Anda di halaman 1dari 120

PERBEDAAN ZONA HAMBAT

PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes


PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041

KEMENTRIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041

KEMENTRIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019

i
PERBEDAAN ZONA HAMBAT
PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Menyelesaikan Pendidikan Diploma III
Politeknik Kesehatan Denpasar
Jurusan Analis Kesehatan
Program Reguler

Oleh :
NI MADE DWI ADNYANI
NIM.P07134016041

KEMENTRIAN KESEHATAN R. I.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DENPASAR
2019

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN ZONA HAMBAT


PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

TELAH MENDAPAT PERSETUJUAN

iii
KARYA TULIS ILMIAH DENGAN JUDUL :

PERBEDAAN ZONA HAMBAT


PERTUMBUHAN Propionibacterium acnes
PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

TELAH DIUJI DI HADAPAN TIM PENGUJI


PADA HARI : SENIN
TANGGAL : 27 MEI 2019

iv
LEMBAR PERSEMBAHAN

Om Swastyastu,

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa

karena berkat-Nya KTI ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Terimakasih kepada keluarga atas segala doa, nasihat, serta dukungan

baik moril maupun materil. Semoga segala sesuatunya bisa menjadi tuntunan

dalam menjalani hidup ini.

Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada adik dan kakak serta teman-

teman yang sudah meluangkan waktu untuk menghibur dan memberi warna

setiap harinya setelah pulang, menemani membuat tugas,dan masa-masa sulit

yang saya hadapi saat menjalani perkuliahan.

Terima kasih bagi dosen dan staf pegawai di jurusan Analis Kesehatan

Poltekkes Denpasar terima kasih atas bimbinganya selama menempuh

pendidikan di kampus ini.

Teruntuk teman-teman Analis Kesehatan Angkatan 8 terima kasih atas

canda tawa duka yang telah kita lewati bersama, senang menjadi bagian dari

kalian selama 3 tahun ini. Adik-adik tingkat serta semua pihak yang tidak saya

sebutkan satu persatu terima kasih telah memberi doa,bantuan, serta inspirasi.

Teruntuk spesial ketiga temanku , Manda Sari, Ayu Andrena dan Agus

Juliantara , senang mengenal kalian yang selalu memahami segala kelebihan

dan kekurangan yang saya miliki maka banyak kata terima kasih yang tidak

bisa saya ucapkan langsung kepada kalian.

Karya Tulis Ilmiah ini penulis persembahkan kepada semua orang yang

membutuhkan, semoga bermanfaat.

v
Om Santih, Santih, Santih Om

RIWAYAT PENULIS

Penulis bernama lengkap Ni Made Dwi Adnyani,

berasal dari Br. Lebah , Ds.Bukian, Payangan , Gianyar.

Lahir di Denpasar pada tanggal 26 Agustus 1998 . Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan

I Made Subaga dan Ni Putu Marini.

Penulis memulai Pendidikan di Taman Kanak-kanak Mataram (Yayasan

P.R.U) pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke tingkat pendidikan Sekolah

Dasar (SD) di SD Negeri 19 Cakranegara pada tahun 2004. Tahun 2010, penulis

melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Mataram

(Sekolah Bertaraf International) . Dan pada tahun 2012 penulis melanjutkan

pendidikan di SMP Negeri 2 Payangan sampai tahun 2013 . Selanjutnya penulis

menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Payangan

sampai pada tahun 2016. Tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan ke

perguruan tinggi dan diterima sebagai salah satu mahasiswa di Program Studi

Diploma III Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Denpasar.

vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Made Dwi Adnyani

Jenis Kelamin : Perempuan

NIM : P07134016041

Tempat/tanggal lahir : Denpasar , 26 Agustus 1998

Alamat Rumah : Br.Lebah , Ds. Bukian , Payangan, Gianyar

No.Telp : 085858858821

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Tugas Akhir dengan judul “Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan

Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel (Apple Cider

Vinegar) Secara In Vitro” adalah benar karya sendiri atau bukan plagiat

hasil karya orang lain.

2. Apabila dikemudian hari terbukti Tugas Akhir ini bukan karya saya sendiri

atau plagiat hasil karya orang lain, maka saya sendiri bersedia menerima

sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi dan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

vii
THE DIFFERENCES IN GROWTH INHIBITION ZONE OF
Propionibacterium acnes AT DIFFERENT CONCENTRATION OF
APPLE CIDER VINEGAR STUDY IN VITRO PROCESS
ABSTRACT

Background : Acne is skin disease that occurs because of sebaceous follicles


blockage caused by Propionibacterium acnes. Some studies show that apple cider
vinegar had antibacterial effect to Propionibacterium acnes. Objective : This
study aimed differences in growth inhibition zone of Propionibacterium acnes at
different concentration of apple cider vinegar study in vitro process. Method :
This research used an experimental post-test only control design with disk
diffusion method. This experiment using four concentration that is 12,5%, 25%,
50%,and 100% and using sterile aquadest as negative control and chloramfenicol
30 µg as positive control. Inhibition zone was determined by clear zone around
the disk. Statistic analysis was done using Kolmogorov-Smirnov test, One Way
Anova test, and Least Significant Deference test. Result: The result showed that
the average diameter of inhibition zone in concentration 12,5%, 25%, 50%, and
100% is 8,1 mm, 12,1 mm, 14, 9 mm, 18,9 mm. Based on One Way Anova and
Least Significant Deference test, there is difference of growth inhibition zone of
Propionibacterium acnes at various concentrations of apple cider vinegar.
Concentration of effective is concentration 100% significantly inhibited bacterial
growth. Conclusion: Apple cider vinegar can inhibit the growth of
Propionibacterium acne, and there are differences in growth inhibition zone of
Propionibacterium acnes at various concentrations of apple cider vinegar.
Concentration of effective is concentration 100% significantly inhibited bacterial
growth.

Keyword : apple cider vinegar, Propionibacterium acnes, inhibition zone

viii
PERBEDAAN ZONA HAMBAT PERTUMBUHAN Propionibacterium
acnes PADA BERBAGAI KONSENTRASI CUKA APEL
(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

ABSTRAK

Latar belakang : Jerawat merupakan penyakit kulit yang terjadi karena adanya
penyumbatan folikel sebasea oleh bakteri Propionibacterium acnes. Beberapa
penelitian menunjukkan cuka apel memiliki efek antibakteri terhadap
Propionibacterium acnes. Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai
konsentrasi cuka apel secara in vitro. Metode : Penelitian ini menggunakan
design penelitian experimental post-test only control design dengan metode difusi
cakram. Penelitian ini menggunakan empat konsentrasi yaitu 12,5%, 25%, 50%,
100%, dan menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif dan
kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif. Zona hambat ditentukan dengan
melihat zona bening di sekeliling cakram. Analisis statistik yang digunakan
adalah uji Kolmogorov-Smirnov, One Way Anova, dan uji Least Significant
Deference. Hasil : Hasil menunjukkan rata-rata diameter zona hambat yang
dihasilkan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan 100% yaitu 9,1
mm, 12,1 mm, 14,9 mm, dan 18,9 mm. Berdasarkan uji One Way Anova dan Least
Significant Deference diketahui terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan
bakteri pada berbagai konsentrasi cuka apel . Cuka apel dengan konsentrasi
100% efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes.
Simpulan: Cuka apel dapat menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
dan terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes
yang signifikan pada berbagai konsentrasi cuka apel. Cuka apel dengan
konsentrasi 100% efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes.

Kata kunci : cuka apel, Propionibacterium acnes , zona hambat

ix
RINGKASAN PENELITIAN

PERBEDAAN ZONA HAMBAT PERTUMBUHAN


Propionibacterium acnes PADA BERBAGAI KONSENTRASI
CUKA APEL(APPLE CIDER VINEGAR) SECARA IN VITRO

Oleh : NI MADE DWI ADNYANI ( NIM P07134016041 )

Jerawat adalah penyakit peradangan kelenjar sebasea yang sering dijumpai


dan berkaitan dengan folikel rambut (disebut unit Pilosebasea) yang ditandai
dengan munculnya komedo, papula, pustul, dan nodul. Mekanisme terjadinya
jerawat salah satunya yaitu infeksi dari bakteri Propionibacterium acnes.
Propionibacterium acnes merupakan organisme yang termasuk dalam
kelompok bakteri gram positif, pleomorfik, dan bersifat anaerob aerotoleran.
Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 – 0,8 µm dan panjang 3-4 µm bakteri
ini berbentuk batang dengan ujung meruncing atau kokoid (bulat).
Propionibacterium acnes menyebabkan jerawat dengan menghasilkan lipase yang
memecah asam lemak bebas dari lipid kulit.
Pengobatan jerawat akibat bakteri Propionibacterium acnes dapat
diturunkan dengan memberikan antibiotik seperti eritromisin, klindamisin, dan
benzoil peroksida. Meskipun penggunaan antibiotik cukup efektif mengatasi
jerawat, namun perlu ditinjau kembali untuk membatasi perkembangan resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Oleh sebab itu perlu dikembangkan penelitian dalam
penemuan obat baru yang berasal dari alam.
Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang
difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Beberapa zat yang terkandung
dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin B1, B2, asam amino, flavonoid,
tannin, pectin, potassium, dan magnesium dimana flavonoid, tanin dan asam
asetat memiliki aktivitas antibakteri.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perbedaan zona
hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka
apel secara in vitro. Penelitian ini menggunakan design penelitian post-test only
control design dengan menggunakan difusi cakram. Penelitian ini menggunakan
empat konsentrasi yaitu 12,5%, 25%, 50%, dan 100%. Penelitian ini

x
menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif, dan antibiotik kloramfenikol
30 µg sebagai kontrol positif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona hambat yang
dihasilkan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan 100% yaitu 9,1
mm, 12,1 mm, 14,9 mm, dan 18,9 mm. Berdasarkan daya hambat sebagai bahan
alam, konsentrasi 12,5% termasuk kriteria sedang serta konsentrasi 25%, 50%,
dan 100% termasuk kriteria kuat dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes. Berdasarkan uji statistik menggunakan One Way Anova
dan Least Significant Deference diketahui asymp sig (0,000) < α (0,05), sehingga
dapat dikatakan terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium
acnes yang signifikan pada berbagai konsentrasi cuka apel . Cuka apel dengan
konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes karena termasuk kriteria sensitif jika dibandingkan
dengan antibiotik kloramfenikol 30 µg.
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa cuka apel dapat
menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes dan terdapat perbedaan zona
hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka
apel dimana konsentrasi 100% paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes. Maka dari itu penulis mengharapkan bagi peneliti
selanjutnya, diharapkan penelitian terhadap cuka apel sebagai antibakteri dapat
dilanjutkan dan lebih diperluas dengan mengujinya pada jenis bakteri lain.

Daftar bacaan : 41 (2003 – 2018)

xi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat-Nyalah Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Perbedaan Zona

Hambat Pertumbuhan Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi Cuka

Apel (Apple Cider Vinegar) Secara In Vitro” dapat diselesaikan tepat pada

waktunya.

Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Denpasar. Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini

penulis mendapatkan bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang

terkait di dalamnya, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak A.A. Ngurah Kusumajaya, S.P., M.PH. , selaku Direktur Poltekkes

Kemenkes Denpasar yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti

pendidikan di program studi Diploma III Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes

Denpasar.

2. Ibu Cok Dewi Widhya Hana Sundari, S.KM., M.Si. , selaku Ketua Jurusan

Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar yang telah bersedia memberikan

dukungan dan bimbingannya selama tiga tahun dalam perkuliahan hingga

penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

3. Bapak I Wayan Merta, S.KM., M.Si selaku Pembimbing Utama yang

senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis

sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan.

xii
4. Bapak I Wayan Karta, S.Pd., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang

senantiasa mendampingi dalam sistem penulisan sehingga Karya Tulis Ilmiah

ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

5. Bapak dan Ibu Penguji yang telah memberikan masukan dan bimbingan untuk

kesempurnaan usulan penelitian ini.

6. Teman-teman serta semua pihak yang telah banyak membantu dan

mendukung sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada

waktunya.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari

kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis

miliki . Karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang

membangun dari semua pihak demi penyempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Besar

harapan penulis agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat dan digunakan

sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.

Denpasar, Mei 2019

Penulis

xiii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………..…..i

HALAMAN JUDUL ………………………………………….…………………ii

LEMBAR PERSETUJUAN …………………………….…………….…………iii

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………….……..iv

LEMBAR PERSEMBAHAN…………………………………………………..…v

RIWAYAT PENULIS………………………………………………………....…vi

SURAT BEBAS PLAGIAT……………………………………………………..vii

ABSTRACT ……………………………………………………………………viii

ABSTRAK ……………………………………………………………………….ix

RINGKASAN PENELITIAN ………………………………………………..…..x

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….….xii

DAFTAR ISI ………………………………………………..…………….….....xiv

DAFTAR GAMBAR …………………………………………...........................xvi

DAFTAR TABEL…………………………………………………………........xvii

DAFTAR SINGKATAN…………………………………………...……….....xviii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………...…....…….xix

BAB I PENDAHULUAN………………………………...…………………….…1

A. Latar Belakang ……………………………...…………………………….….1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….…5

C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………….….5

D. Manfaat Penelitian ………………………………..……………………….….5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….…...7

A. Cuka Apel ………………………………………………………………….…7

xiv
B. Senyawa Metabolit Sekunder ………………………………………..………13

C. Jerawat (Acne Vulgaris)……………………………………………..…….....17

D. Propionibacterium acnes ……………………………...………………….....26

E. Antimikroba ……………………………………………………………..…..29

F. Pengukuran Aktivitas Antibakteri………………………………….………...34

BAB III KERANGKA KONSEP ………………………………………….….....43

A. Kerangka Konsep …………………………………………………….……...43

B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ………………………………...44

C. Hipotesis…...................................................................................................... 50

BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………………...51

A. Jenis Penelitian ……………………………………………………………...51

B. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………….…51

C. Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………………….….52

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……………………………………….…53

E. Alat, Prosedur, dan Prosedur Kerja …………………………………….…...53

F. Unit Analisis Data ……………………………………………………….….58

G. Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………….……...59

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………60

A. Hasil ……………………………………………………………………...….60

B. Pembahasan …………………………………………………………………67

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………......….78

A. Simpulan …………………………………………………………………….78

B. Saran …………………………………………………………………….…..78

DAFTAR PUSTAKA …………………….………………….………………….79

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………..…………………….84

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Cuka Apel (Apple Cider Vinegar) ………………………………..7

Gambar 2 Tipe Dari Lesi Akne ……………………………….…………….21

Gambar 3 Patogenesis Jerawat ……………………………………………...24

Gambar 4 Propionibacterium acnes …………………………………….….26

Gambar 5 Rumus Bangun Kloramfenikol ……………………………….…33

Gambar 6 Perhitungan Diameter Zona Hambat Antibakteri …………….…41

Gambar 7 Kerangka konsep ………………………………………………..43

Gambar 8 Hubungan antar variabel ………………………………………..47

Gambar 9 Skema kerja ………………………………………………….…55

Gambar 10 Grafik Perbandingan Diameter Zona Hambat Pada Berbagai

Konsentrasi Cuka Apel …………………………………………73

xvi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Kandungan Cuka Apel ……………………………………………9

Tabel 2 Klasifikasi Derajat Jerawat ………………………………….…...21

Tabel 3 Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri ………………….…42

Tabel 4 Definisi Operasional ………………………………………….….48

Tabel 5 Rancangan Posttet Only Control Group Design ………….……..51

Tabel 6 Tabel Pengenceran Konsentrasi Cuka Apel ………………….….56

Tabel 7 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Kontrol Positif Terhadap

Propionibacterium acnes……………….…………………….….62

Tabel 8 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada

Konsentrasi 12,5% Terhadap Propionibacterium acnes…….…...63

Tabel 9 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada

Konsentrasi 25% Terhadap Propionibacterium acnes…….……..63

Tabel 10 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada

Konsentrasi 50% Terhadap Propionibacterium .acnes…………..64

Tabel 11 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada

Konsentrasi 100% Terhadap Propionibacterium acnes………….65

Tabel 12 Rekapitulasi Rata-rata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan

Propionibacterium acnes pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel.66

xvii
DAFTAR SINGKATAN

ATCC : America Tipe Culture Collection


cm : centimeter
DNA : Deoxyribose Nucleic Acid
KBM : Kadar Bunuh Minimal
KHM : Kadar Hambat Minimum
KS : Kolmogorov Smirnov
KW : Kruskal Wallis
LSD : Least Significant Differences
MHA : Mueller Hinton Agar
µg : microgram
mL : mililiter
mm : milimeter
µl : microliter
µg : microgram
µm : mikrometer
PABA : Asam Para Amino Benzoat
RNA : Ribonucleic Acid
UV : Ultraviolet
ºC : derajat celcius

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pada Berbagai

Konsentrasi Cuka Apel Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium

acnes ……………………………………………………………..84

Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov Smirnov ………87

Lampiran 3 Hasil Uji Beda …………………………………………………...87

Lampiran 4 Tabel Disk Zone (Zone Size Interpretative Chart (National For

Clinical Laboratory Standar, 1984) Second Part óf Bench Level

Procedure Manual on Basic Bacterilogy…………………………89

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Etik ………………………………………...91

Lampiran 6 Alat dan Bahan Penelitian ……………………………………….92

Lampiran 7 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ……………………………….95

Lampiran 8 Zona Hambat Cuka Apel dengan Berbagai Konsentrasi terhadap

Propionibacterium acnes Pada Media MHA………………….99

xix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jerawat adalah penyakit peradangan kelenjar sebasea yang sering dijumpai

dan berkaitan dengan folikel rambut (disebut unit Pilosebasea) yang ditandai

dengan munculnya komedo, papula, pustul, dan nodul . Jerawat terjadi pada kulit

yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti muka, dada, dan punggung

(Aida dan Suswati, 2016). Terdapat dua jenis jerawat, meradang dan tidak

meradang. Kedua jenis jerawat tersebut tertimbun di folikel sehingga folikel

membengkak. Penyebab munculnya jerawat disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya sekresi kelenjar sebasea yang aktif, hiperkeratois pada infundibulum

rambut dan efek dari bakteri (Miratunnisa, 2015). Tampilan fisik jerawat

berdampak secara psikologis seperti mengubah perasaan sejahtera seseorang serta

mempengaruhi interaksi dengan lingkungan sosial (khususnya remaja) yang

mensyaratkan “norma penampilan” (Nugraha dkk., 2017).

Prevalensi jerawat di Indonesia juga cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-

100% orang, sedangkan menurut catatan kelompok studi dermatologi kosmetika

Indonesia, menunjukkan terdapat 60% penderita jerawat pada tahun 2006 dan

80% pada tahun 2007 (Aida dan Suswati, 2016). Berdasarkan penelitian profil

jerawat (acne vulgaris) di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof Dr R. D.

Kandou Manado pada tahun 2009–2011, menunjukkan bahwa dari total 10.003

kunjungan pada tahun 2009–2011 terdapat 121 pasien (3,59%) merupakan

penderita baru jerawat , pasien jerawat di dominasi pasien perempuan sebanyak

75 pasien (61,9%), kelompok usia terbanyak pada usia 15 – 24 tahun yaitu 76

1
pasien (62,8%), status pendidikan terbanyak pada kelompok pelajar yaitu 73

pasien (60,3%), lokasi lesi terbanyak yaitu di bagian wajah, jenis jerawat

terbanyak yaitu papulopustuler (Mizwar, Kapantow, dan Suling, 2011).

Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium acnes

yang merusak stratum korneum dan stratum germinativum dengan cara

menyekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori (Arrizqiyani,

2018). Propionibacterium acnes merupakan organisme yang termasuk dalam

kelompok bakteri gram positif yang berbentuk batang dan tidak berspora (Aida

dan Suswati, 2016). Propionibacterium acnes merupakan flora normal dari

kelenjar pilosebaseus kulit manusia, bakteri ini menyebabkan jerawat dengan

menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam

lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan

sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Miratunnisa, 2015).

Pengobatan jerawat dilakukan dengan cara memperbaiki abnormalitas

folikel, menurunkan produksi sebum, menurunkan jumlah koloni

Propionibacterium acnes, dan menurunkan inflamasi pada kulit. Populasi bakteri

Propionibacterium acnes dapat diturunkan dengan memberikan antibiotik seperti

eritromisin, klindamisin, dan benzoil peroksida. Meskipun penggunaan antibiotik

cukup efektif mengatasi jerawat, namun penggunaan antibiotik sebagai pilihan

utama penyembuhan jerawat harus ditinjau kembali untuk membatasi

perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotik (Arrizqiyani, 2018).

Resistensi bakteri terhadap antibakteri merupakan salah satu masalah global baik

negara maju maupun negara berkembang. Berkembangnya resistensi terhadap

obat-obatan hanyalah salah satu contoh proses alamiah yang tidak pernah ada

2
akhirnya yang dilakukan oleh organisme untuk mengembangkan toleransi

terhadap keadaan lingkungan yang baru (Hafsari, 2016).

Antibiotik klindamisin paling efektif dalam pengobatan jerawat atau acne

vulgaris jika dibandingkan dengan eritromisin dan tetrasiklin , tetapi penggunaan

obat ini secara luas memunculkan strain Propionibacterium acnes yang resistan

terhadap klindamisin. Akibatnya penggunaan klindamisin sebagai anti acne

topikal jangka panjang mulai diragukan dan penelitian terhadap alternatif terapi

jerawat menjadi berkembang lebih luar (Nugroho, 2013). Lood (2011)

membuktikan 50% isolat Propionibacterium acnes berbagai strain dari pasien

berjerawat resisten terhadap antibiotik klindamisin dan eritromisin, dan 20% dari

isolat resisten terhadap tetrasiklin sehingga dibutuhkan beberapa tindakan untuk

mengurangi masalah ini. Oleh sebab itu untuk mencegah terjadinya resistensi

bakteri terhadap antibakteri perlu dikembangkan penelitian dalam penemuan obat

baru yang berasal dari alam (Hafsari, 2016).

Seiring berjalannya waktu pengetahuan tentang tumbuhan obat makin

berkembang, kini tanaman obat telah digali manfaatnya. Masyarakat kini lebih

cenderung untuk menggunakan obat dari alam. Hal ini karena banyaknya kendala

yang ditimbulkan oleh penggunaan obat sintesis, seperti harganya mahal dan

menimbulkan resistensi bakteri (Hafsari, 2016). Berdasarkan artikel yang dikutip

dalam Liputan6.com (2018), jerawat atau acne vulgaris dapat diatasi dengan cuka

apel. Ini dikarenakan cuka apel memiliki kemampuan antibakteri yang mampu

menjaga kulit tetap bersih dari bakteri penyebab jerawat. Dalam artikel yang

dikutip dalam Tribunnews.com (2018), cuka apel juga dipercaya mampu

mengatasi masalah kulit yang banyak dialami wanita salah satunya jerawat dan

3
membuktikan jika cuka apel dapat membantu mengurangi bekas jerawat dan

bekas luka.

Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang

difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Konsentrasi alkohol yang paling

baik berkisar antara 10–13%, dimana bakteri asam asetat yang mendominasi

tumbuh dan bereproduksi (Ma’sum, 2006). Cuka apel memiliki berbagai manfaat

seperti penambah rasa, pengawet bahan makanan bahkan untuk pengobatan

sehari-hari dalam rumah tangga sudah dikenal sejak beberapa kurun waktu.

Manfaat kesehatan yang khasiatnya untuk mencegah dan mengatasi gangguan

kesehatan juga sudah dikenal dibeberapa Negara (Caturryanti, Luwihana, dan

Tamaroh, 2008).

Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang berjudul

Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi menggunakan cuka

apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam penelitian tersebut

didapatkan hasil yang menunjukkan adanya zona hambat pada konsentrasi cuka

apel 12,5%, dan semakin meningkat seiring peningkatan konsentrasinya.

Beberapa zat yang terkandung dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin

B1, B2, asam amino, flavonoid, tannin, saponin, pectin, potassium, dan

magnesium. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ricke SC (2003) menunjukkan

bahwa asam asetat memiliki aktivitas antibakteri melalui mekanisme

mempengaruhi lingkungan sekitar pertumbuhan bakteri tersebut menjadi asam.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium

acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.

4
B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium

acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium

acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengukur diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium

acnes pada cuka apel (apple cider vinegar) dengan konsentrasi 12,5%, 25%,

50%, dan 100% secara in vitro.

b. Untuk menganalisis perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium

acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in

vitro.

c. Untuk menentukan konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) yang paling

efektif dalam menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes secara in

vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoristis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam

pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai salah satu bahan pustaka dan dijadikan

dasar penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan cuka apel.

5
2. Manfaat praktis

a. Bagi masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai formulasi cuka apel (apple cider vinegar) yang baik

digunakan sebagai pengobatan alternatif dalam infeksi Propionibacterium acnes

sebagai penyebab jerawat.

b. Bagi penulis

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan laboratorium mengenai uji

aktivitas antibakteri dan penerapan keilmuan yang telah peneliti pelajari dalam

masa perkuliahan.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cuka Apel

1. Deskripsi

Cuka apel (apple cider vinegar) adalah cairan fermentasi buah apel yang

difermentasi oleh khamir dan bakteri asam asetat. Cuka apel diproses melalui

pengekstrakan sari buah apel sebagai substrat fermentasi alkohol. Dalam proses

fermentasi tahap awal (alkohol), mikroorganisme yang digunakan adalah khamir,

dimana khamir merombak gula menjadi alkohol dan karbondioksida dan lamanya

fermentasi tergantung pada jenis khamir, kadar gula awal dan kadar alkohol akhir

yang diinginkan. Kadar alkohol mempengaruhi jalannya proses selanjutnya

(fermentasi asam asetat). Konsentrasi alkohol yang paling baik berkisar antara 10–

13%, dimana bakteri asam asetat yang mendominasi tumbuh dan bereproduksi

(Atro dan Nurmiati, 2015).

Gambar 1. Cuka Apel (Apple Cider Vinegar)

Sumber : Dokumen Pribadi

7
Secara garis besar proses fermentasi dilihat sebagai berikut (Ma’sum, 2006) :

a. Tahap pertama

C6H12O6 enzim XC6H12O6 + YC12H22O11

Pada tahap pertama pati dirubah menjadi glukosa

b. Tahap kedua

C6H12O6 mikroba 2C2H5OH + 2CO2

Pada tahap kedua glukosa dirubah menjadi alkohol

c. Tahap ketiga

C2H5OH mikroba CH3COOH + H2O

Pada tahap ketiga alkohol dirubah menjadi asam asetat (6 – 10%) dan air.

Karakteristik cuka apel yang melewati proses fermentasi sempurna dan dapat

digunakan yaitu memiliki karakteristik sebagai berikut (Ma’sum, 2006):

a. Berwarna keruh kecoklatan, menunjukkan bahwa cuka apel benar-benar dari

apel murni yang matang dan kematangan apel yang digunakan berpengaruh

terhadap kandungan dan manfaat cuka apel.

b. Memiliki aroma khas apel dan berbau seperti tape, menunjukkan proses

fermentasi secara alami dan sempurna yakni kurang lebih 35 hari.

c. Adanya endapan, endapan ini sering disebut “mother of vinegar” dimana

endapan merupakan biang cuka apel yang mengandung kandungan-kandungan

dari cuka apel.

8
2. Kandungan cuka apel

Kandungan cuka apel dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 1
Kandungan Cuka Apel

Komposisi Jumlah
Total asam (%) 4,53
Alkohol (%) 0,13
pH 3,21
TPT (Brix) 3,67
Aktivitas Antioksidan (%) 58,93
Fenol (mg/L) 132,55
Pektin (%) 0,75
Sumber : ( Maulida, P. Aktifitas Hepatoprotektor Cuka Apel ANNA Terhadap Kadar SGOT dan
SGPT Serum Tikus Wistar yang Diinduksi Parasetamol Dosis Toksik. 2015)

a. Fenol berfungsi sebagai antioksidan dengan menaikkan kadar GSH hepar,

menurunkan lipid peroksidasi sehingga encegah kerusakan sel hepar.

b. Asam asetat berperan dalam aktivitas antioksidan berupa perbaikan kadar

enzim hepar.

c. Pektin, beta karoten, potassium, enzim, dan asama amino yang terbentuk

selama proses fermentasi.

d. Kadungan potassium yang tinggi mendorong pembentukan sel, jaringan dan

organ tubuh, sementara enzim membantu meningkatkan reaksi kimia dalam

tubuh.

e. Kalsium yang menjaga tulang, membantu mengalirkan gerak syaraf, dan

mengatur kontraksi otot sedangkan zat besi yang penting bagi kesehatan

darah.

9
f. Magnesium adalah komponen lain yang banyak bermanfaat bagi tubuh

terutama jantung.

g. Cuka apel juga mengandung vitamin C yang juga berfungsi sebagai

antioksidan. Kandungan vitamin C pada cuka apel sebesar 13,71 mg dalam

300 mL cuka apel.

3. Asam asetat dalam cuka apel

Asam asetat memiliki beberapa nama antara lain seperti asam etanoat, atau

asam cuka. Asam asetat merupakan senyawa organik yang mengandung gugus

asam karboksilat. Asam asetat secara alami masuk ke dalam metabolisme dalam

tubuh, diserap dari saluran pencernaan dan hampir sepenuhnya teroksidasi oleh

jaringan melalui jalur metabolisme yang melibatkan pembentukan keton tubuh

(Karim, 2011).

Asam asetat memiliki sifat antara lain (Karim, 2011):

a. Berat molekul 60,05

b. Berupa cairan jernih (tidak berwarna)

c. Berbau khas

d. Mudah larut dalam air, alkohol, dan eter

e. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah (korosif)

f. Asam asetat bebas-air membentuk kristal mirip es pada 16,7°C, sedikit di

bawah suhu ruang

g. Mempunyai titik didih 118,1oC

h. Mempunyai titik beku 16,7 oC

i. Spesific grafity 1,049

10
4. Khasiat

Asam asetat atau asam cuka yang dihasilkan dalam fermentasi menggunakan

bakteri asam asetat dari bahan dasar apel disebut juga cider atau lebih dikenal

dengan nama cuka apel. Cuka apel memiliki berbagai manfaat seperti penambah

rasa, pengawet bahan makanan bahkan untuk pengobatan sehari-hari dalam rumah

tangga sudah dikenal sejak beberapa kurun waktu. Manfaat kesehatan yang

khasiatnya untuk mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan juga sudah

dikenal di beberapa Negara (Caturryanti, Luwihana, dan Tamaroh, 2008).

5. Pembuatan cuka apel produksi industri

Ada beberapa metode yang biasa digunakan di industri yaitu (Karim, 2011):

a. Metode lambat (slow methods)

1) Bahan baku yang digunakan adalah buah-buahan

2) Langkah pertama, masukkan jus buah, yeast, dan bakteri cuka ke dalam

tangki. Setelah beberapa hari, sebagian jus buah tersebut akan terfermentasi

menjadi etanol (11-13% alkohol).

3) Selanjutnya, pada permukaan tangki terjadi fermentasi etanol menjadi asam

asetat. Bakteri cuka di permukaan larutan akan membentuk lapisan agar- agar

tipis. Bakteri inilah yang akan mengubah etanol menjadi asam asetat (disebut

juga proses asetifikasi). Proses asetifikasi ini memerlukan temperatur 21- 29oC

4) Lapisan tipis agar-agar yang jatuh dari bakteri cuka akan memperlambat

proses asetifikasi. Hal ini dapat dicegah dengan memasang lapisan yang dapat

mengapungkan lapisan tipis agar-agar dari bakteri cuka.

b. Metode cepat (quick methods) atau german process

1) Bahan baku yang biasa digunakan berupa etanol cair.

11
2) Pertama-tama, campuran etanol cair (10,5%), vinegar (1%), dan nutrisi

dicampurkan pada bagian atas tangki dengan alat sparger.

3) Campuran ini akan mengalir turun melalui bahan isian dengan sangat lambat.

4) Selanjutnya, udara akan dialirkan secara countercurrent melalui bagian bawah

tangki

5) Panas yang timbul akibat reaksi oksidasi akan diambil oleh pendingin yang

dipasang pada aliran daur ulang cairan campuran (yang mengandung

vinegar,taenol, dan air) dari bagian bawah tangki. Temperatur operasi

dipertahankan pada rentang suhu 30-35 oC

6) Produk yang terkumpul di bagian bawah tangki mengandung asam asetat

optimum sebesar 10- 10,5%. Sebagian produk didaur ulang dan sebagian yang

lain dikeluarkan dari tangki

7) Bakteri asetat akan berhenti memproduksi asam asetat jika kadar asam asetat

telah mencapai 12-14%

c. Metode perendaman (submerged method)

1) Umpan yang mengandung 8-12% etanol diinokulasi dengan Acetobacter

acetigenum dengan temperatur yang dipertahankan pada rentang suhu 24- 29


o
C.

2) Setelah itu, umpan dimasukkan melewati bagian atas tangki

3) Udara didistribusikan dalam cairan yang difermentasi sehingga membentuk

gelembung-gelembung gas.

4) Bakteri akan tumbuh di dalam suspensi antara gelembung udara dan cairan

yang difermentasi.

5) Temperatur proses dipertahankan dengan menggunakan koil pendingin

stainless steel yang terpasang di dalam tangki

12
6) Defoamer yang terpasang di bagian atas tangki membersihkan busa yang

terbentuk dengan sistem mekanik

Ketiga metode di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing. Namun, perlu diperhatikan tentang lama waktu ferementasi yang

dilakukan. Semakin lama waktu fermentasi memungkinkan akumulasi dari lendir

bukan racun (nontoxic slime) yang komposisinya yeast dan bakteri asam asetat,

dikenal sebagai “ibu cuka” (“mother of vinegar”) (Karim, 2011).

Ibu cuka adalah selulosa (karbohidrat alami yang merupakan serat dalam

makanan seperti seledri dan selada) yang terproduksi oleh bakteri cuka tidak

berbahaya. Kebanyakan industri saat ini telah menyaring dan mempasteruisasi

produk mereka sebelum pembotolan untuk mencegah zat ini terbawa dalam

produk mereka. Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah jelas apa efek yang

diakibatkan zat ini bagi tubuh (Karim, 2011).

B. Senyawa Metabolit Sekunder

1. Alkaloid

Alkaloid merupakan kelompok terbesar dari metabolit sekunder dan sebagian

besar bersumber pada tumbuhan, namun sebagian juga dapat ditemui pada bakteri.

Senyawa alkaloid terdapat gugus basa yang mengandung nitrogen akan bereaksi

dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA

bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan susunan

asam amino. Sehingga akan menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada

rantai DNA sehingga akan mengalami kerusakan dan mendorong terjadinya lisis

sel bakteri yang akan menyebabkan kematian pada sel bakteri. Alkaloid mampu

menembus dinding sel atau DNA bakteri kemudian merusaknya (Qomar,2018).

13
Uji senyawa golongan alkaloid dapat dilakukan dengan menggunakan

pereaksi warna Dragendorff. Hasil uji alkaloid yang telah dilakukan menghasilkan

larutan dengan warna oranye yang apabila dibiarkan beberapa saat akan

menghasilkan endapan berwarna oranye kecoklatan pada dasar tabung. Hal ini

menunjukkan hasil positif untuk golongan alkaloid. Adanya senyawa golongan

alkaloid ditunjukkan dengan adanya endapan berwarna oranye dengan pereaksi

Dragendorff (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).

2. Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri

dari C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk

glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup

hidroksil fenolik. Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang

disintesis dari asam piruvat melalui metabolisme asam amino. Flavonoid adalah

senyawa fenol, sehingga warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak.

Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin,

flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon

(Ergina, Nuryanti, dan Pursitasari, 2014).

Uji flavonoid dilakukan dengan menggunakan serbuk Mg dan HCl pekat.

Hasil uji flavonoid dengan menggunakan uji warna menghasilkan larutan warna

hijau, yang menandakan hasil negatif (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).

Mekanisme kerja flavonoid sebagai antimikroba diantaranya adalah dengan

mengikat protein ekstraseluler dan protein terlarut sehingga kehilangan fungsi

normalnya, menonaktifkan enzim, serta merusak dinding sel dan membran sel

14
bakteri. Beberapa flavonoid bersifat bakterisidal, bakteriostatik, fungisida, serta

menonaktifkan virus lipofilik (Qomar,2018).

3. Saponin

Saponin merupakan senyawa metabolik sekunder yang berfungsi sebagai

antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri. Hasil uji saponin

menghasilkan larutan dengan terbentuknya busa yang stabil setinggi ±1,5 cm,

yang menandakan hasil positif. Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu

dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel. Saponin dapat

menjadi antibakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya

saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak

permebialitas membrane. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu

kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding

sel yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu

dan mengurangi kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor

keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang

mengganggu membran sitoplasma bersifat bakterisida (Riana, Zusfahair, dan

Kartika, 2016).

4. Tanin

Tanin merupakan senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan berpembuluh,

memiliki gugus fenol, memilki rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena

kemampuannya menyambung silang protein. Tanin secara kimia dikelompokkan

menjadi dua golongan yaitu taninterkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin

terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan

cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan kemudian

oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang

15
dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer (Ergina, Nuryanti,

dan Pursitasari, 2014).

Tanin merupakan senyawa organik komplek yang berperan sebagai

antimikrobial. Adanya tanin sebagai antibakteri akan mengganggu sintesa

peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna.

Keadaan yang menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik

maupun fisik sehingga sel bakteri menjadi mati. Selain itu senyawa tanin bekerja

dengan cara mengikat dinding protein sehingga pembentukan dinding sel bakteri

terhambat (Qomar,2018).

5. Steroid dan terpenoid

Steroid banyak terdapat di alam sebagai fraksi lipid dari tanaman atau

hewan. Zat ini penting sebagai pengatur aktivitas biologis dalam organisme hidup.

Steroid dibentuk oleh bahan alam yang disebut sterol. Sterol merupakan senyawa

yang terdapat pada lapisan malam (lilin) daun dan buah yang berfungsi sebagai

pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba. Terpen adalah suatu

senyawa yang tersusun atas isoprene CH2=C(CH3)- CH=CH2 dan kerangka

karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid

terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang

mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang

tidak menguap. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam

sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstrak Terpen adalah suatu

senyawa yang tersusun atas isoprene CH2=C(CH3)- CH=CH2 dan kerangka

karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid

terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang

16
mudah menguap, diterpen yang sukar menguap, dan triterpen dan sterol yang

tidak menguap. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dan terdapat dalam

sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diekstraksi dengan menggunakan

petroleum eter, eter, atau kloroform. Steroid merupakan senyawa triterpen yang

terdapat dalam bentuk glikosida (Ergina, Nuryanti, dan Pursitasari, 2014).

C. Jerawat (Acne Vulgaris)

1. Definisi

Acne vulgaris atau jerawat adalah suatu kondisi dimana kulit mengalami

proses peradangan kronik pada kelenjar-kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea

memiliki sel-sel yang berisi lemak yang kemudian menghasilkan sebum yang

merupakan substansi berminyak yang terdiri dari trigliserida, kolesterol, dan asam

lemak bebas yang berpotensi memicu inflamasi. Sebum berfungsi memberi

minyak pada rambut dan lapisan kulit bagian luar (Reza, Abdullah, dan Annisa,

2005).

Jerawat terjadi apabila saluran ke permukaan kulit untuk mengeluarkan sebum

yang diproduksi oleh kelenjar minyak rambut pada lapisan sermis tersumbat.

Dalam keadaan normal, sel-sel folikel rambut dapat keluar. Akan tetapi, jika

terjadi jerawat, sel-sel folikel rambut bersama dengan sebum akan menggumpal

dan menyumbat saluran folikel rambut pada lapisan epidermis kulit sehingga

membentukkomedo yang menonjol di permukaan kulit. Komeddo ini berkembang

menjadi inflamasi apabila terinfeksi oleh bakteri, terutama bakteri

Propionibacterium acnes. Bakteri ini akan menggunakan gliserol dalam sebum

sebagai sumber nutrisi (Radji,2010). Lesi dan jerawat biasanya terdapat pada

17
daerah yang memiliki kelenjar sebasea, yaitu pada daerah wajah, leher, punggung,

dan bahu (Reza, Abdullah, dan Annisa, 2005).

2. Epidemiologi

Jerawat paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat terjadi pada punggung,

dada, dan bahu. Di badan, jerawat cenderung terkonsentrasi dekat garis tengah

tubuh. Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi

biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa

komedo terbuka (blackhead) yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau komedo

tertutup (whitehead). Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista.

Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi jerawat noninflamasi maupun

jerawat inflamasi (Movita, 2013).

Acne vulgaris atau jerawat adalah penyakit kulit obstruktif dan infl amatif

kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Jerawat sering

menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarkhe

atau haid pertama. Onset jerawat pada perempuan lebih awal daripada laki-laki

karena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki.

Prevalensi jerawat pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90%

selama masa remaja. Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki

prevalensi jerawat tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia

30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering

dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal.

Tetapi pada ras Kaukasia, jerawat komedonal lebih sering dibandingkan jerawat

inflamasi, yaitu 14% jerawat komedonal, 10% jerawat inflamasi (Movita, 2013).

18
3. Klasifikasi

Klasifikasi acne vulgaris atau jerawat dibagi berdasarkan bentuk efloresensi,

penyebab, dan berat ringannya jerawat, yaitu :

a. Berdasarkan bentuk efloresensi terbanyak (Siregar,2004) :

1) Akne sistika : Efloresensi terutama berbentuk kista

2) Akne papulose : Efloresensi terutama berbentuk papula

3) Akne pustulosa : Efloresensi terutama berbentuk pustula

4) Akne konglobata : Efloresensi terutama berupa nodus yang mengalami infeksi

5) Akne sikatrisial : Banyak sikatriks atrofis

b. Berdasarkan penyebab (Siregar,2004):

1) Akne tropika

2) Akne mekanik

3) Akne neonatorum

4) Akne kosmetika

5) Akne klor

6) Akne jabatan

7) Akne minyak

8) Akne senilis

9) Akne radiasi

c. Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit terbagi menjadi 3 skala, yaitu

(Hidayah, 2016):

1) Ringan, meliputi komedonal :

a) Whitehead (komedo tertutup) merupakan kelainan berupa bintil kecil dengan

lubang kecil atau tanpa lubang karena sebum yang biasanya disertai bakteri

menumpuk di folikel kulit dan tidak bisa keluar.

19
b) Blackhead (komedo terbuka) merupakan perkembangan lebih lanjut dari

komedo tertutup, terjadi ketika folikel terbuka di permukaan kulit sehingga

sebum, yang mengandung pigmen kulit melanin, teroksidasi dan berubah

menjadi coklat/hitam. Blackhead dapat berlangsung lama karena proses

pengeringan komedo di permukaan kulit berlangsung lambat.

2) Sedang, meliputi:

a) Papule terjadi ketika dinding folikel rambut mengalami kerusakan atau pecah

sehingga sel darah putih keluar dan terjadi inflamasi di lapisan dalam kulit.

Papel berbentuk benjolan-benjolan lunak kemerahaan di kulit tanpa memiliki

kepala.

b) Pustule terjadi beberapa hari kemudian ketika sel darah putih keluar ke

permukaan kulit. Pustel berbentuk benjolan merah dengan titik putih atau

kuning di tengahnya yang mengandung sel darah putih.

c) Nodule terjadi bila folikel pecah di dasarnya maka terjadi benjolan radang

yang besaryang sakit bila disentuh. Nodus biasanya terjadi akibat rangsang

peradangan oleh fragmen rambut yang berlangsung lama.

3) Berat, meliputi :

a) Abses . Kadang beberapa papel atau pustel mengalami pengelompokan

dengan membentuk abses yang berwarna kemerahan, nyeri dan cenderung

mengeluarkanbahan berupa campuran darah, nanah dan sebum. Pada proses

penyembuhan kelainan ini meninggalkan jaring parut yang luas .

b) Jenis jerawat paling berat (acne konglobata). Sering terdapat di lekukan

samping hidung, hidung, rahang dan leher. Kelainan berupa garis linear

dengan ukuran panjang bisa mencapai 10 cm dan mengandung beberapa

saluran sinus atau fistel yang menghubungkan sinus dengan permukaan kulit.

20
Penyembuhan jerawat ini memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahun dan

dapat kambuh lagi bila mengalami proses inflamasi. Sinus harus ditangani

dengan pembedahan.

Tabel 2
Klasifikasi Derajat Jerawat Berdasarkan Jumlah dan Tipe Lesi

Derajat Komedo Papul/pustul Nodul,kista,sinus Inflamasi Jaringan parut


Ringan <10 <10 - - -
Sedang <20 >10-50 - + ±
Berat >20-50 >50-100 ≤5 ++ ++
Sangat
>50 >100 >5 +++ +++
berat
Sumber : ( Movita, T. Acne Vulgaris. 2013)

Gambar 2. Tipe Dari Lesi Akne

Sumber: (Damayanti, 2014)

4. Penyebab

Proses terjadinya jerawat diawali dengan tertutupnya folikel sebaseus oleh sel

kulit mati sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi sebum. Sebum yang

21
terakumulasi ini menghasilkan metabolit yang memicu terjadinya inflamasi

(Miratunnisa, 2015).

Ada tiga penyebab terjadinya jerawat , diantaranya (Miratunnisa, 2015) :

a. Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif

Pada kulit bagian dermis terdapat kelenjar sebaseus yang memproduksi lipida.

Lipida yang dihasilkan disalurkan ke permukaan kulit lewat pembuluh sebaseus

dan bermuara pada pori kulit. Kelenjar sebaseus yang hiperaktif menyebabkan

produksi lipida berlebihan sehingga kadar lipida pada kulit tinggi, sehingga

mengakibatkan kulit berminyak. Jika produksi lipida tidak diimbangi oleh

pengeluaran yang sepadan makaakan terjadi penimbunan dan menyebabkan pori

tersumbat. Sebum yang mampat akan memicu terjadinya inflamasi dan terbentuk

jerawat.

Aktivitas kelenjar sebaseus dipicu oleh hormone testeron, sehingga pada

usia pubersitas (10-16 tahun) akan banyak timbul jerawat pada muka, dada,

punggung, sedangkan pada wanita produksi lipida dari kelenjar sebaseus dipicu

oleh hormon luteinizing yang meningkat saat terjadi menstruasi.

b. Hiperkeratosis pada infundibulum rambut

Hiperkeratosis mudah terjadi pada infundibulum folikel rambut yang

menyebabkan sel tanduk menjadi tebal dan menyumbat folikel rambut, serta

membentuk komedo.Jika folikel rambut pori tersumbat atau menyempit maka

sebum tidak bias keluar secara normal, akibatnya akan merangsang pertumbuhan

bakteri jerawat yang menyebabkan peradangan. Selain itu adanya pengaruh sinar

UV dapat menyebabkan jerawat bertambah parah, karena adanya sinar matahari

merangsang terjadinya keratinisasi. Jerawat juga bias disebabkan oleh muka yang

kotor yang mengakibatkan pori-pori tersumbat.

22
c. Efek dari bakteri

Kelebihan sekresi dan hyperkeratosis pada infundibulum rambut yang

menyebabkan terakumulasinya sebum. Sebum ini yang mengandung banyak

timbulnya bakteri jerawat. Enzim lipase yang dihasilkan bakteri menguraikan

trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang menyebabkan inflamasi

dan akhirnya terbentuk jerawat.

Penyebab lain timbulnya acne vulgaris secara umum yang bersifat

multifactorial yaitu (Dumasari, 2009):

1) Genetika

Acne vulgaris sering dinyatakan sebagai penyakit yang diwariskan tetapi

belum ada bukti terperinci dan meyakinkan.

2) Diet/ makanan

Adapun jenis makanan yang sering diwaspadai seperti coklat, kacang-

kacangan, dan karbohidrat.

3) Obat-obatan

Kortikosteroid dapat menimbulkan steroid acne.

4) Endokrin

Peningkatan kadar hormone androgen, mempunyai pengaruh penting pada

aktifitas kelenjar sebaseous dan selanjutnya mempengaruhi terjadinya acne

vulgaris.

5) Kosmetik

Kosmetik yang bersifat komedogenik ringan dapat mencetuskan timbulnya

acne vulgaris.

23
5. Patogenesis

Patogenesis terjadinya jerawat data dilihat dari gambar berikut:

Gambar 3. Patogenesis Jerawat

Sumber: (Damayanti, 2014)

Faktor-faktor yang memegang peranan pada patogenesis acne vulgaris yaitu

(Damayanti, 2014):

a. Peningkatan produksi sebum

Pada penderita acne vulgaris terjadinya peningkatan produksi sebum oleh

kelenjar sabasea diakibatkan oleh peningkatan hormone androgen yang biasanya

terjadi saat masa pubertas, umumnya dimulai pada usia 8-9 tahun.

b. Keratinisasi folikel abnormal

Ketika sebum disekresikan, terjadi juga peningkatan jumlah sel epitel yang

melapisi folikel dan keratinisasi dalam folikel. Sehingga terjadi penumpukan dari

sebum, sel-sel epitel, dan keratin hal ini menyebabkan pembengkakan pada

folikel, dan gambaran klinis yang terlihat berupa lesi yang paling dini terjadi yaitu

mikrokomedo.

c. Proliferasi Propionibacterium acnes

Dengan adanya peningkatan produksi sebum, maka akan menfasilitasi

Propionibacterium acnes untuk berkoloni dan mulai menginfeksi. Salah satu

24
kandungan dari sebum yaitu trigliseridadan diubah oleh enzim lipaseyang

dihasilkan oleh Propionibacerium acnes menjadi digliserida, monogliserida, dan

asam mak bebas yang akan digunakan untuk membantu metabolism

Propionibacerium acnes . Di dalam folikel, Propionibacerium acnes

berproliferasi dan menyebabkan infiltrasi dari sel-sel imun seperti limfosit CD4

dan neutrophil.

d. Reaksi inflamasi

Propionibacerium acnes dapat merusak dinding folikel dan menyebar

ke lapisan dermis disekitarnya sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Reaksi

inflamasi yang terjadi pada acne vulgaris menyebabkan timbulnya respon

kekebalan tubuh, Propionibacerium acnes yang melepaskan faktor kemotraktan

kemudian menarik sel-sel kekebalan tubuh seperti neutrophil, monosi, dan

limfosit. Proses inflamasi diawali dengan infiltrasi limfosit CD4 pada unit

pilosebasea. Propionibacerium acnes yang berada pada folikel akan difagosit

oleh neutrophil. Produksi sitokin dalam reaksi inflamasi ini melibatkan toll like

receptor, terutama toll like receptor 2. Propionibacerium acnes juga menstimulasi

produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α (Damayanti,

2014).

6. Pengobatan

Ada tiga hal yang penting pada pengobatan jerawat (Harahap dan Marwali,2000) :

a. Mencegah timbulnya komedo, biasanya dipakai bahan-bahan pengelupasan

kulit.

b. Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan yaitu

menggunakan antibiotika.

25
c. Mempercepat resolusi lesi yang meradang.

Pengobatan jerawat dilakukan dengan cara memperbaiki abnormalitas folikel,

menurunkan produksi sebum, menurunkan jumlah koloni Propionibacterium

acnes atau hasil metabolismenya dan menurunkan inflamasi pada kulit. Populasi

bakteri Propionibacterium acnes dapat diturunkan dengan memberikan suatu zat

antibakteri seperti eritromisin, klindamisin dan tetrasiklin. Meningkatnya

penggunaan antibiotik, memacu meningkatnya resistensi bakteri terhadap

antibiotik tersebut (Hafsari, 2016).

Salah satu antibiotik yang biasa digunakan untuk pengobat jerawat adalah

klindamisin. Klindamisin dapat digunakan untuk obat jerawat karena dapat

menghambat dan membunuh bakteri Propionibacterium acne yang dapat

menyebabkan jerawat. Topikal klindamisin juga sama efektifnya dengan benzoil

peroksida (Rusli, Arinia, dan Asa, 2016).

D. Propionibacterium acnes

1. Klasifikasi

Propionibacterium acnes merupakan flora normal kulit yang ikut berperan

dalam pembentukan jerawat. Berikut gambar bakteri Propionibacterium acnes:

Gambar 4. Propionibacterium acnes

Sumber: (Damayanti, 2014)

26
Berikut ini klasifikasi dari bakteri Propionibacterium acnes sebagai berikut

(Miratunnisa, 2015) :

Kingdom : Bakteria

Pylum : Actinobacteria

Class : Actinobacteria

Order : Actinomycetales

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Spesies : Propionibacterium acnes

2. Morfologi

Propionibacterium acnes termasuk bakteri Gram positif, pleomorfik, dan

bersifat anaerob aerotoleran. Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 – 0,8

µm dan panjang 3-4 µm bakteri ini berbentuk batang dengan ujung meruncing

atau kokoid (bulat) (Damayanti, 2014). Pertumbuhan optimum pada suhu 30-

37ºC. Koloni bakteri pada media agar berwarna kuning muda sampai merah muda

dan memiliki bentuk yang khas (Miratunnisa, 2015).

Propionibacterium acnes merupakan flora normal kulit yang ikut berperan

dalam pembentukan jerawat. Propionibacterium acnes mengeluarkan enzim

hidrolitik yang menyebabkan kerusakan folikel polisebasea dan menghasilkan

lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan neurimidase yang memegang

peranan penting pada proses peradangan. Propionibacterium acnes mengubah

asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh yang menyebabkan sebum

menjadi padat. Jika produksi sebum bertambah, Propionibacterium acnes juga

akan bertambah banyak yang keluar dari kelenjar sebasea, karena

Propionibacterium acnes merupakan pemakan lemak (Hafsari, 2016).

27
Tidak hanya itu Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada jaringan

manusia, paru-paru, dan jaringan prostat. Kulit merupakan habitat utama

Propionibacterium acnes, namun dapat juga diisolasi dari rongga mulut, saluran

pernafasan bagian atas, saluran telinga eksternal, konjungtiva, usus besar, uretra,

dan vagina (Damayanti, 2014).

3. Patogenitas

Pada acne vulgaris, ketika terjadi akumulasi sebum pada unit pilosebasea,

maka akan memfasilitasi Propionibacterium acnes untuk berproliferasi, karena

trigliserida yang terdapat pada sebum akan diubah dengan bantuan enzim lipase

yang dihasilkan oleh Propionibatrerium acnes menjadi digliserida, monogliserida,

dan asam lemak bebas, kemudian ketiga zat tersebut diubah menjadi gliserol yang

akan digunakan untuk metabolisme Propionibacterium acnes. Unit pilosebasea

yang terinfeksi oleh Propionibacterium acnes akan menyebabkan timbulnya

respon inflamasi, sehingga gambaran klinis yang timbul berupa papula, pustula,

nodul, dan kista (Damayanti, 2014).

Selain acne vulgaris, Propionibacterium acnes juga terlibat dalam beberapa

penyakit seperti osteomielitis, peritonitis, infeksi gigi, reumatoid artritis, abses

otak, empiema subdural, keratitis, ulkus kornea, endoftalmitis, sarkoidosis, dan

radang prostat. Sedangkan penyakit yang melibatkan infeksi Propionibacterium

acnes dan terkait alat-alat medis (kateter, prosthetic joints, implants, dan lain-lain)

yaitu konjungtivitis akibat lensa kontak, shunt nephritis, shunt-associated central

nervous system infections, dan anaerobic arthritis (Damayanti, 2014).

28
E. Antimikroba

1. Definisi

Antimikroba merupakan obat-obat atau bahan yang digunakan untuk

memberantas infeksi mikroba pada manusia termasuk diantaranya antibiotika,

antiseptik, disenfektasia, dan preservatif. Obat-obatan yang digunakan untuk

memberantas infeksi mikroorganisme yang penyebab infeksi pada manusia,

hewan maupun tumbuhan harus bersifat toksisitas selektif artinya obat atau zat

tersebut harus bersifat toksik terhadap mikroorganisme penyebab penyakit tetapi

tidak toksik terhadap jasad inang atau hospes (Hidayah, 2016).

2. Sifat dan prinsip

Antimikroba memiliki sifat sebagai berikut (Hidayah, 2016) :

a. Bakteriostatik, yaitu menghambat atau menghentikan pertumbuhan

mikroorganisme seperti menghentikan pertumbuhan fungi, sitostatika terhadap

kanker. Dalam keadaan seperti ini jumlah mikroorganisme menjadi stasioner,

contoh sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin.

b. Bakteriosid, bersifat membunuh mikroorganisme. Dalam hal ini jumlah

mikroorganisme akan berkurang bahkan habis, tidak dapat melakukan

multifikasi atau berkembang biak, contohnya penisilin, sefalosporin, dan

neomisin.

Prinsip kerja antimikroba yakni sebagai berikut (Hidayah, 2016) :

Suatu antimikroba memperlihatkan toksisitas yang selektif, dimana obatnya

lebih toksik terhadap mikroorganismenya dibandingkan pada sel hospes. Hal ini

dapat terjadi karena pengaruh obat yang selektif terhadap mikroorganisme atau

karena obat pada reaksi-reaksi biokimia yang penting dalam sel parasit lebih

29
unggul dari pada pengaruhnya terhadap hospes. Disamping itu struktur

selmikroorganisme berbeda dengan struktur sel manusia (hospes, inang) .

3. Mekanisme kerja antimikroba

Antimikroba memiliki beberapa mekanisme kerja, yaitu sebagai berikut

(Hidayah, 2016) :

a. Mengganggu metabolisme sel mikroba

Pada umumnya mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan

hidupnya yang disintesis dari asam amino para benzoat (PABA) . Antimikroba

bersifat sebagai antimetabolit dimana antimikroba bekerja memblok terhadap

metabolit spesifik mikroba, seperti sulfonamida. Sulfonamida menghambat

pertumbuhan sel dengan menghambat sintesis asam folat oleh bakteri.

Sulfanamida secara struktur mirip dengan asam folat, asam amino para benzoat

(PABA), dan bekerja secara kompetitif untuk enzim-enzim yang langsung

mempersatukan PABA dan sebagian petidin menjadi asam dihidrofolat.

b. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel

Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer

mukopeptida (mukopeptida). Beberapa antibiotik seperti sikloserin menghambat

reaksi paling dini dari proses sintesis dinding sel diikuti oleh basitrasin,

vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosposrin yang menghambat reaksi

terakhir (transpeptidasi).

c. Penghambatan tehadap fungsi membran sel.

Antimikroba bekerja secara langsung pada membran sel yang mempengaruhi

permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme.

Membran sel adalah lapisan dibawah dinding sel yang mempunyai sifat

permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari

30
dalam dan luar sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi.

Beberapa antibiotik bersatu dengan membran yang berfungi berfungsi sebagai

iondphores yaitu senyawa yang memberi jalan masuknya ion abnormal. Proses ini

dapat mengganggu biokimia sel, misalnya gramicidin. Antibiotik polimiksin dapat

merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel.

Polimiksin lebih aktif terhadap bakteri gram negatif .

d. Penghambatan terhadap sintesis protein

Hidupnya suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul dalam

keadaan alamiah. Suatu kondisi atau substansi mengubah keadaan ini yaitu

mendenaturasi protein dengan merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu

tinggi atau konsentrasi beberapa zat dapat mengakibatkan koagulasi irreversible

komponen seluler yang vital. Antimikroba mempunyai fungsi ribosom pada

mikroorgenisgme yang menyebabkan sintesis protein terlambat. Dimana dapat

berikatan dengan ribosom 30S yang dapat menyebabkan akumulasi sintesis

protein awal yang kompleks, sehingga salah dalam menerjemahkan tanda m-RNA

dan menghasilkan polipeptida yang abnormal. Selain itu juga dapat berikatan

dengan ribosom 50S yang dapat menghambat ikatan asam amino baru pada

rantai peptida memanjang. Contohnya aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin,

eritromisin dan linkomisin.

e. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat.

Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan

sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel tergantung pada sintesi DNA,

sedangkan RNA diperlukan untuk transkipsi dan penentuan informasi sintesis

protein dan enzim. Begitu pentingnya DNA dan RNA dalam proses kehidupan sel.

Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada

31
fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel. Dalam hal

ini mempengaruhi metabolisme asam nukleat, seperti berikatan dengan enzim

DNA dependen RNA polymerase bakteri, memblokir helix DNA. Contohnya

seperti antibiotik quinolon, pyrimethamin, sulfonamida, trimethoprim, dan

trimetrexat, sedangkan metronidazole menghambat sintesis DNA.

4. Resistensi

Resistensi bakteri terhadap antibiotik membuat masalah yang dapat

menggagalkan terapi dengan antibiotik. Resistensi dapat merupakan masalah

individual epidemiologi. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik

tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah, resistensi karena adanya mutasi

spontan (resistensi kromosomal) dan resistensi karena adanya faktor R pada

sitoplasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resistensi karena pemindahan gen

yang resisten atau faktor R atau plasmid (resistensi silang) (Fadila, 2010).

Penyebab terjadi resistensi mikroba adalah penggunaan antibiotik yang tidak

tepat, misalnya penggunaan dengan dosis yang tidak memadai, pemakaian yang

tidak teratur atau tidak kontinyu, demikian juga waktu pengobatan yang tidak

cukup lama. Maka untuk mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi

mikroba, harus diperhatikan cara-cara penggunaan antibiotik yang tepat (Fadila,

2010).

a. Resistensi alamiah

Beberapa mikroba secara alamiah tidak peka terhadap antibiotik tertentu. Hal

ini disebabkan oleh tidak adanya reseptor yang cocok atau dinding sel mikroba

tidak dapat ditembus oleh antibiotik. Oleh sebab itu antibiotik tersebut

mempunyai kekosongan dalam spektrum kerjanya.

32
b. Resistensi kromosomal

Resistensi kromosom terjadi karena mutasi spontan pada gen kromosom.

Kromosom yang telah termutasi ini dapat dipindahkan sehingga terjadi populasi

yang resisten. Pemindahan kromosom ini mengakibatkan terjadi resistensi silang.

Pada mutasi spontan terjadi seleksi oleh antibiotik dimana bibit yang peka akan

musnah dan bibit yang resisten akan tetap dan berkembang biak.

c. Resistensi ekstrakromosomal

Dalam resistensi ekstrakromosomal, yang berperan adalah faktor R yaitu

kelompok plasmid yang membawa gen resistensi terhadap satu atau beberapa

obat antimikroba. Faktor R dipindahkan dari bakteri yang satu ke bakteri yang lain

sehingga terjadi resistensi silang. Dengan cara ini bakteri dapat memperoleh

sekaligus gen yang resisten terhadap enam sampai tujuh antibiotik. Perpindahan

resistensi dapat terjadi dengan cara transformasi, transduksi, dan konjugasi

(Fadila, 2010).

5. Antibiotik kloramfenikol

Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif pada pengujian antibakteri.

Kloramfenikol merupakan antibakteri yang bersifat bakteriostatik dan

berspektrum luas memiliki karakteristik sebagai berikut (Rahmawati, 2015) :

a. Rumus bangun :

Gambar 5. Rumus Bangun Kloramfenikol

Sumber: (Rahmawati, 2015)

33
b. Rumus molekul : C11H12Cl2N2O5

c. Bobot molekul : 323,13

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Obat ini

terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat wnzim peptidil transferase

sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik , pada konsenrasi tinggi

kloramfenikol bersifat bakterisid untuk bakteri-bakteri tertentu (Rahmawati,

2015).

F. Pengukuran Aktivitas Antibakteri

1. Media

Media adalah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi/nutrien/zat

makanan yang dipakai untuk menumbuhkan mikroba. Susunan dan kadar nutrien

dalam suatu media untuk mikroba harus seimbang agar pertumbuhan mikroba

dapat sebaik mungkin. Hal ini perlu dikemukakan mengingat banyak senyawa

senyawa yang menjadi penghambat atau menjadi racun bagi mikroba kalau

kadarnya terlalu tinggi (misalnya garam-garam dari asam lemak, gula, dan lain

lain) (Fadila, 2010).

Supaya mikroba dapat tumbuh dengan baik dalam suatu media, perlu

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Fadila, 2010):

a. Media harus mengandung semua nutrien yang mudah digunakan oleh

mikroba.

b. Media harus mempunyai tekanan osmose, tegangan permukaan dan pH yang

sesuai.

c. Media tidak mengandung zat-zat penghambat.

34
d. Media harus steril.

2. Metode sterilisasi

Sterilisasi dapat dilakukan secara fisik, kimia dan mekanik (Hidayah, 2016) :

a. Secara fisik

1) Pemanasan basah

Beberapa pemanasan basah dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk

enzim–enzim di dalam sel mikroorganisme. Beberapa cara pemanasan basah yaitu

(Hidayah, 2016):

a) Perebusan, air mendidih atau uap air pada suhu 100 o C dapat membunuh

bentuk vegetatif dari mikroorganisme dan virus dalam waktu 5 menit,

beberapa spora juga dapat terbunuh pada suhu tersebut selama beberapa menit,

tetapi banyak spora bakteri yang tahan terhadap panas dan masih tetap hidup

setelah dilakukan perebusan selama beberapa jam.

b) Pemanasan dengan tekanan dapat dilakukan dengan menggunakan alat berupa

autoklaf untuk membunuh spora bakteri yang paling tahan asam, spora yang

paling tahan panas akan mati pada suhu 121oC selama 15 menit.

c) Tindalisasi, proses sterilisasi dengan cara menggunakan pemanasan suhu

100oC selama 30 menit dan dilakukan setiap hari berturut–turut selama tiga

hari.

d) Pasteurisasi, proses pemanasan pada suhu rendah yaitu 63–70oC selama 30

menit dan dilakukan setiap hari selama 3 hari berturut–turut. Proses

pasteurisasi ini biasanya dilakukan terhadap bahan atau zat–zat yang tidak

tahan terhadap pemanasan tinggi seperti susu.

35
2) Pemanasan kering

Pemanasan kering seharusnya kurang efektif untuk membunuh

mikroorganisme dibandingkan dengan pemanasan basah, pada pemanasan kering

menyebabkan dehidrasi sel dan juga dapat menyebabkan oksidasi komponen–

komponen dalam sel.

3) Radiasi

Sinar matahari yang dipancarkan langsung kepada sel vegetative

mikroorganisme dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut, sedangkan

sporanya biasanya lebih tahan. Radiasi ionisasi adalah radiasi yang mengandung

energi jauh lebih tinggi daripada sinar ultra violet (UV), oleh karena itu

mempunyai daya mematikan yang lebih kuat.

b. Cara mekanik

Penyaringan telah banyak dilakukan untuk mensterilkan medium laboratorium

dan larutan–larutan yang dapat menyebabkan kerusakan jika dipanaskan.

Penyaring yang banyak digunakan tersebut dibuat dari gelas sinter serat yang

pori–porinya berukuran 0,22–10 mikron.

c. Cara kimia

Cara kimia sering disebut desinfeksi dan antiseptik. Bahan kimia ini

menimbulkan pengaruh yang lebih selektif terhadap mikroorganisme

dibandingkan dengan perlakuan fisik seperti panas dan radiasi. Untuk memilih

bahan kimia sebagai bahan untuk desinfektansia dan antiseptika perlu

diperhatikan yaitu sifat mikrosidalnya, sifat mikrostatik, kecepatan penghambatan,

dan sifat–sifat lainnya seperti harga, aktivitasnya tetap stabil dalam jangka waktu

lama, larut dalam air dan stabil dalam larutan.

36
3. Penentuan aktivitas antibakteri

Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan zona

hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil

penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan antibiotik.

Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode

difusi dan metode dilusi sebagai berikut (Saraswati, 2015):

a. Metode difusi

1) Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur) menggunakan piringan yang berisi

agen antimikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya

telah ditanami mikroorganisme sehingga antimikroba dapat berdifusi pada

media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media

agar.

Pembacaan hasil dilakukan dengan cara (Fadila, 2010) :

a) Zona radikal yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana sama sekali tidak

ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan

mengukur diameter dari zona radikal.

b) Zona irradikal yaitu suatu daerah di sekitar disk dimana pertumbuhan bakteri

dihambat oleh antibakteri tetapi tidak dimatikan.

2) Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum

(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip

plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai

tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami

mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang

37
ditimbulkan yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

3) Ditch-plate technique . Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba

yang diletakkan pada parit yang sibuat dengan cara memotong media gar

dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji

(maksimum 6 macan) digoreskan kea rah parit yang berisi agen antimikroba

tersebut.

4) Cup-plate technique . Metode ini serupa dengan disk diffusion, dimana dibuat

sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme da nada

sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

b. Metode dilusi

1) Metode dilusi cair / broth dilution test (seral dilution). Metode ini digunakan

untuk mengukur Konsentrasi Haambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh

Minimum (KBM) . Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat

jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.

Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang

pada media cair tanpa penanaman mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan

diinkubasi umumnya selama 18-24 jam. Media cair yang telihat jernih setelah

diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

2) Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode

dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini

adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk

menguji beberapa mikroba uji.

38
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba

Diantara banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba , hal-hal

berikut harus dipertimbangkan karena mempengaruhi hasil pemeriksaan secara

bermakna (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2012) :

a. pH lingkungan

Beberapa obat lebih aktif pada ph asam (misalnya, nitro-furantoin) dan

lain-lain, pada pH basa (misalnya aminoglikosida, sulfonamida).

b. Komponen medium

Sodium polyanetholsulfonate (dalam medium kultur darah) dan detergen

anionic lainnya menghambat aminoglikosida. PABA dalam ekstrak jaringan

mengantagonis sulfonamida. Protein serum mengikat penisilin dalam derajat yang

berbeda-beda, berkisar dari 40% untuk metisilin hingga 98% untuk diklosasilin.

Penambahan NaCl ke medium mempertinggi deteksi resistensi metisilin pada

S.aureus.

c. Kestabilan obat

Pada suhu inkubator, beberapa agen antimikroba kehilangan aktivitas

mereka. Penisilin mengalami inaktivasi secara lambat, sedangkan aminoglikosida

dan siprofloksasin cukup stabil untuk periode yang lama.

d. Besar inokulum

Secara umum, semakin besar inokulum bakteri, semakin rendah

kerentanan yang tampak pada organisme itu. Populasi besar bakteri lebih lambat

dan lebih jarang mengalami inhibisi total dibandingkan populasi kecil. Selain itu,

suatu mutan resisten jauh lebih mungkin muncul pada populasi yang lebih besar.

39
e. Lama inkubasi

Pada banyak kondisi, mikroorganisme tidak dimatikan, tetapi hanya

dihambat pada pajanan singkat terhadap agen antimikroba. Semakin lama masa

inkubasi berlangsung, semakin besar kesempatan mutan resisten untuk muncul,

atau semakin besar kesempatan bagi anggota yang paling tidak sensitif terhadap

antimikroba untuk mulai memperbanyak diri seiring berkurangnya obat.

f. Sterilisasi alat, media, dan ruangan

Alat wajib disterilkan dalam oven sebelum digunakan. Media disterilkan

menggunakan autoclave, serta ruangan dapat disterilkan menggunakan sinar UV

dan blower yang ada di dalam biosafety cabinet .

g. Kepekatan inokulum

Jika inokulum terlalu encer, zona hambatan akan menjadi lebih lebar

walaupun kepekaan organismenya tidak berubah. Sebaliknya jika inokulum terlalu

pekat, ukuran zona hambat akan menyempit (Vandepitte dkk.,2010).

h. Waktu pemasangan cakram

Jika sudah ditanami dengan galur uji lempeng agar, dibiarkan pada suhu ruang

lebih lama dari waktu baku, perkembangan inokulum dapat terjadi dapat terjadi

sebelum cakram dipasang (Vandepitte dkk.,2010).

i. Suhu inkubasi

Uji kepekaan biasanya diinkubasi pada suhu 35ºC untuk pertumbuhan yang

optimal. Jika suhu diturunkan, waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan efektif

akan memanjang dan dihasilkan zona yang lebih lebar (Vandepitte dkk.,2010).

40
j. Ukuran lempeng, ketebalan media agar, dan pengaturan jarak cakram

antimikroba

Uji kepekaan biasanya dikerjakan menggunakan cakram menggunakan

cakram petri ukuran 9-10 cm dan tidak lebih dari 6-7 cakram antimikroba pada

tiap lempeng agar. Zona hambatan yang sangat besar mungkin terbentuk pada

media yang sangat tipis dan sebaliknya (Vandepitte dkk., 2010).

5. Pengukuran aktivitas antibakteri

Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa

zona bening disekeliling kertas cakram. Bagian yang dihitung dengan jangka

sorong adalah diameter dari zona hambat yang terbentuk. Diameter zona hambat

dideskripsikan dengan gambar dibawah ini .

Gambar 6. Perhitungan Diameter Zona Hambat Antibakteri

Sumber: (Saraswati, 2015)

Keterangan :

a : Diameter kertas cakram (6 mm)

b : Diameter zona hambat yang terbentuk (mm)

c : Daerah yang ditumbuhi bakteri

41
Tabel 3
Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri

Diameter Zona Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan


>20 mm Sangat Kuat
11-20 mm Kuat
5-10 mm Sedang
<5 mm Lemah
Sumber : (Suryanto D., N. Irawati dan E. Munir. Isolation and Characterization of Chitinolytic
Bacteria and Their Potential to Inhibit Plant Pathogenic Fungi. 2011)

42
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Jerawat

Bakteri

Stapylococcus Propiobacterium Stapylococcus


epidermidis acnes aureus

Pengobatan

Medis Bahan Alami

Terapi Antibiotik Cuka Apel

Klindamisin Uji Daya Hambat

Difusi Dilusi

Diameter Zona Hambat

Keterangan :

: dianalisis
: tidak dianalisis

Gambar 7. Kerangka Konsep

43
Keterangan :

Berdasarkan kerangka konsep, pada gambar diketahui bahwa pengobatan

jerawat akibat Propionibacterium acnes dapat dilakukan dengan cara medis

maupun secara alami. Pengobatan secara medis dilakukan dengan pemberian

antibiotik, sedangkan pengobatan dengan alami dapat dilakukan dengan

memanfaatkan cuka apel . Cuka apel diuji antibakteri dengan metode difusi Kirby

Bauer untuk mengetahui adanya zona hambat Propionibacterium acnes .

Pengukuran zona aktivitas antibakteri pada cuka apel berbagai konsentrasi dapat

dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat yang terbentuk di sekitar

cakram yang telah berisi cuka apel berbagai konsentrasi dengan menggunakan

jangka sorong. Zona hambat tersebut ditandai dengan adanya zona bening yang

terbentuk di sekitar kertas cakram.

B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, subjek

atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut hubungan antara satu

variabel dengan variabel yang lain maka macam-macam variabel dalam penelitian

dibedakan menjadi (Sugiyono,2012):

a. Variabel bebas (independen)

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono,2012).

44
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah konsentrasi cuka apel

(apple cider vinegar) sebesar 12,5%, 25%, 50% dan 100%.

b. Variabel terikat (dependen)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat (Sugiyono,2012).Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah

zona hambat cuka apel (apple cider vinegar) terhadap Propionibacterium acnes.

c. Variabel kontrol

Variabel kontrol merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan

sehingga pengaruh variabel bebas dan variabel terikat tidak dipengaruhi oleh

factor luar yang tidak diteliti (Sugiyono,2012). Dalam penelitian ini yang menjadi

variabel kontrol adalah pH lingkungan, komponen medium, kestabilan obat, besar

dan kepekatan inokulum, suhu dan lama inkubasi, sterilisasi alat, media, dan

ruangan, waktu pemasangan cakram, ketebalan media, dan pengaturan jarak

cakram antimikroba.

Untuk mengendalikan variabel kontrol dapat dilakukan dengan berbagai cara

sebagai berikut :

1) pH lingkungan, yang dapat diperhatikan dengan memperhatikan jenis

antibiotik yang digunakan apakah bersifat asam atau basa.

2) Komponen medium. Beberapa medium mengandung bahan-bahan yang dapat

menghambat aminoglikosida serta mengikat penisilin.

3) Kestabilan obat. Pada suhu inkubator, beberapa agen antimikroba akan

kehilangan aktivitasnya.

4) Besar dan kepekatan inokulum. Jika inokulum yang digunakan terlalu encer,

zona hambat yang terbentuk akan menjadi lebih lebar walaupun kepekaan

45
organisme tidak berubah demikian pula sebaliknya. Untuk mengontrol

kepekatan suspensi diperlukan penggunaan Mc. Farland densitometer agar

mendapatkan kekeruhan suspense yang tepat yaitu 0,5 Mc.Farland.

5) Suhu dan lama inkubasi. Untuk mengontrol pertumbuhan yang maksimal

diperlukan waktu inkubasi maksimum yaitu 24 jam dengan suhu inkubasi

37ºC.

6) Sterilisasi alat, media, dan ruangan . Alat wajib disterilkan dalam oven

sebelum digunakan. Media disterilkan menggunakan autoclave, serta ruangan

dapat disterilkan menggunakan sinar UV dan blower yang ada di dalam

biosafety cabinet .

7) Waktu pemasangan cakram. Sebaiknya setelah cakram sudah jenuh terhadap

antibiotik agar segera ditanam pada media agar perkembangan inokulum tidak

terjadi sebelum cakram terpasang.

8) Ketebalan media. Perbedaan ketebalan media dapat berpengaruh pada hasil

pengukuran diameter zona hambat. Untuk mendapatkan ketebalan media yang

baik, media dituang sebanyak 15-20 mL.

9) Jarak cakram disk. Pengaturan jarak cakram yang tepatsangat penting untuk

mencegah terjadinya tumpang tindihnya zona hambat. Pada satu cawan petri

dapat diisi tidak lebih dari 6 atau 7 cakram disk.

46
Adapun hubungan antar variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol

tersebut adalah seperti gambar di bawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Cuka apel dengan konsentrasi Zona hambat pertumbuhan

12,5%, 25%, 50% dan 100% . Propionibacterium acnes

Variabel Kontrol

 pH lingkungan

 Komponen medium

 Kestabilan obat

 Besar dan kepekatan inokulum

 Suhu dan lama inkubasi

 Sterilisasi alat, media, dan ruangan

 Waktu pemasangan cakram

 Ketebalan media

 Pengaturan jarak cakram antimikroba.

Keterangan :

: dianalisis
: tidak dianalisis

Gambar 8. Hubungan Antar Variabel

47
2. Definisi operasional variabel

Tabel 4
Definisi Operasional

Cara
Variabel Definisi Operasional Skala
Pengukuran
1 2 3 4
Cuka apel (apple Cuka apel yang digunakan Observasi Nominal
cider vinegar) merupakan cuka apel yang
memenuhi kriteria inklusi
sebagai berikut :
- Berwarna kecoklatan
- Terdapat endapan
- Beraroma khas apel
atau berbau seperti tape
Konsentrasi Cuka Cuka yang digunakan Pengukuran Ordinal
Apel merupakan cuka apel asli menggunakan
dan dalam penelitian ini pipet ukur (mL)
digunakan sebagai dan mikropipet
konsentrasi 100% yang (µL)
kemudian diencerkan
dengan aquadest steril
untuk mendapatkan
konsentrasi 12,5%, 25%,
50%.
Zona hambat Diameter zona hambat Jangka sorong Rasio
pertumbuhan pertumbuhan mistar (mm)
Propionibacterium Propionibacterium acnes
acnes berupa zona bening yang
terdapat dalam media
Mueller Hinton Agar di
daerah sekitar cakram disk.

48
Cara
Variabel Definisi Operasional Skala
Pengukuran
1 2 3 4
Daya Hambat Kemampuan cuka apel - Ordinal
dalam menghambat
pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
Berdasarkan penggolongan
bahan alam :
- Lemah : < 5 mm
- Sedang : 5 – 10 mm
- Kuat : 11 – 20 mm
- Sangat kuat : > 20 mm
Berdasarkan penggolongan
NCCLS :
- Resisten : ≤ 12 mm
- Intermediate:13–17mm
- Sensitif : ≥ 18 mm
Efektif Efektif adalah konsentrasi Observasi Nominal
yang paling tepat untuk
menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes
berdasarkan diameter zona
hambat yang bersifat
sensitif setelah
dibandingkan dengan
kontrol positif

49
C. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : “Terdapat perbedaan zona hambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel

(apple cider vinegar) secara in vitro”.

50
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah true experimental

design . Design yang digunakan dalam penelitian ini adalah Posttest Only Control

Group Design dimana konsentrasi cuka apel 12,5%, 25%, 50% dan 100%

merupakan kelompok eksperimen sedangkan kelompok yang tidak diberi

perlakuan disebut dengan kelompok kontrol (Noor dan Juliansyah, 2011) .

Tabel 5
Rancangan Posttest Only Control Design

Kelompok Uji Perlakuan Posttest


R1 X O2
R2 O2
Keterangan ;

R1 : Kelompok eksperimen merupakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%,

25%, 50% dan 100%.

R2 : Kelompok kontrol kerja yang digunakan adalah aquadest steril sebagai

kontrol negatif dan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif.

X : Perlakuan atau eksperimen

O2 : Pengukuran kedua (posttest)

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2019 sampai April 2019.

51
2. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis

Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar, Jalan Sanitasi No.1

Sidakarya.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah cuka apel jenis “mother of vinegar”

kemasan yang beredar di pasaran.

2. Sampel penelitian

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cuka apel jenis

“mother of vinegar”. Kriteria inklusi dari sampel adalah berwarna keruh

kecoklatan, beraroma khas apel dan berbau seperti tape dan terdapat endapan di

dalam cairan cuka apel. Sementara kriteria eksklusi yaitu berwarna bening, dan

berbau busuk. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah sampel yang

memenuhi kriteria inklusi.

3. Besar sampel penelitian

Konsentrasi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12,5%, 25%,

50%, dan 100% dan kontrol negatif yang digunakan berupa cakram yang

direndam aquades steril dan kontrol positif yang digunakan berupa cakram

antibiotik kloramfenikol 30 µg. Pengulangan masing-masing seri konsentrasi

dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 kali dengan replikasi 2 kali, sehingga

didapat besar sampel sebanyak 32 sampel.

52
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis data yang dikumpulkan

Jenis data yang didapatkan dari penelitian ini adalah data primer dimana data

yang diperoleh berasal dari hasil pengukuran zona daya hambat yang dihasilkan

cuka apel dengan berbagai konsentrasi terhadap bakteri Propionibacterium acnes

melalui eksperimen laboratorium.

2. Cara pengumpulan data

Cara pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan

melakukan pengukuran dengan alat ukur melalui eksperimen. Pengukuran

dilakukan pada diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes

pada berbagai konsentrasi cuka apel. Hasil pengukuran diameter zona hambat

tersebut menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang dinyatakan dalam

millimeter (mm).

3. Instrumen pengumpulan data

Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai instrument pengumpul data

adalah jangka sorong, kamera, alat tulis.

E. Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja

1. Alat

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu : Erlenmeyer, pipet ukur, ball

pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, mikropipet (SOCOREX) , dan tip, gelas

ukur, beaker glass, spiritus, petri disk steril, autoklaf ( TOMY SX-500 ), inkubator

53
( ESCO Isotherm ), neraca analitik (RADWAG AS220.R2), Mc Farland

densitometer , Bio Safety Cabinet ( BSC-1800 II B2-X ), dan jangka sorong.

2. Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu : Cuka apel, aquadest steril,

bakteri Propionibacterium acne ATCC 11827 , media Mueller Hinton Agar

(MHA), standar Mc Farland 0,5%, media Nutrient Agar (NA), larutan NaCl

fisiologis 0,85%, cakram disk kosong, cakram disk Kloramfenikol (OXOID) ,

alkohol 70%, swab kapas steril, aluminium foil.

54
3. Skema kerja

Cuka apel

Uji daya hambat cuka apel


terhadap Propionibacterium acnes

Suspensi bakteri Propionibacterium acnes


0,5 Mc Farland

Media Mueller Hinton Agar (MHA)

Cakram disk yang telah dijenuhkan 1. Kontrol kerja negatif : cakram


pada cuka apel (apple cider vinegar) disk dengan aquadest steril.
konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 2. Kontrol kerja positif : cakram disk
100%. dengan antibiotik kloramfenikol.

Inkubasi pada suhu 37º C selama


24 jam

Diameter zona hambat


pertumbuhan Propionibacterium
acnes

Analisis hasil

Gambar 9. Skema Kerja

55
4. Prosedur kerja

a. Pengenceran cuka apel dari konsentrasi 100%

1) Konsentrasi cuka apel yang akan dibuat yaitu 12,5%, 25%, 50% dan 100%.

Konsentrasi ini dibuat dengan mencampurkan cuka apel dengan larutan

pengencer aquadest steril.

2) Rumus Pengenceran yang digunakan :

Rumus : V1 × C1 = V2 × C2

Keterangan rumus :

V1 : Volume cuka apel yang akan diencerkan dari konsentrasi 100%

V2 : Volume cuka apel yang akan dibuat yaitu 1 mL

C1 : Konsentrasi cuka apel yang akan diencerkan, yaitu 100%

C2 : Konsentrasi cuka apel yang akan dibuat

Tabel 6
Tabel Pengenceran Konsentrasi Cuka Apel
V1 V2
No. C1 C2 Aquadest Steril (mL)
(mL) (mL)
1. 0,125 100% 1 12,5% 0,875
2. 0,25 100% 1 25% 0,75
3. 0,5 100% 1 50% 0,5

b. Pembuatan suspensi bakteri Propionibacterium acnes

1) Satu sampai tiga ose koloni Propionibacterium acnes dari biakan murni

diambil dan disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 5 mL larutan NaCl

fisiologis 0,85%.

2) Suspensi dibandingkan dengan kekeruhan standar Mc Farland 0,5%.

56
3) Suspensi diukur dengan Mc Farland densitometer.

c. Tahap pemeriksaan

1) Cakram disk kosong disiapkan dan cakram disk ini direndam dalam cuka apel

pada setiap konsentrasi hingga seluruh cairan meresap ke dalam cakram disk.

2) Untuk kontrol kerja negatif, cakram disk kosong direndam ke dalam aquadest

steril.

3) Untuk kontrol kerja positif, digunakan cakram disk antibiotik kloramfenikol

30 µg.

4) Suspensi Propionibacterium acnes disiapkan.

5) Swab kapas steril disiapkan dan dicelupkan ke dalam suspensi bakteri. Setelah

suspensi bakteri meresap, swab kapas steril diangkat dan diperas dengan cara

menekannya pada dinding tabung bagian dalam.

6) Swab kapas yang telah berisi suspensi diinokulasikan pada media Mueller

Hinton Agar (MHA). Goresan dilakukan secara merata hingga menutupi

seluruh permukaan media.

7) Media didiamkan selama 5 hingga 15 menit agar suspensi meresap ke dalam

media.

8) Masing-masing cakram disk yang telah jenuh dengan cuka apel ditempelkan

pada media Mueller Hinton Agar (MHA) yang sudah diinokulasikan dan

sedikit ditekan dengan pinset hingga melekat sempurna.

9) Kontrol kerja positif dan negatif ditempelkan pada media Mueller Hinton

Agar (MHA) yang berbeda.

57
10) Jarak antara satu cakram dengan cakram yang lain minimal 15 mm dan

cakram yang telah ditempelkan pada permukaan media tidak boleh

dipindahkan atau digeser.

11) Media Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah ditanami cakram disk

diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam dalam posisi terbalik.

d. Pelaporan hasil

1) Adanya zona hambat dilihat dan diukur diameternya menggunakan jangka

sorong (dalam satuan mm).

2) Diameter zona hambat yang diukur yaitu daerah jernih sekitar cakram disk

(tidak ada pertumbuhan bakteri) diukur dari ujung satu keujung yang lain

melalui tengah-tengah cakram disk.

F. Unit Analisis Data

Unit analisis dalam penelitian ini adalah aktivitas antimikroba cuka apel

terhadap Propionibacterium acnes dengan perlakuan empat jenis konsentrasi yaitu

12,5%, 25%, 50% dan 100% . Penelitian ini dilakukan dengan metode Kirby

Bauer dengan cara mengukur diameter zona hambat dari keempat konsentrasi.

Hasil pengukuran yang diameter zona hambat masing-masing konsentrasi yang

menujukkan aktivitas penghambatan dinyatakan dalam millimeter (mm).

58
G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik pengolahan data

Data yang terkumpul dari hasil eksperimen daya hambat cuka apel terhadap

Propionibacterium acnes , yaitu berupa diameter zona hambat yang dinyatakan

dalam millimeter (mm) dan ditabulasikan ke dalam bentuk tabel dan naratif.

2. Analisis data

Data yang telah diperoleh dan disajikan dianalisis dengan uji statistik dengan

bantuan aplikasi komputer. Data diuji dengan menggunakan uji sebagai berikut :

a. Uji Kolmogorov-Smirnov (KS) untuk menguji apakah data berdistribusi

normal atau tidak.

b. Uji One Way Anova terhadap variabel yang ada untuk mengetahui adanya

perbedaan dari berbagai konsentrasi cuka apel terhadap zona hambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes.

c. Kemudian dilanjutkan dengan uji Least Significant Deference (LSD), uji ini

digunakan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan zona hambat antara

masing-masing konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan

Propionibacterium acnes.

59
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karakteristik cuka apel

Objek dalam penelitian ini adalah cuka apel (apple cider vinegar) yang

berwarna keruh kecoklatan, beraroma khas apel dan berbau seperti tape dan

terdapat endapan di dalam cairan cuka apel. Cuka apel berwarna keruh

kecoklatan, menunjukkan bahwa cuka apel benar-benar dari apel murni yang

matang dan kematangan apel yang digunakan berpengaruh terhadap kandungan

dan manfaat cuka apel. Cuka apel memiliki aroma khas apel dan berbau seperti

tape, menunjukkan proses fermentasi secara alami dan sempurna yakni kurang

lebih 35 hari. Adanya endapan, endapan ini sering disebut “mother of vinegar”

dimana endapan merupakan biang cuka apel yang mengandung kandungan-

kandungan dari cuka apel (Ma’sum, 2006).

Dalam penelitian ini, digunakan beberapa konsentrasi yang dibuat dengan

cara melakukan pengenceran dari cuka apel konsentrasi 100% dengan

penambahan aquadest steril sehingga didapatkan konsentrasi 12,5%, 25%, dan

50%. Sedangkan bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan

murni Propionibacterium acnes ATCC 11827 yang dibiakkan dalam media NA

(Nutrient Agar). Hal yang diamati dalam penelitian ini adalah diameter zona

hambat yang terbentuk pada pertumbuhan Propionibacterium acnes karena

adanya pengaruh dari berbagai konsentrasi cuka apel.

60
2. Hasil pengamatan diameter zona hambat

Cuka apel dengan berbagai konsentrasi yaitu konsentrasi 12,5%, 25%, 50%,

dan 100% diuji untuk mengetahui daya hambat senyawa aktif dengan sifat

antibakteri yang terkandung terhadap pertumbuhan bakteri uji Propionibacterium

acnes. Penelitian dilakukan dengan dua kali replikasi pada hari yang berbeda.

Pada dua kali replikasi dilakukan sebanyak empat kali pengulangan sehingga

didapatkan hasil sebagai berikut :

a. Kelompok kontrol kerja

1) Kontrol negatif

Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aquadest steril.

Pada kontrol negatif diharapkan tidak terbentuk zona hambat. Pengukuran

terhadap kontrol negatif dengan dua kali replikasi dan empat kali pengulangan

diperoleh hasil tidak membentuk zona hambat sehingga rata-rata diameter pada

kontrol negatif dinyatakan dalam 0 mm.

2) Kontrol positif

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kloramfenikol 30

µg. Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat kontrol positif terhadap

Propionibacterium acnes dapat diamati pada tabel berikut :

61
Tabel 7
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Kontrol Positif Terhadap
Propionibacterium acnes

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 29,4 29,6 29,5
II 29,6 29,8 29,7
III 29,7 29,7 29,7
IV 29,6 29,6 29,6
Rata-rata ± SD 29,6 ± 0,1 29,7 ± 0,9 29,6 ± 0,9

Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat kontrol positif terhadap

Propionibacterium acnes sebesar 29,6 mm dengan diameter terbesar sebesar 29,8

mm dan diameter terkecil sebesar 29,4 mm.

b. Kelompok perlakuan

1) Konsentrasi 12,5%

Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada

konsentrasi 12,5% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali

pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :

62
Tabel 8
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 12,5%
Terhadap Propionibacterium acnes

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 9,2 9,4 9,3
II 9,3 8,9 9,1
III 8,9 9,2 9,05
IV 9,2 8,8 9
Rata-rata ±SD 9,2 ± 0,1 9,1 ± 0,3 9,1 ± 0,1

Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi

12,5% terhadap Propionibacterium acnes yaitu 9,1 mm dengan diameter terbesar

sebesar 9,4 mm dan diameter terkecil sebesar 8,8 mm.

2) Konsentrasi 25%

Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada

konsentrasi 25% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali

pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :

Tabel 9
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 25%
Terhadap Propionibacterium acnes

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 11,8 12,2 12
II 11,8 12,3 12,05
III 11,9 11,9 11,9
IV 12,2 13 12,6
Rata-rata±SD 11,9 ± 0,1 12,4 ± 0,4 12,1 ± 0,3

63
Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 25%

terhadap Propionibacterium acnes yaitu 12,1 mm dengan diameter terbesar

sebesar 13 mm dan diameter terkecil sebesar 11,8 mm.

3) Konsentrasi 50%

Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada

konsentrasi 50% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali

pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :

Tabel 10
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 50%
Terhadap Propionibacterium acnes

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 14,8 14,7 14,75
II 14,9 14,6 14,75
III 15,2 14,9 15,05
IV 14,9 14,8 14,85
Rata-rata±SD 15 ± 0,1 14,8 ± 0,1 14,9 ± 0,1

Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 50%

terhadap Propionibacterium acnes yaitu 14,9 mm dengan diameter terbesar

sebesar 15,2 mm dan diameter terkecil sebesar 14,6 mm.

64
4) Konsentrasi 100%

Berdasarkan hasil pengukuran diameter zona hambat cuka apel pada

konsentrasi 100% yang dilakukan sebanyak dua kali replikasi dan empat kali

pengulangan dapat diamati pada tabel berikut :

Tabel 11
Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Cuka Apel pada Konsentrasi 100%
Terhadap Propionibacterium acnes

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 18,7 19,2 18,95
II 18,6 19,2 18,9
III 18,9 19 18,95
IV 19,1 18,8 18,95
Rata-rata±SD 18,8 ± 0,2 19,1 ± 0,1 18,9 ± 0,1

Rata-rata keseluruhan diameter zona hambat cuka apel pada konsentrasi 100

% terhadap Propionibacterium acnes yaitu 18,9 mm dengan diameter terbesar

sebesar 19,2 mm dan diameter terkecil sebesar 18,6 mm.

Data berupa diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes

pada berbagai konsentrasi cuka apel yang didapatkan melalui eksperimen dengan

metode difusi dengan empat kali pengulangan dan dua kali replikasi. Berikut

adalah rekapitulasi rata-rata diameter zona hambat pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel yang dapat dilihat

pada tabel berikut :

65
Tabel 12
Rekapitulasi Rata-rata Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Propionibacterium
acnes pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel

Rata-rata Diameter Zona Hambat


Perlakuan (mm)
Rata-rata (mm)
Konsentrasi Replikasi Replikasi
I II
Kontrol negatif 0 0 0
12,5% 9,2 9,1 9,1
25% 11,9 12,4 12,1
50% 15 14,8 14,9
100% 18,8 19,1 18,9
Kontrol positif 29,6 29,7 29,6

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata diameter zona hambat

terbesar dalam penelitian ini diperoleh pada cuka apel dengan konsentrasi 100%

yaitu sebesar 18,9 mm, sedangkan rata-rata diameter zona hambat terkecil dalam

penelitian ini diperoleh dari cuka apel dengan konsentrasi 12,5% yaitu sebesar 9,1

mm.

3. Hasil analisis data

Hasil pengukuran diameter zona hambat yang telah diperoleh dari penelitian

ini kemudian dianalisa menggunakan uji statistik dengan bantuan perangkat lunak

komputer. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menguji distribusi

data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (KS). Hasil uji KS yang diperoleh

dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 2 dimana nilai asymp sig yaitu

0,313. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai signifikan α (0,05) maka nilai

asymp sig yang diperoleh > (0,05) yang menandakan data berdistribusi normal.

66
Setelah diperoleh data berdistribusi normal kemudian dilanjutkan dengan uji

One Way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan diameter zona hambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel

secara in vitro. Setelah dianalisa pada tingkat kepercayaan 95% (0,05) pada

lampiran 3 diperoleh hasil nilai sig (0,00) < α (0,05) sehingga disimpulkan bahwa

ada perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai

konsentrasi cuka apel secara in vitro.

Perbedaan pada masing-masing konsentrasi cuka apel dalam menghambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes dapat diuji dengan uji LSD (Least

Significant Difference). Pada lampiran 3, uji LSD menunjukkan adanya perbedaan

yang signifikan antara masing-masing konsentrasi terhadap seluruh konsentrasi

lainnya dengan nilai asymp sig (0,000) < 0,05.

4. Konsentrasi yang paling efektif

Konsentrasi yang paling efektif merupakan konsentrasi terkecil yang memiliki

zona hambatnya berada pada kategori sensitif atau sama jika dibandingkan

dengan kontrol positifnya, dan dalam penelitian ini konsentrasi yang zona

hambatnya memiliki kategori sensitif adalah cuka apel dengan konsentrasi 100%.

B. Pembahasan

1. Diameter zona hambat kelompok kontrol kerja

a. Diameter zona hambat kontrol negatif

Penggunaan kontrol negatif dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

apakah pelarut yang digunakan memiliki pengaruh dalam pembentukan diameter

zona hambat pada masing-masing konsentrasi cuka apel terhadap pertumbuhan

67
bakteri Propionibacterium acnes. Pada penelitian ini digunakan aquadest steril

sebagai kontrol negatif. Hasil dari pengukuran diameter zona hambat pada kontrol

negatif adalah 0 mm. Hasil tersebut menandakan bahwa aquadest steril tidak

memiliki zat aktif yang mampu menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acnes.

Penggunaan aquadest steril dalam penelitian ini didasarkan penelitian serupa

yang menggunakan aquadest steril sebagai kontrol negatif dalam penelitian daya

hambat terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes yaitu penelitian

yang dilakukan oleh Aida, dan E. Suswati (2016) dengan judulnya Uji In Vitro

Efek Ekstrak Etanol Biji Kakao (Theobroma cacao) sebagai Antibakteri terhadap

Propionibacterium acnes dan penelitian Damayanti (2014) dengan judulnya Uji

Efektifitas Bawang Putih Allium sativum Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Propionibacterium acnes Secara In Vitro. Dimana dari kedua penelitian tersebut

didapatkan kesimpulan aquadest steril tidak memiliki pengaruh dalam

pembentukan diameter zona hambat pada masing-masing konsentrasi cuka apel

terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dengan hasil zona hambat

sebesar 0 mm.

b. Diameter zona hambat kontrol positif

Pada penelitian ini digunakan kontrol positif yaitu kloramfenikol 30 µg yang

berfungsi sebagai kontrol proses kerja dalam penelitian. Kontrol positif berupa

antibiotik kloramfenikol digunakan untuk mengkonfirmasi beberapa hal

diantaranya, mengetahui bahwa isolat bakteri uji layak digunakan, daya difusi zat,

ketepatan konsentrasi suspense bakteri, validasi zona hambat yang terbentuk serta

untuk mengetahui kondisi media pertumbuhan bakteri yang digunakan. Hal ini

68
dinilai dengan melihat kemampuan antibiotik kloramfenikol berdifusi ke dalam

media dan menimbulkan penghambatan terhadap bakteri uji. Hasil dari pengujian

daya hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada kontrol positif

didapatkan rata-rata diameter zona hambat sebesar 29,6 mm. Jika dibandingkan

dengan tabel NCCLS , rata-rata diameter kontrol positif terhadap pertumbuhan

bakteri Propionibacterium acnes digolongkan dalam kategori sensitif (≥ 18 mm).

Pemilihan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif didasari karena bakteri

Propionibacterium acnes telah banyak mengalami resistensi terhadap beberapa

antibiotik selain itu antibiotik ini bersifat bakteriostatik pada bakteri gram positif

maupun gram negatif, pada konsenrasi tinggi kloramfenikol bersifat bakterisid

untuk bakteri-bakteri tertentu. kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis

protein bakteri. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50S dan menghambat enzim

peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis

protein bakteri (Rahmawati, 2015).

Penggunaan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif terhadap daya

hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes juga dilakukan pada penelitian

yang dilakukan oleh Kurnia, Wahyuni, dan Murdiyah (2016) yang berjudul

Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum americanum L.) Terhadap

Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes dimana dari penelitian tersebut,

didapatkan kesimpulan bahwa antibiotik kloramfenikol 30 µg yang digunakan

sebagai kontrol positif dikategorikan sensitif terhadap pertumbuhan

Propionibacterium acnes.

69
2. Diameter zona hambat kelompok perlakuan

a. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 12,5%

Konsentrasi 12,5% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona

hambat sebesar 9,1 mm. Diameter zona hambat terbesar dari kelompok

konsentrasi 12,5% adalah 9,4 mm sedangkan diameter zona hambat terkecil pada

konsentrasi ini adalah 8,8 mm. Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya

hambat bahan alam sebagai antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan

bahwa konsentrasi 12,5% termasuk dalam kategori sedang. Jika dibandingkan

dengan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter

pada konsentrasi 12,5% masuk ke dalam kategori resisten.

b. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 25%

Konsentrasi 25% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona

hambat sebesar 12,1 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 25% ini

lebih besar apabila dibandingkan dengan konsentrasi cuka apel 12,5%. Diameter

zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 25% adalah 13 mm sedangkan

diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 11,8 mm. Berdasarkan

penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai antibakteri, nilai rata-

rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 25% termasuk dalam kategori

kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg sebagai kontrol positif maka

nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 25% masuk ke dalam kategori resisten.

c. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 50%

Konsentrasi 50% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona

hambat sebesar 14,9 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 50% ini

lebih besar apabila dibandingkan dengan konsentrasi cuka apel 12,5% maupun

70
25%. Diameter zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 50% adalah 15,2

mm sedangkan diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 14,6

mm. Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai

antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 50%

termasuk dalam kategori kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg

sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 50% masuk

ke dalam kategori intermediet.

d. Diameter zona hambat cuka apel konsentrasi 100%

Konsentrasi 100% pada penelitian ini menunjukkan rata-rata diameter zona

hambat sebesar 18,9 mm. Rata-rata diameter zona hambat konsentrasi 100% ini

lebih besar apabila dibandingkan dengan semua konsentrasi cuka apel lainnya.

Diameter zona hambat terbesar dari kelompok konsentrasi 25% adalah 19,2 mm

sedangkan diameter zona hambat terkecil pada konsentrasi ini adalah 18,6 mm.

Berdasarkan penggolongan kekekuatan daya hambat bahan alam sebagai

antibakteri, nilai rata-rata diameter menunjukkan bahwa konsentrasi 100%

termasuk dalam kategori kuat. Jika dibandingkan dengan kloramfenikol 30 µg

sebagai kontrol positif maka nilai rata-rata diameter pada konsentrasi 100%

masuk ke dalam kategori sensitif.

Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian cuka apel sebelumnya

yang dilakukan oleh Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang

berjudul Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi

menggunakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam

penelitian tersebut didapatkan hasil rata-rata diameter zona hambat berurut-turut

71
yaitu 14 mm, 24 mm, 31 mm, dan 35,25 mm, dimana konsentrasi 12,5% sebagai

kriteria kuat dan konsentrasi 25%, 50%, serta 100% dalam kriteria sangat kuat.

Jika dibandingkan dengan tabel NCCLS, dari keempat konsentrasi tersebut,

konsentrasi 25%, 50%, dan 100% menunjukkan hasil yang sensitif terhadap

pertumbuhan Salmonella thypi. Dari keempat konsentrasi yang digunakan Reza,

Abdullah, dan Anissa menunjukkan konsentrasi 25% merupakan konsentrasi yang

paling efektif karena tidak memiliki perbedaan dengan diameter zona hambat

yang terbentuk pada kontrol kerja.

Bila dibandingkan dengan penelitian ini dapat dilihat bahwa nilai rata-rata

diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes lebih kecil

daripada keempat konsentrasi yang sama dengan penelitian Reza, Abdullah, dan

Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi . Hal ini dapat terjadi karena

kemampuan antibakteri dari cuka apel juga tergantung pada jenis bakteri uji yang

digunakan. Dimana bakteri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

bakteri gram positif dan bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif

dimana terdapat perbedaan sifat dan sel penyusun bakteri. Sehingga hal ini dapat

mempengaruhi penghambatan pertumbuhan dari kedua bakteri tersebut (Suciari,

Mastra, dan Widhya , 2017).

Perbedaan hasil rata-rata penelitian ini dengan penelitian Reza, Abdullah, dan

Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi juga dapat terjadi karena cuka apel yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan cuka apel kemasan yang dijual di

pasaran berbeda dengan cuka apel yang digunakan dalam penelitian Reza,

Abdullah, dan Anissa (2005) terhadap Salmonella typhi dimana penelitian

tersebut menggunakan cuka apel yang dibuat sendiri sehingga memungkinkan

72
hilangnya zat-zat aktif yang bersifat antibakteri akibat lamanya proses produksi,

pengemasan, maupun saat transportasi.

3. Perbedaan diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes

pada berbagai konsentrasi cuka apel

Perbedaan rata-rata diameter zona hambat masing-masing konsentrasi cuka

apel terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dapat dilihat pada

gambar berikut :

Rata-rata Diameter Zona Hambat Cuka Apel Pada Berbagai


Konsentrasi Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes

18.9
20
Diameter Zona Hambat (mm)

18 14.9
16 12.1
14
12 9.1
10
8
6
4
2
0
Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25% Konsentrasi 50% Konsentrai 100%
Perlakuan Cuka Apel

Gambar 10. Grafik Perbandingan Diameter Zona Hambat Pada Berbagai

Konsentrasi Cuka Apel

Gambar (10) menunjukkan adanya aktivitas antibakteri cuka apel terhadap

pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes berupa peningkatan zona hambat

yang berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi cuka apel dari konsentrasi

12,5% sampai 100%. Peningkatan diameter zona hambat dari konsentrasi 12,5%

ke 25% yaitu sebesar 3 mm, dari konsentrasi 25% ke 50% yaitu sebesar 2,8 mm,

73
dari konsentrasi 50% ke 100% yaitu sebesar 4 mm. Peningkatan diameter zona

hambat terbesar terjadi pada penelitian yaitu dari konsentrasi 50% ke 100%.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keempat konsentrasi cuka apel

yaitu 12,5%, 25%, 50%, dan 100% dalam penelitian ini dapat menghambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes, dimana ditandai dengan terbentuknya

diameter zona hambat pada cakram disk. Konsentrasi terendah yang mampu

menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 12,5%

sedangkan konsentrasi tertinggi yang mampu menghambat pertumbuhan

Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 100%. Diameter zona hambat yang

terbentuk pada berbagai konsentrasi cuka apel dipengaruhi oleh adanya

kandungan zat aktif. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin

besar diameter zona hambat yang dihasilkan. Pengaruh dari pengenceran

menyebabkan adanya perbedaan diameter zona hambat yang terbentuk.

Menurut Reza, Abdullah, dan Anissa (2005) dalam penelitiannya yang

berjudul Efek Antibakteri Cuka Sari Apel Terhadap Salmonella thypi

menggunakan cuka apel dengan konsentrasi 12,5%, 25% 50%, dan 100%. Dalam

penelitian tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan adanya beberapa zat yang

terkandung dalam cuka apel diantaranya asam asetat, vitamin B1, B2, asam

amino, flavonoid, tanin, saponin, pectin, potassium, dan magnesium. Kandungan

zak aktif yang bersifat sebagai antibakteri dalam cuka apel yaitu flavonoid,

saponin, tannin, dan asam asetat.

Secara umum terdapat dua macam efek yang ditimbukan antibakteri yaitu

bakteriostatik dan bakteriosid. Bakteriostatik memiliki efek menghambat atau

menghentikan pertumbuhan mikroorganisme seperti menghentikan pertumbuhan

74
fungi, sitostatika terhadap kanker. Dalam keadaan seperti ini jumlah

mikroorganisme menjadi stasioner, contoh sulfonamida, tetrasiklin,

kloramfenikol, dan eritromisin. Sedangkan bakteriosid, bersifat membunuh

mikroorganisme. Dalam hal ini jumlah mikroorganisme akan berkurang bahkan

habis, tidak dapat melakukan multifikasi atau berkembang biak, contohnya

penisilin, sefalosporin, dan neomisin (Hidayah, 2016).

Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang disintesis dari

asam piruvat melalui metabolisme asam amino. Flavonoid sebagai antibakteri

memiliki mekanisme kerja diantaranya adalah dengan mengikat protein

ekstraseluler dan protein terlarut sehingga kehilangan fungsi normalnya,

menonaktifkan enzim, serta merusak dinding sel dan membran sel bakteri.

Beberapa flavonoid bersifat bakterisidal, bakteriostatik, fungisida, serta

menonaktifkan virus lipofilik (Qomar,2018).

Saponin merupakan senyawa metabolik sekunder yang berfungsi sebagai

antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri. Mekanisme kerja saponin

sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari

dalam sel. Saponin dapat menjadi antibakteri karena zat aktif permukaannya mirip

detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel

bakteri dan merusak permebialitas membrane. Rusaknya membran sel ini sangat

mengganggu kelangsungan hidup bakteri. Saponin mengganggu membran

sitoplasma bersifat bakterisida (Riana, Zusfahair, dan Kartika, 2016).

Adanya tanin sebagai antibakteri akan mengganggu sintesa peptidoglikan

sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Keadaan yang

menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik

75
sehingga sel bakteri menjadi mati. Selain itu senyawa tanin bekerja dengan cara

mengikat dinding protein sehingga pembentukan dinding sel bakteri terhambat

(Qomar,2018).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ricke SC (2003) menunjukkan bahwa

asam asetat memiliki aktivitas antibakteri melalui mekanisme mempengaruhi

lingkungan sekitar pertumbuhan bakteri tersebut menjadi asam. Menurut Heryanti

(2014), mekanisme penghambatan antimikroba pada asam asetat disebabkan oleh

kerusakan membrane, penghambatan reaksi metabolisme yang esensial,

hemostasis pH internal sel, akumulasi anion sisa asam pada sitoplasma yang

bersifat toksik, mengganggu sistem sintesis protein atau genetik (sintesis

DNA/RNA), dan kematian mikroba karena kehabisan ATP.

Perbedaan diameter zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes

pada berbagai konsentrasi cuka apel diketahui dengan cara melakukan uji statistik

One Way Anova untuk mengetahui adanya perbedaan diameter zona hambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi cuka apel

secara in vitro. Setelah dianalisa pada tingkat kepercayaan 95% (0,05) diperoleh

hasil nilai sig (0,00) < α (0,05). Hasil tersebut menandakan bahwa ada perbedaan

zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada berbagai konsentrasi

cuka apel secara in vitro.

Perbedaan pada masing-masing konsentrasi cuka apel dalam menghambat

pertumbuhan Propionibacterium acnes kemudian diuji dengan uji LSD (Least

Significant Difference). Uji LSD menunjukkan nilai asymp sig (0,000) < 0,05

dimulai dari konsentrasi 12,5% dengan 25%, 12,5% dengan 50%, 12,5% dengan

100%, 25% dengan 50%, 25% dengan 100%, dan 50% dengan 100 sehingga

76
dapat disimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara masing-masing

konsentrasi terhadap seluruh konsentrasi lainnya.

4. Konsentrasi yang paling efektif

Diameter zona hambat yang dibentuk oleh keempat konsentrasi cuka apel

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa cuka apel dengan konsentrasi 12,5%,

25% termasuk kategori resisten, konsentrasi 50% termasuk konsentrasi

intermediate, dan konsentrasi 100% termasuk kategori sensitif jika dibandingkan

pada tabel NCCLS. Kategori resisten adalah dimana suatu zat bersifat

menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dalam skala kecil dan tidak tuntas.

Kategori intermediate adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran dari

keadaan sensitif ke keadaan yang resisten tetapi tidak resisten sepenuhnya.

Kategori sensitif merupakan suatu keadaan dimana mikroba sangat peka terhadap

antibiotik (Rohmandhani,2016).

Menurut Lestari (2014), konsentrasi yang paling efektif adalah konsentrasi

terkecil yang memiliki zona hambatnya berada pada kategori sensitif atau sama

jika dibandingkan dengan kontrol positifnya (kloramfenikol), dan dalam

penelitian ini konsentrasi yang zona hambatnya memiliki kategori sensitif adalah

cuka apel dengan konsentrasi 100%. Hal ini juga didukung bahwa cuka apel

dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat yang kuat serta memiliki

diameter zona hambat yang paling besar yang menandakan konsentrasi ini lebih

efektif dari konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50%.

77
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Rata-rata diameter zona hambat untuk masing-masing konsentrasi cuka apel

yaitu, pada konsentrasi 12,5% sebesar 9,1 mm, konsentrasi 25% sebesar 12,1

mm, konsentrasi 50% sebesar 14,9 mm, dan konsentrasi 100% sebesar 18,9

mm.

2. Ada perbedaan zona hambat pertumbuhan Propionibacterium acnes pada

berbagai konsentrasi cuka apel (apple cider vinegar) secara in vitro.

3. Konsentrasi cuka apel yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan

Propionibacterium acnes adalah konsentrasi 100%.

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian terhadap cuka apel sebagai

antibakteri dapat dilanjutkan dan lebih diperluas dengan mengujinya pada

jenis bakteri lain.

2. Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan cuka apel (apple cider

vinegar) sebagai obat alternatif terhadap infeksi yang disebabkan oleh

Propionibacterium acnes dengan cara mengaplikasikannya ke area kulit yang

terinfeksi.

3. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan kepustakaan dan

informasi untuk mahasiswa di bidang kesehatan.

78
DAFTAR PUSTAKA

Aida, dan E. Suswati. 2016. Uji In Vitro Efek Ekstrak Etanol Biji Kakao (
Theobroma cacao ) sebagai Antibakteri terhadap Propionibacterium acnes.
Journal Pustaka Kesehatan, 4(1), 127–131. Tersedia pada:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/2558. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.

Arrizqiyani, T. 2018. Uji Anti Bakteri Ekstrak Daun Jambu Biji ( Psidium
Guajava L ) Terhadap Zona Hambat Bakteri Jerawat Propionibacterium
Acnes Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Tersedia pada
: ejurnal.stikes-bth.ac.id/index.php/P3M_JKBTH/article/view/259. Diakses
pada tanggal 1 November 2018.

Atro, dan P. Nurmiati. 2015. Keberadaan Mikroflora Alami Dalam Fermentasi


Cuka Apel Hijau ( Malus Sylvestris Mill .) Kultivar Granny Smith. Jurnal
Biologi Universitas Andalas, 4(3), 158–161. Tersedia pada:
jbioua.fmipa.unand.ac.id/index.php/jbioua/article/view/163. Diakses pada 2
November 2018.

Caturryanti, D., S. Luwihana, dan S. Tamaroh. 2008. Pengaruh Varietas Apel dan
Campuran Bakteri Asam Asetat Terhadap Proses Fermentasi. Journal
AGRITECH, 28(2), 70–75. Tersedia pada:
https://jurnal.ugm.ac.id/agritech/article/view/9865. Diakses pada 31 Oktober
2018.

Damayanti, M. 2014. ( Allium sativum ) Terhadap Pertumbuhan Bakteri


Propionibacterium acnes Secara In Vitro. Skripsi. Tersedia pada:
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../1/MAYA%20DAMAYANTI-
FKIK.pdf. Diakses pada 2 November 2018.

Dumasari, R. 2009. Perbedaan Siringoma, Milium, Akne Vulgaris. USU


Repository, 1–12. Tersedia pada:
repository.usu.ac.id/handle/123456789/3403. Diakses pada 2 November
2018.

Ergina, S. Nuryanti, dan I. D. Pursitasari. 2014. Uji Kualitatif Senyawa Metabolit


Sekunder Pada Daun Palado Yang Diekstraksi Dengan Pelarut Air dan
Etanol. Journal Akad Kim. Tersedia pada :
https://media.neliti.com/media/publications/224213-uji-kualitatif-senyawa-
metabolit-sekunde.pdf . Diakses pada 5 April 2019.

Fadila, Z. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sirih ( Piper betle
L .) Terhadap Propionibacterium acne Dan Staphylococcus aureus. Skripsi.
Tersedia pada: eprints.ums.ac.id/10092/1/K100060127.pdf. Diakses pada 2
November 2018.

79
Hafsari, A. R. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas ( Pluchea
indica ( L .) Less . ) Terhadap Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat.
ISSN, (February). Tersedia pada:
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/article/view/174. Diakses pada 2
November 2018.

Harahap, dan Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.

Heryanti, Tety. 2014. Pengaruh Anti Mikroba Terhadap Pertumbuhan Mikroba.


Academia Journal. Tersedia pada:
https://academia/Pengaruh_Anti_Mikroba_Terhadap_Pertumbuhan_Mikrob
a.pdf. Diakses pada 10 Mei 2019.

Hidayah, N. 2016. Uji Aktivitas Ekstrak Metanol Klika Anak Dara (Croton
oblongus burm F.) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. Skripsi. Tersedia
pada: repositori.uin-alauddin.ac.id/1611/1/Ninin%20Didayah.%20D.pdf.
Diakses pada tanggal 2 November 2018.

Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Karim, N. U. R. M. 2011. Perbandingan Efektivitas Cuka Apel Dan Dietilpropion


Terhadap Penurunan Berat Badan Tikus ( Rattus novergicus ).Journal UI.
Tersedia pada : lib.ui.ac.id/file?file=digital/20320319-S-
Nur%20Muhammad%20Karim.pdf. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2018.

Kurnia, D. Wahyuni, dan S. Murdiyah. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi


(Ocimum americanum L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium
acnes. Jurnal Prosiding Biologi. Tersedia pada :
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/80433/F.%20KIP_Pr
osiding_Siti%20Murdiyah_Pengaruh%20Ekstrak%20Daun%20Kemangi_1.p
df?sequence=1. Diakses pada 31 Oktober 2018.

Lestari, Suasih. 2014. Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan Staphylococcus


aureus Pada Berbagai Konsentrasi Air Rebusan Daun Sirih (Piper betle L.)
Secara In Vitro. Denpasar: Tidak diterbitkan.

Liputan6. 2018. 5 Kebaikan Cuka Apel untuk Kecantikan. Liputan


6.https://liputan6.com/fashion-beauty/read/3538903/5-kebaikan-cuka-apel-
untuk-kecantikan-simak-di-sini.

Lood, Rolf. 2011. Propionibacterium acnes and its Phages. Department of


clinicukal sciences, Faculty of Medicine, Lund University: Sweden.
Tersedia pada: https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/istek/article/view/174.
Diakses pada 2 November 2018.

80
Ma’sum, Z. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Dan Waktu Fermentasi Terhadap
Kualitas Cuka Apel Manalagi. Buana Sains, 6(2), 195–198. Tersedia pada :
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/view/111. Diakses
pada tanggal 31 Oktober 2018.

Maulida, P. 2015. Aktifitas Hepatoprotektor Cuka Apel ANNA Terhadap Kadar


SGOT dan SGPT Serum Tikus Wistar yang Diinduksi Parasetamol Dosis
Toksik. Repository UJ. Tersedia pada :
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/7663/5434. Diakses pada
tanggal 1 November 2018.

Miratunnisa, L. M. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Kentang.


Sivitas Akademika Unisba , 510–516. Tersedia pada :
unisba.ac.id/index.php/farmasi/article/download/2063/pdf. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.

Mizwar, M., G. Kapantow, dan P. L. Suling. 2011. Profil Akne Vulgaris Di Rsup
Prof . Dr . R . D . Kandou. EJournal Unsrat. Tersedia pada:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3276. Diakses
pada tanggal 2 November 2018.

Movita, T. 2013. Acne Vulgaris. KalbeMed, 40(3), 269–272. Tersedia pada:


www.kalbemed.com/Portals/6/203_CME-Acne%20Vulgaris.pdf. Diakses
pada tanggal 2 November 2018.

Nugraha, A., W. Pratama, M. H. Pradipta, dan A. Machlaurin. 2017. Survei


Pengetahuan dan Pilihan Pengobatan Jerawat di Kalangan Mahasiswa
Kesehatan Universitas Jember. Jurnal Pustaka Kesehatan. Tersedia pada:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/5871. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.

Nugroho, R. A. 2013. Terapi Topikal Clindamycin Dibandingkan Dengan


Niacinamide + Zinc Pada Akne Vulgaris. Jurnal Pustaka Kesehatan.
Tersedia pada:
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/4976 . Diakses
pada tanggal 2 November 2018.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi, dan


Karya Ilmiah. Jakarta : KENCANA.

Qomar,S. 2018. Efektivitas Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Kayu Manis


(Cinnamomum burmannii) Terhadap Diameter Zona Hambat Pertumbuhan
Bakteri Stapylococcus epidermidis. Jurnal Biota. Tersedia pada:
https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/biota/article/download/1454.pdf .
Diakses pada 5 April 2019.

Radji, Makjum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi


dan Kedokteran / Penulis. Jakarta: EGC.

81
Rahmawati, M. 2015. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Dan Air
Rimpang Pacing (Costus Spiralis) Terhadap Bakteri Eschericia coli, Shigella
dysenteriae, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Stapylococcus
aureus Serta Fungi Candida Albicans. Tersedia pada:
repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/.../38025/.../MERI%20RAHMAWA
TI-FKIK.pdf. Diakses pada tanggal 2 Desember 2018.

Reza, I., U. Abdullah, dan S. Anissa. 2005. Efek Antibakteri Cuka Sari Apel
Terhadap Salmonella Typhi. Sivitas Akademika Unisba, 601–606. Tersedia
pada: repository.unisba.ac.id/handle/123456789/2992. Diakses pada tanggal
1 November 2018.

Riana, D.,Zusfahair, dan D. Kartika. 2016. Identifikasi Senyawa Metabolit


Sekunder Serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak Sebagai Antibakteri.
Molekul Journal. Tersedia pada :
https://ojs.jmolekul.com/ojs/index.php/jm/article/download/199/2016.pdf.
Diakses pada 5 April 2019.

Ricke SC. 2003. Perspectives on the use of organic acids and short chain fatty
acids as antimicrobials ; 82: 632-29 . New York: Pult Sci

Rohmandhani, Roby. 2016. Uji Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotika.


Academia Journal. Tersedia pada:
https://academia/Uji_Kepekaan_Bakteri_Terhadap_Antibiotika.pdf. Diakses
pada 6 Mei 2019.

Rusli, D., A. Arinia, dan P. Asa. 2016. Formulasi Krim Clindamycin Sebagai Anti
Jerawat Dan Uji Efektivitas Terhadap Bakteri Propionibacterium acne.
Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, (2), 5–14.Tersedia pada :
https://ejournal.jibf.ac.id/index.php/baktifarmasi/article/download/PDF/13/.
Diakses pada tanggal 2 November 2018.

Saraswati, F. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit
Pisang Kepok Kuning ( Musa balbisiana ) Terhadap Bakteri Penyebab
Jerawat ( Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Propionibacterium acne). Tersedia pada: repository. uinjkt. ac.id/dspace/...
/1/FARADHILA%20NUR%20SARASWATI-FKIK.pdf. Diakses pada
tanggal 2 November 2018.

Siregar. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC.

Suciari, L. K., N. Mastra, dan C. D. Widhya. Perbedaan Zona Hambat


Pertumbuhan Stapylococcus aureus Pada Berbagai Konsentrasi Rebusan
Daun Salam (Syzygium polyanthum) Secara In Vitro. Jurnal Meditory.
Tersedia pada : http://ejournal.poltekkes-denpasar.ac.id. Diakses pada 1 Juni
2019.

82
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Suryanto D., N. Irawati dan E. Munir. 2011. Isolation and Characterization of


Chitinolytic Bacteria and Their Potential to Inhibit Plant Pathogenic Fungi.
Jurnal Microbiology Indonesia. 5(3): 144 – 148.

Tribunnews. (2018). 5 Cara Mudah Mengatasi Masalah Jerawat Dengan


Menggunakan Cuka Apel. Tribunnews.
https://m.tribunnews.com/amp/lifestyle/2018/11/17/5-cara-mudahmengatasi-
masalah-jerawat-dengan-menggunakan-cuka-apel

Vandepitte, Verhaegen, Engbaek, P.Rohner, P.Piot,C.C.H. 2010. Prosedur


Laboratorium Dasar Untuk Bakteriologi Klinis. Jakarta :EGC.

83
Lampiran 1 : Data Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pada Berbagai
Konsentrasi Cuka Apel Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
Alamat : Jl. Sanitasi No 1 Sidakarya Denpasar Selatan
Telp : (0361) 710447 FAX : (0361) 710448
Website: www.poltekkes-denpasar.ac.id
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI JURUSAN ANALIS KESEHATAN
DATA HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

Perihal : Uji Daya Hambat


Nama Peneliti : Ni Made Dwi Adnyani
Judul Penelitian : Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan
Propionibacterium acnes Pada Berbagai Konsentrasi
Cuka Apel (Apple Cider Vinegar) Secara In Vitro
Hasil :

Tabel 1
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Cuka Apel pada Kontrol Kerja
(Kloramfenikol 30 µg) Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah
Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 29,4 29,6 29,5
II 29,6 29,8 29,7
III 29,7 29,7 29,7
IV 29,6 29,6 29,6
Rata-rata 29,6 29,7 29,6

Tabel 2
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Kontrol Negatif (Aquadest Steril)
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 0 0 0
II 0 0 0
III 0 0 0
IV 0 0 0
Rata-rata 0 0 0

84
Tabel 3
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 12,5%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 9,2 9,4 9,3
II 9,3 8,9 9,1
III 8,9 9,2 9,05
IV 9,2 8,8 9
Rata-rata 9,2 9,1 9,1

Tabel 4
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 25%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 11,8 12,2 12
II 11,8 12,3 12,05
III 11,9 11,9 11,9
IV 12,2 13 12,6
Rata-rata 11,9 12,4 12,1

85
Tabel 5
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 50%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 14,8 14,7 14,75
II 14,9 14,6 14,75
III 15,2 14,9 15,05
IV 14,9 14,8 14,85
Rata-rata 15 14,8 14,9

Tabel 6
Diameter Zona Hambat Pertumbuhan pada Cuka Apel Konsentrasi 100%
Terhadap Bakteri Propionibacterium acnes Setelah Inkubasi 24 jam.

Diameter zona hambat (mm)


Pengulangan Replikasi Replikasi Rata-rata
I II
I 18,7 19,2 18,95
II 18,6 19,2 18,9
III 18,9 19 18,95
IV 19,1 18,8 18,95
Rata-rata 18,8 19,1 18,9

86
Lampiran 2 : Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Zona Konsentrasi
Hambat
N 32 32
Mean 13.7594 2.5000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 3.68010 1.13592
Absolute .156 .170
Most Extreme
Positive .132 .170
Differences
Negative -.156 -.170
Kolmogorov-Smirnov Z .881 .962
Asymp. Sig. (2-tailed) .419 .313
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Lampiran 3 : Hasil Uji Beda

A. Hasil Uji Beda Data Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri


Propionibacterium acnes dengan One Way Anova

ANOVA
Zona Hambat
Sum of df Mean Square F Sig.
Squares
Between Groups 417.811 3 139.270 1924.525 .000
Within Groups 2.026 28 .072
Total 419.837 31

87
B. Hasil Uji LSD (Least Significant Difference) Diameter Zona Hambat
Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes

Multiple Comparisons
Dependent Variable: Zona Hambat
LSD

(I) (J) Mean Std. Sig. 95% Confidence Interval


Konsentras Konsentras Difference Error Lower Upper Bound
i i (I-J) Bound
*
25% -3.02500 .13450 .000 -3.3005 -2.7495
12,5% 50% -5.73750* .13450 .000 -6.0130 -5.4620
100% -9.82500* .13450 .000 -10.1005 -9.5495
*
12,5% 3.02500 .13450 .000 2.7495 3.3005
*
25% 50% -2.71250 .13450 .000 -2.9880 -2.4370
*
100% -6.80000 .13450 .000 -7.0755 -6.5245
*
12,5% 5.73750 .13450 .000 5.4620 6.0130
*
50% 25% 2.71250 .13450 .000 2.4370 2.9880
*
100% -4.08750 .13450 .000 -4.3630 -3.8120
*
12,5% 9.82500 .13450 .000 9.5495 10.1005
100% 25% 6.80000* .13450 .000 6.5245 7.0755
50% 4.08750* .13450 .000 3.8120 4.3630
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

88
Lampiran 4 : Tabel Disk Zone (Zone Size Interpretative Chart (National For
Clinical Laboratory Standar, 1984) Second Part óf Bench Level Procedure
Manual on Basic Bacterilogy.

DIAMETER ZONE INHIBISI


DISC
No. ANTIBIOTIK R I S
CONTENT
(Resisten) (Intermediate) (Sensitif)
1 Amikasin 30 µg <14 15-16 >17
2 Amoksiklav 20/10 µg <13 14-17 >18
Ampisilin
3 - Enterobacteriaceae 10 µg <13 14-16 >17
- Enterococcus 10 µg <16 - >17
Benzilpinisilin
-
4 - Stapylococcus 10 IU <28 >29
-
- Enterococcus 10 IU <14 >15
5 Sefalotin 30 µg <14 15-17 >18
6 Sefazolin 30 µg <14 15-17 >18
7 Sefotaksim 30 µg <14 15-22 >23
8 Seftazidim 30 µg <14 15-17 >18
9 Seftriakson 30 µg <13 14-20 >21
Sefuroksim sodium,
10 30 µg <14 15-17 >18
sefamandol
11 Kloramfenikol 30 µg ≤12 13-17 ≥18
12 Siprofloksasin 5 µg <15 16-20 >21
13 Klindamisin 2 µg <14 15-20 ≥21
14 Kotrimoksazol 25 µg <10 11-15 ≥16
15 Eritromisin 15 µg <13 14-22 >23
16 Gentamisin 10 µg <12 13-14 >15
17 Asam nalidiksat 30 µg <13 14-18 ≥19
18 Nitrofurantion 300 µg <14 15-16 >17
19 Norfloksasin 10 µg <12 13-16 >17
20 Oksasilin 1 µg <10 10-12 >13

Pieperasilin
21 - P.aeruginosa <17 - >18
100 µg
- Batang Gram neg <17 18-20 >21
100 µg

89
DIAMETER ZONE INHIBISI
DISC
No. ANTIBIOTIK I S
CONTENT R
(Resisten) (Intermediate) (Sensitif)
22 Sulfonamida 300 µg <12 13-16 >17
23 Tetrasiklin 30 µg <14 15-18 >19
24 Tobramisin 10 µg <12 13-14 >15
25 Tripmetoprim 5 µg <10 11-15 ≥16
Vankomisin
26 - Stapylococcus 30 µg - - >15
- Enterococcus 30 µg <14 15-16 >17
Sumber : (Vandepitte,2010)

90
Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Etik

91
Lampiran 6 : Alat dan Bahan Penelitian
A. Alat

Erlenmeyer Pipet ukur Ball pipet

Tabung reaksi Rak tabung reaksi Mikropipet (SOCOREX)

Blue tip dan yellow tip Gelas ukur Beaker glass

Autoklaf (TOMY SX-


Spiritus Petri disk steril
500)

92
Inkubator Neraca analitik
Mc Farland densitometer
(ESCO Isotherm) (RADWAGAS220.R2)

Bio Safety Cabinet (BSC- Jangka sorong


1800 II B2-X)

B. Bahan

Cuka apel Aquadest steril Media Nutrient Agar


(NA)

Bakteri Media Mueller Hinton Standar Mc Farland


Propionibacterium acne Agar (MHA) 0,5%
ATCC 11827

93
Larutan NaCl fisiologis Cakram disk kosong Cakram disk
0,85% Kloramfenikol
(OXOID)

Alkohol 70% Swab kapas steril Aluminium foil

94
Lampiran 7 : Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Pembuatan Media MHA (Mueller Hinton Agar)

Penimbangan serbuk MHA (Mueller Serbuk MHA dilarutkan menggunakan


Hinton Agar) sebanyak 38 gram aquadest yang kemudian disterilkan di
untuk membuat 1 Liter media MHA. dalam autoklaf.

Media MHA yang sudah diautoklaf Media MHA yang sudah dituangkan
dan siap dituangkan pada petri disk pada petri disk.
steril.

Pengenceran Cuka Apel

Cuka apel dengan konsentrasi 100% Pemipetan cuka apel dengan volume
yang akan diencerkan dengan yang ditentukan secara aseptis di
aquadest steril menjadi 12,5%, 25%, dalam alat Bio Safety Cabinet.
dan 50%.

95
Pemipetan aquadest steril dengan Berbagai konsentrasi cuka apel setelah
volume yang ditentukan secara aseptis dilakukan pengenceran
di dalam alat Bio Safety Cabinet.

Pembuatan Suspensi Bakteri Propionibacterium acnes

Satu sampai tiga ose koloni P. acnes Koloni bakteri disuspensikan ke dalam
diambil dari biakan murni. tabung yang berisi 5 mL larutan NaCl
fisiologis 0,85%.

Suspensi diukur dengan Mc Farland Suspensi bakteri P.acnes 0,5 %


densitometer.

96
Uji Daya Hambat Pada Media MHA (Mueller Hinton Agar)

Cakram disk kosong direndam Cakram disk kosong direndam ke dalam


dalam cuka apel pada setiap aquadest steril sebagai kontrol negatif
konsentrasi hingga meresap ke
dalam cakram disk.

Cakram disk antibiotik Swab kapas steril dicelupkan ke dalam


Kloramfenikol 30 µg sebagai suspensi bakteri kemudian diperas
kontrol positif dengan cara menekannya pada dinding
tabung bagian dalam.

Swab kapas yang telah berisi Masing-masing cakram disk yang telah
suspensi diinokulasikan pada media jenuh dengan cuka apel ditempelkan
Mueller Hinton Agar (MHA) pada media Mueller Hinton Agar
hingga menutupi seluruh (MHA).
permukaan media.

97
Kontrol positif dan negatif Media MHA yang telah ditanami
ditempelkan pada media Mueller cakram disk diinkubasi pada suhu 37ºC
Hinton Agar (MHA) yang berbeda. selama 24 jam dalam posisi terbalik.

Zona hambat dilihat dan diukur


diameternya menggunakan jangka
sorong (dalam satuan mm).

98
Lampiran 8 : Zona Hambat Cuka Apel dengan Berbagai Konsentrasi

terhadap Propionibacterium acnes Pada Media MHA

Replikasi I

Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25%

Konsentrasi 50% Konsentrasi 100%

Kontrol positif Kontrol negatif

99
Replikasi II

Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 25%

Konsentrasi 50% Konsentrasi 100%

Kontrol positif Kontrol negatif

100

Anda mungkin juga menyukai