang terharu itu pulang ke tempat kost sambil
memperlihatkan duit kepada suaminya. Setelah istrinya
bercerita kronologi bagaimana duit itu diterima. Suaminya
dengan hati bersyukur sambil bertutur,”orang itu wujudnya
manusia, tetapi ia adalah malaikat “. Sungguh keikhlasan itu
barang mahal, maka pantas dan layak diganjar oleh Allah
dengan mahal juga.
Sesungguhnya kebaikan (al-hasan ) manusia tidak pernah
disia-siakan oleh Allah. Al-hasan, subyeknya muhsin dan
jamaknya muhsinun dalam keadaan mansub dan majrur menjadi
muhsinin adalah kebaikan dilihat dari kualitasnya. Tidak
semua jenis kebaikan itu berkualitas atau kebaikan itu
kualitasnya hirarkis (bertingkat-tingkat). Bersedekah bisa
dikatagorikan jenis kebaikan atau bagian kecil dari kebaikan,
tetapi tidaklah semua sedekah itu medapat ganjaran, atau jika
diganjarpun, maka ganjarannya bisa bervariasi. Adakalanya
bersedekah untuk ria (yuraun). Ada juga orang bersedekah,
tetapi sedekah itu menyakitkan hati orang yang menerimanya.
Ketika ada pengemis di rumah miliyader, sedekah diberikan
sambil mengeluarkan kata-kata,”lain kali jangan datang ke sini
ya, menyusahkan saja “

Epistemologi: Obyek,Metode ,dan Ukuran Kebenaran Pengetahuan


Sebelum membahas objek pengetahuan, lebih awal akan
diuraikan objek pengetahuan secara umum. Kemudian akan
dibahas objek pengetahuan filsafat, sains, dan mistik.
Objek sering dipahami banyak orang sama dengan
tujuan. Menurut Mujamil Qomar objek dan tujuan tidak sama.
Sekalipun berbeda tetapi keduanya memiliki hubungan.
Bagaikan laki-laki dan perempuan berbeda tetapi keduanya
memiliki hubungan. Objek adalah suatu yang mengantarkan
tercapainya tujuan.
Untuk mempermudah memahami letak perbedaan objek
dan tujuan, berikut akan diberi contoh. Anggota polisi sedang
mengejar perampok ”kawakan” yang berkali-kali keluar-masuk
penjara dan sering melarikan diri. Katakanlah, secara
prosedural, akhirnya diizinkan untuk membunuhnya. Tujuan
anggota polisi “memburu”perampok itu adalah membunuh.
Katakanlah, untuk dapat membunuh manusia sasaran atau
objek yang dapat ditembak, kepala, dada, dan perut. Akhirnya
perut perampok itu ditembak, kemudian perampok itu
meninggal. Maka dapat disimpulkan supaya tercapai tujuan
polisi membunuh perampok itu dengan menembak perutnya.
Artinya tertembaknya perut perampok mengantar sampainya
tujuan membunuh. Menembak perut adalah objek dan
membunuh adalah tujuannya.
Dalam kasus yang sama di wilayah yang lain, polisi
ingin membunuh perampok. Anggota polisi itu membidik
kepala perampok. Akhirnya perampok pun meninggal.
Tujuannya sama membunuh tetapi objeknya menembak
kepala.
Mengamati tiga kasus ilustratif di atas, ketiganya
memiliki tujuan yang sama, membunuh perampok. Tetapi
ketiga kasus diatas memiliki objek yang berbeda. Pertama
memiliki objek perut, kedua memiliki objek kepala, dan ketiga
memiliki objek dada. Artinya, bisa saja terjadi tujuan hanya
satu, tetapi objeknya lebih dari satu. Kasus di atas bisa saja
terjadi, seorang perampok kepalanya ditembak, tetapi ia belum
meninggal. Kemudian perutnya ditembak, iapun belum
meninggal. Kemudian dadanya di tembak, baru ia meninggal.
Artinya bisa saja tujuan itu tercapai setelah beberapa objek
berhasil dicapai. Dalam konteks objek inilah dapat dipahami
bahwa objek pengetahuan itu sama dengan ruang lingkupnya.
Dalam kuliah pendahuluan, selayaknya dosen
menguraikan ruang lingkup pengetahuan. Apa ruang lingkup
filsafat? apa itu ruang lingkup sains? apa ruang lingkup mistik?
apa ruang lingkup psikologi? apa ruag lingkup sosiologi ? apa
ruang lingkup antropologi? apa ruang lingkup manajemen?
apa ruang lingkup atministrasi?. Dengan bahasa lain, bisa
disebutkan, filsafat membahas tentang apa saja. Itu berarti
sedang membahas ruang lingkup filsafat. Berbicara ruang
lingkup filsafat berarti sedang berbicara objek pengetahuan
filsafat.
Contoh objek psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Ketiga-tiganya obyeknya manusia. Perbedaannya, psikologi
objeknya manusia dilihat dari gejala kejiwaan. Sosiologi
objeknya manusa dilihat dari struktur sosial masyarakat.
Sedangkan antropologi, objeknya manusia dilihat dari sisi
waktu dan tempat. Biologi objek pembahasannya adalah
makhluk hidup dari sisi biologis. Makhluk hidup terdiri dari
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Jadi biologi
membicarakan bagaimana makhluk hidup bisa hidup dan
bagamana makhluk hidup bisa mati.
Turunan dari biologi itu diantaranya ada ilmu
kedokteran. Ilmu kedokteran objek pembahasannya adalah
manusia dilihat dari prespektif kesehatan. Karena bukan saja
manusia makhluk hidup, tetapi ada hewan dan juga tumbuhan,
maka dikenal juga dokter hewan, dan memang kita belum
dengar istilah dokter tumbuh-tumbuhan. Walaupun belum ada
istilah dokter tumbuh-tumbuhan, bukan berarti tidak ada ahli
yang mengurusi unsur-unsur biologis dari tumbuh-tumbuhan.
Bukan kah kita tidak mendengar istilah, dokter manusia.
Penyebutan dokter hewan, boleh jadi karena pada umumnya
orang memahami bahwa dokter itu untuk mengurusi kesehatan
manusia dan ternyata, ada juga yang mengurusi kesehatan
hewan.
Sebaliknya, bisa saja objeknya satu tetapi tujuannya lebih
dari satu. Contohnya, seorang kepala sekolah memecat seorang
siswa SMA karena ia mengkonsumsi narkoba dan sekaligus
tertangkap basa berzina ditempat pelacuran. Objek
pembahasannya memecat siswa. Tujuan kepala sekolah : 1.
Mentaati disiplin yang sudah ada, 2. Mencegah siswa-siswi
yang lain untuk mengkonsumsi narkoba, dan 3. Mencegah
siswa-siswi berzina.
Dari contoh ilustratif di atas, dapat dipahami bahwa
objek yang mengantarkan tercapainya suatu tujuan. Dengan
kata lain, setelah tercapai objek, maka tujuan pun tecapai. Satu
tujuan bisa memiliki objek lebih dari satu dan sebaliknya, satu
objek bisa memiliki lebih dari satu tujuan.
Untuk tujuan taat kepada Allah, banyak objeknya, di
antaranya syariat, akidah, dan akhlak. Untuk tujuan mengenal
Tuhan, objeknya bisa filsafat, bisa sains, dan bisa juga dengan
mistik. Boleh jadi manusia sama sama memiliki tujuan mencari
kebahagiaan. Yang mengantarkan seseorang sampai pada
tujuan itu disebut objek. Maka objeknya bisa harta, pangkat,
wanita, anak,ibadah, dan sebagainya.
Untuk melihat perbedaan objek, metode dan ukuran
(kriteria) kebenaran, di bawah ini akan ditampilkan objek
pengetahuan yang ditulis oleh Ahmad Tafsir .
dalam Epistemologi untuk ilmu pendidikan islam.
Pengetahuan Objek Paradigma Metode Kriteria
Sains Empirik Scientific Scientific Logis
Paradigm Method Empiris

Filsafat Abstrak Logikal Method Logis


Logis Paradigm Of Reason

Mistik Abstrak- Mystical Supra Keyakinan


Supra Paradigm Logis Empiris
Logis

Di halaman lain dalam buku itu juga, Ahmad Tafsir


menyebutkan matriks pengetahuan sebagai berikut.
pengetahuan objek Metode Ukuran
Sains (ilmu) Empiris Ilmiah Logis Empiris

Filsafat Abstrak- Logika Logis


Logis
Mistik Abstrak Supra Rasional, Yakin, kadang-
-supra yakin kadang,empiris
logis
Sepertinya pemahaman Ahmad Tafsir terus berevolusi
tentang pengetahuan mistik .Lihatlah tabel di bawah ini.
Pengetahu Objek Metode Kriteria
an
Sains(ilmu Empiris Ilmiah Rasional-empiris
) Abstrak- Logika Rasional
Filsafat Logis Supra Rasa, iman, logis,
Mistik Abstrak- Rasional, kadang-kadang
Supra Yakin empiris
Logis

Dari tabel di atas, sebagian orang bisa saja bingung


dengan istilah yang kadang-kadang berbeda yang digunakan
oleh Ahmad Tafsir.
Pertama, pada tabel pertama pada kolom metode Ahmad
Tafsir menggunakan bahasa Inggris, sedangkan pada tabel
kedua dengan bahasa indonesia. Kedua, pada kolom objek tabel
pertama, Ahmad Tafsir menggunakan bahasa empirik.
Sedangkan pada tabel kedua dengan empiris. Ketiga, pada
kolom metode pada tabel pertama, Ahmad Tafsir
menggunakan istilah supralogis, sedangkan pada tabel kedua
supra rasional dan yakin. Keempat, pada tabel pertama, Ahmad
Tafsir menggunakan istilah kriteria. Sedangkan pada tabel
kedua menggunakan istilah ukuran.
Subtansi kriteria dan ukuran hampir sama. Tetapi
redaksi keyakinan dan empiris pada tabel pertama dan yakin,
kadang kadang empiris. Istilah istilah yang berbeda menurut
hemat penulis kurang memiliki nilai strategis dalam konteks
ilmiah karena insonsistensi. Kemudian menjadi masalah bagi
orang orang yang tidak mendalami metodologi ilmu tersebut.
Pada tabel ketiga, secara siknifikan, Ahmad Tafsir
menulis kriteria kebenaran mistik: rasa, iman, logis, kadang-
kadang empiris. Yang menarik, sebelumnya, Ahmad Tafsir
tidak pernah menulis bahwa mistik itu bisa diukur
kebenarannya dengan logis, walaupun yang dimaksud itu logis
supra rasional. Sedangkan ukuran logis dalam filsafat
menurutnya logis rasional. Sebelumnya, Ahmad Tafsir hanya
menulis bahwa metode mistik itu supralogis. Pada saat yang
sama, di buku filsafat ilmu, Ahmad Tafsir sudah membedakan
logis dengan rasional sejak tahun 2001, berdasarkan
pemahamannya terhadap tulisan Kant. Sementara itu, ia
menulis bahwa yang rasional itu hanya masuk akal
berdasarkan hukum alam saja, sedangkan yang logis itu
termasuk yang rasioanl tadi dan juga masuk akal berdasarkan
argumentasi.
Menurut hemat penulis, analisis Ahmad Tafsir tentang
perbedaan antara logis dan rasional, kriteria kebenaran sains
semestinya rasional empiris. Sementara filsafat itu logis dan
rasional. Adapun mistik ketika diteorikan memang berada
dalam wilayah filsafat kata Muliadi Kertanegara. Dengan
demikian, mistik ketika diteorikan memang filsafat. Tapi dalam
pelaksanaanya mistik yang diukur dengan rasa, iman,
keyakinan yang kadang kadang empirik.

C. Aksiologi
Aksiologi adalah persoalan nilai. Pertanyaan aksiologi sebagai
mana ditulis oleh Jujun Suriasumantri: untuk apa pengetahuan itu
dipergunakan? bagaimana kaitan penggunaannya dengan kaidah
kaidah moral? bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan pilihan moral? bagaimana kaitan antara teknik
prosedural dengan norma-norma moral.
Burhanuddin Salam menguraikan bahwa aksiologi, berasal
dari bahasa Yunani axios dan logos. Axios artinya nilai dan logos
artinya teori. Jadi aksiologi bisa dikatakan teori nilai atau filsafat
nilai. Defisini lebih singkat lagi menurut penulis disebutkan bahwa
aksiologi adalah kaidah-kaidah penerapan pengetahuan. Yang pasti,
semua pengetahuan tidak boleh dipraktekan jika melanggar aturan
Allah. Jangan melakukan kebaikan dengan cara berbuat buruk.
Bersedekah ke mesjid dengan cara berjudi tentu tidak dibolehkan
norma moral agama. Apa dianggap benar, jika ada orang merampok
toko orang cina karena mereka beragama non-muslim? Tentu keliru
jika dikatakan benar, sampai kita menemukan sumber yang kuat
untuk membenarkannya.
Tujuan baik tetapi cara tidak baik, maka hasilnya tidak baik.
Tujuan tidak baik dan caranya tidak baik juga hasilnya tetap tidak
baik. Ini tidak sama dengan rumus matematika minus x minus
menjadi positif. Kaidah lain semua pengetahuan tidak boleh
dipraktekkan jika efeknya merendahkan martabat harkat manusia.
Artinya, pengetahuan jangan melanggar norma kemanusiaan.
Pengetahuan dijadikan sebagai sarana atau alat untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dengan pertimbangan
kemanusiaan dan keseimbangan alam. Pengetahuan itu juga
semestinya digunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti milik bersama dan universal, tidak memiliki konotasi parokial
seperti ras, warna kulit, dan agama. Pengetahuan tidak boleh
dipraktekkan jika efeknya merampas hak milik orang lain secara
tidak sah.
Nilai berhubungan dengan moral dan etika. Etika
berhubungan dengan persoalan baik dan buruk. Dalam khazanah
teologi, persoalan baik buruk, dibahas apakah akal tanpa wahyu bisa
mengetahui yang baik dan yang buruk? singkatnya, ada aliran
pemikiran yang berpendapat bahwa akal saja dapat mengetahui
persoalan baik dan buruk. Pemikiran itu diwakili oleh Mu’tazilah
yang dikenal sebagai aliran rasional dan Maturidiah, baik samarkand
maupun bukhara. Jika rasional sebagaimana diuraikan pada
pembahasan epistemologi hanya berhubungan dengan hukum alam,
maka aliran Mu’tazilah dengan demikian bercorak logis atau
logisme. Aliran lain berpendapat bahwa persoalan baik dan buruk
hanya diketahui melalui wahyu. Aliran ini diwakiili oleh pemikiran
Asy’ariyah yang banyak dikenal sebagai salah satu golongan ahli
sunnah wa al-jama’ah yang terkenal.
Apakah pengetahuan memiliki hubungan erat dengan
persoalan nilai. Secara spesifik, pengetahuan dalam paradigma
ilmu, ada yang berpendapat tidak berhubungan dengan nilai
(bebas nilai). Apakah ilmu itu akan dipergunakan untuk
kebaikan atau untuk keburukan bukanlah urusan ilmu itu
sendiri. Ketika ilmuan menciptakan bom, maka bom itu bisa
dipakai untuk sarana pengeboran minyak. Bom itu juga bisa
untuk membom Hirosima dan Nagasaki. Tetapi ada juga yang
berpendapat lain, bahwa ilmu itu tidaklah bebas nilai. Ilmu itu
dipergunakan haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.60
Teknologi pistol dan senapan, tidak diciptakan untuk
membunuh orang-orang tidak berdosa, kata mereka yang
berpendapat bahwa ilmu harus terikat nilai. Sementara bagi
mereka yang berpendapat ilmu bebas nilai, tidak
mempersoalkan untuk apa dipakai pistol dan senapan.
Menurut Amsal Bakhtiar, ”kelihatannya netralitas ilmu
terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak
kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus
mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang
pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan
lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.”
Apakah ada hubungan pengetahuan dengan kebaikan
dan keburukan? Nilai moral tidak berdiri sendiri, ia bergabung
dengan agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling
utama nilai moral berhubungan dengan tanggung jawab
seseorang. Apakah seorang ilmuan baik atau tidak sangat
ditentukan oleh nilai moral yang dimilikinya.
Setidaknya pola hubungannya dapat dijelaskan secara
psikologis dan sosiologis. Seorang yang sudah bergelar
Profesor Doktor dalam bidang ”keagamaan” dan hafizh al-
Qur’an, secara psikologis akan merasa lebih malu jika
melanggar aturan keagamaan seperti meninggalkan shalat,
puasa, tidak taat berzakat, dan apalagi suka menipu.
Manusia tidak selamanya berbuat baik dengan
kepintaraannya. Terkadang, dengan kepintaran juga orang
berbuat buruk. Jika manusia berbuat buruk dengan
kepintarannya, maka bisa seperti yang digambarkan oleh al-
Qur’an lebih hina dari binatang. Kerbau walaupun tidak
pintar, tetapi dia tidak berbuat curang dan tidak juga serakah.
Prof. Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhan guru
besarnya dalam bidang ekonomi di UGM, mengharapkan ilmu
ekonomi tidak mengajarkan keserakahan.
Mencari rezeki bukan saja dianjurkan, tetapi diwajibkan,
namun menumpuk harta dengan memiskinkan orang lain tidak
sesuai dengan norma aksiologi. Bagaimana kita memahami
kalimat-kalimat paragmatis, ”tidak ada kawan setia dan yang
ada adalah kepentingan setia”. Aliran pragmatis melahirkan
hedonisme. Hedonisme tidak peduli dengan urusan baik-
buruk. Yang mengesampingkan persoalan baik dan buruk
berarti mengesampingkan aksiologi. Orang Barat tidak terlalu
concent dengan persoalan aksiologi dan ontologi. Mereka lebih
memperhatikan persoalan epistomologi. Yang sangat perduli
dengan persoalan aksiologi adalah agama dan oleh sebab itulah
erat sekali hubungan antara agama dan moral.
Ilmu telah berjasa menciptakan peradaban manusia tulis
Amsal Bakhtiar. Ilmu memberantas penyakit setidaknya telah
mampu memberikan kebahagiaan sesaat untuk penderitanya.
Ilmu ekonomi tidak dapat dipungkiri melahirkan orang-orang
kaya yang berbahagia sementara. Ilmu tentang transportasi
telah banyak membantu kerja otot manusia, sehingga manusia
zaman sekarang, tidak jarang mengukur kesuksesan dari
pemilikan kenderaan.
Ilmu tentang ATM membuat para nasabahnya tidak
terikat dengan jam kerja bank. Di balik itu semua, tersimpan
pertanyaan aksiologis, apakah ilmu itu selalu merupakan
berkah dan penyelamat bagi manusia?
Melihat fenomena ilmu dengan segala manfaatnya,
barangkali tidak ada lagi ilmuwan yang berani menjawab
bahwa ilmu selalu menjadi berkah dan penyelamat bagi
manusia. Paradigma lama memang mengatakan bahwa ilmu
itu untuk mengatasi masalah hidup. Sementara paradigma
baru mengatakan bahwa ilmu mengatasi masalah dan
melahirkan masalah baru. Pencentus jargon pegadaian yang
mengatakan ”mengatasi masalah tanpa masalah” hanya sebatas
promosi saja yang tidak mustahil melanggar norma aksiologi
juga. Bukankah sudah diuraikan dalam pembahasan efek
negatif sains, bahwa sains menjadi berhala baru, pisau bermata
dua, miskin ruhani, dan sebagainya.
Mungkin kita perlu merumuskan secara ontologis apa
yang bisa mengatasi masalah tanpa masalah yang bukan
sekedar promosi. Mari kita yakini dalam pendekatan mistik
bahwa ”Agama mengatasi masalah tanpa masalah”. Jika tidak
yakin, maka anggaplah itu sebagai wacana hipotesis yang
memerlukan pembuktian.
Mari kita berutak-atik menurut bahasa Kuntowijoyo,
banyak orang yang merasakan secara mendalam bahwa tidak
mempunyai anak menjadi masalah. Hal itu bisa kita lihat dari
fenomena berobat untuk mendapat keturunan.
Selain itu, tidak adanya keturunan bisa menciptakan
perceraian. Sebagian mengatasinya dengan mengadopsi anak
dan sebagaian lainnya melakukan poligami, dan sebagainya.
Tidakkah pemilikan anak juga menciptakan masalah bagi
sebagian orang.
Memikirkan urusan dunia anak, tidak jarang manusia
berani melanggar aturan Allah seperti mencuri, korupsi, dan
jenis penipuan lainnya. Fenomena membuang bayi di antara
sebagaian bukti bahwa pemilikan anak menuai masalah bagi
sebagian orang. Bukan tidak ada, orang tua yang stress dan
bahkan diduga menyebabkan kematian karena ulah anak itu
sendiri. Untuk itulah al-Qur’an mengatakan harta dan anak
bisa menjadi masalah ”fitnah”. Dalam karya nomologis Arab
ada ungkapan, ”mashâib al-qaum ’inda al-qaum fawâid: musibah
bagi seseorang, manfaat untuk orang lain”. Apakah wisdom ini
turut menggagalkan teori win-win solution atau mutualisme
simbiosis?
Landasan aksiologi tentu harus otoritatif, dan sumber
paling otoritatif, dari Pencipta kebenaran itu sendiri. Walaupun
manusia merumuskan kebenaran aksiologi dan dapat diterima
oleh semua orang, tetapi pengetahuan manusia sangat terbatas
dan apalagi kebenaran aksiologi itu tidak semua disetujui oleh
manusia. Untuk itu sumber paling otoritatif adalah ayat al-
Qur’an. Ayat al-Qur’an diyakini oleh kaum Muslimin
bersumber dari Allah yang kebenarannya mutlak. Ketika
kebenaran yang mutlak itu dipahami oleh manusia, maka
kualitasnya relatif mendekati mutlak.
Salah satu pertanyaan yang dijawab oleh aksiologi
adalah untuk apa? Di dalam al-Qur’an, kalau ada orang
membunuh, maka hukuman bagi yang membunuh adalah
qishâsh, yaitu membunuh orang yang membunuh.
‫ا َأُّي ا اَّلِذ ي آ وْا ُك ِت َل ُك اْلِق ا يِف اْلَق َلى ا ُّر ِب ا ِّر اْل ُد ِباْل ِد‬
‫ْت ُحْل ُحْل َو َعْب َعْب‬ ‫َي َه َن َم ُن َب َع ْي ُم َص ُص‬
‫اٍن‬ ‫اُألنَثى ِب اُألنَثى َف ُعِف َل ُه ِم َأِخ ي ?ِه َش َفاِّت اٌع ِب اْل ْع وِف َأَداء ِإَلْي ِه ِبِإ‬
‫ْح َس‬ ‫َم ُر َو‬ ‫ْي ٌء َب‬ ‫َمْن َي ْن‬ ‫َو‬
‫ٌة َف ِن اْعَتَد ى َد َذِل َل َذ ا َأ يِل‬ ‫ِف‬ ‫ِل‬
‫َبْع َك َف ُه َع ٌب ٌم‬ ‫َذ َك ْخَت يٌف ِّم ن َّرِّبُك ْم َوَرَمْح َم‬
Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.” (Q.S. al-Baqarah: 178)
Tulisan ini tidak memasuki wilayah fiqh tentang tafsiran
maqâshid al-syari’ah, agar pelakunya tidak mengulangi lagi,
sehingga hukum qishâsh bisa diganti dengan macam bentuk
hukuman termasuk hukuman penjara. Pertanyaan
aksiologisnya, untuk apa orang yang membunuh diqishash.
Secara filosofis dan juga psikologis manusia amat
menghargai kehidupan. Agar tidak mudah menghilangkan
nyawa manusia, maka diberlakukan hukum qishash. Jika
seorang pembunuh diqishash, dia tidak mempunyai peluang
kembali untuk menghilangkan nyawa orang lain. Tetapi
walaupun demikian, kalau ahli waris yang dibunuh memberi
maaf kepada yang membunuh, sehingga qishash diganti
dengan diyat (ganti rugi), maka hal itupun diperbolehkan.
Alternatif kedua ini sebagai indikator ada juga manusia pemaaf
walaupun tidak banyak (minoritas).
Orang yang pemaaf adalah orang kaya. Kata maaf dalam
Q.S. al-Baqarah/2:219 dikatakan, apa yang harus diinfakkan.
Yang diinfakkan itu al-`afw. Al-`afw biasa diterjamahkan maaf.
Al-Farmawi dalam tafsir al-Sahl al-Murid fi Tafsir al-Majid
menyebutkan bahwa al-`afw adalah ma jada min hajatika wa hajati
ahlika: apa yang lebih dari kebutuhanmu dan keluargamu.
Orang yang punya melebihi kebutuhannya dan keluarganya
disebut al-`afw. Itulah sebabnya penulis mengatakan bahwa
pemaaf itu orang kaya. Walaupun dalam tafsir ayat itu kata
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa khamr adalah
minuman yang dibuat dari anggur. Kalau banyaknya anggur,
tidak dapat dikonsumsi oleh pemiliknya, maka dibuatlah
khamr. Khamr itu adalah minuman kegemaran orang Arab
jahiliah. Maka kata Syeikh Muhammad Abduh, salah satu yang
menyakitkan bagi orang Arab dengan kedangan Islam adalah
pengharaman khamr yang mereka sangat sukai. Karena sering
anggur itu banyak dan tidak habis dikonsumsi dan mereka
pun tidak mau menyedekahkannya. Setelah pengharaman
khamr dan judi, orang Arab pun bertanya kepada Rasulullah,
apa yang harus diinfakkan? Allah mengatakan, “katakan
Muhammad al-`afw”. Yaitu menginfakkan kurma yang tidak
dibutuhkan seseorang dan keluarganya. Diinfakkan untuk
menghindari kesia-siaan (mubadzdzir) dan keharaman. Haram
karena mengolah anggur menjadi khamr.
Pertanyaan aksiologi berikutnya, apakah jika
dilaksanakan qishahs, tidak melahirkan masalah? Jika
diperdebatkan dengan akal manusia, bisa jadi ini dianggap
melahirkan masalah baru, yaitu akan melahirkan kesedihan
bagi keluarga yang diqishash dan tidak mustahil, ia tidak dapat
menerima hukuman qishash dan malah balik menuduh, itu
tidak manusiawi.
Untuk memahami hal di atas barangkali bisa kita
meneladani sikap ilmiah Prof. Dr. Aznan Lelo ketika
mengomentari keharaman memakan daging babi dan sekaligus
menyentuhnya termasuk najis berat. Menurutnya, walaupun
ada manfaat yang terdapat pada jasad babi, tetapi babi itu
haram. Kalau sudah haram kata Allah, maka tidak boleh lagi
dikutak-katik. Hal itu juga pernah dikatakan oleh Prof. Dr.
Zulfikar Siregar, M.P kepada penulis bahwa dalam jasad babi
itu ada yang ampuh dijadikan obat.
Memang ketika hukum jinayah yang secara teknis
tercantum di dalam al-Qur’an seperti hukum qishash, potong
tangan, jilid, dan rajam, mendapat resistensi dari sebagian
kalangan dengan dalih melanggar hukum Hak Asasi Manusia
(HAM). Kita tidak tahu persis mereka yang menolak
diberlakukan hukum jinayah yang telah jelas tercantum dalam
al-Qur’an melanggar Hak Asasi Manusia atau mereka yang
menolak aturan itu sendiri sedang melanggar Hak Asasi
Manusia yang telah ditentukan oleh Allah. Penolakan itu tentu
tidak terlepas dari kepentingan politik kelompok atau agama
tertentu. Tidak logis dong, jika Allah Yang Maha Tahu
membuat aturan yang salah. Jangan-jangan mereka yang
menolak diberlakukan hukum Tuhan itu masuk dalam
pepatah, ”maling teriak maling”.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
tentang ilmu yang mengatasi masalah dan melahirkan
masalah baru dalam paradigma moral agama. Jika dengan
perkembangan ilmu perbankan dan semua perangkat
teknologinya seperti teknologi ATM dan SMS Banking telah
mengurangi angka karyawan di bank, bukanlah melanggar
aturan aksiologis. Tetapi, jika ekses teknologi HP
merenggangkan silaturrahmi secara fisik, maka ini yang
dimaksud melahirkan masalah baru. Kalau untuk
mengembangkan ilmu kedokteran dengan menggunakan
mayat sebagai bahan praktek, baru mendatangkan masalah
baru karena melanggar norma agama. Makan kodok, sebagai
vitamin yang sesuai untuk meningkatkan kualitas loncatan
pemain basket, mendatangkan masalah baru, karena melanggar
norma agama.
Nilai, ada yang bersifat subyektif ada yang obyektif. Jika
nilai itu tergantung pada subyek, maka nilainya subyektif.
Sedangkan jika nilai itu tergantung dengan obyeknya, maka ia
obyektif. Ketika ”teroris” menghancurkan gedung WTC di
Amerika, bisa jadi ada orang yang menilai, sungguh hebat
”teroris” itu tanpa bisa diantisipasi Badan Intelijen negara
adidaya. Sebaliknya, bisa jadi ada orang menilai, sungguh
biadap pelakunya karena mengorbankan jiwa manusia. Itu
yang disebut nilai yang subyektif. Tetapi, terorisme itu tidak
baik dan sementara jihad itu baik baru disebut nilai yang
obyektif.
Tidak semua ilmu dan teknologi selalu berdampak
positif bagi masyarakat, kadangkala ia berdampak negatif. Jika
terjadi kritikan terhadap ilmu, para ilmuan harus berjiwa besar,
terbuka menerima kritik. Tugas ilmuan menjelaskan hasil
penelitiannya seobyektif mungkin atas dasar rasionalitas dan
metodologis yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab ilmuan memberi contoh
bukan lagi memberikan informasi. Ia memang harus
mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar, tetapi ia
tetap bersikaf terbuka terhadap kritik dan pendapat orang lain,
dan jika bisa tidak malu mengakui kesalahan.
Persoalan aksiologi dalam Islam setidaknya dapat
dipahami dari klarifikasi al-Ghazali pada ilmu yang terpuji
(mahmud), ilmu yang dibolehkan (mubah), dan ilmu yang tercela
(madzmum). Menurutnya ilmu yang tercela itu termasuk sihir,
maka tidak boleh dipelajari. Artinya, tidak dibolehkan orang
mempelajari ilmu sihir dan kemudian mengamalkannya. Jika
diamalkan, maka akan merugikan kemanusiaan manusia.

Tanggung jawab sosial ilmuan


Pada dasarnya penemuan ilmu bersifat individual,
namun mengkomunikasikannya dan penggunaannya bersifat
sosial. Jika penelitiannya berhasil, maka namanya akan menjadi
harum dan peradaban manusia semakin maju. Lihatlah
bagaimana Newton dan Edison dapat mengubah wajah
peradaban. Sebaiknya, jika penelitiannya salah, maka ia akan
ditertawakan, dicaci-maki seperti Darwin yang mengatakan
asal-usul manusia dari kera. Pada masanya dia dipuji-puji, dan
pada masa sekarang tentunya sudah ditertawakan orang. Itulah
sebagian dari resiko pribadi ilmuan. Namun lain halnya
dengan prinsip perkembangan ilmu dalam Islam. Jargon
“seorang mujtahid, apabila ijtihadnya salah, maka ia dapat
pahala satu, tetapi jika ia benar, maka ia akan mendapat pahala
dua.” Turut mendukung pengembangan ilmu pengetahuan.
Islam sangat peduli dengan perkembangan ilmu, dapat
dilihat dari wahyu pertama diturunkan kepada Nabi
Mudammad Saw adalah printah “membaca”. Membaca teks
tertulis dan yang tidak tertulis. Iqra’ (membaca) memiliki
beberapa makna, yaitu menelaah, mendalami, meneliti, dan
mengetahui ciri sesuatu. Al-Qur’an sangat apresiatif terhadap
penemuan dan pengembangan ilmu. Orang yang berilmu
menempati derajat yang sangat mulia dengan orang yang
beriman. Dikatakan juga oleh Al-Qur’an bahwa orang yang
berilmu dan yang tidak berilmu itu berbeda. Manusia punya
telinga, mata, dan hati (fuad), maka tidak boleh mengikuti
sesuatu, tanpa mempunyai ilmu tentang sesuatu itu.
Selain itu, ditemukan di dalam hadits bahwa menuntut ilmu
wajib bagi kaum muslimin dan muslimat, bahkan secara
spesifik, Rasulullah juga pernah bersabda, tuntutlah ilmu
sampai ke negeri China. China pada permulaan Islam jauh
lebih maju dari Arab, untuk itulah jika benar hadits tersebut,
maka berimpilikasi pada semangat menuntut ilmu tidak
memandang tempat dan agama karena sifat ilmu itu universal.
Sejalan dengan Al-Qur’an dan hadits, banyak ungkapan
para ulama yang subtansinya agar manusia ini menuntut ilmu.
Di antaranya, “belajarlah, karena tidak ada manusia yang
dilahirkan dalam keadaan berilmu”, “barang siapa yang tidak
menuntut ilmu di masa mudanya, maka shalatkanlah empat
takbir karena ia telah mati” “ilmuan itu dinilai sangat besar
walaupun ia masih muda, sedangkan yang bodoh itu dinilai
kecil walaupun ia sudah tua”.
Kewajiban sosial untuk menyebarkan ilmu bagi ilmuan
berdasarkan Surah Al-Baqarah/2:159 dan Surah Al
Imran/3:187. Menurut Imam al-Dzahabi, dosa besar bagi
mereka yang tidak menyebarkan ilmunya. Selain itu, dikatakan
dalam hadits yang artinya, “Barang siapa yang ditanya dan ia
menyembunyikannya, maka ia akan dirantai di akhirat dengan tali api
neraka”.
Seorang ilmuan bertanggung jawab di wilayah
keilmuannya. Contohnya bagaimana masyarakat awam tahu
bahayanya mengkonsumsi indomie di Taiwan, jika yang
memiliki otoritas keilmuan tidak memberitahukan. Bagaimana
dengan banyak kasus hukum, orang-orang miskin yang awam
dan tidak mampu membayar pengacara harus mendekam
dalam penjara karena ketidakadilan. Bagaimana pengguna gas
elpiji yang awam akan merasa aman (secure), jika yang punya
otoritas ilmu tidak memberikan informasi. Masing-masing
ilmuan memiliki tanggung jawab moral untuk
menyebarkanluaskan ilmu secara proaktif dan reaktif.
Tetapi karena manusia memiliki sifat yang buruk yang
dikuasai oleh nafsu duniawi, maka tidak selamanya para
ilmuan jujur dengan keilmuannya. Para ilmuan bisa berkata
lain dengan pengetahuannya karena pesanan sponsor. Untuk
itulah al-Ghazali menggolongkan ulama pada ulama akhirat
dan ulama dunia. Ulama dunia itu disebut ulama yang buruk,
dimana ilmu digunakan untuk ambisi duniawi. Jika terjadi
seperti ini, para ilmuan tidak jarang mengakal-akali
(rasionalisasi) dengan ilmunya untuk meraih materi. Dia
berusaha untuk menyakinkan dengan kemampuannya untuk
melakukan sesuatu dengan tujuan material. Yang seperti ini
biasa penulis sebut, “proyek orang pintar”.

DASAR-DASAR ILMU
PENDIDIKAN

Pendidikan Sebagai Ilmu Memiliki Landasan Filosofis Yang Sama


Dengan Ilmu Lainnya,
Yaitu Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi.
Namun Secara Teknis Ontologi, Epistemolog, Dan Aksiologi Ilmu
Berbeda Atau Setidaknya Bervariasi Berdasarkan Obyek Kajiannya

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN

Semua ilmu bahkan pengetahuan memiliki tiga landasan


filosofis, yaitu Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi.
Pendidikan bagian dari ilmu sosial atau ilmu pengetahuan
sosial yang juga memiliki landasan.

A. Ontologi Ilmu Pendidikan


Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara sederhana
tentang obyek dan hakekat Ilmu pendidikan. Untuk
menjawabnya, pertama kali akan dikemukakan definisi-definisi
pendidikan yang dikemukakan para ahli dan selanjutnya
membahas hakekat pendidikan untuk manusia.
Pendidikan adalah pengalaman belajar, untuk itu dapat
didefinisikan bahwa pendidkan adalah keseluruhan
pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidup. Dengan
demikian pendidikan berlangsung sejak buaian sampai ke liang
lahat (never ending learner).
Umar Tirtarahardja dan La Sulo membedakan definisi
pendidikan berdasarkan perspektif proses transformasi
budaya, proses pembentukan pribadi, proses penyiapan warga
negara, dan proses penyiapan tenaga kerja.
Pendidikan sebagai proses transformasi budaya adalah
pewarisan atau pembudayaan atau pembiasaan yang baik-baik
dari generasi ke generasi lain. Dalam konteks inilah dikenal
pendidikan bahasa anak, pendidikan merangkak bagi bayi,
pendidikan berjalan, dan pendidikan fisik lainnya. Selain itu
pendidikan cara bicara yang sopan atau sopan-santun
berbicara. Bagaimana berbicara dengan kawan seumur, dengan
kawan yang lebih tua umurnya, dengan orang tua, termasuk
dalam pengertian ini. Pendidikan ibadah seperti sholat dan
puasa. Termasuk juga dalam pengertian pendidikan, cara
bertamu dan menerima tamu, dan semua adat dan istiadat
yang baik.
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi adalah
kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah untuk
pembentukan kepribadian peserta didik. Dengan redaksi yang
berbeda, Ahmad Tafsir berkesimpulan bahwa pendidikan
adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya. Lebih
lanjut, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengembangan pribadi termasuk pendidikan oleh diri
sendiri. Artinya, diri sendiri termasuk pendidik sekaligus
peserta didik. Juga termasuk pendidikan lingkungan selain
manusia. Terakhir pengembangan pribadi itu adalah
pendidikan oleh orang lain. Dalam makna inilah pendidikan
yang banyak dipahami secara umum. Lebih rinci juga Ahmad
Tafsir mengatakan yang dimaksud dengan seluruh aspek
pendidikan adalah pendidikan jasmani, akal, dan hati.
Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara
adalah kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik
agar menjadi warga negara yang baik. Pendidikan biasanya
dikelola oleh pemerintah. Untuk itu pendidikan juga bersifat
nasionalis untuk mencetak warga negara yang baik. Jika negara
tidak mencetak warga negara yang baik, maka roda
pemerintahan tidak bisa berjalan dengan baik. Jika dalam
filsafat Pancasila tidak dikatakan bahwa warga negara yang
baik itu harus bersifat pancasilais, maka bisa jadi orang yang
berpemahaman bahwa negara harus berazaskan Islam protes
dan bahkan memberontak, sehingga mengganggu sistem
pemerintahan.
Dalam salah satu kurikulum pendidikan pesantren di
Indonesia, pendidikan cinta akan negara atau tanah air
diajarkan. Judul materi pelajaran itu ”kasysyaf: pramuka” dan
isinya, ” Saya seorang pramukawan. Kewajiban saya untuk
membantu. Saya berusaha sekuat tenaga untuk mengabdi
kepada Allah. Saya juga mengabdi pada kepentingan
keluargaku. Tanpa mengharap balasannya. Mengabdi pada
negara.”
M. Naquib al-Attas menolak bahwa pendidikan
bertujuan mencetak warga negara yang baik. Menurutnya,
konsep baik dalam manusia (al-khair) bersifat universal. Dengan
demikian, jika tujuannya nasionalisme, maka menjadi tidak
universal.
Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja
adalah kegiatan membimbing peserta didik, sehingga memiliki
bekal dasar untuk bekerja. Dalam pemikiran pendidikan Islam
dikenal pendapat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu
untuk orientasi ilmu itu sendiri (al-’ilmu li al-’ilmi) dan ada juga
yang berpendapat bahwa menuntut ilmu untuk orientasi
mencari kerja (al-’ilmu li al-’amali). Pendapat pertama diwakili
oleh Imam al-Ghazali. Menurutnya, ilmu itu adalah keutamaan.
Untuk itu, menguasai ilmu baginya adalah tujuan pendidikan.
Kelompok kedua nampaknya diwakili oleh Ibn Sina.
Pendidikan baginya hendaknya dapat menciptakan keahlian
dan keahlian itu akan menjadi pekerjaan.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa
pendidikan itu merupakan proses, kegiatan, dan pembiasaan.
Jika kita lihat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia, Bab I, Pasal 1, disebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari banyaknya definisi yang dikemukakan oleh para
ahli tentang pendidikan, maka perlu dirumusan indikator-
indikatornya. Indikator pendidikan itu hemat penulis
setidaknya memuat tiga hal, yaitu: proses, usaha sadar, dan
perubahan ke arah yang positif. Proses bagaikan mesin. Mesin
sebagai sarana teknologi tentu akan mengolah sesuatu menjadi
lebih berharga. Singkong dan gandum diolah menjadi berbagai
makanan yang siap saji. Air putih juga diolah menjadi berbagai
minuman nikmat. Pendidikan juga memproses peserta didik
agar menjadi orang yang lebih baik dan lebih berguna dari
sebelumnya. Jika pendidikan hanya bisa merubah singkong
menjadi sampah, itu tidaklah positif. Pendidikan bisa merubah
sifat anak yang tidak tahu sopan-santun menjadi tahu sopan
dan santun. Pendidikan bisa merubah orang bodoh menjadi
orang pintar. Pendidikan bisa merubah orang yang materialistis
menjadi sosialis, dan sebagainya.
Dalam Komperensi Internasional I tentang Pendidikan
Islam di Jeddah tahun 1977, dipresentasikan 150 makalah dari
berbagai ahli pendidikan dunia. Konferensi itu memang tidak
berhasil mendefinisikan pendidikan Islam secara sepakat.
Namun, para peserta membuat kesimpulan bahwa pendidikan
menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung
dalam tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
Sebelum konferensi itu, dunia Islam sudah akrab
dengan istilah tarbiyah yang disejajarkan dengan istilah bahasa
Inggris education. Selain istilah tarbiyah yang berarti
pendidikan, dunia Islam pun sudah mengenal istilah ta’lim
yang berarti pengajaran. Mahmud Yunus sendiri menulis
dengan jelas istilah ta’lim dalam bukunya al-Tarbiyah wa al-
Ta’lîm.
Ta’lim dalam pengertian pengajaran lebih dipahami
bagian dari tarbiyah dan tarbiyah lebih luas dari ta’lîm.
Sebagaimana ditulis Ahmad Tafsir bahwa para ahli sependapat
bahwa pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Artinya
pendidikan lebih luas dari pengajaran.
Dalam Konferensi Internasional I tentang Pendidikan
Islam di Jeddah itu, mengemuka istilah yang cenderung baru,
yaitu istilah ta’dîb. Konsep ta’dîb dipresentasikan oleh M.N. al-
Attas dengan jelas. Menurutnya istilah pendidikan di dalam
Islam yang paling cocok adalah ta’dîb, sedangan tarbiyah dan
ta’lîm memiliki kelemahan.
Untuk lebih memahami bagaimana pengertian ketiga
istilah itu, ”Bapak ta’dîb” M.N. al-Attas merinci lebih lanjut
alasan-alasan logis dan ilmiah menurut pandangannya.
Tarbiyah menurut al-Attas adalah terjemahan dari
education. Education, educate, educatio, dan educare berarti
menghasilkan dan mengembangkan yang bersifat fisik
material. Jika demikian, maka itu sekuler. Selain itu,
menurutnya tarbiyah tidak diperuntukkan untuk manusia saja,
termasuk juga untuk hewan .Dengan tarbiyah bisa dikatakan
tarbiyah al-jâmûs (pendidikan kerbau), tarbiyah al-dîk
(pendidikan ayam), tarbiyah al-tsamarât (pendidikan buah-
buahan), dan sebagainya. Lebih lanjut al-Attas mengatakan,
tarbiyah orang tua pada anak dalam (Q.S. al-Isra/ 17 : 24)
bukanlah pendidikan, tetapi rahmah dan kasih sayang. Untuk
itu Tuhan disebutkan Rabb karena Dia mengatur dan
mengurus semua makhluknya dengan penuh kasih sayang.
Ta’lîm menurut al-Attas hanya sebatas pengajaran. Hal
ini banyak dipahami para ahli pendidikan termasuk Mahmud
Yunus. Hanya saja al-Attas tidak merinci secara luas seperti ia
menjelaskan kesalahan konsep tarbiyah.
Para pendidik, khususnya di sekolah memang lebih
banyak melakukan proses ta’lîm dibanding dengan tarbiyah
dalam pengertian pendidikan. Aspek trasfer of knowledge sangat
dominan, sehingga tidak heran, banyak orang mengkritik
bagaimana sekolah hanya memperdulikan aspek kognitif saja.
Bisa jadi aspek aspek afektif dan psikomotorik lebih dapat
dilihat hasilnya di lembaga pendidikan dengan sistem boarding
school.
Adapun ta’dîb menurut M.N. al-Attas memiliki arti:
mendidik, undangan penjamuan, kebudayaan, tata tertib sosial,
kehaluasan budi, kebiasan yang baik, menghias, ketertiban,
kepantasan, kemanusiaan dan kesusastraan, kepintaran,
kecerdasan, dan kepandaian, kesopanan, kehalusan, dan
kebaikan budi pekerti.
Lebih lanjut, ia mengatakan pendidikan itu tidak
bermakna apa-apa jika tidak menampakkan sesuatu. Yang
ditanamkan itu adalah ilmu. Pendidikan dengan konsep ta’dîb
untuk perbaikan akhlak atau nilai-nalai kehidupan manusia.
Walaupun M.N. al-Attas dengan yakin benar konsep
ta’dîb-nya, tetapi pada umumnya sampai sekarang para ahli
cenderung menggunakan istilah tarbiyah dibandingkan ta’lîm
dan ta’dîb. Memang ada ahli yang memilih konsep ta’lîm lebih
universal seperti Abdul Fatah Jalal. Ia merujuk bahwa Allah
menggunakan kata ta’lîm untuk Nabi Adam a.s.
Di antara definisi Pendidikan Islam dengan
menggunakan istilah tarbiyah, al-Abrasyi mengatakan
pendidikan Islam, mempersiapkan manusia agar bisa hidup
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmani,
sempurna akhlaknya, teratur pikiran, halus perasaan, mahir
dalam pekerjaan, manis bertutur kata baik dengan lisan
maupun dengan tulisan.
Sementara Marimba mendefinisikan pendidikan Islam,
”bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
agama Islam menuju pada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.”
Menurut Zakiah Daradjat bahwa hakekat pendidikan
adalah kebutuhan manusia, berfungsi sosial, dan bimbingan,
sarana pertumbuhan, dan membentuk disiplin hidup.
Di lingkungan masyarakat primitif sekalipun seperti
suku Anak Dalam (Kubu) di Jambi, orang tua bertanggung
jawab atas pendidikan anak-anaknya, walaupun dalam bentuk
yang sederhana. Orang tua memperkenalkan hutan, buah-
buahan yang layak dimakan, membuat alat perangap binatang,
agar kelak putra-putrinya dapat beradaptasi dengan
lingkungan.
Pendidikan di masyarakat agraris juga kita jumpai
bagaimana orang tua mendidik anak-anaknya cara bercocok
tanam. Di masyarakat nelayan, orang tua mengajari anak-
anaknya bagaimana caranya menjadi nelayan yang baik dan
mandiri. Di masyarakat modern, pendidikan diberikan lebih
terorganisir. Orang tua sudah membimbing anak pada tahun
tertentu belajar mengaji, belajar membaca, menulis, dan
berhitung di lembaga tertentu. Ketika pendidikan sekolah
dirasakan kurang dan masih ada kemampuan ekonomi, anak-
anak diberi belajar di tempat bimbingan belajar sebagai
tambahan, dan sebagainya.
Hasan Langgulung melihat pendidikan dari dua sudut
pandang, yaitu dari sudut pandang pribadi dan masyarakat.
Dari sudut pandang pribadi untuk mengembangkan potensi
diri. Sementara dari sudut pandang masyarakat, pendidikan
sebagai pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi
berikutnya.
Sistem pendidikan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya bisa berbeda karena perbedaan falsafat
hidupnya (world view). Jarang ada dua masyarakat atau bangsa
memiliki pandangan hidup yang sama. Pandangan hidup
masyarakat beragama akan berbeda dengan pandangan hidup
masyarakat materialistis, liberalis, kapitalis, dan lain-lain.
Pandangan hidup agama Islam dengan Kristen dan Yahudi saja
ada yang berbeda, walaupun tetap ada sisi persamaannya. Jika
diperkecil lagi, pandangan hidup Ahli Sunnah wa al-Jamaah
dan Mu’tazilah juga ada yang berbeda. Kita persempit lagi
dalam konteks Indonesia, pandangan hidup ”Islam NU” dan
”Islam Muhammadiyah” juga pasti ada yang berbeda, dan
sebagainya.
Siapa yang bertanggung jawab mendidik anak?
Terkesan banyak orang tua yang menyerahkan tanggung jawab
itu kepada sekolah atau lembaga pendidikan secara umum. Jika
disadari bahwa tanggung jawab yang pertama dan utama
dalam pendidikan anak adalah di tangan orang tua dan lebih
khusus lagi pada ibu. Sekolah adalah salah satu faktor dari
sekian banyak faktor pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa
sekolah bisa membangun karakter anak, tetapi ia tidak mampu
memenuhi semua kebutuhan anak. Salah kata Mahmud Yunus
jika ada yang mengatakan, ”siapa yang membangun sekolah,
maka ia telah menutup penjara”. Jika ingin menutup penjara
maka perhatiakanlah ekisistensi pendidikan rumah tangga.
Untuk itulah Mahmud Yunus mengatakan bahwa ibu adalah
lembaga pendidikan yg besar. Jika kita mempersiapkan
pendidikan ibu yg baik, maka kita telah mempersiapkan
generasi tangguh. Ibu adalah maha guru pertama yg
pengaruhnya sangat besar sepanjang masa. Dalam UU RI No 20
tahun 2003 pasal 7 ayat 2 mengatakan bahwa orang tua
berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Didalam Islam kewajiban orang tua terhadap
pendidikan anak tidak terbatas pada pendidikan dasar saja.
Pendididkan itu berlanjut sampai masa dimana anak bisa
mandiri (baligh), bukan saja dalam pengertian fiqh. Pendidikan
rumah tangga adalah yg utama, sementara pendidikan lainnya
seperti pendidikan sekolah hanya sebagai penyempurna
pendidikan rumah tangga. Untuk itulah dikatakan bahwa
pendidikan rumah tangga berakhir dengan berakhirnya umur
manusia.
Tanggung jawab pendidikan anak yg pertama dan
utama pada orang tua, tetapi peran pendidikan sekolah dalam
realita kehidupan ini menjadi lebih besar melihat keterbatasan
waktu dan kemampuan orang tua dan juga masyarakat. Realita
ini menjadi logis kenapa perhatian para ahli tertuju pada
pendidikan sekolah atau pendidikan formal secara umum.
Pendidikan hendaknya berwawasan kemanusiaan kata
Abdul Munir Mulkhan dan tidak bersifat materialistis dan
ekonomistis seperti yg direncakan oleh Wardiman Djojonegoro
dengan link and match. Link and match menempatkan teknologi
pendidikan lebih penting dalam mencetak masa depan
manusia yang baik. Padahal manusia sebagai makhluk
misterius dan unik juga berdimensi spiritual dan kebutuhan
fisik.
Todung Mulya Lubis turut juga mempertanyakan,
pendidikan itu untuk apa? Ada yg menjawab untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan. Yang lain menjawab, untuk
menghasilkan manusia yg berwawasan jauh kedepan.
Sementara itu, ada juga yg menjawab pendidikan harus
dikaitkan dengan pemerataan keadilan. Padahal,menurut
Todung, pendidikan merupakan basic human needs.
Pendidikan dibutuhkan oleh manusia kata Andi Hakim
Nasution, karena umurnya yang relatif panjang dibanding
dengan burung dan hewan.Itulah sebabnya, begitu manusia
lahir tidak bisa berjalan bagaikan ayam dan juga kambing.
Pendidikan dalam pandangan Islam bersifat theosentris.
Artinya pendidikan harus ada hubungannya dengan persoalan
ketaatan terhadap Tuhan. Pendidikan hendaknya mampu
memndekatkan hubungan mansuia dan Tuhan. Jika tidak,
maka hakikat pendidikan itu dipandang rendah. Dalam konsep
ini, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka hendaknya ia
semakin dekat dengan Tuhan. Para propesor seyogyanya
orang-orang yg memiliki integritas moral.

B. Epistimologi Ilmu Pendidikan


Dalam epistimologi ilmu pendidikan ini akan dibahas, di
atas apakah berdiri teori- teori pendidikan akan dibangun dan
bagaimana struktur pendidikan perspektif Islam.

Dasar-Dasar Teori Pendidikan


Sebagaimana dikemukakan oleh Jujun Suriasumantri
bahwa pendidikan merupakan ilmu terapan dari ilmu
pengetahuan sosial yang dibagun dari teori pisikologi,
sosiologi, dan antropologi. Ketiga disiplin ilmu sosial ini, obyek
pembahasannya adalah manusia dalam perspektif yang
berbeda. Pisikologi membahas manusia dalam wilayah proses
mental dan kelakuan manusia. Sosiologi membahas manusia
dalam wilayah struktur organisasi sosial manusia. Sementara
antropologi membahas manusia dalam perspektif waktu dan
tempat.
Manusia dalam pendidikan sebagai obyek dan sekaligus
subyek. Manusia dikendalikan oleh pasukan “kerajaan ghaib “
yang terdiri dari akal, hati, dan nafsu. Jika itu semua bekerja
sesuai dengan tuntunan ilahi, maka hal itu akan bernilai positif.
Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan tuntunan ilahi, maka akan
menjadi kontra produktif.
Psikologi pendidikan merupakan fondasi dalam
mengejar. Ruang lingkup psikologi pendidikan adalah seluruh
hal yang berkenaan dengan tingkah laku peserta didik dan
pendidik dalam proses pendidikan . Rung lingkup ini ada yang
dibatasi oleh ahli pada teori belajar, proses belajar, dan situasi
belajar. Masalah yang sangat penting dalam psikologi
pendidikan sebagaimana ditulis oleh Sumadi Suryabrata
adalah pesoalan belajar. lebih rinci, Samuel Smith
mengolongkan 16 ruang lingkup psikologi pendiddikan, yaitu:
1. The science of education psychology
2. Heredity
3. Physical structure
4. Growth
5. Behavior processes
6. Nature and scope of learning
7. Factors that condition of learning
8. Measurement basic principles and definitions
9. Transfer of training : Subject matter
10. Practical of statistics
11. Element of statistics
12. Mental hygiene
13. Character education
14. Psychology of secondary shool subject
15. Psychology of Elementry shool subject
Menurut S. Nasution, sosiologi pendidikan sulit
dirumuskan definisinya diantaranya karena kurangnya
penelitian di bidang ini. Sebagian orang beranggapan bahwa
memberi mata kuliah sosiologi bagi calon guru lebih utama
dari sosiologi pendidikan. Kuliah sosiologi pendidikan pertama
kali diadakan tahun 1907 di Amerika Serikat.
Walaupun S. Nasution tidak memberikan definisi
sosiologi pendidikan dalam bukunya sosiologi pendidikan,
tetapi ia menulis ada 4 ruang lingkupnya, yaitu:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain
dalam masyarakat.
2. Hubungan antara manusia di dalam sekolah.
3. Pengaruh sekolah terhadap kelakuan dan kepribadian
semuan pihak.
4. Sekolah dalam masyarakat.
Kalau disingkat ruang lingkup pembahasan sosiologi
pendidikan diatas, maka ada tiga kata kunci, yaitu manusia,
sekolah, dan masyarakat. Pembahasan tiga kata kunci tersebut
harus dilihat dari perspektif organisasi masyarakat.
Antropologi pendidikan tidak semaju psikologi
pendidikan dalam perkembangannya. Dalam perspektif
antropologi pendidikan, walaupun belajar itu bersifat
individual. Artinya, orang mau belajar atau tidak, itu hak asasi
manusia, tetapi menyampaikan pengetahuan menjadi
persoalan sosial dan budaya. Struktur pengetahuan terbentuk
atas dasar stuktur sosial dan buadaya lingkungan dan segala
aspeknya.
Suatu kritik antropologi pendidikan yang dikemukakan
oleh Budhi Munawar Rachman dalam pendidikan, praktek
politik, dan pembebasan bahwa Paulo Freire pada tahun 1970-
an telah mengkritik kebudayaan bisu, dimana para peserta
didik tunduk atas kehendak guru dan dosen. Duduk manis
mendengarkan ceramah guru dan dosen, tanpa kritik dan
antidialog menjadi ciri budaya belajar sebagian masyarakat
Indonesia sampai sekarang ini. Bukti fisiknya barangakali
dapat dilihat mimbar didepan ruang kuliah, tempat dimana
dosen berceramah yang mirip dengan sistem khutbah yang
monologis di perguruan tinggi agama Islam, seperti di IAIN
Sunan Gunung Djati tahun 1995. Sebagian dosen juga ada yang
marah jika didebat secara ilmiah. Amarah itu ada
konsekuensinya sama nilai mata kuliah. Memang sebagian kecil
ada dosen yang senang jika diberikan pertanyaan yang tidak
bisa dijawab. Dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab itu, ia
akan mencari tahu pengetahuan yang baru.

Struktur Pengetahuan Pendidikan Islam


Ahmad Tafsir menulis struktur pengetahun tentang
pendidikan Islam di mana yang paling atas adalah al-Quran
dan hadits. Setelah al-Quran hadits ditempati oleh filsafat
pendidikan Islam. Di bawah filsafat pendidikan Islam ada ilmu
pendidikan Islam. Struktur terakhir adalah manual
pendidikan Islam.
Dari struktur di atas dapat dipahami bahwa semua
pengetahuan pendidikan Islam mulai dari filsafat, ilmu, dan
manual, hendaknya dapat disetujui oleh pemengang kekuasaan
disiplin ilmu ini, yaitu al-Quran dan hadits. Sebagai dosen
Tarbiyah, ada sebagian dosen yang pesimis mereka
mengatakan, ”bagaiamana mengislamkan sosiologi?“,
“Bagaimana mengislamkan statistik?”, “Bagaimana
mengislamkan bahasa inggiris?”.
Secara epistemologis, jika tidak mengetahui sesuatu
mestinya perlu bertanya kepada orng yang lebih tahu. Di
”zaman google“ sekarang ini, mudah mendapatkan informasi
awal dan sebagian malah informasi yang memuaskan.
Al-Quran
Al-Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia oleh
karena itulah maka Mukti Ali mengatakan “tidak ada suatu
keahlian ilmu yang tidak dapat diuraikan dalam perspektif
Islam. Pendapat Mukti Ali itu selaras dengan pendapat Manna
Khalil al-Qattan yang menulis bahwa al-Quran mempunyai
kemukjizatan ilmiah.
Kita setuju bahwa Al- Quran yang 30 juz itu bukanlah
buku sains dan filsafat dalam pengertian spesifik, tetapi ruh
semua pengetahuan dalam paradigma Islam pasti ada al-
Quran. Jika tidak ditemuakan, bukan berarti tidak ada. Bisa
jadi kemampuam metodologis kita yang menjadi salah satu
penyebabnya. Contohnya, secara metodologis orang akan
mencari apa yang dimaksud dengan filsafat dalam al-Quran.
Mungkin peneliti pertama kali mencari tahu apa bahasa
arabnya filsafat. Setelah ditemukan filsafat artinya filsafat,
maka ia mencoba mencari dalam al-Quran dan tidak
ditemukan, lantas ia berkesimpulan bahwa al-Quran tidak
tentang filsafat. Sungguh metode ini masih perlu
dikembangkan. Bukankah, salah satu filsafat itu cinta
kebenaran dan cinta kebijaksanaan. Kebenaran dalam bahasa
Arab al-shidq dan kebijaksanaan (al-hikmah) dapat ditemukan
dalam al-Quran.
Mari kita perhatikan, ketika ahli fisika memahami al-
Quran yang berhubungan dengan disiplin ilmu mereka, sangat
mengagumkan, sehingga dapat menebalkan iman. Marilah kita
minta semua ilmuan berbicara tentang ilmunya di dalam Al-
Quran, maka kita semakin sadar bahwa al –Quran benar
memiliki mujizat ilmiah.
Semakin canggih temuan manusia, semakin terbuka
tabir potensi intelektual manusia, maka al-Quran semakin
menunjukan eksistensinya. Dulu kita hanya sekedar percaya
secara mistik doktriner bahwa Nabi Adam as. diciptakan dari
tanah. Secara deduktif kita berikan argumentasi, jika allah
mengkehendaki, maka semua bisa terjadi (kunfayakun). Kita
tambah lagi bahwa tidak ada yang mustahi bagi Allah.
Ternyata setelah diteliti ada jenis tanah lumpur hitam yang
mengandung hormon persis seperti orng hamil. Dengan
demikian, dapat dipahami secara logis, Nabi Adam as tidak
terbuat dari sembarangan tanah, tetapi tanah yang bisa
berevolusi seperti proses kehamilan. Contoh lain, dalam surah
al-Baqarah ganjaran berinfak fi sabilillah 1:700 . Setelah diteliti
oleh ahli koperasi Mesir tahun 1942, ternyata sangat ilmiah
sekali. Satu biji benih gandum bisa menghasilkan maksimal 7
bulir. Masing-masing bulir maksimal bisa menghasilkan 100
biji gandum.

Hadits
Paradigma hadist dalam konteks ini sama posisinya
dengan al-Quran, secara tekstual empirik. Memahami
kandungannya ada yang empirik, logis, dan supralogis.
Artinya, kandungan hadist ada yang berupa filsafat, ada yang
sains , dan ada juga yang berupa mistik.
Menurut Subhi Al-shalih, pendapat yang dominan di
hadist dan sunnah memiliki pengertian yang sama. Jika ingin
dibedakan, ada yang berpendapat bahwa hadist berupa sabda
dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Sementara sunnah
hanya berhubungan dengan perbuatannya.
Sebagaimana ulama berpendapat, sunnah merupakan
pekataan, perbuatan, ketetapan, ahklak nabi, dan jalan
hidupnya, baik sebelum atau sesudah menjadi rasul. Adapun
menurut ulama ushul sunnah hanya yang berhubungan
dengan keputusan untuk dijadikan dalil hukum syariah.
Menurut ulama fiqih sunnah adalah istilah yang ditetapkan
oleh Nabi Muhammad Saw. sebelum ditentukan ulama hukum
fard dan wajib. Adapun Jalaluddin Rahmat dalam ceramah
Ramadhan tahun 2010, dalam salah satu stasiun TV swasta
mengatakan bahwa sunnah adalah hadits dimana rasullah
menyuruh kita untuk mengikutinya, seperti,”shallu kama
raaitumuni ushalli (shalatlah kalian seperti aku sholat), khudzu anni
manasikakum (berhajilah seperti aku berhaji)”
Khabar dan hadist juga bersinonim, untuk itu menurut
Subhi al-Shalih boleh mengatakan hadist itu Khabar dan
khabar itu hadist. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa Atsar
juga sama dengan hadist, sunnah, dan juga khobar. Atsar tidak
hanya dinisbatkan kepada sahabat dan Tabiin. Yang
disandarkan kepada shabat (Hadist Mauquf) atau kepada tabiin
(Hadist Maqtu) juga riwayat.
Untuk itu semua pengetahuan pendidikan Islam
hendaknya di konsultasikan terhadap hadist, sunnah, khabar,
maupun atsar guna mendukung pengetahuan itu baik secara
eksplisit maupun secara implisit. Hadist pasti tidak boleh
bertentangan dengan al-Quran. Jika bertentangan, maka ada
kemungkinan kualitas hadistnya yang lemah dan bahkan palsu
atau pemahaman kita terhadap matan hadist itu keliru.
Filsafat pendidikan Islam harus merujuk pada al-Quran
dan hadist. Al-Qur’an dan hadist harus juga melahirkan filsafat
pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam harus melahirkan
ilmu pendidikan Islam agar dapat dipahami secara operasional.
Ilmu pendidikan Islam harus juga berkonsultasi terhadap ilmu
pendidikan Islam. Bagian terkecil dari pengetahuan itu adalah
manual. Ilmu pendidikan Islam harus melahirkan manual
pendidikan Islam sebagai petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan. Pada tataran manual pendidikan Islam, tidak lagi
berbicara teori, tetapi menggunakan bahasa-bahasa teknis
operasional.
Contoh filsafat pendidikan Islam. Jika seorang hamba
ingin melaksanakan ibadah sholat, maka ia wajib berwudhu
terlebih dahulu karena berwudhu ada bersuci. Bersuci
menghadap yang suci adalah sikap yang logis. Inti filsafatnya,
kalau mau melaksanakan ibadah sholat maka wajib berwdhu.
Apa saja yang dibasuh dalam berwudhu? Berdasarkan
surah al-maidah/5:6, anggota tubuh yang dibasuh muka,
kedua tangan, sebagian kepala dan kedua kaki. Ini sudah
termasuk ilmu pendidikan Islam.
Wilayah manualnya, bagaimana cara membasuh muka,
atas atau dari bawah atau bebas? Membasuh tangan sampai
siku, siku itu bastasnya mana? Sebagian kepala itu berapa
persen dari kepala? Kedua kaki sampai mata kaki,mana batas
mata kaki?
C. Aksiologi Ilmu Pendidikan
Untuk membahas aksiologi ilmu pendidikan, kita
mencoba mencari apa hasil atau nilai yang dilahirkan dari ilmu
pendidikan. Ilmu pendidikan turut memberikan sumbangan
yang besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu tingkah laku
(bahavioral sciences) dan atau ilmu-ilmu sosial. Bukti nyata dari
sumbangannya dapat dilihat dari lahirnya kajian pisikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, managemen pendidikan,
antropologi pendidikan, ekologi pendidikan, ekonomi
pendidikan, dan sebagainya. Ilmu pendidikan yang
menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang tingkah laku
manusia, khususnya dalam berlangsungnya proses belajar
mengajar dalam lingkungan hidup.
Dengan adanya ilmu pendidikan, teori-teori ilmiah
tentang sosio budaya tidak terbatas pada teori ilmiah
pisikologi, sosiologi, antopologi, politik, dan ekonomi, tetapi
dapat pula bersumber dan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan
tidak lagi berhenti menjelajah wilayahnya saja, tetapi sudah
merambah berinteraksi saling mempengaruhi cabang-cabang
ilmu sosial lainnya dalam bidang belajar mengajar.
Tujuan dari pendidikan adalah pembinaan akhlak.
Semua pelajaran menurut al-abrasyi harus ikut mendukung
terciptanya akhlak manusia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
pendidikan harus memperdulikan persoalan dunia dan akhirat
secara seimbang. Selain itu, ia mengatakan bahwa mata
pelajaran atau mata kuliah harus memiliki sisi manfaat. Ilmu
menurutnya ada yang murni untuk kepentingan pengetahuan,
tetapi ada juga ilmu “mencari uang”
Orientasi pendidikan dalam pembiiaan moral dianggap
oleh Zakiah Derajat kurang berhasil. Untuk itu pendidikan
moral diintensifkan di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
Hubungan Ibu-Bapak harus diperbaiki, sehingga dapat menjadi
suriteladan bagi anak-anak. Mendidik anak harus sejak dini dengan
moral agama. Nilai moral yang dipatuhi dengan suka rela itu

biasanya datangnya dari keyakinan beragama. Pendidikan sekolah


menurut Mahmud Yunus hendaknya memperhatikan tiga aspek, yaitu:

jasmani, akal, dan ruhani. Pendidikan moral di masyarakat biasanya


tumbuh dari adat istiadat. Filosofi adat istiadat pasti baik, tetapi pada
masyarakat yang heterogen, akulturasi tak terhindarkan, sehingga sendi-
sendi adat istiadat seringkali menjadi hilang ditelan waktu.
‫إنما األمم األخالق ما بقيت فإن هم ذهبت أخالقهم ذهبوا‬
”Sesungguhnya eksitensi umat dilihat dari keberadaan akhlak, jika akhlak
tiada, maka umat pun dianggap telah tiada”
Akhlak menjadi misi kerasulan Muhammad Saw. Akhak tidak
bisa hanya diajarkan saja, tetapi dipraktekkan. Sebagus apapun konsep
pendidikan akhlak, jika mereka yang menuturkannya tidak menjadi
contoh, maka tidak banyak yang dapat diharapkan. Peran serta
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dalam
mengajarkan dan mempraktekkan nilai-nilai moral agama patut
disyukuri. Menurut Husni Rahim, sistem pendidikan pondok
pesantren masih dianggap satu-satunya lembaga yang dapat
mencetak ulama.
Untuk memahami pendidikan Islam, menurut Ali Ashraf,
hendaknya terlebih dahulu memahami konsep pengembangan
individu. Dalam Islam, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah
penyerahan mutlak kepada Allah SWT. Pendidikan hendaknya

mampu menyadarkan bahwa Allah yang patut ditaati (iyyaka na’budu)2


dan Ia juga yang pantas diminta pertolongan (iyyaka nasta’in).
Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah merupakan tingkatan
keikhlasan menurut Nurcholis Madjid. Iyyaka na’budu bagaikan
deklamasi kemampuan kita untuk taat kepadanya. Tetapi, iyyaka nasta’in
merupakan deklamasi bahwa kemampuan itu hanya pemberian Allah.
Tafsiran iyyaka nasta’in itu yang paling relevan adalah la haula wala quwwata
illa bi al-lahi al-’alii al-’azhim. Intinya adalah persoalan moral agama dan
beragama. Pendidikan hendaknya dapat mendekatkan jarak
emosional dan spritual manusia dengan Tuhannya, jika tidak, maka
nilai aksiologisnya berkualitas rendah.

METODE SAINS

Metode Sains Metode ilmiah bukan tidak terbatas


pada induktif dan deduktif, tetapi dua metode ini termasuk mapan
dan populer
METODE SAINS

Bagaimana pengetahuan itu didapatkan, termasuk ilmu.


Metode ilmiah yang dikenal ada dua, yaitu metode induktif
dan deduktif. Akhir-akhir ini, Amin Abdullah
memperkenalkan metode yang menggabungkan keduanya,
yang disebut dengan metode abduktif .

A. Induktif
Sains biasanya menggunakan metode induktif,
sementara filsafat menggunakan metode deduktif. Metode
induktif biasa disebut model pola berpikir dari yang khusus
menuju yang umum . Sedangkan deduktif sebaliknya dari yang
umum menuju yang khusus. Di bawah ini akan di berikan
ilustrasi tentang kedua metode itu.
Pada masa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib ,
datang seorang wanita membawa anaknya yang memiliki
kelainan. Anak itu kepalanya dua, matanya empat , dua badan,
tetapi satu punggung. Sang ibu ingin mempertanyakan dalam
persoalan warisan, apakah anak itu dihitung dua atau satu.
Ali bin Abi Thalib ingin mengetahui apakah
sesungguhnya anak itu benar-benar dua jiwanya atau satu ,
maka khalifah mngatakan, “ketahuilah, apabila keduanya
bangun secara bersamaan dalam satu keadaan, maka keduanya
adalah satu orang dan apabila salah satunya terbangun, sedang
yang lainnya tetap tertidur, maka keduanya adalah dua orang
dan hak mereka dalam warisan adalah dua orang.
Tolak ukur keputusan Ali bin Abi thalib itu adalah pusat
syaraf. Syaraf adalah pusat perilaku manusia. Jika syarafnya
satu, maka ia berada dalam satu komando. Pertanyaannya,
untuk mengukur kebenaran jumlah jiwa kasus divatas, apakah
menggunakan metode induktif atau deduktif? Artinya, sudah
banyak ditemukan bahwa satu syaraf di bawah satu komando.
Berapa pun matanya dan badannya dan juga kepalanya, jika
dia berada dalam satu komando berarti syarafnya satu. Jika
syarafnya satu maka jiwanya satu. Hanya saja tidak diketahui
data bahwa Ali bin Abi Thalib mengadakan percobaan tentang
itu berkali kali sehingga membuat kesimpulan bahwa satu
syaraf di bawah satu komando. Tidak juga diketahui, bahwa
landasan teori yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib
berdasarkan al-Quran ataupun hadits.
Penyelesaian Ali bin Abi Thalib itu sesungguhnya
menggunakan logika saintifika karena menggunakan ilmu
tertentu dan tidak bisa dicerna dengan logika alami. Pada
persoalan-persoalan ilmiah, penyelesaiannya dengan logika
saintifika.
Jika ada satu peluru diberikan kepada jago tembak yang
biasa mengeksekusi terpidana mati. Jago tembak membidik
terpidana mati jadi jarak 10 M. Apakah terpidana akan mati.
Untuk menjawab ini perlu menggunakan logika saintifika.
Sebab ada teori, setiap 100 peluru yang diproduksi, satu peluru
adalah macet. Jika pas pelurunya yang macet, maka terpidana
itu ditembak tidak mati. Maka logika saintifikanya, 1 %
berpeluang tidak mati dan 99 % berpeluang mati. Untuk
menyelesaikan persoalan seperti ini tidak bisa menggunakan
logika alami karena tidak sederhana.
Ketika sudah diketahui kesimpulannya bahwa satu
syaraf bekerja di bawah satu komando, maka selanjutnya kita
tidak lagi berfikir menggunakan metode induktif, karena sudah
ada kesimpulan yang sudah bersifat umum. Untuk itu kita
berangkat dari hal yang umum menuju yang khusus sebagai
keterangan atau pembuktian-pembuktian atas kesimpulan itu.
Dahulu orang tidak langsung tahu kesimpulan bahwa
api itu panas. Berkali-kali orang kena api dan api itu dirasakan
panas, maka orng membuat kesimpulan bahwa api itu panas.
Itu namanya metode induktif. Sekarang tidak usah berpikir
dengan metode induktif, tentang panasnya api, dengan
mencoba-coba menyentuh api dan mnyimpulkan bahwa api itu
panas, karena kesimpulannya sudah ada. Untuk itu, kita cukup
menggunakan metode deduktif, bahwa api itu panas. Untuk
menjelaskan kebenaran proposisi itu, boleh dicoba menyentuh
api beberapa kali.
Hakim di pengdilan menggunakan metode induktif
dalam memutuskan perkara, karena ia menggunakan bukti-
bukti dalam persidangan, hakim menjatuhkan vonis, apakah
terdakwah terbukti bersalah. Jika terbukti bersalah, dihukum
penjara beberapa waktu.
Para peneliti dalam membuat laporan penelitian,
merumuskan kesimpulan. Untuk itu, bentuk laporan itu
mengikuti pola berpikir induktif. Menurut sebuah laporan ,
57% pembunuh anak-anak 12 tahun adalah orang tua atau
orang tua tiri mereka. Kesimpulan ini tentu berdasarkan
beberapa fakta kasuistik, (case by case). Kenapa orang tua
membunuh anak mereka, jawaban mereka, sekedar berusaha
mendisiplinkan anaknya. Kesimpulan ini juga berdasarkan
beberapa fakta kasuistik.
Seorang wali kelas di sekolah menentukan kenaikan
kelas muridnya, menggunakan metode induktif, karena guru
tersebut melakukan proses analisis nilai setiap mata pelajaran.
Kemudian merekafitulasi nilai semua mata pelajaran, dan
kemudian mencari nilai rata-rata. Dari proses induktif itulah
guru dapat mengambil kesimpulan naik kelas tidaknya murid.
Guru yang memberikan mata pelajaran juga menggunakan
metode induktif. Nilai mata pelajaran matematika diberikan
seorang guru setelah melihat nilai formatif dan nilai sumatif
murid. Teknik evaluasi dalam pendidikan semua
menggunakan metode induktif. Prosedur semua jenis seleksi
juga menggunakan metode induktif.
Dalam metode induktif perlu dihindari proses
generalisasi yang tergesa-gesa. Baru tiga kali jumpa orang
bercadar orangnya taat beragama, sudah mengenalisir bahwa
wanita bercadar adalah orang yang taat beragama. Begitu juga
baru jumlah 5 sampel laki-laki gondrong sikapnya kurang ajar,
langsung menyimpulkan, laki-laki gorong kurang ajar. Dalam
metode induktif diperlukan banyak sampel, agar
kesimpulannya semakin akurat. Untuk itu dalam dunia statistik
diatur teknik pengambilan sample agar hasilnya akurat.
B. Deduktif
Metode berfikir deduktif adalah metode berfikir yang
dimulai dari hal-hal yang umum menuju yang khusus. Habibie
adalah mahasiswa yang rajin. Dia absen kuliah jika sakit. Kalau
ada saudaranya yang pesta, seperti waktu kakaknya menikah
pada hari sabtu, ia tetap masuk kuliah. Demikian, juga di
waktu bapaknya mau berangkat haji, mereka mengadakan
syukuran, mohon doa agar selamat perjalanannya ke makkah.
Syukurannya diadakan pada hari selasa, tetapi Habibie tetap
masuk kelas. Selain itu, kalau datang kuliah tepat waktu. Jika
dosen terlambat masuk, ia tidak meninggalkan kelas. Ia bisa
memastikan apakah dosen itu berhalangan hadir atau tidak.
Jika dosen berhalangan hadir, ia biasanya masuk ke
perpustakaan, untuk membaca buku.
Bisa juga disampaikan dengan metode induktif,
contohnya Habibie suka masuk perpustakaan kalau dosen
tidak hadir. Seandainya terlambat masuk, ia memastikan
apakah dosen tersebut bisa hadir baru ia meninggalkan kelas.
Ia selalu hadir kuliah sesuai dengan jadwal, kecuali ia sakit.
Pada waktu kakaknya menikah pada hari ada jadwal kuliah, ia
tetap juga hadir kuliah. Pernikahan kakaknya tidak
menghalanginya untuk hadir kuliah. Saat bapaknya syukuran
mau berangkat haji juga ia teatap masuk kuliah. Dengan
demikian Habibie adalah mahasiswa yang rajin.
Bandingkan, jika penyampaian informasi seperti berikut.
Habibie senang sekali masuk perpustakaan dan jarang
terlambat kuliah. Ia mahasiswa yang rajin. Pada saat bapaknya
mau berangkat haji saja, ia tetap kuliah. Kalau dosen terlambat
masuk kuliah, ia biasanya memastikan dengan menelpon,
apakah dosen tersebut berhalangan hadir. Penyampaian
informasi ini tidak mengikuti metode ilmiah baik secara
induktif maupun deduktif. Metode ajakan ini belum dikenal
dalam metode ilmiah.
Dalam psikologi dikenal istilah NDE (Near Death
Experincer), yaitu orang yang pernah mengalami mati suri.
Adalagi yang menyebutnya NDS (Near Death Survival). yaitu
mereka yang menurut dokter telah dinyatakan mati, tetapi tak
lama kemudian hidup dan sadar kembali. Paragraf ini
mengikuti alur berfikir deduktif dari yang umum menuju yang
khusus. Dari proposisi yang berupa kesimpulan dan kemudian
diterangkan.
Guru atau dosen ketika menerangkan mata pelajaran
dan atau mata kuliah sering menggunakan alur berfikir
deduktif. Perhatikan alur berpikir deduktif dari
Q.S. al-(Mu’minun/23: 1-9). Artinya, Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk
dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan dari
perbuatan dan perkataan yang tiada berguna, dan orang-orang
yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki. Sesungguhnya meraka dalam hal ini tidak tercela,
barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang
yang memelihara sembahyangnya. (Q.S. Al-mu’minun: 1-9).
Ayat al-Quran dan hadist atau pendekatan agama,
biasanya menggunakan metode dudektif, sehingga
mempercayai kebenaran teks-teks agama terlebih dahulu,
kemudian membuktikannya dalam bentuk- bentuk yang
khusus. Teks-teks agama diyakini benar sesuai edukasi karena
persoalan agama melibatkan subyektivitas dan dikemukakan
secara emosional. Dikatakan metode deduktif dilihat dari sikap
individu yang beragama dalam melihat kebenarannya. Ayat al-
Quran itu tidak boleh diragukan kebenarannya oleh
penganutnya, setidaknya itu yang dikatakan oleh allah.
Selanjutnya, tinggal kita mencari bukti yang menguatkan
bahwa ayat al-Quran itu benar. Begitu subyektifnya dalam
melihat kebenaran ayat al-quran. Ketika kita menemukan ayat
al-Quran yang maknanya tidak benar menurut ukuran
pengetahuan kita, maka kata Ibnu Taimiyah, kita saja yang
tidak benar dalam memahaminya.
Karena al-Qur’an diyakini datangnya dari Allah Yang Maha
Tahu dan Maha Benar dan Ia mustahil berkata tidak benar. Untuk itu,
jika kita memahami sebagian kecil ayat al-Qur’an tidak benar, maka
sudah pasti akal kita yang keliru. Memang dilihat dari fenomena teori
asbab al-nuzul dalam ulum al-Qur’an dan asbab al-wurud dalam
hadits, ayat al-Qur’an dan hadits dalam memahaminya ada yang
menggunakan metode induktif.
Teks agama Islam bukan saja al-Qur’an juga hadits. Teks hadits
walaupun dikatakan teks agama Islam, tetapi tidaklah sepenuhnya
dianggap benar secara deduktif, karena teksnya sendiri tidak
semuanya diyakini mutlak dari Rasulullah Saw. Hadits kebenarannya
relatif (zhanni). Artinya, ketika kita menemukan teks hadits, kita harus
memperlakukannya, mungkin benar dari Rasulullah Saw. Teori
relativitas hadits dapat dibuktikan dengan adanya hadits- hadits palsu
atau hadits dha’îf (lemah).

C. Abduksi
Sains modern menggunakan metode berpikir induktif. Alam
historis-empiris dijadikan sebagai alat pembenaran pengetahuan. Dalam
perkembangan pengetahuan metode deduktif dan induktif tidak lagi
dianggap memadai dalam mengukur kebenaran yang sesungguhnya.
Dus, pada abad kedua puluh dikenal pola pikir baru yang disebut
dengan abduksi. Logika berpikir abduksi bersifat logic of discovery
dan bukan logic of justification.
Logika abduktif menekankan pada hipotesis, interpretasi, proses
pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil,
gagasan-gagasan yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir
deduktif dan induktif.
Menurut M. Amin Abdullah, pola pikir yang digunakan
al-Qur’an sesungguhnya induktif dan terkadang abduktif. Asbabun
nuzul yang sering diungkapkan oleh ulama tafsir dan asbabul wurud
yang diungkapkan oleh ulama hadits adalah bukti dari metode
berpikir induktif dalam mengukur kebenaran. Tetapi menurut
pengalaman M. Amin Abdullah ada kekhawatiran akan pengguna
jasa keilmuan dengan dijadikannya metode induktif dalam
memahami nash. Alasan mereka adalah desakralisasi dan peran
ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan tidak perlu dan kurang
begitu pantas untuk terlalu turut campur tangan dalam urusan-
urusan kecil sejarah kemanusiaan di dunia, bukankah ada
dalam doktrin teologis konsep tanzîh, bahwa Tuhan suci dari
segala tuduhan.
Menghilangnya wawasan dan kesadaran individu
maupun kolektif pengguna jasa keilmuan teologi atau kalam
menjadikan kejayaan metode deduktif dalam mengukur
kebenaran. Pola pikir deduktif ternyata lebih bersifat
tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian
kenyataannya kata M. Amin Abdullah, maka pendekatan
linguistik perlu juga diikutsertakan dalam pengkajian ilmu
kalam kontemporer. Lebih lanjut Amin mengatakan bahwa
pendekatan linguistik dapat mempertanyakan sejauh mana
fungsi majaz untuk membantu memecahkan kesulitan yang
dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik yang
cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam
pemikiran keagamaan Islam.
Saat ini kendala yang dihadapi Islam, belum mempunyai
teori yang mapan tentang teori dalam memahami majaz. Hal
itu diungkapkan oleh Arkoun, “The role of metaphor and
metonimy in religious language has not yet been fully considered up
to now & ldots; Orthodox exegesis has been limited by the traditional
definition of metaphor as a simple rhetorical divice used to embelish
style”162

D. Teori Kebenaran
162
Muhammad Arkoun. ‘’The Notion of Revelation’’ dalam Lectures du Coran
(Tunis: Alif Edition de la Medterrance, 1991), hal. 264.
Jika induktif dan deduktif berperan sebagai metode
berpikir ilmiah untuk menemukan kebenaran, sementara itu
untuk mengukur kebenarannya dengan teori koherensi,
korespondensi, dan pragmatis.
Teori koherensi atau the coherence theory of truth atau the
consistence theory of truth adalah sesuatu dikatakan benar secara
koheren, jika kebenarannya memiliki konsistensi dalam
memberikan argumentasi. Teori koherensi digunakan dalam
membangun pengetahuan yang bersifat sistematis dan
konsisten.
Nabi Muhammad Saw. adalah anaknya Abdullah bin
Abdul Muthalib. Proposisi atau pernyataan ini bersifat
deduktif. Apakah proposisi ini benar? Ketika diuji
koherensinya, Nabi Muhammad Saw. adalah cucu Abdul
Muthalib dan Fatimah Zahrah adalah cucu Abdulullah bin
Abdul Muthalib. Abdul Muthalib adalah kakek dari Nabi
Muhammad Saw. dan Abdullah bin Abdul Muthalib adalah
kakek dari Fatimah Zahrah. Fatimah Zahrah adalah anaknya
Nabi Muhammad dan Abdullah adalah anak dari Abdul
Muthalib. Proposisi ”Nabi Muhammad Saw. adalah anaknya
Abdullah bin Abdul Muthalib adalah benar berdasarkan teori
kebenaran koherensi.
Apakah kebenaran filsafat dapat diukur dengan teori
koherensi. Kebenaran deduktif ayat-ayat al-Qur’an dapat
dikategorikan benar secara koheren atau konsisten. Proposisi
atau pernyataan bahwa Tuhan itu adalah Satu akan ditemukan
secara konsisten di dalam al-Qur’an, ”La ilah illa al-llah” ”al-
ahad” ”la syarika lahu” ”lam yalid wa lam yulad” mendukung
konsistensi bahwa Tuhan itu satu. Bagaimana tentang Allah itu
memiliki sifat al-rahmân dan al-rahîm (Maha Pengasih dan
Penyanyang). Apakah kebenaran deduktif ini bisa diukur
dengan kebenaran koherensi. Jelas proposisi itu benar secara
konsisten dalam tafsiran agama.
Bagaimana jika ada orang yang mengatakan bahwa
ketika manusia berada dalam kesedihan, kesengsaraan,
kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan lainnya, sebenarnya
menunjukkan Allah itu tidak konsisten Maha Pengasih dan
Penyanyang. Tentu tafsiran tersebut salah, sebab al-rahmân dan
al-rahîm tidak akan dirusak oleh perasaan-perasaan negatif
manusia. Ketika berhubungan dengan perilaku Tuhan, maka
metodologi yang digunakan logika husnu alzhzhan bukan
sebaliknya logika syuu al-zhzhan. Mustahil Tuhan mengingkari
sifatnya yang al-rahmân dan al-rahîm. Di antaranya, manusia ini
tentu tidak tepat dijadikan semua kaya. Jika semua kaya, maka
sistem kehidupan macet dan bahkan rusak. Bayangkan jika
semua kaya, maka semua akan mencoba membagi-bagi
tugasnya kepada orang lain dengan kekayaannya. Tetapi jika
tidak ada yang mau mengerjakan tugas itu apa yang terjadi.
Pembantu rumah tangga tidak ada. Staff di kantor tidak ada,
semua berperan jadi pemerintah. Tidak ada bagian cleaning
service, tidak ada sopir, tidak ada satpam. Tidak ada bahan
makanan di pasar, karena semua ingin pembeli, tidak ada
penjual. Bagaimana susahnya hidup ini jika semua benda yang
disentuh menjadi emas seperti kisah Raja Midas. Ambisi
kekayaan dan kerakusan Raja Midas yang memohon agar apa
saja yang ia sentuh menjadi emas. Setelah terkabul, hanya
sebentar kebahagiaan itu berlanjut. Ketika semua benda-benda
yang disentuhnya berubah menjadi emas, dia tertawa gembira
dan bahagia, tetapi ketika ia menyentuh istirinya, anaknya, dan
juga makanan dan minuman yang semua itu berubah menjadi
emas, maka ia terbalik menangis dengan penuh kesedihan dan
penyesalan.163
Jika tidak ada yang miskin, siapa yang akan menerima
zakat yang sudah diwajibkan oleh Allah disalurkan? Jika zakat-
zakat itu dibuang bagaikan sampah, apa bisa diterima dengan
logika sederhana saja, kalau bukan dikatakan mubadzdzir. Jika
zakat itu disalurkan untuk pembangunan mesjid, tetapi tidak
ada orang berprofesi sebagai pekerja, apa mungkin hajat itu
sampai? Maka dengan logika husnu al-zhzhan, kita harus
bersyukur terhadap semua ketentuan Allah, walaupun kita
tidak boleh berdo’a dan berusaha untuk menjadi orang miskin.
Di saat kita bersedih, Allah tetap Maha Pengasih dan
Penyanyang. Sikap bersedih itu malah dinilai tidak logis,
karena Allah tetap menghendaki yang baik dari semua
ketentuanNya. Merubah kesedihan menjadi kebahagiaan itulah
sikap yang logis.
Teori-teori atau rumus-rumus dalam bidang matematika
sementara ini bisa dikatagorikan koheren. 6 + 4 = 10, 3+7= 10,
2+8= 10, 9+1= 10. Sementara dikatakan konsisten, karena setiap
kali hasil penjumlahan itu mengurangi salah satu angka yang
dijumlahkan, maka hasilnya secara konsisten angka yang tidak
dikurangi. Contoh, jika 6 + x = 10, maka hasil penjumlahannya
10 dan jika dikurangi salah satu angka yang dijumlahkan, yaitu
163
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, ( Jakarta Paramadina, 1998) , hal. 91-
95
6, maka hasilnya angka yang tidak dikurangi, yaitu 4, maka X
itu bernilai 4. Itu akan selalu konsisten sementara menurut
rumus matematika umum. Bagaimana dengan matematika
zakat, 50 + 50 = 97,5. Sementara 2,5 itu sebagai zakatnya.
Dengan matematika zakat, 1000 + 1000 = 1950. Bagaimana
dengan matematika sedekah yang ikhalas 1000+1000 =
1.400.000 dan bisa juga 800.000 bisa juga 1.000.000, apa masih
konsisten?
Teori kebenaran lainnya adalah korespondensi. Sesuatu
dikatakan benar, jika sesuai pernyataan dengan kenyataan. Jika
gula dikatakan manis, maka kebenarannya diukur setelah
merasakan manisnya gula.164
Sedangkan pragmatisme, kriteria kebenaran berdasarkan
berfungsi tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan
waktu.165 Ibukota Sumatera Utara tahun 2022 adalah Medan. Ini
benar berdasarkan teori korespondensi. Karena tidak mustahil
tahun berikutnya ada ide pemindahan ibu kota, seperti
pemindahan Jakarta ke Kalimantan yang terus dituntut
sebagian orang untuk dibatalkan. Api itu panas. Itu juga bisa
dikatagorikan benar karena kesesuaian antara penyataan
dengan kenyataaan, walaupun dalam sejarah manusia Ibrahim
tidak meraskan panas ketika dibakar oleh orang-orang
musyrik. Mungkin juga dengan ilmu kekebalan tubuh,
sekarang ini ada orang yang tidak merasakan panas ketika
menyentuh atau disentuh api. Barangkali dengan teori logika
generalisasi lebih tepat, dikatakan, ”Pada dasarnya api itu
panas, sampai ada dalil yang mengingkarinya”. Di luar yang
164
M.Zainuddin, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hal. 33
165
Ibid, hal. 34
general itu ada yang khusus, yang khusus dari yang general
disebut eksepsi (penyecualian). Jika tanpa logika generalisasi
dan eksepsi, niscaya tidak bisa dikatakan api itu panas.
Apakah matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat
itu teori kebenaran koherensi atau korenspondensi? Dalam
perspektif sains, secara konsisten bahwa matahari terbit di
Timur dan terbenam di Barat. Selain itu, kebenarannya juga
bersifat korespondensional karena sesuai pernyataan dengan
kenyataan.
Apa yang membedakan teori koherensi dan
korespondensi? Teori koherensi bisa dipergunakan untuk sains
dan filsafat, sementara korenspondensi hanya dipergunakan
untuk obyek sains saja, karena berhubungan dengan realitas
obyek.
Teori kebenaran yang ketiga adalah pragmatis.
Berdasarkan teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika ia
fungsional dalam kehidupan praktis.166 Jika ada teori X dalam
bidang pendidikan bisa menghasilkan teknik Y, maka itu
dianggap benar. Tetapi jika teori X yang tidak menghasilkan
apa-apa, maka dianggap salah. Barangkali dalam teori
pragmatis, seorang suami dan istri bisa memiliki anak baru
dikatakan benar. Jika ada suami dan istri tidak memiliki anak,
maka pernikahan itu dianggap tidak ada manfaatnya. Jika tidak
ada manfaatnya, maka dianggap tidak benar. Tapi manfaat
pernikahan bukan saja memiliki anak, termasuk juga
menyaluhkan nafsu seksual secara sah.
Dalam aliran filsafat dikenal juga pragmatisme. Menurut
166
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka, Sinar Harapan,
2005), 57-59
Jujun Suriasumatri, pragmatisme tidak memiliki doktrin
filsafati, tetapi hanya berurusan dengan persoalan penentuan
kriteria kebenaran.167
Kriteria pragmatis dalam menentukan kebenaran itu
dipergunakan oleh ilmuwan dalam perspektif waktu.168
Artinya, suatu teori ilmiah, bisa jadi sekarang berguna, di
waktu yang akan datang tidak lagi berguna. Bisa juga suatu
teori tidak berguna lagi, di kemudian hari dianggap berguna.
Setiap kali ada gunanya, maka dianggap benar menurut
pragmatis. Mungkin bisa jadi sebagai contoh bahwa seorang
prajurit Pasukan Khusus (Paskhas) Angkatan Udara,
mengatakan bahwa dulu bela diri itu dengan keterampilan
silat, tetapi sekarang bela diri dengan senjata. Jika itu benar,
maka latihan bela diri dengan silat tidak lagi benar.
Teori pragmatis ini juga mengingatkan kita bahwa
pengetahuan ilmiah itu biasanya tidak berumur panjang
(memiliki ajal: masa kadaluarsa). Seperti kata fisikiwan bahwa
umur teori partikel tak lebih dari empat tahun. Embriologi juga
setiap lima belas tahun direvisi.169
Idzam Fautanu dalam Filsafat Ilmu mengatakan bahwa

pragmatisme adalah kebenaran yang membutuhkan pengujian

dalam prakteknya. Ia harus berguna dalam mengatasi masalah

yang ada. Tujuan utama pragmatisme adalah keseimbangan antara

teori dan praktek.

167
Ibid, hal. 59
168
Ibid
169
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 59
Ketimpangan antara teori dan praktek ini melahirkan

masalah. Ungkapan Djohan Effendi tentang ilmu tauhid yang

dibahas di berbagai buku terlalu jauh dari dunia praktek umat

Islam. Ilmu tauhid yang tidak menumbuhkan gairah hidup.

Ketimpangan teori sedekah yang dibalas dengan berlipat

ganda dengan praktek sedikitnya umat Islam yang dermawan.

Ketimpangan teori shalat yang mencegah perbuatan keji dan

munkar dengan praktek-praktek KKN yang diperankan oleh elit

umat Islam yang sehari-hari mereka menjalankan ibadah shalat.

Ketimpangan janji setia manusia terhadap Allah dalam doa intitah

dengan gaya hidup yang materialistis. Semua itu menuntut

keseimbangan yang menjadi tujuan utama pragmatisme menurut

Idzam Fautanu.

Idzam Fautanu menambahkan teori kebenaran, yaitu

berdasarkan arti, kebenararan logic, kebenaran sintaksis, dan

kebenaran spiritual.

Teori Kebenaran Berdasarkan Arti

Dalam paham filsafat analitika bahasa, sesuatu dikatakan

benar jika merujuk pada referensi tertentu.170 Ini yang dalam

ulumul hadits, kebenaran harus dinilai dari sisi matan dan sanad.

Dalam dunia ilmiah, tuntutan terhadap rujukan dari segala

170
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi. (Jakarta: Referensi, 2012), h. 101
pendapat sangat urgen, sebagai bukti bahwa kebenaran itu telah

mendapat pengakuan.

Tradisi referensi di dunia pendidikan biasa mulai dibangun

sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dunia ilmiah biasanya

beradaptasi dengan teori kebenaran berdasarkan arti.

Dilihat dari tingkat kesarjaan, semakin tinggi tingkatnya,

ketergantungan dengan referensi semakin sedikit karena dituntut

mereka untuk berijtihat. Para Profesor dan Doktor tidak dituntut

untuk banyak mengutip pendapat orang, walaupun dasar-dasar

pendapatnya harus ada. Semakin rendah tingkat kesarjanaan

seseorang, maka semakin dituntut untuk banyak mengutip

referensi.

Sarjana lebih banyak dituntut untuk mengutip referensi

dalam mengemukakan pendapat. Magister bukan persoalan

sedikit banyaknya untuk mengutip referensi, tetapi tuntutannya,

memilih referensi yang kuat di antara yang ada. Sementara Doktor

dan Profesor dituntut untuk menyebutkan dasar-dasar pemikiran

dan merumuskan ijtihad. Profesor dan Doktor, idealnya adalah

produsen ilmu kerena menurut Qodri Azizi mereka adalah

mujtahid ilmu (Alimun Mujtahidun).

S1 menurut Qodri Azizi bertanggung jawab untuk

memahami yang dibacanya. Belum menjadi tenaga ahli di


bidangnya, tetapi cukup menjalankan tugas sesuai bidangnya.

Mereka itu dikatagorikan orang yang sedang belajar (rajulun

yata`llamu).171

S2 adalah seorang ahli sesuai dengan bidangnya. Mereka

itu disebut alimun muhaqqiqun atau mutahaqqiun. Mereka itu

mampu memilih referensi yang terbaik. Mampu membandingkan

antara satu teori dengan teori lainnya, satu pendapat dengan

pendapat lainnya. Dapat mengkritisi dan bahkan dapat

membatalkan teori dengan argumentasi yang lebih kuat. 172

Menurut Qodri Azizi, jika S2 bekerja dengan serius, tidak mustahil

mereka bisa menandingi mereka yang S3.

S3 adalah orang yang memproduksi ilmu yang baru

(contribution of knowledge). Orisinalitas bukan selamanya harus

yang baru, tetapi bisa berupa pengembangan yang telah dilakukan

oleh orang lain atau sintesa yang telah ada. Mereka itu disebut

alimun yujaddid atau yajtahid.173

Contohnya Ibn Miskawaih merujuk teori-teori Akhlak dari

Plato dan Aristoteles yang disintesakan dengan hukum Islam serta

171
A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Semarang: Aneka Ilmu,
2003), h. 69.
172
Ibid.
173
Ibid., h. 70
pengalaman hidupnya.174 Filosof Yunani mengatakan bahwa

akhlak itu tidak bisa berubah. Sementara, Ibn Miskawaih

berpendapat bahwa akhlak itu dapat berubah dengan latihan,

pembiasaan, dan pengetahuan.175

Teori Kebenaran Sintaksis

Proposisi memiliki nilai kebenaran, jika mengandung

aturan-aturan sintaksis yang baku.176 Jika sebuah kalimat tidak

memiliki subyek dinilai tidak benar karena tidak ada subyeknya.

Para ilmuan linguistik banyak menganalisa kualitas kalimat

dari aturan-aturan tata bahasa yang baku. Seperti dalam bahasa

Arab kalimat itu ada yang ismiyah (nominal) dan ada yang fi`liyah

(verbal). Jika tidak memenuhi syarat, maka dinilai tidak

mengandung kebenaran. Kata “saya makan” dinilai tidak benar

karena tidak menyebutkan obyeknya. Kata “rumah itu” juga tidak

benar karena tidak ada keterangannya.

Teori Kebenaran Logic

Ada kalanya kebenaran disampaikan berlebihan.

Contohnya Suatu lingkaran adalah bulat. Namanya lingkaran

adalah bulat, tidak perlu dijelaskan, sebab lingkaran itu jelas bulat.

174
Zainun Kamal, “Kata Pengantar” dalam Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan
Akhlak, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. V,h. 14.
175
Ibid.
176
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi.., h. 101
Contoh lain, “kelapa jatuh ke bawah”. Semua konsep jatuh tentu

ke bawah, tidak perlu disebutkan. Contoh lain, “matahari terbit

dari Timur”. Tanpa dijelaskan, matahari pasti terbit dari Timur.

Banyak kebenaran logic, tidak membutuhkan keterangan

sudah dapat dipahami. “Murid maju ke depan”, “Guru mundur ke

belakang”, “Ahmad mendengar dengan telinga”, “Muhammad

melihat dengan mata”, dan sebagainya adalah kebenaran logic

tanpa membutuhkan penjelasan-penjelasan.

Teori Kebenaran Spritual

Segala hal yang memiliki argementasi dari al-Qur’an, itu

bersifat spritual. Nabi Ibrahim a.s. tidak terbakar sewaktu dibakar

dengan tumpukan kayu bakar yang menyala karena Allah

memerintahkan api itu menginginkari sifatnya yang panas dan

berubah menjadi dingin. Argumentasinya dapat dilihat dalam Q.S.

al-Anbiya/21: 68-69.

Nabi Isa a.s. lahir dari wanita suci, Maryam. Maryam bukan

seorang pelacur atau anak Tuhan. Pengakuan itu bukan dari

Maryam, tapi langsung dijawab oleh Isa, pada saat dia dilahirkan

dengan mukjizat Allah, bisa berbicara untuk menjawab tuduhan

tidak benar itu. Hal itu dijelaskan oleh Q.S. Maryam/19: 28-29.

Semua kebenaran yang disebutkan al-Qur’an merupakan

kebenaran spritual, tidak perlu mencari teori kebenaran lain. Jika


ada teori lain untuk menjelaskannya, itu hanya sebagai penguat

kebenaran spritual saja.

Sifat Kebenaran

Abbas Hamami Mintaredja seperti dikutip oleh Idzam

Fautani Kebenaranbisa berupa benda konkrit dan abstrak. Kualitas

kebenaran dalam filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi:

pengetahuan biasa yang bersifat subyektif. Pada sifat ini semua

dianggap benar selama diperoleh dengan normal, tidak terdapat

penyimpangan.177 Selain itu, pengetahun ilmiah, pengetahuan

filsafat, dan pengetahun agama. Pengetahuan agama ini yang

disebut oleh Ahmad Tafsir dengan pengetahuan mistik. Ahmad

Tafsir tidak menyebut kualitas pengetahuan, tetapi macam

pengetahuan yang terdiri dari sains, filsafat, dan mistik. Endang

Saifuddin Ansori membaginya dengan ilmu, filsafat, dan agama

dan tidak memasukkan pengetahuan biasa sebagai bagian dari

pengetahuan.

Pendekatan Mencari Kebenaran Non Ilmiah

Pendekan non ilmiah yang dimaksud dalam tulisan ini,

bukan pendekatan ilmiah, filsafat, dan mistik. Macam-macamnya:

Commen sense yang disebut Fuatanu dengan akal sederhana dan

prassangka. Fautanu memberi contoh mahasiswa yang tidak lulus

177
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi.., h. 103.
pada mata kuliah tertentu, menyangka ketidaklulusannnya karena

ia pernah berbeda pendapat dengan dosennya. Bisa jadi memang

mahasiswa itu secara obyektif tidak lulus.

Pendekatan non ilmiah lainnya, trial and error (coba-coba).

Pernah penulis memperbaiki laptop ke tukang service. Begitu

diperbaiki, tidak terlihat layarnya. Penulis mencoba

menghidupkan tanpa menghubungkan chargernya ke listrik. Begitu

sudah terlihat layarnya, kemudian menghubungkan charger ke api

listrik, ternyata bisa. Penulis tidak tahu apa sebabnya. Dalam

hidup, bisa jadi orang pernah mengalami hal yang sama. Bisa

menyelesaikan masalah tanpa mengetahui ilmunya. Inilah

pengetahuan trial and error.

Pendekatan otoritas ilmiah dan kekuasaan juga sering

dijadikan pengetahuan. Orang yang berpendidikan tinggi ketika

berpendapat dinilai benar walaupun belum diuji kebenarannya.

Pendapatnya biasanya hanya dilihat dari sisi logika orang lain saja.

Contoh orang yang menjelaskan Islam itu adalah Isya, Shubuh,

Luhur (Zhuhur), Ashar, dan Maghrib. Bagi orang hal itu dianggap

benar karena yang menyampaikan orang berpendidikan. Bagi

masyarakat, apa yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Somad

dinilai benar karena ia seorang penceramah dan mantan dosen.

Begitu juga para penguasa, sering kali ucapannya dinilai


banyak orang sebagai kebenaran. Ucapan presiden dijadikan

patokan kebenaran. Ucapan Gubernur, Wali Kota, Pupati, dan

sebagainya, dinilai orang rakyat sebagai kebenaran.

SARANA BERPIKIR
ILMIAH

Untuk dapat berpikir ilmiah harus memiliki


sarana, yaitu logika, bahasa, matematika, dan
statistika.
Empat sarana ini bekerjasama dalam meramu aktivitas ilmiah
SARANA BERPIKIR ILMIAH

Kenapa perlu berpikir ilmiah? Jika tidak ada sistem


berpikir ilmiah, niscaya kebenaran itu tidak akan diketahui
batas-batasnya, karena semua orang berpendapat bahwa hasil
berpikirnya benar. Jika berdebat tentang kebenaran, maka bisa
seperti “debat kusir”. Berpikir ilmiah sekaligus sebagai
pembeda antara manusia dan binatang.178
Dalam melakukan sesuatu, seseorang membutuhkan
sarana atau alat. Manusia adalah makhluk pembuat alat (homo
faber).179 Untuk menulis dibutuhkan pensil, pena, spidol, dan
alat bantu keyboard untuk komputer. Untuk berkomunikasi
jarak jauh, dibutuhkan telepon maupun hand phone. Untuk
bertani, orang membutuhkan cangkul, dan untuk berpikir
178
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Cet. XVIII, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), hal.40
179
Ibid, hal.165
ilmiah pun, manusia menciptakan alat atau sarananya. Sarana
berpikir ilmiah adalah bahasa, logika, matematika, dan
statistika.
Sarana ilmiah bukanlah ilmu sebagai obyeknya. Sarana
berpikir ilmiah memiliki metode sendiri yang berbeda dengan
metode ilmiah. Sarana ilmiah adalah alat agar kita bisa
melakukan kegiatan ilmiah secara baik. Sarana ini akan
membantu proses metode ilmiah.180
Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan metode
ilmiah, metode induktif, deduktif, dan abduktif memungkinkan
didapatkannya pengetahuan, termasuk ilmu. Adapun bahasa,
logika, matematika, dan statistika akan membantu proses
berpikir induktif, deduktif, dan abduktif agar lebih mudah
menemukan kebenaran. Jika sarana berpikir ilmiah tidak
dikuasai, maka mutu kegiatan ilmiah itu kurang memuaskan.181

A. Bahasa182
Begitu manusia lahir, maka ia memiliki bahasa dalam
pengertian luas. Berbahasa bagaikan menghirup udara kata
Komaruddin Hidayat. Tiap hari kita menghirup udara, tanpa
kita persoalkan dari mana asal-usulnya. Tetapi, begitu kita
berpenyakit asma atau sesak napas, kita mulai ingin tahu
bagaimana kualitas udara yang baik, tidak berpolusi. 183 Begitu

180
Ibid, hal. 167
181
Ibid, hal.169
182
Diperkirakan jumlah bahasa di dunia sekarang ini sebanyak sepuluh ribu. Kualitas
bahasa ditentukan oleh pribadi yang menggunakannya dan tidak ditentukan oleh
bahasanya itu sendiri. Baca Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal
42
183
Ibid, hal. 33
juga yang terjadi dengan bahasa. Ketika kita
mengkomunikasikan bahasa, terkadang dapat menyenangkan
orang, terkadang mengesalkan orang. Dengan bahasa, orang
menangis bisa kita diamkan dan sekaligus dengan bahasa juga
orang menangis bisa kita diamkan dan sekaligus dengan
bahasa juga orang menangis bisa memperbesar volumenya.
Dengan bahasa yang dikomunikasi Rasulullah juga, pedang
Suroqah yang tajam, tiba -tiba bisa terjatuh. Dengan bahasa
Abu Bakar, ternyata bisa meredam amarah Umar bin Khattab
yang tidak menginginkan berita kematian Rasulullah. Dengan
bahasa juga terkadang, pistol, senapan, dan alat-alat yang
manakutkan bisa diamankan. Oh begitu ampuh bahasa itu.
Bahasa suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer
oleh sekelompok orang sebagai alat komunikasi184 dalam
sebuah obrolan atau wacana.185 Bahasa dikomunikasikan secara
monologis, bisa jadi ia membicarakan dirinya sendiri atau
sosok orang lain yang tidak hadir. Tetapi tidak selamanya
bahasa itu dikomunikasi dengan gerak bunyi atau suara. Orang
bisu menggunakan bahasa gerak tubuh dalam berkomunikasi.
Memang berbahasa tanpa kata sangat terbatas. Bahasa
nonverbal biasanya lebih efektif mengkomunikasikan emosi.186
Teori asal-usul bahasa telah melahirkan disiplin ilmu
yang mandiri seperti fonologi, semantik, gramatika,
psikolinguistik, 187
neurolinguistik, antropolinguistik,
184
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 176
185
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan KehendakTuhan, hal. 42
186
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat (Ed.), Komunikasi Antarbudaya, Cet.IX,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 105
187
Menurut psikolinguistik, bahasa sebagai sarana menyampaikan pikiran, perasaan,
dan emosi. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 180
sosiolinguistik,188 sastra, semiotika, hermeneutika, dan mungkin
akan menyusul yang lainnya.189
Secara umum ada tiga teori asal-usul bahasa, teologis,
naturalis, dan konvensionalis.190 Aliran teologis berpandangan
bahwa asal usul bahasa adalah anugerah Tuhan yang ada sejak
lahir. Justifikasi teori ini dilahirkan dari wahyu baik Bibel
maupun al-Qur’an bahwa Adam diajari oleh Allah di Surga.
Katanya, ini juga spekulatif.191
Gerakan feminisme menuduh Tuhan diskriminatif
dalam menggunakan bahasa yang bersifat maskulin. Adam
dalam bahasa Ibrani berarti laki-laki. Ternyata maskulinitas
bahasa bukan saja terdapat dalam bahasa Arab,192 tetapi ada
juga dalam bahasa Inggris dan bahasa Eropa. Man, mankind,
humanity sebagai contoh dominannya maskulitas dalam
bahasa.193 Nada protes terhadap diskriminasi atas bahasa surga
ini melahirkan pseudo teori ilmiah dari kaum rasialistik,
Andres Kemke yang mengatakan bahwa Tuhan di surga
menggunakan bahwa Swedia, Adam menggunakan bahasa
Denmark, ular jelmaan setan dengan bahasa Perancis.194
Lain halnya dengan teori naturalistik yang berpendapat
188
Ibid
189
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 34
190
Ibid, hal. 35
191
Ibid
192
Bahasa Arab bukanlah satu-satunya bahasa Islam, tetapi bahasa Persi dan bahasa
Melayu juga disebut bahasa Islam. Yang berbahasa Arab juga bukan yang beragama
Islam saja, tetapi Agama Yahudi dan Kristen juga ada berbahasa Arab. Baca
Nurcholis Madjid, “Kata Pengantar: Universitas Islam dan Kedudukan Bahasa
Arab” dalam Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hal. Xiii-xv
193
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 35-36
194
Ibid, 36
bahwa bahasa itu berasal dari proses alam, sebagaimana
alaminya kemampuan untuk melihat, mendengar, berjalan, dan
sebagainya.195
Sedangkan teori konvensional berpendapat bahwa
bahasa merupakan hasil konvensi sosial dan kemudian
dilestarikan bersama-sama secara turun-temurun.196 Salah satu
bentuk konvensi, teori yo-he-ho. Bahasa ini dikemukakan
orang-orang primitif ketika gotong royong, beramai-ramai
menarik pohon besar atau bersiap-siap melawan serangan
musuh. Pada saat itu secara ekspresif muncul bahasa yo-he-ho.
Sekarang kalau tarik tambang bahasa yo-he-ho berubah
menjadi suara peluit.197
Dari teori konvensional ini dimungkinkan bahasa
berkembang bagaikan bunga dan mungkin juga layu dan
bahkan mati. Fenomena bahasa sebagai konvensi sosial, di
Indonesia berkembang bahasa gaul yang umumnya dikuasai
anak ABG (Anak Baru Gede). Jaim untuk mengatakan jaga
image. Lebai untuk mengatakan berlebihan. Titi DJ untuk hati-
hati di jalan, dan sebagainya. Fenomena lain, ada kolega saya di
STAIN Malikussaleh, menggunakan bahasa “semacam” untuk
mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan duit, sehingga
rekan-rekan sudah tidak asing lagi dengan istilah itu. Jika dia
datang ke bendahara, ia hanya bertanya, “ada semacam?”.
Bendahara itu pun sudah paham.
Manusia dalam teori konvensional198 ini berhasil
menciptakan bahasa isyarat, sejak dari kepala, mata, tangan,
195
Ibid
196
Ibid, hal. 37
197
Ibid
dan kaki. Namun, bahasa tubuh tidak semua dimaknai secara
universal. Menggelengkan kepala di India bermakna positif,
sementara di Indonesia bermakna negative. Mengusap janggut
lawan bicara bagi masyarakat Arab hal yang biasa dan menjadi
penghinaan untuk orang Indonesia. 199
Kompleksitas bahasa itu
sendiri diperkaya oleh neurolenguistik yang meneliti asal-usul
bahasa dari segi jaringan otak.
Binatang bisa berkomunikasi dengan binatang lainnya
dengan kehadiran obyek yang dikomunikasikan.200 Ketika
anjing-anjing makan tulang-tulang sapi. Mereka bisa
berkomunikasi, tetapi mereka tidak bisa berkomunikasi tentang
tulang-tulang sapi yang lezat jika tulang-tulang sapi itu tidak
hadir secara faktual.
Apa yang terjadi jika kita masih berada pada dunia
Tarzan, tanoa bahasa. Para sejarawan tidak bisa menghadirkan
masa lalu ke forum “kini dan disini” (now and here). Tidak lagi
ada yang bisa memprediksi masa depan. Dunia manusia akan
semakin sempit.201 Tanpa bahasa, masa lalu akan lenyap ditelan
waktu, masa sekarang tidak bermakna apa-apa, dan masa
depan tidak akan dibicarakan. Jika tidak menggunakan bahasa
sebagai simbol untuk gunung dan merpati, bagaimana
repotnya ketika kita ingin memberi informasikan kepada anak,
“ada seekor merpati di tepi gunung”. Membawa anak langsung
ke obyek itu, katakanlah masih bisa walaupun repot.
198
Bahasa yang bersifat konvensional itu berarti bahwa semua anggota masyarakat
bahasa itu mematuhi konvensi lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep
yang diwakili. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 47
199
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 39
200
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 173
201
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 44
Bagaimana kalau ingin mengkomunikasi “gunung berapi
meletus”.202 Apakah harus di bawa ke gunung meletus? Ini
berbahaya!
Apa yang terjadi dengan seseorang ketika dalam
kesendirian, ketika dalam sujud, ketika duduk atau tiduran
berlama-lama, ia menangis tersedu-sedu. Ternyata dia sedang
berbicara dengan dirinya sendiri atau yang disebut dengan
bahasa batin. Untuk itulah dalam meditasi, ziarah intututif ke
alam ketuhanan sering terjadi.203
Bahasa adalah dunia simbolik dan dunia makna.
Seorang astronom yang sedang bekerja dalam laboraturium
perbintangan, secara fisik masih berada di bumi, tetapi secara
mental intelektual sedang melayang di dunia bintang yang
jauh. Ketika ahli botani dan ahli obat-obatan alami sedang
berjalan-jalan di Kebun Raya Bogor akan memaknai jenis-jenis
pohon yang rindang itu dalam konteks ilmu tumbuh-
tumbuhan dan khasiat obat.204
Menurut Kneller, ada tiga fungsi bahasa, yaitu simbolik,
emotif, dan efektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam
komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam
komunikasi estetika.205 Buhler membedakan bahasa dari sisi
pembicara, pendengar, dan lainnya. Menurutnya, bahasa dari
sisi pembicara disebut bahasa ekspresif, dari sisi pendengarnya
disebut bahasa konotif, sedangkan dari sisi lainnya disebut

202
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 176
203
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 45
204
Ibid, hal. 47
205
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 175
bahasa representasional.206 Dasmon Morris sebagaimana
dikutip oleh Amsal Bakhtiar mengemukakan ada empat fungsi
bahasa. Pertama, information talking (pertukaran keterangan dan
informasi). Kedua, mood talking (bahasa ekspresif dari
pembicara). Ketiga, exploratory talking (bahasa afektif). Keempat,
grooming talking (bahasa untuk proses sosial dan atau
menghindari pertentangan).207

Berpikir, Berbahasa, dan Berbicara


Keunikan manusia kata Ernest Cassirer tidak terletak
pada kemampuannya berpikir, tetapi pada kemampuannya
berbahasa. Untuk itulah manusia disebut animal symbolicum.208
Tanpa bahasa, “manusia tak berbeda dengan anjing atau
monyet” kata Aldous Huxley.209 Menurut Heidegger
sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat bahwa jarak
antara bahasa dan pikiran menjadi sangat dekat ketika
seseorang merenung, berpikir, dan berbicara dengan tanpa kata
dan tanpa tulisan. Di saat diam, yang aktif adalah bahasa
pikiran.210 Perlu diketahui jika bahasa adalah pikiran, maka
fungsi bahasa sebagai medium berkomunikasi dengan orang
lain akan hilang. Lebih dari itu, bahasa memiliki entitas
ontologis.211

206
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 182
207
Ibid
208
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 171
209
Ibid
210
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52
211
Ibid
Bahasa bukan sekedar serangkaian aturan gramatikal.
Berbahasa mempunyai nilai moral dan sanksi eskatologis.
Berbohong dan bersumpah palsu walaupun sesuai dengan
aturan gramatika akan berimplikasi pada dosa.212 Jika ucapan
itu berimplikasi dosa, maka hakekat bahasa itu menjadi tidak
produktif.213
Berbicara salah satu dari cara berbahasa, biasanya faktor
emosi lebih menonjol dan cenderung kurang sistematis.
Cobalah rekam pembicaraan kita sejak kita bangun pagi sampai
tidur lagi, tentu akan kita temukan ketidakteraturan tata bahasa
dan kurang sistematis.214 Dalam psikologi, berbicara atau marah
malah bisa menghilangkan stress sedangkan menulis bisa
mendatangkan stress.215
Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka
bahasa itu harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi
ilmiah harus reproduktif.216 Jika dikomunikasikan adalah X,
maka yang didengarkan pun harus X. Jika tidak demikian,
maka tidak ilmiah. Selain itu bahasa ilmiah dikemukakan
dengan jelas dengan berusaha memperkecil munculnya
multitafsir. Tetapi, memilih kata-kata yang mengandung
banyak arti juga merupakan ciri ilmiah suatu bahasa.
Bayangkan untuk mengkomunikasikan bahwa seseorang
“beradab”, kita harus membuat penjelasan sepuluh lembar
kertas atau lebih. Tentu itu menjadi tidak ilmiah. Keilmiahan

212
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52
213
Abdul Chaer, Linguistik Umum, hal. 56
214
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 52-53
215
Ibid, hal. 53
216
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 181
suatu bahasa diukur juga dari sisi penggunaan tata bahasa.
Untuk mengungkapkan arti dan emosi, menurut Charlton
Laird, tata bahasa sebagai alat dalam mempergunakan aspek
logis dan kreatif dari pikiran.217

Kekurangan Bahasa
Ide, perasaan, dan pengalaman batin tidak selamanya
terbahasakan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dalam
bahasa ilmiah, sebenarnya ingin menggunakan fungsi simbolik,
tetapi ketika berbicara, maka fungsi emotif dan afektif
seringkali tidak terhindarkan.42
Selain yang disebutkan, arti bahasa juga tidak eksak.
Artinya, tidak selamanya apa yang terucap sama persis artinya
dengan maknanya. Seorang ayah yang kesal, melarang anaknya
untuk turun dari pohon kelapa, tetapi anaknya tidak mau,
lantas ia berkata dengan nada marah, "sudah! Naik-naik....!"
Untuk itulah Ushul Fiqh (epistemologi hukum Islam)
menyebutkan kaidah perintah (al-amr) di dalam al-Qur'an
selain untuk dikerjakan, di antaranya berfungsi sebagai:
Pertama, untuk do'a (li al-du'à ). Kedua, karena benci (li al-
tahdid). Ketiga, untuk memuliakan (li al-ikram). Keempat, kerena
yang disuruh tidak bisa melakukannya (li al-ta`ziz). Kelima,
untuk mengungkapkan kepasrahan (li al-tafwidh). Keenam,
untuk mengungkapkan kemarahan yang membara (li al-talkif).49
Belum lagi ada bahasa yang menggunakan kata maknanya
berbeda sesuai dengan konteksnya. Ada juga kata yang
memiliki lebih dari satu arti (dalam bahasa Arab dikenal

217
Ibid, hal. 182
dengan al-musytarak). Selain itu juga ada sejumlah kata yang
artinya mirip (dalam bahasa Arab dikenal dengan murâdif:
bahasa Inggris sinonym). Suku Hanunoo Filipina mempunyai 92
buah kata untuk membahasakan beras.50 Orang Arab
mempunyai 20 kata untuk mengatakan unta. Di Indonesia bisa
menyebutkan tidak kurang dari 10 kata untuk nasi, sementara
orang Barat menyebut rice hanya untuk padi atau nasi.51 Kata-
kata majemuk bisa mengacaukan semantik, dimana dua orang
berkomunikasi dengan kata yang sama dengan maksud yang
berbeda.52
Kelemahan bahasa yang ketiga adalah sering berputar-
putar, khususnya ketika ingin mendefinisikan sesuatu. Contoh,
data didefinisikan, "bahan yang diolah menjadi informasi.
Sementara informasi didefinisikan, "keterangan yang didapat
dari data." Dalam mendefeniskan kata membutuhkan kata-kata
lain. Hal itu tidak ada masalah, sepanjang tidak berputar-putar.
Untuk itu, ahli ahli sosial kata Max Waber sering membuat
definisi baru. Mereka beranggapan bahwa definisi yang
dirumuskan orang sebagai "sikat gigi bekas". Menurut
Wittgestein, kegagalan berfilsafat kebanyakan timbul karena
kelemahan dalam menguasai logika bahasa. Sementara
menurut Henri Bergson, pengetahuan yang hakiki tidak
didapatkan lewat penalaran, tetapi dengan intuisi. Bahasa
menurut Whitehead "berhenti di belakang intusi.55

B. Logika
Pada pengantar filsafat sudah dibahas sekilas tentang
logika sebagai ciri utama filsafat. Untuk melengkapi latihan,
kembali kita berikan contoh lain yang sederhana dari kerja
logika.
W. Poespoprodjo dan EK T. Gilarso dalam Logika: Ilmu
Menalar ketika menjelaskan unsur-unsur pemikiran memberi
sebuah contoh,
“Aku tak dapat membeli mobil itu karena mahal”
Ada tiga unsur yang harus dibedah, yaitu “aku,
membeli, dan mobil”.218 Mahal tidak menjadi obyek pemikiran
karena itu hubungannya dangan “aku”.
Siapa aku itu? Bisa jadi orang yang sangat
membutuhkan mobil untuk kebutuhan sehari-hari. Jika hujan,
pakai mobil terlindungi. Jika panas juga terlindungi. Bisa jadi
aku itu membutuhkan mobil untuk prestise karena profesinya
yang terhormat, maka ia berpikir layak untuk beli mobil.
Contohnya profesi kepala sekolah negeri. Gurunya ada yang
pakai mobil, kepala sekolahnya tidak. Ini menimbulkan gengsi.
Untuk menutupi gensi perlu mobil. Bisa juga “aku”
membutuhkan mobil untuk meningkatkan derajat sosial. Yang
punya mobil terkadang status sosialnya lebih tinggi dipandang
orang lain dibandingkan hanya punya sepeda motor. Bisa juga
“aku” itu adalah orang yang membutuhkan mobil untuk
kenderaannya membawa orang tuanya berobat akibat karena
tua, sering keluar masuk rumah sakit. Begitu dan seterusnya,
“aku” lah yang tau kenapa dia ingin membeli mobil. Siapa saja
yang tidak tau alasan “aku” untuk beli mobil, maka ia berpikir.
“Membeli” mobil bisa cash bisa juga kredit atau bisa juga
mengutang. Mengutang ke orang lain, tapi mobilnya mau
218
W. Poespoprodjo dan EK T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), h. 14.
dibeli cash. Baik cash ataupun kredit, yang jelas “aku” menilai
mobil itu mahal, makanya tidak bisa dia beli.
Kalimat, “Aku tidak dapat beli mobil karena mahal”
berupa kesimpulan. “tidak dapat” berhubungan dengan uang
yang dimiliki oleh “aku”. Jika kredit pun “aku” tidak mampu
membayar cicilannya. Tidak mampu bayar cicilan, bisa jadi
dihubungkan dengan gajinya per bulan. Jika gaji per bulan
“aku” Rp. 5.000.000, dan cicilan mobil per bulannya Rp.
6.000.000, “aku” tidak dapat beli mobil. Bisa juga gajinya cukup
untuk bayar cicilan, tapi ada kebutuhan rutin yang terganggu,
contoh uang belanja dapur. Tidak mungkin dong, makannya
dijamak gara-gara beli mobil.
“Mahal” jika dihubungkan dengan “aku” bisa karena
ketersedian uang. Bisa juga mahal karena harga di luar harga
pada umumnya. Jika harga tanah pada umumnya di pinggil
jalan Batunadua Mei 2017 Rp. 2.000.000/Meter. Kemudian ada
yang menjual Rp. 2.500.000/Meter. Itu mahal dibandingakan
dengan harga pada umumnya. Bisa juga mahal dihubungkan
dengan perkiraan dari “aku”.
Pernah penulis lebih suatu daerah. Di pinggir jalan
banyak yang jual jeruk. Karena menarik, penjualnya berderet,
penulis berhenti, mau beli jika harganya Rp. 10.000- Rp. 15.000
per Kg. Begitu ditanya harga. Penjual mengatakan, “harga
biasa!”. “Berapa harga biasanya bu?”. Dijawab, “ada Rp. 25.000-
Rp. 40.000”. Penulis menilai itu mahal. Jadi konsep berpikir
mahal dilihat dari harga pada umumnya, harga dalam pikiran
pembeli, atau ketersedian uang.
Contoh di atas termasuk logika alami karena masih
sederhana untuk dicerna. Tetapi pada hal-hal yang lebih serius
dan ilmiah, itu menggunakan logika saintifika.
Walaupun definisi tidak pernah bisa menampilkan
dengan sempurna pengertian sesuatu yang dikandungnya,
tetapi sebagai pembuka pintu pemahaman, tidak ada
bahayanya memulai pembahasan ini dengan definisi.
Logika berasal dari bahasa Latin dari kata logos yang
berarti perkataan atau sabda dan dalam bahasa Arab disebut
mantiq yang berarti berucap. Dalam buku Logic and Language of
Education dikatakan bahwa mantiq adalah penyelidikan tentang
dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar. Mantiq dalam
munjid disebut juga dengan "al-mizan sebagai toeri praktis
metode berpikir benar. Sementara menurut M. Copi Irving
sebagaimana dikutip oleh Mundiri, "Logika adalah ilmu yang
mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan
untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang
salah.
Kata "logika pertama kali digunakan oleh Zeno. Sementara
kaum Sofis, Socrates dan Plato tercatat sebagai pencetus
lahirnya logika. Adapun Aristoteles, Theoprostus, dan kaum
Stoa menjadikan logika sebagai ilmu. Buku-buku yang
dijadikan rujukan dasar Logika Tradisional adalah enam buku
Aristoteles yang dikembangkan oleh Theoprostus dan
disistematisasikan oleh kaum Stoa. Buku itu disebut Organon
oleh murid-murid Aristoteles.
Keenam buku itu adalah: Catagoriae yang membahas
tentang pengertian pengertian atau definisi. De Interpretatiae
yang membahas tentang keputusan keputusan atau penafsiran.
Analitica Posteriora yang membahas tentang pembuktian-
pembuktian. Tipika yang membahas tentang bagaimana
berdebat dan De Sophistics Elenchis yang membahas kesalahan-
kesalahan berpikir.
Logika sebagai ilmu berarti membutuhkan penjelasan
dan bukan seperti pengetahuan. Pengetahun (knowlegde)
diterima tanpa ragu sedangkan ilmu (science) membutuhkan
penjelasan lebih lanjut.
Mundiri memberikan contoh ilmu dan pengetahuan. Seorang
pemancing mengetahui bahwa pelampung kailnya terapung di
atas air. Jika dikatakan gabus pelampungnya tenggelam, maka
ia akan mengingkari kebenarannya. Kenapa pelampung kail
terapung? Pelampung kail terapung karena berat jenisnya lebih
kecil dari berat jenis air, itu adalah ilmu. Seorang nelayan
mengetahui betul kapan air laut pasang dan surut walaupun ia
tidak tahu menahu penyebabnya adalah daya tarik bulan. Ibu
rumah tangga, sudah mengetahui bagaimana caranya
memanaskan air hingga mendidih, tetapi ia tidak selamanya
dapat menjelaskan secara ilmiah bahwa air mendidih ketika
panasnya mencapai 100 derajat celcius. Penjelasan sebab akibat
itu adalah bagian dari wilayah ilmu. Untuk itu yang
menjelaskan kenapa suatu proposisi masuk akal adalah logika
sebagai ilmu.
Secara de facto dan de jure, kita tidak boleh sembarangan
berpikir. Pikiran harus tunduk pada hukum-hukum berpikir
yang kemudian disebut dengan logika. Pikiran kita bisa saja
secara otomatis dapat bekerja menyelesaikan hal hal yang
sederhana, tetapi ketika menghadapi yang rumit, maka liku-
liku berpikir dibutuhkan untuk sampai pada kesimpulan yang
benar.
Ilmu ada yang bersifat a priori dan a postriori. Ilmu a priori tidak
diperoleh dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber
pada akal. Sementara ilmu a postriori harus bersumber dari
pengalaman indera dan eksperimen seperti ilmu kimia, ilmu
alam, ilmu hayat, dan sebagainya. Dari kategori ilmu tersebut,
logika termasuk ilmu a priori.
Psikologi juga mempelajari pikiran tanpa menyinggung
persoalan benar salah. Sementara yang mempersoalkan benar-
salah adalah logika. Walaupun logika sebagai teori metode
berpikir benar, tetapi ia tidak mempelajari semua ragam cara
berpikir. Logika hanya mempelajari metode berpikir yang
paling sehat dan praktis.
Logika berupa metode berpikir benar dan belum mengajarkan
kebenaran materi pemikiran. Benar pada dasarnya adalah
persesuaian antar pikiran dan kenyataan. Dengan mudah kita
mengatakan bahwa proposisi berikut salah: manusia adalah
binatang. Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu Injil. Hari
Selasa adalah dua kali dalam seminggu. Anak begitu lahir,
langsung berjalan, dan sebagainya.
Yang benar itu juga persesuaian pikiran dengan
kenyataan yang tidak ada pertentangan dalam dirinya.
Pernyataan berikut pasti salah. Kohar jujur yang suka menipu.
Mahasiswa itu bisu tetapi pandai berdebat. Iqbal menyisir
rambutnya yang botak. Si tuli mendengar lagu dangdut. Lelaki
itu melahirkan anak perempuan, dan sebagainya. Kesimpulan
silogisme ini juga pasti salah. Semua orang Aceh beragama
Islam, Budiman adalah orang Aceh, maka Budiman adalah
beragama Hindu.
Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan terdahulu
bahwa di antara teori logika: generalisasi, definisi, asumsi,
posibility, kausalitas, klasifikasi, khusus dan umum, dilema,
dan sebagainya.
Salah satu contoh, teori klasifikasi. Manusia
diklasifikasikan berdasarkan warna kulitnya: berkulit hitam,
putih, kuning langsat, dan sawo matang. Manusia berdasarkan
jenis kelaminnya terbagi dua, yaitu laki-laki dan perempuan.
Memang ada juga jenis kelamin banci (khuntsa), tetapi banci
pada gilirannya dalam agama harus ditetapkan apakah dia
laki-laki atau perempuan melihat kecenderungan biologis yang
dominan. Klasifikasi berikut salah. Manusia terdiri dari
manusia berkulit putih, manusia Aria, manusia Asia, dan
manusia penyabar.
Rasional dan Logis
Sesuatu yang masuk akal terkadang disebut rasional dan
terkadang disebut lagis. Untuk membedakannya, lebih baik
kita uraikan pendapat Ahmad Tafsir berdasarkan pemikiran
Immanuel Kant. Menurut pengakuan Ahmad Tafsir, ia dapat
membedakan keduanya setelah tiga puluh tahun belajar
filsafat.
Rasional dan logis sama-sama masuk akal, tetapi
rasional masuk akal berdasarkan hukum alam, sedangkan logis
bukan saja masuk akal berdasarkan hukum alam, tetapi
termasuk masuk akal berdasarkan hukum lainnya. Untuk
mempermudah metodologinya, hukum lainnya bisa disebut
hukum sosial, hukum humaniora, hukum seni, dan hukum
teknologi.
Kategorisasi hukum sosial dapat dipahami ketika ilmu
itu dibagi menjadi ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial.
Hukum humaniora dikatagorikan, ketika ilmuan ada
yang menilai pengetahuan yang tidak termasuk ilmu alam
maupun ilmu sosial, termasuk pengetahuan bidang
keagamaan, maka mereka menyebutkan humaniora. Fenomena
pengetahuan humaniora ini, di antaranya dapat dilihat dari
gelar kesarjanaan, termasuk Magister Humaniora (M.Hum.).
Walaupun dengan jelas, perbedaan pendapat di
kalangan akademisi dalam menentukan mana kelompok
humaniora. Secara sederhana, pengetahuan hukum di USU
dikatagorikan dalam humaniora. Untuk itu gelar magister
hukum di USU Magister Humaniora (M.Hum.), sementara di
Unpad gelarnya M.H. (Magister Hukum). Sementara
pengetahuan seni dan teknologi sendiri berada di luar ilmu
alam, sosial, dan humaniora. Untuk itulah dalam tulisan ini
dikatagorikan hukum seni dan teknologi. Teknologi sepertinya
kata Ahmad Tafsir termasuk sains terapan atau penerapan teori
sains dan bukan sains itu sendiri. Sementara seni belum berani
Ahmad Tafsir membahas kapling pengetahuannya dan
mengaharapkan ada ahli yang membahasnya secara khusus.
Untuk mempermudah dalam menilai hukum alam, maka kita
harus mengerti rumpun ilmu alam yang ditentukan oleh ahli.
Hukum alam adalah hukum yang alami yang telah ditentukan
oleh Allah dan tidak berubah ubah. Lebih banyak hukum alam
ini disebutkan oleh ilmuan Muslim dengan sunnatullah.
Sementara ada juga ahli yang berpendapat bahwa hukum alam
yang tidak berubah-ubah itu disebut taqdirullah (ketentuan
Allah), sementara sunnatullah aturan Tuhan di luar hukum
alam seperti kalau kita menanam padi dan memupuknya,
menurut sunnatullah kita insya Allah akan memanen hasilnya.
Tetapi hasilnya bisa jadi karena ada hama padi, sehingga tidak
panen atau sebaliknya, kita yang menanam, malah orang lain
yang memanennya (dicuri).
Dalam memberi contoh hukum alam, mahasiswa sering
menyebutkan bahwa air akan mengalir ke tempat yang lebih
rendah. Ya, benar itu adalah hukum alam. Ketika melihat ada
air yang mengalir ke arah yang lebih tinggi, itu bukan lagi
hukum alam, tetapi rekayasa ilmiah dengan teknologi mesin
pompa air. Namun jika sumber airnya tinggi, maka ia akan
naik setinggi sumbernya. Ini masih termasuk hukum alam,
tanpa rekayasa ilmiah. Lihatlah tukang bangunan rumah ketika
mengukur kedataran bangunan (biasa disebut mencari nol
rumah). Air dimasukkan ke dalam selang, batas kedua ujung
selang itu akan sama tinggi-rendahnya.
Contoh hukum alam yang lain, dapat kita sebutkan
bahwa matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat. Sejak
manusia mengenal arah mata angin, matahari itu selalu terbit
dari Timur dan terbenam di Barat. Jika terkadang terbit dan
atau terbenamnya tidak kelihatan, itu karena faktor alam.
Tetapi walaupun demikian, matahari tidak pernah alpa terbit di
Timur dan terbenam di Barat. Bahasa hukum alam bisa juga
disebut orang dengan fitrah. Seperti melahirkan dan menyusui
itu fitrah wanita bukan laki-laki. Artinya sudah merupakan
hukum alam bahwa yang melahirkan dan yang menyusui itu
wanita dan bukan laki-laki. Tetapi yang mencari nafkah laki-
laki bukan hukum alam, tetapi hukum sosial. Artinya
selayaknya lah laki-laki yang mencari nafkah. Hukum alam
lainnya, bahwa api itu sifatnya panas. Di mana-mana api itu
memang panas dan itu rasional. Kalau Ibrahim a.s. tidak
merasakan panasnya api saat orang-orang musyrik
membakarnya, itu tidak sesuai dengan hukum alam. Dengan
demikian, tidak rasional, tetapi itu logis dalam pengertian
supralogis. Sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam itu
tidak rasional. Kenapa logis, menurut Ahmad Tafsir, karena
yang menciptakan sifat api itu panas adalah Allah, maka logis
juga kalau Allah bisa mencabut sifat itu sesuai dengan
keinginan dan kekuasaanNya. Dengan demikian, segala
sesuatu kalau disandarkan dengan keinginan dan kekuasaan
Tuhan, maka itu logis dalam pengertian supralogis. Untuk
itulah semua mu”jizat para Nabi dan Rasul bersifat tidak
rasional, tetapi logis dalam pengertian supralogis. Supralogis
itu bisa disebut masuk akal berdasarkan logika Tuhan
sementara logis itu berdasarkan logika manusia.
Ketika membahas perbedaan konsep logis dan rasional,
maka penulis teringat dengan buku Harun Nasution, Islam
Rasional dan pemikiran Mu’tazilah yang rasional. Jika benar
apa yang dikatakan Ahmad Tafsir tentang perbedaan logis dan
rasional, mestinya buku Harun Nasution berjudul Islam Logis
dan ciri pemikran Mu’tazilah itu logis dan bukan rasional.
Dalam logika dikenal logika deduktif dan logika
induktif. Matematika menggunakan logika deduktif,
sementara statistic menggunakan logika induktif. Pembahasan
deduktif dan induktif telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Perbedaan logika deduktif, jika premis-premisnya benar dan
prosedur penarikan kesimpulan sah, maka kesimpulannya
adalah benar. Hal ini berbeda dengan logika induktif.
Walaupun premis-premisnya benar dan prosedur penarikan
kesimpulannya sah, tetapi kesimpulannya belum tentu benar.
Dalam logika induktif, kesimpulan berpeluang benar.

C. Matematika
Belajar matematika mendapat dukungan yang kuat dari
al-Qur’an. Sejak awal sejarah Islam sampai hampir seribu
tahun, matematika mendapat perhatian kaum muslimin.
Matematika adalah bahasa simbol yang memberikan informasi
secara jelas dan singkat. Seorang penjual durian menjual 2.000
buah durian dan perbuah dijual Rp. 3.000. Dengan disaksikan
pembelinya, penjual mulai memisahkan satu persatu buahnya
dengan menambahkan Rp. 3.000 untuk setiap buahnya. Setelah
satu jam ia berhasil menghitung harga keseluruhan Rp.
6.000.000. Guru matematika ikut menyaksikan perilaku non
matematis itu dengan hati tertawa mengatakan dalam dirinya,
”alangkah repotnya manusia hidup tanpa matematika”.
Dengan sistematika matematika dalam perkalian, dengan
mudah didapatkan hasilnya 3x2 = 6 dan ditambahkan
dibelakang angka 6, enam angka nol dan menjadi 6.000.000.
Mari berterima kasih pada orang yang menemukan rumus
perkalian itu dan tidak kalah pentingnya berterima kasih yang
tak terhingga juga pada Pencipta orang yang menemukan
rumus itu.
Dalam satu proposisi yang kualitatif disebutkan bahwa
”semut lebih kecil dari gajah”. Pernyataan itu tentu perlu
dijelaskan lebih kuantitatif, yaitu berapa rasionya? Apakah
besar gajah, 1000 kali besarnya semut? Matematika
memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap
kualitatif menjadi kuantitatif. Matematika berfungsi untuk
menertibkan aturan, keseimbangan, dan keserasian tiap cabang
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Dilihat dari perkembangannya, matematika sebagai ”akar
tunggangnya” semua ilmu pengetahuan, memiliki tiga tahap,
yaitu sistematis, komparatif, dan kuantitatif. Pada tahap
sistematis, ilmu mulai digolongkan dalam katagori tertentu
dengan menemukan ciri-ciri umumnya. Contoh kita
menggolongkan manusia, makhluk yang bisa berbicara,
berpikir, berkreasi aktif, dan memiliki spritualitas. Tahap
selanjutnya komparasi. Disini mulailah kita membedakan
antara manusia dengan binatang dan juga tumbuh-tumbuhan.
Jelas sekali tumbuhan makhluk yang tidak berbicara sedangkan
binatang berbicara dan bahkan berpikir. Walaupun binatang
berbicara dan berpikir, tetapi binatang tidak bisa bertindak
seperti sejarawan yang bisa mengantarkan masa lalu ke masa
sekarang dan membawa masa sekarang ke masa depan.
Binatang berbica statis dan tidak berkembang, sementara
manusia dinamis. Binatang berpikir untuk kelangsungan
hidupnya, sementara manusia bukan saja untuk kelangsungan
hidup, tetapi termasuk untuk kebahagiaan hidupnya.
Sementara pada tahap kuantitatif, dicarilah hubungan sebab
akibat bukan berdasarkan perbandingan, melainkan
berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang
diselidik. Dalam hal ini bisa disebut bahwa manusia bisa taat
dan inkar pada Tuhan.
Matematika selain berfungsi sebagai bahasa simbol, ia
juga sebagai alat berpikir. Sebagai alat berpikir, Wittgenstein
menyebutkan matematika sebagai metode berpikir logis.
Logika berkembang menjadi matematika dan oleh sebab itu
Bertrand Russell mengatakan, ”matematika adalah masa
kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil
matematika.” Dewasa ini matematika diangaap bersifat
rasional yang tidak tergantung pada pembuktian secara
empiris.
Pada abad ke-20, seluruh kehidupan manusia telah
mempergunakan jasa matematika dari tingkat yang sangat
sederhana sampai yang rumit. Fungsinya seluas fungsi bahasa
dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Orang dewasa kata Antoine sangat menyenangi angka-
angka. Bila kau katakan kepada mereka bahwa kau
mempunyai seorang kawan baru, mereka tak bertanya tentang
hal ihwal yang penting. Mereka tak pernah bertanya,
(”Bagaimana merdu suaranya?, Permainan apa yang paling
disenangi? Apakah dia suka mengumpulkan kupu-kupu?”)
Sebaliknya mereka bertanya: (”Berapa umurnya? Berapa orang
saudarannya? Berapa kilogram beratnya? Berapa besar
penghasilannya?”)92
Matematika merupakan lambang ”artifisial”. Artinya,
lambang itu akan bermakna setelah dimaknai, dan jika tidak,
maka ia hanya sekedar rumus-rumus yang passif. Bahasa
verbal memiliki kekurangan dan untuk mengatasinya, kita
membutuhkan matematika. Matematika berusaha
menghilangkan sifat kemajemukan dan emosional dari bahasa
verbal.94 Jika kecepatan pesawat dilambangkan X, jarak yang
ditempuhnya dilambangkan dengan Y, dan Z dilambangkan
dengan jarak tempuh, maka dapat dilambangkan, Z= Y/X.

D. Statistik
Matematika lebih tua umurnya dari statistika, tetapi
perkembangan statistika belakangan ini dinilai sangat pesat,
khususnya dalam bidang penelitian. Sensus penduduk
menggunakan jasa ilmu statistik, teori sampel dan hipotesa
juga menggunakan jasa ilmu statistik. Bisa dibayangkan jika
ingin mengetahui apakah orang tua sayang sama anaknya, kita
harus meneliti semua orang tua di dunia ini. Sungguh
melelahkan, menyusahkan, membutuhkan waktu yang lama,
dan mahal biayanya. Tetapi dengan teknik sampling, hal itu
tidak susah didapatkan hasilnya.
Statistik pada mulanya diartikan, ’kumpulan bahan
keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif)
maupun yang tidak berwujud nilai angka (data kualitatif), yang
mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi suatu
negara....’ Namun pada perkembangannya, hanya dibatasi
pada data kuantitatif saja.
Dalam kamus bahasa Inggris ditemukan bahwa statistik
diartikan “ukuran yang diperoleh atau berasal dari sampel”.
Lawan katanya parameter yang ukurannya diperoleh dari
populasi. Ada tiga ciri khas statistik, yaitu selalu bekerja
dengan angka atau bilangan, bersifat obyektif, dan bersifat
universal.
Peluang merupakan dasar teori statistika yang belum
ditemukan pada zaman Yunani Kuno, Romawi, dan bahkan
Eropa di zaman pertengahan. Dalam teknik statistika, semakin
banyak jumlah sample, maka semakin tinggi juga tingkat
ketelitian kesimpulan. Statistika mencoba menjawab
permasalahan saling hubungan (korelasi), pemencaran, dan
rata-rata. Adapun pola hubungan kausalitas yang dicari
statistik untuk menentukan apakah bersifat kebetulan atau
bersifat empiris. Melalui teknik statistik dapat diketahui apakah
minat belajar mahasiswa berhubungan secara kebetulan atau
empiris dengan dosen yang berparas cantik.
Jika setiap kali lebaran dalam lima tahun belakangan ini
harga-harga mobil bekas turun, maka lebaran tahun ini dapat
diprediksi peluang harga mobil. Artinya, harga mobil lebaran
tahun ini berpeluang turun. Ketika tiba waktunya lebaran,
maka kita akan menguji kebenarannya, jika ternyata turun,
maka hipotesa di atas benar, jika tidak, maka hipotesa tersebut
ditolak. Tanpa menguasai statistika, tak mungkin dapat
menarik kesimpulan induktif dengan sah.

Anda mungkin juga menyukai