Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS FARMASI

“Prosedur Penetapan Kadar Air, Kadar Abu, Sisa Pemijaran Susut Pengeringan dan
Penetapan Warna”

Dosen :

Lia Puspitasari, S.Farm, M.Si, Apt.

Erwi Putri Setyaningsih, M.Si., Apt

Disusun Oleh :

Ummi Khulsum 15330054

Rasyigah Awanis Arka 16330005

Rosi Indah Aditiya 16330061

Marcel yudha 16330127

Zufar Firza Mahendra 17330090

Renisa wiranti 17330108

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

FAKULTAS FARMASI

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Analisis Farmasi yang berjudul “Prosedur
Penetapan Kadar Air, Kadar Abu, Sisa Pemijaran, Susut Pengeringan dan Penetapan Warna”.
Makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Farmasi

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak sangat di perlukan demi kesempurnaan
makalah ini

Akhir kata kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan dan penyusunan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat
bagi penulis sendiri dan bagi pembaca khususnya mahasiswa/i, serta menjadi pintu gerbang
ilmu pengetahuan khususnya mata kuliah Analisis Farmasi.

30 September 2020

DAFTAR ISI

Makalah Analisis Farmasi


ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................1

BAB II SIMPLISIA DAN EKSTRAK.............................................................................3


2.1 Simplisia..................................................................................................................3
2.2 Ekstrak.....................................................................................................................4

BAB III FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA MUTU EKSTRAK..................5


3.1 Faktor Biologi.........................................................................................................5
3.2 Faktor Kimia...........................................................................................................5

BAB IV TEKNOLOGI EKSTRAKSI.............................................................................7


4.1 Proses Pembuatan Ekstrak......................................................................................7
4.1.1 Pembuatan Serbuk Simplisia dan Klasifikasinya ......................................7
4.1.2 Cairan pelarut.............................................................................................7

BAB V PARAMETER DAN UJI EKSTRAK.................................................................8


5.1 Parameter Non Spesifik...........................................................................................8
5.1.1 Susut Pengeringan dan Bobot Jenis................................................................8
5.1.2 Kadar Air........................................................................................................9
5.1.3 Kadar Abu.......................................................................................................11
5.1.4 Sisa Pelarut.....................................................................................................13
5.2 Sisa Pemijaran.........................................................................................................14
5.2.1 Residu Pestisida..............................................................................................15
5.2.2 Cemaran Logam Berat....................................................................................16
5.2.3 Cemaran Mikroba...........................................................................................16
5.2.4 parameter Cemaran Kapang, Khamir, Dan Alfatoksin...................................17
5.3 Parameter Spesifik...................................................................................................17
5.3.1 Penetapan Warna............................................................................................17
5.3.2 Identitas..........................................................................................................18
5.3.3 Organoleptik...................................................................................................18
5.3.4 Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu.....................................................18
5.4 Uji Kandungan Kimia Ekstrak................................................................................19
5.4.1 Pola Kromatogram..........................................................................................19
5.4.2 Kadar Total Golongan Kandungan Kimia......................................................20
5.4.3 Kadar Kandungan Kimia Tertentu.................................................................21

Makalah Analisis Farmasi


iii
BAB VI KESIMPULAN SARAN.....................................................................................
6.1 Kesimpulan...............................................................................................................
6.2 Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

Makalah Analisis Farmasi


iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Memasuki abad ke-21 sebagai era globalisasi, perkembangan teknologi, dan bentuk
pemanfaatan tumbuhan obat diindonesia dalam pelayanan kesehatan sudah mengenal serta
menggunakan konsep ekstrak. Hal ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian serta pertanian dan
kedokteran di Indonesia.
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Standarisasi dalam kefarmasian tidak
lain ialah serangkaian parameter prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupkan
unsure-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat
standar.
Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur
dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu
kefarmasian , mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi)
termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dari penetapan kadar air, kadar abu, susut pengeringan, sisa
pemijaran dan penetapan warna?
2. Apa tujuan, prinsip dan prosedur kerja penetapan kadar air?
3. Apa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari kadar abu?
4. Apa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari susut pengeringan?
5. Apa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari sisa pemijaran?
6. Apa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari penetapan warna?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari penetapan kadar air, kadar abu, susut pengeringan,
sisa pemijaran dan penetapan warna.
2. Untuk mengetahuiapa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari penetapan kadar air.
3. Untuk mengetahuiapa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari penetapan kadar abu.
4. Untuk mengetahu siapa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari susut pengeringan.
5. Untuk mengetahuiapa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari sisa pemijaran.
6. Untuk mengetahuiapa tujuan, prinsip dan prosedur kerja dari penetapan warna.
7. Untuk memperoleh bentuk bahan baku produk kefarmasian yang bermutu,aman
serta bermanfaat
8. Untuk memberi kadar abu gambaran kandungan mineral internal dan eksternal
dalam simplisia, mulai dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak
BAB II
SIMPLISIA DAN EKSTRAK

Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai
bahan obat atau produk.
Ekstrak tumbuhan obat sebagai bahan dan produk, dibuat dari bahan baku tumbuhan
obat.
2.1 Simplisia
Dalam buku “Materia Medika Indonesia” Simplisia adalah bahan alamiah yang
dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Simplisia nabati
2. Simplisia hewani
3. Simplisia pelican (mineral)
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produksi apa dikonsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standard umum :
1. Simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu
umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian
(bebas dari kontaminasi kimia dan biologis) serta aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan dan transportasi).
2. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap
diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu
Quality-Safety-efficacy (mutu-aman-manfaat).
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab
terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi
komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.

Variasi senyawa kandungan dalam produk hasil panen tumbuhan obat (in vivo) disebabkan
aspek sebagai berikut :
1. Genetik (bibit)
2. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)
3. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh).
4. Panen (waktu dan pasca meja)
Berdasarkan trilogy mutu-aman-manfaat, maka simplisia sebagai bahan baku
ekstrak tetap harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan monografinya yaitu,
buku Materi Medika Indonesia. Dan kemudian dalam proses seterusnya, produk
ekstrak juga harus memenuhi persyaratan, yaitu parameter standar umum dan
spesikasinya dalam buku monografi.

2.2 Ekstrak
Dalam buku farmakope 4, disebutkan bahwa :
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau sebuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut
atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap ml
ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat.
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air
pada suhu 90º C selama 15 menit.
Ekstrak tumbuhan obat yang berasal dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai:
1. Bahan awal
Dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi
fitofarmasi diproses menjadi produk jadi.
2. Bahan antara
Berarti masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi,
isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain.
3. Bahan produk jadi
Berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh
penderita.
Pengujian atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak
harus dilakukan dengan berpegang pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh
badan formal atau/dan badan independen.
BAB III
FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA MUTU EKSTRAK

3.1. Faktor Biologi


Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan segi
biologinya. Faktor biologi baik untuk bahan tumbuhan obat hasil budidaya (kutivar)
ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) meliputi :
1. Identitas jenis (species) : jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat
dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis
(species).
2. Lokasi tumbuhan asal : lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan
atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya)
dan materi (air, senyawa organik dan anorganik).
3. Periode pemanenan hasil tumbuhan : faktor ini merupakan dimensi waktu dari
proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga menentukan senyawa
kandungan. Kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses
biosintesis dan sebaliknya kapan sebelum senyawa tersebut dikonversi/
dibiotransformasi/ biodegradasi menjadi senyawa lain.
4. Penyimpanan bahan tumbuhan : merupakan faktor eksternal yang dapat diatur
karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik
dan abiotik).
5. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
Selain 5 faktor tersebut, maka untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya
(kultivar) ada lagi faktor GAP (Good Agriculture Practice) sedangkan untuk bahan dari
tumbuhan liar (wild crop) ada faktor kondisi proses pengeringan yang umumnya dilakukan
di lapangan.

3.2. Faktor Kimia


Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya, khususnya
dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia baik untuk bahn tumbuhan obat
hasil budidaya (kultivar) ataupun tumbuhan liar (wild crop) meliputi :
a. Faktor internal
1. Jenis senyawa aktif dalam bahan
2. Komposisi kualitatif senyawa aktif
3. Komposisi kuantitatif senyawa aktif
4. Kadar total rat-rata senyawa aktif
b. Faktor eksternal
1. Metode ekstraksi
2. Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat)
3. Ukuran, kekerasan, dan kekeringan bahan
4. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
5. Kandungna logam berat
6. Kandungan pestisida
Mutu ekstrak ditinjau dan dipandang dari senyawa kimia yang dikandung
didalamnya seiring dengan paradigma ilmu kedokteran modern, bahwa respon biologis
yang diakibatkan oleh ekstrak pada manusia disebabkan oleh senyawa kimia, bukannya
dari unsur lain seperti bioenergi dan spiritual.
Senyawa kimia dalam ekstrak ditinjau dari asalnya dapat dibedakan menjadi 4
kelompok yaitu :
1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal.
2. Senyawa hasil perubahan dari senyawa asli.
3. Senyawa kontaminasi, baik sebagai polutan atau aditif proses.
4. Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa perubahan.
Kelompok pertama dan kedua terkait dengan parameter standar umum yang bersifat
spesifik sedangkan kelompok tiga dan empat merupakan parameter standar umum
nonspesifik.
BAB IV
TEKNOLOGI EKSTRAKSI

4.1 Proses Pembuatan Ekstrak


4.1.1 Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu
sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini mempengaruhi mutu ekstrak dengan
dasar beberapa hal sebagai berikut:
1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun makin
halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi
2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi
dengan benda keras (logam dll) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat
berpengaruh pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikompensasi dengan
penggunaan nitrogen cair
4.1.2 Cairan pelarut
Cairan pelarut adalah pelarut yang baik untuk senyawa kandungan yang
berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari
bahan dan dari senyawa kandungan lainnya. Faktor utama untuk pertimbangan pada
pemilihan cairan penyari yaitu
1. Selektivitas
2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut
3. Ekonomis
4. Ramah lingkungan
5. Keamanan
Pada prinsipya, cairan pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam
perdagangan dikenal dengan “pharmaceutical grade”. Sampai saat ini berlaku aturan
bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alcohol (etanol) serta campurannya.
Jenis pelarut lain seperti methanol dll. (alcohol turunannya), heksana dll. (hidrokaron
aliphatik), toluene dll. (hidrokaron aromatik), kloroform, aseton, umumnya digunakan
sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus
methanol, dihindari penggunaannyakarena sifatnya yang toksik akut dan kronik, tetapi
jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negative, maka methanol
sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol.
BAB V
PARAMETER DAN METODE UJI EKSTRAK

5.1 PARAMETER NON SPESIFIK


5.1.1 SUSUT PENGERINGAN DAN BOBOT JENIS
(1) PARAMETER SUSUT PENGERINGAN
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperature 105˚C selama 30 menit atau sampai berat konstan.
Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak
menguap/atsiri dan sisa pelarut organic menguap) identik dengan
kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan
udara terbuka
TUJUAN : Memberikan batasan maksimal (rentang tentang besarnya senyawa
yang hilang pada proses pengeringan
NILAI : Minimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
PROSEDUR : Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 – 2 g dan
dimasukkan kedalam botol timbang bertutup yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 105˚C selama 30 menit dan telah ditara.
Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang hingga
lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm. kemudian
dimasukkan kedalam ruang pengeringan, buka tutupnya, keringkan
pada suhu 105˚C hingga bobot tetap. Jika ekstrak sulit kering dan
mencair pada pemanasan, ditambahkan 1 g silika pengering yang
telah ditimbang saksama . kemudian keringkan kembali pada suhu
penetapan hingga bobot tetap.

Ada pun perhitungan dalam susut pengeringan ini yaitu :

berat sebelum pemanasan−berat akhir


Susut pengeringan = x
berat sebelum pemanasan
100%
(2) PARAMETER BOBOT JENIS
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Masa per satuan volume pada suhu kamar tertentu
(25˚C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat
lainnya
TUJUAN : Memberikan gambaran kandungan kimia terlarut
NILAI : Minimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
PROSEDUR : Gunakan piknometer yang telah dikalibrasi dengan menetapkan
bobt piknometer dan bobot air yang baru dididihkan pada suhu 25˚C.
atur suhu ekstrak cair lebih kurang 20˚C, masukkan dalam
piknometer yang telah diisi hingga suhu 25˚C. kurangkan bobot
piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah diisi. Bobot
jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot
ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25˚C.

5.1.2 KADAR AIR


PARAMETER KADAR AIR :
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Pengukuran kandungan air yang berada didalam
bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi,
destilasi, atau gravimetric.
TUJUAN : Memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air didalam bahan
NILAI : Minimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
PROSEDUR
(1) Cara Titrasi
Zat yang diperiksa dimasukkan kedalam labu melalui pipa pengalir nitrogen atau
melalui pipa samping yang dpaat disumbat. Pengadukan dikakukan dengan
mengalirkan gas nitrogen yang telah dikeringkan atau dengan pengaduk magnit.
Penunjuk titik akhir terdiri dari baterai kering 1,5 volt atau 2 volt yang
dihubungkan dengan tahanan variable lebih kurang 2000 ohm. Tahanan diatur
sedemikian rupa sehingga arus utama yang cocok melalui elektroda platina
berhubungan secara seri dengan mikroammeter.
Setelah setiap kali penambahan pereaksi Karl Fischer, penunjuk mikroammeter
menyimpang akan tetapi segera kembali kekedudukan semula. Pada titik akhir,
pengimpangan akan tetap selama waktu yang lebih lama.
Untuk senyawa yang melepaskan air perlahan-lahan, maka pada umumnya
dilakukan titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi maka
penetapan kadar air dilakukan dengan titrasi langsung.

Cara penetapan
Titrasi Langsung
Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam labu
titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan
dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang seksama yang diperkirakan
mengandung 10 – 50 mg air, kedalam labu titrasi, aduk selama 1 menit. Titrasi
dengan pereaksi Karl Fischer yang telah diketahui kesetaraan airnya. Hitung
jumlah air dalam mg dengan rumus : VXF
V adalah volume pereaksi Karl Fischer pada titrasi kedua, F adalah faktor
kesetaraan air.

Titrasi Tidak Langsung


Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam labu
titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan
dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang seksama yang diperkirakan
mengandung 10 – 50 mg air. Tambahkan pereaksi Karl Fischer berlebihan dan
diukur saksama, biarkan selama beberapa waktu hingga reaksi sempurna. Titrasi
kelebihan pereaksi dengan larutan baku air-metanol. Hitung jumlah dalam mg,
air, dengan rumus :
FV1 – aV2
F adalah faktor kesetaraan air pereaksi Karl Fischer, V1 adalah volume methanol
dalam ml pereaksi Karl Fischer yang diukur saksama, a adalah kadar air dalam
mg tiap ml dari larutan baku air-metanol dan V2 adalah volume dalam ml larutan
baku air-metanol.
(2) Cara Destilasi
Pereaksi : Toluen. Sejumlah toluene P, kocok dengan sedikit air,
biarkan memisah, buang lapisan air suling

Cara Penetapan : Kedalam labu kering masukkan sejumlah ekstrak yang


ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 2 – 4 ml air. Masukkan lebih
kurang 200 ml toluene kedalam labu, hubungkan alat. Tuang toluene kedalam
tabung penerima (R) melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati selama 15
menit.
Setelah toluene mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes per detik,
hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4
tetes per detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam pendingin dengan
toluene. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit. Biarkan tabung penerima
pendinginan hingga suhu kamar. Setelah air dan toluene memisah sempurna,
baca volume air. Hitunga kadar air dalam persen.

(3) Metode Gravimetri


Masukkan lebih kurang 10 g ekstrak dan timbang saksama dalam wadah yang telah
ditara. Keringkan pada suhu 105˚C selama 5 jam dan ditimbang. Lanjutkan
pangeringan dan timbang pada jaran 1 jam sampai perbedaaan antara 2 penimbangan
berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. Penetapan kadar air dengan metode ini tidak
sesuai untuk ekstrak yang mempunyai kandungan minyak atsiri tinggi. Dalam hal
demikian metode ini lebih tepat disebut penetapan susut pengeringan.

5.1.3 KADAR ABU


PARAMETER KADAR ABU
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Bahan dipanaskan pada temperature dimana
senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap.
Sehingga tinggal unsure mineral dan anorganik.
TUJUAN : Memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal
yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak
NILAI : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnia dan kontaminasi.
PROSEDUR
(1) Penetapan Kadar Abu Total

 Krus yang digunakan untuk meletakkan simplisia dipanaskan diatas


penangas kira-kira 30 menit sampai terlihat asap.

 Setelah itu, krus dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu


ditimbang berat krus kosong dan dicatat beratnya.

 Simplisia yang akan ditetapkan kadar abunya ditimbang dikertas timbang.


Setelah ditimbang, simplisia dimasukkan kedalam krus lalu dipanaskan
diatas penangas dengan tutup terbuka sampai simplisia berwarna hitam.

 Krus ditutup menggunakan penutupnya kemudian dimasukkan ke tanur


kira-kira seharian. Setelah ditanur, krus yang berisi simplisia dimasukkan
kedalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang beratnya dan dicatat.

 Simplisia beserta krusnya dimasukkan kembali ke tanur selama 1 jam,


kemudian dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang
beratnya dan dicatat.

 Langkah tersebut diulangi sampai didapat berat yang tetap. Setelah itu
kadar abu total dapat dihitung dengan cara selisih dari bobot tetap dan
bobot krus kosong dibagi bobot simplisia lalu dikali 100%.

(2) Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

 Abu yang didapat dari penetapan kadar abu total ditambah beberapa ml HCl
encer lalu dipanaskan kembali diatas penangas
selama5menitsetelahcairannyamendidih.

 Simplisiadisaringmenggunakan kertas saring bebas abu. Filtrat yang didapat


dibuang lalu abu dan kertas saringnya dimasukkan ke dalam krus untuk
dipanaskan kembali diatas penangas sampai menjadi arang.

 Krus dimasukkan kembali ke dalam tanur kira-kira setengah hari. Setelah


ditanur, krus yang berisi simplisia dimasukkan kedalam desikator selama 15
menit lalu ditimbang beratnya dan dicatat.

 Simplisia beserta krusnya dimasukkan kembali ke tanur selama 1 jam,


kemudian dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang
beratnya dan dicatat.
 Langkah tersebut diulangi sampai didapat berat yang tetap. Setelah itu kadar
abu tidak larut asam dapat dihitung dengan cara selisih dari bobot tetap dan
bobot krus kosong dibagi bobot simplisia lalu dikali 100 %.

(3) Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

 Abu yang didapat dari penetapan kadar abu total ditambah beberapa ml air
lalu dipanaskan kembali diatas penangas selama 5 menit setelah cairannya
mendidih.

 Simplisia disaring menggunakan kertas saring bebas abu. Filtrat yang didapat
dibuang lalu abu dan kertas saringnya dimasukkan ke dalam krus untuk
dipanaskan kembali diatas penangas sampai menjadi arang.

 Krus dimasukkan kembali ke dalam tanur kira- kira setengah hari. Setelah
ditanur, krus yang berisi simplisia dimasukkan kedalam desikator selama 15
menit lalu ditimbang beratnya dan dicatat.

 Simplisia beserta krusnya dimasukkan kembali ke


tanurselama1jam,kemudiandimasukkankedalamdesikatorselama15 menit,
lalu ditimbang beratnya dan dicatat.
 Langkah tersebut diulangi sampai didapat berat yang tetap. Setelah itu kadar
abu larut air dapat dihitung dengan cara selisih dari bobot tetap abu total dan
bobot tetap abu tidak larut air dibagi bobot simplisia lalu dikali 100%.

5.1.4 SISA PELARUT


PARAMETER SISA PELARUT
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang
secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti
kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol.
TUJUAN : Memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa
pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk
ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan
yang ditetapkan.
NILAI :Maksimal yang diperbolehkan, namun dalam hal pelarut berbahaya
seperti kloroform nilai harus negative sesuai batas deteksi
instrument. Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
PROSEDUR
(1) Cara Destilasi (Penetapan Kadar Etanol)
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, lakukan penetapan
dengan cara destilasi. Cara ini sesuai untuk penetapan sebagian besar ekstrak cair
dan tingtur asalkan kapasitas labu destilasi cukur. Dan kecepatan destilasi diatur
sedemikian sehingga diperoleh destilat yang jernih, destilat yang keruh dapat
dijernihkan dengan pengocokan menggunakan talk P atau kalsium karbonatP,
saring, setelah itu suhu filtrate diatur dan kandungan etanol ditetapkan dari bobot
jenis. Lakukan semua pekerjaan dengan hati-hati untuk mengurangi kehilangan
etanol oleh penguapan.

(2) Cara Kromatografi Gas-Cair


Alat kromatografi gas dilengkap dengan detector ionisasi nyala dan kolom kaca
1,8 m x 4 mm berisi fase diam S3 dengan ukuran partikel 100 mesh hingga 120
mesh. Gunakan nitrogen P atau helium P sebagai gas pembawa. Sebelum
digunakan kondisikan kolom semalaman pada suhu 235˚C alirkan gas pembawa
dengan laju aliran lambat. Atur aliran gas pembawa dan suhu (lebih kurang
120˚C) sehingga baku internal asetonitril terelusi dalam waktu 5 menit sampai 10
menit.

5.2 SISA PEMIJARAN

Uji sisa pemijaran merupakan salah satu uji syarat kemurnian bahan baku dengan
tujuan membuktikan bahwa bahan bebas dari senyawa asing dan cemaran atau
mengandung senyawaasing dan cemaran dimaksudkan untuk membatasi senyawa
demikian sampai pada jumlah yang tidak mempengaruhi partikel dengan kondisi
yang biasa.

Batas sisa pemijaran dapat diterapkan pada tiga jenis senyawa yaitu :

- Senyawa yang menguap sempurna pada saat pemijaran tanpa ada residu

- Senyawa yang terdekomposisi pada saat pemijaran dan meninggalkan residu


(hasil dekomposisinya)
- Senyawa yang dikontaminasi oleh cemaran anorganik yang akan
meninggalkan residu pada saat pemijaran (berupa logam oksida).
Prinsip pada sisa peminjaran ini sendiri yaitu Pemijaran krusibel berisi zat uji dalam
tanur bersuhu 600˚C-800˚C hingga bobot tetap dan tujuan pada sisa pemijaran adalah
membuktikan bahwa suatu sediaan bebas dari senyawa asing dan cemaran serta hasil
pada sisa pemijaran harus sesuai dengan monografi yang menyatan bahwa sisa
pemijaran tidak lebih dari 0,2%.

Prosedur sisa pemijaran menurut Farmakope Indonesia :

- Memijarkan, mendinginkan dan menimbang krusible hingga di peroleh berat


konstan.
- Menimbang dengan seksama 1 gram asam salisilat dalam krusible
- Memanaskan secara perlahan hingga zat semuanya mengarang sempurna dan
dinginkan.
- Meneteskan sisa dengan 1 ml asam sulafat P panaskan hingga sampai tidak
terbentuk asap putih
- Memijsrkan pada suhu 800˚C sampai arang abis terbakar, diinginkan dan
timbang.
- Menghitung persentase sisa.

5.2.1 RESIDU PESTISIDA


PARAMETER SISA PESTISIDA
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Menentukan kandungan sisa pestisida yang
mungkin saja pernah ditambahkan atau mengontaminasi pada bahan
simplisia pembuatan ekstrak.
TUJUAN : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida
melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi
kesehatan
NILAI : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkair dengan
kontaminasi sisa pertanian.
PROSEDUR
Analisis dapat dilakukan secara semi kuantitatif menggunakan metode kromatografi
lapis tipis secara langsung dan kromatografi gas secara langsung.
5.2.2 CEMARAN LOGAM BERAT
PARAMETER CEMARAN LOGAM BERAT
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Menentukan kandungan logan berat secara
spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid.
TUJUAN : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam
berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena
berbahaya (toksik) bagi kesehatan.
NILAI : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan.
PROSEDUR
Pengujian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa cemaran logam yang dengan
ion sulfide menghasilkan warna pada kondisi penetapan, tidak melebihi batas logam
berat yang dipersyaratkan, dinyatakan dalam 1% (bobot) timbale dalam uji,
ditetapkan dengan membandingkan secara visual seperti yang tertera pada
perbandingan visual dalam spktrofotometri dan hemburan cahaya dengan
pembandingan Larutan baku timbal.

5.2.3 CEMARAN MIKROBA


PARAMETER CEMARAN MIKROBA
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Menentukan (identifikasi) adanya miroba yang
pathogen secara analisis mikrobiologis.
TUJUAN : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung
mikroba pathogen dan tidak mengandung mikroba non pathogen
melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas
ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan
NILAI : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan.
PROSEDUR
(1) Uji Angka Lempeng Total : Pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil setelah
cuplikan diinokulasikan pada media lempeng agar dengan cara tuang dan
diinkubasi pada suhu yng sesuai.
(2) Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) Coliform : Pertumbuhan bakteri coliform
setelah cuplikasi diinokulasikan pada media cair yang sesuai, adanya reaksi
fermentasi dan pembentukan gas didalam tabung Durham
5.2.4 PARAMETER CEMARAN KAPANG, KHAMIR, DAN AFLATOKSIN
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Menentukan adanya jamur secara mikrobiologis
dan adanya aflatoksin dengan KLT.
TUJUAN : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran
jamur melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada
stabilitas ekstrak dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan
NILAI : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan
(1) Uji Angka Kapang dan Khamir : Pertumbuhan kapang dan khamir setelah
cuplikan diinolulasikan pada media yang sesuai dan diinkubasikan pada suhu 20-
25˚C.
Media : PDA atau CDA atau Malt agar, air suling agar, kloramfenikoll 100
mg/liter media
(2) Uji Cemaran Aflatoksin : Pemisahan isolate aflatoksin secara Kromatografi
Lapis Tipis
Pereaksi : Media dan pengenceran Media Yeast Extract Sucrose Broth (YES)

5.3 PARAMETER SPESIFIK


5.3.1 Penetapan Warna
`Warna merupakan persepsi atau respon subjektif seseorang terhadap rangsangan
objektif energy sinar spectrum cahaya tampak λ 400-700nm.Dua benda warna
sepadaan untuk ilunasi ttt bila pengamat tidak dapat membedakan perbedaan warna
tersebut.
Akromisitas merupakan ketidak berwarnaan : slake warna transmisi cahay ekstrim
menjadi sama sekali tidak berwarna. Membandingkan warna baku terhadap contoh
terutama sifat dan intensitas warna sedekat mungkin. Baku warna harus sedekat
mungkin dengan warna zat untuk penetapan perbedaan warna.
Reaksi warna adalah prosedur kimia dalam pengujian senyawa dengan
menggunakan pereaksi dengan mengamati warna yang terbentuk atau perubahan
warna yang terjadi.Banyak senyawa kimia dapat memberikan warna tertentu jika
berkontak dengan pereaksi tertentu.Warna yang dihasilkan oleh pereaksi tersebut
mungkin spesifik untuk senyawa tersebut, atau juga tidak.Reaksi warna tidak dapat
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi satu senyawa obat, tetapi warna yang terbentuk
mungkin positif terhadap sekelompok senyawa atau positif terhadap gugus fungsi
tertentu, sehingga reaksi warna berhubungan dengan aspek gugus fungsi dari struktur
senyawa obat tersebut.
5.3.2 IDENTITAS
PARAMETER IDENTITAS EKSTRAK :
PENGERTIAN DAN PRINSIP : I. Dekripsi tata nama :
1. Nama ekstrak (generic, dagang,paten)
2. Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
3. Bagian tumbuhan yang digunakan
(rimpang,daun,dsb)
4. Nama Indonesia tumbuhan
II. Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas,
artinya senyawa tertentu yang menjadi
petunjuk spesifik dengan metode tertentu
TUJUAN : Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifikasi dari
senyawa identitas

5.3.3 ORGANOLEPTIK
PARAMETER ORGANOLEPTIK EKSTRAK :
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Penggunaan pancaindera mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, rasa sebagai berikut :
1. Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair
2. Warna : kuning, coklat, dll
3. Bau : aromatic, tidak berbau, dll
4. Rasa : pahit, manis, kelat, dll
TUJUAN : Pengenalan awal yang sederhana seobjektif mungkin

5.3.4 SENYAWA TERLARUT DALAM PELARUT TERTENTU


PARAMETER SENYAWA TERLARUT DALAM PELARUT TERTENTU
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau
air) untuk ditentukan jumlah solute yang identik dengan jumlah
senyawa kandungan secara gravimetric. Dalam hal tertentu dapat
diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana,
diklorometan, methanol.
TUJUAN : Memberikan gambara awal jumlah senyawa kandungan
NILAI : Nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu.

PROSEDUR
(1) Kadar senyawa yang larut dalam air : maserasi sejumlah 5 g ekstrak selama 24
jam dengan 100 ml air klorofom LP menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18
jam. Saring, uangkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal berdasar
rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105˚C hingga bobot tetap.
Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung terhadap
ekstrak awal.
(2) Kadar senyawa yang larut dalam etanol : maserasi sejumlah 5 g ekstrak
selama 24 jam dengan 100 ml etanol (95%)menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18
jam. Saring, uangkan 20 ml filtrate hingga kering dalam cawan dangkal berdasar
rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105˚C hingga bobot tetap.
Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol (95%) , dihitung
terhadap ekstrak awal.

5.4 UJI KANDUNGAN KIMIA EKSTRAK


5.4.1 POLA KROMATOGRAM
PARAMETER POLA KROMATOGRAM
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan
cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga
memberikan pola kromatogram yang khas.
TUJUAN : Memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia
berdasarkan pola kromatogram (KLT,KCKT,KG)
NILAI : Kesamaan pola dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu
PROSEDUR
Penyiapan Larutan Uji
Ekstrak ditimbang dan diekstraksi berturut-turut dengan pelarut hexan,
etilasetat,etanol dan air. Cara ekstraksi dapat dilakukan dengan pengocokan selama
15 menit atau dengan getaran ultrasonic atau dengan pemanasan kemudian disaring
untuk mendapatkan larutan uji.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT=TLC) : perekaman dilakukan pada panjang
gelombang 254 nm, 365 nm dan 415 nm atau pada panjang gelombang lain
yang spesifik untuk suatu komponen yang telah diketahui.
Kromatografi Gas (KG=GC) : Pemisahan dilakukan dengan menggunakan
program temperature, dari temperature rendah sampai temperature
maksimal kolom. Detector yang digunakan umumnya hanyak FID karena
metabolit sekunder tumbuhan umumnya senyawa organic hidrokarbon.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT=HPLC) : Deteksi dengan
spektrofotometer menokromatis dilakukan pada panjang gelombang 210
nm, 254 nm, 300 nm dan 365 nm. Deteksi secara spektrofluorosensi
digunakan jika dibutuhkan pola kromatogram yang selektif dan khusus pada
golongan kandungan kimia.

5.4.2 KADAR TOTAL GOLONGAN KANDUNGAN KIMIA


PARAMETER KADAR TOTAL GOLONGAN KANDUNGAN KIMIA
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Dengan penerapan metode spektrofotometri,
titrimatri, volumetric, gravimetei, atau lainnya, dapat ditetapkan
kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji
validitiasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa
golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan
metodenya, yaitu :
1. Golongan minyak atsiri
2. Golongan steroid
3. Golongan tannin
4. Golongan flavonoid
5. Golongan triterpenoid (saponin)
6. Golongan alkaloid
7. Golongan antrakinon
TUJUAN : Memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai
parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.
NILAI : minimal atau rentang yang telah ditetapkan.
(1) Penetapan Kadar Minyak Atsiri : dengan cara destilasi hingga minyak atsiri
terdestilasi sempurna. Jika sejumlah volume minyak atsiri telah tertampung
dalam bagian penampung berskala, pencatatan dapat dilakukan dengan
pembacaan sampai 0,1 ml dan volume minyak atsiri untuk setiap 100 g ekstrak
dapat dihitung dari bobot ekstrak yang ditimbang.
(2) Penetapan Kadar Steroid : menggunakan spektrofotometri diukur serapan
larutan yang diperoleh dari larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang
lebih kurang 525 nm dibandingkan terhadap blangko
(3) Penetapan Kadar Tannin : penetapan kadar dengan cara titrasi dengan kalium
permanganate 0,1 N hingga larutan berwarna kuning emas.
(4) Penetapan Kadar Flavonoid : sebagai aglikon terlebih dahulu dilakukan
hidrolisis dan selanjutnya dilakukan pengukuran spektrometri dengan
mereaksikan AlCl3 yang selektif dengan penambahan Heksametilentetramina
pada panjang gelombang maksimum.
(5) Penetapan Kadar Saponin : dengan metode hemolisa darah. Apabila terjadi
hemolisa total menunjukkan adanya saponin.
(6) Penetapan Kadar Alkaloid : ditetapkan serapan tiap larutan pada panjang
gelombang tertentu menggunakan larutan asam sulfat P sebagai blangko
(7) Penetapan Kadar Antrakinon : diukur serapan pada 515 nm. Hitung kadar total
antrakinon glikosida berdasarkan kurva baku antrakinon pembanding.

5.4.3 KADAR KANDUNGAN KIMIA TERTENTU


PARAMETER KADAR KANDUNGAN KIMIA TERTENTU
PENGERTIAN DAN PRINSIP : Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang
berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun
kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental
dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut.
Instrument yang dapat digunakan adalam Densitometer,
Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau
instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuju
dahuku validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearita,
ketelitian, ketepatan, dan lain-lain
TUJUAN : Memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa
identitas atau senyawa yang diduga bertanggungjawab pada efk
farmakologi.
NILAI : Minimal atau rentang kadar yang telah ditetapkan
PROSEDUR
Kadar kandungan kimia aktif/utama/identitas spesifik untuk masing-masing ekstrak
yang distrandarisasi
Tujuannya adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak
dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang
dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Contohnya senyawa tanin,
pigmen-pigmen dan senyawa-senyawa lain yang akan berpengaruh pada stabilitas
senyawa kandungan, termasuk juga sisa pelarut yang tidak dikehendaki.
 Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah senyawa terlarut secara penguapan
pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi kental/pekat.

 Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk, masa kering rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan. Proses
pengeringan ekstrak antara lain:
1. Pengeringan Evaporasi
2. Pengeringan Vaporasi
3. Pengeringan Sublimasi
4. Pengeringan Konveksi
5. Pengeringan Kontak
6. Pengeringan Radiasi
7. Pengeringan Dielektrik

 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia
awal.
 Metode Ekstraksi
A. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut
 Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada tempetratur ruangan
(kamar).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan
 Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelrut pada temperature titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya
pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
2. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperature
yang lebih tinggi dan temperature ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperature 40-50°C
4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C)
selama waktu tertentu (15-20 menit)
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30°C) dan temperatur
sampai titik didih air

B. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari
bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial
senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kotinu sampai
sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan
menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyaa kandungan yang
memsah sempurna atau memisah sebagian.

C. Cara Ekstraksi lainnya


 Ekstraksi berkesinambungan
Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau
resirkulasi cairan palarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kai. Proses ini
dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk
bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi
 Superkritikal karbondioksida
Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia, dan umumnya
digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan temperatur akan
diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan
golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan cairan pelarut dengan mudah
dilakukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga hampir
langsung diperoleh ekstrak.
 Ekstraksi ultrasonik
Getaran ultrasonik (>20000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak dengan
prinsip meningkatkn permeabilitas dinding sel, menimbukan gelembng spontaan
sebagai stress dinamik serta menimbulkan fraksi interfase. Hasil ekstraksi
tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses ultrasonikasi.
 Ekstraksi energi listrik
Energy listrik digunakan dalam bentuk medan istrik, medan magnet serta “electric-
discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan
prinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan
berkecepatan ultrasonik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Asean Countries. 1993. Standard of Asean Herbal Medicine., Vol 1. Jakarta, Indonesia.
Hal 284.
De Padua, L.S., Bunyaprtaphatsara, N., and Lemmens, R.H.M., J., (Ed.).
1999. Plant Resources of South East Asia; Prosea; Medical and
Poisonous Plant 1.Liden. Backhuys Publishers. Hal 350.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Dirjen POM.
Jakarta. Hal 9-36.
Gritter, R.J., Bobbit J.M., Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. Terjemahan
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Hal 107-155.
Harborne, J. 1987. Metode Fitokimia; Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan 2. Bandung. Penerbit ITB. Hal 4-6
Hariyati, S. 2005. Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Salah Satu
Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Artikel.Badan
POM RI vol 6 nomor 4. Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat
dan Makanan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai