Anda di halaman 1dari 39

BAB IX

HUKUM HUMANITER

A. Pengantar: Antara Hukum Hak Asasi Manusai, Hukum Humaniter dan


Hukum Pidana Internasional.
Pada bagian-bagian sebelumnya telah banyak dibahas hal-hal yang berkaitan
dengan aspek-aspek hak asasi manusia. Sebagai pelengkap materi hak asasi manusia
yang merupakan komponen utama buku ini, pada bagian ini akan disampaikan secara
singkat aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum humaniter. Karena hanya bersifat
sebagai pelengkap, bagian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
lengkap dan rinci untuk setiap aspek hukum humaniter.
Berbeda dengan hak asasi manusia yang penekanan penerapannya lebih pada
situasi damai atau bukan situasi perang, hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya
dalam situasi perang. Dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa
bersenjata di mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling
bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan
angkatan bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum
humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu
memberikan perlindungan kemanusiaan kepada mereka yang berada dalam situasi yang
lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya, yang berada dalam situasi lemah
adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak penguasa, sedangkan dalam
konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi lemah adalah penduduk sipil serta
“combatant” yang menjadi korban perang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum humaniter merupakan kelanjutan hukum hak asasi manusia yang diterapkan
pada waktu perang.
Aspek pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter serta
prosedur dan mekanisme penegakannya erat terkait dengan hukum pidana internasional.
Tentu saja tidak semua pelanggaran hak asasi manusia dapat dimasukkan dalam lingkup
hukum pidana internasional. Sebaliknya semua pelanggaran hukum humaniter (atau
yang biasa disebut dengan kejahatan perang) termasuk dalam lingkup hukum pidana
internasional. Hanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu saja yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, yaitu genosida dan kejahatan

373
terhadap kemanusiaan, yang keduanya dikategorikan sebagai “gross violation of human
rights” atau pelanggaran berat hak asasi manusia.
Banyak definisi yang diberikan oleh para ahli mengenai hukum pidana
internasional, yang tentu saja berbeda dengan hukum pidana nasional. Pada bagian ini
tidak akan dibahas berbagai pendapat ahli mengenai definisi hukum pidana
internasional tersebut. Cukup dikatakan di sini bahwa ruang lingkup hukum pidana
internasional mencakup tindak-tindak pidana yang dapat dikatakan sebagai kejahatan
internasional serta proses penegakannya melalui mekanisme nasional dan internasional
berikut intrumen-instrumen hukum yang berlaku untuk setiap kejahatan internasional
yang dimaksud.
Kejahatan perang dan pelanggaran berat hak asasi manusia (yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida) merupakan sebagian dari kejahatan internasional
yang berada dalam lingkup hukum pidana internasional. Masih ada banyak kejahatan
internasional lainnya yang dapat dikatakan sebagai bagian dari isi hukum pidana
internasional. Sekalipun bersifat internasional, dalam kenyataannya hukum pidana
internasional tidak dapat dilepaskan sama sekali dari hukum pidana nasional. Dalam hal
ini Bassiouni, seorang pakar ternama hukum pidana internasional, mengatakan bahwa
hukum pidana internasional adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional
dan aspek-aspek hukum internasional dari hukum pidana nasional “... criminal law
aspects of international law and international aspects of national criminal law...”.
Beberapa kejahatan lainnya (selain genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang) yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional dan masuk dalam
ruang lingkup hukum pidana internasional antara lain: perbudakan, pembajakan laut dan
udara, terorisme, dan kejahatan narkoba. Untuk kejahatan-kejahatan internasional
tersebut umumnya berlaku yurisdiksi universal di mana setiap negara boleh melakukan
tindakan hukum atau mengadili pelaku dari kejahatan-kejahatan dimaksud sekalipun
misalnya kejahatan tersebut dilakukan oleh bukan warga negaranya serta tidak
menimbulkan kerugian langsung terhadap negaranya.

B. Hukum Humaniter
(1) Pengantar

374
Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa
yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum
humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik,500 yaitu
bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar negara. Cabang
hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik, hukum laut, hukum
perjanjian internasional dan hukum angkasa.
Dibandingkan dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum
humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang
mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan
internasional, namun substansinya banyak mengatur hal-hal yang menyangkut individu,
atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup
unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara atau
organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan bagi
orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan.
Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata,
yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-
internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional
diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap
dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing dan perlawanan terhadap
rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata internasional.
Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat non-
internasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah negara.
Dalam situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya bersifat internal (non-
internasional) bisa berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat internasional.
Hal yang terakhir ini disebut dengan internasionalisasi konflik internal
(internationalized internal conflict). Namun demikian tidak semua sengketa bersenjata
internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada campur tangan dari negara lain.

500
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

375
Dalam hal ini perlu dilihat dahulu sejauh mana keterlibatan atau turut campurnya negara
lain tersebut.501
Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk sengketa bersenjata, baik itu
perang konvensional, perang non-konvensioanl dan perang modern. Bahkan pada situasi
tertentu, hukum humaniter juga dapat diberlakukan dalam kerangka perang yang oleh
sebagian negara disebut sebagai perang melawan terorisme.

(2) Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter


Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan
(distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara
kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu
pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran
(penduduk sipil).
Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-
prinsip lain, yaitu:
1. Prinsip kepentingan militer (military necessity). Berdasarkan prinsip ini pihak
yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan
demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka
penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu: “prinsip yang
diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer
dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang
digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan
keuntungan militer yang diharapkan.”502

501
Mengenai hal ini lebih jauh bisa dilihat perbandingan antara putusan yang dibuat oleh ICJ
dalam kasus keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di Nikaragua
dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.
502
Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of the
Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.

376
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi
penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat
yang luar biasa kepada pihak musuh.
2. Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang
bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering
juga disebut dengan “unnecessary suffering principle”.
3. Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam
perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat,
perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
4. Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik
bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu
pihak dengan “combatant” serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek
militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer
yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting dalam
prinsip-prinsip hukum humaniter. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan
sedikit lebih rincil tentang prinsip pembedaan yang dimaksud.

(3) Tujuan Hukum Humaniter


Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk
melarang perang, tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang.503
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).

503
Mohammed Bedjaoui, Modern Wars: Humanitarian Challenge. A Report for the Independent
Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books Ltd., London, 1986, hlm. 2, yang
mengatakan : "…Hal ini justru menyangkut hukum humaniter yang berusaha untuk menerapkan
seperangkat aturan-aturan hukum untuk memanusiawikan konflik bersenjata dan melindungi para korban
pada situasi kekerasan bersenjata." ("...his is precisely the concern of humanitarian law which seeks to
apply a set of legal rules to humanize armed conflicts and protect the victims of situations of armed
violence").

377
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh
ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini,
yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.504

(4) Sumber-Sumber Hukum Humaniter


Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional
(International Court of Justice) sumber-sumber hukum internasional terdiri dari :
a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat
internasional;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima
sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
d. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk
menentukan supremasi hukum.
Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik,
maka sumber-sumbernya adalah juga sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat
(1) Statuta ICJ tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas sumber-sumber
hukum humaniter yang dimaksud, dengan penekanan kepada sumber yang pertama,
yaitu perjanjian-perjnajian internasional.

C. Perjanjian Internasional
Berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum
humaniter dapat diklasifikasikan dalan Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.
Walaupun demikian, pengklasifikasian seperti itu saat ini sudah tidak lagi begitu ketat,
artinya bahwa suatu instrumen hukum internasional bisa saja dia berisikan ketentuan-

504
Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva,
1987, hlm. 2., yang menyatakan bahwa : “Hukum Perang bertujuan untuk membatasi dan menghapuskan
sejauh mungkin kekejaman perang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum yang dapat menyeimbangkan
antara kepentingan militer dan kemanusiaan”.

378
ketentuan mengenai Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag sekaligus. Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang,
sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai alat dan cara berperang. Kedua
ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter. Berikut ini akan
diuraikan beberapa instrumen pokok yang masing-masing termasuk dalam Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa.

(1) Hukum Den Haag


Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur cara
dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi
Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang
diadakan pada tahun 1907. Di samping itu ada beberapa instrumen hukum humaniter
yang dibuat setelah dua konferensi perdamaian tersebut yang juga termasuk dalam
kelompok Hukum Den Haag, misalnya Konvensi-konvensi tentang Senjata
Konvensional tahun 1980.

(a) Konvensi-Konvensi Den Haag 1899


Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi
Perdamaian I di Den Haag (18 Mei - 29 Juli 1899).505 Dalam konferensi perdamaian ini
dihasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan
adalah:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Deklarasi tentang larangan penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru
yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah
dan membesar dalam tubuh manusia).

505
Dietrich Schindler & Jirí Toman, The Laws of Armed Conflicts, Henry Dunant Institute,
Geneva, 1981, hlm. 49.

379
2. Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan
peledak dari balon.
3. Deklarasi tentang larangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan
gas-gas cekik dan beracun.

(b) Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1907


Konvensi-Konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian Ke II yang
merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I Tahun 1899 di Den Haag.506
Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag
adalah sebagai berikut :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
a. Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
b. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang
dilengkapi dengan Regulasi (Peraturan) Den Haag;
c. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang Netral
dalam Perang di darat;
d. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Peperangan;
e. Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
f. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
g. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
h. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang
di laut;
i. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut;

506
Gagasan pertama untuk mengadakan Konperensi Perdamaian ke II dikemukakan oleh Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat John Hay tanggal 21 Oktober 1904 dengan membuat Surat Edaran yang
ditujukan kepada wakil-wakil Amerika yang diakreditasi di Negara-negara yang meratifikasi Final Act
1899. Pada waktu itu Rusia sedang berperang dengan Jepang. Namun demikian Tsar Russia menyatakan
keinginannya untuk menyelenggarakan konferensi tersebut. Setelah mendengar berita ini Presiden
Amerika Serikat Theodore Roosevelt mempersilakan Tsar untuk bertindak sebagai penyelenggara;

380
j. Konvensi XII tentang Pembentukan suatu Mahkamah Internasional tentang
Penyitaan contraband perang (barang selundupan untuk kepentingan
perang);
k. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut.

Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Den


Haag pada tahun 1907 itu, F. Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu
berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang
merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan
Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal
22 Februari 1919, berlaku pula bagi Hindia Belanda. Dan ketika terjadi pengakuan
kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27
Desember 1949, maka Hak dan Kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik
Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk
Perjanjian KMB di Den Haag. Kemudian, pada saat susunan Negara mengalami
perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan,
ketentuan peralihan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 telah menjadi
jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika Undang-Undang
Dasar 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal II
Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oleh Undang-Undang
1945 termasuk ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag 1907 tersebut
Beberapa dari Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 yang penting untuk
diketahui adalah:
(i) Konvensi III Den Haag 1907 Mengenai Cara Memulai Permusuhan
Konvensi ke III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan yang judul
lengkapnya adalah “Convention relative to the Opening of Hostilities”, mengatur
mengenai cara memulai perang.
Dengan melihat isi pasal tersebut maka Pihak Peserta Agung mengakui bahwa
perang diantara mereka tidak akan dimulai tanpa adanya:
1. Pernyataan perang yang disertai alasan, atau

381
2. Dengan suatu ultimatum yang disertai dengan dengan pernyataan perang
apabila ultimatum itu tidak dipenuhi.
Berkaitan dengan ketentuan konvensi Den Haag ke III tahun 1907 tersebut di atas,
sering timbul salah pengertian bahwa hukum humaniter hanya berlaku dalam perang
yang dimulai dengan adanya pernyataan perang atau ultimatum. Berkaitan dengan ini
pula, Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa 1949 mengatur bahwa Konvensi berlaku untuk
semua peristiwa perang yang diumumkan atau sengketa bersenjata lainnya yang
mungkin timbul antara dua pihak atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh
salah satu pihak. Dengan demikian jelas bahwa hukum humaniter berlaku untuk setiap
sengketa bersenjata, baik yang dimulai dengan deklarasi perang atau ultimatum maupun
yang tidak dimulai dengan deklarasi perang atau ultimatum.

(ii) Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
Pada Konvensi IV Den Haag 1907 ini untuk pertama kali ditatur mengenai syarat-
syarat seseorang dikatakan sebagai kombatan, meskipun kemudian syarat-syarat ini
kemudian disempurnakan di dalam Protokol I tahun 1977.

(2) Hukum Jenewa


Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas
beberapa perjanjian pokok yaitu empat Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang masing-
masing adalah:
1. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention
for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces
in the Field);
2. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for
the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked
Members of Armed Forces at Sea);
3. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang
(Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War);

382
4. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu
Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in
Time of War).
Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 dilengkapi
dengan 2 Protokol Tambahan yakni :
1. Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur tentang
Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol Additional
to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections
of Victims of International Armed Conflict), selanjutnya disebut Protokol I;
dan
2. Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang
Mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-
Internasional (Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August
1949, And Relating to the Protections of Victims of Non-International Armed
Conflict) selanjutnya disebut Protokol II.
Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai
lambang. Sebagaimana diatur di dalam Protokol ini, negara-negara telah setuju tentang
adanya lambang pelindung yang baru selain lambang palang merah dan bulan sabit
merah. Lambang yang ketiga adalah berlian merah (“red diamond”).

D. Perjanjian-Perjanjian Lainnya
Di samping Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag, juga terdapat perjanjian-
perjanjian lainnya sebagai sumber-sumber hukum humaniter antara lain :
Deklarasi St. Petersburg tentang Penghapusan Penggunaan Proyektil yang Bersifat
Mudah Meledak yang Beratnya Di bawah 400 Gram di waktu perang (Declaration
Renouncing the Use, in Time of War, of Explosive Projectile under 400 Grammes
Weight), November - 11 Desember 1868.
Pada tahun 1863 telah ditemukan sejenis peluru, yang tutupnya meledak apabila
mengenai benda yang keras. Berdasarkan perkembangan tersebut, maka Tsar Alexander
II dari Russia kemudian memprakarsai Konferensi di kota St. Petersburg yang kemudian
menghasilkan deklarasi tersebut di atas. Tujuan Deklarasi itu adalah untuk melarang

383
penggunaan, baik oleh militer maupun marinir, tiap proyektil yang beratnya di bawah
400 gram.507
Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-benda Budaya pada waktu
Sengketa Bersenjata (Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of
Armed Conflict), 14 Mei 1954.
Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti gereja, museum dan
sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan militer, semaksimal mungkin
harus dilindungi dari serangan. Pasal 19 Konvensi508 ini mewajibkan setiap pihak yang
terlibat dalam sengketa bersenjata untuk melindungi benda budaya, meskipun sengketa
tersebut tidak bersifat internasional. Konvensi ini membedakan antara dua rezim
perlindungan, yaitu benda-benda budaya yang berada dibawah perlindungan umum dan
yang berada di bawah perlindungan khusus. Masing-masing memiliki tanda atau
lambang pelindung yang berbeda.
Di masa damai, setiap negara harus mempersiapkan perlindungan benda budaya di
wilayahnya dari akibat sengketa bersenjata. Untuk itu, benda budaya dapat dilindungi,
antara lain dengan cara mendirikan bangunan khusus, dengan merencanakan
pemindahannya ke tempat yang lebih aman, atau dengan menandainya dengan tanda
pelindung yang telah diterima secara internasional.
Benda-benda budaya yang berada di bawah rezim perlindungan khusus adalah
benda-benda budaya yang sudah terdaftar dalam “Daftar Internasional Benda Budaya di
bawah Perlindungan Khusus” yang berada di bawah pertanggungjawaban Direktur
Jenderal Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan (atau dalam bahasa
Inggris disingkat UNESCO). Adapun benda-benda budaya yang termasuk dalam
kategori ini antara lain Candi Borobudur dan Taj Mahal.

507
Dietrich Schindler & Jiri Toman (Ed), op. cit. hlm. 96.
508
Konvensi ini dilengkapi dengan Regulasi tentang Pelaksanaan Konvensi Perlindungan Benda
Budaya dalam Sengketa Bersenjata (Regulations for the Execution of the Convention for the Protection of
Cultural Property in the Event of Armed Conflict) serta Protokol tentang Perlindungan Benda Budaya
dalam Sengketa Bersenjata (Protocol for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Conflict); di mana keduanya dilampirkan pada Konvensi Den Haag tahun 1954 yang ditanda tangani pada
tanggal 14 Mei tahun 1954 di Den Haag. Protokol II tentang Perlindungan Benda Budaya dalam Sengketa
Bersenjata (Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in
the Event of Armed Conflict) pada Konvensi Den Haag tahun 1954, diadopsi pada tanggal 26 Maret tahun
1999, di Den Haag. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Den Haag tahun 1954 ini dengan Keppres
Nomor 234 Tahun 1966.

384
E. Kebiasaan Internasional
Kebiasaan-kebiasaan Internasional berkembang dengan terbentuknya Konvensi
Jenewa tahun 1864 yaitu:
Kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang
melambangkan bendera masing-masing pihak, akhirnya menjadi penggunaan lambang
Palang Merah pada rumah sakit dan sarana transportasi medis, tentara yang luka dan
sakit merupakan tawanan perang dan diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa III
tahun 1949 (di mana awalnya juga disebutkan dalam Konvensi tahun 1864); dokter dan
rohaniawan harus dilindungi dan dihormati; penduduk sipil bukan sasaran serangan.
Aturan-aturan hukum kebiasaan internasional ditemukan dalam sejumlah
perjanjian, seperti Konvensi Den Haag IV tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan
perang didarat, Undang-undang Lieber tahun 1863, dan Deklarasi St. Petersburg tahun
1868.509 Pembenaran berlakunya hukum kebiasaan internasional dicontohkan dalam
putusan Mahkamah Pengadilan Internasional dalam putusannya mengenai Aktifitas
Militer dan Paramiliter dalam dan terhadap kasus Nicaragua (Case concerning Military
and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua), tahun 1986. Dalam putusan
terhadap kasus tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa eksistensi hukum kebiasaan
internasional mempunyai posisi yang sama dengan hukum perjanjian, sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 38 ayat (b) Statuta Mahkamah.510 Bahkan eksistensi hukum
kebiasaan juga merupakan aturan alternatif, jika ternyata diantara para pihak tidak ada
perjanjian yang mengikat.
Hukum kebiasaan tersebut tetap penting untuk melindungi para korban dari
masalah-masalah yang tidak diatur dalam perjanjian, ketika suatu sengketa melibatkan
para pihak yang tidak terikat dalam perjanjian atau para pihak yang telah membuat
beberapa reservasi terhadap perjanjian-perjanjian tersebut. Dalam hal seperti ini,
mahkamah-mahkamah kejahatan internasional menghendaki penerapan aturan-aturan

509
L.R. Pena, "Customary International Law And Protocol I : An Analysis of Some Provisions",
dalam Christophe Swinarski (Ed), Studies And Essays On International Humanitarian Law And Red
Cross Principles, International Committee of the Red Cross/Martinus Nijhoff Publishers, 1984, hlm. 210.
510
Claude Brudenlein, "Custom in International Humanitarian Law" dalam International Review of
the Red Cross, Nomor 285, Nopember-Desember, 1991, hlm. 580.

385
kebiasaan internasional. Di samping itu, dalam beberapa sistem hukum, aturan-aturan
kebiasaan dapat diterapkan secara langsung dalam hukum domestik.511
Pada saat ini telah dihasilkan suatu dokumen hasil penelitian yang diprakarsai oleh
ICRC tentang hukum kebiasaan internasional dari hukum humaniter. Dalam penelitian
ini telah diidentifikasikan berbagai kebiasaan yang telah dipraktekkan oleh negara-
negara untuk hukum humaniter. Hukum kebiasaaan internasional yang dimaksud
disarikan dari berbagai putusan mahkamah nasional dan internasional serta ketentuan-
ketentuan hukum nasional dari masing-masing negara (baik yang tercantum dalam
undang-undang maupun manual-manual dari Angkatan Bersenjata dari negara-negara
yang diteliti).

F. Prinsip-Prinsip Hukum Umum


Berbeda dengan perjanjian dan kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum
umum jarang disebut dalam instrumen-instrumen hukum humaniter maupun dalam
penjelasan-penjelasan resminya. Prinsip-prinsip hukum umum yang menurut Statuta
Mahkamah Pengadilan Internasional diartikan sebagai prinsip-prinsip yang terdapat
dalam semua sistem hukum, memang tidak banyak yang dapat diformulasikan secara
tepat untuk menjadi operasional. Namun demikian, prinsip-prinsip hukum umum ini
seperti antara lain prinsip itikad baik (good faith), prinsip pacta sunt servanda dan
prinsip proporsional, yang telah menjadi kebiasaan internasional dan telah dikodifikasi,
juga berlaku dalam sengketa bersenjata dan dapat bermanfaat dalam melengkapi dan
menerapkan hukum humaniter.512
Dalam hukum humaniter, yang lebih penting daripada prinsip-prinsip hukum
umum yang disebut tadi antara lain asas-asas umum dari hukum humaniter; antara lain
prinsip pembedaan (distinction principle),513 asas kepentingan militer (military

511
Marco Sassöli & Antoine A Bouvier, How Does Law Protect In War, (Cases, Documents And
Teaching On Contemporary Practice In International Law), ICRC, 1999, hlm. 109.
512
Sebagaimana dikutip dalam Rina Rusman, “Prinsip-prinsip Hukum Internasional Yang
Berkaitan Dengan HHI”, (selanjutnya disebut Rina Rusman I), dalam Proceeding Penataran HHI & HAM
Kerjasama FH Unand & ICRC, Bukittinggi, 16-20 April 2001.
513
Prinsip ini telah dikodifikasikan dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Den Haag 1907, Pasal 13
Konvensi Jenewa I dan II tahun 1949, Pasal 4 Konvensi Jenewa III, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 48
Protokol I. Penjelasan lebih lanjut lihat Bab VI tentang prinsip pembedaan.

386
necessity)514 dan prinsip tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu
(unnecessary suffering principle).515
Prinsip-prinsip tersebut memang tidak didasarkan pada suatu sumber hukum
internasional yang terpisah, tetapi pada perjanjian-perjanjian, kebiasaan dan prinsip-
prinsip hukum umum. Di satu pihak, prinsip-prinsip ini berasal dari aturan-aturan yang
ada yang secara jelas menyatakan substansi dan artinya. Di lain pihak, prinsip-prinsip
tersebut mengilhami aturan-aturan yang ada, mendukung, memperjelas dan harus
digunakan untuk menafsirkan aturan-aturan itu.516 Suatu pengakuan tegas tentang
keberadaan dan contoh-contoh penting dan khusus dari prinsip-prinsip umum hukum
humaniter adalah pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary consideration
of humanity) dan Marten Clause. 517

G. Putusan Mahkamah dan Doktrin


Putusan mahkamah, baik pengadilan nasional maupun internasional, dapat
dijadikan sumber hukum humaniter. Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh
putusan mahkamah dimaksud yang telah ikut memberikan inspirasi bagi
pengkodifikasian terhadap hukum humaniter.
(1) Putusan Pengadilan Nasional
Salah satu contoh putusan pengadilan nasional yang cukup terkenal adalah
putusan Pengadilan Amerika Serikat tentang Kasus Letnan Calley (1971). Kasus ini
dimulai ketika Kompi Charlie (salah satu peleton yang bertugas di Vietnam Selatan),
melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan pelanggaran terhadap hukum dan
kebiasaan perang di Desa May Lai tanggal 16 Maret tahun 1968. Dalam putusan tingkat
pertama, Letnan Calley dijatuhi hukuman 20 tahun kurungan, kerja paksa dan dipecat

514
Prinsip ini telah dikodifikasikan antara lain dalam Pasal 57 ayat (3) Protokol I.
515
Prinsip ini telah dikodifikasikan antara lain dalam Pasal 23 (e) Regulasi Den Haag dan Pasal 35
ayat (1) Protokol I.
516
Marco Sassöli & Antoine Bouvier, op. cit.
517
Pembahasan tentang Marten Clause, Lihat Pembahasan Sub. D (2) Dibawah ini.

387
dari dinas militer. Kemudian, dalam tingkat banding, Letnan Calley dijatuhi hukuman
selama 10 tahun kurungan.518

(2) Putusan Mahkamah Internasional


Putusan mahkamah internasional juga merupakan salah satu sumber hukum yang
penting, selain sumber-sumber hukum lainnya. Ada beberapa putusan mahkamah
internasional yang dapat dijadikan contoh, sebagai sumber hukum dalam kategori
putusan Mahkamah Internasional.

(a) Mahkamah Nuremberg dan Tokyo (1945)


Mahkamah Nuremberg dan Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang
Jerman dan Jepang yang melakukan kejahatan perang selama Perang Dunia II. Dalam
salah satu putusannya, Mahkamah Nuremberg mengemukakan bahwa kejahatan
terhadap hukum internasional dilakukan oleh pribadi dan bukan kesatuan yang abstrak
(abstract entities) dan hanya dengan menghukum individu-individu yang melakukan
kejahatan tersebut, ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat ditegakkan.

(b) Putusan International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) tahun
1993 & International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) tahun 1994519
Contoh putusan ICTY dan ICTR adalah putusan-putusan terhadap kasus Tadic
dan Akayesu. Dalam kasus Tadic, Tribunal memutuskan ukuran untuk menyatakan
telah terjadi suatu sengketa bersenjata, yaitu berdasarkan intensitas konflik dan struktur
dari kekuatan pihak-pihak yang bersengketa. Berkaitan dengan struktur kelompok
bersenjata yang terorganisir, maka menurut Tribunal harus dibedakan antara sengketa
bersenjata internal (non-international armed conflict) dengan tindakan kebanditan

518
Walaupun pada kenyataannya, akhirnya Letnan Calley hanya dikenakan hukuman kurungan
selama 3 hari karena campur tangan politik di bawah kepemimpinan Presiden Richard Nixon; lihat
Michael Bilton & Kevin Sim, Four Hours in May Lai, Penguin Books, USA, 1992; Telford Taylor,
Nuremberg and Vietnam : An American Tragedy, 2nd Printing, Bantam Books, New York, 1971, hlm.
123-153; Michael Walzer, Just and Unjust Wars, Penguin Books, USA, 1992; Gretchen Kewley,
Humanitarian Law in Armed Conflict, Australian Red Cross, Australia, 1993, hlm. 52., Marco Sassöli &
Antoine Bouvier, op. cit., hlm. 785-789.
519
ICTY atau International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ini disebut juga dengan
Mahkamah Ad Hoc Den Haag, karena diselenggarakan di Den Haag. Adapun ICTR atau International
Criminal Tribunal for Rwanda, disebut juga dengan Mahkamah Ad Hoc Rwanda.

388
(banditry) atau tindakan yang tidak terorganisir dan tindakan huru-hara jangka pendek
(short-live insurrections).520

H. Doktrin
Salah satu doktrin atau ajaran/pendapat sarjana terkenal yang berkaitan dengan
hukum humaniter adalah Klausula Martens.521 Klausula Martens mula-mula terdapat
dalam Pembukaan Konvensi Den Haag ke-II tahun 1899522 mengenai hukum dan
kebiasaan perang di darat. Adapun isi klausula tersebut, secara lengkap, adalah sebagai
berikut :
“Until a more complete code of laws of war is issued, the High Contracting
Parties think it right to declare than in cases not included in the Regulations
adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and
empire of the principles of international law, as they result from the usages
established between civilized nations, from the laws of humanity and the
requirement of the public conscience.”
Secara ringkas, klausula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum
mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan
yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang
terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari hukum
kemanusiaan; serta dari hati nurani masyarakat (dictated of public conscience).523

520
http://www.un.org/icty/ Dalam kasus Prosecutor v Dusco Tadic IT-94-1, loc. cit. Pembahasan
mengenai kasus Tadic dan Akayesu, lihat Marco Sassöli dan Antoine A Bouvier, op. cit. hlm. 1333 dan
1334. Lihat juga Pembahasan lebih detail terhadap beberapa putusan kedua Mahkamah tersebut, dalam
Bab XV.
521
Tulisan ini disarikan dari Rupert Ticehurst, “The Martens Clause and the Laws of Armed
Conflict”, International Review of the Red Cross, Nomor 317, Maret-April, 1997, hlm. 125-134.
522
Selanjutnya, klausula ini juga terdapat di dalam berbagai macam perjanjian yang mengatur
mengenai sengketa bersenjata, dengan versi yang serupa, misalnya terdapat dalam Pembukaan Konvensi
Den Haag ke-IV 1907, Pembukaan Protokol II, Pembukaan Conventional Weapons Convention 1980.
Klausula ini semakin terlihat penting karena secara substantif tercantum dalam klausula pasal-pasal --
bukan lagi dalam Pembukaan-- sebagaimana terdapat dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol I (Konvensi I : Pasal 63; Konvensi II : Pasal 62; Konvensi III : Pasal 142; Konvensi IV : Pasal
158 dan Pasal 1 ayat (2) Protokol I).
523
Dalam makalah Rupert Ticehurst, putusan hakim Shahabuddeen (salah seorang hakim
Mahkamah Pengadilan Internasional-ICJ) dalam kasus mengenai legalitas penggunaan senjata nuklir
tahun 1996, menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum internasional yang dimaksud dalam Martens
Clause diderivasikan dari satu atau lebih dari tiga sumber yang berbeda, yaitu : usages (kebiasaan) yang
terbentuk antara bangsa-bangsa yang beradab (mengacu pada established custom dalam Pasal 1 ayat(2)

389
Klausula Martens sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan
internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam
pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga mengacu pada prinsip-
prinsip kemanusiaan (principles of humanity) dan hati nurani masyarakat. Kedua istilah
ini harus sepenuhnya dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa
dengan “laws of humanity” (hukum kemanusiaan). Ingat bahwa versi pertama Klausula
Martens yang terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den Haag II 1899 mengacu pada
“laws of humanity”; sedangkan versi berikutnya (dalam Protokol Tambahan I) mengacu
pada ungkapan “principles of humanity”.

I. Prinsip Pembedaan
(1) Pengertian
Prinsip pembedaan (distinction principle) merupakan suatu asas penting dalam
hukum humaniter, yaitu suatu prinsip yang membedakan atau membagi kategori
penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik
bersenjata dalam dua golongan, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil
(civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang
tidak turut serta dalam permusuhan.
Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas
pelaksanaan (principles of application), yakni:
(i) Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan
dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.
(ii) Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh
dijadikan objek serangan, walaupun dalam hal pembalasan (reprisals).
(iii)Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk
menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.

Protokol I); laws of humanity (mengacu pada principles of humanity dalam Pasal 1 ayat(2); dan
persyaratan adanya public conscience (mengacu pada ungkapan the dictates of public conscience dalam
Pasal 1 ayat (2) Protokol I). Rupert Ticehurst, loc. cit.

390
(iv) Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan
yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-
tidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi
sekecil mungkin.
(v) Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa meskipun prinsip pembedaan ini lebih
ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau
konflik bersenjata, prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan
bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Jadi, secara
normatif, prinsip ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang
dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya kejahatan
perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja.

(2) Perkembangan Pengaturan Prinsip Pembedaan


Perkembangan pengaturan mengenai prinsip pembedaan, diatur dalam Konvensi
Den Haag tahun 1907, Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol I. Uraian mengenai
perkembangan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

(a) Konvensi Den Haag 1907


Dalam kaitannya dengan Prinsip Pembedaan, walaupun istilah distincion principle
tidak secara eksplisit dapat ditemukan dalam Konvensi Den Haag 1907, tetapi secara
implisit ketentuan mengenai hal itu terdapat dalam Konvensi Den Haag IV mengenai
Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, khususnya dalam Lampirannya (Annex), yang
diberi judul Regulasi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang (Regulations respecting
Laws and Customs of War). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan yang terdapat
dalam Regulasi Den Haag ini dianggap sangat penting, sehingga sering dijuluki the
Soldier’s Vadamecum.
Pasal 1 Regulasi Den Haag mengatur tentang kualifikasi dari belligerent.
Ketentuan ini menegaskan bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya
berlaku bagi tentara (army), melainkan juga bagi milisi dan korp sukarela, sepanjang

391
memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) sampai dengan (4) dari
Pasal 1 tersebut. Bahkan, dalam paragrap selanjutnya dari pasal itu, juga ditegaskan
bahwa di negara-negara di mana milisi dan korps sukarela merupakan tentara atau
merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korp relawan itu dimasukkan ke dalam
sebutan tentara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 itu. Dengan kata lain, tidak ada
perbedaan mengenai hukum, hak, dan kewajibannya bagi milisi dan korp sukarela
dengan tentara.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Regulasi Den Haag menyatakan mengenai golongan
penduduk yang disebutkan dalam Pasal tersebut yang dinamakan levee en masse.
Mereka dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai ‘levee en masse’, yaitu:
(a) penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
(b) secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan;
(c) tidak memiliki waktu untuk mengatur diri sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1;
(d) membawa senjata secara terbuka;
(e) menghormati hukum dan kebiasaan perang;
Satu hal yang perlu diperhatikan mengenai levee en masse ini bahwa sifatnya yang
spontan, di mana penduduk dari wilayah yang belum diduduki tersebut tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk mengorganisasikan perlawanannya. Dengan
demikian maka levee en masse ini juga bersifat temporal, artinya jika penduduk yang
bersangkutan akan melanjutkan perlawanannya maka mereka harus mengorganisir
dirinya. Dalam hal yang demikian maka mereka dikategorikan sebagai milisi atau korps
sukarela (volunteers corps) yang juga termasuk ke dalam golongan kombatan.524
Dalam hubungan ini Frits Kalshoven memberikan catatan bahwa pada tahun-tahun
ketika ketentuan di atas dirumuskan, istilah ‘belligerent’ digunakan untuk menunjukkan
bukan saja suatu negara yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata, melainkan juga
orang-perorangan yang sekarang kita kenal dengan sebutan ‘combatant’. Ia juga
menyatakan bahwa masuknya ketentuan tentang levee en masse (demikian pula militia

524
Dalam perkembangan berikutnya pada Konvensi Jenewa 1949 kemudian dikenal suatu
kelompok yang disebut gerakan perlawanan yang terorganisir (organized resistance movement).

392
dan volunteer corps) merupakan cerminan dari praktik yang terjadi pada Abad ke-19,
khususnya pada masa perang Perancis-Jerman tahun 1870.
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapatlah dikatakan bahwa yang
digolongkan sebagai ‘pihak-pihak yang boleh turut serta secara aktif dalam
pertempuran’ atau Kombatan menurut Regulasi Den Haag, adalah: tentara (army);
milisi dan korp sukarelawan (militia and volunteer corps) dengan memenuhi
persyaratan tertentu; dan levee en masse.
Satu catatan yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Regulasi Den Haag
adalah ketentuan Pasal 3 yang menyatakan istilah non-combatants dalam ketentuan ini
bukanlah dalam arti civilians, melainkan bagian dari angkatan bersenjata yang tidak
turut bertempur (seperti dokter militer dan rohaniwan). Meskipun mereka tidak turut
bertempur, kalau mereka tertangkap oleh musuh, mereka juga berhak memperoleh
status sebagai tawanan perang.

(b) Konvensi Jenewa 1949


Ketentuan dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, mulai dari Konvensi I sampai
dengan IV,525 tidak menyebut istilah combatant, melainkan hanya menentukan ‘yang
berhak mendapatkan perlindungan’ (Pasal 13 Konvensi I dan II) dan ‘yang berhak
mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang’ bila jatuh ke tangan musuh (Pasal 4
Konvensi III). Mereka yang disebutkan dalam pasal-pasal itu harus dibedakan dengan
penduduk sipil.
Kesimpulan yang dapat diambil dari ketentuan Pasal 13 Konvensi I dan II, serta
Pasal 4 Konvensi III di atas adalah, meskipun dalam pasal-pasal tersebut tidak dengan
tegas disebutkan adanya penggolongan combatants dan civilians, ketentuan dalam
Konvensi-konvensi Jenewa di atas jelas pada dasarnya dimaksudkan atau ditujukan
untuk diberlakukan bagi kombatan. Di samping itu, ketentuan dalam Konvensi-
konvensi Jenewa di atas juga memasukkan satu katagori baru ke dalam golongan
kombatan, yaitu golongan yang dinamakan Gerakan Perlawanan yang Terorganisir
(Organized Resistance Movement). Termasuk juga dapat digolongkan demikian adalah
Levee en masse.

525
Penyebutan nama-nama Konvensi dengan angka Romawi semata-mata untuk memudahkan atau
efisiensi penulisan belaka, bukan nama resmi Konvensi yang dimaksud.

393
(c) Protokol I Tahun 1977
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa tahun 1949, istilah combatant baru dapat
ditemukan penyebutannya secara eksplisit dalam Protokol I (Pasal 43 ayat (2). Hal ini
tidaklah mengherankan karena Protokol ini merupakan penyempurnaan baik terhadap
Konvensi Den Haag 1907, khususnya Konvensi IV, maupun terhadap Konvensi-
konvensi Jenewa 1949. Prinsip Pembedaan dalam Protokol ini diatur pada Bab II yang
berjudul combatant and prisoner-of-war status.
Ketentuan Pasal 43 di atas secara tegas menentukan bahwa mereka yang dapat
digolongkan sebagai Kombatan adalah mereka yang termasuk ke dalam pengertian
angkatan perang/angkatan bersenjata (armed forces) suatu negara. Yang dikategorikan
ke dalam pengertian angkatan bersenjata adalah ‘mereka yang memiliki hak untuk
berperan-serta secara langsung dalam permusuhan’. Mereka itu terdiri atas: angkatan
bersenjata yang terorganisir (organized armed forces), kelompok-kelompok atau unit-
unit yang berada di bawah suatu komando yang bertanggung-jawab atas tingkah laku
bawahannya, bahkan apabila pihak tersebut diwakili oleh suatu pemerintah atau
penguasa yang tidak diakui oleh pihak lawan, dengan ketentuan bahwa angkatan
bersenjata itu harus tunduk kepada suatu peraturan disiplin tentara yang sesuai dengan
ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata.
Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas hendak membedakan antara
kombatan (combatants) dan penduduk sipil (civilians), adalah ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 48.
Ketentuan Pasal-pasal tersebut diatas merupakan aturan dasar dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat terjadi sengketa bersenjata.
Karenanya, Protokol memandang perlu untuk, sekali lagi, menegaskan bahwa dalam
rangka menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan objek-
objek sipil, maka pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara
penduduk sipil dan kombatan dan juga antara objek-objek sipil dan militer, serta harus
mengarahkan operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer.
Ketentuan penting lain dari Protokol ini yang berkenaan dengan prinsip
pembedaan terdapat dalam Pasal 44. Pasal ini menegaskan bahwa setiap kombatan yang

394
jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan (falls into the power of and adverse party)526
harus diperlakukan atau akan memperoleh status sebagai tawanan perang.

J. Perkembangan-Perkembangan Baru Hukum Humaniter


(1) Perkembangan dalam Protokol 1977, Peraturan Tentang Pembedaan Antara
Obyek Sipil Dan Sasaran Militer (Civilian Objects & Military Objectives)
Pada awalnya hukum perang lebih banyak memberikan perhatian kepada para
kombatan serta sarana dan metode yang mereka pergunakan dalam peperangan. Hanya
sedikit saja ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai penduduk sipil. Namun,
melihat fakta bahwa sejak Perang Dunia I, korban di pihak penduduk sipil meningkat
dengan pesat (sampai 80%), maka sejak itu pula ketentuan-ketentuan hukum perang
memberikan perhatian yang signifikan terhadap perlindungan penduduk sipil dan
kerugian-kerugian yang mereka alami akibat suatu peperangan.
Namun, perlu pula dipahami bahwa usaha-usaha untuk membedakan obyek sipil
dan sasaran militer dalam suatu sengketa bersenjata, sebenarnya telah sejak lama
dilakukan dan dituangkan dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

(2) Menurut Protokol I 1977


Protokol I merupakan suatu perjanjian yang paling komprehensif yang mengatur
tentang perlindungan penduduk sipil. Aturan-aturan tentang penduduk sipil ini terdapat
dalam Bagian IV Protokol. Dalam Pasal 48 yang mengatur tentang aturan-aturan dasar
(basic rules) bagi penduduk sipil, maka kita dapat membedakannya dengan ketentuan-
ketentuan yang terdapat sebelumnya. Maksudnya, Protokol ini telah memberikan suatu
istilah (dan sekaligus definisi-definisinya), yang sebelumnya tidak dipergunakan dalam
hukum Den Haag. Istilah tersebut yaitu : ‘penduduk sipil’ (‘civilian population’), ‘orang
sipil’ (‘civilian/individual civilian’), serta ‘obyek-obyek sipil’ (‘civilian objects’) di satu
pihak; serta ‘kombatan’ (‘combatant’) dan ‘Sasaran Militer’ (‘military objectives’) di
lain pihak. Dengan memperhatikan pasal di atas, maka kita dapat melihat bahwa istilah

526
Pengertian ‘falls into the power of an adverse Party’ ini perlu diberikan penjelasan bahwa yang
dimaksud oleh istilah itu adalah bukan dalam arti kekuasaan orang-perorangan atau kesatuan militer yang
menangkap, melainkan yang dimaksud adalah ‘the enemy Power’;

395
dan definisi tentang ‘obyek sipil’ dan ‘sasaran militer’ nanti diterima oleh negara-negara
untuk pertama kalinya dalam suatu naskah perjanjian yang telah berlaku (enter into
force), yaitu dalam Protokol I 1977.
Pengertian mengenai objek atau sasaran militer diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Protokol I tahun 1977 sebagai berikut: military objectives are limited to those objects
which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to
military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the
circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage. Dengan demikian
yang dimaksud objek militer adalah objek-objek yang karena sifat, lokasi, tujuan atau
penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif kepada suatu aksi militer dan yang
penghancurannya sebagian atau seluruhnya, penahanan atau penetralannya pada situasi
dan saat tertentu memberikan suatu keuntungan militer yang nyata.
Dengan demikian berarti suatu objek sipil, misalnya rumah sakit atau rumah
ibadah, apabila penggunaannya memberikan suatu konribusi militer yang efektif kepada
suatu operasi militer maka ia pada saat itu ia menjadi objek militer. Apabila tidak
digunakan untuk tujuan militer lagi maka objek tersebut tidak lagi merupakan objek
militer.
Berkaitan dengan definisi objek militer ini, Amerika Serikat mempunyai definisi
yang berbeda di mana dalam definisi Ameriak Serikat ditambahkan kata-kata military
sustainability setelah kata-kata military action. Dengan demikian menurut Amerika
Serikat yang dapat dijadikan sasaran militer definisinya lebih luas, karena tidak hanya
segala sesuatu yang memberikan kontribusi efektif kepada suatu aksi militer, tetapi juga
memberikan kontribusi efektif kepada daya tahan militer.

(3) Ketentuan Tentang Perlindungan Masyarakat (Civil Defence)


Salah satu ketentuan baru yang terdapat dalam Protokol I adalah mengenai suatu
organisasi baru yang diperkenalkan dalam lingkup hukum humaniter. Organisasi itu
disebut dengan “Civil Defence” (Perlindungan Masyarakat – Disingkat "Linmas").527 Di
Indonesia organisasi ini dulu dikenal dengan nama Hansip.

527
Istilah Pertahanan Sipil dalam Protokol I tahun 1977, mempunyai makna yang berbeda dengan
istilah Pertahanan Sipil sebagaimana yang digunakan di Indonesia, khususnya yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 20/1982 jo. Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1972 tentang Penyempurnaan
Organisasi Pertahanan Sipil dan Organisasi Perlawanan Rakyat dan Keamanan Rakyat dalam Rangka
Penertiban Pelaksanaan Sistim Hankamrata dan Keppres No. 56 Tahun 1972 tentang Penyerahan

396
Apabila kita mendengar istilah “Linmas”, maka ingatan kita melayang pada kurun
waktu beberapa tahun ke belakang. Kita ingat bahwa petugas ‘Hansip’ di Indonesia
dapat bertugas melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial seperti membantu mengamankan
tempat-tempat umum, membantu mengatur lalu-lintas, menjaga keamanan kampung,
mengamankan daerah yang terkena bencana alam; maupun perkerjaan-pekerjaan yang
‘tidak bersifat sosial’ seperti ikut serta membantu TNI dalam menghalau musuh negara.
Dapat dilihat bagaimana kompleks dan beratnya tugas ‘Hansip’ di Indonesia pada saat
itu. Dilihat dari sudut hukum humaniter, maka tugas ‘Hansip’ pada waktu itu memiliki
fungsi ganda; yakni ‘Hansip’ yang memikul fungsi non-tempur dan sekaligus
menyandang fungsi tempur. Tugas ganda ini menyiratkan bahwa status ‘Hansip’ juga
ganda; ia dapat berstatus sebagai penduduk sipil bila ia sedang melakukan pekerjaan-
pekerjaan sosialnya, namun ia juga dapat menyandang status sebagai kombatan pada
waktu sedang membantu TNI melawan musuh. Namun dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan dan
Keamanan Negara, maka kita dapat berharap bahwa fungsi ganda tersebut tidak akan
ada lagi di Indonesia ini. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 tersebut, kemudian
mendapatkan perubahan melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1988, yang kemudian
dirubah lagi melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Istilah ‘civil defence’ sering digunakan, namun sering timbiul salah pengertian
(misleading). Misleading ini disebabkan karena digunakannya kata defence atau
“pertahanan” dalam civil defence. Kata ‘pertahanan’ mempunyai konotasi yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang dekat dengan pengertian ‘melawan,
bertempur, berperang’ dan semacamnya. Oleh karena itu organisasi ini sering
ditafsirkan sebagai organisasi pertahanan, padahal sebenarnya organisasi ini adalah
organisasi yang bertugas untuk melindungi penduduk sipil terhadap akibat bencana
alam mapun akibat peperangan. Sehingga untuk mencegah salah paham, maka sudah
ada usul agar istilah civil defence ini diubah menjadi “civil protection” (Perlindungan
Masyarakat).
Pasal 61 Protokol I tahun 1977 mengatur tentang tugas-tugas Linmas, yaitu :
(a) Warning;

Pembinaan Organisasi Pertahanan Sipil dari Departemen Pertahanan Keamanan kepada Departemen
Dalam Negeri.

397
(b) Evacuation;
(c) Management of shelters;
(d) Management of blackout measures;
(e) Rescue;
(f) Medical services, including first aid, and religious assistance;
(g) Fire-fighting;
(h) Detection and marking of danger areas;
(i) Decontamination and similar protective measures;
(j) Provision of emergency accommodation and supplies;
(k) Emergency assistance in the restoration and maintenance of order in distressed
areas;
(l) Emergency repair of indispensable public utilities;
(m) Emergency disposal of the dead;
(n) Assistance in the preservation of objects essential for survival;
(o) Complementary activities necessary to carry out any of the tasks mentioned
above, including, but not limited to, planning and organization.
Melihat ruang lingkup dan arti pentingnya dari tugas-tugas Linmas tersebut maka
dalam Protokol I diatur ketentuan yang berkenaan dengan perlindungan khusus bagi
organisasi dan personil Linmas yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Bab IV
Protokol I tersebut. Aturan tentang Linmas demikian lengkapnya karena para personil
Linmas dalam melaksanakan tugasnya dapat secara langsung terancam bahaya. Jadi
bahaya yang mengancam para personil Linmas lebih besar jika dibandingkan dengan
bahaya yang mengancam penduduk sipil pada umumnya, karena justru pada saat
keadaan bahaya itulah mereka mulai bekerja. Oleh karena itu, agar dapat melaksanakan
tugasnya secara efektif, maka mereka harus diberikan suatu perlindungan khusus.
Artinya disini, perlindungan umum528 yang diberikan kepada penduduk sipil tidak
cukup bagi petugas Linmas, sekalipun mereka termasuk dalam golongan penduduk
sipil.

528
Perlindungan umum yang diberikan kepada Linmas diatur dalam Pasal 62. Disebutkan bahwa
organisasi Linmas beserta personilnya akan dihormati (respected) dan dilindungi (protected) sesuai
dengan ketentuan dalam Protokol.

398
Perlu diketahui bahwa saat ini telah terbentuk International Civil Defence
Organization (ICDO), yaitu organisasi internasional tentang Linmas yang terdiri dari
sejumlah anggota Linmas dari berbagai negara.529

K. Beberapa Perkembangan di Luar Protokol


(1) Ketentuan tentang Ranjau Darat Landmines
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam hukum humaniter adalah
perubahan-perubahan yang mendasar mengenai larangan penggunaan ranjau darat
(landmines). Pada saat ini telah ada suatu perjanjian internasional yang melarang secara
total penggunaan ranjau darat. Perjanjian internasional yang dimaksud dikenal dengan
nama Ottawa Convention.
Semangat utama dari Ottawa Convention ini adalah untuk meniadakan penderitaan
yang diakibatkan oleh ranjau darat, yang oleh sebagian dikatakan sebagai senjata buta
(artinya senjata yang tidak dapat membedakan antara kombatan maupun penduduk
sipil). Dan pada kenyataannya, ranjau darat ini lebih banyak memakan korban penduduk
sipil daripada kombatan. Tidak hanya itu, pada saat ini ada jutaan ranjau yang masih
aktif dan tersebar dibekas daerah konflik, meskipun konflik bersenjata sudah lama
berakhir didaerah tersebut. Suatu penelitian yang dilakukan oleh suatu organisasi
dibidang ranjau mengatakan bahwa setiap 20 menit, jatuh korban seorang di dunia yang
kena ranjau darat.

(2) Perkembangan tentang Hukum Perang di Laut


Hukum perang di laut diatur dalam Konvensi ke-III Den Haag tahun 1899.
Konvensi ini merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian ke-I (The First Hague Peace
Conference), yang diadakan di Den Haag, yang lengkapnya berjudul “Convention for
the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the Geneva Convention of 22
August 1864” (Konvensi tentang Adaptasi Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 bagi Peperangan Di Laut).

529
Lihat keterangan tentang ICDO dalam http://www.icdo.org

399
Selanjutnya dalam Konferensi Perdamaian ke-II (The Second Hague Peace
Conference), di Den Haag tahun 1907, maka aturan-aturan tentang hukum perang di laut
berkembang menjadi lebih lengkap. Hasil-hasil dari Konferensi Perdamaian II ini
menghasilkan sejumlah konvensi yang ‘bersinggungan’ dengan hukum perang di laut,
yaitu Konvensi Den Haag VI, VII, VIII, IX, X, XI, dan Konvensi ke-XIII.
Perkembangan paling mutakhir tentang hukum perang di laut ini akhirnya dicapai pada
bulan Juni tahun 1994 yaitu dengan terbentuknya “Pedoman San Remo tentang Hukum
Internasional yang dapat diterapkan pada Konflik Bersenjata di Laut” (San Remo
Manual on International Law applicable to Armed Conflicts at Sea). Terbentuknya
Pedoman ini melalui perjalanan yang panjang sejak tahun 1987. Pedoman ini
dipersiapkan selama periode 1987-1994 oleh suatu kelompok para ahli hukum dan
kelautan yang berpartisipasi dalam kapasitas pribadi mereka. Pertemuan-pertemuan
yang diadakan disebut dengan “Round Tables”. Round Table pada tahun 1987
diselenggarakan oleh Institute International of Humanitarian Law yang bekerja sama
dengan Institute of International Law dari Universitas Pisa (Italia) dan Universitas
Syracuse (Amerika Serikat). Pertemuan selanjutnya diadakan di Madrid (1988) yang
menghasilkan suatu Rencana Aksi untuk merancang "pernyataan kembali yang
mutakhir" (contemporary restatement) tentang hukum perang di laut. Rencana Aksi
Madrid ini kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Bochum (1989), Toulon (1990),
Bergen (1991), Ottawa (1992), Jenewa (1993) dan akhirnya di Livorno (1994).
Adapun tujuan dibentuknya Pedoman ini adalah untuk membentuk pernyataan
kembali yang mutakhir (contemporary restatement) mengenai hukum internasional
yang diterapkan pada sengketa bersenjata di laut. Pedoman ini tidak saja berisi tentang
perkembangan yang progresif dalam hukum perang di laut, namun banyak pula
ketentuannya yang masih diakui dan diterapkan.
Di samping terbentuknya Pedoman San Remo tersebut, dihasilkan pula suatu
penjelasan (explanation) yang dipersiapkan oleh suatu kelompok inti (core group) yang
anggotanya juga telah bertindak sebagai pelapor (rapporteurs). Terbentuknya
Explanation ini tidak luput dari peran ICRC yang telah menyelenggarakan tiga
pertemuan para rapporteurs, yang hasilnya menjadi dasar terbentuknya Explanation

400
tersebut.530 Oleh karena itu Pedoman San Remo harus dibaca pula bersama-sama
dengan Explanation, untuk mendapatkan pemahaman yang sepenuhnya.531
Pada saat ini San Remo Manual telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia
dan telah disosialisasikan dan dilatihkan secara luas dikalangan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Tidak hanya itu, bahkan San Remo Manual juga
telah dijadikan salah satu dokumen yang ada pada setiap kapal perang TNI AL

(3) Perlindungan Lingkungan Alam Dalam Sengketa Bersenjata


Salah satu perkembangan baru dalam hukum humaniter adalah adanya
perlindungan yuridis terhadap lingkungan alam dalam sengketa bersenjata.
Perlindungan lingkungan alam ini diatur dalam Protokol I, yaitu dalam Pasal 35 ayat (3)
dan Pasal 55. Dalam kedua pasal ini, secara eksplisit telah terdapat kata-kata
‘lingkungan alam’ (natural environment) sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal
berikut ini :532
Pasal 35 ayat(3) :
‘Dilarang menggunakan sarana-sarana atau metode-metode berperang yang
ditujukan atau yang diharapkan akan mengakibatkan kerusakan yang hebat,
meluas dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam.’
Pasal 55 :
‘Di dalam peperangan, kepedulian harus ditingkatkan untuk melindungi
lingkungan alam terhadap kerusakan yang meluas, berjangka panjang dan hebat.
Perlindungan ini meliputi larangan penggunaan sarana dan metode berperang
yang dimaksudkan atau diharapkan dapat mengakibatkan kerusakan demikian
terhadap lingkungan alam dan karena itu akan merugikan kesehatan atau
kelangsungan hidup penduduk.

530
Louise Doswald-Beck, San Remo Manual on International Law Applicable to Armed Conflict at
Sea, IRRC, No. 309, November-December 1995 (selanjutnya disebut Louise Doswal-Beck I) , hlm. 587.
531
Ibid.
532
Walaupun ke dua pasal ini sama-sama mencantumkan kata-kata ‘lingkungan alam’, namun
tidaklah berarti bahwa keduanya mempunyai pengertian yang sama. Menurut “Kelompok Biotope”, Pasal
35 ayat (3) lebih ditujukan untuk mengatur tentang larangan penggunaan senjata yang mengakibatkan
penderitaan yang tidak perlu; sedangkan Pasal 55 ditujukan terhadap perlindungan terhadap penduduk
sipil;

401
Serangan-serangan terhadap lingkungan alam dengan cara tindakan balasan
adalah dilarang’.
Sebenarnya, para ahli telah lama berdebat tentang apakah perlindungan
lingkungan dalam sengketa bersenjata ini telah diatur dalam hukum humaniter. Dengan
berdasarkan pada isi redaksional yang secara eksplisit telah menyisipkan kata-kata
‘lingkungan alam’ sebagaimana tertera di atas, maka ada sekelompok ahli yang
menyetujui bahwa perangkat yuridis yang melindungi lingkungan alam dalam sengketa
bersenjata pertama kali diatur pada tahun 1977, yaitu dalam Protokol I.
Berkaitan dengan perlindungan lingkungan alam ini terdapat beberapa frasa atau
istilah yang perlu mendapatkan perhatian. Istilah-istilah yang dimaksud disini adalah
istilah kerusakan lingkungan yang bersifat “meluas, berjangka waktu lama dan dahsyat”
(widespread, long-term and severe). Protokol sendiri tidak memberikan batasan atau
definisi tentang arti istilah-istilah yang dipergunakan tersebut. Oleh karena itu, kita
harus melihat pendapat para ahli sebagaimana telah dikemukakan dalam sidang-sidang
konferensi pada waktu penyusunan Protokol.
Sebagaimana dicantumkan dalam Penjelasan Protokol, maka pengertian dari
beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut :
(a) ‘widespread’: mengacu kepada suatu daerah yang luasnya tidak kurang dari
beberapa ratus kilometer persegi;
(b) ‘long-term’: mengacu kepada suatu jangka waktu yang lamanya sepuluh tahun
atau lebih;
(c) ‘severe’: meliputi kerusakan yang lebih dari sekedar berjangka waktu lama
yang kemungkinan dapat membahayakan kelangsungan hidup penduduk sipil
atau yang akan menyebabkan resiko terhadap masalah-masalah kesehatan
mereka.

L. Ketentuan tentang Keterlibatan Anak dan Statusnya dalam Sengketa


Bersenjata533

533
Rina Rusman, “Beberapa Perkembangan Hukum Humaniter Internasional”, (selanjutnya disebut
Rina Rusman II), Makalah, dibawakan pada Advanced Training for IHL, Makassar, 29 Oktober 2001.
Makalah yang sama dibawakan dalam Kursus Lanjutan Diseminator Prinsip-prinsip Dasar & HPI,
Jakarta, 23 Juli 2001.

402
Menurut hukum humaniter, anak-anak tidak boleh dijadikan sasaran dalam
pertempuran. Dengan demikian, anak-anak tidak dapat direkrut menjadi
tentara/kombatan. Apabila terjadi pelibatan anak dalam sengketa bersenjata, maka yang
bertanggung jawab adalah komandannya dan atau orang yang merekrutnya. Berkaitan
dengan hal tersebut, hal yang penting adalah batas umur perekrutan anak dan status
anak apabila ia berada di tangan musuh.
Anak-anak, dalam Protokol Tambahan I memang tidak ditetapkan mempunyai hak
untuk diperlakukan sebagai tawanan perang, tetapi disebutkan harus memperoleh
keuntungan perlindungan khusus yang ditetapkan dalam Hukum Jenewa, terlepas
apakah berstatus tawanan perang atau tidak.534 Protokol Tambahan I memuat ketentuan
yang mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa untuk berusaha agar anak-anak
dibawah 15 tahun tidak ambil bagian langsung dalam peperangan dan harus
membebaskan mereka dari perekrutan ke dalam angkatan bersenjata mereka.535
Ditetapkan juga, bahwa dalam perekrutan orang-orang yang belum mencapai 18 tahun,
Pihak-Pihak yang bersengketa harus berusaha lebih mengedepankan mereka yang
paling tua.536
Pasal 4 ayat 3.c Protokol Tambahan II juga memuat ketentuan yang menetapkan
bahwa anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun seharusnya tidak direkrut dalam
angkatan atau kelompok bersenjata dan juga seharusnya tidak diizinkan untuk ambil
bagian dalam peperangan.
Aturan tentang perekrutan tentara anak-anak juga dimuat dalam Konvensi PBB
tentang Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights of the Child), 20 November
1989, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan semua negara-negara di dunia kecuali
Somalia dan Amerika Serikat.
Berkaitan dengan batas umur rekrutmen tentara, sejumlah negara telah berusaha
mengembangkan suatu Protokol Tambahan atas Konvensi Hak Anak guna
meningkatkan umur minimal untuk keikutsertaan dalam peperangan dan perekrutan
menjadi 18 tahun. Semenjak tahun 1995, ICRC mendukung inisiatif tersebut dan

534
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa Pasal 77 (3) jo (5) dan Pasal 78.
535
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa Pasal 77 ayat (2).
536
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa Pasal 77 ayat (2).

403
berpartisipasi dalam proses penyusunannya. Pada tanggal 25 Mei 200, teks Protokol
Opsional ini telah selesai dan disetujui dengan nama Optional Protocol to the
Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict.

M. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter


Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat
diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya.
Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme
yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.
Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-
ketentuan hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan
sejumlah mahkamah kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang
permanen. Makamah kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses
pengadilan hukum pidana. Namun demikian, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
ditegaskan bahwa negara juga dapat dikenakan kewajiban membayar ganti rugi atau
kompensasi seperti dikenal dalam sistem hukum internasional umumnya.537 Hal tersebut
diatur dalam Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan
Pasal 148 Konvensi IV Jenewa 1949.
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan
bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada
mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanismew
yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang
artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan
menggunakan instrumen hukum nasional. Apablia mekanisme nasional tidak dapat
dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional
menjadi opsi berikutnya.

537
Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV
Jenewa 1949.

404
(1) Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban
bagi Pihak Peserta Agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan (… to
respect and to ensure the respect …) terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian
diperkuat dengan Pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang
melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasal-pasal yang terdapat pada
Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan
Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan,
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah
meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang
nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan
atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana
penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan
nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku
akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan
menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Di lingkungan TNI, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran
terhadap hukum humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk
menghukum (Ankum) berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana
yang dimaksud pada ketentuan Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan
langsung dari prajurit yang bersalah tidak mengambil tindakan, maka Komandan yang
diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud. Begitu seterusnya
sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di samping menggunakan
sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan/atau sipil) juga
dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-
ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak
berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang
berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui
pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen).

405
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain
mengenai mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui
Komisi Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi
Pencari Fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal
52 Konvensi I; Pasal 53 Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV
yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi
terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.538

(2) Mekanisme Internasional


Di samping mekanisme nasional, penegakan hukum humaniter juga dapat
dilaksanakan melalui mekanisme internasional. Ada dua bentuk mekanisme
internasional yang dikenal sampai saat ini, yaitu mehkamah atatau tribunal yang bersifat
ad hoc, dan mahkamah yang bersifat permanen.

(a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang


Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia
II, yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg
dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah
Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini
bersifat ad hoc atau sementara yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka
waktu dan kasus tertentu saja.

(b) Mahkamah Nuremberg


Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg
Charter) atau biasa juga disebut Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya,
mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada 24 orang tersangka. Ada tiga
kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Nuremberg,
yaitu; kejahatan terhadap perdamaian, (crimes against peace), kejahatan perang (war
crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

538
Penjelasan lebih lanjut mengenai Komisi ini lihat didalam sub-Bab A-3 Bab XII.

406
Di samping memberikan penjelasan terminologi atas tiga bentuk kejahatan yang
menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg, Pasal 6 Piagam Nuremberg juga
menegaskan tanggung jawab individu dari pelaku kejahatan-kejahatan dimaksud. Ini
berarti bahwa pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya
tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian setiap pelaku
ketiga kejahatan tersebut diatas tidak dapat kemudian menggunakan dalih tanggung
jawab negara (state responsibility).
Mengenai hal yang terakhir, kemudian di dalam Pasal 7 Piagam Mahkamah,
disebutkan dengan tegas bahwa kedudukan resmi dari si pelaku, baik sebagai kepala
negara atau sebagai pejabat yang bertanggung jawab di dalam institusi pemerintah, tidak
dapat dijadikan alasan untuk membebaskan yang bersangkutan dari tanggung jawabnya
atau untuk mengurangi hukuman yang dijatuhkan.

(c) Mahkamah Tokyo


Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East) dibentuk
pada tanggal 19 Januari 1946. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk
melalui Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Mahkamah Tokyo dibentuk
berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai
Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh.539 Kemudian oleh Amerika Serikat
disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam
Mahkamah Nuremberg.
Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai
yurisdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu crimes against peace; war crimes; dan crimes
against humanity.540

539
Dalam Pasal 1 Proklamasi Jenderal MacArthur dikatakan sebagai berikut :

“Akan dibentuk suatu Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) untuk
Timur Jauh (Far East) untuk mengadili orang-orang yang dituduh bertanggung jawab secara individu
atau sebagai anggota-anggota organisasi, atau dalam kapasitas keduanya, atas pelanggaran-
pelanggaran yang dikategorikan kejahatan terhadap perdamaian”.
540
Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah
Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat pada Piagam Mahkamah Nuremberg. Hanya saja
mengenai war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai conventional war crimes yang
diartikan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang.

407
(d) International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan
International Criminal Trbunal for Rwanda (ICTR)
Setelah mahkamah yang dibentuk mengadili para pelaku kejahatan perang pada
Perang Dunia II, terdapat dua mahkamah ad hoc lainnya yaitu mahkamah yang
mengadili penjahat perang di negara bekas Yugoslavia serta di Rwanda. Untuk di
negara bekas Yugoslavia dibentuk ICTY (International Criminal Tribunal for former
Yugoslavia), sedangkan untuk Rwanda dibentuk ICTR (International Criminal Trbunal
for Rwanda).
Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc (sementara/khusus), artinya
tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan
untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang
dibentuk setelah Perang Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo)
disatu sisi dengan ICTY dan ICTR di sisi lain yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan
Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang (dalam hal ini adalah AS dan
sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia
mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu :
1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations
of international humanitarian law)541
2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi Jenewa
1949.542
3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang543
4. Genosida544

541 541
Dalam Pasal 1 dikatakan sebagai berikut : “Mahkamah Internasional mempunyai kekuasaan
untuk menuntut orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang serius
terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta ini.” Penting diperhatikan pada rumusan Pasal ini yaitu
tentang batasan waktu dan tempat dilakukannya pelanggaran yang dimaksud. Lihat juga rumusan pada
Pasal 8 yang dengan tegas menyatakan : …. Yurisdiksi berdasarkan waktu dari Mahkamah Internasional
harus diperluas untuk suatu periode yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 1991.
542
Pasal 2 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia.
543
Pasal 3 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia.

408
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan.545
Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada
Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya tentang pelanggaran berat, Statuta ini
mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu
juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti
disebutkan dalam Pasal 5 Statuta.
Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang
yang melakukan kejahatan genosida di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda
yang melakukan kejahatan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara
tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan
tanggal 31 Desember 1994.
Baik Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda
menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan
atau melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing Statuta.
Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia
menggunakan sistem Common Law, (Hukum Anglo-Saxon), sedangkan Mahkamah
Rwanda menggunakan campuran antara sistem Civil Law (Hukum Eropa Kontinental)
dan Common Law.

(e) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC).


Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan
penting, yakni ketika disepakatinya Statuta Roma tentang pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court, selanjutnya disebut ICC). Berbeda
dengan mahkamah ad hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah
Nuremberg, Tokyo, ICTY dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang
bersifat permanen. Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap (complementarity)
dari mahkamah pidana nasional.

544
Pasal 4 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia.
545
Pasal 5 Statuta Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia.

409
Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya
bahwa ICC nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma
dikatakan bahwa ICC akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling)
dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.
Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi
ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila
mahkamah nasional tidak mau dan/atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka ICC
akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Adapun yirisdiksi dari ICC ini mencakup empat hal yaitu :
1. genosida
2. kejahatan terhadap kemanusiaan
3. kejahatan perang
4. kejahatan agresi
Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah
dirumuskan secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang
dimaksud beserta unsur-unsur deliknya. Statuta ICC berlaku sejak bulan Juli tahun 2002
dan kejahatan agresi akan dirumuskan delapan tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada
tahun 2010.
Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa ICC bersifat
complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu
yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional.
Dalam hal ini yurisdiksi ICC hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara
tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili kejahatan-
kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi ICC.
Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang
mendesak dan penting dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah menyusun suatu hukum
nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahatan perang. Hal ini
diperlukan karena sampai saat ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) belum mengatur
tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya
berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 (yaitu menyusun suatu hukum nasional yang

410
memberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang). Ketiadaan hukum
nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut pandang
International Criminal Court (ICC).

411

Anda mungkin juga menyukai